Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN.

S DENGAN
RHINOSINUSITIS KRONIS DI RUANG OPERASI RUMAH SAKIT MELATI KOTA
TANGERANG

OLEH

BIRGITTA PRANIWI

231030230548

PROGRAM PROFESI NERS

STIKes WIDYA DHARMA HUSADA TANGERANG

TAHUN 2023
BAB I

TINJAUAN TEORI

A. KONSEP DASAR
a. Definisi
Menurut Irianto, (2015), Rhinosinusitis adalah pembengkakan mukosa hidung
yang terisi cairan interseluler dan terdorong didalam rongga hidung oleh gaya
berat. Definisi ini berlaku untuk sebagian besar polip hidung yang tampak sehari-
hari. Pembengkakan mukosa hidung ini dapat pula akibat bendungan vena akibat
adanya tumor dalam rongga hidung unilateral setiap usia harus dicurigai bagai
suatu keganasan kecuali tidak dibuktikan kebenarannya.
Rhinosinusitis merupakan inflamasi mukosa pada hidung dan sinus paranasalis.
Istilah rinosinusitis tidak lagi dipisah menjadi “rinitis” dan sinusitis” karena
mukosa dari hidung masih terhubung ke sinus-sinus paranalis. (Chriss, 2014).
Rinosinusitis diartikan sebagai peradangan hidung ddan sinus paranalis yang
ditandai oleh dua gejala atau lebih seperti sumbatan, pengeluaran sekret, nyeri
tertekan di wajah, berkurangnya atau hilangnya indera penciuman penyakit yang
timbul samapi 12 minggu disebut sebagai akut dan bila lebih dari 12 minggu
disebut kronik (Bradle & Ludman, 2012).

b. Etiologi
a. Faktor Host
 Umur, Jenis Kelamin dan Ras
Rhinosinusitis kronik merupakan penyakit yang dapat mengenai semua
kelompok umur, semua jenis kelamin dan semua ras.
 Riwayat Rhinosinusitis Akut
Rhinosinusitis akut biasanya di dahului oleh adanya infeksi saluran
pernafasan atas seperti batuk dan influenza. Infeksi saluran pernafasan
atas dapat menyebabkan edema pada mukosa hidung, hipersekresi dan
penurunan aktivitas mukosiliar. Rhinnosinusitis akut yang tidak diobati
secra adekuat akan menyebabkan regenerasi epitel permukaan bersilia
yang tidak lengkap, akibatnya terjadi kegagalan mengeluarkan sekret
sinus dan menciptakan predisposisi infeksi.
 Infeksi Gigi
Infeksi gigi merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
rinosinusitis maksila. Hal ini terjadi karena sinus maksila mempunyai
hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi premolar dan molar atas.
Hubungan ini dapat menimbulkan masalah klinis seperti infeksi yang
berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke atas dan
menimbulkan infeksi sinus maksila.
 Rinitis Alergi
Alergi merupakan suatu penyimpangan reaksi tubuh terhadap paparan
bahan asing yang menimbulkan gejala pada orang yang berbakat atopi
sedangkan pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apapun.39
Rinitis alergi adalah suatu penyakit manifestasi reaksi hipersensitifitas
tipe I (Gell & Comb) yang diperantarai oleh IgE dengan mukosa hidung
sebagai organ sasaran utama. Gejalanya berupa hidung beringus, bersin-
bersin, hidung tersumbat dan gatal.
Peranan alergi pada rinosinusitis kronik adalah akibat reaksi anti gen anti
bodi menimbulkan pembengkakan mukosa sinus dan hipersekresi.
Mukosa sinus yang membengkak dapat menyumbat ostium sinus dan
mengganggu drainase sehingga menyebabkan timbulnya infeksi, yang
selanjutnya menghancurkan epitel permukaan. Kejadian yang berulang
terus-menerus dapat menyebabkan rinosinusitis kronis.
 Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor prediposisi terjadinya
rinosinusistis kronik. Hal ini di sebabkan penderita diabetes melitus
berada dalam kondisi immunocompromised atau turunnya sistem
kekebalan tubuh sehingga lebih rentan terkena penyakit infeksi seperti
rinosinusitis.
 Asma
Asama merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis
kronik. Sebesar 25-30 % penderita asma dapat berkembang menjadi
polip hidung sehingga menggangu aliran mukus.
 Kelainan anatomi hidung
Kelainan anatomi seperti septum deviasi, bula etmoid yang membesar,
hipertrofi atau paradoksal konka media dan konka bulosa dapat
mempengaruhi aliran ostium sinus, menyebabkan penyempitan pada
kompleks osteomeatal dan menggangu clearance mukosilia sehingga
memungkinkan terjadinya rinosinusitis.
 Kelainan konegnital
Kelainan kongenital seperti sindroma kartagener dan fibrosis kistik
dapatmengganggu transport mukosiliar (sistem pembersih). Sindrom
kartagener atau sindrom silia immortal merupakan penyakit yang
diturunkan secara genetik, dimana terjadi kekurangan/ketiadaan
lengan dynein sehingga menyebabkan terjadinya gangguan pada
koordinasi gerakan silia dan disorientasi arah dari denyut silia.
Gangguan pada transport mukosiliar dan frekuensi denyut silia
menyebabkan infeksi kronis yang berulang sehingga terjadi
bronkiektasis dan rinosinusitis. Pada fibrosis kistik terjadi perubahan
sekresi kelenjar yang menghasilkan mukus yang kental sehingga
menyulitkan pembersihan sekret. Hal ini menimbulkan stase mukus yang
selanjutnya akan terjadi kolonisasi kuman dan timbul infeksi.

b. Faktor Agent
Rinosinusitis kronik dapat disebabkan oleh beberapa bakteri patogen
seperti Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza, Moraxella
catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, Bacteroides,
Peptostreptococcus, Fusobacterium dan Basil gram (-). Selain bakteri,
rinosinusitis juga dapat disebabkan oleh virus (Rhinovirus, influenza virus,
parainfluenza virus dan Adenovirus) dan jamur (Aspergillus dan Candida).

c. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang memengaruhi terjadinya rinosinusitis kronik yaitu
polusi udara dan udara dingin. Paparan dari polusi udara dapat mengiritasi
saluran hidung, menyebabkan perubahan mukosa dan memperlambat gerakan
silia. Apabila berlangsung terus-menerus dapat menyebabkan rinosinusitis
kronik. Udara dingin akan memperparah infeksi karena menyebabkan
mukosa sinus membengkak. Hal ini membuat jalannya mukus terhambat dan
terjebak di dalam sinus, yang kemudian menyebabkan bakteri berkembang di
daerah tersebut.
c. Manifestase Klinis
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 2 atau lebih gejala mayor atau 1 gejala
mayor dan 2 gejala minor. Pemeriksaan fisik THT dengan menggunakan
nasoendoskopi dan foto polos hidung dan sinus paranalis atau SPN (Busquets
JM , 2000 ; Draft , 1995 ; Stankiewicz, 2001).
a. Gejala Mayor
 Hidung tersumbat
 Sekret pada hidung atau belakang hidung
 Sakit kepala
 Nyeri atau rasa tekan pada wajah
 Kelainan penciuman
b. Gejala Minor
 Demam, halitosis
 Pada anak : batuk, iritabilitas
 Sakit gigi
 Sakit telinga atau nyeri tekan pada telinga atau rasa penuh pada
telinga

Gejala dan Tanda Klinis menurut (Ballenger, 1997 citt Setiadi 2009)

a. Gejala Subjektif
a. Nyeri
Sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin
tidak. Secara anatomi, apeks gigi-gigi depan atas (kecuali gigi
insisivus) dipisahkan dari lumen sinus hanya oleh lapisan tipis tulang
atau mungkin tanpa tulang hanya oleh mukosa, karenanya sinusitis
maksila sering menimbulkan nyeri hebat pada gigi-gigi ini.
b. Sakit kepala
Merupakan tanda yang paling umum dan paling penting pada
sinusitis. Wolff menyatakan bahwa nyeri kepala yang timbul
merupakan akibat adanya kongesti dan udema di ostium sinus dan
sekitarnya. Penyebab sakit kepala bermacam-macam, oleh karena itu
bukanlah suatu tanda khas dari peradangan atau penyakit pada sinus.
Jika sakit kepala akibat kelelahan dari mata, maka biasanya bilateral
dan makin berat pada sore hari, sedangkan pada penyakit sinus sakit
kepala lebih sering unilateral dan meluas kesisi lainnya. Sakit kepala
yang bersumber di sinus akan meningkat jika membungkukkan badan
kedepan dan jika badan tiba-tiba digerakkan. Sakit kepala ini akan
menetap saat menutup mata, saat istirahat ataupun saat berada
dikamar gelap.
Nyeri kepala pada sinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari, dan
akan berkurang atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum
diketahui dengan pasti, tetapi mungkin karena pada malam hari terjadi
penimbunan ingus dalam rongga hidung dan sinus serta adanya statis
vena.
c. Nyeri pada penekanan

Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin terjadi
pada penyakit di sinus-sinus yang berhubungan dengan permukaan
wajah
d. Gangguan penghidu
Indra penghindu dapat disesatkan (parosmia), pasien mencium bau
yang tidak tercium oleh hidung normal. Keluhan yang lebih sering
adalah hilangnya penghindu (anosmia). Hal ini disebabkan adanya
sumbatan pada fisura olfaktorius didaerah konka media. Oleh karena
itu ventilasi pada meatus superior hidung terhalang, sehingga
menyebabkan hilangnya indra penghindu. Pada kasus kronis, hal ini
dapat terjadi akibat degenerasi filament terminal nervus olfaktorius,
meskipun pada kebanyakan kasus, indra penghindu dapat kembali
normal setelah infeksi hilang.
b. Gejala Objektif
e. Pembengkakan dan odema
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit terkena secara akut, dapat
terjadi pembengkakan dan udem kulit yang ringan akibat periostitis.
Palpasi dengan jari mendapati sensasi seperti pada penebalan ringan
atau seperti meraba beludru.
f. Sekret nasal
Mukosa hidung jarang merupakan pusat fokus peradangan supuratif,
sinus-sinuslah yang merupakan pusat fokus peradangan semacam ini.
Adanya pus dalam rongga hidung seharusnya sudah menimbulkan
kecurigaan adanya suatu peradangan dalam sinus. Pus di meatus
medius biasanya merupakan tanda terkenanya sinus maksila, sinus
frontal atau sinus etmoid anterior, karena sinus-sinus ini bermuara
kedalam meatus medius.

d. Patofisologi
Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait 3 faktor: patensi ostium, fungsi silia dan
kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau kombinasi faktor-faktor
tersebut merubah fisiologi dan menimbulkan sinusitis. Kegagalan transpor mukus
dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama berkembangnya
rinosinusitis kronik.
Patofisiologi rinosinusitis kronik dimulai dari blokade akibat udem hasil proses
radang di area kompleks ostiomeatal. Blokade daerah kompleks ostiomeatal
menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi sinus-sinus anterior. Sumbatan
yang berlangsung terus menerus akan mengakibatkan terjadinya hipoksi dan
retensi sekret serta perubahan pH sekret yang merupakan media yang baik bagi
bakteri anaerob untuk berkembang biak. Bakteri juga memproduksi toksin yang
akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi hipertrofi mukosa yang
memperberat blokade kompleks ostiomeatal. Siklus ini dapat dihentikan dengan
membuka blokade kompleks ostiomeatal untuk memperbaiki drainase dan aerasi
sinus.
Faktor predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya; obstruksi mekanik
seperti septum deviasi, hipertrofi konkha media, benda asing di hidung, polip
serta tumor di dalam rongga hidung. Faktor sistemik yang mempengaruhi seperti
malnutrisi, terapi steroid jangka panjang, diabetes, kemoterapi dan defisiensi
imun. Faktor lingkungan seperti polusi udara, debu, udara dingin dan kering dapat
mengakibatkan perubahan pada mukosa dan kerusakan silia.
e. Pathway

Faktor Host : Faktor Lingkungan :


Faktor Agent :
 Umur, jenis kelamain dan ras  Polusi udara
 Bakteri
 Riwayat rinosinusitis akut  Udara dingin
 Virus
 Infeksi gigi  Jamur
 Riwayat alergi
 Diabetes militus
 Asma
 Kelainan anatomi hidung
 Kelainan kongenital

Defisit Pengetahuan
Rinosinusitis
(D.0111)

Hidung Gigi Kepala Telinga

Peradangan Hidung tersumbat, penekanan Kongesti dan udema


sekret pada hidung di ostium

Ansietas Gangguan persepsi


(D.0080) sensori
(D.0085)
Risiko Infeksi
Nyeri
(D.0142)
(D.0077)
Bersihan jalan napas
tidak efektif
f. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan palpasi turut membantu menemukan nyeri tekan pada daerah
sinus yang terkena disamping pemeriksan rinoskopi anterior dan rinoskopi
posterior.
b. Transilminasi
Transluminasi mempuyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk
pemeriksaan sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan
radiologik tidak tersedia.
c. Pemeriksaan Radiologi
 Foto Rontgen Sinus Paranasal
Pemeriksaan radiologik yang dapat dibuat antara lain: Waters, PA dan
Lateral. Tepi mukosa sinus yang sehat tidak tampak pada foto rontgen,
tetapi jika ada infeksi tepi mukosa akan tampak karena udema
permukaan mukosa. Permukaan mukosa yang membengkak dan udema
tampak seperti suatu densitas yang paralel dengan dinding sinus.
Pembengkakan permukaan mukosa yang berbatas tegas pada resesus
alveolaris antrum maksila biasanya terjadi akibat infeksi yang berasal
dari gigi atau daerah periodontal. Jika cairan tidak mengisi seluruh
rongga sinus, selalu dapat dilihat adanya batas cairan (air fluid level)
pada foto dengan posisi tegak.
 CT-Scan
Sinus maksila, rongga hidung, septum nasi dan konka terlihat pada
penampang CT-Scan aksial dan koronal. Pada sinusitis dengan
komplikasi, CT-Scan adalah cara yang terbaik untuk memperlihatkan
sifat dan sumber masalah.
CT-Scan koronal dari sinus paling baik untuk pembedahan, memberikan
visualisasi yang baik tentang anatomi rongga hidung, komplek
osteomeatal, rongga-rongga sinus dan struktur-struktur yang
mengelilinginya seperti orbita, lamina kribiformis, dan kanalis optikus.
Obstruksi anatomi pada komplek osteomeatal dan kelainan-kelainan gigi
akan terlihat jelas.
CT-Scan dapat menilai tingkat keparahan inflamasi dengan
menggunakan sistem gradasi yaitu staging Lund-Mackay. Sistem ini
sangat sederhana untuk digunakan secara rutin dan didasarkan pada skor
angka hasil gambaran CT scan. Lund-MacKay Radiologic Staging
System ditentukan dari lokasi Gradasi Radiologik sinus maksila, etmoid
anterior, etmoid posterior dan sinus sphenoid, Penilaian Gradasi
radiologik dari 0-2, Gradasi 0 : Tidak ada kelainan, Gradasi 1 :
Opasifikasi parsial Gradasi 2 : Opasifikasi komplit.
d. Nasoendoskopi
Nasoendoskopi ini akan mempermudah dan memperjelas pemeriksaan
karena dapat melihat bagian-bagian rongga hidung yang berhubungan dengan
faktor lokal penyebab sinusitis. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat melihat
adanya kelainan septum nasi, meatus media, konka media dan inferior, juga
dapat mengetahui adanya polip atau tumor.

g. Penatalaksanaan
Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi
septum, kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid pada anak, polip,
kista, jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan
penatalaksanaan yang sesui dengan kelainan yang ditemukan (Ulusoy, 2007).
Jika tidak ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah bakterial yang
memerlukan pemberian antibiotik dan pengobatan medik lainnya.
a. Medikamentosa
 Antibiotika
Meskipun tidak memegang peran penting, antibiotika dapat diberikan
sebagai terapi awal. Pilihan antibiotika harus mencakup β-laktamase
seperti pada terapi sinusitis akut lini ke II, yaitu amoksisillin klavulanat
atau ampisillin sulbaktam, sefalosporin generasi kedua, makrolid,
klindamisin. Jika ada perbaikan antibiotik diteruskan mencukupi 10 – 14
atau lebih jika diperlukan.
Jika tidak ada perbaikan dapat dipilih antibiotika alternatif seperti
siprofloksasin, golongan kuinolon atau yang sesuai dengan kultur. Jika
diduga ada bakteri anaerob, dapat diberi metronidazole.
Jika dengan antibiotika alternatif tidak ada perbaikan, maka eveluasi
kembali apakah ada faktor predisposisi yang belum terdiagnosis dengan
pemeriksaan nasoendoskopi maupun CT-Scan.

 Terapi Medik Tambahan


Dekongestan, Dekongestan berperan penting sebagai terapi awal
mendampingi antibiotik. Dekongestan oral menstimulasi reseptor α-
adrenergik dimukosa hidung dengan efek vasokontriksi yang dapat
mengurang keluhan sumbatan hidung, meningkatkan diameter ostium
dan meningkatkan ventilasi.
Preparat yang umum adalah pseudoefedrine dan phenyl-propanolamine.
Karena efek peningkatan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung
harus dilakukan dengan hati-hati.
Dekongestan topikal mempunyai efek yang lebih cepat terhadap
sumbatan hidung, namun efeknya ini sebetulnya tidak fisiologik dan
pemakaian jangka lama (lebih dari 7 hari) akan menyebabkan rinitis
medika mentosa.
Antihistamin, Alergi berperan sebagai penyebab sinusitis kronis pada
lebih dari 50% kasus, karenanya penggunaan antihistamin justru
dianjurkan, demikian juga kemungkinan imunoterapi.
Karena antihistamin generasi pertama mempunyai efek antikolinergik
yang tinggi, generasi kedua lebih disukai seperti azelastine, acrivastine,
cetirizine, fexofenadine dan loratadine.
Kortikosteroid, ada 2 jenis kortikosteroid, yaitu kortikosteroid
topikal dan kortikosteroid oral, kortikosteroid topikal mempunyai efek
lokal terhadap bersin, sekresi lendir, sumbatan hidung dan hipo/anosmia.
Penemuannya merupakan perkembangan besar dalam pengobatan rinitis
dan sinusitis.
Penggunaannya kortikosteroid topikal meluas pada kelainan alergi dan
non-alergi. Meskipun obat semprot ini tidak mencapai komplek
osteomeatal, keluhan pasien berkurang karena udema di rongga hidung
dan meatus medius hilang.
Sedangkan kortikosteroid oral dapat mencapai seluruh rongga sinus.
Terapi singkat selama dua minggu sudah efektif menghilangkan
beberapa keluhan. Preparat oral dapat diberikan mendahului yang
topikal, obat oral dapat membuka sumbatan hidung terlebih dahulu
sehingga distribusi obat semprot merata.

b. Penatalaksanakan Operatif

Sinusitis kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan medik adekuat dan
optimal serta adanya kelainan mukosa menetap merupakan indikasi tindakan
bedah.
Beberapa macam tindakan bedah mulai dari antrostomi meatus inferior,
Caldwel-Luc, trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional
(BSEF) dapat dilaksanakan.
Bedah sinus konvensional tidak memperlihatkan usaha pemulihan drainase
dan ventilasi sinus melalui ostium alami.
Namun dengan berkembangnya pengetahuan patogenesis sinusitis, maka
berkembang pula modifikasi bedah sinus konvensional misalnya operasi
Caldwel-Luc yang hanya mengangkat jaringan patologik dan meninggalkan
jaringan normal agar tetap berfungsi dan melakukan antrostomi meatus
medius sehingga drainase dapat sembuh kembali.
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) merupakan kemajuan pesat
dalam bedah sinus. Jenis operasi ini lebih dipilih karena merupakan tindakan
konservatif yang lebih efektif dan fungsional.
Keuntungan BSEF adalah penggunaan endoskop dengan pencahayaan yang
sangat terang, sehingga saat operasi kita dapat melihat lebih jelas dan rinci
adanya kelainan patologi dirongga-rongga sinus.
Jaringan patologik yang diangkat tanpa melukai jaringan normal dan ostium
sinus yang tersumbat diperlebar.
Dengan ini ventilasi sinus lancar secara alami, jaringan normal tetap
berfungsi dan kelainan didalam sinus maksila dan frontal akan sembuh
sendiri.

h. Komplikasi
Kompikasi rinosinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukan antibiotika.
Komplikasi yang dapat terjadi ialah:
a. Osteomielitis dan abses subperiostal
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada
anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral.
b. Kelainan Orbita
Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang
paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila.
Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Variasi
yang dapat timbul ialah udema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal,
abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus.
c. Kelainan Intrakranial
Dapat berupa meningitis, abses ektradural, abses otak dan trombosis sinus
kavernosus.
d. Kelainan Paru
Seperti bronkitis kronis dan brokiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal
disertai denga kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga
timbul asma bronkial
BAB II

ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
1. Biodata
Nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Penderita mengeluah hidung tersumbat,kepala pusing, badan terasa panas, bicara
bendeng.
3. Keluhan Utama
Biasanya penderita mengeluh nyeri kepala sinus, tenggorokan.
4. Riwayat Penyakit Dahulu

 Pasien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung atau trauma
 Pernah mempunyai riwayat penyakit THT
 Pernah menedrita sakit gigi geraham
5. Riwayat Keluarga
Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang lalu yang mungkin
ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang.
6. Riwayat Psikososial

 Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas/sedih)


 Interpersonal : hubungan dengan orang lain.
7. Pola fungsi kesehatan
 Pola nutrisi dan metabolisme
Biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi gangguan pada
hidung.
 Pola istirahat dan tidur
Selama indikasi klien merasa tidak dapat istirahat karena klien sering pilek
 Pola persepsi dan konsep diri
Klien sering pilek terus menerus dan berbau menyebabkan konsepdiri
menurun
 Pola sensorik
Daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat pilek terus
menerus (baik purulen , serous, mukopurulen).

8. Pemeriksaan fisik

 Status kesehatan umum : keadaan umum , tanda viotal, kesadaran.


 Pemeriksaan fisik data focus hidung : nyeri tekan pada sinus, rinuskopi
(mukosa merah dan bengkak).

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
 Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan mucus berlebih.
 Nyeri sehubungan dengan adanya sumbatan drainase sinus.
 PK: Infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya daya tahan tubuh.
 Cemas berhubungan dengan ancaman terhadap atau perubahan dalam status
kesehatan.
 Gangguan persepsi sensori penghidu berhubungan dengan Sumbatan pada fisura
olfaktorius
RENCANA KEPERAWATAN

DIANGOSA
NO
KEPERAWATAN DAN TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)
DX
KOLABORASI
1 Bersihan jalan nafas tidak NOC : NIC :
efektif berhubungan dengan Respiratory status : Ventilation Airway Management
mucus berlebih  Respiratory status : Airway patency  Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
 Aspiration Control  Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
Kriteria Hasil :  Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
 Mendemonstrasikan batuk efektif dan Pasang mayo bila perlu
suara nafas yang bersih, tidak ada Lakukan fisioterapi dada jika perlu
sianosis dan dyspneu (mampu Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
mengeluarkan sputum, mampu Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
bernafas dengan mudah, tidak ada Lakukan suction pada mayo
pursed lips)  Berikan bronkodilator bila perlu
 Menunjukkan jalan nafas yang paten Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
(klien tidak merasa tercekik, irama Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
nafas, frekuensi pernafasan dalam Monitor respirasi dan status O2
rentang normal, tidak ada suara nafas
abnormal) Airway Suction
 Mampu mengidentifikasikan dan Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning
mencegah factor yang dapat Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning.
menghambat jalan nafas  Informasikan pada klien dan keluarga tentang suctioning
 Minta klien nafas dalam sebelum suction dilakukan.
 Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi suksion
nasotrakeal
 Gunakan alat yang steril sitiap melakukan tindakan
 Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam setelah kateter
dikeluarkan dari nasotrakeal
 Monitor status oksigen pasien
 Ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suksion
 Hentikan suksion dan berikan oksigen apabila pasien menunjukkan
bradikardi, peningkatan saturasi O2, dll.

2 Nyeri berhubungan dengan NOC : NIC :


adanya sumbatan Pain
drainase
Level, Pain Management
sinus Pain control,  Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
Comfort level karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
Kriteria Hasil :  Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
 Mampu mengontrol nyeri (tahu Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman
penyebab nyeri, mampu menggunakan nyeri pasien
tehnik nonfarmakologi untuk Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
mengurangi nyeri, mencari bantuan)  Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
 Melaporkan bahwa nyeri berkurang Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang
dengan menggunakan manajemen nyeri ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau
 Mampu mengenali nyeri (skala, Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)  Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu
 Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri ruangan, pencahayaan dan kebisingan
berkurang  Kurangi faktor presipitasi nyeri
 Tanda vital dalam rentang normal  Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi
dan inter personal)
 Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
 Ajarkan tentang teknik non farmakologi
 Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
 Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
 Tingkatkan istirahat
 Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri
tidak berhasil
 Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri

Analgesic Administration
 Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum
pemberian obat
 Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi
 Cek riwayat alergi
 Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika
pemberian lebih dari satu
 Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri
 Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal
 Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara
teratur
 Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama
kali
 Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
 Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping)

3 PK: Infeksi Setelah  Pantau SDP (neutrofil dan limfosit)


dilakukan tindakan asuhan keperawatan Pantau tanda dan gejala infeksi primer dan sekunder
……x 24 jam diharapkan perawat Pantau gejala septicemia
akan mencegah, menangani dan Pantau efek antibiotic
meminimalkan infeksi dengan gejala:  Pantau tanda dan gejala virus oportunistik (herpes, varicella dll)
 Suhu meningkat  Pantau tanda dan gejala infeksi jamur (stomatitis, esofagitis,
 Urine buram/ bau flor meningitis)
 Ulser pada sisitem gastrointestinal  Kaji dan pantau infeksi bakteri pada pulmonal
 Perubahan jumlah SDP khususnya Anjurkan intake nutrisi ditingkatkan
neutrofil dan limfosit  Kurangi prosedur infasif
 Adanya nyeri pada perineum
4 Cemas berhubungan dengan NOC : NIC :
ancaman terhadap  Anxiety control
atau Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)
perubahan dalam  Coping
status  Gunakan pendekatan yang menenangkan
kesehatan  Impulse control  Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku pasien
Kriteria Hasil :  Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
Klien mampu mengidentifikasi dan Pahami prespektif pasien terhdap situasi stres
mengungkapkan gejala cemas  Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut
Mengidentifikasi, mengungkapkan dan Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, tindakan prognosis
menunjukkan tehnik untuk mengontol Dorong keluarga untuk menemani anak
cemas  Lakukan back / neck rub
Vital sign dalam batas normal  Dengarkan dengan penuh perhatian
Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa Identifikasi tingkat kecemasan
tubuh dan tingkat aktivitas Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan
menunjukkan berkurangnya kecemasan Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi
 Instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi
 Barikan obat untuk mengurangi kecemasan

5 Gangguan persepsi Setelah  Kaji seberapa besar kehilangan sensasi bau pada klien
sensori penghidu dilakukan tindakan asuhan keperawatan Kenalkan pasien dengan berbagai sensasi bau seperti aroma
berhubungan dengan ……x 24 jam diharapkan pasien dapat makanan, parfum dll
Sumbatan pada fisura mempertahankan fungsi pembau dan Jelaskan pada pasien tentang keadaannya dan mekanisme bau
olfaktorius mencegah kerusakan yang lebih parah sehingga pasien jelas dengan keadaannya
dengan kriteria hasil:  Kolaborasikan pemeriksaan selanjutnya dan terapi
 Mempertahankan fungsi pembau  Memberi helth education kepada pasien mengenai penurunan fungsi
pembau
 Libatkan keluarga dalam pengobatan dan perawaatan
6 Kurang pengetahuan b.d NOC : NIC :
kurangnya  Kowlwdge : disease process
informasi Teaching : Disease Process
mengenai kondisi, prognosis Kowledge : health Behavior  Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses
dan tindakan pengobatan Kriteria Hasil : penyakit yang spesifik
Pasien dan keluarga menyatakan Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini
pemahaman tentang penyakit, kondisi, berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat.
prognosis dan program pengobatan  Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit,
Pasien dan keluarga mampu dengan cara yang tepat
melaksanakan prosedur yang dijelaskan Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat
secara benar  Identifikasi kemungkinan penyebab, dengna cara yang tepat
Pasien dan keluarga mampu menjelaskan Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang
kembali apa yang dijelaskan tepat
perawat/tim kesehatan lainnya  Hindari harapan yang kosong
 Sediakan bagi keluarga atau SO informasi tentang kemajuan pasien
dengan cara yang tepat
 Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk
mencegah komplikasi di masa yang akan datang dan atau proses
pengontrolan penyakit
 Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
 Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second
opinion dengan cara yang tepat atau diindikasikan
 Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan, dengan cara yang
tepat
 Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas lokal, dengan cara
yang tepat
 Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan
pada pemberi perawatan kesehatan, dengan cara yang tepat
DAFTAR PUSTAKA

Acala V. 2010. CDK: Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis
Rinosinusitis Kronik. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada/RSUP Dr. Sardjito
Benninger MS, Gottschall J. 2006. Rhinosinusitis: clinical presentation and diagnosis. In:
Itzhak Brook, ed. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor
and Francis Group
Harowi MR dkk. 2011. Kualitas Hidup Penderita Rinosinusitis Kronik Pasca-bedah.
Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr. Sardjito
Carpenito, LJ. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta: EGC
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River
Kentjono WA. 2004. Rinosinusitis: etiologi dan patofisiologi. Dalam: Naskah lengkap
perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya:
Bagian Ilmu Kesehatan THT FK Unair/RS Dr. Soetomo
Mangunkusumo E, Soetjipto D. 2007. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD, eds. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala & leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition.
New Jersey: Upper Saddle River
Rahmi AD, Punagi Q. 2008. Pola penyakit Subbagian Rinologi di RS Pendidikan Makassar
periode 2003-2007. Makasar: Bagian Ilmu Kesehatan THT FK Universitas
Hasanuddin. Dipresentasikan di PIT IV Bandung
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika

Soetjipto D, Dharmabakti U, Mangunkusumo E, Utama R. 2006. Functional endoscopic


sinus surgery di Indonesia pada panel ahli THT Indonesia. Jakarta: Yanmedic-
Depkes

Anda mungkin juga menyukai