Anda di halaman 1dari 10

REFERAT

Rhinosinusitis

Disusun Oleh:

Steffanus Mulyo Wibisono


112019070

Pembimbing:

dr. Arroyan Wardhana, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG DAN


TENGGOROKAN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
JAKARTA
Periode 10 Desember 2020 – 26 Desember 2020
Rhinosinusitis
Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polys (EPOS) 2012,
rhinosinusitis didefinisikan sebagai suatu radang dari hidung dan sinus paranasal, yang
ditandai dengan dua atau lebih gejala, yang salah satunya harus ada berupa obstruksi (hidung
tersumbat) atau nasal discharge (sekret hidung baik anterior atau posterior nasal drip): nyeri
pada wajah dan berkurangnya sensitivitas pembau. Pada rhinosinusitis kronis akut gejala
berlangsung ≤ 12 minggu dan rinosinusitis kronis berlangsung ≥ 12 minggu.1
Diagnosis rhinosinusitis ditegakkan berdasarkan European Position Paper On
Rhinosinusitis And Nasal Polyps (EPOS) tahun 2012 adanya dua atau lebih gejala, salah satu
yang seharusnya dijumpai adalah hidung tersumbat / pembengkakan / keluarnya cairan dari
hidung ( cairan hidung yang menetes keluar bisa melalui anterior maupun posterior) disertai
± rasa sakit pada wajah / rasa tertekan pada wajah atau ± berkurang / hilangnya penciuman
dan salah satu dari temuan nasoendoskopi yaitu:
- Polip dan/ atau
- Sekret mukopurulen dari meatus medius dan/ atau
- edema/ obstruksi mukosa di meatus medius dan/ atau gambaran tomografi komputer (CT
scan)
- Perubahan mukosa di kompleks osteomeatal dan/atau sinus.1,2

2.5.1 Klasifikasi rhinosinusitis


Rhinosinusitis diklasifikasikan berdasarkan beratnya serangan dan lama serangan.
Berdasarkan beratnya penyakit, penyakit ini dapat dibagi menjadi ringan, sedang dan berat
berdasarkan skor total visual analogue scale (VAS) dengan skor 0-10cm: 1,2
- Ringan = VAS 0-3
- Sedang= VAS > 3-7
- Berat= VAS > 7-10

Gambar 5. Visual Analog Scale1


Untuk evaluasi nilai total, pasien diminta untuk menilai pada suatu VAS jawaban dari
pertanyaan “berapa besar gangguan dari gejala rhinosinusitis saudara?” Nilai VAS >5
mempengaruhi kualitas hidup pasien. Berdasarkan lamanya penyakit, rhinosinusitis
diklasifikasikan menjadi akut maupun kronik. Dikatakan akut apabila lamanya penyakit <12
minggu dan terjadi resolusi komplit gejala sedangkan dikatakan kronik apabila lama penyakit
>12 minggu dan tanpa resolusi gejala komplit termasuk kronik eksaserbasi akut.

2.5.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi


Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam
rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan
anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostiomeatal
(KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia sillia seperti pada
sindroma Kartagener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik.3
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis sehingga
pelru dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan
rhinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral.3
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan
kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa
dan merusak silia.3

2.5.3 Patofisiologi rhinosinusitis


Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium - ostium sinus dan lancarnya klirens
mukosiliar (mucocilliary clearance) di dalam kompleks ostiomeatal (KOM). Mukus juga
mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme
pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Stuktur yang
membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan
saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Sumbatan di ostium
sinus dapat diakibatkan edema yang terjadi sekunder karena adanya inflamasi traktus
respiratorius atas (hidung).1
Akibatnya terjadi penurunan aerasi sinus, penurunan tekanan O2 dalam sinus,
hipooksigenasi dan akhirnya terjadi vasodilatasi kapiler sebagai mekanisme kompensasi.
Proses ini memicu terjadinya transudasi. Sebagian cairan transudat akan masuk ke sub
mukosa sehingga menyebabkan edema, sebagian lagi menuju ekstra vaskuler, menembus
epitel hingga masuk ke rongga sinus. Akibatnya akan terdapat cairan transudat di rongga
sinus yang mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non bakterial
dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.10
Bila kondisi menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media yang baik
untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen yang berwarna kuning
kehijauan. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi
antibiotik. Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi
berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Keadaan sinus yang hipooksigen
juga dapat mengganggu gerakan silia sehingga mekanisme klirens mukosiliar terganggu.
Akibatnya cairan transudat tidak dapat didrainase dan semakin tertimbun di dalam sinus.
Keadaan ini membuat pH sinus menjadi asam dan mendukung aktivitas multiplikasi
bakteri.10,11
Jika proses ini berlanjut, mukosa semakin bengkak dan menjadi siklus yang terus
berputar hingga perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau
pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi.10,11

2.5.4 Hubungan rinitis alergi dan rinosinusitis


Rinosinusitis merupakan masalah kesehatan yang meningkat seiring meningkatnya
kasus rinitis alergi dan mengakibatkan peningkatan beban finansial terhadap penderitanya.
Pembengkakan mukosa hidung pada rinitis alergi di ostium sinus dapat mengganggu ventilasi
bahkan menyumbat ostium sinus, yang akan mengakibatkan retensi sekret mukus dan infeksi.
Mukosa hidung dan sinus membentuk suatu rangkaian kesatuan, sehingga membran mukosa
sinus sering terlibat pada penyakit yang disebabkan inflamasi pada mukosa nasi. 10,11
Penderita rinosinusitis kronik yang disertai rinitis alergi memiliki keluhan
rinosinusitis yang lebih berat. Diantara pasien alergi yang menjalankan imunoterapi, sebagian
besar yang merasa tertolong dengan terapi imun adalah pasien dengan riwayat rinosinusitis
berulang. Dan setengah dari pasien yang pernah menjalankan operasi sinus lalu mendapat
imunoterapi spesifik menyatakan bahwa operasi saja tidak dapat menuntaskan episode
berulang dari rinosinusitisnya. Hubungan antara faktor alergi dan beratnya gejala
rinosinusitis berdasarkan pemeriksaan CT scan, terbukti bahwa jika terdapat faktor alergi
pada rinosinusitis kronik, maka semakin berat gejala rinosinusitisnya. Dengan pemeriksaan
CT scan diketahui bahwa serum total IgE berkorelasi dengan penebalan mukosa sinus.
Dengan demikian penderita rinosinusitis kronik yang akan menjalankan operasi sebaiknya
diperiksa dahulu apakah terdapat faktor alergi. Jika positif terdapat faktor alergi, sebaiknya
alerginya diterapi terlebih dahulu, sehingga kesembuhan akan lebih cepat dan kemungkinan
berulangnya rinosinusitis pasca operasi dapat dikurangi. 10,11

2.5.5 Rhinosinusitis akut


Rhinosinusitis akut dibagi menjadi rhinosinusitis akut viral (gejala <10 hari) dan
rhinosinusitis non-viral akut (terjadi perburukan gejala > hari atau gejala menetap > 10 hari
dengan lama sakit <12 minggu). Jika penyebab rhinosinusitis akut adalah bakteri maka gejala
yang timbul adalah lendir yang tidak berwarna dan biasanya unilateral serta adanya sekret
yang purulen dalam cavum nasi. Selain itu terdapat nyeri lokal yang berat serta unilateral,
demam >38◦C dan adanya peningkatan CRP. Prevalensi kasus rhinosinusitis akut bervariasi
dan dipengaruhi oleh cuaca dan variasi iklim dan meningkat di lingkungan yang lembab serta
banyak polusi udara. Rokok juga berpengaruh terhadap rhinosinusitis akut karena
mempengaruhi fungsi dan motilititas dari silia. Laringofaringel refluks juga memiliki kaitan
dengan rhinosinusitis akut. Faktor predisposisi rhinosinusitis akut adalah lingkungan, rokok,
laringofaringeal refluks, cemas dan depresi.3
Tatalaksana rhinosinusitis akut
Gambar 6. Tatalaksana Rhinosinusitis Akut pada Dewasa untuk Pelayanan Kesehatan Primer2

2.5.6 Rhinosinusitis kronik


Pada rhinosinusitis kronik, dapat dijumpai polip hidung namun tidak selalu disertai
polip hidung. Gejala lebih dari 12 minggu dan terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya
harus berupa hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/
posterior) disertai:1
 ± nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
 ± penurunan/ hilangnya penghidu
Dan dari anamnesis didapatkan gejala alergi, ingus seperti air, hidung gatal, mata
gatal dan berair, jika positif ada, seharusnya dilakukan pemeriksaan alergi. (Foto polos sinus
paranasal/tomografi komputer tidak direkomendasikan). Berdasarkan EPOS, faktor yang
dihubungkan dengan kejadian rinosinusitis kronik tanpa polip nasi yaitu “ciliary impairment,
alergi, asma, keadaan immunocompromised, faktor genetik, kehamilan dan endokrin, faktor
lokal, mikroorganisme, jamur, osteitis, faktor lingkungan, faktor iatrogenik, H.pylori dan
refluks laringofaringeal”. 10,11

2.5.7 Penatalaksaaan rhinosinusitis kronik


Prinsip penatalaksanaan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa
dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan medikamentosa dan pembedahan. Pada
rinosinusitis kronik (tanpa polip nasi), terapi pembedahan mungkin menjadi pilihan yang
lebih baik dibanding terapi medikamentosa. Adanya latar belakang seperti alergi, infeksi dan
kelainan anatomi rongga hidung memerlukan terapi yang berlainan juga. 10,11

2.5.8 Terapi Medikamentosa


Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan rinosinusitis kronik
yakni berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita, membantu dalam diagnosis
rinosinusitis kronik (apabila terapi medikamentosa gagal maka cenderung digolongkan
menjadi rinosinusitis kronik) dan membantu memperlancar kesuksesan operasi yang
dilakukan. Pada dasarnya yang ingin dicapai melalui terapi medikamentosa adalah
kembalinya fungsi drainase ostium sinus dengan mengembalikan kondisi normal rongga
hidung. Jenis terapi medikamentosa yang digunakan untuk rinosinusitis kronik tanpa polip
nasi pada orang dewasa antara lain:10,11
1. Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rinosinusitis kronik mengingat terapi
utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang digunakan adalah antibiotika spektrum
luas antara lain:
a. Amoksisilin + asam klavulanat
b. Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefixime
c. Florokuinolon : ciprofloksasin
d. Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisin
e. Klindamisin
f. Metronidazole
2. Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau sistemik
3. Kortikosteroid topikal : beklometason, flutikason, mometason
a. Kortikosteroid sistemik, banyak bermanfaat pada rinosinusitis kronik dengan polip
nasi dan rinosinusitis fungal alergi.Terapi penunjang lainnya meliputi:
b. Dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis α-adrenergik
c. Antihistamin
d. Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromil
e. Mukolitik
f. Antagonis leukotrien
g. Imunoterapi
h. Lainnya: humidifikasi, irigasi dengan salin, olahraga, avoidance terhadap iritan dan
nutrisi yang cukup

2.5.9 Terapi Pembedahan


Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan sederhana dengan
peralatan yang sederhana sampai operasi menggunakan peralatan canggih endoskopi.
Beberapa jenis tindakan pembedahan yang dilakukan untuk rinosinusitis kronik tanpa polip
nasi ialah:1
1. Sinus maksila: 3,11
a. Irigasi sinus (antrum lavage)
b. Nasal antrostomi
c. Operasi Caldwell-Luc
2. Sinus etmoid:
a. Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral
3. Sinus frontal:
a. Intranasal, ekstranasal
b. Frontal sinus septoplasty
c. Fronto-etmoidektomi
4. Sinus sfenoid :
a. Trans nasal
b. Trans sfenoidal
5. Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) dipublikasikan pertama kali oleh
Messerklinger tahun 1978. Indikasi tindakan BSEF/FESS adalah:
a. Sinusitis kronis yang tidak membaik setelah terapi adekuat
b. Sinusitis kronis disertai kista atau kelainan yang irreversible
c. Polip ekstensif
d. Adanya komplikasi sinusitis
e. Sinusitis jamur

2.5.10 Komplikasi
Pada era pra antibiotika, komplikasi merupakan hal yang sering terjadi dan seringkali
membahayakan nyawa penderita, namun seiring berkembangnya teknologi diagnostik dan
antibiotika, maka hal tersebut dapat dihindari. 1 Komplikasi rinosinusitis kronik tanpa polip
nasi dibedakan menjadi komplikasi orbita, oseus/tulang, endokranial dan komplikasi lainnya.
 Komplikasi orbita :
a) Selulitis periorbita
b) Selulitis orbita
c) Abses subperiosteal
d) Abses orbita
Komplikasi oseus/tulang : Osteomielitis (maksila dan frontal)
 Komplikasi intrakranial:
a) Abses epidural / subdural
b) Abses otak
c) Meningitis
d) Serebritis
e) Trombosis sinus kavernosus
DAFTAR PUSTAKA
1. Nina I, Elise K, Nikmah R. Rinitis alergi. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2012.h.106-12.
2. Soepardi A, Iskandar N, Basshirudin J, dkk. Telinga, hidung, teggorok, kepala dan
leher. Edisi ke-6. Jakarta: FKUI; 2007.h. 118-310.
3. Mangunkusumo E. Buku teks komprehensif ilmu THT-KL telinga, hidung,
tenggorokan kepala-leher. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC; 2019.
4. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies buku ajar penyakit tht. Edisi ke-6. Penerbit
buku kedokteran EGC. 1997; H. 173-260.
5. Gurkov R, Nagel P. Dasar-dasar ilmu THT. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2012.h. 34-41.
6. Damayanti S, Endang M, Retno SW. Hidung. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2012.h.96-100.
7. Boies, L. R. Penyakit telinga luar: BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Balai
Penerbit Buku Kedokteran EGC; Jakarta: 1997.h.76-9.
8. Rhinitis Alergy. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/134825-
overview. Diunduh pada 12 Desember 2019.
9. Nina I, Elise K, Niken LP. Rinitis vasomotor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2012.h.113-15.
10. Non Alergic Vasomotor Rhinitis. Diunduh dari https://www.medscape.com/view
article/532378. Diunduh pada 19 Desember 2020.
11. Sanico A, Togias A. Noninfectious, nonallergic rhinitis (NINAR). Dalam: Lalwani
KA,Ed. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head and Neck Surgery
second edition. New York: Lange McGrawHill Comp, 2007.p. 112-117.

Anda mungkin juga menyukai