Anda di halaman 1dari 9

REFERAT

MANAJEMEN PERIOPERATIF ANESTESI PADA KASUS


ORTOPEDI LAMINEKTOMI

Disusun oleh :
Luis Langoday
112022026

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


RSUD KOJA
JAKARTA UTARA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
Pendahuluan
Kata anestesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes yang menggambarkan keadaan
tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan
nyeri pembedahan. Anestesi berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan aesthetos, "persepsi,
kemampuan untuk merasa", secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. 1
Anestesi umum adalah keadaan hilangnya nyeri di seluruh tubuh dan hilangnya kesadaran sementara
yang dihasilkan melalui penekanan sistem saraf pusat karena adanya induksi secara farmakologi atau
penekanan sensori pada saraf. Anestesi umum merupakan kondisi yang dikendalikan dengan
ketidaksadaran yang bersifat reversibel dan diperoleh melalui penggunaan obat-obatan secara injeksi
dan inhalasi yang ditandai dengan hilangnya respons rasa nyeri (analgesik), hilangnya ingatan
(amnesia), hilangnya respons terhadap rangsangan atau reflek, hilangnya gerak spontan (immobility),
serta hilangnya kesadaran (unconsciousness).2
Anestesi umum yang poten diberikan secara inhalasi atau suntikan intravena. Awitan dan
durasi merupakan efek farmakokinetik yang paling penting pada anestetik intravena ketika
digunakan sebagai induksi anestesi. Anestesi intravena dapat menghasilkan berbagai manfaat dan
efek samping (seperti depresi atau stimulasi kardiovaskular, nyeri pada sisi injeksi, mual dan muntah,
depresi atau stimulasi pernafasan, eksitasi atau perlindungan central nervous system, supresi
adenocorticoid). Pemilihan anestesi intravena sebaiknya berdasarkan karakteristik pasien dan kondisi
yang berhubungan dengan operasi. Pada anestesi umum akan diperoleh trias anestesia, yaitu :
Hipnotik, analgetik dan relaksasi otot. Tujuan anestesi secara umum adalah untuk menciptakan
ketidaksadaran yang aman dan reversibel, mengoptimalkan respon fisiologis, dan menciptakan
keadaan operasi yang kondusif.3

ANESTESI UMUM
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran
dan bersifat pulih kembali (reversible).4 Tujuan anestesi umum adalah sebagai hipnotik atau
sedasi hilangnya kesadaran, analgesia hilangnya respon terhadap nyeri, muscle relaxant untuk
merelaksasi otot rangka. Keuntungan dari anestesi umum pasien tidak sadar, mencegah ansietas
pasien selama prosedur medis berlangsung, digunakan pada operasi yang membutuhkan durasi
yang lama, dapat dilakukan prosedur penanganan (pertolongan) dengan cepat dan mudah pada
waktu-waktu yang tidak terprediksi. Efek amnesia akan menghilangkan memori buruk pasien
yang didapat akibat ansietas dari berbagai kejadian intraoperatif yang mungkin memberikan
trauma psikologis. Dapat melakukan prosedur dalam jangka waktu lama dan memudahkan
kontrol penuh ventilasi pasien.

STADIUM ANESTESI UMUM


Stadium anestesi umum dibagi menjadi empat tingkatan (stadium). Stadium I (analgesik)
dimulai dari saat pemberian zat anastetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini penderita
masih dapat mengikuti perintah dan rasa sakit hilang (analgesik). Pada stadium ini dapat dilakukan
tindakan pembedahan ringan seperti cabut gigi, biopsi kelenjar dan sebagainya.2
Stadium II (delirium/eksitasi) dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium
pembedahan. Pada stadium ini terlihat jelas adanya eksitasi dan gerakan yang tidak menurut
kehendak, berteriak, pernafasan tidak teratur, kadang-kadang apnea dan hipernea. Hal ini terutama
terjadi karena adanya hambatan pada sistem saraf pusat. Pada stadium ini dapat terjadi kematian,
karena itu stadium harus cepat dilewati.2
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan teraturnya pernafasan sampai pernafasan spontan
hilang. Tanda yang harus dikenal adalah pernafasan yang tidak teratur pada stadium II menghilang,
pernafasan menjadi spontan dan teratur oleh karena tidak ada pengaruh psikis, sedangkan
pengontrolan kehendak hilang, refleks kelopak mata dan konjungtiva hilang, gerakan bola mata yang
tidak menurut kehendak merupakan tanda spesifik untuk permulaan stadium III.2
Stadium IV (paralisis medula oblongata), dimulai dengan melemahnya pernafasan perut
dibanding stadium III, tekanan darah tidak dapat diukur karena kolaps pembuluh darah, berhentinya
denyut jantung dan dapat disusul kematian. Pada stadium ini kelumpuhan pernafasan tidak dapat
diatasi dengan pernafasan buatan.2

INDUKSI ANESTESIA
Induksi anestesia adalah membuat pasien sadar menjadi tidak sadar, sehingga dimungkinkan
untuk memulai anestesi dan pembedahan. Induksi anetesia dapat dikerjakan secara intravena,
inhalasi, atau intramuskular.1
1. Induksi intravena.
● Tiopental: dalam ampul 500mg atau 1000mg, dilarutkan dalam akuades steril sampai
kepekatan 2,5%, hanya boleh digunakan dengan dosis 3-7 mg/kgbb iv.
● Propofol: kepekatan 1% (1ml = 10mg), dosis bolus untuk induksi 2-2,5mg/kgbb iv.
● Ketamin: kurang digemari untuk induksi anestesi karena menimbulkan takikardi,
hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, dosis bolus induksi intravena 1mg/kgbb iv &
intramuskular 3-10mg/kgbb iv
● Opioid; diberikan dosis tinggi, tidak menganggu kardiovaskular sehingga banyak
digunakan pada pasien kelainan jantung, fentanil dosis induksi 1-3ug/kgbb iv

Tidak ada aturan spesifik tentang penggunaan agen anestesi untuk induksi. Namun perhatian
khusus pada saat induksi harus diberikan bila menggunakan propofol, atau barbiturate karena efek
hipotensi berat yang ditimbulkan pada pasien hipovolemia. Ketamine dapat meningkatkan tekanan
aksial, namun efeknya dapat diseimbangkan secara paralel dengan penggunaan agen hipnotik seperti
propofol. Pada periode antara 3 hari sampai dengan 9 bulan setelah trauma medula spinalis
cervical, penggunaan agen pelumpuh otot depolarisasi seperti suksinilkolin sebaiknya dihindari
karena dapat memicu kondisi hiperkalemia yang berakibat fatal. Obat pelumpuh otot non-
depolarisasi lebih disukai karena tidak meningkatkan tekanan aksial ataupun menginduksi fasikulasi.
Stimulasi jalan nafas dapat menyebabkan bradikardi yang berat, hipotensi dan henti jantung.

2. Induksi inhalasi.
Anestesi umum inhalasi merupakan salah satu metode anestesi umum yang dilakukan
dengan cara memberikan agen anestesi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah
menguap melalui alat anestesi langsung ke udara inspirasi, hanya dikerjakan dengan halotan
atau sevofluran. Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk,
walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%. Seperti dengan
halotan konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan. Induksi dengan enfluran, isofluran atau
desfluran jarang dilakukan karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi dimulai
dengan aliran O2>4 liter/menit ata campuran N2O:O2=3:1 aliran 4 liter/menit, dimulai
dengan halotan 0,5 vol sampai konsentrasi yang dibutuhkan. kalau pasien batuk konsentrasi
halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikkan lagi sampai konsentrasi
yang diperlukan.1
3. Induksi Intramuskular.
Hanya ketamin yang dapat diberikan intramuskular dengan dosis 5-7mg/kgbb iv. Sebelum
memulai induksi anestesi perlu dipersiapkan peralatan yang diperlukan, mengingat kata
STATICS.1
● S = Scope, stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung Laringo-scope,
pilih ukuran yang sesuai dengan pasien dan lampu harus terang.
● T = Tubes, pipa trakea dipilih sesuai ukuran pasien. <5 tahun tanpa cuffed dan >5
tahun dengan cuffed.
● A = Airway Guedel, orotracheal airway/nasotracheal airway. Alat ini berfungsi untuk
menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat
jalan nafas.
● T = Tape, plester untuk fiksasi pipa.
● I = Introducer, mandrin atau stilet dari kawat yang dibungkus plastik yang mudah
dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
● C = Connector, penyambung antara pipa dengan alat anestesia.
● S = Suction, penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

TAHAPAN TINDAKAN ANESTESI UMUM


Preanestesi adalah pemberian zat kimia sebelum tindakan anestesi umum dengan tujuan
utama menenangkan pasien, menghasilkan induksi anestesi yang halus, mengurangi dosis
anestetikum, mengurangi atau menghilangkan efek samping anestetikum, dan mengurangi nyeri
selama operasi maupun pasca operasi.
Premedikasi adalah pemberian obat dalam waktu 1-2 jam sebelum operasi untuk melancarkan
induksi yang berguna untuk : Meredakan kecemasan dan ketakutan memperlancar induksi anestesia,
mengurangi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah obat anestesi, mengurangi mual-
muntah pasca bedah, Menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan lambung dan mengurangi refleks
yang membahayakan.3

KLASIFIKASI STASUS FISIK


Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang yaitu berdasarkan
The American Society of Anesthesiologist (ASA): Kelas I: Pasien sehat organik, fisiologik,
psikiatrik, biokimiawi. Kelas II: Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang. Kelas III:
Pasien dengan penyakit sistemik berat sehingga aktivitas rutin terbatas. Kelas IV: Pasien dengan
penyakit sistemik berat, tidak dapat melakukan aktivitas rutin, dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupan setiap saat. Kelas V: Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam. Kelas E: Bila tindakan pembedahan dilakukan secara darurat,
dicantumkan tanda E (emergency) di belakang angka.5
PERSIAPAN PRE-ANESTESI1
1. Anamnesis.
● Identitas pasien, misalnya : nama, umur, alamat dan pekerjaan.
● Riwayat penyakit yang sedang atau pernah diderita yang mungkin dapat menjadi
penyulit dalam anestesia seperti penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit paru
kronik, penyakit jantung dan hipertensi, penyakit hati dan penyakit ginjal.
● Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin dapat
menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestesi.
● Riwayat operasi dan anestesia yang pernah dialami, berapa kali dan selang waktunya,
serta apakah pasien mengalami komplikasi saat itu.
● Kebiasaan buruk sehari-hari yang dapat mempengaruhi jalannya anestesi misalnya
merokok, alkohol, obat-obat penenang atau narkotik.
Hal yang penting untuk diketahui pada penyebab cedera seperti onset trauma dan
terapi yang diberikan, karena hal ini terkait dengan komplikasi yang mungkin terjadi.
Walapun waktu untuk dilakukan dekompresi dengan pembedahan tidak disebutkan pada
sebagian penelitian yang telah dilakukan namun pembedahan yang dilakukan pada awal
periode telah diketahui memungkinkan dan aman serta dapat meningkatkan outcome
neurologis dan klinis serta mengurangi biaya perawatan.6

2. Pemeriksaan fisik.
● Tinggi dan berat badan untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang
diperlukan dan jumlah urin selama dan pasca bedah.
● Kesadaran umum, kesadaran, tanda-tanda anemia, tekanan darah, frekuensi nadi, pola
dan frekuensi pernafasan.
● Pemeriksaan saluran pernafasan; batuk-batuk, sputum, sesak nafas, tanda-tanda
sumbatan jalan nafas, pemakaian gigi palsu, trismus, persendian temporomandibular.
● Tanda-tanda penyakit jantung dan kardiovaskuler; dyspnea atau ortopnea, sianosis,
hipertensi.
● Abdomen untuk melihat adanya distensi, massa, asites yang dapat membuat tekanan
intra abdominal meningkat sehingga dapat menyebabkan regurgitasi.

Penilaian awal jalan nafas, respirasi dan sirkulasi harus selalu dikerjakan sebelum evaluasi tulang
vertebra. Pasien dengan cedera akut medulla spinalis cervical harus dirawat di ruang intensif dan
dilakukan penatalaksanaan gangguan hemodinamik dan respirasi. Tekanan arterial rata-rata/ Mean
Arterial Pressure (MAP) dijaga pada tekanan 85-90 mmHg pada minggu pertama cedera untuk
menjaga perfusi spinal. Gangguan respirasi merupakan permasalahan yang sering muncul akibat
disrupsi fungsi diafragma, otot respirasi tambahan dan otot dinding abdomen. Hal ini dapat
menyebabkan berkurangnya kapasitas vital dan ekspirasi paksa sehingga beresiko terjadi atelektasis
dan retensi sekret yang meningkatkan resiko kejadian pneumonia. Pasien dengan cedera medulla
spinalis di atas level C3-C5 seringkali membutuhkan bantuan respirasi. Intubasi dan ventilasi
mekanik diperlukan bila pasien berada pada kondisi sbb: (1) PaO2 <60 mmHg (2) PaCO2 > 45
mmHg (3) laju respirasi > 35x/menit. Pemeriksaan neurologis diperlukan untuk menilai level
ketinggian cedera medulla spinalis.6

3. Pemeriksaan laboratorium.
● Darah : Hb, leukosit, golongan darah, hematokrit, masa pembekuan, masa
perdarahan, hitung jenis leukosit.
● Urine : protein, reduksi, sedimen.
● Foto thorax.
● EKG : terutama pada pasien diatas 40 tahun karena ditakutkan adanya iskemia
miokard.
● Spirometri dan bronkospirometri pada pasien tumor paru.
● Fungsi hati pada pasien ikterus.
● Fungsi ginjal pada pasien hipertensi.
● Analisa gas darah, elektrolit pada ileus obstruktif.

Untuk mengurangi cedera sekunder dan mortalitas akibat cedera, imobilasi spinal
direkomendasikan untuk pasien cedera cervical. Cervical collar merupakan perangkat yang paling
banyak digunakan. Namun penggunaan cervical collar saja tidak dapat secara efektif mengurangi
pergerakan spinal dan cervical collar akan membatasi pembukaan mulut pada saat manajemen jalan
nafas. Metilprednisolon sudah tidak lagi direkomendasikan sesuai dengan guideline
tahun 2013. Penggunaan metilprednisolon dapat menimbulkan potensial komplikasi seperti
hiperglikemia, penekanan sistem imun dan perdarahan saluran cerna.6,7
Saat intraoperatif, terjadi perubahan fisiologi terkait dengan posisi prone yaitu, penurunan indek
kardiak dapat disebabkan karena kenaikan tekanan intratorakal, sehingga terjadi penurunan
pengisian arteri, akan merangsang refleks baroreseptor sehingga aktifitas simpatis meningkat.
Berdasarkan teori ini maka pada posisi prone terjadi penurunan isi sekuncup disertai kenaikan
aktivitas simpatis. Perubahan fisiologik yang terjadi pada posisi prone dapat diminimalkan dengan
persatuan posisi yang tepat, terutama hindari tekanan pada abdomen. Akibat dari tekanan
intraabdomen yang meningkat adalah kompresi pada vena kava inferior, penurunan aliran balik
vena dan selanjutnya curah jantung menurun. Pengakhiran anestesi dengan mengubah posisi pasien
menjadi posisi supine, dapat menyebabkan adanya perubahan hemodinamik berupa takikardai dan
hipertensi.7

PASCA BEDAH
Pasien yang sejak prabedah sudah direncanakan menjalani perawatan di ICU/PACU, setelah
operasi akan segera dibawa menuju ruang tersebut. Semua pasien yang tidak memerlukan perawatan
intensif harus segera diobservasi di ruang pemulihan. Pemantauan standar dilakukan sesuai kriteria
Aldrete.

Post Anesthesia Score


Aldrete Score

Maximum total score is 10; a score of ≥ 9 is required for discharge.


DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan M. Petunjuk Klinis Anestesiologi. Jakarta : Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universits Indonesia. Ed 2. 2007;29-
96.
2. Fadhli c, syafrudin, sayuti arman et al. Perbadingan onset dan sedasi ketamin- xilazin dan
profopol. Banda aceh: fakultas kedokteran hewan universitas syiah kuala. Vol 10 no2;2016.
3. Istiqoma DK, Ikawati zullies, Inayati. Evaluasi Efektivitas dan Keamanan penggunaan obat
anestesi umum. Yogjakarta:RS PKU Muhammadiyah Yogjakarta
4. Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S, Dahlan R, Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi
dan terapi Intensif FKUI
5. Lucky TK, Anjte AW, Magdelena FS. Keamanan dalam tindakan anestesi. Manado: Fakultas
kedokteran universitas sam manado. Vol4. 2016;200-202.
6. Sudadi, Raharjo S, Zaki WA. Manajemen anestesi cedera vertebra cervical 4,5 dengan
tindakan laminektomi dekompresi stabilisasi. Yogyakarta: pendidikan dokter spesialis I
anestesiologi dan terapi intensif FK-KMK UGM/ RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta; volume
5(3); 2018.
7. Afia FN, Subekti BE. Manajemen anastesi pada laminektomi pada cedera vertebra servikal
V-VI di RSUP Dr. H. Abdul Moeloek, Bandar Lampung. Lampung: Medula; 9(4); 2020.

Anda mungkin juga menyukai