Disusun Oleh :
20194010165
Pembimbing :
SMF BEDAH
MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2020
HALAMAN PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
oleh :
LAPORAN KASUS
Nama : Tn. UP
Usia : 64 tahun
Status : Menikah
ANAMNESIS
Keluhan utama :
- Pasien dibawa ke IGD RSUD Tjitrowardjojo dengan keluhan lemas dan nyeri di kaki kiri
jari 2-5
- Pasien mengeluhkan lemas dan nyeri kaki kiri pada jari 2-5 yang mengalami perubahan
warna menjadi kehitaman
- Sejak usia 6 tahun, kaki kanan pernah di operasi bisul dan mengalami atrofi
- Pasien tidak memiliki riwayat penyakit bawaan seperti diabetes mellitus, hipertensi, pen-
yakit ginjal, hepatitis, stroke, tb, dan lain-lain.
- Keluarga tidak memiliki riwayat penyakit bawaan seperti diabetes mellitus, hipertensi, pen-
yakit ginjal, hepatitis, stroke, tb, dan lain-lain.
Riwayat personal sosial :
- Pasien memiliki kebiasaan merokok, namun sudah berhenti sejak sakit.
- Pasien tinggal dan didampingi oleh istri
ANAMNESIS SISTEM
a. Sistem saraf pusat : pusing (-), nyeri kepala (-)
b. Sistem integumentum : tidak ada keluhan
c. Sistem musculoskeletal : tidak ada keluhan
d. Sistem gastrointestinal : tidak ada keluhan
e. Sistem urinaria : BAK normal tidak ada keluhan
f. Sistem respiratori : sesak nafas (-), batuk (-)
g. Sistem cardiovascular : berdebar-debar (-)
PRIMARY SURVEY
a. Aiway : Jalan nafas clear, tidak ada sumbatan, berbicara lancar
Look : Jejas (-)
Listen : Vesikuler
Feel : Letak trachea tidak bergeser
b. Breathing : Baik
c. Circulation : Tidak terdapat tanda shock (TD: 95/65, N: 92x/m)
PEMERIKSAAN FISIK :
Kesan umum : sedang
Kesadaran : compos mentis , E4V5M6
Vital sign :
Tekanan darah : 95/65 mmHg
RR : 20x/menit
Nadi : 92x /menit
Suhu : 37o C
Pemeriksaan kepala :
- Mata : pupil : isokor 3mm/3mm
CA (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Telinga : secret (-), perdarahan (-)
Pemeriksaan thorax :
- Inspeksi : Jejas (-)
- Palpasi : Nyeri tekan (-)
- Perkusi : Sonor
- Auskultasi : Wheezing (-) ronkhi (-)
Pemeriksaan abdomen :
- Inspeksi : Distensi (-), jejas (-) benjolan (-)
- Auskultasi : BU (+) dbn
- Perkusi : timpani
- Palpasi : Nyeri tekan (-), abdomen supel (+)
Pemeriksaan genital dan regio inguinal :
- Pembesaran skrotum (-)
- Pembesaran kelenjar limfe inguinal (-)
- Benjolan (-)
Pemeriksaan status lokalis urologi :
Regio Suprapubic :
Regio Flank :
- Vital sign :
Diagnosis sementara:
PAPO Pedis Sinistra
Diagnosis banding:
Buerger disease
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Darah (26-01-2020)
NILAI
PARAMETER HASIL SATUAN KETERANGAN
NORMAL
DARAH RUTIN
HMT (Hematokrit) 30 % 40 - 50 L
MCV 88 fL 80 – 100 -
MCH 29 pg 26 - 34 -
MCHC 33 g/dL 32 - 36 -
DIFFERENTIAL COUNT
Neutrofil 76,90 % 50 – 70 H
Limfosit 15,30 % 25 – 40 L
KIMIA KLINIK
SGPT 30 U/L 0 – 50 -
NILAI
PARAMETER HASIL SATUAN KETERANGAN
NORMAL
KIMIA KLINIK
Dianjurkan
< 130
Risiko se-
dang: 130 –
159
Risiko
Tinggi: H (Risiko
LDL Kolesterol 164 mg/dL >= 160 Tinggi)
Kesan: Dislipidemia
NILAI
PARAMETER HASIL SATUAN KETERANGAN
NORMAL
KIMIA KLINIK
NILAI
PARAMETER HASIL SATUAN KETERANGAN
NORMAL
DARAH RUTIN
HMT (Hematokrit) 22 % 40 - 50 L
MCV 90 fL 80 – 100 -
MCH 29 pg 26 - 34 -
MCHC 32 g/dL 32 - 36 -
DIFFERENTIAL COUNT
Neutrofil 61,10 % 50 – 70 -
Limfosit 27,30 % 25 – 40 -
DARAH RUTIN
HMT (Hematokrit) 18 % 40 - 50 LL
MCV 88 fL 80 – 100 -
MCH 29 pg 26 - 34 -
MCHC 33 g/dL 32 - 36 -
DIFFERENTIAL COUNT
Neutrofil 76,90 % 50 – 70 H
Limfosit 15,30 % 25 – 40 L
Penatalaksanaan
Konservatif
Farmakoterapi
• Infus RL 30 tpm
• Injeksi Metronidazol 100 ml / 12 jam
• Injeksi Ceftriaxone 1 gr / 12 jam
• Injeksi Ketorolac 30 mg / 8 jam
• Injeksi Ranitidin 25 mg / 12 jam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Penyakit arteri perifer oklusi (PAPO) atau penyakit oklusi arteri perifer, ka-
dang-kadang disebut juga sebagai arteriosclerosis obliterans, merupakan suatu penyakit
yang dapat terjadi akibat proses aterosklerosis atau proses inflamasi yang menyebabkan
penyempitan lumen (stenosis), atau akibat pembentukan trombus yang menyebabkan pen-
ingkatan resistensi pembuluh darah yang terkena sehingga menurunkan tekanan perfusi
dan aliran darah ke jaringan yang lebih distal.
Aorta abdominalis bercabang dua menjadi arteri iliaka komunis, kedua arteri ini
masing-masing kemudian akan mempercabangkan arteri iliaka interna yang akan memper-
darahi daerah panggul dan arteri iliaca eksterna. Setelah arteri iliaka eksterna melewati
ligamentum inguinal, akan diteruskan menjadi arteri femoralis, salah satu cabang arteri
femoralis adalah arteri profunda femoris. Setelah melewati canalis addutorius Hunteri, me-
masuki dan sepanjang fossa poplitea, arteri femoralis beralih nama menjadi arteri poplitea.
Kemudian arteri ini akan bercabang menjadi arteri tibialis anterior yang akan diteruskan
sebagai arteri dorsalis pedis; arteri tibialis posterior dan arteri peronealis.
Pembuluh nadi atau arteri merupakan pembuluh darah yang mengalirkan darahdari
dalam jantung ke seluruh tubuh. Bisa saja diartikan pembuluh darah yang mengalirkan
darah keluar dari jantung. Diameter pembuluh nadi bervariasi, mulai dariyang paling besar
yaitu aorta (± 20 mm ) sampai ke cabang cabang yang paling kecil yaitu arteriol (± 0,2
mm ). Kebanyakan pembuluh nadi mengalirkan darah yang mengandung oksigen. Pada
pembuluh nadi terdapat dinding yang bersifat elastis (kenyal) dan mampu berkontraksi.
Dinding pembuluh nadi ini terdiri atas 3 macam jaringan, meliputi jaringan ikat pada
lapisan paling luar, jaringan otot yang tebal, dan jaringan endotelium yang melapisi per-
mukaan dalam arteri. Penimbunan senyawa-senyawa lemak pada dinding arteri dapat me-
nyebabkan penyempitan pembuluh dan hilangnyakekenyalan dinding. Kondisi demikian
disebut arteriosklerosis. Arteri yang membawadarah dari ventrikel kiri jantung menuju se-
luruh tubuh disebut aorta. Sementara, arteri bercabang-cabang membentuk pipa yang lebih
kecil disebut arteriola. Arteriola ini membentuk cabang-cabang lebih kecil dan ujung-
ujungnya berhubungan langsung dengan sel-sel tubuh. Cabang-cabang inilah yang di-
namakan kapiler.
Di dalam sistem peredaran darah, arteri terdiri atas 2 macam yakni arteri pulmonalis
dan arteri hepatica. Arteri pulmonalis (arteri paru-paru) merupakan pembuluh nadi yang
membawa darah kotor atau mengandung CO2 keluar dari jantung menuju paru-paru
(pulmo). Adapun arteri hepatica merupakan pembuluh nadi yang membawa darah bersih
(kaya O2) menuju ke hepar (hati). Arteri bertugas untuk:
Pembuluh darah arteri yang terbesar adalah Aorta ( yang keluar dari ventrikel sin-
istra)dan arteri pulmonalis (yang keluar dari ventrikel dekstra)
Pada dasarnya, fungsi pembuluh balik berkebalikan dengan pembuluh nadi. Pem-
buluh balik (vena) berfungsi mengalirkan darah dari seluruh tubuh menuju jantung. Bisa
juga disebut, pembuluh balik adalah pembuluh darah yang berasal dari tubuh menuju jan-
tung. Diameter pembuluh balik lebih besar daripada pembuluh arteri, yakni berkisar 25 mm.
Pada tubuh manusia, kebanyakan pembuluh nadi terletak pada permukaan tubuh. Sehingga,
pembuluh ini terlihat kebiru-biruan pada permukaan kulit. Pembuluh nadi memiliki dinding
arteri, sementara pembuluh balik terdapat dinding vena. Dinding vena juga tersusun atas 3
jaringan, meliputi jaringan ikat pada lapisan paling luar, jaringan otot yang sangat tipis dan
kurang elastis/kurang kenyal di tengahnya, dan jaringan endotelium yang melapisi per-
mukaan dalam vena. Pada vena terdapat cabang yang dinamakan venula. Venula bercabang
menjadi pembuluh yang lebih kecil lagi, yang disebut kapiler. Selain itu, terdapat vena yang
berhubungan secara langsung dengan jantung dan paru-paru. Pembuluh balik demikian di-
namakan vena cava. Pada umumnya, darah yang mengalir pada venamengandung banyak
darah kotor kaya CO2. Kecuali vena pulmonalis, vena yangkeluar membawa oksigen dari
paru-paru. Oksigen yang dibawa vena pulmonalis iniakan dibawa kembali menuju jantung.
Selain berbagai pembuluh vena tersebut,menurut letaknya, terdapat pula jenis pembuluh
balik yang lain. Khususnya vena cavayang memiliki dua jenis pembuluh, yakni vena cava
superior dan vena cava inferior. Vena cava superior adalah pembuluh vena yang berasal dari
organ-organ tubuh bagian atas, seperti kepala, leher, dan rambut-rambut. Sedangkan vena
cava inferior adalah pembuluh vena yang berasal dari organ-organ tubuh bagian bawah,
seperti lambung, usus, hati, pankreas, paru-paru, ginjal, kaki, dan lain sebagainya
C. Etiologi
Penyakit arteri perifer mengenai 4% orang usia 40 hingga 70 tahun dan 15 hingga
20% pada orang usia lebih dari 70 tahun. Proses perjalanan penyakit PAPO akibat ateroskle-
rosis ini sama seperti penyakit arteri koroner yang melibatkan proses penebalan lapisan in-
tima dan pembentukan plak. Faktor risiko penyakit arteri koroner juga menjadi faktor risiko
PAPO, seperti tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, dan merokok. Oleh karena itu, ter-
dapat sekitar 40% penderita PAPO yang juga mempunyai penyakit arteri koroner. Penderita
PAPO memiliki risiko kematian akibat penyakit kardiovaskular dua hingga lima kali lipat
lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak menderita PAPO. Terdapat dua sebab
yang dapat menyebabkan gangguan pada arteri perifer, yaitu sebab-sebab aterosklerotik dan
sebab-sebab non aterosklerotik atau pembagian sebagai tipe organik dan tipe fungsional:
1. Sebab-Sebab Aterosklerotik (= tipe obstruktif) / tipe obstruktif
Aterosklerosis adalah gangguan yang paling sering menyerang sistem pembuluh darah
nadi. Aterosklerosis mula-mula ditandai oleh deposisi lemak pada tunika intima arteri,
selanjutnya dapat terjadi kalsifikasi, fibrosis, trombosis dan perdarahan. Proses-proses
tersebut menyebabkan terbentuknya suatu plak aterosklero-sis atau ateroma yang kom-
pleks sampai kepada penyempitan lumen atau oklusi pembuluh darah.
2. Sebab-Sebab Non Aterosklerotik (= tipe vasospastik) / tipe fungsional
Sebab-sebab primer non aterosklerotik penyakit arteri adalah nekrosis media kistik,
peradangan arteri, dan kondisi-kondisi vasospastik. Contoh: Raynaud’s disease.
F. Klasifikasi
Ad hoc Committee of the Society for Vascular Surgery and the North American Chap-
ter of the International Society for Cardiovascular Surgery menciptakan suatu klasifikasi
untuk oklusi arterial akut. Dikenal tiga kelas, yaitu:
Kelas I : Non-threatened extremity: revaskularisasi elektif dapat diperlukan atau
tidak diperlukan.
Kelas II : Threatened extremity: revaskularisasi diindikasikan untuk melindungi
jaringan dari kerusakan.
Kelas III : Iskemia telah berkembang menjadi infark dan penyelamatan
ekstremitas tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan
Berdasarkan Rutherford klasifikasi Acute Limb Ischemia (ALI) dapat dikategorikan
sebagai berikut:
Kelas I Perfusi jaringan masih cukup, walaupun terdapat penyempitan arteri, tidak
ada kehilangan sensari motoric dan sensorik, masih dapat ditangani dengan
obat-obatan pada pemeriksaan doppler signal audible
Kelas IIa Perfusi jaringan tidak memadai pada aktifitas tertentu. Timbul klaudikasio
intermitten yaitu nyeri pada otot ekstremitas bawah ketika berjalan dan me-
maksakan berhenti berjalan, nyeri hilang jika pasien istirahat dan sudah mu-
lai ada kehilangan sensorik. Harus dilakukan pemeriksaan angiografi segera
untuk mengetahui lokasi oklusi dan penyebab oklusi.
Kelas IIb Perfusi jaringan tidak memadai, ada kelemahan otot ekstremitas dan ke-
hilangan sensasi pada ekstremitas. Harus dilakukan intervensi selanjutnya
seperti revaskularisasi atau embolektomi.
Kelas III Telah terjadi iskemia berat yang mengakibatkan nekrosis, kerusakan saraf
yang permanen, irreversible, kelemahan ekstremitas, kehilangan sensasi
sensorik, kelainan kulit atau gangguan penyembuhan lesi. Intervensi yang
dilakukan adalah amputasi.
Kategori klinis iskemik tungkai dan lengan akut:
Kategori Prognosis Temuan Tanda Doppler
Hilangnya Kelemahan Arteri Vena
sensoris otot
I. Dapat bertahan Tidak Tidak ada Tidak ada Terdengar Terdengar
mem-
berikan
ancaman
dengan
segera
II. Mengancam
a. Secara perlahan Dapat ter- Minimal (ibu Tidak ada Sering tidak Terdengar
tolong jika jari) atau terdengar
ditangani tidak ada
segera
b. Segera Dapat ter- Melebihi ibu Ringan, berat Biasanya Terdengar
tolong jari, nyeri tidak
dengan re- pada saat Terdengar
vaskular- istirahat
isasi
segera
II. Tidak dapat di- Hilangnya Anestesi yang Kelumpuhan Kelumpuhan Tidak
perbaiki sejumlah dalam yang berat yang berat Terdengar
besar (kaku)
jaringan
atau keru-
sakan saraf
yang tidak
dapat
dihindari
secara per-
manan
Modified from Rutherford RB, Baker JD, Ernst C, et al: Recommended standards for reports dealing with lower
extremity ischemia: Revised version, J Vasc Surg 26:517, 1997
D. Patofisiologi
1. Kerusakan Endotel
Ada dua faktor penyebab kerusakan pada endotel yaitu faktor kimia dan faktor
fisik. Kerusakan akibat bahan kimia terutama disebabkan oleh penggunan tembakau,
hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia, sering terjadi pada penderita diabetes
dengan kelainan metabolisme lemak dan glukosa. Kerusakan fisik pada pembuluh
darah lebih lanjut kemungkinan diakibatkan oleh pembentukan ateroma yang terbawa
oleh aliran darah dan menimbulkan kerusakan pada dinding pembuluh darah, biasanya
pada tempat percabangan (bifurkasio) arteri. Hipertensi juga berperan penting dalam
menimbulkan penyakit arteri.
2. Deposisi Lemak
Leukosit melekat pada bagian endotel yang rusak kemudian bermigrasi ke dalam
lapisan subendotel, mengikis lemak dan menjadi sel busa (foam cell), membebaskan
radikal bebas dan protease yang dapat merusak dinding arteri. Sel-sel tadi juga
membebaskan sitokin-sitokin yang akan merangsang leukosit-leukosit lain dan sel otot
polos dari tunika media. Lapisan endotel sekarang menjadi lebih “lengket” dan akan
memudahkan deposisi platelet dan terjadinya trombosis.
4. Sel Otot Polos
Sel-sel otot polos akan bermigrasi dari tunika media ke dalam ruangan
subendotel untuk kemudian berproliferasi. Sel otot polos ini akan menimbulkan
pembentukan jaringan ikat dan penumpukan kolagen. Pada tempat ini, ateroma yang
terbentuk akan sedikit terangkat dan mempersempit lumen arteri.
5. Pecahnya plak
Plak yang terbentuk mengandung lapisan tipis penutup endotel yang berisi masa
lemak, sel-sel inflamasi dan otot polos. Plak ini akan melunak akibat infiltrasi pembuluh
da-rah baru yang terjadi dalam plak (angiogenesis). Segala bentuk trau-ma kimia maupun
fisik akan menyebabkan pecahnya plak dan akan mengakibatkan oklusi trombus akut pada
arteri atau embolisasi pada tempat yang lebih distal.
PAPO secara progresif akan menyempitkan lumen arteri dan meningkatkan resistensi
aliran darah sehingga aliran darah ke jaringan distal terhadap lesi akan berkurang. Jika
kebutuhan oksigen pada jaringan tersebut melebihi kemampuan pembuluh darah untuk
mensuplai oksigen, jaringan tersebut akan mengalami iskemia. Manifestasi klinis akan
timbul apabila lesi tunggal pada pembuluh darah menyebabkan pengurangan diameter
lumen pembuluh darah sebanyak kira-kira 50-75% pada penampang melintang. Beratnya
iskemia di bagian distal dari sebuah lesi obstruktif tidak hanya tergantung pada lokasi dan
luasnya oklusi, tetapi juga pada derajat aliran kolateral di sekitar lesi.
Lesi stenotik tunggal pada arteri femoralis dapat menurunkan aliran darah istirahat
dan kapasitas perfusi jaringan yang diperdarahinya. Hal ini akan mengakibatkan penurunan
tekanan di bagian distal lesi karena terjadi peningkatan resistensi pembuluh darah
sepanjang lesi stenosis. Apabila penurunan tekanan relatif ringan, misalnya sekitar 10-15
mmHg, autoregulasi dan kolateralisasi dapat mereduksi resistensi pada jaringan yang
terletak distal sehingga dapat mempertahankan aliran darah istirahat. Oleh karena itu,
pengukuran aliran darah pada keadaan istirahat tidak sepenuhnya dapat mendeteksi lesi
stenosis karena aliran darah mungkin saja normal. Pengukuran yang dilakukan pada tempat
yang berbeda atau pengukuran Ankle Pressure Index (API) dapat mendeteksi adanya lesi
stenosis.
Saat latihan fisik, pasien dengan lesi stenosis tunggal pada arteri femoralis akan
menyebabkan rasa nyeri iskemia pada otot betis. Hal ini terjadi karena aliran darah untuk
daerah betis terbatas akibat peningkatan resistensi pada arteri femoralis. API saat istirahat
akan menurun dan akan lebih menurun saat latihan fisik. Pelebaran pada jaringan distal
akan meningkatkan aliran sepanjang segmen stenosis sehingga akan menurunkan tekanan
sepanjang lesi. Dengan demikian, terjadi penurunan tekanan perfusi ke jaringan distal dan
aliran darah ke daerah betis saat latihan fisik. Hal ini tidak menyebabkan gang-guan pada
jaringan yang lebih proksimal dari tempat lesi.
Bila terjadi lesi stenosis multipel, misalnya pada arteri iliaka eksterna dan arteri
femoris, API akan sangat menurun bahkan pada saat istirahat. Pada saat latihan fisik akan
terjadi juga penurunan tekanan perfusi ke tungkai bawah dan penurunan aliran darah ke
daerah betis. Setelah latihan fisik, mikrosirkulasi pada femur akan meningkatkan tekanan
perfusi dan aliran darah ke daerah betis.
E. Manifestasi Klinik
Gejala yang dialami penderita dengan oklusi arteri pada ekstrimitas bawah
bergantung pada proses sum-batan yang terjadi, lokasi stenosis, jenis arteri apakah suatu
end artery, progresivitas penyakit, proses hemodinamika yang mendasari, keadaan umum
pasien, dan kemampuan sirkulasi kolateral untuk mengkompensasi reduksi aliran darah
arteri. Gejala berhubungan dengan perkembangan iskemia jaringan.
Iskemia pada tungkai bawah dapat menimbulkan dua gejala klinik yang berlainan
tetapi dapat terjadi bersaman, yaitu : Klaudikasio Intermiten (Intermittent Claudication =
CI ) dan Iskemia Kritis Tungkai (Critical Limb Ischaemia = CLI )
1. Klaudikasio Intermiten (Intermittent Claudication = CI )
Klaudikasio intermiten adalah kondisi klinis pada ekstrimitas inferior yang berupa
rasa kesemutan, kejang otot, kelemahan otot bahkan rasa nyeri yang diinduksi oleh latihan
dan berkurang saat beristirahat. Hal ini diakibatkan oleh obstruksi pada pembuluh darah di
bagian proksimal otot terkait, dimana aliran darah pada saat latihan tidak mampu
mencukupi keperluan metabolik jaringan.
Klaudikasio intermiten yang menimbulkan keluhan pada otot-otot betis karena terjadi
kelainan pada arteri femoralis. Keluhan timbul setelah berjalan menempuh suatu jarak
tertentu dan cepat menghilang setelah berhenti berjalan. Apabila kegiatan berjalan kembali
dilakukan, maka rasa nyeri akan timbul kembali. Gejala spesifik ini me-nyingkirkan
diagnosis banding kelainan neurogenik dan klaudikasio vena.
Pada umumnya stenosis yang terjadi pada arteri femoralis di kanalis aduktorius akan
menimbulkan gejala klaudikasio intermiten setelah berjalan beberapa ratus meter. Nadi
pada pergelangan kaki masih teraba, tetapi terasa mengecil, dan bising dapat terdengar di
dekat kanalis aduktorius. Tekanan sistolik pergelangan kaki sering normal pada saat
istirahat, tetapi menurun sejalan dengan melakukan latihan fisik. Setelah kelainan
berlangsung beberapa bulan atau tahun, pembuluh darah kolateral dari arteri profunda
femoris akan berkembang sehingga dapat mengalirkan sejumlah darah ke arah tungkai.
Sejalan dengan proses ini, maka gejala yang dirasakan oleh pasien biasanya berangsur
membaik bahkan dapat menghilang.
2. Iskemia Kritis Tungkai (Critical Limb Ischaemia = CLI )
Berbeda dengan klaudikasio inter-miten, CLI terjadi karena adanya lesi multipel pada
arteri. Pasien dengan CLI biasanya menderita kerusakan jaringan, misalnya ulserasi atau
gangren, dengan atau tanpa nyeri waktu istirahat dan hasil pengukur-an tekanan darah pada
pergelangan kaki pada umumnya kurang dari 50 mmHg. Tanpa adanya revaskulari-sasi,
maka pasien biasanya akan kehilangan tungkainya (amputasi) dalam hitungan minggu atau
bulan. CLI dibagi menjadi dua tingkatan:
a. Subcritical Limb Ischaemia (SCLI )
Pada tingkat ini, pasien meng-alami nyeri saat istirahat dengan atau tanpa nyeri malam
hari, tetapi tidak mengalami kerusakan jaringan. Pasien-pasien ini berada dalam keadaan
antara klaudikasio intermiten dan CLI, dan memiliki gejala antara kedua penyakit tersebut.
Pasien seperti ini perlu mendapatkan terapi rekonstruksi arteri untuk menyelamatkan
tungkainya.
b. Severe Limb Ischaemia (SLI )
Istilah ini kadang-kadang dipakai untuk menggambarkan semua pasien dengan iskemia
tungkai kronik yang lebih berat daripada klaudikasio intermiten, yaitu CLI dan SCLI.
F. Diagnosis
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
Ankle Pressure (AP), Ankle- Brachial Index (ABI), Doppler Segmental Pressure, Toe
Pressure (TP), Duplex Ultrasonography, Contrast Arteriography, Plethys-mography,
Transcutaneus Oxygen Tension (tcPO2), Arteriogram, dan Magnetic Resonance An-
giography (MRA).
4. Diagnosis Banding
G. Penatalaksanaan
H. Pencegahan
I. Komplikasi
1. De Jong, dkk. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 3. Jakarta : EGC
2. Grace, A & Borley. At a glance Ilmu Bedah. Edisi ketiga. Jakarta : Erlangga. 2007
3. Medscape Reference. Peripheral Arterial Occlusive Disease [updated September 18, 2019]
Available from: https://emedicine.medscape.com/article/460178-overview
5. Medscape Reference. Peripheral Arterial Occlusive Disease Treatment & Management [up-
dated September 18, 2019] Available from: https://emedicine.medscape.com/arti-
cle/460178-treatment