Anda di halaman 1dari 32

Nama : Dais Sari Milati

NIM : 52119041
PRODI: PSPPA-2

A. REVIEW JURNAL KO-KRISTAL

Pengaruh Pembentukan Ko-Kristal Pirimetamin-Asam Fumarat


Terhadap Kelarutan Dan Laju Disolusinya

I. PENDAHULUAN
Pirimetamin (PIR) merupakan obat esensial pada penyembuhan penyakit malaria
falciparum yang telah resisten terhadap klorokuin. Baru-baru ini diketahui bahwa PIR
juga bisa digunakan sebagai anti-HIV dan toksoplasmosis. PIR memiliki sifat
fisikokimia: serbuk hablur putih, tidak berbau, melebur pada suhu antara 238OC dan
242OC. Pirimetamin tidak larut dalam air; sukar larut dalam aseton, dalam etanol, dan
dalam kloroform (Depkes RI, 1995). Salah satu metode menarik dan sederhana yang
baru-baru ini dikembangkan dalam bidang ilmu bahan dan rekayasa kristal yang
berguna untuk meningkatkan laju pelarutan dan ketersediaan hayati obat-obat yang
sukar larut adalah teknik ko-kristalisasi yang menghasilkan ko-kristal dengan sifat-sifat
fisikokimia yang lebih unggul (Erizal dkk, 2011). Perubahan susunan molekul dalam
kristal seperti modifikasi bentuk kristal dan penggabungan dengan senyawa lain dalam
kisi kristal yang sama (kokristal) telah terbukti mampu mengubah suatu sifat fisiko
kimia suatu senyawa (Karki dkk.,2009). Ko-kristal adalah suatu kompleks kristalin
dimana dua atau lebih molekul netral berada pada perbandingan stoikiometrik tertentu
(Qiao dkk, 2011).

II. METODE
Uji Kelarutan Fasa Pirimetamin
Dibuat satu seri larutan standar FUM dengan konsentrasi 0,01; 0,02; 0,03; 0,035;
0,04; 0,05 M. Sebanyak 5 mL masing-masing konsentrasi dimasukkan kedalam vial 10
mL. Ke dalam masing-masing vial yang telah berisi variasi larutan FUM ditambahkan
PIR sebanyak 50 mg. Vial dikocok dengan orbital shaker pada kecepatan 250 ppm
(putaran per menit) dan dikondisikan pada suhu kamar (20±0,5 oC). Setelah 24 jam

1
sampel disaring. Kadar pirimetamin terlarut dianalisis dengan spektrofotometer
ultraviolet pada panjang gelombang 272 nm.

Uji Kelarutan Fasa Ko-kristal PIR-FUM


Dibuat satu seri larutan standar FUM dengan konsentrasi 0,01; 0,02; 0,03; 0,035;
0,04; 0,05 M. Sebanyak 5 mL masing-masing konsentrasi dimasukkan kedalam vial 10
mL. Ke dalam masing-masing vial yang telah berisi variasi larutan FUM ditambahkan
ko-kristal PIRFUM hasil penggilingan sebanyak 50 mg. Vial dikocok dengan orbital
shaker pada kecepatan 250 ppm (putaran per menit) dan dikondisikan pada suhu ruang
(20±0,5oC). Setelah 24 jam sampel disaring. Kadar pirimetamin terlarut dianalisis
dengan spektrofotometer ultraviolet pada panjang gelombang 272 nm.
Uji morfologi kristal dengan mikroskop polarisasi
Serbuk PIR murni, FUM murni dan campuran fisik PIR-FUM (1:1) diamati
secara mikroskopik menggunakan mikroskop polarisasi. Uji dilakukan dengan
meletakkan kurang lebih 3 mg sampel di atas gelas objek, ditetesi campuran aseton:air
(1:1), danmorfologi kristal yang terbentuk diamati dengan mikroskop polarisasi yang
dilengkapi dengan kamera digital.
Karakterisasi dengan difraksi sinar-X serbuk
Penetapan pola difraksi sinar-X serbuk dilakukan untuk PIR murni, FUM murni
dan kokristal PIR-FUM. Kondisi pengukuran menggunakan anode Cu, voltase dan arus
generator adalah 40 kV dan 30 mA pada rentang sudut 2θ 5-35° dan kecepatan
pemindaian 2°/menit (Basavoju dkk., 2007).
Analisis spektrum FTIR
Analisis spektrum FTIR dilakukan untuk PIR murni, FUM murni dan ko-kristal
PIR-FUM dengan cara mendispersikan 1% sampel di dalam KBr. Dispersi sampel
dalam KBR diukur dengan instrumen FTIR Shimadzu Affinity-1 pada rentang bilangan
gelombang 400-4000 cm-1 (Fabian dkk., 2006).
Uji kelarutan
PIR murni ditimbang sebanyak 50 mg dan ko-kristal PIR-FUM ditimbang setara
dengan 50,0 mg PIR, kemudian dimasukan ke dalam vial yang berisi 5,0 ml pelarut,
disimpan pada orbital shaker dengan kecepatan 250 ppm (putaran per menit) dan
dikondisikan pada suhu kamar (20±0,5oC). Pelarut yang digunakan adalah air, larutan

2
dapar HCl pH 1,2, larutan dapar asetat pH 4,5 dan larutan dapar fosfat pH 6,8. Setelah
24 jam sampel disaring. Filtrat dianalisis dengan spektrofotometer uv sinar tampak pada
panjang gelombang PIR dalam pelarut. Konsentrasi PIR yang terlarut ditentukan dengan
persamaan dari kurva kalibrasi PIR dalam masing-masing pelarut.

Uji disolusi
Uji disolusi dilakukan terhadap PIR murni dan ko-kristal PIR-FUM. Pengujian
menggunakan alat disolusi tipe 2 (dayung) dengan kecepatan pengadukan100 ppm
(putaran per menit) pada suhu 37±0,5oC dengan volume media 900 ml. Media disolusi
yang digunakan adalah larutan dapar asam hidroklorida pH 1,2, larutan dapar asetat pH
4,5 dan larutan dapar fosfat pH 6,8. Pengambilan cuplikan 10 ml dilakukan pada menit
ke- 10, 15, 20, 30, 45 dan 60. Konsentrasi PIR terdisolusi dalam setiap sampel dianalisa
dengan menggunakan spektrofotometer ultraviolet pada panjang gelombang PIR dalam
masing-masing media dan dihitung persentase PIR yang terdisolusi.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


Uji Kelarutan Fasa PIR dalam Air Suling
Kurva kelarutan fasa merupakan kurva yang dapat menggambarkan konsentrasi
zat terlarut didalam variasi konsentrasi larutan zat lain (Higuchi dan Connors, 1965;
Alatas dkk., 2014b). Uji kelarutan fasa dilakukan untuk mengetahui perbandingan atau
jumlah ko-former yang tepat untuk dapat membentuk ko-kristal dengan PIR sehingga
diharapkan dapat meningkatkan kelarutan dari PIR. Kurva kelarutan fasa PIR dalam
variasi konsentrasi FUM dalam pelarut air menunjukkan terjadinya peningkatan
kelarutanPIR hingga konsentrasi FUM 0,03 M dan mulai menurun pada konsentrasi
FUM lebih tinggi dari 0,003 M. Tipe kelarutan fasa ini sesuai dengan tipe Bs, yang
memungkinkan terbentuknya ko-kristal. Pada konsentrasi 0,03-0,05 M mulai terbentuk
padatan ko-kristal yang mengendap pada dasar vial akibat tercapainya hasil kali
kelarutan (Ksp) antara PIR dan FUM. Semakin besar konsentrasi FUM di atas
konsentrasi 0,03 M, maka semakin banyak padatan ko-kristal yang diperoleh.
Uji Kelarutan Fasa Ko-kristal PIR-FUM dalam Campuran Aseton:Air (1:1)
Kurva kelarutan fasa ko-kristal PIR-FUM di dalam variasi konsentrasi FUM
menunjukkan terjadinya penurunan kelarutan ko-kristal. Pada dasarnya kurva ini hampir
sama dengan kurva kelarutan fasa PIR di dalam variasi konsentrasi larutan FUM setelah

3
terbentuk ko-kristal (C > 0,03M). Hasil uji kelarutan fasa ko-kristal menunjukan bahwa
setiap bertambahnya konsentrasi FUM menghasilkan penurunan kelarutan. Hal ini
disebabkan karena makin besar konsentrasi FUM maka semakin banyak pula padatan
ko-kristal yang mengendap, sehingga menurunkan kelarutan ko-kristal.
Foto Mikroskop Polarisasi
Morfologi atau habit kristal campuran fisik PIR-FUM setelah ditetesi campuran
aseton-air (1:1) berbentuk batang dan berbeda dengan habit dari masing-masing
komponen pembentuknya setelah ditetesi dengan pelarut yang sama. Perubahan habit
Kristal ini dapat mengindikasikan terbentuk struktur kristal baru, yaitu ko-kristal PIR-
FUM.
Difraktogram Sinar-X Ko-kristal
Pola difraksi sinar-X digunakan sebagai karakterisasi terbentuknya ko-kristal.
Perbedaan pola difraksi sinar-X serbuk hasil penggilingan dengan pola difraksi sinar-X
serbuk masing-masing komponen murninya dapat menunjukkan terbentuknya ko-kristal
(Shanpui dkk., 2011). Pola difraksi sinar-X serbuk hasil penggilingan basah PIR-PUM
(1:1)
berbeda dengan pola difraksi PIR dan FUM murni. Hilangnya puncak PIR pada sudut2θ
11,99°; 18,58°; 19,54°; dan 20,05° dan hilangnya puncak FUM pada sudut 2θ 29,485°;
37,93°; dan 38,69°, serta munculnya puncak-puncak baru pada sudut 2θ menunjukkan
terbentuknya kokristal PIR-FUM.
Spektrum infra merah
Karakterisasi kokristal dengan spektrofotormetri infra merah digunakan untuk
mengidentifikasi gugus-gugus fungsi yang terdapat dalam struktur ko-kristal dan
melihat adanya interaksi kimia dalam kokristal PIR-FUM (Schultheiss dkk, 2009).
Spektrum infra merah menunjukkan adanya puncak khas pada PIR yaitu pada bilangan
gelombang 3467 dan 3149 cm-1 yang mengindikasikan adanya vibrasi gugus N-H dan
cincin aromatic C-H, bilangan gelombang antara 1400 dan 1649 cm-1 mengindikasikan
adanya vibrasi lenturdari C=C dan C=N pada cincin aromatik PIR, serta vibrasi ikatan
C-H dari vibrasi lentur CH3 dan C-N pada bilangan gelombang 1394 dan 1280 cm-1
(Onyeji dkk, 2009). Sedangkan FUM mempunyai puncak khas pada bilangan
gelombang 1685 cm-1 yang merupakan gugus C=O. Pada hasil spekrum infra merah

4
ko-kristal PIR-FUM menunjukan adanya sedikit pergeseran gugus C=O FUM menjadi
bilangan gelombang 1643 cm-1.
Uji Kelarutan
Ko-kristal dapat mengubah sifat fisiko kimia bahan aktif farmasi, termasuk
kelarutannya. Ini menunjukkan bahwa pembentukan ko-kristal PIR-FUM dapat
meningkatkan kelarutan pirimetamin pada media air dan pH 6,8 berturut-turut sebanyak
21 dan 14 kali lipat daripada kelarutan pirimetamin murni. Peningkatan kelarutan ini
diduga akibat terbentuknya ikatan hidrogen antara pirimetamin dan asam fumarat yang
bersifat polar.
Uji Disolusi
Uji disolusi merupakan faktor penting dalam pengendalian mutu obat
(Stipplerdkk., 2015; Kun dkk., 2015). Setelah dilakukan uji kelarutan, ko-kristal
PIRFUM diuji secara in vitro dengan uji disolusi partikulat menggunakan metode
dayung pada suhu 37°C dengan kecepatan 10 ppm (putaran per menit) dalam tiga media
yang berbeda, yaitu larutan dapar HCl pH 1,2, larutan dapar asetat pH 4,5, dan larutan
dapar fosfat pH 6,8. Penggunaan ketiga media disolusi ini untuk menggambarkan
pelepasan ko-kristal PIR-FUM dalam saluran cerna. Berdasarkan hasil pengujian
disolusi dalam tiga media pH, terdapat peningkatan profil disolusi antara PIR dengan
ko-kristal PIR-FUM. Peningkatan signifikan terlihat pada pH 6,8 dimana jumlah
terdisolusi pada menit ke 60 mengalami kenaikan sebesar 46,46%.

IV. KESIMPULAN
Karakterisasi dengan difraksi sinar-X serbuk, spektrum infra merah, mikroskop
polarisasi, dan uji kelarutan fasa menunjukkan terbentuknya kokristal antara
pirimetamin dengan asam fumarat. Pembentukan ko-kristal PIR-FUM (1:1) dapat
meningkatkan kelarutan pirimetamin dalam air dan dapar pH 6,8 berturut-turut 14 kali
dan 21 kali lipat dari pirimetamin murni. Laju disolusi ko-kristal PIR-FUM lebih tinggi
daripada laju disolusi pirimetamin murni.
Referensi :
Basavoju, S., Dan Bostrom, Sitaram P. Velaga. 2007. Indomethacin Saccharin Cocrystal
: Design, Synthesis and Preliminary Pharmaceutical Ingredients.
Pharmaceutical Research. Vol.25 (No.3): 530-540.

5
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995 halaman 725. Farmakope Indonesia.
Edisi IV, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta.
Erizal Z., dkk. 2011. Peningkatan Laju Pelarutan Trimetoprim Melalui Metode Ko-
Kristalisasi Dengan Nikotinamida .Jurnal FarmasiIndonesia. Vol. 5 (No. 4):
205 -212.
Fabian, Laszlo, et al. 2006. Cocrystals of Fenamic Acids with Nicotinamide.Crystal
Growth & Design: 3522-3527.
Karki, S., T. Friscic, L. Fabian, P. R. Laity, G. M. Day, and W. Jones. 2009. Improving
Mechanical Properties of Crystalline Solids by Cocrystal Formation: New
Compressible Forms of Paracetamol.J. Adv. Material. Vol. 21: 3905-3909.
Kun, N., e et al., Monitoring Ambroxol Hydrochloride Sustain Release Tablet Release
by Fiber-Optic Drug Dissolution In Situ Test System
Qiao,N., et al. 2011. Pharmaceutical cocrystals: An overview. International Journal of
Pharmaceutics. 419: 1– 11.
Schultheiss N, Newman A. 2009. Pharmaceutical cocrystals and their physicochemical
properties. Cryst Growth; 9(6):2950-67.
Shanpui P, Goud NR, Khandavilli UBR, Nangia A. 2011. Fast dissolving curcumin
cocrystals, Cryst Growth. 11:4135-45.

Karakterisasi Padatan Hasil Proses Kokristalisasi Asam Mefenamat


Menggunakan Metode Penguapan Pelarut

I. PENDAHULUAN
Kokristal didefinisikan sebagai padatan kristalin yang mengandung dua atau
lebih jenis molekul yang bergabung bersama melalui gaya non-kovalen (Blagden et al.,
2007). Asam mefenamat memiliki laju disolusi yang sangat rendah. Sebanyak 75%
asam mefenamat terdisolusi dalam media disolusi HCl 0,1 N dalam waktu 180 menit.
Laju disolusi dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan kelarutan solut. Peningkatan
kelarutan dapat dilakukan dengan pembentukan kompleks atau pun dengan cara
kokristalisasi (Setyawan dan Dewi, 2009). Penelitian ini bertujuan untuk merubah sifat
fisikokimia asam mefenamat dengan menggunakan metode kokristalisasi menggunakan
koformer nikotinamid dan isonikotinamide menggunakan pelarut tetrahidrofuran pada
berbandingan molar 1:1.

6
II. METODE
Kokristalisasi Asam Mefenamat
Sejumlah asam mefenamat dan koformer yaitu nikotnamid dan isonikotinamid
dengan perbandingan molar 1:1 ditimbang, lalu dimasukkan ke dalam vial. Dilarutkan
dalam 50 mL tetrahidrofuran dengan bantuan magnetik stirrer sampai larut sempurna.
Larutan diuapkan pada suhu kamar sampai pelarut habis. Endapan yang dihasilkan
kemudian dikarakterisasi (Triani, 2012).
Karakterisasi dengan FTIR
Uji dilakukan terhadap asam mefenamat, koformer, campuran fisik keduanya
dan kokristal. Tujuannya yaitu untuk mengetahui ada tidaknya ikatan hidrogen yang
terbentuk pada pembuatan kokristal. Serbuk diukur dengan spektrofotometer inframerah
menggunakan tablet KBr. Spektrum serapan direkam pada bilangan gelombang 400-
4000 cm-1 (Mustapa, 2012).

Karakterisasi dengan difraksi sinar-X serbuk


Uji ini dilakukan terhadap asam mefenamat, koformer, campuran fisik keduanya
dan kokristal. Direkam pada sudut 2θ (5-45o) menggunakan difraktometer sinar-X
radiasi dengan Cu sebagai bahan anoda dan monokromator grafit, dioperasikan pada
tegangan 40 kV, arus 30 Ma (Mustapa, 2012).
Karakterisasi dengan differential scanning calorimetry
Analisis DSC dilakukan terhadap asam mefenamat, koformer, campuran fisik
keduanya dan kokristal. Sejumlah sampel (10 mg) dimasukkan ke dalam crucible 10
μL, kemudian dipanaskan dan diukur dari 30-250oC. Kecepatan pemanasan 10oC per
menit. Sebagai purge gas digunakan gas nitrogen dengan kecepatan alir 20 mL/menit
(Mustapa, 2012).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


Teknik yang umumnya juga digunakan untuk mengkarakterisasi perubahan
polimorfik BAF dan eksipien adalah FTIR. Teknik ini dapat mendeteksi perubahan
struktur dengan melihat pergeseran bilangan gelombang vibrasi gugus tertentu. Hasilnya
menunjukkan spektrum FTIR Asam mefenanamat sebelum dan sesudah kokristalisasi
dengan nikotinamid tidak ada pergeseran gugus O-H dan gugus lainnya. Hal ini sesuai

7
dengan hasil difraksi sinar-X serbuk, yaitu tidak terjadinya perubahan struktur internal
kristal atau transformasi polimorfik akibat proses kokristalisasi dengan nikotinamid.
Spektrum FT-IR menunjukkan adanya pergeseran getaran renggang gugus OH dan C=O
berturut-turut dari 3012 cm-1 menjadi 3057 cm-1 dan dari 1649 cm-1 menjadi 1654 cm-
1 setelah asam mefenamat dilakukan proses kokristalisasi dengan isonikotinamid. Hal
ini sesuai dengan hasil difraksi sinar-X serbuk yang menunjukkan adanya pembentukan
struktur kristal baru. Berdasarkan hasil analisis termogram DSC terlihat puncak
endotermik pada asam mefenamat yaitu 229,4ºC dan nikotinamid 129,15ºC, sedangkan
padatan hasil kokristalisasi AM:NIKO 1:1 tidak menunjukan puncak endotermik yang
baru yang berbeda terhadap asam mefenamat dengan nikotinamid. Berdasarkan hal
tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak terbentuk fase kokristal antara asam megenamat
dengan nikotinamid.
Pada serbuk hasil kokristalisasi AM:INA 1:1 menunjukkan puncak 145,8oC, hal
ini mengidentifikasikan penurunan titik lebur hasil kokristalisasi yang diduga
terbentuknya campuran eutektik pada 145,1oC. Pada campuran eutektik, kedua
komponen dapat bercampur sempurna dalam berbagai komposisi pada kondisi leburan,
namun eksistensi masing-masingnya akan diperoleh kembali dalam kondisi kristalin
(Janah, 2015). Hal ini dapat diakibatkan oleh perbedaan dari bentuk kisi kristal.
Analisis PXRD dilakukan untuk mengidentifikasi suatu bentuk kristal, dengan
membandingkan letak dan intensitas garis pada difraktogram terhadap garis pada foto
sampel yang sudah diketahui (Qiao, et al., 2011). Berdasarkan hasil difraktogram sinar-
X diatas, serbuk hasil kokristalisasi antara asam mefenamat dengan nikotinamid tidak
ditemukan puncak baru pada difraktogram sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak
terbentuk kokristal.
Hasil pola difraksi sinar-X untuk proses kokristalisasi AM dan INA menunjukan
pola idfraksi sinar-X serbuk kokristal AM:INA (1:1) berbeda dengan pola difraksi AM
dan INA. Kokristal AM : INA (1:1) menunjukan puncak baru pada sudut 2θ adalah
23,98o sehingga dapat disimpulkan bahwa terbentuk fase kokristal antara asam
mefenamat dan isonikotinamid pada perbandingan 1:1.

IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi
pembentukan kokristal antara asam mefenamat dengan nikotinamid pada perbandingan

8
1:1, sedangkan proses kokristalisasi menggunakan koformer isonikotinamid terjadi
pembentukan kokristal. Hal ini berdasarkan analisis karakterisasi pada serbuk hasil
kokristalisasi menggunakan instrumentasi FT-IR, DSC dan PXRD.

Referensi:
Blagden, N., de Matas, M Gavan, P.T York. 2007. Crystal engineering of active
pharmaceutical ingredients to improve solubility and dissolution rates. Adv.
Drug Deliv. Rev: 59: 617–630.
Setyawan, Dwi dan Dewi Isadiartuti. 2009. Karakterisasi Kompleks Inklusi Asam
Mefenamat – β- Siklodekstrin yang Dibuat dengan Metode Freeze Drying.
Jurnal Kefarmasian Indonesia: 1.1: 1-9
Triani, Fienda. 2012. Pengaruh Metode Pembentukan Kokristal terhadap Kelarutan
Karbamazepin menggunakan Asam Suksinat sebagai Koformer [SKRIPSI].
Depok: Ekstensi Farmasi FMIPA UI.

Peningkatan Laju Disolusi Trimetoprim Dengan Teknik Co-Grinding


Menggunakan Polimer Polivinilpirolidon K-30

I. PENDAHULUAN
Co-grinding senyawa obat yang sukar larut air dengan berbagai polimer akan
meningkatkan efek solubilisasi dan ketersediaan hayati, karena modifikasi sifat padatan
senyawa obat. Pada saat penggilingan, padatan kristalin akan mengalami transformasi
menjadi fase amorf dalam rantai-rantai polimer. Jika dibandingkan dengan berbagai
teknik peningkatan kelarutan lain, teknik co-grinding merupakan cara yang sederhana
dan ramah lingkungan karena tidak memerlukan pelarut organik. Penelitian ini
bertujuan untuk meningkatkan laju pelarutan obat yang sukar larut dalam air melalui
teknik co-grinding dengan polimer mudah larut air polivinilpirolidon K-30 dan
karakterisasi sifat padatan trimetoprim hasil penggilingan bersama dengan polimer
polivinilpirolidon. Dalam penelitian ini digunakan trimetoprim sebagai model obat yang
sukar larut air, merupakan senyawa sintetik antibakteri spektrum luas yang bekerja
menghambat enzim reduktase dihidrofolat. Sedangkan polimer yang mudah larut air
digunakan polivinilpirolidon K-30 yang bersifat inert, dan mempunyai toksisitas yang
rendah. Studi terdahulu melaporkan peningkatan kelarutan dan pelarutan trimetoprim

9
melalui pembentukan kompleks inklusi dengan β-siklodekstrin dan sistem eutektik
sederhana dengan nikotinamida.

II. METODE
Pembuatan campuran co-ground
Sejumlah trimetoprim dan polivinilpirolidon K-30 dalam perbandingan berat
1:1, 1:3 dan 1:5 digiling secara bersama menggunakan ball mill apparatus dengan
kecepatan 120 putaran per menit selama 120 menit. Setiap 30 menit penggilingan,
bahan yang melekat pada dinding wadah penggiling dilepaskan dengan spatula agar
proses penggilingan berlangsung dengan sempurna.
Pembuatan campuran fisika
Campuran fisika trimetoprim dan polivinilpirolidon pada perbandingan berat
1:1, dibuat dengan cara mencampur kedua bahan dalam mortar dan pestel secara ringan
selama 30 menit.
Analisis mikroskopik dengan SEM
Serbuk trimetoprim, polivinilpirolidon dan campuran co-ground diamati habit
dan morfologi kristal dengan scanning electron microscope (SEM). Sampel serbuk
dilapisi dengan serbuk Au. Kemudian disinari dengan berkas elektron.
Analisis pola difraksi sinar X
Penetapan pola difraksi sinar X serbuk kokristal dilakukan dengan menggunakan
difraktometer. Kondisi pengukuran sebagai berikut, sumber Cu Kα, voltase 45 kV, arus
25 mA dan kecepatan scanning 0,05o per detik.
Analisis termal DTA
Analisis dilakukan menggunakan alat DTA. Suhu pemanasan 20oC sampai
250oC, dengan kecepatan pemanasan 10oC per menit.
Analisis spektroskopi FT-IR. Pembuatan spektrum infra merah serbuk trimetoprim,
polivinilpirolidon dan campuran co-ground dilakukan dengan mendispersikan sampel
pada pelet KBr yang dikempa dengan tekanan tinggi. Kemudian diukur persen
transmitan dari bilangan gelombang 400 cm-1–4000 cm-1.
Penetapan profil disolusi trimetoprim
Penetapan disolusi serbuk trimetoprim murni dan trimetoprim hasil co-ground
dengan polivinilpirolidon dilakukan dengan menggunakan alat tipe I, medium asam
klorida 0,1 N sebanyak 900 mL, kecepatan putaran 100 rpm serta suhu 37±0,5 oC.

10
Sampel diambil setelah 5, 10, 20, 30, 45 dan 60 menit. Setiap pemipetan diganti dengan
sebanyak medium yang diambil pada suhu yang sama sehingga volume medium
disolusi tetap. Masing-masing larutan yang dipipet diukur serapannya dengan
menggunakan spektofoto-meter UV-Vis pada panjang gelombang serapan
maksimumnya. Konsentrasi trimetoprim terdisolusi dihitung dengan menggunakan
kurva kalibrasi.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


Penggilingan (grinding) secara luas digunakan untuk mengurangi ukuran
partikel senyawa obat padat yang sukar larut, yang bertujuan untuk meningkatkan laju
disolusi dan berikutnya juga meningkatkan ketersediaan hayati. Teknik penggilingan
merupakan cara sederhana, ekonomis dan mudah untuk dilakukan, namun ada
keterbatasannya juga yaitu pertikel-pertikel halus (fine) hasil penggilingan mudah
membentuk agregat dan proses penggilingan dapat menyebabkan hal-hal yang tidak
diinginkan seperti peningkatan tekanan elektrostatik, perubahan bentuk kristal
(polymorphic transformation) serta peningkatan reaktivitas dalam keadaan padat.
Dalam penelitian ini, trimetoprim digunakan sebagai model senyawa obat padat yang
sukar larut dan polivinilpirolidon K-30 sebagai polimer hidrofilik dan dievaluasi
pengaruh proses penggilingan bersama dengan polimer terhadap sifat padatan kristalin
senyawa trimetoprim serta pengaruhnya terhadap laju disolusi serbuk senyawa obat
trimetoprim.
Difraksi sinar-X serbuk merupakan metode yang handal untuk karakterisasi
interaksi padatan antara dua komponen padat (solid state interaction), untuk
menentukan padatan TMP berada dalam keadaan kristalin atau amorf. Difraktogram
padatan TMP dalam keadaan padatan kristalin yang ditunjukkan oleh puncak-puncak
difraksi yang tajam dan khas pada 2 theta = 11,7; 15; 17,3; 18,6; 22,2; 23,8; 25,7; dan
30,8. Sedangkan PVP K-30 merupakan polimer hidrofilik yang bersifat amorf, terlihat
dari difraktogram pada Gambar 1B. Campuran fisika TMP-PVP K-30 (1:1 b/b)
menunjukkan derajat kristalinitas padatan TMP yang masih tinggi. Difraktogram sinar-
X padatan hasil penggilingan bersama TMP dan PVP K-30 dalam berbagai
perbandingan 1:1, 1:3 dan 1:5 b/b menunjukkan penurunan intensitas puncak-puncak
difraksi TMP secara bermakna. Hal ini mengindikasikan padatan kristalin TMP
mengalami penurunan derajat kristalinitas yang cukup signifikan setelah digiling

11
bersama polimer hidrofilik PVP K-30. Semakin banyak proporsi PVP K-30 dalam
campuran maka penurunan derajat kristalinitas juga semakin besar.
Analisis termal DTA juga merupakan instrumen analitik yang sangat bermanfaat
dalam karakterisasi interaksi keadaan padat antara dua atau lebih material. Analisis
termal DTA digunakan untuk mengevaluasi perubahan-perubahan sifat termodinamik
yang terjadi pada saat materi diberikan energi panas, berupa rekristalisasi, peleburan,
desolvasi atau transformasi fase padat, yang ditunjukkan oleh puncak endotermik atau
eksotermik pada termogram DTA. Termogram TMP menunjukkan puncak endotermik
tunggal pada 203,9°C yang merupakan titik lebur dari TMP. PVP K-30 menunjukkan
puncak endotermik yang agak lebar pada 141,9 °C yang merupakan temperatur transisi
gelas (Tg) polimer PVP, karena polimer yang bersifat amorf atau semikristalin
seringkali menunjukkan keadaan transisi gelas jika dipanaskan.
Pada sampel campuran fisika terjadi pergeseran puncak endotermik TMP ke
temperatur yang lebih rendah 191,4°C dengan intensitas puncak endotermik yang secara
bermakna menurun. Sedangkan termogram setelah hasil penggilingan bersama TMP
dan PVP K-30 pergeseran puncak endotermik TMP semakin besar yaitu pada
temperatur 177°C. Hal ini secara jelas menunjukkan bahwa terjadi interaksi fisika
antara padatan TMP dan PVP K-30 setelah digiling bersama dengan ball milling selama
120 menit. Sebagian besar dari padatan kristalin TMP mengalami transformasi menjadi
fase amorf yang terdispersi dalam rantai-rantai polimer PVP K-30. Secara umum serbuk
hasil penggilingan bersama antara TMP dan PVP K-30, menunjukkan peningkatan laju
disolusi secara bermakna dibandingkan dengan TMP murni dan campuran fisika. Pada
menit ke-10, serbuk hasil penggilingan bersama telah terdisolusi lebih dari 80%,
sedangkan TMP murni hanya terdisolusi 30,7%. Terlihat secara jelas bahwa proses
penggilingan bersama dengan polimer PVP K-30 sangat efektif meningkatkan laju
disolusi bahan aktif yang sukar larut. Mekanisme yang berperan dalam peningkatan laju
TMP adalah terjadinya penurunan derajat kristalinitas TMP dalam polimer. Bentuk
amorf material farmasi lebih mudah larut dibandingkan bentuk kristalinnya. Selain itu,
terjadinya pengurangan ukuran partikel bahan aktif ikut berkontribusi dalam
peningkatan laju disolusi serta peningkatan daya keterbasahan material oleh polimer
PVP K-30 yang bersifat hidrofilik.

12
IV. KESIMPULAN
Penggilingan bersama trimetoprim dengan polimer hidrofilik PVP K-30 secara
bermakna meningkatkan laju disolusi serbuk trimetoprim. Selain itu penggilingan
bersama juga menurunkan derajat kristalinitas fase padat trimetoprim.

Referensi :
Chono S, Takeda E, Seki T, Morimoto K. Enhancement of the dissolution rate and
gastrointestinal absorption of pranlukast as a model of poorly water soluble drug
by grinding with gelatin. Int J Pharm. 2008.347:71-8.
Friedrich H, Nada A, Bodmeir R. Solid state and dissolution rate characterization of co-
ground mixture of nifedipine and hydrophilic carriers. Drug Dev Ind Pharm.
2005.31:719-28.
Garg A, Singh S. Solid state interaction of raloxifene HCl with different hydrophilic
carriers during co-grinding and its effect on dissolution rate. Drug Dev Ind
Pharm. 2009.35:455-70.
Li N, Zhang Y-H, Wu Y-N, Xiong X-L, Zhang YH. Inclusion complex of trimethoprim
with β-cyclodextrin. J Pharm and Bio Anal. 2005.39:824-9.
Mura P, Faucci MT, Maestrelli S, Furlanetto, Pinzauti S. Characterization of
physicochemical properties of naproxen systems with amorphous-cyclodextrin-
epichlorohydrin polymers. J Pharm and Bio Anal. 2002.29:1015-24.
Sugimoto M, Okayagi T, Narisawa S, Koida Y, Nakajima K. Improvement of
dissolution characteristics and bioavailability of poorly water soluble drugs by
novel co-grinding method using water soluble polymer. Int J Pharm 1998. 160:
11-9.
Zaini E, Halim A, Soewandhi SN, Setyawan D. Peningkatan laju pelarutan trimetoprim
melalui metode kokristalisasi dengan nikotinamida. Jurnal Farmasi Indonesia.
2011.5(4):205-12.

13
B. REVIEW JURNAL SOLID
Formulation And Evaluation Of Novel Lipid Based Solid Self Nano
Emulsfying Drug Delivery System Of Repaglinide
I. PENDAHULUAN
SNEDDS adalah solusi stabil isotropik dan termodinamik yang terdiri dari
minyak, surfaktan, co-surfaktan dan campuran obat yang secara spontan membentuk
emulsi nano air dalam minyak bila dicampur dengan air sambil diaduk perlahan.
Prinsip dasar dari sistem ini adalah kemampuannya untuk membentuk emulsi nano
minyak dalam air (o/w) dalam agitasi lembut setelah pengenceran oleh fase berair.
Pembentukan emulsi spontan dalam saluran GI ini menyajikan obat dalam bentuk
terlarut, dan ukuran kecil tetesan yang terbentuk menyediakan area permukaan
antarmuka yang besar untuk penyerapan obat. Khusus untuk zat BCS kelas II,
bioavailabilitas dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kelarutan dan laju disolusi
obat dalam cairan gastro-intestinal. SNEDDS umumnya dikemas baik dalam kapsul
gelatin keras atau lunak. SNEDDS dapat berinteraksi dengan kapsul yang menghasilkan
kerapuhan atau kelembutan shell. Untuk mengatasi masalah ini SNEDDS perlu
dikonversi ke SNEDDS Padat. Banyak teknik yang ditawarkan untuk mengubah
SNEDDS cair konvensional menjadi padat seperti adsorpsi ke pembawa padat,
pengeringan semprot, pendinginan semprot, granulasi leleh, penguapan putar,
pengeringan beku dan homogenisasi tekanan tinggi 11,12,13,14. Tetapi proses adsorpsi
sederhana dan hanya melibatkan penambahan formulasi cair ke pembawa padat dengan
mencampurkan dalam blender. Bubuk yang dihasilkan kemudian dapat diisi langsung
ke dalam kapsul atau dicampur dengan eksipien yang sesuai sebelum kompresi ke
dalam tablet. mencapai ini dengan menutup saluran kalium ATP-dependen dalam
membran sel beta. Ini mendepolarisasi sel beta, membuka saluran kalsium sel, dan
masuknya kalsium yang dihasilkan menginduksi sekresi insulin. Repaglinide termasuk
obat kelas II dalam klasifikasi BCS. Kelarutan Repaglinide dalam medium berair sangat
rendah. Waktu paruh Repaglinide adalah 1 jam yang sangat rendah. Ini menghasilkan
bioavailabilitas yang buruk setelah pemberian oral. Oleh karena itu perlu untuk
meningkatkan kelarutan dan laju disolusi Repaglinide dalam air. Tujuan utama dari
penelitian ini adalah untuk merumuskan, mengembangkan dan mengevaluasi formulasi

14
S-SNEDDS optimal yang mengandung Repaglinide dengan teknik adsorpsi
menggunakan Neusillin US2 sebagai pembawa padat.

II. METODE
Karakterisasi SNEDDS Cair
Studi kelarutan:
1 gram masing-masing oli, surfaktan, co-surfaktan dan ko-pelarut terpilih
ditambahkan dalam botol kaca. Jumlah kelebihan obat ditambahkan ke setiap vial dan
dicampur dengan mmenggunakan mixer vortex. Campuran ini disimpan pada suhu 25oC
selama 72 jam pada pengocok rotari untuk mencapai kesetimbangan. Sampel yang
diseimbangkan dikeluarkan dari shaker dan disentrifugasi pada 3000 rpm selama 15
menit untuk memisahkan obat yang tidak larut. Supernatan diambil dan disaring melalui
filter 0,45 mm. Aliquot supernatan diencerkan dengan metanol dan dianalisis untuk obat
terlarut dengan Spektrometri UV.
Diagram fase terner semu:
Untuk menentukan zona konsentrasi komponen emulsi mikro, diagram fasa
pseudoternary minyak, surfaktan dibangun menggunakan metode titrasi air pada suhu
kamar. Berdasarkan studi kelarutan obat dalam minyak, surfaktan, co surfaktan dan fase
air dikelompokkan ke dalam empat kombinasi yang berbeda untuk studi. Surfaktan dan
co-surfaktan dicampur dalam rasio berat yang berbeda. Campuran surfaktan dan co-
surfaktan dicampur dengan minyak pada rasio berat yang berbeda. Titrasi dilakukan
dengan menambahkan sedikit air dalam peningkatan 5% pada setiap campuran dengan
pengocokan mekanis dengan campuran vortex. Sampel disisihkan untuk kesetimbangan.
Setelah kesetimbangan, sampel diamati secara visual untuk transparansi dan
diklasifikasikan sebagai emulsi kasar, bening dan mikro.
Persiapan SNEDDS Cair
Rasio surfaktan / co-surfaktan dan rasio minyak / S / CoS dipilih dari diagram
fase terner. Serangkaian formulasi disiapkan oleh berbagai konsentrasi minyak,
surfaktan dan cosurfaktan. Minyak dan surfaktan ditimbang sesuai sifat dan obat
dilarutkan dalam campuran ini dengan menggunakan campuran vortex dan disimpan
pada suhu kamar sampai digunakan lebih lanjut.

15
Persiapan SNEDDS Padat
S-SNEDDS dibuat dengan mencampurkan SNEDDS cair terpilih yang
mengandung
Repaglinide dengan Neusilin US2 dalam proporsi 2: 1. SNEDDS cair Repaglinide
diadsorpsi ke Neusillin US2 dengan pencampuran fisik dalam mortar dan alu kecil.
Massa basah yang dihasilkan dilewatkan melalui ayakan no. 120 dan dikeringkan pada
suhu kamar.

Tes dispersibilitas
Dalam metode ini, volume formulasi yang telah ditentukan (0,2 ml) dimasukkan
ke dalam 300 ml air dalam gelas kimia yang dipertahankan pada suhu 37 OC, dan isinya
dicampur dengan lembut menggunakan pengaduk magnetik. Kecenderungan untuk
mengemulsi secara spontan dan perkembangan tetesan emulsi diamati.
Analisis ukuran tetesan dan Potensi Zeta
Ukuran tetesan merupakan faktor penting dalam kinerja emulsifikasi diri karena
menentukan tingkat dan tingkat pelepasan obat, serta stabilitas emulsi. Zeta potensial
digunakan untuk mengidentifikasi muatan tetesan. Besarnya potensi zeta merupakan
indikasi tentang stabilitas sistem koloid. Ukuran tetesan dan potensi zeta emulsi
ditentukan oleh spektroskopi korelasi foton yang menganalisis fluktuasi hamburan
cahaya karena gerakan partikel Brown dengan menggunakan zetasizer. Hamburan
Cahaya dipantau pada 25 OC pada sudut 90 OC.
Studi Stabilitas Termodinamik 15
Untuk mengevaluasi stabilitas formulasi Sentrifugasi, siklus pembekuan dan
pencairan digunakan. Semua formulasi dijaga pada -4OC selama 24 jam dan kemudian
disimpan pada 40 OC selama 24 jam dan siklus diulang 3 kali. Kemudian sampel
disentrifugasi selama 30 menit dengan 5000 rpm dan diamati pemisahan fasa.
Pemisahan fase
Studi pemisahan fase menunjukkan bahwa semua formulasi yang dikenakan
untuk penelitian ini stabil di 0,1 N HCl dan air suling. Tidak ada tanda-tanda pemisahan
fase dalam 2 jam, yang menunjukkan pembentukan emulsi stabil.

16
% Transmisi
1 mL SNEDDS Cair diencerkan menjadi 100 mL air suling dan diamati untuk
setiap kekeruhan dan% transmitansi sistem diukur pada 593 nm menggunakan
spektrofotometer UV yang menjaga air suling kosong.
Studi Pembubaran
Pelepasan obat Studi dari Liquid SNEDDS dilakukan dengan menggunakan
USP XXIV, alat disolusi II. Formulasi diisi dalam kapsul dan dimasukkan ke dalam alat
disolusi yang mengandung 100 ml HCl 0,1N pada 37 ± 0,5 OC. Kecepatan dayung
disesuaikan hingga 50 rpm. Pada interval waktu yang telah ditentukan 5, 10, 15, 30, 45
dan 60 menit, sebuah alikuot (5 ml) sampel dikumpulkan dan diganti dengan volume
yang sama dari media dengan suhu yang disetimbangkan. Sampel disaring dan
dianalisis secara spektrofotometri pada 232 nm.
Karakterisasi SNEDDS Padat
Sudut istirahat
Metode corong tetap digunakan untuk mengukur sudut istirahat SNEDDS.
Sebuah corong diamankan dengan ujungnya pada ketinggian tertentu, H di atas kertas
grafik yang ditempatkan pada permukaan horizontal yang datar. SNEDDS dengan hati-
hati dituangkan melalui corong sampai puncak tumpukan kerucut hanya menyentuh
ujung corong. Jari-jari, R, dari pangkal kerucut diukur. Sudut istirahat (θ) dihitung
menggunakan rumus berikut
θ = tan-1 H / R
Di mana θ = Sudut istirahat, H = Tinggi tiang dan R = Radius tiang
Kepadatan massal, Kepadatan yang disadap, Indeks Kompresibilitas dan Rasio
Hausner
1 gram material kemudian dimasukkan ke dalam silinder 25 ml kering, tanpa
pemadatan, SNEDDS diratakan dengan hati-hati tanpa pemadatan dan volum semu
yang tidak pasti, V 0, dibaca. Setelah melakukan prosedur seperti yang diberikan dalam
pengukuran kerapatan curah, silinder yang berisi SNEDDS disadap menggunakan alat
uji kerapatan mekanik yang disadap. Awalnya, silinder disadap 500 kali diikuti dengan
keran tambahan 750 dan 1250 kali sampai selisih antara pengukuran yang berhasil
kurang dari 2% dan volume yang disadap, V diukur ke unit lulus terdekat. Kepadatan

17
massal dan kepadatan yang disadap dihitung, dalam g / mL, menggunakan formula Bulk
Density (BD) = Berat bubuk / Volume Pengepakan
Tapped Density (TD) = Berat bubuk / Volume Tapped Packing
Indeks Kompresibilitas (indeks Carr, CI) dan rasio Hausner adalah ukuran
kecenderungan SNEDDS untuk dikompresi. Dengan demikian, mereka adalah ukuran
relatif pentingnya interaksi antarpartikulat. Dalam SNEDDS yang mengalir bebas,
interaksi seperti itu umumnya kurang signifikan, dan bulk dan densitas yang disadap
akan menjadi nilai yang lebih dekat. Untuk material yang mengalir buruk, umumnya
ada interaksi antarpartikel yang lebih besar, dan dengan demikian perbedaan yang lebih
besar antara bulk dan kepadatan yang disadap akan layak. Perbedaan-perbedaan ini
tercermin dalam Indeks kompresibilitas dan Rasio Hausner yang dihitung menggunakan
rumus berikut
Indeks Kompresibilitas Carr (CI) = (TD-BD) / TD X 100
Rasio Hausner = TD / BD
Penentuan kadar obat:
Konten repaglinide dalam S-SNEDDS diperkirakan menggunakan metode UV.
S-SNEDDS dilarutkan dalam jumlah metanol yang cukup. Larutan disonikasi selama 10
menit untuk ekstraksi obat dalam metanol dan disaring. Absorbansi filtrat dibaca pada
232 nm pada UV-Visible Spectrophotometer dan absorbansi dicatat.
Studi Kompatibilitas eksipien obat
Spektroskopi IR dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer FTIR dan
spektrum direkam di wilayah 4000 hingga 400 cm-1. Sampel padat dicampur dengan
kalium
bromida dan dikompresi ke dalam cakram dengan memberikan tekanan. Disc
terkompresi ditempatkan di jalur cahaya dan spektrum diperoleh.
Studi Pelepasan Obat In Vitro
Studi disolusi in-vitro dari S-SNEDDS dan obat murni dilakukan dengan
menggunakan alat uji disolusi USP tipe-2 dalam 100 mL HCl 0,1N pada suhu 37 ±
0,5OC dengan kecepatan putar 50 rpm. Sampel 5 mL diambil dengan interval waktu
reguler 5, 10, 15, 30, 45 dan 60 menit dan disaring menggunakan filter 0,45μm. Volume
yang sama dari

18
media disolusi ditambahkan untuk mempertahankan volume. Konten obat dari sampel
dianalisis menggunakan spektrofotometer UV pada 232 nm.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


Studi Kelarutan
Studi kelarutan dilakukan untuk mengidentifikasi minyak, surfaktan dan co-
surfaktan yang cocok yang memiliki kapasitas pelarutan yang baik untuk Repaglinide.
Mengidentifikasi oli yang cocok, surfaktan / co-surfaktan yang memiliki potensi
pelarutan maksimal untuk obat yang sedang diselidiki sangat penting untuk mencapai
pemuatan obat yang optimal dan juga untuk meminimalkan volume akhir SNEDDS.
Kelarutan obat diuji dalam minyak yang berbeda, surfaktan dan co-surfaktan. Di antara
minyak bekas, minyak zaitun dan Miglyol menunjukkan kelarutan maksimum. Di antara
berbagai surfaktan yang disaring, Cremophore RH 40 menunjukkan pelarutan yang baik
untuk Repaglinide di mana sebagai di antara berbagai co-surfaktan, Capryol 90 dan
Labrasol menunjukkan potensi pelarutan tertinggi untuk Repaglinide
Diagram fase terner semu
Diagram fase terner semu dibuat untuk setiap kombinasi surfaktan / co-
surfaktan. Diagram fase terner pseudo digunakan untuk mengidentifikasi daerah
nanoemulsi. Daerah emulsifikasi diri ditentukan oleh pengamatan visual untuk
spontanitas emulsifikasi, kejernihan, warna dan stabilitas. Dari diagram fase
disimpulkan bahwa peningkatan kadar minyak meningkatkan ukuran partikel secara
proporsional dan menghasilkan emulsi kasar. Dengan menurunnya co-emulsifier
konsentrasi, area berkurang sedikit. Formulasi self-nanoemulsifying dapat diperoleh
dalam kondisi rasio surfaktan: co-surfaktan dari 3: 1 sampai 4: 1, dan rasio oli:
(Surfaktan: cosurfaktan) sama dengan 1: 9, 2: 8.
Karakterisasi SNEDDS Cair
Tes dispersibilitas
Itu in-vitro kinerja SNEDDS secara visual dinilai menggunakan sistem penilaian
dan ditemukan bahwa, SNEDDS cepat membentuk emulsi mikro dalam 1 menit yang
jelas dan sedikit kebiruan dalam penampilan sesuai grade A
Analisis ukuran tetesan dan Potensi Zeta
Distribusi ukuran tetesan dan potensi zeta dari SNEDDS ditentukan dengan
menggunakan zetasizer. Ukuran tetesan rata-rata relatif lebih kecil untuk formulasi

19
SNEDDS yang mengandung fase minyak zaitun, Cremophore RH 40 sebagai surfaktan,
dan Capryol 90 sebagai ko-surfaktan daripada formulasi lain. Gaya elektrostatik tetesan
nanoemulsion sangat penting untuk menilai stabilitas formulasi SNEDDS. Beberapa
penelitian telah melaporkan
bahwa potensi zeta memainkan peran penting dalam interaksi komponen formulasi
dengan lendir saluran pencernaan. Peningkatan kekuatan repulsif elektrostatik antara
tetesan nanoemulsi mencegah koalesensi tetesan nanoemulsi, dan penurunan kekuatan
repulsif elektrostatik akan menghasilkan Pemisahan fase.
Studi Stabilitas Termodinamik:
Studi stabilitas termodinamika dilakukan dengan menggunakan metode
pembekuan, pencairan dan sentrifugasi. Atas dasar studi stabilitas termal dinamis
ditemukan bahwa semua formulasi disahkan dan dipilih untuk karakterisasi lebih lanjut.
Pemisahan fase:
Pemisahan fase dilakukan dengan kelebihan air, buffer fosfat standar PH 6,8 dan
0,1N HCl dan disimpan selama 12 jam. Ditemukan bahwa, semua formulasi tidak
menunjukkan tanda-tanda presipitasi atau pemisahan fasa dan dengan demikian,
dikatakan 'kuat terhadap pengenceran’.
Karakterisasi SNEDDS Padat
Sudut istirahat
Sudut istirahat SNEDDS padat ditentukan dengan metode corong. Sudut
istirahat S1
dan S 2 ditemukan 24,2 dan ditemukan 24,2 dan 21,8 masing-masing yang merupakan
indikasi sifat aliran yang baik.
Bulk Density, Tapped Density, Compress Hausner, Kompresibilitas, dan Rasio
Densitas curah dan kepadatan formulasi S1 dan S2 masing-masing ditemukan
1,25, 1,53, 1,38 dan 1,72. Indeks S1 dan S2 Carr ditemukan masing-masing 18,3 dan S2
ditemukan masing-masing 18,3 dan 19,2 yang menunjukkan kompresi yang baik. Rasio
Hausner ditentukan untuk karakterisasi aliran bubuk S-SNEDDS.
Penentuan kadar obat
Konten repaglinide dalam S-SNEDDS diperkirakan menggunakan metode UV.
Konten obat dalam S 1 dan S 2 ditemukan masing-masing 88,9% dan 86,8%.
Studi Kompatibilitas eksipien obat

20
Spektra FT-IR terutama digunakan untuk menentukan interaksi antara obat dan
salah satu eksipien yang digunakan. Kehadiran interaksi terdeteksi oleh hilangnya
kelompok fungsional yang penting dari obat. Repaglinide memiliki puncak penyerapan
karakteristik pada 3026,71 cm penyerapan karakteristik pada 3026,71cm- 1, 1688cm- 1,
1586.86cm- 1, 1566.80cm- 1, 1148 cm 1148cm- 1, 3097cm- 1 dan 3413.19cm- 1
masing-masing. Puncak serupa diamati dalam spektrum S-SNEDDS, bersama dengan
tidak adanya puncak yang mengganggu yang menunjukkan tidak ada reaksi antara
Repaglinide dan lainnya yang digunakan dalam penelitian ini. HCl ditemukan masing-
masing 95,4% dan 93,1% dan obat polos 61,9%. Ini menunjukkan bahwa pelepasan
obat dari S-SNEDDS ditemukan secara
signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan obat biasa

IV. KESIMPULAN
Formulasi yang dimuat Repaginate yang dioptimalkan terdiri dari minyak Zaitun
(19,8%), Cremophore RH 40 (62,2%), Capryol 90 (16,6%) dan Miglyol (9,6%),
Cremophore RH 40 (74,3%), Labrasol (15,7%), komposisi dipilih berdasarkan uji
dispersibilitas dan studi kelarutan. Dari analisis ukuran tetesan disimpulkan bahwa
formulasi milik SNEEDS dan pembubaran bentuk SNEDDS dari Repaginate
menunjukkan profil disolusi yang lengkap dan lebih cepat dibandingkan dengan obat
murni dan sama dengan formulasi yang dipasarkan. Studi stabilitas termodinamika
menunjukkan tidak ada pemisahan fasa.

Referensi :
EI Taha, S Al-Saidan, AM Samy, MA Khana, Int J Pharm., 2004,285, 109–19.
Robinson JR. Pendahuluan: formulasi semi-padat untuk pemberian obat oral. Bull Tech
Gattefosse. 1996; 89: 11–3.
S Sheikh, F Shakeel, S Talegaonkar, FJ Ahmad, RK Khar, M Ali, Eur J Pharm
Biopharm., 2007,66, 227–43.
SC Chi, Peningkatan laju disolusi biphenyl dimethyl dicarboxylate menggunakan
SMEDDS, BT Gattefosse. 92 (1999) 75–80.
SX Cui, SF Nie, L. Li, CG Wang, WS Pan, JP Sun, Persiapan dan evaluasi sistem
pengiriman obat self-microemulsifying yang mengandung Vinpocetine,
Biol.Pharm. Banteng. 31 (2008) 118-125.

21
Pengembangan Sistem Penghantaran Obat Solid Self- Emulsifying Mikropartikel
Gliklazid Untuk Meningkatkan Disolusi

I. PENDAHULUAN
Kelarutan obat merupakan faktor penting yang mempengaruhi jumlah obat yang
diabsorbsi, khususnya pada obat kelas II dalam system BCS (biopharmaceutics
classification system). Peningkatan laju disolusi dapat meningkatkan konsentrasi obat
dalam darah dan meningkatkan terapi. Banyak obat memiliki kelarutan dalam air yang
kecil, sehingga memiliki bioavailabilitas yang rendah. Gliklazid merupakan obat
hipoglikemik generasi kedua golongan sulfonilurea yang digunakan untuk mengobati
diabetes melitus tipe 2 (Biswal, Pasa, Sahoo dan Murthy PN, 2009). Gliklazid praktis
tidak larut dalam air dan menunjukkan laju disolusi intrinsik dan bioavailabilitas yang
rendah (Hiremath, 2008). Beberapa strategi formulasi telah dilakukan untuk mengatasi
permasalahan kelarutan obat seperti penggunaan pengecilan ukuran partikel,
pembentukan kompleks inklusi dengan siklodekstrin, pembentukan dispersi padat dan
penambahan surfaktan (Nekkanti, Karatgi, Prabhu, Pillai, 2010) serta pembentukanself-
emulsifying (Singh, 2008). Self-emulsifying adalah campuran minyak dan surfaktan,
yang dapat beremulsi secara spontan untuk menghasilkan partikel emulsi minyak dalam
air saat kontak dengan fase air dibawah pengaruh pengadukan (Patil, Praveen, Ranidan
Paradkar, 2005.). Pengubahan bentuk cair self-emulsifyingmenjadi bentuk padat (solid
self-emulsifying, SSE) dapat memberikan pilihan yang lebih luas dalam formulasi
sediaan padat seperti tablet, granul dan pelletself-emulsifying (Wong, Kellaway dan
Murdan, 2006). Bentuk padat dari self-emulsifyingdapat meningkatkan kelarutan,
bioavailabilitas, stabilitas dan reprodusibilitas serta penerimaan pasien (Tang B, Cheng
G, Gu JC dan Xu CH, 2008).

II. METODE
Bahan
Gliklazid diperoleh dari PT Pyridam Farma, Indonesia, Natrium Lauril Sulfat, Tween
80, Acrypoldiperoleh dari Corel Pharma Chem, metanol, etanol, NaOH HCl.
Alat
Buchi Mini Spray Dryer 190, Spektrofotometer UV VIS Shimadzu UV 1800, Particle
Size AnalyzerDelsaTMNano C,Differential Scanning CalorimeterPerkin Elmer DSC 6

22
(USA),X-Ray Diffractometer Philips APD 3520, FTIR (Shimadzu), Scanning Electron
Microscope LEO 420i,magnetic stirrer, Neraca analitik Shimadzu EB-330, dissolution
Tester Electrolab TDT-08L Cara Kerja Pembuatan Mikropartikel Self Emulsifying (SE)
Gliklazid Mikropartikel Gliklazid SEdibuat dengan menggunakan tiga jenis emulsifying
agent dengan berbagai perbandingan gliklazid : emulsifying agent yaitu acrypol (1:4);
tween 80 (1:2 dan 1:4); natrium lauril sulfat (1: 0,25; 1:0,5; 1:2 dan 1:4). Gliklazid
dilarutkan dalam 70 mL campuran etanol dan NaOH 0,1 N (1:1), emulsifying agent
dilarutkan dalam 30 mL aquadest dan masukkan masing-masing larutan emulsifying
agentke dalam larutan gliklazid, kemudian diaduk hingga homogen. Campuran larutan
gliklazid dan emulsifying agent dikeringkan menggunakanspray dryer. Bentuk dan
morfologi sampel dilakukan menggunakanscanning electron microscopy (SEM).
Particle Size Analyzer
Ukuran dan distribusi ukuran gliklazid standard dan mikropartikel SE gliklazid
diukur dengan particle size analyzer, Beckman Coulter, DelsaTM Nano).
Difraksi Sinar-X
Gliklazid standard dan mikropartikel SE gliklazid dikarakterisasi menggunakan
difraktometer sinar-X Philips APD 3520, dengan Cu sebagai anoda dan grafit
monokromator, dioperasikan pada tegangan 40 kV; arus 20 mA. Sampel dianalisis pada
2θ, rentang sudut 5 -70º.
Differential Scanning Calorimetry (DSC)
Differential Scanning Calorimetry (DSC) digunakan untuk analisis termal
terhadap sampel gliklazid standar dan mikropartikel SE gliklazid. Sebanyak 5 mg
sampel diletakkan pada silinder aluminium berdiameter 5 mm. Pengukuran dilakukan
pada rentang suhu 30ºC-350ºC dengan kenaikan suhu 10ºC/menit.
Uji Kelarutan Gliklazid
Ditimbang 20 mg sampel gliklazid standard dan mikropartikel gliklazid SE
setara dengan 20 mg gliklazid, lalu masukkan ke dalam 250 ml aquadest dalam beaker
glass, kemudian dilakukan pengadukan dengan menggunakan pengaduk magnetik
kecepatan 150 rpm pada suhu kamar. Pengambilan sampel dilakukan pada 15; 30; 45
menit, 1; 2; 3 dan 4 jam, sebanyak 5 ml dan disaring dengan membran filter. Setiap kali
pengambilan sampel ditambahkan 5 ml larutan medium dengan suhu yang sama.
Serapan diukur mengpanjang gelombang 225 nm.

23
Uji disolusi
Uji disolusi dilakukan menurut metode Hiremath, et.al.Ditimbang gliklazid
standard sejumlah + 20 mg dan mikropartikel gliklazidSE setara dengan + 20 mg
gliklazid murni. Uji disolusi menggunakan alat tipe 2 pada suhu 37 oC + 0,5oC dalam
medium 900 ml HCl 0,1 N, kecepatan 50 rpm. Pengambilan sampel dilakukan pada 15,
30, 45, dan 60 menit sebanyak 10 ml. Setiap pengambilan sampel ditambahkan medium
sebanyak 10 ml dengan suhu yang sama. Sampel diukur serapannya dengan
menggunakan alat spektrofotometer UV VIS pada panjang gelombang 228,6 nm.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


Dari ketiga jenis surfaktan yang digunakan, hanya larutan GL-SLS yang
menghasilkan bentuk serbuk pada proses semprot kering. Pada larutan GL-Acrypol
menghasilkan padatan yang bergumpal, sedangkan larutan GL-Tween tidak dapat
menghasilkan serbuk padat. Jumlah prosentase mikropartikel GL-SLS 0,25; GL-SLS
0,5; GL-SLS 2 dan GL-SLS 4 berturut-turut adalah 90,08%; 84,13%; 59,93% dan
63,84% dihitung terhadap serbuk awal yang digunakan. Hasil analisis ukuran partikel
menggunakan PSA menunjukkan bahwa gliklazid std memiliki diameter rata-rata 14,1
μm, sedangkan mikropartikel gliklazid SESLS, 13,97 μm. SE-SLS 1 550 nm μm.
SESLS 2 140 nm. SE-SLS 3 46,4 nm. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pembentukan
mikropartikel gliklazid SE dapat menurunkan ukuran partikel gliklazid. Grafik
distribusi ukuran partikel juga menunjukkan bahwa mikropartikel GL-SLS memiliki
rentang ukuran partikel yang sempit. Analisis difraksi sinar X menunjukkan pola
difraksi sinar X mikropartikel gliklazidS mirip dengan gliklazid standard, tetapi puncak-
puncak difraksi pada sampel mikropartikel GL SE lebih kecil/rendah dibanding GL std.
Penurunan intensitas puncak pada mikropartikel SE GL merupakan hasil pengurangan
kisi atau bidang dari kristal gliklazid setelah mengalami proses solid self-emulsifying
dengan cara semprot kering. Tinggi puncak dipengaruhi oleh ukuran kristal dan
kristalinitas (M Gibson, 2001). Hasil pengujian XRD ini, menunjukkan bahwa
kristalinitasmikropartikel SE GL lebih rendah dibandingkan GL std, dan memiliki
sistem kristal yang sama. Hasil analisis termal menggunakan DSC menunjukkan
terjadinya penurunan suhu lebur gliklazid dalam mikropartikel SE. Suhu lebur gliklazid
murni 170,4ºC dengan entalpi leburan 119 J/g. Sedangkan suhu lebur gliklazid dalam
mikropartikel GL-SLS 0,25; GL-SLS 0,5 dan GL-SLS 2 berturut-turut 129,9ºC;

24
131,3ºC, dan 137,1ºC. Hasil termogram juga menunjukkan terjadinya penurunan yang
signifikan terhadap perubahan entalpi solid self-emulsifying dibandingkan dengan
gliklazid murni. Entalpi leburan gliklazid untuk gliklazid-SLS 14,9 J/g, 24,1 J/g, 14,1
J/g. Energi yang dibutuhkan untuk meleburkan ketiga sampel serbuk gliklazid hasil
solid self-emulsifying lebih kecil dibandingkan dengan Hasil pengujian kelarutan
menunjukkan bahwa mikropartikel gliklazid Sememiliki kelarutan yang lebih besar
dibandingkan dengan gliklazid standard. Pada 15 menit pertama prosentase jumlah
gliklazid yang terlarut dari mikropartikel GL-SLS 0,25; 0,5; 2 dan 4 berturut-turut
sebesar 76,35; 85,53; 86,81 dan 94,16% jauh melebihi jumlah gliklazid standar yang
hanya 1,24 %. Kelarutan gliklazid paling tinggi terdapat pada larutan GL-SLS
4.Semakin banyak konsentrasi SLS yang digunakan, maka semakin besar
kelarutannya.Hasil kelarutan juga didukung oleh data pengujian ukuran partikel dan
difraksi sinar X. Hasil PSA menunjukkan bahwa mikropartikel gliklazid SE memiliki
ukuran partikel yang lebih kecil dibandingkan dengan gliklazid standard. Semakin kecil
ukuranpartikel akan meningkatkan luas permukaan spesifik partikel sehingga
meningkatkan kelarutan zat. Hasil analisis difraksi sinar X juga menunjukkan bahwa
mikropartikel gliklazid SE memiliki derajat kristalinitas yang lebih kecil dibandingkan
gliklazid standard, sehingga memiliki kelarutan yang lebih besar.energi yang
dibutuhkan untuk meleburkan gliklazid murni. Hasil pengujian disolusi menunjukkan
mbahwa disolusi mikropartikel gliklazid SE lebih tinggi dibandingkan gliklazid std.
Pada 15 menit pertama prosentase jumlah gliklazid yang terlarut dari mikropartikel GL-
SLS 0,25; 0,5; 2 dan 4 berturut-turut sebesar 56,9; 71,18; 80,59 dan 107,57% jauh
melebihi jumlah gliklazid standar yang hanya 8,53 %.Semakin banyak konsentrasi SLS
yang digunakan, maka semakin besar kelarutannya karena SLS merupakan surfaktan
yang hidrofilik.SLS dapat menurunkan sudut kontak gliklazid saat dilarutkan dalam air,
sehingga pembasahan gliklazid meningkat.Oleh karena itu, laju disolusi menjadi
meningkat, namun jumlah surfaktan yang tinggi dapat menyebabkan iritasi saluran
pencernaan.

IV. KESIMPULAN

25
Pembuatan sediaan mikropartikeL gliklazid self emulsifying menggunakan
surfaktan acrypol dan tween 80 tidak dapat menghasilkan bentuk serbuk. Penggunaan
natrium lauril sulfat pada pembuatan mikropartikel gliklazid selfemulsifying dapat
menurunkan ukuran partikel, derajat kristalinitas serta meningkatkat kelarutan dan
kecepatan disolusi gliklazid.
Referensi :
Biswal S, Pasa GS, Sahoo J, dan Murthy PN. 2009. An Approach for Improvement of
the Dissolution Rate of Gliclazide. Royal College of Pharmacy and Health
Science, 15-20
Hiremath SN, Raghavendra RK, Sunil F, Danki MV, Swamy PV, dan Bhosale UV.
2008. Dissolution Enhancement of Gliclazide by Preparation of Inclusion
Complexes with β–cyclodextrin. Asian J. of Pharm Sci, 73-76
M Gibson. 2001. Pharmaceutical Preformulation and Formulation—a PracticalGuide
from Candidate Drug Selection to Commercial Dosage Form, HIS Health
Group, Englewood.
Nekkanti V, Karatgi P, Prabhu R, Pillai R. 2010. Solid self-microemulsifying
formulation for candesartan cilexetil, AAPS Pharm SciTech, 11(1); 9-17
Patil PR, Praveen S, Rani RHS, dan Paradkar AR. 2005. Bioavailability Assessment of
Ketoprofen Incorporated in Gelled Self-emulsifying Formulation: A Technical
Note. AAPS (1), E9-E13
Singh AK, Chaurasiya A, Singh M, Upadhyay SC, Mukherjee R dan Khar K. Tang B,
Cheng G, Gu JC dan Xu CH. 2008. Development of Solid Self-Emulsifying Drug
Delivery Systems: Preparation Techniques and Dosage Forms. Drug Discovery
Today 13, 606-612
Wong SM, Kellaway IW, dan Murdan S. 2006. Enhancement of the Dissolution Rate
and Oral Absorption of a Poorly Water Soluble Drug by Formation of
Surfactant-containing Microparticles. International Journal of Pharmaceutics
317, 61–68.

26
Pembentukan Sistem Dispersi Padat Amorf Azitromisin Dihidrat dengan
Hikroksipropil Metilselulosa (HPMC)
I. PENDAHULUAN
Azitromisin merupakan senyawa antibiotik turunan makrolida dan salah satu
senyawa
antibiotik yang paling populer digunakan di dunia. Senyawa antibiotik diberikan secara
oral untuk mengobati infeksi pada bronkus, infeksi kulit dan peradangan pada tonsil.
Namun azitromisin memiliki kelarutan yang rendah dalam air, sehingga absorpsinya
setelah pemberian oral sangat rendah, yang akan mempengaruhi efektivitas
terapetiknya. Berdasarkan sistem klasifikasi biofarmasetika, obat ini masuk kategori
kelas II, yaitu obat dengan kelarutan rendah dan permeabilitas tinggi. Proses absorpsi
obat ini dalam saluran cerna akan dibatasi oleh tahap disolusi. Peningkatan laju disolusi
obat kelas ini akan secara bermakna meningkatkan ketersediaan hayati dalam plasma.
Beberapa teknik telah dilakukan untuk memperbaiki kelarutan dan laju disolusi senyawa
obat yang sukar larut dalam air, diantaranya, pengurangan ukuran partikel
(micronization), pembentukan fase multikomponen kristal dan desain sistem dispersi
padat. Secara umum sistem dispersi padat merupakan, dispersi senyawa aktif farmasi
dalam bentuk molekular, fase amorf atau partikel halus dalam pembawa inert yang
berada dalam keadaan padat. Polimer hidrofilik lazim digunakan sebagai pembawa
dalam sistem dispersi padat antara lain; PVP K-30, PEG 3000 dan 6000 serta polimer
turunan selulosa (HPC dan HPMC). Tujuan dari penelitian ini, adalah mendesain
pembentukan sistem dispersi padat azitromisin dihidrat dengan polimer hikroksipropil
metilselulosa dengan metode pelarutan. Perbandingan obat dengan polimer dibuat 1:2;
1:1 dan 2:1. Serbuk sistem dispersi padat dikarakterisasi sifat padatannya dengan analisa
difraksi sinar-X serbuk, mikroskopik dengan Scanning Electron Microscope (SEM) dan
spekroscopi FT-IR. Peningkatan laju disolusi azitromisin dihidrat dari sistem dispersi
padat dievaluasi dengan penentuan profil laju disolusi dalam medium disolusi.

II. METODE

27
Azitromisin dihidrat diperoleh dari Baoji Guakang Bio-Technology Co.Ltd,
China. Hidroksipropil metilselulosa (HPMC E5LV) diperoleh dari Wuhan Senwayer
Century Chemical Co.Ltd., China. Etanol 96% diperoleh dari PT.Bratachem. Asam
klorida dan metanol diperoleh dari Merck, Germany.
Pembuatan sistem dispersi padat
Sistem dispersi padat azitromisin dan HPMC dengan perbandingan 1:2; 1:1 dan
2:1 b/b dibuat dengan metode pelarutan. Azitromisin dan polimer dilarutkan dalam
etanol 96 % dengan bantuan pengaduk magnetik. Kemudian larutan diuapkan dalam
oven vakum pada suhu 40-50 °C sampai kering dan massa yang terbentuk digerus dan
dilewatkan melalui ayakan mesh 70. Dan disimpan dalam desikator. Sebagai
pembanding juga dibuat campuran fisika azitromisin dan HPMC pada perbandingan
1:1, dengan pencampuran ringan menggunakan spatula.
Analisis difraksi sinar-X serbuk
Perubahan sifat padatan sistem dispersi padat diamati dengan analisa difraksi
sinar-X serbuk, dengan menggunakan diffraktometer sinar-X N (X’Pert XRD Powder
type PW 30/40 PANalytical, The Netherlands). Serbuk sistem dispersi padat,
azitromisin dan campuran fisika diletakkan dalam sampel holder serta diratakan untuk
mencegah orientasi partikel serbuk. Analisis dilakukan pada sudut difraksi 2 theta 5-
50°. Kondisi pengukuran sebagai berikut; logam target Cu, Kα filter, voltase 45 kV dan
arus 40 mA.
Analisis morfologi partikel dengan Scanning Electron Microscope (SEM)
Pengamatan morfologi partikel dilakukan dengan alat SEM (HITACHI type S-
3400N,
Japan). Serbuk disalut dengan lapisan tipis gold palladium pada kondisi vakum.
Kemudian sampel serbuk discan dan mikrofoto diambil dengan alat SEM pada
perbesaran yang tepat.
Analisis spektroskopi FT-IR
Spektrum inframerah azitromisin, sistem dispersi padat dan campuran fisika
diperoleh dengan alat Spektrofotometer FT-IR (Thermo Scientific, USA). Sample
didispersikan dalam serbuk kalium bromida dan dikompressi menjadi pellet. Spektrum
sampel direkam pada bilangan gelombang 400-4000 cm-1.
Profil laju disolusi

28
Penentuan profil laju disolusi azitromisin dilakukan dengan menggunakan alat
disolusi USP tipe II (Copley, Scientific Type NE4-COPD, UK). Medium yang
digunakan larutan 0,1 N asam klorida sebanyak 900 mL. Kecepatan pengadukan diatur
pada 75 putaran per menit. Suhu medium disolusi dipertahankan pada 37±0,5°C.
Sampel yang setara dengan 250 mg azitromisin dihidrat dimasukkan dalam labu
disolusi. Kadar azitromisin yang terlarut pada menit ke 5, 10, 15, 30, 45, dan 60
ditentukan secara spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang serapan
maksimum 208,4 nm. Pengujian dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


Senyawa obat yang sukar larut dalam air seringkali mengalami masalah absorpsi
dalam medium saluran cerna. Hampir 40 % lebih senyawa aktif obat memiliki sifat
kelarutan yang rendah dalam air dan lebih kurang 80-90 % kandidat bahan aktif obat
baik yang berasal dari alam maupun sintetis yang sedang dalam tahap riset dan
pengembangan di industri farmasi juga mengalami permasalahan kelarutan dalam air
yang rendah. Kelarutan dan laju disolusi senyawa obat padat akan mempengaruhi proses
absorbsi dalam medium saluran cerna dan pada akhirnya akan menyebabkan
ketersediaan hayati molekul obat dalam sirkulasi sistemik akan menurun. Beberapa
pendekatan dapat dilakukan untuk meningkatkan kelarutan dan laju disolusi diantaranya
dengan modifikasi sifat padatan senyawa obat padat dengan teknik sistem dispersi
padat. Pada sistem dispersi padat fase kristalin obat akan dirubah menjadi fase amorf
atau amorf sebagian. Fase amorf suatu senyawa padat merupakan bentuk yang kaya
energi (high energetic forms), yang memiliki kelarutan dan laju disolusi yang lebih
tinggi dari fase kristalinnya. Difraktogram sinar-X azitromisin dihidrat murni, campuran
fisika dan sistem dispersi padat dengan HPMC keberadaan sejumlah puncak-puncak
difraksi yang khas pada 2 theta: 16,58º; 18,70º, 19,73º; dan 20,77º menunjukkan
azitromisin dihidrat merupakan fase padat yang bersifat sangat kristalin. Difraktogram
polimer HPMC menunjukkan pola halo amorf yang khas untuk padatan polimerik dan
tidak puncak-puncak difraksi yang khas dan tajam. Pada difraktogram campuran fisika
azitromisin dihidrat dan HPMC 1:1, masih terlihat jelas puncak-puncak difraksi khas
dari azitromisin dihidrat, meskipun dengan intensitas yang lebih rendah. Pola
difraktogram sistem dispersi padat azitromisin dihidrat–HPMC, terlihat dengan jelas

29
penurunan intensitas puncak-puncak difraksi dari azitromisin dihidrat secara signifikan.
Semakin banyak perbandingan jumlah polimer hidrofilik HPMC, maka penurunan
derajat kristalinitas fase kristalin azitromisin dihidrat juga semakin besar. Hasil analisa
difraksi sinar-X serbuk menunjukkan senyawa obat padat azitromisin dihidrat
terdispersi secara homogen dalam bentuk fase amorf pada pembawa inert polimer
HPMC. Pada fase amorf, molekul-molekul senyawa obat tersusun secara acak dalam
kisi kisi kristalin, dan ikatan kisi-kisi kristal lemah. Oleh karenanya, fase amorf
memiliki kelarutan dan laju disolusi yang lebih tinggi dibandingkan fase kristalin.
Analisa mikroskopik dengan Scanning ElectronMicroscope untuk melihat morfologi
dan ukuran partikel sistem dispersi padat disajikan pada serbuk azitromisin dihidrat
murni terlihat berupa padatan kristal balok dengan permukaan bersih. Sedangkan
polimer HPMC berupa partikel dengan habit seperti serat serat yang memanjang dengan
distribusi ukuran partikel yang seragam. Mikrofoto SEM serbuk campuran fisika
merupakan gabungan habit kristal azitromisin dihidrat dan HPMC, sehingga secara jelas
masih bisa dibedakan masing-masingnya. Mikrofoto SEM sistem dispersi padat
menunjukkan penurunan distribusi ukuran
partikel serbuk secara bermakna, habit kristal senyawa azitromisin tidak bisa lagi
dibedakan
dari polimer HPMC. Secara umum partikel fase kristalin azitromisin dihidrat terdispersi
secarahomogen dalam pembawa polimerik HPMC. Analisa spekroskopi FT-IR
merupakan teknik yang handal untuk mendeteksi adanya interaksi antara senyawa obat
dengan pembawa pada sistem dispersi padat. Adanya puncak transmitan yang baru atau
terjadi pergeseran posisi puncak transmitan pada bilangan gelombang tertentu,
seringkali mengindikasikan adanya interaksi seperti ikatan hidrogen. Spektrum FT-IR
azitromisin dihidrat, HPMC, campuran fisika dan sistem dispersi padat. Spektrum
azitromisin dihidrat murni menunjukkan pola transmitan yang khas yaitu, regangan
gugus fungsi C=O pada bilangan gelombang 1720,58 cm-1, regangan asimetrik gugus
fungsi C-O-C pada bilangan gelombang 1378,88
cm-1; dan regangan simetrik gugus fungsi C-O-C 1343,95 cm-1 [1]. Spektrum FT-IR
campuran fisika dan sistem dispersi padat memiliki pola yang sama, hanya merupakan
superimposisi dari kedua transmitan senyawa azitromisin dan HPMC. Pola spektrum
pada daerah sidik jari (finger print) juga identik. Hal ini membeuktikan tidak terjadi

30
interaksi secara kimiawi antara senyawa azitromisin dihidrat dan polimer HPMC. Profil
disolusi serbuk azitromisin dihidrat murni, campuran fisika dan serbuk sistem dispersi
padat. Studi laju disolusi dilakukan pada medium larutan asam klorida 0,1 N dan suhu
dipertahankan pada
37±0,5°C. Berdasarkan hasil profil laju disolusi, sistem dispersi padat azitromisin
dihidrat-HPMC pada berbagai perbandingan polimer menunjukkan laju disolusi yang
lebih tinggi secara bermakna dibandingkan azitromisin murni dan campuran fisika.
Azitromisin dihidrat murni pada menit ke 60 hanya terdisolusi 59,38 %, sedangkan
campuran fisika pada menit ke 60 telah terdisolusi 75,33 %. Sistem dispersi padat
azitromisin-HPMC (perbandingan 2:1; 1:1; dan 1:2) pada menit ke 60 secara berturut
turut terdisolusi 87,53; 92,20 dan 102,12 %. Laju disolusi campuran fisika lebih tinggi
dari azitromisin dihidrat murni disebabkan oleh
adanya efek solubilisasi polimer hidrofilik HPMC dalam medium yang dapat
meningkatkan daya keterbasahan azitromisin dihidrat. Pada sistem dispersi padat
azitromisin dihidrat dalam polimer HPMC, zat aktif terdispersi secara homogen dalam
ukuran partikel yang halus dan bentuk amorf. Fenomena ini yang sangat berkontribusi
terhadap peningkatan laju disolusi azitromisin dihidrat dalam sistem dispersi padat.
Hasil penelitian ini konsisten dengan beberapa studi sebelumnya bahwa desain dan
formulasi sistem dispersi padat secara signifikan meningkatkan laju disolusi dan
kelarutan. Mekanisme yang terlibat dalam peningkatan laju disolusi senyawa obat yang
sukar larut air dari sistem dispersi padat adalah melalui pengurangan ukuran partikel
senyawa aktif obat, penurunan derajat kristalinitas (pembentukan fase amorf dan amorf
sebagian) dan peningkatan daya keterbasahan senyawa obat yang bersifat hidrofobik.

IV. KESIMPULAN
Dari Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa, pembentukan sistem dispersi
padat azitromisin dihidrat dalam pembawa HPMC dapat merubah derajat kristalinitas
azitromisin.
Sistem dispersi padat dengan pembawa polimer HPMC dapat sebagai alternatif menarik
untuk meningkatkan laju disolusi azitromisin dihidrat dalam medium disolusi.
Referensi:
Adeli, E. (2014). A comparative evaluation between utilizing SAS supercritical fluid
technique and solvent evaporation method in preparation of Azithromycin solid

31
dispersions for dissolution rate enhancement. The Journal of Supercritical
Fluids, 87, 9-21.
Vogt, M., Kunath, K., & Dressman, J. B. (2008). Dissolution enhancement of
fenofibrate by micronization, cogrinding and spray-drying: comparison with
commercial preparations. European Journal of Pharmaceutics and
Biopharmaceutics, 68(2), 283-288.
Dwichandra Putra, O., Yonemochi, E., & Uekusa, H. (2016). Isostructural
Multicomponent Gliclazide Crystals with Improved Solubility. Crystal Growth
& Design, 16(11), 6568-6573.
Fitriani, L., Haqi, A., & Zaini, E. (2016). Preparation and characterization of solid
dispersion freeze-dried efavirenz– polyvinylpyrrolidone K-30. Journal of
Advanced Pharmaceutical Technology & Research, 7(3), 105.
Chiou, W. L., & Riegelman, S. (1971). Pharmaceutical applications of solid dispersion
systems. Journal of pharmaceutical sciences, 60(9), 1281-1302.

32

Anda mungkin juga menyukai