1. TUJUAN
Dapat Mengetahui cara pembuatan injeksi natrium thiosulfat secara umum
dan dapat menentukan formula yang cocok untuk pembuatan sediaan injeksi
natrium thiosulfat sebagai antidotum.
2. PRINSIP
Berdasarkan cara pembuatan dengan metode sterilisasi aseptik
menggunakan zat pembawa dan zat tambahan yang sesuai dengan karakteristik
natrium thiosulfat.
3. TEORI
3.1. Definisi sediaan injeksi steril
Steril adalah keadaan suatu zat yang bebas dari mikroba hidup, baik
yang patogen (menimbulkan penyakit) maupun apotogen atau nonpatogen
(tidak menimbulkan penyakit), baik dalam bentuk vegetatif (siap untuk
berkembang biak) maupun dalam bentuk spora (dalam keadaan statis tidak
dapat berkembang biak, tetapi melindungi diri dengan lapisan pelindung
yang kuat). Tidak semua mikroba dapat merugikan, misalnya mikroba yang
terdapat dalam usus yang dapat membusukkan sisa makanan yang tidak
terserap oleh tubuh. Mikroba patogen misalnya Salmonella thyposa yang
menyebabkan penyakit tifus dan E. Coli yang menyebabkan sakit perut.
Sterilisasi adalah suatu proses untuk membuat ruang atau benda
menadi steril. Sanitasi adalaha suatu proses untuk membuat lingkungan
menjadi sehat (Syamsuni. 2007: 181). Sediaan steril adalah bentuk sediaan
obat dalam bentuk terbagi-bagi yang bebas dari mikroorganisme hidup.
Pada prinsipnya, yang termasuk sediaan ini antara lain sediaan parental
preparat untuk mata dan preparat irigasi (misalnya infus). Sediaan parenteral
merupakan jenis sediaan yang unik diantara bentuk sediaan obat terbagi-
bagi, karena sediaan ini disuntikkan melalui kulit atau membrane mukosa ke
bagian tubuh yang paling efisien, yaitu membrane kulit dan mukosa, maka
1
sediaan ini harus bebas dari kontaminasi mikroba dan dari bahan-bahan
toksis lainnya, serta harus memiliki tingkat kemurnian yang tinggi. Semua
bahan dan proses yang terlibat dalam pembuatan produk ini harus dipilih
dan dirancang untuk menghilangkan semua jenis kontaminasi, apakah
kontaminasi fisik, kimia, atau mikrobiologis (Priyambodo, B., 2007).
Menurut Farmakope Indonesia Edisi III, injeksi adalah sediaan steril
berupa larutan, emulsi, suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau
disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan
cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau melalui selaput
lendir. Sedangkan menurut Farmakope Indonesia Edisi V, injeksi umumnya
hanya larutan obat dalam air yang bisa diberikan secara intravena. Suspensi
tidak bisa diberikan karena berbahaya yang dapat menyebabkan
penyumbatan pada pembuluh darah kapiler (FI.IV.1995).
Obat dibuat steril karena berhubungan langsung dengan darah atau
cairan tubuh dan jaringan tubuh lain yang pertahanannya terhadap zat asing
tidak selengkap pada saluran cerna atau gastrointestinal, misalnya hati yang
dapat berfungsi untuk menetralisir atau menawarkan racun (detoksifikasi).
Diharapkan dengan kondisi steril dapat dihindari adanya infeksi sekunder.
Dalam hal ini tidak berlaku relatif steril atau setengah steril, hanya ada dua
pilihan yaitu steril dan tidak steril. Sediaan farmasi yang perlu disterilkan
adalah obat suntik inkesi, tablet implan, tablet hipodermik, dan sediaan
untuk mata seperti tetes mata (guttae ophth), cuci mata (collyrium), dan
salep mata (oculenta) (Syamsuni. 2007 : 181-182).
2
persyaratan injeksi. Sediaan ini dapat membedakannya dari
nama bentuknya yaitu steril, contohnya Ampicilin Sodium steril.
3.2.3. Sediaan seperti tertera pada no b, tetapi mengandung satu atau
lebih dapar, pengencer atau bahan tambahan lain dan dapat
dibedakan dari nama bentuknya.yaitu untuk injeksi, contohnya
Methicillin Sodium untuk injeksi.
3.2.4. Sediaan berupa susupensi serbuk dalam medium cair yang
sesuai dan tidak disuntikkansacara intravena atau di dalam
saluran spinal, dan dapat dibedakan dari nama bentuknya yaitu
susupensi steril. Contoh cortisao suspensi steril.
3.2.5. Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai
membentuk larutan yang memenuhi semua persyaratan untuk
suspensi steril setelah penambahan pembawanya yang sesuai.
Dan dapat membedakannya dari nama bentuknya yaitu steril
untuk suspensi. Contohnya Ampicilin steril untuk suspensi
(Lukas, 2006 : 37).
3
3.1.3. Intravena (i.v)
Injeksi yang dimasukkan langsung ke dalam pembuluh darah
vena. Bentuknya berupa larutan, sedangkan bentuk suspensi atau
emulsi tidak boleh diberikan melalui rute ini, sebab akan menyumbat
pembuluh darah vena yang bersangkutan. Injeksi dibuat isotonis,
tetapi ika terpaksa dapat sedikit hipertonis (disuntikkan secara lambat
atau perlahan-lahan dan tidak memengaruhi sel darah); volume antara
1-10 ml. Injeksi intravena yang dberikan dalam dosis tunggal dengan
volume lebih dari 10 ml disebut “infus intravena/infus/infundabilia”.
Infus harus bebas pirogen, tidak boleh mengandung bakterisida,
jernih, dan isotonis. Injeksi i.v dengan volume 15 ml atau lebih tidak
boleh mengandung bakterisida. Injeksi i.v dengan volume 10 ml atau
lebih harus bebas pirogen.
3.1.4. Intraarterium (i.a)
Injeksi yang dimasukkan langsung ke dalam pembuluh darah
arteri/ perifer/ tepi, volume antara 1-10 ml, tidak boleh mengandung
bakterisida.
3.1.5. Intrakordal/intrakardiak (i.kd)
Injeksi yang dimasukkan langsung ke dalam otot jantung atau
ventrikel, tidak boleh mengandung bakterisida, disuntikkan hanya
dalam keadaan gawat.
3.1.6. Intratekal (i.t), intraspinal, intrasisternal (i.s), intradural (i.d),
subaraknoid
Injeksi yang dimasukkan langsung ke dalam saluran sumsum
tulang belakang didasar otak (antara 3-4 atau 5-6 lumbar vertebrata)
tempat terdapatnya cairan cerebrospinal. Larutan harus isotonis karena
sirkulasi cairan serebrospinal lambat, meskipun larutan anestetik
untuk sumsum tulang belakang sering hipertonis. Jaringan saraf di
daerah anatomi ini sangat peka.
3.1.7. Intraartikular
Injeksi yang dimasukkan ke dalam cairan sendi di dalam
rongga sendi. Bentuknya suspensi atau larutan dalam air.
3.1.8. Subkonjungtiva
Injeksi yang dimasukkan ke dalam selaput lendir di bawah
mata. Berupa suspensi atau larutan, tidak lebih dari 1 ml.
3.1.9. Intrabursa
4
Injeksi yang dimasukkan ke dalam bursa subcromillis atau
bursa olecranon dalam bentuk larutan suspensi dalam air.
3.1.10. Intraperitoneal (i.p)
Injeksi yang dimasukkan langsung ke dalam rongga perut.
Penyerapan berlangsung cepat, namun bahaya infeksi besar.
3.1.11. Peridural (p.d), ekstradural, epidural
Injeksi yang dimasukkan ke dalam ruang epidural, terletak di
atas durameter, lapisan penutup terluar dari otak dan sumsum tulang
belakang (Syamsuni, 2007: 196-198).
5
Pemerian : hablur besar, tidak berwarna atau serbuk
hablur kasar, mengkilap dalam udara lembab
dan mekar dalam udara kering pada suhu
lebih dari 33oC. Larutannya netral atau basa
lemah terhadap lakmus (FI 1V, 1995:605).
Kelarutan : sangat mudah larut dalam air; tidak larut
dalam etanol.
Titik leleh / titik lebur : 48,9 oC
Dosis lazim : 20-50 ml larutan 10% b/v (Farmakope
IndonesiaIII, 1979 : 943)
Daftar obat : Keras sediaan injeksi
pH sediaan injeksi : 6-9,5
OTT : Terhadap oksidator, Reduktor, logam berat.
Penyimpanan : Ditempat sejuk dan kering.
6
pH : 8,5-9,6
Kegunaan : sebagai laruan penyangga atau dapar
Inkompaktibilitas : dengan alkaloid, antypirin, kloral hidrat,
Pb asetat, pirogalol, resorcinol dan kalsium
glukonat dan ciproploksasin.
Penyimpanan : dalam wadah kedap udara, ditempat yang
sejuk dan kering.
3.3.3. Aqua pro injection
Pemerian : cairan, jernih, tidak berwarna, tidak berbau
Kegunaan : air untuk injeksi (pembawa/pelarut)
Penyimpanan : dalam wadah dosis tunggal, botol kaca
atau plastik, tidak lebih besar dari 1 liter
(Depkes RI, 1995: 112).
7
Alat-alat yang digunakan yaitu Beaker glass, pipet tetes, labu
eleyenmeyer, syringe 10 ml, gelas ukur, pinset, batang pengaduk, kaca
arloji, pH universal, corong gelas.
4.2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan yaitu Natrium Thiosulfat, Dinatrium
Hydrogen Phosphate, Natrium Dihydrogen Phosphate, dan Aqua pro
injection
5. PROSEDUR
5.1. Pembuatan sediaan
Disiapkan semua alat dan bahan, dan ditimbang tiap bahan seperti
Natrium Thiosulfat, Dinatrium Hydrogen Phosphate dan Natrium
Dihydrogen Phosphate dengan menggunakan kaca arloji. Kalibrasi labu
eleyenmeyer ad 15 ml. Natrium Thiosulfat dilarutkan dengan aqua pro
injection. Melarutkan Dinatrium Hydrogen Phosphate dengan aqua pro
injection pada wadah terpisah. Selanjutnya melarutkan Natrium Dihydrogen
Phosphate dengan aqua pro injection pada wadah terpisah. Semua larutan
diatas dicampurkan kedalam labu erlenmeyer yang telah dikalibrasi,
dikocok sampai homogen. Dilakukan pengecekan pH dengan menggunakan
pH universal (6,0-9,5). Selanjutnya ditambahkan Aqua pro injection sampai
tanda batas (15 ml). Larutan disaring dengan kertas saring lalu dengan
bakteri filter 0,45 µm. Sediaan dimasukkan kedalam 2 ampul masing-
masing sebanyak 2 ml. Selanjutnya disterilisasi dengan autoklaf pada suhu
115-116oC selama 30 menit.
8
Pemeriksaan dilakukan secara visual biasanya dilakukan
dengan cara memeriksa wadah bersih dari luar di bawah penerangan
cahaya yang baik, terhalang terhadap refleksi ke dalam matanya, dan
berlatar belakang hitam dan putih, dengan rangkaian isi dijalankan
dengan suatu aksi memutar, harus benar-benar bebas dari partikel
kecil yang dapat dilihat dengan mata (Lachman, 1994 :1355).
9
Thiosulfat
2 Na2HPO4 Dapar 18 mg 135 mg
3 NaH2PO4 Dapar 0,8 mg 6 mg
4 Aqua pro Pembawa Ad 2 ml Ad 15 ml
injection
7. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini membuat sediaan larutan injeksi steril natrium
thiosulfate. Natrium thiosulfat adalah salah satu jenis dari garam terhidrat. Garam
terhidrat yaitu garam yang terbentuk dari senyawa-senyawa kimia yang dapat
mengikat molekul-molekul air pada suhu kamar. Garam natrium thiosulfate
merupakan suatu senyawa tiosulfat dari alkali natrium, garam ini memiliki sifat
hidroskopis sehingga seringkali dijumpai dalam bentuk hidratnya dibandingkan
bentuk murninya. Bentuk hidrat paling banyak dalam bentuk 5-hidrat dan 10-
hidratnya. Dalam pembuatan sediaan injeksi kali ini kita menggunakan pelarutnya
yaitu pelarut air karena natrium thiosulfat stabil dalam larutan pembawa air,
natrium thiosulfat merupakan garam yang dapat di berikan secara empiris pada
orang yang keracunan sianida. Natrium thiosulfat merupakan suatu antidotum
dengan dosis makimum 10% untuk dewasa secara intravena, dosis intravena ini
dapat ditingkatkan apabila pasien tidak sadar.
10
Pada pembuatan larutan injeksi natrium thiosulfat ini dibuat 200mg dalam 2
ml dengan sterilisasi cara A yaitu menggunakan autoklaf dengan suhu 115-116°C.
Karena Yang pertama kali dilakukan ialah perhitungan tonisitas, didapatkan hasil
sebesar -2,43g/100mL ini menunjukkan bahwa sediaan yang akan dibuat akan
bersifat hipertonis, karena perhitungan tonisitas menunjukkan bahwa hipertonis
maka dalam proses pembuatan laruan injeksi natrium thiosulfat ini tidak perlu
ditambahkan larutan pengisotonis (NaCl), larutan hipertonis masih bisa di tolerir
atau masih di izinkan untuk digunakan karena hanya akan menimbulkan rasa tidak
nyaman, jika larutan hipotonis maka harus ditambahakan zat pengisotonis
dikarenakan jika larutan bersifat hipotonis akan berbahaya untuk pasien.
Kemudian dilakukan penimbangan bahan. Penimbangan dilakukan dengan
menggunakan kaca arloji. Penggunaan kaca arloji dalam penimbangan karena jika
menggunakan kertas perkamen dikahawatirkan ada sebagian zat yang tertinggal
dalam perkamen, sehingga mempengaruhi konsentrasi sediaan.
Pada saat membuat larutan natrium tiosulfate terjadi endapan pada natrii
tiosulfat sehingga pada larutan natrii tiosulfat ditambahkan larutan dapar yaitu
Na2HPO4 dan NaH2PO4 agar larutan natrium tiosulfate dapat berubah menjadi
bening dan memenuhi standar pH yang di haruskan yaitu sekitar 6-9.5 menurut
(FI IV,1995: 606). Karena larutan dapar bersifat basa dan angka pH yang didapat
oleh kelompok kami adalah di angka 9, pH sediaan memenuhi standar karena
masuk kedalam rentang pH yang sesuai dengan literatur. Natrium tiosulfat stabil
pada pH basa karenanya ditambahkan larutan dapar untuk menstabilkan larutan.
Dilakukan penyaringan dengan menggunakan kertas saring untuk menghilangkan
partikulat pada sediaan injeksi. Kemudian digenapkan sebanyak 15 ml.
Pengisian ampul dilakukan di dalam LAF (Laminar Air Flow), sebelumnya
dilakukan penyaringan kembali dengan menggunakan bakteri filter, penyaringan
dengan bakteri filter ini berguna untuk menyaring kembali partikulat yang lolos
pada penyaringan pertama dengan menggunakan kertas saring. Pada saat
memasukan bahan-bahan yang sudah larut kedalam ampul dilakukan didalam
LAF (Laminar Air Flow) supaya larutan tetap steril dan terhindar dari
mikroorganisme yang merugikan bagi sediaan ampul dan dilakukan penyaringan
11
pada larutan yang sudah dicampurkan agar tidak ada partikel-partikel pada obat
injeksi.
Pengerjaan sterilisasi pada sediaan ampul natrii tiosulfat menggunakan
metode aseptis ini bertujuan untuk menjaga kemungkinan terkontaminasinya
sediaan dengan mikroorganisme pada saat pembuatan. Dalam pembuatan injeksi
alat alat yang akan digunakan di sterilkan terlebih dahulu agar tidak ada
kontaminasi mikroba dari alat-alat yang digunakan. Karena tidak dilakukan
sterilisasi alat alat maka di lakkan sterilisasi akhir menggunakan autoklaf dengan
suhu 121°C selama 15 menit untuk menghilangkan mikroba mikroba yang ada di
dalam larutan.
Sediaan steril dikemas dalam ampul, setelah itu ampul di las Tetapi
sebelumnya di liat lagi ampul untuk memastikan tidak ada lagi larutan yang
menempel didinding ampul, karena jika masih ada saat dilas bagian atas ampul
akan menghitam atau seperti terbakar. Kemudian dilakukan evaluasi sediaan.
Evaluasi yang dilakukan pada sediaan injeksi yaitu uji kejernihan, penampilan
fisik wadah, kebocoran ampul, dan keseragaman bobot. Pada sediaan dilakukan
uji kejernihan yang berfungsi untuk memastikan bahwa seluruh bahan dapat larut
sempurna dalam pelarutnya dan pada sediaan didapat hasil yang jernih. Artinya
sediaan memenuhi syarat dengan sifat semua bahan yang terdapat dalam formula
dapat larut dengan baik. Untuk uji penampilan fisik wadah berfungsi untuk
melihat bahwa ampul tidak mengalami kebocoran sehinggan volumenya
berkurang dan pada sediaan didapatkan hasil yang baik. Dan terakhir untuk uji
kebocoran dari ketiga ampul didapatkan satu ampul yang bocor tetapi masih ada
tertinggal dua ampul dengan volume yang seragam.
8. KESIMPULAN
Berdasarkan pembuatan sediaan injeksi natrium sulfat ini diperoleh tonisitas
larutan sebesar -2,43g/100mL (hipertonis), maka tidak perlu adanya penambahan
12
NaCl. Hasil evaluasi sediaan yang didapat berupa larutan yang jernih, penampilan
fisik wadah baik, volume yang seragam, dan pH yang didapat yaitu 9 memenuhi
standar syarat.
DAFTAR PUSTAKA
BNF Staff. 2009.British National Formulary (BNF). Volume 57. BMJ Group and
RPS. Publishing, United Kingdom.
13
Lachman dkk. 1994. Teori Dan Praktek Farmasi Industri. Jakarta: UI Press.
Merck and CO, INC. 2001. The Merck Index 13th edition. USA: Pan American
Copyright Convention.
LAMPIRAN
1. Perhitungan tonisitas
14
= 12,75 ml ~ 15 ml
3. Perhitungan Bahan
A. Untuk Jumlah per unit (2 ml)
1. Natrii Thiosulfat 200 mg
2. Na2HPO4 18 mg
3. NaH2PO4 0,8 mg
2. Na2HPO4 135 mg
3. NaH2PO4 6 mg
5. Brosur
15
6. Kemasan sekunder
16
Keterangan
Pada kemasan obat terdapat :
a. No. Registrasi : DKL 171040123A1
D : menunjukan nama dagang
K : menunjukan golongan obat yaitu obat K
L : menunjukan obat jadi yang diprduksi secara lokal
17 : menunjukan tahun pendaftaran obat dan disetujui pada tahun
2017.
104 : menunjukan nomor urut pabrik
012 : menunjukan nomor urut obat jadi yang disetujui oleh masing-
masing pabrik.
3 : menunjukan bentuk sediaan obat jadi yaitu tetes mata
A : menunjukan kekuatan sediaan obat jadi pertama yang disetujui
1 : menunjukan kemasan utama
17
c. Logo
(obat keras)
Untuk obat yang dapat hanya ibeli dengan resep dokter dan dapat dijual
hanya oleh pihak yang berhak menjual obat tersebut, mempunyai tanda
khusus berupa lingkaran bulat hitam dengan dasar merah yang
didalamnya terdapat huruf K yang menyenth garis tepi.
d. Exp. Date : 29 November 2020
Waktu yang tertera pada kemasan yang menunjukan batas waktu
diperbolehkannya obat tersebut dikonsumsi, karena diharapkan
memenuhi spesifikasi yang diterapkan.
e. Produsen
PT. PSY_
Bandung-Indonesia
LEMBAR KONTRIBUSI
Piolani Putri N : Tujuan, Prinsip, teori, editor
Sri nurlatipah : Alat-bahan, prosedur, data pengamatan dan kemasan
Yuliyanti S Maha : Pembahasan dan Kesimpulan
18