Anda di halaman 1dari 4

A.

Anestesi
Istilah anestesia yang artinya hilangnya sensasi nyeri (rasa sakit) yang
disertai maupun tidak disertai hilangnya kesadaran. Obat yang digunakan untuk
menimbulkan anestesi disebut sebagai anestetik, dan kelompok obat ini dibedakan
atas anestetik umum dan anestetik lokal (Gunawan, 2017).
1. Anestesi Umum
Keadaan anestetik umum adalah suatu kondisi tidak ada persepsi pada
semua sensasi yang disebabkan oleh bobot. Anestetik umum terutama diberikan
melalui inhalasi dan injeksi intravena (IV). Cara pemberian ini memungkinkan
pengendalian dosis dan waktu terjadinya kerja obat (Stringer, 2015).
Anestesi umum di semua tingkat susunan saraf pusat bekerja dengan cara
mempengaruhi transmisi neuron, khususnya di sinaps yaitu dengan mengubah
pelepasan neurotransmitter maupun amplitudo impuls yang sampai ke
pascasinaps (Gunawan, Sulistia Gan.2017).
Anestetik umum dapat diberikan secara inhalasi atau injeksi intravena.
a. Anestesi Inhalasi
Gas inhalasi adalah penyokong utama anestesi dan terutama digunakan
untuk memelihara anestesi setelah pemberian suatu obat intravena. Anestesi
inhalasi mempunyai keuntungan yang tidak ada pada obat intravena, karena
kedalaman anestesi dapat diubah dengan cepat dan perubahan konsentrasi
anestetik inhalasi. Karena kebanyakan obat-obat ini cepat dieliminasi dari
badan, maka obat-obat ini tidak menyebabkan depresi pernapasan pasca
operasi (Harvey & Champe, 2010).
Contoh obat anestesi inhalasi yaitu: nitrogen monoksida, siklopropan, eter,
halotan, enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran, fluroksen, dan xenon
(Gunawan, 2017).
b. Anestesi Intravena
Anestesi intravena sering digunakan untuk mendapatkan induksi cepat
anestesi, yang kemudian dipelihara dengan obat inhalasi yang tersedia.
Anestesi intravena ini cepat menginduksi anestesi, dank arena itu harus
disuntikkan secara lambat. Sadar kembali dari aestetik intravena disebabkan
oleh redistribusi dari daerah SSP (Harvey & Champe, 2010).
Contoh obat anestesi intravena yaitu: barbiturate, benzodiazepine, opioid,
etomidat, dan propofol (Gunawan, 2017).
2. Anestesi Lokal
Anestetik lokal, obat-obat ini digunakan secara lokal dan memblok konduksi
saraf. Efek anestetik lokal bersifat reversible; penggunaannya diikuti pemulihan
sempurna fungsi saraf tanpa ada tanda kerusakan struktural (Stringer, 2015).
Anestesi lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf. Tempat
kerjanya terutama di mebran sel, efeknya pada askoplasma hanya sedikit
(Gunawan, 2017).
Anestetik lokal terbagi atas lima yaitu sintetik, sintetik lain, topikal, senyawa
ester, dan senyawa amida. Contoh obat sintetik yaitu prokain, lidokain, dan
bupivakain. Contoh obat sintetik lain yaitu dibukain, mepivakain HCl, tetrakain,
dan pilokain HCl. Contoh obat topikal yaitu benzokain dan EMLA. Contoh obat
senyawa ester yaitu kokain, benzikain, prokain, oksibuprokain, tetrakain,
lidokain, pilokain, mepivakain, dan bupivakain. Contoh obat senyawa amida
yaitu lidokain, endokain, dan dibukain (Gunawan, 2017 ; Tjay dan Rahardja,
2007).
Tahap-tahap anestesi menurut kedalaman depresi sistem saraf pusat:
1. Tahap Analgesia. Pada awalnya, penderita mengalami analgesia tanpa
amnesia. Analgesia dan amnesia akan terjadi pada akhir tahap pertama.
2. Tahap Eksitasi. Pada tahap ini, penderita akan mengigau dan tampak gelisah,
meskipun dalam kondisi amnesia. Kecepatan dan volume napas tidak
beraturan. Penderita dapat meronta, muntah, dan terkadang tidak dapat
mengendalikan pembuangan urine.
3. Tahap Pembedahan. Tahap ini diawali dengan kembalinya napas secara
normal hingga berhentinya napas secara mendadak. Empat tingkatan pada
tahap ketiga ditandai dengan perubahan gerakan bola mata, reflex mata dan
ukuran pupil, yang dalam kondisi tertentu merupakan gejala makin
mendalamnya anestesi.
4. Tahap Depresi Medula Oblongata. Tahap keempat diawali dengan berhenti
totalnya napas spontan. Tahap ini meliputi depresi berat pada pusat
vasomotor dan pusat napas di medulla (Katzung, 2002).
B. Hipnotik-sedatif
Hipnotik dan sedatif merupakan golongan obat pendepresi susunan saraf
pusat (SSP). Efeknya bergantung pada dosis, mulai dari yang ringan yaitu
menyebabkan tenang atau kantuk, menidurkan, hingga yang berat yaitu hilangnya
kesadaran, keadaan anestesi, koma, dan mati (Gunawan, 2017).
Hipnotik menimbulkan rasa kantuk, mempercepat tidur dan sepanjang malam
mempertahankan keadaan tidur yang menyerupai tidur alamiah. Sedatif berfungsi
menurunkan aktivitas, mengurangi ketegangan dan menenangkan penggunanya.
Keadaan sedasi juga merupakan efek samping dari banyak obat yang khasian
utamanya tidak menekan SSP (Tjay, Tan Hoan.2007).
Pada hakikatnya tidur dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori yaitu
dengan gerakan bola mata cepat (Rapid Eye Movement-REM), dan tidur dengan
gerakan bola mata lambat (Non-Rapis Eye Movement-NREM).
a. Tidur REM
Merupakan tidur dalam kondisi aktif atau tidur paradoksial. Hal tersebut
bisa disimpulkan bahwa seseorang dapat tidur dengan nyenyak sekali, namun
fisiknya yaitu gerakan kedua bola mata bersifat sangat aktif. Tidur REM ini
ditandai dengan mimpi, otot-otot kendor, tekanan darah bertambah, gerakan
mata cepat (mata cenderung bergerak bolak balik), sekresi lambung meningkat,
serta suhu dan metabolisme meningkat.
b. Tidur NREM
Merupakan tidur yang nyaman. Tanda-tanda tidur NREM antara lain: mimpi
berkurang, keadaan istirahat, tekanan darah turun, kecepatan pernapasan turun,
metabolisme turun, dan pergerakan bola mata lambat. NREM mempunyai empat
tahap yang ditandai dengan pola pembentukan gelombang otak:
1) Tahap I
Merupakan tahap transmisi dimana seseorang beralih dari sadar
menjadi tidur. Ditandai dengan seseorang merasa kabur dan rileks, seluruh
otot menjadi lemas, kelopak mata menutup mata, kedua bobah mata bergerak
dari kiri ke kanan. Kecepatan jantung dan pernapasan menurun secara jelas,
seseorang tidur pada tahap ini dapat dibangunkan dengan mudah.
2) Tahap II
Merupakan tahap tidur ringan dan proses tubuh terus menerus. Tahap
ini ditandai dengan kedua bola mata berhenti bergerak, suhu tubuh menurun,
pernapasan turun dengan jelas. Tahap II ini berlangsung sekitar 10-15 menit.
3) Tahap III
Merupakan tahap fisik yang lemah lunglai karena tonus otot lenyap
secara menyeluruh. Kecepatan jantung pernapasan, dan proses
tubuhberlanjut menhalami penurunan akibat dominasi sistem saraf
parasimpatis. Seseorang yang tidur pada tahap ini sulit untuk dibangunkan.
4) Tahap IV
Merupakan tahap dimana seseorang tersebut tidur dalam keadaan
rileks, jarang bergerak karena keadaan fisik yang sudah lemah lunglai, dan
sulit dibangunkan. Pada tahap IV ini dapat memulihkan keadaan tubuh
(Asmadi.2008).
Obat sedatif-hipnotik terbagi atas tiga golongan yaitu benzodiazepin,
barbiturat, dan hipnotik lain.
1. Benzodiazepin
Hampir semua efek benzodiazepin merupakan hasil kerja golongan ini pada
SSP dengan efek utama: sedasi, hipnosis, pengurangan terhadap rangsangan
emosi/ansietas, relaksasi otot, dan antikonvulsi. Contoh obat dari golongan
benzodiazepin yaitu alprazolam, klordiasepoksid, klonasepam, klorazepat,
diazepam, estazolam, halazepam, lorazepam, oksazepam, midazolam, quazepam,
temazepam, dan triazolam (Gunawan, Sulistia Gan.2017).
2. Barbiturat
Barbiturat adalah jenis obat sedatif-hipnotik yang digunakan untuk
menginduksi tidur, sebagai obat bius, dan dalam dosis tinggi untuk mengendalikan
serangan epilepsi (Kamienski, Mary G dan James Keogh.2015).
Contoh obat golongan barbiturat yaitu amorbarbital, aprobarbital, butabarbital,
butalbital, mefobarbital, metoheksital, pentobarbital, fenobarbital, sekobarbital, dan
thiopental (Gunawan, Sulistia Gan.2017).
3. Hipnotik lain
Obat dengan rusmus kimia yang berbeda-beda telah lama digunakan sebagai
hipnotik dan sedatif, memiliki efek farmakologi yang umumnya menyerupai
barbiturat, merupakan depresan SSP, yang dapat menghasilkan efek hipnotik yang
nyata dengan sedikit atau tanpa efek analgetik. Pengaruhnya terhadap tidur
menyerupai barbiturat. Contoh obat hipnotik lain yaitu kloralhidrat, zopiclon,
prometasin, meprobamat, dan buspiron (Gunawan, 2017 ; Tjay dan Rahardja, 2007).

Anda mungkin juga menyukai