Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

RINOSINUSITIS

A. DEFENISI
Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi mukosa yang melapisi hidung
dan sinus paranasal. Peradangan ini sering bermula dari infeksi virus, yang
karena keadaan tertentu berkembang menjadi infeksi bakterial dengan
penyebab bakteri pathogen yang terdapat di saluran napas bagian atas.
Penyebab lain adalah infeksi jamur, infeksi gigi, dan dapat pula terjadi
akibat fraktur dan tumor.
Rinosinusitis merupakan peradangan mukosa hidung dan sinus
paranasal, yang selalu dimulai dengan penyumbatan daerah kompleks
osteomeatal oleh infeksi, obstruksi mekanik atau alergi. Rinosinusitis
adalah peradangan mukosa nasal dan sinus paranasal, dikatakan kronis
apabila berlangsung paling sedikit 12 minggu.
Sinusitis dapat didefinisikan sebagai peradangan pada salah satu
atau lebih mukosa sinus paranasal, umumnya disertai atau dipicu oleh
rinitis sehingga sering disebut sebagai rinosinusitis. Bila mengenai
beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua
sinus paranasal disebut pansinusitis.

B. KLASIFIKASI
Rinosinusitis ditinjau dari lima aksis, yaitu: 
1. Gambaran klinis (akut, subakut, dan kronik)
Menurut Konsensus International (2004) dalam Soetjipto &
Wardani (2007) membagi rinosinusitis menjadi:
a. Akut dengan batas sampai 4 minggu
b. Sub akut bila terjadi antara 4 minggu sampai 3 bulan atau 12
minggu 
c. Kronik bila lebih dari 3 bulan atau 12 minggu
Rinosinusitis kronis adalah peradangan mukosa hidung dan sinus
paranasal yang menetap selama lebih 12 minggu atau 4 kali serangan
akut berulang pertahun yang masing-masing serangan lebih dari 10
hari.

2. Lokasi sinus yang terkena (maksilaris, frontalis, ethmoidalis, dan


sphenoidalis)
3. Organisme yang terlibat (virus, bakteri, atau jamur)
4. Keterlibatan ekstrasinus (komplikasi atau tanpa komplikasi)   
5. Modifikasi penyebab spesifik (atopi, obstruksi komplek osteomeatal)

C. ETIOLOGI
1. Faktor Host
a. Umur, Jenis Kelamin dan Ras

Rinosinusitis kronik merupakan penyakit yang dapat mengenai


semua kelompok umur, semua jenis kelamin dan semua ras.

b. Riwayat Rinosinusitis Akut


akut yang tidak diobati secara adekuat akan menyebabkan
regenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap, akibatnya
terjadi kegagalan mengeluarkan sekret sinus dan menciptakan
predisposisi infeksi.
c. Infeksi Gigi
Infeksi gigi merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
rinosinusitis maksila. Hal ini terjadi karena sinus maksila
mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi premolar
dan molar atas. Hubungan ini dapat menimbulkan masalah klinis
seperti infeksi yang berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik
ke atas dan menimbulkan infeksi sinus maksila.
d. Rinitis Alergi
Peranan alergi pada rinosinusitis kronik adalah akibat reaksi
anti gen anti bodi menimbulkan pembengkakan mukosa sinus dan
hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak dapat menyumbat
ostium sinus dan mengganggu drainase sehingga menyebabkan
timbulnya infeksi, yang selanjutnya menghancurkan epitel
permukaan. Kejadian yang berulang terus-menerus dapat
menyebabkan rinosinusitis kronis.
e. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor predisposisi
terjadinya rinosinusitis kronik. Hal ini disebabkan penderita diabetes
mellitus berada dalam kondisi immunocompromised atau turunnya
sistem kekebalan tubuh sehingga lebih rentan terkena penyakit
infeksi seperti rinosinusitis.
f. Asma
Asma merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
rinosinusitis kronik. Sebesar 25-30 % penderita asma dapat
berkembang menjadi polip hidung sehingga mengganggu aliran
mukus.
g. Kelainan anatomi hidung
Kelainan anatomi seperti septum deviasi, bula etmoid yang
membesar, hipertrofi atau paradoksal konka media dan konka
bulosa dapat mempengaruhi aliran ostium sinus, menyebabkan
penyempitan pada kompleks osteomeatal dan
menggangu clearance mukosilia sehingga memungkinkan terjadinya
rinosinusitis.
h. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital seperti sindroma kartagener dan fibrosis
kistik dapatmengganggu transport mukosiliar (sistem pembersih).
Sindrom kartagener atau sindrom silia immortal merupakan
penyakit yang diturunkan secara genetik, dimana terjadi
kekurangan/ketiadaan lengan dynein sehingga menyebabkan
terjadinya gangguan pada koordinasi gerakan silia dan disorientasi
arah dari denyut silia. Gangguan pada transport mukosiliar dan
frekuensi denyut silia menyebabkan infeksi kronis yang berulang
sehingga terjadi bronkiektasis dan rinosinusitis.
2. Faktor Agent
Rinosinusitis kronik dapat disebabkan oleh beberapa bakteri
patogen seperti Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza,
Moraxella catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus
aureus, Bacteroides, Peptostreptococcus, Fusobacterium dan Basil
gram (-). Selain bakteri, rinosinusitis juga dapat disebabkan oleh
virus (Rhinovirus, influenza virus, parainfluenza
virus dan Adenovirus) dan jamur (Aspergillus dan Candida).
3. Faktor Lingkungan
faktor lingkungan yang memengaruhi terjadinya rinosinusitis
kronik yaitu polusi udara dan udara dingin. Paparan dari polusi udara
dapat mengiritasi saluran hidung, menyebabkan perubahan mukosa
dan memperlambat gerakan silia. Apabila berlangsung terus-menerus
dapat menyebabkan rinosinusitis kronik. Udara dingin akan
memperparah infeksi karena menyebabkan mukosa sinus
membengkak. Hal ini membuat jalannya mukus terhambat dan
terjebak di dalam sinus, yang kemudian menyebabkan bakteri
berkembang di daerah tersebut

D. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait 3 faktor: patensi ostium,
fungsi silia dan kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau
kombinasi faktor-faktor tersebut merubah fisiologi dan menimbulkan
sinusitis. Kegagalan transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus
merupakan faktor utama berkembangnya rinosinusitis kronik.
Patofisiologi rinosinusitis kronik dimulai dari blokade akibat udem
hasil proses radang di area kompleks ostiomeatal. Blokade daerah
kompleks ostiomeatal menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi sinus-
sinus anterior. Sumbatan yang berlangsung terus menerus akan
mengakibatkan terjadinya hipoksi dan retensi sekret serta perubahan pH
sekret yang merupakan media yang baik bagi bakteri anaerob untuk
berkembang biak. Bakteri juga memproduksi toksin yang akan merusak
silia. Selanjutnya dapat terjadi hipertrofi mukosa yang memperberat
blokade kompleks ostiomeatal. Siklus ini dapat dihentikan dengan
membuka blokade kompleks ostiomeatal untuk memperbaiki drainase dan
aerasi sinus.
Faktor predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya; obstruksi
mekanik seperti septum deviasi, hipertrofi konkha media, benda asing di
hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung. Faktor sistemik yang
mempengaruhi seperti malnutrisi, terapi steroid jangka panjang, diabetes,
kemoterapi dan defisiensi imun. Faktor lingkungan seperti polusi udara,
debu, udara dingin dan kering dapat mengakibatkan perubahan pada
mukosa dan kerusakan silia

Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata


(orbita). Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis
frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis
dan perkontinuitatum. Variasi yang dapat timbul ialah udema
palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan
selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus.
1. Kelainan Intrakranial
Dapat berupa meningitis, abses ektradural, abses otak dan trombosis
sinus kavernosus.
2. Kelainan Paru
Seperti bronkitis kronis dan brokiektasis. Adanya kelainan sinus
paranasal disertai denga kelainan paru ini disebut sinobronkitis.
Selain itu dapat juga timbul asma bronkial

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan palpasi turut membantu menemukan nyeri tekan pada
daerah sinus yang terkena disamping pemeriksan rinoskopi anterior dan
rinoskopi posterior.
2. Transiluminasi
Transluminasi mempuyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai
untuk pemeriksaan sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas
pemeriksaan radiologik tidak tersedia.
3. Pemeriksaan radiologi
a. Foto rontgen sinus paranasal
Pemeriksaan radiologik yang dapat dibuat antara lain: Waters,
PA dan Lateral. Tepi mukosa sinus yang sehat tidak tampak pada
foto rontgen, tetapi jika ada infeksi tepi mukosa akan tampak karena
udema permukaan mukosa. Permukaan mukosa yang membengkak
dan udema tampak seperti suatu densitas yang paralel dengan
dinding sinus. Pembengkakan permukaan mukosa yang berbatas
tegas pada resesus alveolaris antrum maksila biasanya terjadi akibat
infeksi yang berasal dari gigi atau daerah periodontal. Jika cairan
tidak mengisi seluruh rongga sinus, selalu dapat dilihat adanya
batas cairan (air fluid level) pada foto dengan posisi tegak.
b. CT-Scan (Computer Tomography) sinus paranasal
Sinus maksila, rongga hidung, septum nasi dan konka terlihat
pada penampang CT-Scan aksial dan koronal. Pada sinusitis dengan
komplikasi, CT-Scan adalah cara yang terbaik untuk
memperlihatkan sifat dan sumber masalah.
CT-Scan dapat menilai tingkat keparahan inflamasi dengan
menggunakan sistem gradasi yaitu staging Lund-Mackay. Sistem ini
sangat sederhana untuk digunakan secara rutin dan didasarkan
pada skor angka hasil gambaran CT scan. Lund-MacKay Radiologic
Staging System ditentukan dari lokasi Gradasi Radiologik sinus
maksila, etmoid anterior, etmoid posterior dan sinus sphenoid,
Penilaian Gradasi radiologik dari 0-2, Gradasi 0 : Tidak ada kelainan,
Gradasi 1 : Opasifikasi parsial Gradasi 2 : Opasifikasi komplit.
4. Nasoendoskopi
Nasoendoskopi ini akan mempermudah dan memperjelas
pemeriksaan karena dapat melihat bagian-bagian rongga hidung yang
berhubungan dengan faktor lokal penyebab sinusitis. Pemeriksaan
nasoendoskopi dapat melihat adanya kelainan septum nasi, meatus
media, konka media dan inferior, juga dapat mengetahui adanya polip
atau tumor.
F. PENATALAKSANAAN
Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti
deviasi septum, kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid pada
anak, polip, kista, jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk
melakukan penatalaksanaan yang sesui dengan kelainan yang ditemukan.
Jika tidak ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah
bakterial yang memerlukan pemberian antibiotik dan pengobatan medik
lainnya.
1. Medikamentosa
a. Antibiotika
Meskipun tidak memegang peran penting, antibiotika dapat
diberikan sebagai terapi awal. Pilihan antibiotika harus mencakup β-
laktamase seperti pada terapi sinusitis akut lini ke II, yaitu amoksisillin
klavulanat atau ampisillin sulbaktam, sefalosporin generasi kedua,
makrolid, klindamisin. Jika ada perbaikan antibiotik diteruskan
mencukupi 10 – 14 atau lebih jika diperlukan. Jika tidak ada
perbaikan dapat dipilih antibiotika alternatif seperti siprofloksasin,
golongan kuinolon atau ya ng sesuai dengan kultur. Jika diduga ada
bakteri anaerob, dapat diberi metronidazole.
b. Terapi Medik Tambahan
Dekongestan, Dekongestan berperan penting sebagai terapi awal
mendampingi antibiotik. Dekongestan oral menstimulasi reseptor α-
adrenergik dimukosa hidung dengan efek vasokontriksi yang dapat
mengurang keluhan sumbatan hidung, meningkatkan diameter ostium
dan meningkatkan ventilasi. Preparat yang umum
adalah pseudoefedrine dan phenyl-propanolamine. Karena efek
peningkatan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung harus
dilakukan dengan hati-hati. Dekongestan topikal mempunyai efek yang
lebih cepat terhadap sumbatan hidung, namun efeknya ini sebetulnya
tidak fisiologik dan pemakaian jangka lama (lebih dari 7 hari) akan
menyebabkan rinitis medika mentosa.
Antihistamin, Alergi berperan sebagai penyebab sinusitis kronis
pada lebih dari 50% kasus, karenanya penggunaan antihistamin justru
dianjurkan, demikian juga kemungkinan imunoterapi. Karena
antihistamin generasi pertama mempunyai efek antikolinergik yang
tinggi, generasi kedua lebih disukai seperti azelastine, acrivastine,
cetirizine, fexofenadine dan loratadine.
Kortikosteroid, ada 2 jenis kortikosteroid, yaitu kortikosteroid
topikal dan kortikosteroid oral, kortikosteroid topikal mempunyai efek
lokal terhadap bersin, sekresi lendir, sumbatan hidung dan
hipo/anosmia. Penemuannya merupakan perkembangan besar dalam
pengobatan rinitis dan sinusitis. Penggunaannya kortikosteroid topikal
meluas pada kelainan alergi dan non-alergi. Meskipun obat semprot ini
tidak mencapai komplek osteomeatal, keluhan pasien berkurang karena
udema di rongga hidung dan meatus medius hilang. Sedangkan
kortikosteroid oral dapat mencapai seluruh rongga sinus. Terapi singkat
selama dua minggu sudah efektif menghilangkan beberapa keluhan.
Preparat oral dapat diberikan mendahului yang topikal, obat oral dapat
membuka sumbatan hidung terlebih dahulu sehingga distribusi obat
semprot merata.
2. Penatalaksanaan Operatif
Sinusitis kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan medik
adekuat dan optimal serta adanya kelainan mukosa menetap
merupakan indikasi tindakan bedah.
Beberapa macam tindakan bedah mulai dari antrostomi meatus
inferior, Caldwel-Luc, trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus
Endoskopi Fungsional (BSEF) dapat dilaksanakan.
ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT RINOSINUSITIS

A. PENGKAJIAN
1. Biodata
Nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan,
2. Riwayat Penyakit sekarang
Penderita mengeluah hidung tersumbat,kepala pusing, badan terasa
panas, bicara bendeng.
3. Keluhan utama  
Biasanya penderita mengeluh nyeri kepala sinus, tenggorokan.
4. Riwayat penyakit dahulu :
 Pasien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung atau
trauma
 Pernah mempunyai riwayat penyakit THT
 Pernah menedrita sakit gigi geraham
5. Riwayat keluarga :
Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang lalu yang
mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang.
6. Riwayat spikososial
 Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas/sedih)
 Interpersonal : hubungan dengan orang lain.
7. Pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Untuk mengurangi flu biasanya klien menkonsumsi obat tanpa
memperhatikan efek samping.
b. Pola nutrisi dan metabolisme
Biasanya nafsumakan klien berkurang karena terjadi gangguan pada
hidung
c. Pola istirahat dan tidur
Selama inditasi klien merasa tidak dapat istirahat karena klien sering
pilek
d. Pola Persepsi dan konsep diri
Klien sering pilek terus menerus dan berbau menyebabkan
konsepdiri menurun
e. Pola sensorik
Daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat pilek
terus menerus (baik purulen , serous, mukopurulen).
8. Pemeriksaan fisik
 Status kesehatan umum : keadaan umum , tanda viotal, kesadaran.
 Pemeriksaan fisik data focus hidung : nyeri tekan pada sinus,
rinuskopi (mukosa merah dan bengkak)
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan mucus  berlebih.
2. Nyeri sehubungan dengan adanya sumbatan drainase sinus.
3. PK: Infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya daya tahan tubuh.
4. Cemas berhubungan dengan ancaman terhadap atau perubahan dalam
status kesehatan.
5. Gangguan persepsi sensori penghidu berhubungan dengan Sumbatan
pada fisura olfaktorius

C. INTERVENSI KEPERAWATAN

N Diagnosa Tujuan intervensi


o
1 Bersihan jalan Setela dilakukan a. Kaji penumpukan sekret yang
napas tidak tindakan asuhan ada
efektif b/d keperawatan b. Kaji pasien untuk posisi
mucus diharapkan Jalan semifowler misalnya:
berlebih napas kembali efektif peninggian kepala tempat
Kriteria hasil : jalan tidur, duduk pada sandaran
napas kembali normal tempat tidur
terutama hidung klien c. Pertahannkan posisi
bernapas tidak lagi lingkungan minimum
melalui mulut misalnya debu, asap dan bulu
bantal yang berhubungan
dengan kondisi individu
d. Bantu/dorong latihan napas
abdomen atau bibir
2 Nyeri b/d Setela dilakukan 1. Lakukan pengkajian nyeri
adanya tindakan asuhan secara komprehensif
sumbatan keperawatan termasuk lokasi,
drainase diharapkan nyeri karakteristik, durasi,
pasien berkurang atau frekuensi, kualitas dan
hilang faktor presipitasi
Kriteria hasil : klien 2.Jelaskan sebab dan akibat
mengungkapkan nyeri nyeri padaklien serta
yang dirasakan keluargannya
berkurang atau hilang, 3.Ajarkan tehnik relaksasi
klien tidak dandistrasi
menyeringai kesakitan 4.Kolaborasi untuk penggunaan
analgetik
3 PK: infeksi Setelah 1. Pantau SDP (neutrofil dan
dilakukan tindakan as limfosit)
uhan keperawatan 2. Pantau tanda dan gejala
diharapkan perawat infeksi primer dan sekunder
akan mencegah, mena 3. Pantau gejala septicemia
ngani dan 4. Pantau efek antibiotic
meminimalkan infeksi 5. Pantau tanda dan gejala virus
Kriteria hasil: oportunistik (herpes, varicella
- Suhu meningkat dll)
- Urine buram/ bau 6. Pantau tanda dan gejala
flo infeksi jamur (stomatitis,
- Ulser pada sisitem esofagitis, meningitis)
gastrointestina 7. Kaji dan pantau infeksi
- Perubahan jumlah bakteri pada pulmonal
SDP khususnya 8. Anjurkan intake nutrisi
neutrofil dan limfosit ditingkatkan
- Adanya nyeri pada Kurangi prosedur infasif
perineum
4 Cemas b/d Setela dilakukan a. Kaji tingkat kecemasan
ancaman tindakan asuhan pasien
terhadap atau keperawatan b. Jelaskan atau kuatkan
dalam status diharapkan cemas penjelasan proses penyakakit
kesehatan klien berkurang individu
Kriteria hasil : klien c. Diskusi obat pernapasan,
akan menggambarkan efek samping, dan reaksi yang
tingkat kecemasan dan tidak diinginkan
pola kepengnya dan d. Diskusikan faktor individu
klien mengetahui yang memungkinkan kondisi,
tentang penyakit yang mis: udara terlalu kencang,
dideritanya serta lingkungan dengan suhu
pengobatanya ekstrim serbuk asap
5 Gangguan Setelah 9. Kaji seberapa besar
persepsi dilakukan tindakan as kehilangan sensasi bau pada
sensori penghi uhan keperawata klien
du b/d diharapkan pasien 10. Kenalkan pasien dengan
Sumbatan dapat berbagai sensasi bau seperti
pada fisura mempertahankan aroma makanan, parfum dll
olfaktorius fungsi pembau dan 11. Jelaskan pada pasien tentang
mencegah  kerusakan keadaannya dan mekanisme
yang lebih parah bau sehingga pasien jelas
dengan kriteria hasil: dengan keadaannya
Kriteria hasil : 12. Kolaborasikan pemeriksaan
Mempertahankan selanjutnya dan terapi
fungsi  pembau 13.  Memberi health education 
kepada pasien mengenai 
penurunan fungsi pembau
14. Libatkan keluarga dalam
pengobatan dan perawaatan
DAFTAR PUSTAKA

Acala V. 2010. CDK: Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis
Rinosinusitis Kronik. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada/RSUP Dr. Sardjito

Benninger MS, Gottschall J. 2006. Rhinosinusitis: clinical presentation and


diagnosis. In: Itzhak Brook, ed. Sinusitis from microbiology to management.
New York: Taylor and Francis Group

Harowi MR dkk. 2011. Kualitas Hidup Penderita Rinosinusitis Kronik Pasca-bedah.


Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr.
Sardjito

Carpenito, LJ. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta: EGC

Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition.


New Jersey: Upper Saddle River

Kentjono WA. 2004. Rinosinusitis: etiologi dan patofisiologi. Dalam: Naskah


lengkap perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan
rinosinusitis. Surabaya: Bagian Ilmu Kesehatan THT FK Unair/RS Dr.
Soetomo

Mangunkusumo E, Soetjipto D. 2007. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,


Bashiruddin J, Restuti RD, eds. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala & leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media


Aesculapius

Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second


Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Rahmi AD, Punagi Q. 2008. Pola penyakit Subbagian Rinologi di RS Pendidikan
Makassar periode 2003-2007. Makasar: Bagian Ilmu Kesehatan THT FK
Universitas Hasanuddin. Dipresentasikan di PIT IV Bandung

Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006.


Jakarta: Prima Medika

Soetjipto D, Dharmabakti U, Mangunkusumo E, Utama R. 2006. Functional


endoscopic sinus surgery di Indonesia pada panel ahli THT Indonesia.
Jakarta: Yanmedic-De

Anda mungkin juga menyukai