Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PENDAHULUAN

RSK SINUSITIS MAXILARIS BILATERAL


DI RUANG GARDENA RSUD BANYUMAS

RAHMADITA UTAMI
1911040063

PROGRAM PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2019
A. DEFINISI
Rinosinusitis kronik (RSK) atau sering disebut sinusitis kronik
didefinisikan sebagai gangguan akibat peradangan dan infeksi mukosa sinus
paranasalis dan pada mukosa hidung.
Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi mukosa yang melapisi hidung dan
sinus paranasal. Peradangan ini sering bermula dari infeksi virus, yang karena
keadaan tertentu berkembang menjadi infeksi bakterial dengan penyebab bakteri
pathogen yang terdapat di saluran napas bagian atas. Penyebab lain adalah infeksi
jamur, infeksi gigi, dan dapat pula terjadi akibat fraktur dan tumor (Benninger dan
Gottschall, 2006; Soetjipto dkk, 2006)
Rinosinusitis (maksila) adalah inflamasi pada mukosa hidung dan sinus
paranasal (sinus maksila), ditandai oleh dua atau lebih gejala, diantaranya terdapat
sumbatan hidung/obstruksi atau ada sekret hidung, rasa nyeri/tertekan pada wajah,
berkurang atau hilangnya penciuman (Fokkens dkk, 2007).

B. ETIOLOGI
1. Faktor Host
a. Umur, Jenis Kelamin dan Ras
Rinosinusitis kronik merupakan penyakit yang dapat mengenai semua kelompok
umur, semua jenis kelamin dan semua ras.
b. Riwayat Rinosinusitis Akut
Rinosinusitis akut biasanya didahului oleh adanya infeksi saluran pernafasan atas
seperti batuk dan influenza. Infeksi saluran pernafasan atas dapat menyebabkan
edema pada mukosa hidung, hipersekresi dan penurunan aktivitas mukosiliar.
Rinosinusitis akut yang tidak diobati secara adekuat akan menyebabkan
regenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap, akibatnya terjadi
kegagalan mengeluarkan sekret sinus dan menciptakan predisposisi infeksi.
c. Infeksi Gigi
Infeksi gigi merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis
maksila. Hal ini terjadi karena sinus maksila mempunyai hubungan yang sangat
dekat dengan akar gigi premolar dan molar atas. Hubungan ini dapat
menimbulkan masalah klinis seperti infeksi yang berasal dari gigi dan fistula
oroantral dapat naik ke atas dan menimbulkan infeksi sinus maksila.
g. Kelainan anatomi hidung
Kelainan anatomi seperti septum deviasi, bula etmoid yang membesar, hipertrofi
atau paradoksal konka media dan konka bulosa dapat mempengaruhi aliran ostium
sinus, menyebabkan penyempitan pada kompleks osteomeatal dan
menggangu clearance mukosilia sehingga memungkinkan terjadinya rinosinusitis.
h. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital seperti sindroma kartagener dan fibrosis kistik
dapatmengganggu transport mukosiliar (sistem pembersih). Sindrom kartagener
atau sindrom silia immortal merupakan penyakit yang diturunkan secara genetik,
dimana terjadi kekurangan/ketiadaan lengan dynein sehingga menyebabkan
terjadinya gangguan pada koordinasi gerakan silia dan disorientasi arah dari
denyut silia. Gangguan pada transport mukosiliar dan frekuensi denyut silia
menyebabkan infeksi
kronis yang berulang sehingga terjadi bronkiektasis dan rinosinusitis. Pada
fibrosis kistik terjadi perubahan sekresi kelenjar yang menghasilkan mukus yang
kental sehingga menyulitkan pembersihan sekret. Hal ini menimbulkan stase
mukus yang selanjutnya akan terjadi kolonisasi kuman dan timbul infeksi.
2. Faktor Agent
Rinosinusitis kronik dapat disebabkan oleh beberapa bakteri patogen
seperti Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza, Moraxella
catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, Bacteroides,
Peptostreptococcus, Fusobacterium dan Basil gram (-). Selain bakteri,
rinosinusitis juga dapat disebabkan oleh virus (Rhinovirus, influenza virus,
parainfluenza virus dan Adenovirus) dan jamur (Aspergillus dan Candida).
3. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang memengaruhi terjadinya rinosinusitis kronik yaitu polusi
udara dan udara dingin. Paparan dari polusi udara dapat mengiritasi saluran
hidung, menyebabkan perubahan mukosa dan memperlambat gerakan silia.
Apabila berlangsung terus-menerus dapat menyebabkan rinosinusitis kronik.
Udara dingin akan memperparah infeksi karena menyebabkan mukosa sinus
membengkak. Hal ini membuat jalannya mukus terhambat dan terjebak di dalam
sinus, yang kemudian menyebabkan bakteri berkembang di daerah tersebut.

C. TANDA DAN GEJALA


Gejala dan Tanda Klinis : (Ballenger, 1997 cit Setiadi 2009)
 Sakit kepala
 Gangguan penghindu
 Hidung tersumbat dan berair disertai keluarnya lendir kental warna
kuning atau kehijauan lewat hidung atau langit-langit tenggorokkan.
 Nyeri dan rasa tertekan pada daerah sinus yang terkena. Rasa nyeri
dipicu bila daerah tersebut diketuk dengan jari (nyeri ketuk) atau
apabila kepala digelengkan dengan kuat.

D. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait 3 faktor: patensi ostium, fungsi
silia dan kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau kombinasi
faktor-faktor tersebut merubah fisiologi dan menimbulkan sinusitis. Kegagalan
transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama
berkembangnya rinosinusitis kronik.
Patofisiologi rinosinusitis kronik dimulai dari blokade akibat udem hasil
proses radang di area kompleks ostiomeatal. Blokade daerah kompleks
ostiomeatal menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi sinus-sinus anterior.
Sumbatan yang berlangsung terus menerus akan mengakibatkan terjadinya
hipoksi dan retensi sekret serta perubahan pH sekret yang merupakan media yang
baik bagi bakteri anaerob untuk berkembang biak. Bakteri juga memproduksi
toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi hipertrofi mukosa yang
memperberat blokade kompleks ostiomeatal. Siklus ini dapat dihentikan dengan
membuka blokade kompleks ostiomeatal untuk memperbaiki drainase dan aerasi
sinus.
Faktor predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya; obstruksi
mekanik seperti septum deviasi, hipertrofi konkha media, benda asing di hidung,
polip serta tumor di dalam rongga hidung. Faktor sistemik yang mempengaruhi
seperti malnutrisi, terapi steroid jangka panjang, diabetes, kemoterapi dan
defisiensi imun. Faktor lingkungan seperti polusi udara, debu, udara dingin dan
kering dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa dan kerusakan silia.
E. PATHWAY

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan fisik
2. Transiluminasi
3. Pemeriksaan radiologi
a. Foto rontgen thorax
b. CT-Scan
c. Pemeriksaan laboratorium
d. Nasoendoskopi
G. PENATALAKSANAAN MEDIS
a. Antibiotika
b. Terapi Medik Tambahan
c. FESS (Functional Endoscopic Sinus Surgery)

H. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL


Menurut Rusari (2008) diagnosa yang timbul adalah
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan dengan obstruksi
sekunder dari peradangan sinus.
2. Nyeri berhubungan dengan peradangan pada sinus.
3. Perubahan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
nafus makan menurun sekunder dari peradangan sinus.
4. Gangguan istirahat tidur berhubungan dengan hidung buntu, nyeri sekunder
peradangan sinus.

INTERVENSI KEPERAWATAN

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d obstruksi sekunder peradangan


sinus.
Tujuan : Bersihan jalan nafas kembali efektif.
Kriteria Hasil : Jalan napas kembali normal terutama hidung dan klien bernapas
tidak lagi melalui mulut.
Intervensi :
a. Kaji penumpukkan sekret yang ada.
Rasional : Mengetahui tingkat keparahan dan tindakan selanjutnya.
b. Kaji pasien untuk posisi semi fowler, misalnya : Peninggian kepala tempat
tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.
Rasional : Peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernapasan
dengan menggunakan gravitasi.
c. Pertahankan posisi lingkungan minimum, misalnya debu, asap dan bulu bantal
yang berhubungan dengan kondisi individu.
Rasional : Pencetus tipe reaksi alergi pernapasan yang dapat mentriger episode
akut.
d. Dorong/bantu latihan nafas abdomen atau bibir.
Rasional : Memberikan pasien beberapa cara untuk mengatasi dan mengontrol
pernapasan.

2. Nyeri akut b.d peradangan pada sinus.


Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil : Klien mengungkapakan nyeri yang dirasakan berkurang atau
hilang, klien tidak menyeringai kesakitan
Intervensi :
a. Kaji tingkat nyeri klien dengan Provokatif, Quality, Region, Severity, Thine.
Rasional : Mengetahui tingkat nyeri klien dalam menentukan tindakan
selanjutnya.
b. Jelaskan sebab dan akibat nyeri pada klien serta keluarganya.
Rasional : Dengan mengetahui sebab dan akibat nyeri diharapkan klien
berpartisipasi dalam perawatan untuk mengurangi nyeri.
c. Ajarkan tehnik relaksasi dan distraksi.
Rasional : Dengan tehnik distraksi dan relaksasi klien dapat mempraktekkannya
bila mengalami nyeri sehingga nyerinya dapat berkurang.
d. Observasi tanda tanda vital dan keluhan klien.
Rasional : Mengetahui keadaan umum dan perkembangan kondisi klien.
e. Kolaborasi untuk penggunaan analgetik.
Rasional : Dapat mengurangi nyeri.

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d nafus


makan menurun sekunder dari peradangan sinus.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria hasil : Menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang
tepat. Menunjukkan perilaku/perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan/atau
mempertahankan berat yang tepat.
Intervensi :
a. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini, catat kesulitan makan,
evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
Rasional : Untuk mengetahui tingkat kesulitan klien dan tindakan yang harus
dilakukan.
b. Auskultasi bunyi usus.
Rasional : Penurunan atau hipoaktif bising usus menunjukkan penurunan
mobilitas gaster dan konstipasi (komplikasi umum) yang berhubungan dengan
pembatasan pemasukkan cairan, pilihan makanan buruk, penurunan aktivitas, dan
hipoksemia.
c. Beri perawatan oral sering, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali
pakai dan tisu.
Rasional : Rasa tak enak, bau dan penampilan adalah pencegah utama terhadap
nafsu makan dan dapat membuat mual muntah dengan peningkatan kesulitan
nafas.

4. Gangguan istirahat tidur berhubungan dengan hiidung buntu, nyeri sekunder


peradangan sinus.
Tujuan : Istirahat tidur kembali normal.
Kriteria Hasil : Menyatakan pemahaman penyebab/faktor resiko individu.
Klien dapat tidur 6 sampai 8 jam setiap hari.
Intervensi :
a. Kaji kebutuhan tidur klien.
Rasional : Mengetahui permasalahan klien dalam pemenuhan kebutuhan istirahat
tidur.
b. Ciptakan suasana yang nyaman.
Rasional : Agar klien dapat tidur dengan tenang
c. Anjurkan klien bernafas lewat mulut.
Rasional : Pernafasan tidak terganggu.
d. Kolaborasi dengan tim medis pemberian obat.
Rasional : Pernapasan dapat efektif kembali lewat hidung.

DAFTAR PUSTAKA

Acala V. 2010. CDK: Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk
Diagnosis Rinosinusitis Kronik. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada/RSUP Dr. Sardjito
Benninger MS, Gottschall J. 2006. Rhinosinusitis: clinical presentation and
diagnosis. In: Itzhak Brook, ed. Sinusitis from microbiology to management. New
York: Taylor and Francis Group
Harowi MR dkk. 2011. Kualitas Hidup Penderita Rinosinusitis Kronik Pasca-
bedah. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr.
Sardjito
Carpenito, LJ. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta: EGC
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Kentjono WA. 2004. Rinosinusitis: etiologi dan patofisiologi. Dalam: Naskah
lengkap perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis.
Surabaya: Bagian Ilmu Kesehatan THT FK Unair/RS Dr. Soetomo
Mangunkusumo E, Soetjipto D. 2007. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD, eds. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala & leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Anda mungkin juga menyukai