Anda di halaman 1dari 19

TUGAS FARMAKOTERAPI I

TERAPI ANASTESI

Oleh

MUHAMMAD RIZAL AMAMI


NIM. 4820102220034

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS BORNEO LESTARI
BANJARMASIN
ANESTESI

A. Pengertian
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan
aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti
suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan
berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai
tindakan meliputi pemberian anestesi maupun analgetik, pengawasan
keselamatan pasien di operasi maupun tindakan lainnya, bantuan hidup
(resusitasi), perawatan intensif pasien gawat, pemberian terapi inhalasi dan
penanggulangan nyeri menahun.
“American Society of Anaesthesiologists” (ASA) menetapkan sistem
penilaian yang membagi status fisik penderita ke dalam lima kelompok.

Golongan Status Fisik

Tidak ada gangguan organic, biokimia dan


psikiatri, misalnya penderita dengan hernia
I
inguinalis tanpa kelainan lain, orang tua sehat dan
bayi muda yang sehat.

Gangguan sistemik ringan sampai sedang yang


bukan disebabkan oleh penyakit yang akan
II dibedah, misalnya penderita dengan obesitas,
penderita bronchitis dan penderita DM ringan
yang akan menjalani apendektomi

Penyakit sistemik berat, misalnya penderita DM


III dengan komplikasi pembuluh darah dan datang
dengan appendicitis akut

Penyakit gangguan sistemik berat yang


IV
membahayakan jiwa yang tidak selalu dapat
diperbaiki dengan pembedahan, missal
insufisiensi koroner atau MCI

Keadaan terminal dengan kemungkinan hidup


kecil, pembedahan dilakukan sebagai pilihan
V terakhir, missal penderita syok berat karena
perdarahan akibat kehamilan di luar uterus yang
pecah.

B. Pembagian Anestesi
1. Anestesi Umum
Anestesi Umum adalah obat yang dapat menimbulkan anestesi yaitu
suatu keadaan depresi umum dari berbagai pusat di sistem saraf pusat
yang bersifat reversibel, dimana seluruh perasaan dan kesadaran
ditiadakan sehingga lebih mirip dengan keadaan pinsan. Anestesi
digunakan pada pembedahan dengan maksud mencapai keadaan
pingsan, merintangi rangsangan nyeri (analgesia), memblokir reaksi
refleks terhadap manipulasi pembedahan serta menimbulkan pelemasan
otot (relaksasi). Anestesi umum yang kini tersedia tidak dapat
memenuhi tujuan ini secara keseluruhan, maka pada anestesi untuk
pembedahan umumnya digunakan kombinasi hipnotika, analgetika, dan
relaksasi otot. Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia
yang heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel dengan
spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol. Anestesi umum adalah
tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Komponen trias anestesi
ideal terdiri dari hipnotik, analgesia dan relaksasi otot.
Cara pemberian anestesi umum:
a) Parenteral (intramuscular/intravena) :Digunakan untuk tindakan
yang singkat atau induksi anestesi.
b) Perektal :Dapat dipakai pada anak untuk induksi anestesi atau
tindakan singkat.
c) Anestesi Inhalasi :Yaitu anestesi dengan menggunakan gas atau
cairan anestesi yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat
anestetik melalui udara pernapasan. Zat anestetik yang digunakan
berupa campuran gas (denganO2) dan konsentrasi zat anestetik
tersebut tergantung dari tekanan parsialnya.
Stadium Anestesi
a) Stadium I
Stadium I (analgesi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai
hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat
mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit).
Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi
kelenjar dapat dilakukan pada stadium ini
b) Stadium II
Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya
kesadaran dan refleks bulu mata sampai pernapasan kembali teratur.
c) Stadium III
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan tcraturnya pernapasan
sampai pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4
plana yaitu:
 Plana 1 : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang,
terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil
midriasis, refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks
faring dan muntah tidak ada, dan belum tercapai relaksasi otot
lurik yang sempurna. (tonus otot mulai menurun).
 Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak
menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak,
terfiksasi di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai
menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring hilang
sehingga dikerjakan intubasi.
 Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal
mulai paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral,
refleks laring dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik
hampir sempuma (tonus otot semakin menurun).
 Plana 4 : Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot
interkostal paralisis total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya
hilang, refleks sfmgter ani dan kelenjar air mata tidak ada,
relaksasi otot lurik sempuma (tonus otot sangat menurun).

d) Stadium IV
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan
melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. pada
stadium ini tekanan darah tak dapat diukur, denyut jantung berhenti,
dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada
stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.
Mekanisme kerja anestesi umum:

a). Anestesi Inhalasi


Anestesi inhalasi bekerja secara spontan menekan dan membangkitkan
aktivitas neuron berbagai area di dalam otak. Sebagai anestesi inhalasi
digunakan gas dan cairan terbang yang masing-masing sangat berbeda
dalam kecepatan induksi, aktivitas, sifat melemaskan otot maupun
menghilangkan rasa sakit. Untuk mendapatkan reaksi yang secepat-
cepatnya, obat ini pada permulaan harus diberikan dalam dosis tinggi, yang
kemudian diturunkan sampai hanya sekadar memelihara keseimbangan
antara pemberian dan pengeluaran. Keuntungan anestesi inhalasi
dibandingkan dengan anestesi intravena adalah kemungkinan untuk dapat
lebih cepat mengubah kedalaman anestesi dengan mengurangi konsentrasi
dari gas atau uap yang diinhalasi. Keuntungan anastetika inhalasi
dibandingkan dengan anastesi intravena adalah kemungkinan untuk dapat
lebih cepat mengubah kedalaman anastesi dengan mengurangi konsentrasi
dari gas/uap yang diinhalasi. Kebanyakan anastesi umum tidak di
metabolisasikan oleh tubuh, karena tidak bereaksi secara kimiawi dengan
zat-zat faali. Mekanisme kerjanya berdasarkan perkiraan bahwa anastetika
umum di bawah pengaruh protein SSP dapat membentuk hidrat dengan air
yang bersifat stabil
b. Anestesi Intravena
Obat-obat intravena seperti thiopental, etomidate, dan propofol mempunyai
mula kerja anestetis yang lebih cepat dibandingkan terhadap senyawa gas
inhalasi yang terbaru, misalnya desflurane dan sevoflurane. Senyawa
intravena ini umumnya digunakan untuk induksi anestesi. Kecepatan
pemulihan pada sebagian besar senyawa intravena juga sangat cepat.
Secara umum, mekanisme kerjanya berdasarkan perkiraan bahwa anastesi
umum dibawah pengaruh protein SSP dapat membentuk hidrat dengan air
yang bersifat stabil. Hidrat gas ini mungkin dapat merintangi transmisi
rangsangan di sinaps dan dengan demikian mengakibatkan anastesia.

Obat-obat anestesi umum


a) Tiopenthal :
 Bubuk berbau belerang, berwarna kuning, dalam ampul 500/1000
mg. Dilarutkan dengan aquades sampai konsentrasi 2,5%. Dosis
3-7 mg/kgBB.
 Melindungi otak oleh karena kekurangan O2.
 Sangat alkalis, nyeri hebat dan vasokonstriksi bila disuntikkan ke
arteri yang menyebabkan nekrosis jaringan sekitar.
b) Propofol:
 Dalam emulsi lemak berwarna putih susu, isotonic, dengan
kepekatan 1%. Dosis induksi 2-2,5 mg/kgBB, rumatan 4-
12mg/kgBB/jam, sedasi perawatan intensif 0,2mg/kgBB.
Pengenceran hanya dengan Dextrosa 5%.
 Dosis dikurangi pada manula, dan tidak dianjurkan pada anak
dibawah 3 thn dan ibu hamil.
c) Ketamin:
 Kurang disenangi karena sering takikardi, HT, hipersalivasi,
nyeri kepala. Paska anestesi mual, muntah, pandangan kabur dan
mimpi buruk. Dosis bolus iv 1-2mg/kgBB, im 3-10mg/kgBB.
 Dikemas dalam cairan bening kepekatan 5%, 10%, 1%.
d) Opioid:
 Diberikan dosis tinggi, tak menggangu kardiovaskular, sehingga
banyak digunakan untuk pasien dengan kelainan jantung.
 Untuk induksi dosis 20-50mg/kgBB, rumatan dosis 0,3-1
mg/kgBB/mnt.

Untuk memberikan cairan dalam waktu singkat dapat digunakan vena-


vena di punggung tangan, di dalam pergelangan tangan, lengan bawah
atau daerah kubiti. Pada anak kecil dan bayi digunakan punggung kaki,
depan mata kaki atau di kepala. Bayi bari lahir digunakan vena
umbilikus.

2. Anestesi Lokal/Regional
Adalah tindakan menghilangkan nyeri/sakit secara lokal tanpa disertai
hilangmya kesadaran.
Pemberian anestetik lokal dapat dengan tekhnik:
a) Anestesi Permukaan : pengolesan atu penyemprotan analgetik lokal
diatas selaput mukosa, seperti mata, hidung atau faring.
b) Anestesi Infiltrasi :penyuntikan larutan analgetik lokal langsung
diarahkan disekitar tempat lesi, luka dan insisi.
c) Anestesi Blok :Penyuntikan analgetik lokal langsung ke saraf utama
atau pleksus saraf. Hal ini bervariasi dari blokade pada saraf
tunggal, misal saraf oksipital dan pleksus brachialis, anestesi
spinal, anestesi epidural, dan anestesi kaudal. Pada anestesi spinal,
anestesi lokal disuntikkan ke ruang subarakhnoid.
 Anestesi Spinal
merupakan tipe blok konduksi saraf yang luas dengan
memasukkan anestesi local dalam rung subarachnoid di tingkat
lumbal (biasanya L4 dan L5). Cara ini menghasilkan anesthesia
pada ekstermitas bawah, perenium dan abdomen bawah.Untuk
prosedur fungsi lumbal, pasien dibaringkan miring dalam posisi
lutut-dada.Teknik steril diterapkan saat melakukan fungsi
lumbal dan medikasi disuntikkan melalui jarum.Segera setelah
penyuntikan, pasien dibaringkan terlentang. Jika diinginkan
tingkat blok yang secara relative tinggi, maka kepala dan bahu
pasien diletakkan lebih rendah.
 Blok Epidural
Anestesia epidural dicapai dengan menyuntikkan anestetik local ke
dalam kanalis spinalis dalam spasium sekeliling durameter.Anestesia
epidural memblok fungsi sensori, motor dan otonomik yang mirip,
tetapi tempat injeksinya yang membedakannya dari anestesi spinal.
 Blok Pleksus Brakialis
Blok pleksus brakialis menyebabkan anestesia pada lengan.
 Anestesia Paravertebral
Anestesia paravertebral menyebabkan anestesia pada saraf yang
mempersarafi dada, dindind abdomen dan ekstremitas.
 Blok Transakral (Kaudal)
Blok transakral menyebabkan anestesia pada perineum dan
kadang abdomen bawah.

C. Obat-Obatan Yang Berhubungan Dengan Anestesi


a) OBAT PREMEDIKASI
Pemberian obat premedikasi bertujuan untuk:
 Menimbulkan rasa nyaman pada pasien (menghilangkan
kekhawatiran, memberikan ketenangan, membuat amnesia,
memberikan analgesi).
 Memudahkan/memperlancar induksi, rumatan, dan sadar dari anestesi.
 Mengurangi jumlah obat-obatan anestesi.
 Mengurangi timbulnya hipersalivasi, bradikardi, mual dan muntah
pascaanestesi.
 Mengurangi stres fisiologis (takikardi, napas cepat, dan lain-lain).
 Mengurangi keasaman lambung.
Obat-obat yang dapat diberikan sebagai premedikasi pada tindakan anestesi
adalah sebagai berikut:
1) Analgetik narkotik
 Morfin
Dosis premedikasi dewasa 5-10 mg (0,1-0,2 mg/kg BB)
intramuskular diberikan untuk mengurangi kecemasan dan
ketegangan pasien menjelang operasi, menghindari takipnu pada
pemberian trikloroetilen, dan agar anestesi berjalan dengan tenang
dan dalam. Kerugiannya adalah terjadi perpanjangan waktu
pemulihan, timbul spasme serta kolik biliaris dan ureter.
 Petidin
Dosis premedikasi dewasa 50-75 mg (1-1,5 mg/kg BB) intravena
diberikan untuk menekan tekanan darah dan pernafasan serta
merangsang otol polos. Dosis induksi 1-2 mg/kg BB intravena.
2) Barbiturat
Penobarbital dan sekobarbital. Diberikan untuk menimbulkan sedasi.
Dosis dewasa 100-200 mg, pada anak dan bayi 1 mg/kg BB secara oral
atau intramuslcular.
3) Antikolinergik
Atropin. Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah dan dan
bronkus selama 90 menit. Dosis 0,4-0,6 mg intramuskular bekerja setelah
10-15 menit.
4) Obat penenang (tranquillizer)
 Diazepam
Diazepam (valium) merupakan golongan benzodiazepin. Dosis
premedikasi dewasa 10 mg intramuskular atau 5-10 mg oral (0,2-0,5
mg/kgBB) dengan dosis maksimal 15 mg. Dosis sedasi pada analgesi
regional 5-10 mg (0,04-0,2 mg/kgBB) intravena. Dosis induksi 0,2-1
mg/kg BB intravena.
 Midazolam
Mempunyai awal dan lama kerja lebih pendek dibandingkan dengan
diazepam.
b) OBAT PELUMPUH OTOT

Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuskular sehingga


menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya
obat ini dibagi menjadi 2 golongan, yaitu obat penghambat secara depolarisasi
resisten dan obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi. Pada anestesi
umum, obat ini memudahkan dan mengurangi cedera tindakan laringoskopi
dan intubasi trakhea, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam
pembedahan dan ventilasi kendali.

Perbedaan Obat Pelumpuh Otot Depolarisasi dan Nondepolarisasi


Depolarisasi Nondepolarisasi
Ada vasikulasi Tidak ada vasikulasi
otot otot
Berpotensiasi dengan Berpontisiasi dengan hipokalemia,
antikolinesterase hipotermia, obat anestetik inhalasi,
eter, halotan, enfluran dan isofluran
Tidak menunjukkan kelumpuhan yang Menunjukkan kelumpuhan yang
bertahap pada perangsangan tunggal bertahap pada perangsangan tunggal
atau tetanik atau tetanik
Belum dapat diatasi dengan obat Dapat diantagonis oleh antikolin
spesifik esterase
Kelumpuhan berkurang dengan
pemberian obat pelumpuh otot
nondepolarisasi dan asidosis

Obat Pelumpuh Otot Nondepolarisasi :


 Pavulon (pankuronium bromida). Dosis awal untuk relaksasi otot 0,008
mg/kgBB intravena pada dewasa. Dosis rumatan setengah dosis awal.
Dosis intubasi trakhea 0,15 mg/kgBB intravena.
 Trakrium (atrakurium besilat). Keunggulannya adalah
metabolisme terjadi di dalam darah, tidak tergantung pada fungsi hati dan
ginjal. Dosis intubasi 0,5-0,6 mg/kgBB intravena. Dosis relaksasi otot 0,5-
0,6 mg/kgBB intravena. Dosis rumatan 0,1-0,2 mg/kgBB intravena.
 Vekuronium (norkuron).
 Rokuronium. Dosis intubasi 0,3-0,6 mg/kgBB. Dosis rumalan 0,1-2
mg/kgBB.

Obat Pelumpuh Otot Depolarisasi


 Suksametonium (suksinil kolin). Mula kerja 1-2 menit dan lama kerja 3-
5 menit. Dosis intubasi 1-1,5 mg/kgBB intravena.

Antagonis Pelumpuh Otot Nondepolarisasi


 Prostigmin (neostigmin metilsulfat). Prostigmin mempunyai efek nikotik,
muskarinik, dan merupakan stimulan otot langsung. Dosis 0,5 mg bertahap
sampai 5 mg, biasa diberikan bersama atropin dosis 1- 1,5mg
c) OBAT ANESTESI INHALASI

Zat Kelebihan Kekurangan


N2O Analgesik kuat, baunya Jarang digunakan tunggal, harus
manis, tidak iritasi, tidak disertai O2 minimal 25%, anestetik
terbakar. lemah, memudahkan hipoksia
difusi.
Halotan Baunya enak. Tidak Vasodilator serebral,
merangsang jalan nafas, meningkatkan aliran darah otak
anestesi kuat yang sulit dikendalikan, analgesik
lemah.

Kelebihan dosis akan


menyebabkan depresi nafas,
menurunnya tonus simpatis,
hipotensi, bradikardi, vasodilator
perifer, depresi vasomotor,
depresi miokard.
Kontraindikasi gangguan hepar.
Paska pemberian menyebabkan
menggigil.
Enfluran Induksi dan pemulihan Pada EEG, menunjukkan kondisi
lebih cepat dari halotan. epileptik. Depresi nafas, iritatif,
Efek relaksasi terhadap depresi sirkulasi.
otot lebih baik
Isofluran Menurunkan laju meta- Meninggikan aliran darak otak
bolisme otak terhadap O2 dan TIK.
Desfluran Sangat mudah menguap, potensi
rendah. Simpatomimetik, depresi
nafas, me-rangsang jalan nafas
atas.
Sevofluran Bau tidak menyengat,
tidak merangsang jalan
nafas, kardiovaskular
stabil

d) OBAT ANESTESI INTRAVENA


1) Natrium Tiopental (tiopental, pentotal)
2) Ketamin
3) Droperidol
4) Diprivan

e) OBAT ANESTESI REGIONAL/LOKAL


Obat anestesi local mencegah transmisi impuls saraf (blokade
konduksi) dengan menghambat pengiriman ion natrium melalui
gerbang ion natrium selektif pada membrane saraf (Butterworth dan
Strichartz, 1990). Gerbang natrium sendiri adalah reseptor spesifik
molekul obat anestesi local. Penyumbatan gerbang ion yang terbuka
dengan molekul obat anestesi local berkontribusi sedikit sampai hampir
keseluruhan dalam inhibisi permeabilitas natrium. Kegagalan
permeabilitas gerbang ion natrium untuk meningkatkan perlambatan
kecepatan depolarisasi seperti ambang batas potensial tidak tercapai
sehingga potensial aksi tidak disebarkan. Obat anestesi local tidak
mengubah potensial istirahat transmembran atau ambang batas
potensial.
Lokal anestesi juga memblok kanal kalsium dan potasium dan reseptor
Nmethyl-D-aspartat (NMDA) dengan derajat yang berbeda-beda.
Beberapa golongan obat lain, seperti antidepresan trisiklik
(amytriptiline), meperidine, anestesi inhalasi, dan ketamin juga
memiliki efek memblok kanal sodium. Tidak semua serat saraf
dipengaruhi sama oleh obat anestesi lokal. Sensitivitas terhadap
blokade ditentukan dari diameter aksonal, derajat mielinisasi, dan
berbagai faktor anatomi dan fisiologi lain. Diameter yang kecil dan
banyaknya myelin meningkatkan sensitivitas terhadap anestesi lokal.
Dengan demikian, sensitivitas saraf spinalis terhadap anestesi lokal:
autonom > sensorik > motorik.
Obat anestesi regional/lokal adalah obat yang menghambat hantaran
saraf bila dikenakan secara lokal. Anestesi lokal ideal adalah yang tidak
mengiritasi atau merusak jaringan secara permanen, batas keamanan
lebar, mula kerja singkat, masa kerja cukup lama, larut dalam air, stabil
dalam larutan, dapat disterilkan tanpa mengalami perubahan, dan
efeknya reversibel.
Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi dalam dua golongan besar,
yaitu golongan ester dan golongan amide. Perbedaan kimia ini
direfleksikan dalam perbedaan tempat metabolisme, dimana golongan
ester terutama dimetabolisme oleh enzim pseudo-kolinesterase di
plasma sedangkan golongan amide terutama melalui degradasi
enzimatis di hati. Perbedaan ini juga berkaitan dengan besarnya
kemungkinan terjadinya alergi, dimana golongan ester turunan dari
pamino-benzoic acid memiliki frekuensi kecenderungan alergi lebih
besar.
Untuk kepentingan klinis, anestesi lokal dibedakan berdasarkan potensi
dan lama kerjanya menjadi 3 group. Group I meliputi prokain dan
kloroprokain yang memiliki potensi lemah dengan lama kerja singkat.
Group II meliputi lidokain, mepivakain dan prilokain yang memiliki
potensi dan lama kerja sedang. Group III meliputi tetrakain, bupivakain
dan etidokain yang memiliki potensi kuat dengan lama kerja panjang.
Anestesi lokal juga dibedakan berdasar pada mula kerjanya.
Kloroprokain, lidokain, mepevakain, prilokain dan etidokain memiliki
mula kerja yang relatif cepat. Bupivakain memiliki mula kerja sedang,
sedangkan prokain dan tetrakain bermula kerja lambat.
Obat anestesi lokal yang lazim dipakai di negara kita untuk golongan
ester adalah prokain, sedangkan golongan amide adalah lidokain dan
bupivakain.
D. Toksisitas
a) Neurologis
Sistem saraf pusat merupakan bagian yang paling rentan terjadi
intoksikasi dari anestesi lokal dan merupakan sistem yang dimonitoring
awal dari gejala overdosis pada pasien yang sadar. Gejala awal adalah
rasa kebas, parestesi lidah, dan pusing. Keluhan sensorik dapat berupa
tinitus, dan penglihatan yang kabur. Tanda eksitasi (kurang istirahat,
agitasi, gelisah, paranoid) sering menunjukkan adanya depresi sistem
saraf pusat (misal, bicara tidak jelas/pelo, mudah mengantuk, dan tidak
sadar). Kontraksi otot yang cepat,kecil dan spontan mengawali adanya
kejang tonik-klonik. Biasanya diikuti dengan gagal nafas. Reaksi
eksitasi merupakan hasil dari blokade selektif pada jalur inhibitor.
Anestesi lokal dengan kelarutan lemak tinggi dan pontensi tinggi
menyebabkan kejang pada konsentrasi obat lebih rendah dalam darah
disbanding agen anestesi dengan potensi yang lebih rendah. Dengan
menurunkan aliran darah otak dan pemaparan obat, benzodiazepine dan
hiperventilasi meningkatkan batas ambang terjadinya kejang karena
anestesi lokal. Thiopental (1-2 mg/kg) dengan cepat dan tepat
menghentikan kejang. Ventilasi dan oksigenasi yang baik harus tetap
dipertahankan. Lidokain intravena (1,5 mg/kg) menurunkan aliran darah
otak dan menurunkan peningkatan tekanan intrakranial yang biasanya
timbul padaintubasi pasien dengan penurunan komplians intrakranial.
Lidokain dan prokain infus selama ini digunakan sebagai tambahan
dalam teknik anestesi umum, karena kemampuannya menurunkan
MAC dari anestesi inhalasi sampai 40%. Dosis lidokain berulang 5%
dan 0,5% tetracaine dapat menjadi penyebab dari neurotoksik (sindroma
kauda ekuina) setelah dilakukan infus kontinu melalui keteter bore-kecil
pada anestesi spinal. Hal in terjadi mungkin karena adannya pooling
obat di kauda ekuina, yang sebabkan peningkatan konsentrasi obat dan
kerusakan saraf yang permanen. Penelitian pada hewan menunjukkan
neurotoksisitas pada pemberian berulang melalui intratekal bahwa
lidokain = tetracaine > bupivacaine > ropivacaine. Gejala neurologis
transien, yang terdiri dari disestesia, nyeri terbakar, dan nyeri pada
ekstremitas dan bokong pernah dilaporkan setelah dilakukan anestesi
spinal dengan berbagai agent anestesi. Penyebab dari gejala ini
dikaitkan dengan adanya iritasi pada radiks, dan gejala ini biasanya
menghilang dalam 1 minggu. Faktor resikonya adalah penggunaan
lidokain, posisi litotomi, obesitas, dan kondisi pasien.
b) Respirasi
Lidokain mendepresi respon hipoksia.
Paralisis dari nervus interkostalis dan nervus phrenicus atau depresi dari
pusat respirasi dapat mengakibatkan apneu setelah pemaparan langsung
anestesi lokal. Anestesi lokal merelaksasikan ototpolos bronkhus.
Lidokain intravena (1,5mg.kg) terkadang mungkin efektif untuk
memblok refleks bronkokonstriksi saat dilakukan intubasi. Lidokain
diberikan sebagai aerosol dapat sebabkan bronkospasme pada beberapa
pasien yang menderita penyakit saluran nafas reaktif.

c) Kardiovaskular
Umumnya, semua anestesi local mendepresi automatisasi miokard
(depolarisasi spontan fase IV) dan menurunkan durasi dari periode
refraktori.Kontraktilitas miokard dan kecepatankonduksi juga terdepresi
dalamkonsentrasi yang lebih tinggi. Pengaruhini menyebabkan
perubahan membran ototjantung dan inhibisi sistem saraf
autonom.Semua anestesi lokal, kecuali cocaine,merelaksasikan otot
polos, yang sebabkan vasodilatasi arteriolar. Kombinasi yang terjadi,
yaitu bradikardi, blokade jantung, dan hipotensi dapat
mengkulminasiterjadinya henti jantung. Intoksikasi pada jantung mayor
biasanya membutuhkankonsentrasi tiga kali lipat dari konsentrasi yang
dapat sebabkan kejang. Injeksiintravaskular bupivicaine yang tidak
disengaja selama anestesi regionalmengakibatkan reaksi kardiotoksik
yangberat, termasuk hipotensi, blok atrioventrikular, irama
idioventrikular dan aritmia yang dapat mengancam nyawa seperti
takikardi ventrikular dan fibrilasi. Kehamilan, hipoksemia, dan adisosis
respiratorik merupakan factor predisposisi. Ropivacaine memiliki
banyak kesamaan dalam psikokimia dengan bupivacaine kecuali bahwa
sebagian dari ropivacaine adalah larut-lemak.
Waktu onset dan durasi kerja sama, namun ropivacaine memblok
motorik lebih rendah, yangsebabkan potensi lebih rendah, ditunjukkan
dalam beberapa penelitian.
Yang paling menjadi perhatian, ropivacaine memiliki index terapi yang
besar karena 70% lebih sedikit menyebabkan intoksikasi kardia
dibandingkan dengan bupivacaine. Ropivacain dikatakan memiliki
toleransi terhadap sistem saraf pusat yang lebih besar. Keamanan dari
ropivacaine ini mungkin disebabkan karena kelarutan lemaknya yang
rendah atau availibilitasnya sebagai isomer S(-) yang murni, yang
bertolak belakang dengan struktur dari bupivacaine. Levobupivacaine,
merupakan isomer S(-) dari bupivacain, yang tidak lagi tersedia di
Amerika Serikat, dilaporkan memiliki efek samping terhadap
cardiovaskular dan serebral yang lebih kecil dari pada struktur
campuran; penelitian mengatakan bahwa efeknya terhadap
kardiovaskular hamper menyerupai efek ropivacaine.
d) Imunologi
Reaksi hipersensitivitas murni terhadap agent anestesi lokal—yang
bukan intoksikasi sistemik karena konsentrasi plasma yang
berlebihan—merupakan hal yang jarang. Ester memiliki kecenderungan
menginduksi reaksi alergi karena adanya derivat ester yaitu asam
paminobenzoic, yang merupakan suatu alergen. Sediaan komersial
multidosis dari
amida biasanya mengandung methylparaben, yang memiliki struktur
kimia mirip dengan PABA. Bahantambahan ini yang bertanggung
jawab terhadap sebagian besar reaksi alergi.
Anestesi lokal dapat membantumengurangi respon inflamasi karena
pembedahan dengan cara menghambat pengaruh asam lysophosphatidic
dalam mengaktivasi neutrofil.

e) Muskuloskeletal
Saat diinjeksikan langsung ke dalam otot skeletal (trigger-point injeksi),
anestesi lokal adalah miotoksik (bupivacaine >lidocaine > procaine).
Secara histologi, hiperkontraksi miofibril menyebabkan degenarasi litik,
edema, dan nekrosis. Regenerasi biasanya timbul setelah 3-4 minggu.
Steroid tambahan atau injeksi epinefrin memperburuk nekrosis otot.
Data penelitian hewan menunjukkan bahwa ropivacaine menghasilkan
kerusakan otot yang tidak terlalu berat dibanding bupivacaine.
f) Hematologi
Telah dibuktikan bahwa lidokain menurunkan koagulasi (mencegah
trombosis dan menurunkan agregasi platelet) dan meningkatkan
fibrinolisis dalam darah yang diukur dengan thromboelastography.
Pengaruh ini mungkin berhubungan dengan penurunan efikasi autolog
epidural setelah pemberian anestesi lokal dan insidensi terjadinya
emboli yang lebih rendah pada pasien yang mendapatkan anestesi
epidural.

E. Pengatasan Toksisitas
a) Anestesi Lokal
Pengobatan toksisitas anestetik local bergantung pada jenis toksisitas yang
dialami oleh pasien (SSP, kardiovaskular maupun alergi). Pada umumnya
gejala yang ringan diterapi secara lebih konservatif, gejala ringan SSP dapat
berkembang dengan cepat menjadi kardiotoksisitas anestesi local dengan
aritmia dengan henti jantung, oleh karena itu re-evaluasi sebaiknya sering
dilakukan untuk menentukan apakah terapi yang lebih agresif diperlukan
b) B. Anestesi Umum
Bahasa ahli bedah adalah diagnosis yang membutuhkan intervensi bedah,
sementara ahli anestesi mendiskusikan komorbiditas pasien yang
dipengaruhi oleh obat anestesi, ventilasi tekanan positif, Teknik neuraksial,
konsekuensi dari posisi pasien, efek opiate, dan sebagainya. Tugas ahli
bedah dan ahli anestesi adalah semua pertimbangan digabungkan dalam
menentukan hasil untuk memahami elemen-elemen yang menyebabkan
kejadian tidak wajar, yang parah, hingga mengakibatkan kematian.
(Steadman et al., 2017)
DAFTAR PUSTAKA

Mycek, M. A. , Harvey, R. A. & Champe, P. C. 2001, Farmakologi : Ulasan


Bergambar, Edisi 2, Hartanto, H.(ed), Penerbit Widya Medika, Jakarta.
Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya. 2008, Kumpulan Kuliah Farmakologi, Edisi 2, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Anestesi Spinal. http://anestesi-fkunram.blogspot.com/2009/02/anestesi-
spinal.html.Diakses tanggal 28 Mei 2015

Staff Pengajar Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2004. Anestesiologi.
Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai