Disusun oleh :
Luis Langoday
112022026
ANESTESI UMUM
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran
dan bersifat pulih kembali (reversible).4 Tujuan anestesi umum adalah sebagai hipnotik atau
sedasi hilangnya kesadaran, analgesia hilangnya respon terhadap nyeri, muscle relaxant untuk
merelaksasi otot rangka. Keuntungan dari anestesi umum pasien tidak sadar, mencegah ansietas
pasien selama prosedur medis berlangsung, digunakan pada operasi yang membutuhkan durasi
yang lama, dapat dilakukan prosedur penanganan (pertolongan) dengan cepat dan mudah pada
waktu-waktu yang tidak terprediksi. Efek amnesia akan menghilangkan memori buruk pasien
yang didapat akibat ansietas dari berbagai kejadian intraoperatif yang mungkin memberikan
trauma psikologis. Dapat melakukan prosedur dalam jangka waktu lama dan memudahkan
kontrol penuh ventilasi pasien.
INDUKSI ANESTESIA
Induksi anestesia adalah membuat pasien sadar menjadi tidak sadar, sehingga dimungkinkan
untuk memulai anestesi dan pembedahan. Induksi anetesia dapat dikerjakan secara intravena,
inhalasi, atau intramuskular.1
1. Induksi intravena.
● Tiopental: dalam ampul 500mg atau 1000mg, dilarutkan dalam akuades steril sampai
kepekatan 2,5%, hanya boleh digunakan dengan dosis 3-7 mg/kgbb iv.
● Propofol: kepekatan 1% (1ml = 10mg), dosis bolus untuk induksi 2-2,5mg/kgbb iv.
● Ketamin: kurang digemari untuk induksi anestesi karena menimbulkan takikardi,
hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, dosis bolus induksi intravena 1mg/kgbb iv &
intramuskular 3-10mg/kgbb iv
● Opioid; diberikan dosis tinggi, tidak menganggu kardiovaskular sehingga banyak
digunakan pada pasien kelainan jantung, fentanil dosis induksi 1-3ug/kgbb iv
Tidak ada aturan spesifik tentang penggunaan agen anestesi untuk induksi. Namun perhatian
khusus pada saat induksi harus diberikan bila menggunakan propofol, atau barbiturate karena efek
hipotensi berat yang ditimbulkan pada pasien hipovolemia. Ketamine dapat meningkatkan tekanan
aksial, namun efeknya dapat diseimbangkan secara paralel dengan penggunaan agen hipnotik seperti
propofol. Pada periode antara 3 hari sampai dengan 9 bulan setelah trauma medula spinalis
cervical, penggunaan agen pelumpuh otot depolarisasi seperti suksinilkolin sebaiknya dihindari
karena dapat memicu kondisi hiperkalemia yang berakibat fatal. Obat pelumpuh otot non-
depolarisasi lebih disukai karena tidak meningkatkan tekanan aksial ataupun menginduksi fasikulasi.
Stimulasi jalan nafas dapat menyebabkan bradikardi yang berat, hipotensi dan henti jantung.
2. Induksi inhalasi.
Anestesi umum inhalasi merupakan salah satu metode anestesi umum yang dilakukan
dengan cara memberikan agen anestesi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah
menguap melalui alat anestesi langsung ke udara inspirasi, hanya dikerjakan dengan halotan
atau sevofluran. Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk,
walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%. Seperti dengan
halotan konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan. Induksi dengan enfluran, isofluran atau
desfluran jarang dilakukan karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi dimulai
dengan aliran O2>4 liter/menit ata campuran N2O:O2=3:1 aliran 4 liter/menit, dimulai
dengan halotan 0,5 vol sampai konsentrasi yang dibutuhkan. kalau pasien batuk konsentrasi
halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikkan lagi sampai konsentrasi
yang diperlukan.1
3. Induksi Intramuskular.
Hanya ketamin yang dapat diberikan intramuskular dengan dosis 5-7mg/kgbb iv. Sebelum
memulai induksi anestesi perlu dipersiapkan peralatan yang diperlukan, mengingat kata
STATICS.1
● S = Scope, stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung Laringo-scope,
pilih ukuran yang sesuai dengan pasien dan lampu harus terang.
● T = Tubes, pipa trakea dipilih sesuai ukuran pasien. <5 tahun tanpa cuffed dan >5
tahun dengan cuffed.
● A = Airway Guedel, orotracheal airway/nasotracheal airway. Alat ini berfungsi untuk
menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat
jalan nafas.
● T = Tape, plester untuk fiksasi pipa.
● I = Introducer, mandrin atau stilet dari kawat yang dibungkus plastik yang mudah
dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
● C = Connector, penyambung antara pipa dengan alat anestesia.
● S = Suction, penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.
2. Pemeriksaan fisik.
● Tinggi dan berat badan untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang
diperlukan dan jumlah urin selama dan pasca bedah.
● Kesadaran umum, kesadaran, tanda-tanda anemia, tekanan darah, frekuensi nadi, pola
dan frekuensi pernafasan.
● Pemeriksaan saluran pernafasan; batuk-batuk, sputum, sesak nafas, tanda-tanda
sumbatan jalan nafas, pemakaian gigi palsu, trismus, persendian temporomandibular.
● Tanda-tanda penyakit jantung dan kardiovaskuler; dyspnea atau ortopnea, sianosis,
hipertensi.
● Abdomen untuk melihat adanya distensi, massa, asites yang dapat membuat tekanan
intra abdominal meningkat sehingga dapat menyebabkan regurgitasi.
Penilaian awal jalan nafas, respirasi dan sirkulasi harus selalu dikerjakan sebelum evaluasi tulang
vertebra. Pasien dengan cedera akut medulla spinalis cervical harus dirawat di ruang intensif dan
dilakukan penatalaksanaan gangguan hemodinamik dan respirasi. Tekanan arterial rata-rata/ Mean
Arterial Pressure (MAP) dijaga pada tekanan 85-90 mmHg pada minggu pertama cedera untuk
menjaga perfusi spinal. Gangguan respirasi merupakan permasalahan yang sering muncul akibat
disrupsi fungsi diafragma, otot respirasi tambahan dan otot dinding abdomen. Hal ini dapat
menyebabkan berkurangnya kapasitas vital dan ekspirasi paksa sehingga beresiko terjadi atelektasis
dan retensi sekret yang meningkatkan resiko kejadian pneumonia. Pasien dengan cedera medulla
spinalis di atas level C3-C5 seringkali membutuhkan bantuan respirasi. Intubasi dan ventilasi
mekanik diperlukan bila pasien berada pada kondisi sbb: (1) PaO2 <60 mmHg (2) PaCO2 > 45
mmHg (3) laju respirasi > 35x/menit. Pemeriksaan neurologis diperlukan untuk menilai level
ketinggian cedera medulla spinalis.6
3. Pemeriksaan laboratorium.
● Darah : Hb, leukosit, golongan darah, hematokrit, masa pembekuan, masa
perdarahan, hitung jenis leukosit.
● Urine : protein, reduksi, sedimen.
● Foto thorax.
● EKG : terutama pada pasien diatas 40 tahun karena ditakutkan adanya iskemia
miokard.
● Spirometri dan bronkospirometri pada pasien tumor paru.
● Fungsi hati pada pasien ikterus.
● Fungsi ginjal pada pasien hipertensi.
● Analisa gas darah, elektrolit pada ileus obstruktif.
Untuk mengurangi cedera sekunder dan mortalitas akibat cedera, imobilasi spinal
direkomendasikan untuk pasien cedera cervical. Cervical collar merupakan perangkat yang paling
banyak digunakan. Namun penggunaan cervical collar saja tidak dapat secara efektif mengurangi
pergerakan spinal dan cervical collar akan membatasi pembukaan mulut pada saat manajemen jalan
nafas. Metilprednisolon sudah tidak lagi direkomendasikan sesuai dengan guideline
tahun 2013. Penggunaan metilprednisolon dapat menimbulkan potensial komplikasi seperti
hiperglikemia, penekanan sistem imun dan perdarahan saluran cerna.6,7
Saat intraoperatif, terjadi perubahan fisiologi terkait dengan posisi prone yaitu, penurunan indek
kardiak dapat disebabkan karena kenaikan tekanan intratorakal, sehingga terjadi penurunan
pengisian arteri, akan merangsang refleks baroreseptor sehingga aktifitas simpatis meningkat.
Berdasarkan teori ini maka pada posisi prone terjadi penurunan isi sekuncup disertai kenaikan
aktivitas simpatis. Perubahan fisiologik yang terjadi pada posisi prone dapat diminimalkan dengan
persatuan posisi yang tepat, terutama hindari tekanan pada abdomen. Akibat dari tekanan
intraabdomen yang meningkat adalah kompresi pada vena kava inferior, penurunan aliran balik
vena dan selanjutnya curah jantung menurun. Pengakhiran anestesi dengan mengubah posisi pasien
menjadi posisi supine, dapat menyebabkan adanya perubahan hemodinamik berupa takikardai dan
hipertensi.7
PASCA BEDAH
Pasien yang sejak prabedah sudah direncanakan menjalani perawatan di ICU/PACU, setelah
operasi akan segera dibawa menuju ruang tersebut. Semua pasien yang tidak memerlukan perawatan
intensif harus segera diobservasi di ruang pemulihan. Pemantauan standar dilakukan sesuai kriteria
Aldrete.
1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan M. Petunjuk Klinis Anestesiologi. Jakarta : Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universits Indonesia. Ed 2. 2007;29-
96.
2. Fadhli c, syafrudin, sayuti arman et al. Perbadingan onset dan sedasi ketamin- xilazin dan
profopol. Banda aceh: fakultas kedokteran hewan universitas syiah kuala. Vol 10 no2;2016.
3. Istiqoma DK, Ikawati zullies, Inayati. Evaluasi Efektivitas dan Keamanan penggunaan obat
anestesi umum. Yogjakarta:RS PKU Muhammadiyah Yogjakarta
4. Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S, Dahlan R, Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi
dan terapi Intensif FKUI
5. Lucky TK, Anjte AW, Magdelena FS. Keamanan dalam tindakan anestesi. Manado: Fakultas
kedokteran universitas sam manado. Vol4. 2016;200-202.
6. Sudadi, Raharjo S, Zaki WA. Manajemen anestesi cedera vertebra cervical 4,5 dengan
tindakan laminektomi dekompresi stabilisasi. Yogyakarta: pendidikan dokter spesialis I
anestesiologi dan terapi intensif FK-KMK UGM/ RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta; volume
5(3); 2018.
7. Afia FN, Subekti BE. Manajemen anastesi pada laminektomi pada cedera vertebra servikal
V-VI di RSUP Dr. H. Abdul Moeloek, Bandar Lampung. Lampung: Medula; 9(4); 2020.