Anda di halaman 1dari 30

PRESENTASI KASUS

PERITONITIS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan


Klinik Bagian Ilmu BEDAH RSUD Dr. Tjitrowardojo Purworejo

Disusun Oleh :
Vella Nurfatimah Ayunilasari

20224010013

Pembimbing :

dr. WAHYU PURWOHADI, Sp. B

SMF ILMU BEDAH


RSUD Dr. TJITROWARDOJO PURWOREJO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2022
HALAMAN PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

PERITONITIS

Telah disetujui pada tanggal …......................... 2022

Oleh :

Pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah

dr. WAHYU PURWOHADI, Sp. B


BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. S

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 70 tahun

Tanggal Lahir :

Alamat : Kedungpoh 02/01 Loano

Tanggal Masuk : 27 Oktober 2022

Diagnosa Masuk : Abdominal pain suspect peritonitis

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Pasien mengeluhperut kembung dan nyeri.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS Tjitrowardojo Purworejo karena
mengeluh perut kembung sejak beberapa hari SMRS. Perut kembung
disertai rasa nyeri. Nyeri dirasakan tiba-tiba dengan VAS 7-8, menetap
dan di seluruh bagian perut lainnya. Nyeri perut tidak berkurang dengan
berbagai posisi. Keluhan disertai badan mialgia, sulit BAB dan sulit
kentut. Keluhan BAK, mual dan muntah disangkal. Pasien belum berobat
di tempat lain SMRS.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat serupa (-), riwayat operasi (-), HT (-), DM (-), PJK (-),
Alergi (-), Asma (-)
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat serupa (-), HT (-), DM (-), PJK (-), Alergi (-), Asma (-)
E. Riwayat Personal Sosial
Pasien sebagai ibu rumah tangga. Riwayat konsumsi alkohol,
napza dan merokok disangkal. Pasien makan teratur dan sering makan
sayur.

III. PEMERIKSAAN FISIK


 Kesan Umum : Tampak sakit, lemah
 Kesadaran : Compos mentis, E4V5M6
 Tanda-tanda Vital :

o Tekanan darah : 136/77 mmHg


o Nadi : 109 kali/menit
o Pernafasan : 20 kali/menit
o Suhu : 36,90C
o SpO2 : 99 %

 VAS : 8/10

 Pemeriksaan Kepala:
o Wajah : normocephal
o Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat
isokor, reflek cahaya langsung (+/+), reflek cahaya tidak langsung
(+/+)
o Hidung : pernafasan cuping hidung (-), mukosa hiperemis (-),
deformasi (-) sekret (-) deviasi septum(-)
o Telinga : Simetris, tidak ada kelainan, otore (-/-), nyeri tekan
tragus (-)
o Mulut : Bibir pucat, gusi tidak ada perdarahan, lidah tidak kotor,
faring tidak hiperemis
o
 Pemeriksaan Leher:
o Kelenjar tiroid : tidak ditemukan edema maupun nyeri
tekan
o Kelenjar limfonodi : tidak ditemukan edema maupun nyeri
tekan
 Pemeriksaan Thorax:
o Inspeksi : jejas (-), simetris (+), ictus cordis (-)
o Palpasi : VF kanan=kiri, nyeri tekan (-)
o Perkusi : sonor/sonor
o Auskultasi : vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-), suara
jantung reguler (+)

 Pemeriksaan Abdomen:
o Inspeksi : distensi (+), jejas (-),
darm contour (-), darm steifung (-)
o Auskultasi : BU (-)
o Perkusi : hipertimpani (+)
o Palpasi : supel, nyeri tekan
seluruh lapang perut (+), defans
muscular (+) , hepar dan lien tidak
teraba massa

 Pemeriksaan Ekstremitas:
o Akral hangat, oedem (-), CRT < 2 detik
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Laboratorium Darah

NILAI
PARAMETER HASIL SATUAN
NORMAL
Hemoglobin 14,2 gr/dL 11,7 – 15,5
Leukosit 38,6 (H) 10^3/ul 3,6 – 11,0
Hematokrit 42 % 35 – 47
Eritrosit 5,0 10^6/ul 3,80 – 5,20
Trombosit 507 (H) 10^3/ul 150 – 400
MCV 85 fL  80 – 100
MCH 28  pg 26 – 34
MCHC 34  g/dL 32 – 36
DIFFERENTIAL COUNT
Neutrofil 94,80 (H) % 50 – 70
Limfosit 2,60 (L) % 25 – 40
Monosit 2,60 % 2–8
Eosinofil 0,00 (L) % 2,00 – 4.00
Basofil 0,00 % 0–1

TLC 1,00 10^3/ul 1,00 – 3,70


NLR 36,6
KIMIA KLINIK
Gula Darah
215 (H) mg/dL 74 – 106
Sewaktu
Ureum 63,8 (H) 10-50
Kreatinin 0,7 (H) 0,62-1,10
SGOT 16 0-35
SGPT 18 0-35

ELEKTROLIT NILAI
HASIL SATUAN
KIMIA NORMAL
Natrium 4,48 3,5-5,0
Kalium 140 135-147
Klorida 105 95-105

NILAI
SERO IMUNOLOGI HASIL SATUAN
NORMAL
<0,9 : non reaktif
≥0,9 - <1,0 :
HbsAg Non reaktif
borderline
≥1,0 : reaktif

B. Pemeriksaan Radiologi
1. Foto Thorax (8/11/2022)
Keterangan:
Klinis: abdominal pain
Foto Thorax AP view, posisi supine, asimetris, inspirasi dan kondisi
cukup , hasil:
 Corakan bronkovaskular normal
 Tak tampak penebalan pleural space bilateral
 Kedua diafragma licin, tak mendatar
 Diafragma dextra letak tinggi
 Cor, CTR < 0,56
 Sistema tulang tervisualisasi intak
Kesan:
 Pulmo tak tampak kelainan
 Cor dalam batas normal
 Diafragma dextra letak tinggi, ec susp proses infradiafragma

2. Foto Abdomen 3 Posisi (8/11/2022)


Keterangan:
Klinis: abdominal pain

Foto abdomen 3 posisi, kondisi cukup, hasil:

 Tampak distensi cavum abdomen


 Tampak area lusensi subdiafragma dextra et sinistra, dolphin sign
(+), continuous diaphragma sign (+), foot ball sign (+)
 Tampak distensi sistema usus halus, kaliber lk 5 cm
 Preperitoneal fat line bilateral tegas
 Fecal material tak prominen
 Psoas line dan renal outline bilateral samar
 Coil spring appearance (+), air fluid level (+)
 Tampak lusensi udara di regio rectum
 Tampak area lusensi di tempat tertinggi pada posisi LLD
 Sistema tulang tervisualisasi intak
Kesan:

 Mengarah gambaran pneumoperitoneum


 Ileus obstruktif letak tinggi parsial

V. DIAGNOSIS
Diagnosis banding :

 Ileus obstruktif letak tinggi

Diagnosis kerja:

Peritonitis ec perforasi organ berongga

VI. TATALAKSANA

Operatif: Laparotomi eksplorasi, kolostomi, DOT


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI

Peritonitis merupakan suatu inflamasi pada peritoneum yang


disebabkan oleh bakteri atau reaksi kimiawi. Peritoneum adalah lapisan
serosa yang menutupi rongga abdomen dan organ-organ abdomen di
dalamnya.

Menurut survei World Health Organization (WHO) pada tahun 2005


jumlah kasus peritonitis didunia adalah 5,9 juta kasus. Penelitian yang
dilakukan di Rumah Sakit HamburgAltona Jerman, ditemukan penyebab
tersering peritonitis adalah perforasi sebesar 73% dan 23% sisanya
disebabkan pasca operasi. Terdapat 897 pasien peritonitis dari 11000 pasien
yang ada. Di Inggris, angka kejadian peritonitis selama tahun 2002-2003
sebesar 0,0036% yaitu sebanyak 4562 orang.

Di Indonesia, ditemukan prevalensi peritonitis di RSUP Dr. M.


Djamil Padang sebesar 68,4% pada laki-laki dan angka tersebut lebih tinggi
dibandingkan angka kejadian peritonitis pada perempuan yaitu sebesar
31,6%. Kelompok usia terbanyak yang mengalami peritonitis adalah 10- 19
tahun sebesar 24,5% yang diikuti oleh usia 20-29 tahun sebesar 23,5 %.
Didapati juga bahwa peritonitis akibat perforasi apendiks merupakan jenis
peritonitis yang paling sering terjadi , dengan prevalensi 64,3% dari seluruh
kasus peritonitis.

Angka mortalitas peritonitis bakteri primer bervariasi antara 5%


hingga 50%. Hal ini tergantung pada perkembangan komplikasi dan
komorbiditas pada pasien, misalnya perdarahan gastrointestinal, disfungsi
renal, dan gagal ginja.
Pada peritonitis sekunder, kontrol sumber infeksi melalui tindakan
pembedahan dan pemberian antibiotik dapat mengurangi mortalitas menjadi
5-6%. Bila sumber infeksi tidak terkontrol, angka mortalitas pasien dapat
mencapai 40%.

Omentum adalah dua lapisan peritoneum berupa jaringan lemak


adipose pada permukaan organ intraperitoneal yang menghubungkan gaster
dengan organ viscera lainnya seperti dengan hepar (omentum minus),
dengan colon transversum (omentum majus), dan dengan limpa (omentum
gastrosplenicum). Peritoneum dari usus kecil disebut mesenterium, dari
appendik disebut mesoappendix dari colon transversum dan sigmoideum
disebut mesocolontransversum dan sigmoideum. Mesenterium dan omentum
berisi pembuluh darah dan limfe serta saraf untuk organ viscera yang
bersangkutan. Peritoneum parietale sensitif terhadap nyeri, temperatur,
perabaan dan tekanan dan mendapat persarafan dari saraf-saraf segmental
yang juga mempersarafi kulitdan otot yang ada si sebelah luarnya. Iritasi
pada peritoneum parietalememberikan rasa nyeri lokal, namun insici pada
peritoneum viscerale tidak memberikan rasa nyeri. Peritoneum viscerale
sensitif terhadap regangan dan robekan tapi tidak sensitif untuk perabaan,
tekanan maupun temperature.

II. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Peritoneum adalah lapisan serosa yang paling besar dan paling


komleks yang terdapat dalam tubuh. Membran serosa tersebut membentuk
suatu kantung tertutup (coelom) dengan batas-batas :

1. Anterior dan lateral : permukaan bagian dalam dinding abdomen

2. Posterior : retroperitoneum

3. Inferior : struktur ekstraperitoneal di pelvis

4. Superior : bagian bawah dari diafragma


Peritoneum adalah setengah bagiannya memiliki membran basal
semipermiabel yang berfungsi untuk difusi air, elektrolit, makro, maupum
mikro sel.

Peritoneum dibagi atas : peritoneum parietal, peritoneum viseral ,


peritoneum penghubung (mesenterium, mesogastrin, mesocolon,
mesosigmidem, dan mesosalphinx), serta peritoneum bebas yaitu omentum.\

Lapisan parietal dari peritoneum membungkus organ-organ viscera


membentuk peritoneum visera, dengan demikian menciptakan suatu
potensi ruang diantara kedua lapisan yang disebut rongga peritoneal.
Normalnya jumlah cairan peritoneal kurang dari 50 ml.

Terdapat regio abdomen tersebut yaitu : 1) hypocondriaca dextra, 2)


epigastrica, 3) hypocondriaca sinistra, 4) lumbalis dextra, 5) umbilical, 6)
lumbalis sinistra, 7) inguinalis dextra, 8) pubica/hipogastrica, 9) inguinalis
sinistra.

1. Hypocondriaca dextra meliputi organ : lobus kanan hati, kantung


empedu, sebagian duodenum fleksura hepatik kolon, sebagian ginjal kanan
dan kelenjar suprarenal kanan.

2. Epigastrica meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas


dan sebagian dari hepar.
3. Hypocondriaca sinistra meliputi organ: gaster, limpa, bagian
kaudal pankreas, fleksura lienalis kolon, bagian proksimal ginjal kiri dan
kelenjar suprarenal kiri.

4. Lumbalis dextra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal


ginjal kanan, sebagian duodenum dan jejenum.

5. Umbilical meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian bawah


duodenum, jejenum dan ileum.

6. Lumbalis sinistra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal


ginjal kiri, sebagian jejenum dan ileum.

7. Inguinalis dextra meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal


ileum dan ureter kanan.

8. Pubica/Hipogastric meliputi organ: ileum, vesica urinaria dan


uterus (pada kehamilan).

9. Inguinalis sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan


ovarium kiri. Dengan mengetahui proyeksi organ intra-abdomen tersebut,
dapat memprediksi organ mana yang kemungkinan mengalami cedera jika
dalam pemeriksaan fisik ditemukan kelainan pada daerah atau regio tersebut.

III. ETIOLOGI
Kelainan dari peritoneum dapat disebabkan oleh bermacam hal, antara lain:

1. Patogen

Terdapat banyak patogen yang dapat menyebabkan peritonitis, yaitu bakteri


gram negatif, bakteri gram positif, bakteri anaerob, dan fungi. Parasit yang paling
sering menyebabkan peritonitis adalah bakteri gram negative, seperti E.coli,
Enterobacter, Klebsiella, Proteus sp. Bakteri gram positif yang dapat menyebabkan
peritonitis yaitu Enterococcus, Streptocci, Staphylococci. Bakteri anaerob yang
sebagai pathogen yaitu Bacteriodes dan Clostridium.13

2. Perforasi

Peradangan pada tratus gastrointestinal yang mengalami perforasi, iskemik


intestinal, peradangan panggul yang perforasi dapat menyebabkan peritonitis yang
bersifat akut.

3. Pasca Operasi Peritonitis

Prosedur operasi yang tidak sesuai prosedural dapat menyebabkan


kebocoran pada anastomosis pembuluh darah pada organ dalam abdomen serta
menyebabkan penurunan suplai darah pada organ abdomen yang dapat
menyebabkan iskemik organ, lalu berujung pada nekrosis jaringan yang
menyebabkan peradangan pada peritonitits.

4. Pasca Traumatis Peritonitis

Trauma pada abdomen, baik luka akibat pukulan benda tumpul maupun
tusukan benda tajam dapat menyebabkan peradangan pada organ dalam abdomen.

IV. KLASIFIKASI
Peritonitis berdasarkan luas infeksinya dibagi menjadi peritonitis lokalisata
dan peritonitis generalisata. Peritonitis berdasarkan sumber kumannya dapat
diklasifikasikan menjadi peritonitis primer, sekunder dan tersier.

1. Peritonitis primer

Peritonitis primer, sering juga disebut sebagai spontaneous bacterial


peritonitis (SBP), kemungkinan tidak memiliki penyebab khusus tetapi
digambarkan sebagai kelompok penyakit yang memiliki penyebab berbeda-beda
tetapi merupakan infeksi pada ronggaperitoneumtanpa ada sumber yang jelas.
Penyebaran patogen dari peritonitis primer baik secara hematogen maupun limfatik.
Penderita sirosis hepatis dan asites memiliki faktor risiko untuk terjadinya
peritonitis primer.

2. Peritonitis sekunder

Peritonitis sekunder, yang juga disebut sebagai surgical peritonitis,


merupakan jenis peritonitis yang paling sering terjadi. Peritonitis sekunder
disebabkan oleh infeksi pada peritoneum yang berasal dari traktus gastrointestinal

Peritonitis sekunder terjadi akibat adanya proses inflamasi pada rongga


peritoneal yang bisa disebabkan oleh inflamasi, perforasi, ataupun gangren dari
struktur intraperitoneum maupun retroperitoneum. Perforasi akibat ulkus peptikum,
apendisitis, divertikulitis, kolesistitis akut, pankreatitis dan komplikasi pasca
operasi merupakan beberapa penyebab tersering dari peritonitis sekunder.
Penyebab non-bakterial lainnya termasuk bocornya darah ke dalam rongga
peritoneumakibat robekan pada kehamilan di tuba fallopi, kista ovarian, atau
aneurisma yang menyebabkan rangsang nyeri innervasi pada peritoneum yang
menyebabkan penderita merasakan nyeri abdomen.
V. PATOFISIOLOGI

Awalnya mikroorganisme masuk kedalam rongga abdomen adalah steril


tetapi dalam beberapa jam terjadi kontaminasi bakteri. Akibatnya timbul edema
jaringan dan pertahanan eksudat. Cairan dalam rongga abdomen menjadi keruh
dengan bertambahnya sejumlah protein, sel-sel darah putih, sel-sel yang rusak.
Respon yang segera dari saluran intestinal adalah hipermotilitas, diikuti oleh
ileus paralitik dengan penimbunan udara dan cairan didalam usus besar.

Berbagai faktor berkontribusi terhadap peritonitis, salah satu faktor


predisposisi adanya pertumbuhan berlebihan pada bakteri usus. Pertumbuhan
bakteri yang berlebihan di usus bersamaan dengan gangguan fungsi fagositik,
kadar komplemen serum, asites, penurunan aktivitas sistem retikuloendotelial
berkontribusi terhadap insidensi peritonitis. Reaksi awal peritoneum terhadap
invasi bakteri adalah mengeluarkan eksudat fibrinosa yang membatas wilayah
inflamasi yang merupakan patogenesis peritonitis terlokalisir.

Peradangan adalah mekanisme proteksi tubuh untuk melawan patogen,


cedera, maupun zat asing lainnya.Peradangan pada jaringan akan menimbulkan
tanda-tanda radang, berupa panas (kalor), nyeri (dolor), kemerahan (rubor),
pembengkakkan (tumor), dan kehilangan fungsi
(less of function). Peradangan pada peritoneum atau peritonitis akan
menimbulkan akumulasi cairan di rongga peritoneum dikarenakan permeabilitas
dinding kapiler dan membran sel menjadi meningkat dan mengalami kebocoran.
Akibat proses radang atau inflamasi, maka akan terjadi kaskade pengaktifan
mediator-mediator inflamasi berupa histamin sitokin, IL-3(Interleukin-3), dan
IL-5 (Interleukin-5). Hal ini akan memicu vasodilatasi endotel untuk diapedesis
limfosit dan makrofag.

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya


eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan
fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga
membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,
tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan
obstuksi usus.

Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran


mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti
misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga
membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena
tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit
oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia

Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen


mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah
kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga
peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan
oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan
hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan
yang tidak ada, serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut
meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh
menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang
menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi
menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis
umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus
kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam
lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.
Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan
dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi
usus.

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan
ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi
peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus
ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai
terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus
stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi
iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya
terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen
sehingga dapat terjadi peritonitis.

VI. PENEGAKKAN DIAGNOSIS


A. Anamnesis

Keluhan peritonitis adalah nyeri hebat pada abdomen terus-menerus


dan semakin hebat saat bergerak. Awalnya, rasa sakit mungkin tumpul dan
kurang terlokalisasi merupakan gejala inflamasi peritoneum viceralis,
kemudian akan berlanjut ke inflamasi peritonitis parietal, bermanifestasi
sebagai nyeri lebih terlokalisir yang tajam dan konstan. Pasien biasanya
akan berbaring dan diam. Selain itu, keluhan lain yang dirasakan oleh pasien
adalah demam, mual dan muntah, perut terasa kembung, serta keluhan tidak
dapat BAB atau flatus.

B. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan kondisi umum, wajah,


denyut nadi, pernapasan, suhu badan, dan sikap baring pasien, sebelum
melakukan pemeriksaan abdomen. Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan,
syok, dan infeksi atau sepsis juga perlu diperhatikan.

Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan peritonitis, keadaan umumnya


tidak baik. Demam dengan temperatur >38 C biasanya terjadi. Pasien
dengan sepsis hebat akan muncul gejala hipotermia. Takikardia disebabkan
karena dilepaskannya mediator inflamasi dan hipovolemia intravaskuler
yang disebabkan mual damuntah, demam, kehilangan cairan yang banyak
dari rongga abdomen. Dengan adanya dehidrasi yang berlangsung secara
progresif, pasien bisa menjadi semakin hipotensi. Hal ini bisa menyebabkan
produksi urin berkurang, dan dengan adanya peritonitis hebat bisa berakhir
dengan keadaan syok sepsis.

a) Inspeksi :

Pemeriksa mengamati adakah jaringan parut bekas operasi


menununjukkan kemungkinan adanya adhesi, perut membuncit
dengan gambaran usus atau gerakan usus yang disebabkan oleh
gangguan pasase. Pada peritonitis biasanya akan ditemukan perut
yang membuncit dan tegang atau distensi abdomen.

b) Palpasi :

Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik dan viseral


yang sangat sensitif. Bagian anterir dari peritoneum parietale
adalah yang paling sensitif. Palpasi harus selalu dilakukan di
bagian lain dari abdomen yang tidak dikeluhkan nyeri. Hal ini
berguna sebagai pembanding antara bagian yang tidak nyeri dengan
bagian yang nyeri. Nyeri tekan dan defans muskular (rigidity)
menunjukkan adanya proses inflamasi yang mengenai peritoneum
parietale (nyeri somatik).

Defans yang murni adalah proses refleks otot akan dirasakan pada
inspirasi dan ekspirasi berupa reaksi kontraksi otot terhadap
rangsangan tekanan

Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan


setempat. Otot dinding perut menunjukkan defans muskular secara
refleks untuk melindungi bagian yang meradang dan menghindari
gerakan atau tekanan setempat.

c) Perkusi :

Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum, adanya


udara bebas atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi
melalui pemeriksaan pekak hati dan shifting dullness. Pada pasien
dengan peritonitis, pekak hepar akan menghilang, dan perkusi
abdomen hipertimpani karena adanya udara bebas tadi.

Pada pasien dengan keluhan nyeri perut umumnya harus dilakukan


pemeriksaan colok dubur dan pemeriksaan vaginal untuk
membantu penegakan diagnosis. Nyeri yang difus pada lipatan
peritoneum di kavum doglasi kurang memberikan informasi pada
peritonitis murni; nyeri pada satu sisi menunjukkan adanya
kelainan di daeah panggul, seperti apendisitis, abses, atau
adneksitis.

Nyeri pada semua arah menunjukkan general peritonitis. Colok


dubur dapat pula membedakan antara obstruksi usus dengan
paralisis usus, karena pada paralisis dijumpai ampula rekti yang
melebar, sedangkan pada obstruksi usus ampula biasanya kolaps.
Pemeriksaan vagina menambah informasi untuk kemungkinan
kelainan pada alat kelamin dalam perempuan.

d) Auskultasi :

Dilakukan untuk menilai apakah terjadi penurunan suara bising


usus. Pasien dengan peritonitis umum, bising usus akan melemah
atau menghilang sama sekali, hal ini disebabkan karena peritoneal
yang lumpuh sehingga menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak
bergerak (ileus paralitik). Sedangkan pada peritonitis lokal bising
usus dapat terdengar normal.

C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan jumlah sel darah putih
Peningkatan jumlah sel darah putih menunjukkan adanya
infeksi bakteri. Namun, pemeriksaan ini memiliki spesifisitas yang
rendah dikarenakan peningkatan sel darah putih dapat menjadi
suatu respon non-spesifik seperto latihan yang intens atau stress
psikologi.
2) Pemeriksaan procalcitonin
Terdapat temuan bahwa kadar procalcitonin diatas 10,1 mcg/L
dapat menjadi indicator tingkat keparahan serta mortalitas
peritonitis ,terutama peritonitis sekunder.
3) Kadar Laktat
Laktat merupakan zat hasil glikolisis pada sel. Laktat akan
dilepaskan menuju ke vena jika dalam keadaan berlebihan. Laktat
telah dipelajari sebagai penanda hipoperfusi sistemik dan secara
tidak langsung berkaitan dengan sepsis. Sehingga kadar laktat
dapat membantu resusitasi awal dan diagnosis peritonitis.
4) Pemeriksaan Analisis Cairan Peritoneum
Analisis cairan peritoneum dapat diperoleh dengan cara
melakukan aspirasi cairan peritoneum. Cairan peritoneum yang
diakibatkan oleh infeksi bakteri umumya menghasilkan cairan yang
eksudat. Umumnya cairan peritoneum adalah transudat.

Pemeriksaan Pencitraan
Adapun pemeriksaan pencitraan yang dapat dilakukkan adalah 4 :
1) Foto polos toraks
Dapat ditemukan udara bebas pada foto toraks pada posisi
tegak maupun foto abdomen pada posisi decubitus, tetapi adanya
pneumoperitoneum pada pemeriksaan radiologis memiliki tingkat
sensitivitas yang rendah dalam mengindikasikan adanya perforasi
usus. Tidak ditemukannya udara bebas tidak seharusnya menunda
dilakukannya tindakan operasi
2) Ultrasonography (USG)
Pemeriksaan USG dapat menggambarkan adanya abses,
dilatasi saluran empedu, dan adanya penumpukan cairan.
3) Computed tomography (CT-Scan)
Pemeriksaan CT-Scan digunakan untuk melihat tempat pasti
terjadinya perforasi. Pemeriksaan CT-Scan dapat mendeteksi
adanya lesi diluar dari tempat yang dicurigai berdasarkan gejala
klinis dan berfungsi sebagai pedoman untuk tatalaksana
percutaneous drainage cairan peritoneal atau abses.
4) Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
DPL dengan cara memasukkan 1 liter saline normal ke
dalam rongga peritoneal melalui kateter. Jika cairan yang keluar
mengandung leukosit lebih dari 500 sel/ml, kadar enzim amylase
atau bilirubin meningkat dari normal atau ditemukannya bakteri
pada pewarnaan Gram, maka kemungkinan diagnosis peritonitis
sekunder sebesar 90% .
5) Laparoskopi
Pemeriksaan laparoskopi sangatlah akurat dalam
menentukan diagnosis peritonitis sekunder dan banyak penyakit
penyebabnya yang dapat ditangani dengan laparoskopi sehingga
tidak perlu dilakukan laparotomi.

VII. DIAGNOSIS BANDING


A. Gastroenteritis

Mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut dirasa
lebih ringan dan tidak tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan. Demam
dan leukositosis kurang menonjol.

B. Ileus Obstruktif

C. Appendicitis Akut

Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal


kanan merupakan gambaran khas. Hematuria sering ditemukan. Foto
polos abdomen dan urografi intravena dapat memastikan penyakit
tersebut.

D. Demam Dengue

Dimulai dengan sakit perut dan demam mirip peritonitis.


Didapatkan hasil tes positif Rumple Leede, trombositopenis, dan
hematokrit yang meningkat.

E. Kolisistis Akut

Obstruksi yang terjadi pada kantung empedu yang menyebabkan


cairan dalam kantung empedu terperangkap. Penyumbatan ini akan
menyebabkan proses iritasi hingga infeksi. Murphy’s sign (+).
VIII. PENATALAKSANAAN

Perbaikan bedah darurat (terbuka atau laparoskopi) diindikasikan di


hampir semua kasus. Antibiotik spektrum luas telah terbukti mengurangi
risiko infeksi luka. Metronidazol dan sefalosporin atau aminoglikosida
sudah cukup.

1) Operasi / Bedah

Operasi dilakukan untuk melakukan terapi definitif dan koreksi


proses patologis yang tidak diketahui dan melakukan penelitian organ
yang mengalami inflamasi jikalau terdapat peritonitis yang terlokalisir.

Pembedahan pada peritonitis generalisata adalah laparotomi


eksploratif, sedangkan pada peritonitis lokalisata adalah laparoskopi
eksploratif.

Laparatomi adalah prosedur vertical pada dinding perut ke


dalam rongga perut. Prosedur ini memungkinkan dokter melihat dan
merasakan organ dalam untuk membuat diagnosa apa yang salah.
Laparatomi dibutuhkan ketika ada kedaruratan perut. Operasi
laparatomi dilakukan bila terjadi masalah kesehatan yang berat pada
area abdomen, misalnya trauma abdomen. Bila klien mengeluh nyeri
hebat dan gejala-gejala lain dari masalah internal yang serius dan
kemungkinan penyebabnya tidak terlihat seperti usus buntu, tukak
peptik yang berlubang, atau kondisi ginekologi maka dilakukan
operasi untuk menemukan dan mengoreksinya sebelum terjadi
keparahan lebih.

2) Antibiotik Spektrum Luas

Pemberian antibiotik terdapat agen tunggal dan agen ganda. Single


agent yaitu berupa Ceftriaxone 1-2 gram intravena selama 24 jam atau
Cefotaxime 1-2 gram intravena. Sedangkan multiple agent yaitu
Ampiciline 2gram intavena, Gentamicine 1,5mg/kg/hari, dan
Clindamycine 600-900 mg intravena atau Metronidazole 500 mg
intravena.

3) Pemberian rehidrasi cairan

Pemberian cairan melalui infus intravena guna mencegah dehidrasi


dan mengganti cairan yang telah hilang

1. Pemberian analgesik melalui intravena

4) Kontrol Nyeri
Pemberian berupa morfin atau meperidine untuk mengurangi
rasanyeri perut yang dirasakan oleh penderita. Penatalaksanaan awal
perforasi gaster terdiri dari resusitasi agresif, terapi oksigen, cairan
intravena, dan antibiotik spektrum luas. Selang nasogastrik juga harus
dipasang. Analgesia intravena dan PPI harus diberikan sesuai kebutuhan.
Kateter urin memungkinkan pemantauan ketat output urin. Manajemen
bedah adalah pengobatan andalan untuk sebagian besar perforasi lambung.

IX. KOMPLIKASI

Peritonitis dapat menyebabkan masalah kesehatan yang parah. Ini bisa


mematikan jika tidak segera diobati. Peritonitis dapat membuat cairan terisi di
perut. Hal ini dapat menyebabkan kehilangan cairan yang parah atau dehidrasi.
Jika peritonitis tidak diobati, infeksi dapat dengan cepat menyebar ke seluruh
tubuh. Ini dapat menciptakan respons ekstrem dari sistem kekebalan yang
disebut sepsis. Sepsis adalah kondisi serius yang bergerak cepat. Itu terjadi
ketika bahan kimia yang dikirim ke aliran darah untuk melawan infeksi
menyebabkan pembengkakan (peradangan) di sebagian besar tubuh Anda. Ini
dapat memperlambat aliran darah dan melukai organ. Sepsis berat dapat
menyebabkan tubuh mengalami syok. Ini dapat menyebabkan kegagalan organ
dan kematian.

Infectious peritonitis memiliki banyak komplikasi yang mengancam


jiwa, termasuk trombosis vena mesenterika, sindrom gangguan pernapasan
dewasa, kegagalan multiorgan progresif, dan kematian. Komplikasi berat lebih
sering dikaitkan dengan peritonitis sekunder, meskipun anak-anak dengan
gangguan kekebalan memiliki peningkatan risiko terlepas dari sumber
peritonitis.
Komplikasi lain termasuk ileus yang berkepanjangan, infeksi luka
operasi, abses intra-abdomen, fistula enterik, dan perlengketan inflamasi.
Penebalan inflamasi pada permukaan peritoneum dan kompartementalisasi
rongga peritoneum dapat membatasi efektivitas dialisis peritoneal dan pirau
ventrikuloperitoneal.

X. PROGNOSIS

Kemampuan pasien peritonitis sekunder untuk bertahan hidup


tergantung pada banyak faktor meliputi, usia, status gizi, kadar albumin,
kondisi komorbid atau kondisi lain yang menyertai, adanya keganasan, lama
waktu terkontaminasinya peritoneum, kapan dimulainya pengobatan,
keberadaan benda asing, dan kemampuan tubuh untuk mengontrol sumber
infeksi, dan jenis mikroorganisme yang terlibat. Prognosis memburuk jika
ditemukan banyak mikroorganisme pada eksudat peritoneum. Angka kematian
akan meningkat jika sumber kontaminasinya berasal dari bagian yang lebih
distal gastrointestinal

Selama 3 dekade terakhir, prognosis pasien dengan perforasi lambung


telah meningkat secara signifikan. Namun keterlambatan dalam diagnosis dan
pengobatan masih dapat menyebabkan kematian. Faktor-faktor yang terkait
dengan kematian yang tinggi meliputi:

- Adanya penyakit penyerta

- Usia lanjut

- Malnutrisi

- Adanya komplikasi

- Jenis dan lokasi perforasi


BAB III

KESIMPULAN

Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum (lapisan serosa yang menutupi


rongga abdomen dan organ-organ abdomen di dalamnya). Suatu bentuk penyakit akut,
dan merupakan kasus bedah darurat. Dapat terjadi secara lokal maupun general, melalui
proses infeksi akibat perforasi perforasi saluran cerna, seperti ruptur appendiks atau
divertikulum kolon, maupun non infeksi, asam lambung pada perforasi gaster,
keluarnya asam empedu pada perforasi kandung empedu. Pada wanita peritonitis sering
disebabkan oleh infeksi tuba falopi atau ruptur ovarium. Parasit yang paling sering
menyebabkan peritonitis adalah bakteri gram negative, seperti E.coli, Enterobacter,
Klebsiella, Proteus sp. Bakteri gram positif yang dapat menyebabkan peritonitis yaitu
Enterococcus, Streptocci, Staphylococci. Bakteri anaerob yang sebagai pathogen yaitu
Bacteriodes dan Clostridium.

Gejala klinis pada peritonitis meliputi nyeri tekan, nyeri lepas, hingga defans
muscular. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan berupa darah lengkap,
prokalsitonin, laktat, analisis cairan peritoneum hingga radiologis dan laparoskopi.
Penanganan peritontis berupa farmakoterapi dan pembedahan. Selama 3 dekade
terakhir, prognosis pasien dengan perforasi lambung telah meningkat secara signifikan.
Namun keterlambatan dalam diagnosis dan pengobatan masih dapat menyebabkan
kematian
DAFTAR PUSTAKA

Sembiring OA. Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas


Sumatera Utara. :90.

Japanesa A, Zahari A, Rusjdi SR. Pola Kasus dan Penatalaksanaan Peritonitis Akut di
Bangsal Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang. J Kesehat Andalas [Internet]. 2016 Jan 1
[cited 2021 Jun 29];5(1). Available from:
https://doaj.org/article/94df8d46c48c45cb8022519beae18724

Horta, Mariana. Peritoneal Anatomy: Imaging Overview. 2013.

Shofa OA. Pengaruh Pemberian Mentanil Yellow Peroral Dosis Bertingkat Selama 30
Hari Terhadap Gambaran Histopatologi Duodenum. Faculty of Medicine Diponegoro
University. 2014.

Warsinggih, D. 2010, Bahan Ajar Apendisitis Akut, Nusantara Medical Science,

[Online].Available:https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wpcontent/uploads/2016/10/
Appendisitis -akut.pdf. [accessed on 28 Juni 2021].

Japanesa A, Zahari A, Rusjdi SR. Pola kasus dan penatalaksanaan peritonitis akut di
bangsal bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2016;5:209-13.

Daley BJ. Peritonitis and Abdominal Sepsis Clinical Presentation: History, Physical

Examination [Internet]. Medscape. 2019 [cited 2021 Jun 29]. Available from:

https://emedicine.medscape.com/article/180234-clinical
Green, T. E. Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP). 2018. Diakses pada: 29 Juni
2021.

Tersedia di:https://emedicine.medscape.com /article/789105-overview/).

Wim de Jong. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed. 2. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai