Anda di halaman 1dari 32

REFLEKSI KASUS ANESTESI

IBS

Disusun oleh:
Putu Gede Suda Satriya Wibawa
42190323

Pembimbing Klinik:
dr. Yos Kresna W., M.Sc, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESI RUMAH SAKIT EMANUEL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA

YOGYAKARTA

2020
BAB I
LAPORAN KASUS
I.   IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Tn. P

Nomor RM : 00558xxx

Tanggal lahir : 10 Juni 1974

Usia : 46 tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Dieng Kulon Banjarnegara

Tanggal MRS : 7 Juli 2020

II.   ANAMNESIS

Keluhan utama:
•   Benjolan di anus

Riwayat Penyakit Sekarang:


•   Pasien mengeluhkan terdapat benjolan di anus sejak 1 tahun yang lalu namun tidak
merasakan sakit. Benjolan di anus semulanya hanya keluar saat pasien BAB dan dapat
di masukan kembali, namun sejak 1 minggu SMRS benjolan pada anus pasien tidak
dapat dimasukan kembali dan terasa nyeri. Demam (-), mual (-), muntah (-), diare (-).
BAK normal namun BAB disertai darah segar. Pasien belum mengonsumsi obat
SMRS.

Riwayat Penyakit Dahulu:


•   Tidak ada  

Riwayat Penyakit keluarga:


•   Tidak ada  

Gaya  Hidup  
•   Merokok  1  bungkus  sehari  

  1  
 
III.   ASSESMENT PRA ANESTESI

A.   ANAMNESIS

Kebiasaan : Merokok (+); Konsumsi kopi-teh (+), Alkohol (-)


Aktifitas fisik : Jarang
Riwayat minum obat : (-)
Riwayat operasi : (-)
Riwayat pembiusan : (-)
Riwayat penyakit berat : (-)
Riwayat alergi obat/makanan : (-)
Pemakaian alat bantu : (-)
Puasa (dewasa 8 jam) : Sudah
Makan-minum terakhir : 09.00 WIB

B.   PEMERIKSAAN FISIK PRE OPERASI

1.   SURVEY PRIMER
Airway
Jalan napas : Bebas (tidak menggunakan alat bantu nafas)
Malampati : II
Breathing
Respirasi : 18 x/menit
Circulation
CRT : <2 detik
Kondisi akral : hangat
Disability
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5M6
Kelainan neurologis : (-)
2.   TANDA VITAL
Tekanan darah : 130/75 mmHg  
Nadi : 62x/menit  

  2  
RR : 18x/menit  
Suhu : 36,5o C  
Saturasi : 100%
Skala  nyeri     :  4  
3.   STATUS GENERALIS
Kepala
Ukuran : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : Bentuk normal, simetris, otorrhea (-)
Hidung : Bentuk normal, rhinorea (-), deviasi septum (-), Patensi hidung (+)
Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), tanda radang (-), Gigi
ompong (+)
Leher : Pembesaran limfonodi (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), nyeri tekan
(-), JVP Normal
Thorax
Paru
Inspeksi : Bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi (-), jejas (-)
Palpasi : Pengembangan dada simetris, krepitasi (-), nyeri tekan (-), fremitus
normal (kanan dan kiri sama)
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Tidak dilakukan
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : S1-S2 tunggal reguler, Gallop (-), Murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Dinding perut lebih rendah dari dinding dada, jejas (-), benjolan (-)
Palpasi : Tidak ditemukan nyeri tekan
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus normal

  3  
4.   STATUS LOKALIS
Regio perineum
Inspeksi : terdapat benjolan hemorrhoid di anus dan tampak kemerahan
Palpasi : nyeri tekan
C.   PEMERIKSAAN PENUNJANG OPERASI
1.   Laboratorium

Darah Lengkap Hasil Nilai Rujukan Keterangan

Nilai kritis (low<6,


Hemoglobin 15.7 12-16 g/dl
high>22)
Nilai kritis (low<2.0,
Lekosit 6.78 4.8-10.8ribu/mm3
high>30.0)
Eritrosit 5.16 4,7 – 6,1 juta/mm3
Nilai kritis (low<25,
Hematokrit 45.6 42 – 52 %
high>60)
MCV 88.4 79,0 -99,0 fL
MCH 30.4 27,0 – 31,0 pg
MCHC 34.4 33,0 – 37,0 g/dl
RDW 41.3 35 - 47% fL
Nilai kritis (low<50,
Trombosit 313 150-450 ribu
high>1000)
PDW 11.0 9,0 -13,0 fL
P-LCR 23.6 15,0 – 25,0 %
MPV 9.8 7.2-11.1 fL
Neutrofil% 47.3 (L) 50-70%

Eosinofil % 6.5 (H) 2-4 %

Basofil % 1.5 (H) 0-1 %

Limfosit% 37.3 25 - 40%

Monosit % 7.3 2-8 %

Jumlah Limfosit 3.21 1.00-3.70 rb/mmk

Kimia Klinik

  4  
Glukosa Sewaktu 80 70-115 mg/dl

EKG
Kesan : Sinus bradikardi

Kesimpulan assessment pra anestesi:


Diagnosis : Hemorrhoid
Tindakan operasi : Hemorrhoidectomy
Status ASA :I
Rencana teknik anestesi : Spinal Anesthesi
Posisi Pasien : Telentang

IV.  ASSESMENT PRA INDUKSI

a.   Informasi
Identitas pasien benar √
Persetujuan medis telah ditandatangani √
Teknik anestesi sudah ditentukan √
Nadi dewasa antara 50-130 kali per menit √
Laju nafas dewasa 8-35 kali per menit √
Suhu antara 36,5 sampai 39oC √
Saturasi oksigen antara 90-100% √

  5  
Jalan nafas bebas/terkontrol √
Nyeri minimal/tidak ada √
b.   Analisis
Dilaksanakan √
c.   Rencana
Tindakan Operasi : Hemorrhoidectomy

V.   LAPORAN ANESTESI
Tanggal operasi : 7 Juli 2020
Mulai anestesi : 16.00 WIB
Selesai anestesi : 16.45 WIB
Anestesi : Spnal Anesthesi
Posisi pasien : Terlentang
Dokter bedah : dr. Samuel, Sp.B
Dokter Anestesi : dr.Yos Kresna Sp.An
Obat yang digunakan:
Nama obat Dosis Sediaan

Bunascan/bupivacaine 0,5 – 1,5 mg/kg BB IV 5 mg/ml (1A=4 ml)

Ondansetron 0,1 mg/kgBB IV 4mg/2ml (1A=2 ml)

Ketorolac 0.5 mg/kgBB IV 30mg/ml (1A=1 ml)

Petidine 1-2 mg/kgBB IV 50mg/ml (1A=2ml)

Maintenance:
●   O2 (3 lpm)  

Monitoring durasi operasi


Tekanan
Saturasi
Pukul Darah Nadi
Oksigen
16.00 130/92 80 99 %

16.15 135/90 70 100 %

16.30 130/90 90 100 %

  6  
16.45 130/85 85 100 %

Prosedur Anestesi Spinal


1.   Menyiapkan peralatan dan obat yang digunakan dalam proses anestesi
Alat:
●   Spuit 5 cc  
●   Spinal needle  
●   Spuit 3 cc  
●   Handscoon steril  
Obat-obatan:
●   Bunascan/bupivacaine 1 Amp  
●   Ondansetron 1 Amp  
●   Ketorolac 1 Amp  
●   Petidine  1  Amp  

2.   Pasien diposisikan duduk dan memeluk bantal

3.   Memakai sarung tangan steril


4.   Memasang duk steril
5.   Mengambil bunascan dengan spuit 5 cc
6.   Sterilkan area tusukan dengan povidone iodine
7.   Tentukan lokasi penusukan (antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5)
8.   Tandai area yang akan ditusuk
9.   Tusuk dengan spinal needle hingga ruang subaraknoid
10.  Keluarkan jarum dan cek apakah CSF keluar, jika tidak segera ulangi penusukan hingga
CSF berhasil keluar
11.  Sambungkan spuit berisi bunascan dan jangan lupa aspirasi terlebih dahulu untuk
memastikan lokasi pembiusan

  7  
12.  Masukan bunascan secara perlahan
13.  Biarkan pasien berbaring kembali sambil menunggu efek dari anestesi spinal
14.  Pantau efek samping seperti (hipotensi atau shivering)
15.  Jika terjadi efek samping hipotensi maka perlu diberikan ephedrine yang dicairkan menjadi
5 cc dalam aquadest sedangkan shivering dapat diatasi dengan pemberian pethidine.
16.  Saat pasien mengeluhkan tidak bisa lagi mengangkat atau merasakan kakinnya maka
operasi dapat dimulai
17.  Siapkan ketorolac 1 ampul (30 mg/ml) dan ondansetron 1 ampul (4 mg/2ml), masing-
masing pada spuit 3 cc
18.  Siapkan juga petidine 1 ampul yang dicairkan menjadi 10 cc dalam aquadest dengan spuit
10 cc
19.  Setelah prosedur operasi selesai maka dapat diberikan ketorolac, ondansetron dan petidine
(iv)
20.  Pantau tanda vital dan komplikasi dari spinal anestesi (sesak nafas, mual dan muntah)

Pasca operatif (Recovery Room)


Bromage Score
Kriteria Skor Pasien masuk Pasien keluar
Gerakan penuh dari 0
tungkai
Mampu flexi lutut 1
Mampu ekstensi lutut, 2 √
menggerakkan kaki
Tidak dapat 3 √
menggerakan kaki
sama sekali
Pasien bisa dipindahkan ke bangsal jika nilai Bromage score
≤ 2, atau score 3 bisa dipindahkan bila KU baik dan vital sign
dalam batas normal selama pengawasan di RR, sesuai
instruksi dokter anestesi.

  8  
Hemodinamik pasca operasi :
Waktu Tekanan Darah Nadi (x/menit) Saturasi (%)
(mmHg)

16.45 115/75 90 99

17.00 120/85 85 100

17.15 110/82 75 100

17.30 120/78 75 100

Instruksi pasca anestesi di ruangan/bangsal


●   Awasi tensi, nadi, pernafasan tiap 15 menit sampai 2 jam post operasi.  
●   Mual/muntah diberi injeksi : Ondansetron 4 mg  
●   Infus dalam 24 jam : RL, Futrolit  
●   Bila sistolik <90 mmHg, berikan injeksi ephedrine 10 mg(iv).  
●   Bila sesak nafas, lapor dr. Anastesi/dr. jaga  
●   Makan minum: puasa, sesuai dengan instruksi dokter bedah.  

  9  
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I.   Anestesi Spinal
Anestesi regional adalah metode yang bersifat sebagai analgesik karena menghilangkan
nyeri dan pasien dapat tetap sadar. Oleh sebab itu teknik ini tidak memenuhi trias anestesi
karena hanya menghilangkan persepsi nyeri saja. Jika ditambah obat hipnotik atau sedatif,
disebut sebagai balans anesthesia sehingga masuk dalam trias anesthesia. Teknik anestesi
regional terbagi menjadi 2 yaitu:
1.   Blokade sentral (blokade neuroaxial), yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan kaudal.
2.   Blokade perifer (blokade saraf) misalnya blok pleksus brakialis, aksila dan anelgesik
regional intravena.
Efek pemberian analgesik dan anestesi lokal dapat dijelaskan sebagai berikut: golongan
NSAID akan memblokir enzim siklooksigenase di jaringan perifer sehingga pembentukkan
prostaglandin akan terhambat. Jika golongan opioid yang digunakan golongan ini golongan ini
akan memblokir reseptor opioid di medulla spinalis dan korteks serebri. Anestesi lokal seperti
lidokain dan bupivakain memblokir penjalaran nyeri di medulla spinalis dan serabut saraf yang
menuju ke medulla spinalis sehingga rangsangan nyeri tidak sampai ke korteks serebri.
Anestesi spinal adalah teknik anestesi neuraxial di mana anestesi lokal ditempatkan
langsung di ruang intratekal (ruang subarachnoid). Ruang subarachnoid menampung cairan
cerebrospinal fluid (CSF), cairan bening yang membasahi otak dan sumsum tulang belakang.
Ada sekitar 130 hingga 140 mL CSF pada manusia dewasa yang terus-menerus berputar
sepanjang hari dan sekitar 500 mL CSF diproduksi setiap hari. Teknik neuraxial lainnya
termasuk anestesi epidural dan caudal, masing-masing memiliki indikasi khusus. Anestesi
spinal hanya dilakukan di tulang belakang lumbar karena alasan yang akan dibahas kemudian
dalam artikel ini, digunakan untuk prosedur bedah yang melibatkan perut bagian bawah,
panggul, dan ekstremitas bawah.
Anestesi spinal hanya dilakukan di daerah lumbar, khususnya tingkat lumbar menengah
ke bawah untuk menghindari kerusakan pada sumsum tulang belakang dan juga untuk
mencegah obat yang disuntikkan secara intratekal agar tidak memiliki aktivitas di daerah toraks
dan cervical ke atas. Ujung ekor sumsum tulang belakang adalah conus medullaris dan
biasanya berada di batas bawah tubuh vertebra lumbar pertama atau kadang-kadang kedua.
Pada pasien anak, ini sedikit lebih rendah, umumnya berakhir sekitar L3. Kantung dural
biasanya meluas ke S2/3. Untuk alasan ini, insersi jarum spinal untuk anestesi spinal biasanya

  10  
di antar L3/4 atau L4/5. Trauma sumsum tulang belakang lebih mungkin terjadi ketika memilih
interspatium yang lebih tinggi, terutama pada pasien obesitas. Blokade nyeri pada anestesi
spinal akan terjadi sesuai ketinggian blokade penyuntikan anestetik local pada ruang
subaraknoid segmen tertentu. Pada blokade saddle, daerah yang mati rasa adalah daerah
inguinal saja. Jenis blokade ini dilakukan untuk operasi hemoroid dan daerah kemaluan.
Suntikan diberikan menghadap ke bawah/ kaudal, di segmen lumbal 4-5. Blokade yang
dilakukan pada segmen vertebra lumbal 3-4 menghasilkan anestesi di daerah pusar kebawah.
Blokade ini biasanya dilakukan pada operasi seksiosesaria, hernia dan apendisitis.
Untuk mencapai ruang subarachnoid, jarum suntik spinal akan menembus kulit
kemudian berturut-turut ligamentum interspinosum, ligamnetum flavum, ruang epidural,
durameter, dan ruang subarachnoid. Tanda dicapainya ruanng subarachnoid adalah dengan
keluarnya crebrospinal fluid (CSF). Langkah pertama dalam prosedur anestesi spinal
(intratekal, intradural, subdural, atau subarachnoid) adalah menentukkan daerah yang akan di
blokade, kemudian pasien diposisikan tidur miring (lateral decubitus) atau duduk. Posisi tidur
miring biasanya dilakukan pada pasien yang sudah kesakitan dan sulit untuk duduk, misalnya
pada ibu hamil, hemoroid dan beberapa kasus ortopedi. Setelah diposisikan, pasien diberikan
obat anestesi yang telah ditentukan ke ruang subaraknoid. Obat ini menghasilkan blokade
konduksi atau blokade kanal natrium (sodium channel) pada dinding saraf secara sementara
sehingga menghambat transmisi impuls di sepanjang saraf yang berkaitan jika digunakan pada
saraf sentral atau perifer. Setelah pengaruh anestesi lokal menghilang dari saraf akan diikuti
pulihnya konduksi saraf secara spontan dan lengkap tanpa diikuti kerusakan struktur saraf.
Mekanisme kerja anestesi adalah dengan bekerja pada reseptor spesifik di kanal natrium
(sodium channel), kemudian mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion
natrium dan kalium sehingga terjadi depolarisasi pada membran sel saraf dan berakibat tidak
terjadi konduksi saraf. Contoh anestesi lokal yang bisa digunakan adalah kokain, prokain,
kloroprokain, lidokain, dan bupivakain.
Anestesi spinal yang sering dipakai adalah Bupivakain. Lidokain5% sudah ditinggalkan
karena mempunyai efek neurotoksisitas, sehingga bupivakain menjadi pilihan utama untuk
anestesi spinal saat ini. Anestesi spinal dapat dibuat isobarik, hiperbarik atau hipobarik
terhadap cairan serebrospinal. Barisitas anestesi spinal mempengaruhi penyebaran obat
tergantung dari posisi pasien. Larutan hiperbarik disebar oleh gravitasi, larutan hipobarik
menyebar berlawanan arah dengan gravitasi dan isobarik menyebar lokal pada tempat injeksi.
Setelah disuntikkan ke dalam ruang intratekal, penyebaran zat anestesi lokal akan dipengaruhi
oleh berbagai faktor terutama yang berhubungan dengan hukum fisika dinamika dari zat yang

  11  
disuntikkan, antara lain barbotase atau kecepatan penyuntikan, volume, berat jenis, dosis,
tempat penyuntikan, posisi penderita saat atau sesudah penyuntikan.
Anestesi neuraxial digunakan sebagai anestesi tunggal atau dalam kombinasi dengan
anestesi umum untuk sebagian besar prosedur di bawah leher. Anastesi spinal umum digunakan
untuk prosedur bedah yang melibatkan perut bagian bawah, panggul, perineum dan ekstremitas
bawah; oleh sebab itu anastesi spinal bermanfaat pada prosedur di bawah umbilikus. Anestesi
spinal cocok untuk pasien yang berusia tua dan orang-orang dengan penyakit sistemik seperti
penyakit pernapasan kronis, hati, ginjal dan gangguan endokrin seperti diabetes. Anestesi
spinal adalah teknik anastesi terbaik untuk prosedur pendek. Untuk prosedur lama atau
prosedur yang lebih luas yang akan mengganggu pernapasan, anestesi umum biasanya lebih
seing digunakan. Anestesi neuraxial menawarkan banyak manfaat yang tidak tersedia dengan
anestesi umum. Anestesi neuraxial memungkinkan dilakukannya banyak prosedur besar pada
pasien yang sadar. Sebagai contoh, seksio sesaria dapat lebih baik dan aman dilakukan melalui
anestesi neuraksial dibandingkan dengan anestesi umum, yang memungkinkan pembentukan
ikatan antara ibu dan neonatus berlangsung segera. Anestesi neuraxial juga dapat dijadikan
prosedur tambahan yang berguna untuk anestesi umum. Penggunaan epidural toraks sebagai
modalitas nyeri pasca operasi pada pasien post-torakotomi telah membantu meningkatkan
status pernapasan pasien. Efek menguntungkan lainnya adalah kontrol nyeri yang lebih baik
daripada narkotika intravena, lebih sedikit kebutuhan untuk opioid sistemik, pemulihan fungsi
usus lebih awal.

Indikasi:

1)   Bedah ekstremitas bawah


2)   Bedah panggul
3)   Tindakan sekitar rektum perineum
4)   Bedah obstetrik-ginekologi
5)   Bedah urologi
6)   Bedah abdomen bawah Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya
dikombinasikan dengan anesthesia umum ringan.
Kontra indikasi absolut:
1)   Pasien menolak
2)   Infeksi pada tempat suntikan
3)   Hipovolemia berat, syok
4)   Koagulopati atau mendapat terapi koagulan

  12  
5)   Tekanan intrakranial meningkat
6)   Fasilitas resusitasi minim
7)   Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.
Kontra indikasi relatif:
1)   Infeksi sistemik
2)   Infeksi sekitar tempat suntikan
3)   Kelainan neurologis
4)   Kelainan psikis
5)   Bedah lama
6)   Penyakit jantung
7)   Hipovolemia ringan
8)   Nyeri punggung kronik
Persiapan analgesia spinal:
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anstesia umum.
Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada
kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan
prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:

ü   Informed consent: Tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anesthesia spinal
ü   Pemeriksaan fisik: Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung
ü   Pemeriksaan laboratorium anjuran: Hb, Ht, PTT, PT
Peralatan analgesia spinal:
ü   Peralatan monitor: Tekanan darah, Pulse Oksimetri, EKG
ü   Peralatan resusitasi
ü   Jarum spinal
ü   Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bamboo runcing, quinckebacock) atau jarum
spinal dengan ujung pensil (pencil point whitecare).
A.   Asesmen Pra Operasi
Sebelum dilakukan anestesi, setiap pasien harus diasesmen terlebih dahulu (pre-
operative assessment) dengan menilai status fisik pasien yang dinyatakan dalam status
ASA (American Society of Anesthesiologist) dan anamnesis singkat seputar riwayat
penyakit. Hal ini sangat penting untuk menunjukkan apakah pasien memerlukan perhatian
khusus terkait kondisi kesehatannya yang berkaitan dengan pembiusan.
ASA dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

  13  
o   ASA I
Pasien sehat, tidak ada gangguan organik atau kejiwaan, tidak termasuk sangat
muda dan sangat tua, sehat dengan toleransi latihan yang baik
o   ASA II
Pasien memiliki kelainan sistemik ringan, tidak ada keterbatasan fungsional,
memiliki penyakit fungsional, memiliki penyakit yang terkendali dan terkontrol,
obesitas ringan, kehamilan.
o   ASA III
Pasien dengan kelainan sistemik berat, terdapat beberapa keterbatasan fungsional
yang membatasi aktivitasnya, memiliki penyakit lebih dari satu sistem tubuh, CHF
terkontrol, angina stabil, serangan jantung tua, hipertensi tidak terkontrol, obesitas
morbid, gagal ginjal kronis, penyakit bronkospastik dengan gejala intermiten.
o   ASA IV
Pasien dengan kelainan sistemik berat + incapacitance, pasien dengan setidaknya
satu penyakit berat yang tidak terkontrol dan pada tahap akhir, kemungkinan resiko
kematian atau mengancam jiwa, angina tidak stabil, PPOK bergejala, gejala CHF,
kegagalan hepatorenal.
o   ASA V
Pasien dengan atau tanpa operasi diperkirakan meninggal dalam 24 jam atau
harapan hidup lebih dari 24 jam tanpa operasi, risiko besar akan kematian,
kegagalan multiorgan, sindrom sepsis dengan ketidakstabilan hemodinamik,
hipotermia, dan koagulopati tidak terkontrol.
o   ASA VI
Mati batang otak untuk donor organ.
Pasien juga ditanyakan mengenai riwayat operasi dan pembiusan sebelumnya serta
dinilai skor Mallampati. Skor ini digunakan untuk menentukan apakah terdapat
kemungkinan kesulitan jika pasien akan dilakukan intubasi. Berikut klasifikasi Mallampati
yang dinilai dengan cara pasien membuka mulut dalam posisi duduk:

  14  
●   Kelas I: Palatum molle, fauces, uvula dan pilar terlihat jelas
●   Kelas II: Palatum molle, fauces, dan sebagian uvula terlihat
●   Kelas III: Palatum molle dan dasar uvula terlihat
●   Kelas IV: Hanya terlihat langit-langit
B.   Teknik analgesia spinal:
1)   Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah
posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa
dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi
berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
2)   Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri bantal
kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien
membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka, misal L2-L3,
L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla
spinalis.
3)   Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
4)   Beri anestesi lokal pada tempat tusukan (Bunascan 20 mg)
5)   Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G dapat
langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan
menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan
introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum
spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam
(Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu
pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari

  15  
kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah
resensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit
berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi
sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum
spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90º biasanya
likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.
6)   Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid dengan
anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ± 6cm. Posisi:
a.   Posisi Duduk
b.   Pasien duduk di atas meja operasi
c.   Dagu di dada
d.   Tangan istirahat di lutut
7)   Posisi Lateral:
a.   Bahu sejajar dengan meja operasi
b.   Posisikan pinggul di pinggir meja operasi
c.   Memeluk bantal/knee chest position
C.   Faktor yang mempengaruhi:
a.   Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
b.   Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
c.   Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas daerah
analgetik.
d.   Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi.
Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.
e.   Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal dengan
akibat batas analgesia bertambah tinggi.
f.   Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung
berkumpul ke kaudal (saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung menyebar
ke cranial.
g.   Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik, atau hipobarik
h.   Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat batas
analgesia yang lebih tinggi.
i.   Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar dosis
yang diperlukan (BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)

  16  
j.   Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan umumnya larutan analgetik sudah
menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi pasien.
D.   Obat-obat yang Digunakan pada Anestesi Spinal
Berat jenis CSF pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008. Anastetik spinal dengan berat
jenis sama dengan CSF disebut isobarik. Anastetik spinal dengan berat jenis lebih besar
dari CSF disebut hiperbarik. Anastetik spinal dengan berat jenis lebih kecil dari CSF
disebut hipobarik. Anestesi spinal yang paling sering digunakan:

1) Bupivakain Hidroklorida
Bupivacaine adalah derivat mevicaine yang tiga kali lebih kuat dari asalnya.
Bupivacaine memiliki mula kerja yang cepat (5-10 menit) dengan durasi kerja analgesia
(90-150 menit). Dalam hal ini mula kerja dan durasi obat bekerja tentu dipengaruhi banyak
faktor yaitu: umur, tinggi badan, CSF, barisitas, teknik penyuntikan, dan sebagainya.
Karena banyak faktor yang berpengaruh, sehingga mengenai mula kerja dan durasi kerja
perlu penelitian lebih lanjut. Obat ini tersedia di dalam sediaan 5 mg/ml, dengan konsentrasi
0,75% dengan 0,25 % dekstrose ataupun tanpa dekstrose serta konsentrasi 0,5% dengan
atau tanpa dekstrose. Pada tahun-tahun terakhir ini bupivacaine menjadi sering dipakai
untuk operasi-operasi abdomen bagian bawah, baik yang isobarik ataupun yang hiperbarik.
Kualitas blok motorik yang ditimbulkannya tidak terlalu baik tetapi kualitas sensorik
bloknya jauh lebih baik sehingga obat ini sangat ideal sebagai analgesi paska operasi.
Prinsip kerja bupivacaine yaitu menghambat permeabilitas membran sel terhadap
natrium sehingga mencegah terjadinya hantaran saraf disepanjang serabut saraf. Eliminasi
bupivacaine terjadi melalui hati dan paru-paru. Telah dilaporkan terjadinya henti jantung
pada penggunaan bupivacaine. Kejadian ini terjadi jika bupivacaine dalam dosis besar
masuk secara tidak sengaja ke dalam pembuluh darah sehingga obat ini sebenarnya kurang
direkomendasikan pada pasien yang akan dilakukan anestesi epidural. Obat ini dikenal
bekerja cepat, tetapi lambat untuk tereliminasi. Obat ini dapat menyebabkan henti jantung
dikarenakan dapat berikatan dengan saluran natrium di otot jantung. Mekanisme lain yang
dapat dipercaya menyebabkan henti jantung adalah kemampuan obat ini mengganggu
konduksi antara atrium-ventrikel, depresi kontraktilitas otot jantung, dan efek yang tidak
langsung terhadap susunan saraf pusat.

Farmakologi Bupivakain
Mekanisme kerjanya sama seperti anestesi lokal lain, yaitu menghambat impuls saraf
dengan cara:

  17  
●   Mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium. Obat
ini bekerja pada reseptor spesifik pada saluran sodium (sodium chanel). Dengan
demikian tidak terjadi proses depolarisasi dari membran sel saraf sehingga tidak terjadi
potensial aksi dan hasilnya tidak terjadi konduksi saraf.
●   Meninggikan tegangan permukaan selaput lipid monomolekuler. Obat ini bekerja
dengan meninggikan tegangan permukaan lapisan lipid yang merupakan membran sel
saraf, sehingga menutup pori-pori membran dengan demikian menghambat gerak ion
termasuk Na+ .
Metabolisme dan Ekskresi
Karena termasuk golongan amida, bupivakain dimetabolisme melalui proses konjugasi
oleh asam glukoronida di hati. Sebagian kecil diekskresi melalui urin dalam bentuk utuh.
2) Levobupivacaine
Levobupivacaine merupakan anestesi lokal baru long-acting, telah dikembangkan
sebagai alternatif untuk bupivacaine, setelah bukti toksisitas tinggi. Obat ini memiliki profil
klinis mirip dengan bupivacaine. Namun, potensi beracun rendah dan sehingga disarankan
penggunaannya dalam situasi klinis dimana risiko toksisitas sistemik terkait cukup baik.
Secara farmakologis bekerja melalui blokade saluran natrium neuronal yang reversibel.
Saraf myelinated diblokir melalui paparan di node Ranvier lebih mudah daripada saraf
unmyelinated; dan saraf kecil tersumbat lebih mudah daripada yang lebih besar.
Secara umum, perkembangan anestesi levobupivacaine berhubungan dengan diameter,
mielinisasi dan kecepatan konduksi dari serabut saraf yang terkena. Secara spesifik, obat
mengikat bagian intraseluler dari saluran natrium dan memblokir masuknya natrium ke
dalam sel-sel saraf, yang mencegah depolarisasi. Hal ini akan memblokir konduksi saraf di
saraf sensorik dan motorik terutama dengan berinteraksi dengan saluran natrium sensitif
tegangan pada membran sel. Ini juga mengganggu transmisi dan konduksi impuls pada

E.   Dampak Fisiologi

1)   Pengaruh terhadap sistem kardiovaskuler :

Pada anestesi spinal tinggi terjadi penurunan aliran darah jantung dan penghantaran
(supply) oksigen miokardium yang sejalan dengan penurunan tekanan arteri rata-rata.
Penurunan tekanan darah yang terjadi sesuai dengan tinggi blok simpatis, makin banyak
segmen simpatis yang terblok makin besar penurunan tekanan darah. Untuk
menghindarkan terjadinya penurunan tekanan darah yang hebat, sebelum dilakukan

  18  
anestesi spinal diberikan cairan elektrolit NaC1 fisiologis atau ringer laktat 10-20 ml/kgbb.
Pada Anestesi spinal yang mencapai T4 dapat terjadi penurunan frekwensi nadi dan
penurunan tekanan darah dikarenakan terjadinya blok saraf simpatis yang bersifat
akselerator jantung.

2)   Terhadap sistem pernafasan :

Pada anestesi spinal blok motorik yang terjadi 2-3 segmen di bawah blok sensorik, sehingga
umumnya pada keadaan istirahat pernafasan tidak banyak dipengaruhi. Tetapi apabila blok
yang terjadi mencapai saraf frenikus yang mempersarafi diafragma, dapat terjadi apnea.

3)   Terhadap sistem pencernaan :

Oleh karena terjadi blok serabut simpatis preganglionik yang kerjanya menghambat
aktifitas saluran pencernaan (T4-5), maka aktifitas serabut saraf parasimpatis menjadi lebih
dominan, tetapi walapun demikian pada umumnya peristaltik usus dan relaksasi spingter
masih normal. Pada anestesi spinal bisa terjadi mual dan muntah yang disebabkan karena
hipoksia serebri akibat dari hipotensi mendadak, atau tarikan pada pleksus terutama yang
melalui saraf vagus.
F.   Komplikasi Anestesi Spinal
Komplikasi anestesi spinal umumnya terkait adanya blokade saraf simpatis yaitu
hipotensi, bradikardi, mual dan muntah. Peninggian blokade saraf, dapat terjadi baik pada
anestesi spinal atau epidural. Peninggian blokade ini berkaitan dengan pemberian dosis obat
yag berlebihan atau dosis standar yang diberikan pada pasien tertentu, misalnya orang tua, ibu
hamil, obesitas, pasien yang pendek, atau sensitivitas yang tidak biasa. Pada peninggian
blokade ini pasien sering mengeluh sesak nafas, mati rasa atau kelemahan pada ekstremitas
atas. Mual yang dapat menyertai muntah sering mendahului hipotensi. Pada pasien ini mungkin
diperlukan suplementasi oksigen. Jika terjadi bradikardi dan hipotensi, harus segera diperbaiki
dengan memberikan larutan efedrin 10 mg intravena dan melakukan loading cairan infuse.
Komplikasi yang lain dapat disebabkan trauma mekanis akibat penusukan menggunkan
jarum spinal dan kateter. Dapat terjadi anestesi yang kurang adekuat, nyeri punggung akibat
robekan jaringan yang dilewati jarum spinal, hematom di tempat penyuntikan postdural
punctum headache (PDPH), meningitis, dan abses epidural. Anestetik local yang masuk ke
pembuluh darah dapat menyebabkan toksisitas. Toksisitas tersebbut tergantung dari masing-
masing anestetik yang dipakai. Lidokain dilaporkan kurang toksik dibandingkan dengan
bupivakain.

  19  
G.   Pertolongan dan Terapi Toksisitas Anestesi Spinal

Jika diperkirakan terjadi toksisitas akibat anestesi local, perlu dilakukan pertolongan
dan terapi toksisitas anestesi local sebagai berikut:
1.   Saluran nafas
•   Pastikan saluran nafas bersih dari darah, debris, dan penyebab sumbatan yang lain.
Lihat saluran nafas dengan cara membuka mulut dan lakukan triple airway
maneuver, terdiri atas jaw trust, ekstensi kepala, dan membuka mulut. Bersihkan
kotoran yang menyumbat daerah mulut menggunakan jari-jari tangan penolong.
Ganjal pundak pasien dengan bantal kecil sehingga saluran nafas terbuka. Pasang
airway (mayo) untuk mencegah lidah jatuh.
•   Jika diperlukan, dapat dilakukan penghisapan cairan di mulut dengan alat
penghisap. Perlu diwaspadai apakah pasien mengalami regurgitasi atau muntah.
Miringkan kepala jika pasien muntah atau terdapat cairan di rongga mulut.
2.   Pernafasan
•   Pada pasien yang henti napas, harus dilakukan bantuan nafas menggunakan
sungkup muka dan ambu bag. Beri oksigen 100%. Awasi pernapasan pasien agar
adekuat. Jika pasien bernafas spontan, berikan oksigen melalui nasal kanul.
•   Jika diperlukan lakukan intubasi untuk menjaga patensi saluran napas
3.   Sirkulasi
•   Otak sangat peka terhadap hipoksia, dapat disebabkan oleh penurunan tekanan
darah. Pada kondisi ini, naikkan kedua kaki penderita lebih tinggi dari posisi
jantung. Hal ini akan menyebabkan sirkulasi darah lebih mudah menuju otak.
•   Lakukan pemasangan infuse sehingga memudahkan untuk dilakukan resusitasi
cairan jika perlu. Berikan cairan yang sesuai, dapat berupa kristaloid atau koloid.
Pilihlah ukuran jarum infuse yang besar.
•   Jika sudah diberikan infuse cairan namun tekanan darah masih rendah, dapat
dibantu dengan memberikan kardiotonik seperti norepinefrin atau dopamine.
Pada kasus toksisitas anestetik local, dapat terjadi kejang. Berikan obat-obat anti kejang
golongan benzodiazepine (diazepam, midazolam atau vekuronium).
II.   Hemorrhoid
A.   Definisi
Kata hemorrhoid berasal dari kata haemorrhoides (Yunani) yang berarti aliran darah (haem = darah,
rhoos = aliran) jadi dapat diartikan sebagai darah yang mengalir keluar. Hemoroid adalah

  20  
pembengkakan submukosa pada lubang anus yang mengandung pleksus vena, arteri kecil, dan
jaringan areola yang melebar. Hemoroid timbul akibat kongesti vena yang disebabkan
gangguan aliran balik vena hemoroidalis

Hemoroid dibedakan antara yang interna dan eksterna. Hemoroid interna adalah pelebaran
pleksus vena hemoroidalis superior di atas linea dentata/garis mukokutan dan ditutupi oleh
mukosa. Hemoroid interna ini merupakan bantalan vaskuler di dalam jaringan submukosa
pada rektum sebelah bawah. Sering hemoroid terdapat pada tiga posisi primer, yaitu kanan
depan ( jam 7 ), kanan belakang (jam 11), dan kiri lateral (jam 3). Hemoroid yang lebih
kecil terdapat di antara ketiga letak primer tesebut.
Hemoroid ekstern merupakan pelebaran dan penonjolan pleksus hemoroid inferior terdapat di
sebelah distal garis mukokutan di dalam jaringan di bawah epitel anus.
Kedua pleksus hemoroid, internus dan eksternus saling berhubungan secara longgar dan merupakan
awal dari aliran vena yang kembali bermula dari rectum sebelah bawah dan anus. Pleksus hemoroid
intern mengalirkan darah ke v.hemoroidalis superior dan selanjutnya ke vena porta. Pleksus
hemoroid eksternus mengalirkan darah ke peredaran sistemik melelui daerah perineum dan lipat
paha ke v.iliaka.

B.   Klasifikasi
Secara klinis, hemoroid interna dibagi atas 4 derajat:

1.   Hemoroid interna derajat I. Merupakan hemoroid stadium awal. Hemoroid hanya berupa
benjolan kecil didalam kanalis anal pada saat vena-vena mengalami distensi ketika defekasi.

2.   Hemoroid interna derajat II. Hemoroid berupa benjolan yang lebih besar, yang tidak hanya
menonjol ke dalam kanalis anal, tapi juga turun kearah lubang anus. Benjolan ini muncul keluar

  21  
ketika penderita mengejan, tapi secara spontan masuk kembali kedalam kanalis anal bila proses
defekasi telah selesai.

3.   Hemoroid interna derajat III. Benjolan hemoroid tidak dapat masuk kembali secara spontan.
Benjolan baru masuk kembali setelah dikembalikan dengan tangan ke dalam anus.

4.   Hemoroid interna derajat IV. Hemoroid yang telah berlangsung sangat lama dengan bagian
yang tertutup kulit cukup luas, sehingga tidak dapat dikembalikan dengan baik ke dalam kanalis
anal.

Tabel 1. Pembagian derajat hemoroid interna

Hemoroid Interna
Derajat Berdarah Menonjol Reposisi
I (+) (-) (-)
II (+) (+) Spontan
III (+) (+) Manual
IV (+) Tetap Tidak dapat

Gambar 1.2 Stadium hemoroid

Sedangkan hemoroid eksterna merupakan pelebaran pleksus hemoroidalis inferior, terletak di


sebelah bawah linea dentata, pada bagian yang dilapisi oleh kulit. Hemoroid eksterna
diklasifikasikan sebagai akut dan kronik.

1.   Hemoroid eksterna akut. Bentuk akut berupa pembengkakan bulat kebiruan pada pinggir anus
dan sebenarnya merupakan hematoma. Bentuk ini sering sangat nyeri dan gatal karena ujung-
ujung saraf pada kulit merupakan reseptor nyeri.
2.   Hemoroid eksterna kronik. Disebut juga skin tag, berupa satu atau lebih lipatan kulit anus yang
terdiri dari jaringan penyambung dan sedikit pembuluh darah.

  22  
C.   Faktor Resiko
1.   Anatomik : vena daerah anorektal tidak mempunyai katup dan pleksus
hemoroidalis kurang mendapat sokongan dari otot dan fascia sekitarnya.
2.   U m u r : pada umur tua terjadi degenerasi dari seluruh jaringan tubuh, juga otot
sfingter menjadi tipis dan atonis.
3.   Keturunan : dinding pembuluh darah lemah dan tipis.
4.   Pekerjaan : orang yang harus berdiri , duduk lama, atau harus mengangkat barang
berat mempunyai predisposisi untuk hemoroid.
5.   Mekanis : semua keadaan yang menyebabkan meningkatnya tekanan intra
abdomen, misalnya penderita hipertrofi prostat, konstipasi menahun dan sering
mengejan pada waktu defekasi.
6.   Endokrin : pada wanita hamil ada dilatasi vena ekstremitas dan anus oleh karena
ada sekresi hormone relaksin.
7.   Fisiologi : bendungan pada peredaran darah portal, misalnya pada penderita
sirosis hepatis.
D.   Manifestasi Klinis
Pasien sering mengeluh menderita hemoroid atau “wasir” tanpa ada hubungannya
dengan gejala rektum atau anus yang khusus. Nyeri yang hebat jarang sekali ada
hubungannya dengan hemoroid interna dan hanya timbul pada hemoroid eksterna yang
mengalami trombosis.
Perdarahan dapat terjadi pada grade 1-4. Perdarahan merupakan penentu utama hemoroid pada
grade 1. Perdarahan pada hemoroid berhubungan dengan proses mengejan. Ini menjadi pembeda
dengan perdarahan yang diakibatkan oleh hal lain. Pada pasien hemoroid darah keluar bila pasien
mengejan dan berhenti bila pasien berhenti mengejan, sedangkan perdarahan karena sebab lain
tidak mengikuti pola tersebut. Perdarahan umumnya merupakan tanda pertama dari hemoroid
interna akibat trauma oleh faeces yang keras. Darah yang keluar berwarna merah segar dan
tidak tercampur dengan faeces, dapat hanya berupa garis pada faeces atau kertas pembersih
sampai pada perdarahan yang terlihat menetes atau mewarnai air toilet menjadi merah.
Hemoroid yang membesar secara perlahan-lahan akhirnya dapat menonjol keluar
menyebabkan prolaps. Benjolan atau prolaps terjadi pada grade 2-4. Pada tahap awal,
penonjolan ini hanya terjadi pada waktu defekasi dan disusul reduksi spontan setelah
defekasi. Pada stadium yang lebih lanjut, hemoroid interna ini perlu didorong kembali
setelah defekasi agar masuk kembali ke dalam anus.

  23  
Pada akhirnya hemoroid dapat berlanjut menjadi bentuk yang mengalami prolaps
menetap dan tidak bisa didorong masuk lagi. Keluarnya mukus dan terdapatnya faeces pada
pakaian dalam merupakan ciri hemoroid yang mengalami prolaps menetap. Iritasi kulit
perianal dapat menimbulkan rasa gatal yang dikenal sebagai pruritus anus dan ini
disebabkan oleh kelembaban yang terus menerus dan rangsangan mukus. Nyeri hanya
timbul apabila terdapat trombosis yang luas dengan udem dan radang. 8 Gejala-gejala anemi
sekunder, dapat berupa sesak nafas bila bekerja, pusing bila berdiri, lemah, pucat.
E.   Patofisiologi
Kebiasaan mengedan lama dan berlangsung kronik merupakan salah satu risiko untuk
terjadinya hemorrhoid. Peninggian tekanan saluran anus sewaktu beristirahat akan
menurunkan venous return sehingga vena membesar dan merusak jaringan ikat penunjang
. Kejadian hemorrhoid diduga berhubungan dengan faktor endokrin dan usia.
Hubungan terjadinya hemorrhoid dengan seringnya seseorang mengalami konstipasi,
feses yang keras, multipara, riwayat hipertensi dan kondisi yang menyebabkan vena-vena
dilatasi hubungannya dengan kejadian hemmorhoid masih belum jelas hubungannya.
Hemorhoid interna yang merupakan pelebaran cabang-cabang v. rectalis superior (v.
hemoroidalis) dan diliputi oleh mukosa. Cabang vena yang terletak pada colllum analis
posisi jam 3,7, dan 11 bila dilihat saat pasien dalam posisi litotomi mudah sekali menjadi
varises. Penyebab hemoroid interna diduga kelemahan kongenital dinding vena karena
sering ditemukan pada anggota keluarga yang sama. Vena rectalis superior merupakan
bagian paling bergantung pada sirkulasi portal dan tidak berkatup. Jadi berat kolom darah
vena paling besar pada vena yang terletak pada paruh atas canalis ani. Disini jaringan ikat
longgar submukosa sedikit memberi penyokong pada dinding vena. Selanjutnya aliran
balik darah vena dihambat oleh kontraksi lapisan otot dinding rectum selama defekasi.
Konstipasi kronik yang dikaitkan dengan mengedan yang lama merupakan faktor
predisposisi. Hemoroid kehamilan sering terjadi akibat penekanan vena rectalis superior
oleh uterus gravid. Hipertensi portal akibat sirosis hati juga dapat menyebabkan hemoroid.
Kemungkinan kanker rectum juga menghambat vena rectalis superior.

Hemoroid eksterna adalah pelebaran cabang-cabang vena rectalis (hemorroidalis)


inferior waktu vena ini berjalan ke lateral dari pinggir anus. Hemorroid ini diliputi kulit dan
sering dikaitkan dengan hemorroid interna yang sudah ada. Keadaan klinik yang lebih
penting adalah ruptura cabang-cabang v. rectalis inferior sebagai akibat batuk atau

  24  
mengedan, disertai adanya bekuan darah kecil pada jaringan submukosa dekat anus.
Pembengkakan kecil berwarna biru ini dinamakan hematoma perianal.

Kedua pleksus hemoroid, internus dan eksternus, saling berhubungan secara longgar
dan merupakan awal dari aliran vena yang kembali bermula dari rectum sebelah bawah dan
anus. Pleksus hemoroid intern mengalirkan darah ke v. hemoroid superior dan selanjutnya
ke vena porta. Pleksus hemoroid eksternus mengalirkan darah ke peredaran sistemik
melalui daerah perineum dan lipat paha ke daerah v. Iliaka. Benjolan atau prolaps terjadi
pada grade 2-4.

F.   Penatalaksanaan
1.   Non Invasive Treatment
A.   Terapi obat-obatan (medikamentosa) / diet
Kebanyakan penderita hemoroid derajat pertama dan derajat kedua dapat ditolong
dengan tindakan lokal sederhana disertai nasehat tentang makan. Makanan sebaiknya
terdiri atas makanan berserat tinggi seperti sayur dan buah-buahan. Makanan ini
membuat gumpalan isi usus besar, namun lunak, sehingga mempermudah defekasi
dan mengurangi keharusan mengejan berlebihan. Pasien juga harus mendapat edukasi
agar jangan mengedan terlalu lama, membiasakan selalu defekasi, jangan ditunda, dan
minum air putih 8 gelas sehari
Supositoria dan salep anus diketahui tidak mempunyai efek yang bermakna kecuali
efek anestetik dan astringen. Hemoroid interna yang mengalami prolaps oleh karena
udem umumnya dapat dimasukkan kembali secara perlahan disusul dengan tirah
baring dan kompres lokal untuk mengurangi pembengkakan. Rendam duduk dengan
dengan cairan hangat juga dapat meringankan nyeri. Obat Hydroksyethylen yang dapat
diberikan dikatakan dapat mengurangi edema dan inflamasi. Kombinasi Diosmin dan
Hesperidin (ardium) yang bekerja pada vascular dan mikro sirkulasi dikatakan dapat
menurunkan desensibilitas dan stasis pada vena dan memperbaiki permeabilitas kapiler.
Ardium diberikan 3x2tab selama 4 hari kemudian 2x2 selama 3 hari dan selanjutnya 1x1tab.

2.   Ambulatory Treatment
A.   Skleroterapi
Skleroterapi adalah penyuntikan larutan kimia yang merangsang, misalnya 5% fenol
dalam minyak nabati atau larutan quinine dan urea 5%. Penyuntikan diberikan ke
submukosa dalam jaringan areolar yang longgar di bawah hemoroid interna dengan
tujuan menimbulkan peradangan steril yang kemudian menjadi fibrotik dan

  25  
meninggalkan parut. Penyuntikan dilakukan di sebelah atas dari garis mukokutan
dengan jarum yang panjang melalui anoskop. Terapi ini cocok untuk hemorrhoid
interna grade I yang disertai perdarahan Kontra indikasi teknik ini adalah pada
keadaan inflammatory bowel desease, hipertensi portal, kondisi
immunocomprommise, infeksi anorectal, atau trombosis hemorrhoid yang prolaps.
Terapi suntikan bahan sklerotik bersama nasehat tentang makanan merupakan terapi
yang efektif untuk hemoroid interna derajat I dan II, tidak tepat untuk hemoroid yang
lebih parah atau prolaps.

B.   Ligasi dengan gelang karet

Merupakan pilihan kebanyakan pasien dengan derajat I dan II yang tidak


menunjukkan perbaikan dengan perubahan diet, tetapi dapat juga dilakukan pada
hemorrhoid derajat III. Hemoroid yang besar atau yang mengalami prolaps dapat
ditangani dengan ligasi gelang karet menurut Barron. Dengan bantuan anoskop,
mukosa di atas hemoroid yang menonjol dijepit dan ditarik atau dihisap ke tabung
ligator khusus. Gelang karet didorong dari ligator dan ditempatkan secara rapat di
sekeliling mukosa pleksus hemoroidalis tersebut.

C.   Krioterapi / bedah beku

Hemoroid dapat pula dibekukan dengan suhu yang rendah sekali. Jika digunakan
dengan cermat, dan hanya diberikan ke bagian atas hemoroid pada sambungan anus
rektum, maka krioterapi mencapai hasil yang serupa dengan yang terlihat pada ligasi
dengan gelang karet dan tidak ada nyeri. Dingin diinduksi melalui sonde dari mesin
kecil yang dirancang bagi proses ini. Tindakan ini cepat dan mudah dilakukan dalam
tempat praktek atau klinik. Terapi ini tidak dipakai secara luas karena mukosa yang
nekrotik sukar ditentukan luasnya. Krioterapi ini lebih cocok untuk terapi paliatif
pada karsinoma rektum yang ireponibel.

3.   Terapi Bedah

Terapi bedah dipilih untuk penderita yang mengalami keluhan menahun dan pada
penderita hemoroid derajat III dan IV. Terapi bedah juga dapat dilakukan dengan
perdarahan berulang dan anemia yang tidak dapat sembuh dengan cara terapi lainnya

  26  
yang lebih sederhana. Penderita hemoroid derajat IV yang mengalami trombosis dan
kesakitan hebat dapat ditolong segera dengan hemoroidektomi.

Prinsip yang harus diperhatikan dalam hemoroidektomi adalah eksisi yang hanya
dilakukan pada jaringan yang benar-benar berlebihan. Eksisi sehemat mungkin
dilakukan pada anoderm dan kulit yang normal dengan tidak mengganggu sfingter
anus. Eksisi jaringan ini harus digabung dengan rekonstruksi tunika mukosa karena
telah terjadi deformitas kanalis analis akibat prolapsus mukosa.

Ada tiga tindakan bedah yang tersedia saat ini yaitu bedah konvensional ( menggunakan
pisau dan gunting), bedah laser ( sinar laser sebagai alat pemotong) dan bedah stapler (
menggunakan alat dengan prinsip kerja stapler).

  27  
BAB III

PEMBAHASAN

Dalam kasus ini pasien Bp. P usia 46 tahun datang ke dokter spesialis Bedah dengan keluhan
benjolan di anus, setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dianjurkan agar pasien dioperasi.
Diagnosis pasien adalah hemorrhoid dan dilakukan operasi hemorrhoidectomy. Pasien ini
tergolong dalam kategori asa I karena pasien sehat tanpa gangguan sistemik. Berdasarkan skor
mallampati, pasien termasuk dalam kelas II dimana palatum molle, fauces, dan sebagian uvula
terlihat. Pada pasien ini dilakukan anestesi teknik regional spinal.
Obat-obatan yang diberikan selama operasi:
•   Bunascan 20 mg: Bupivacain 0,5% 1 ampul (5mg/ml, 4ml) Spinal anestesi untuk
operasi urologi dan operasi dibawah umbilicus selama 2-3 jam, operasi abdominal
selama 45-60 menit. Indikasi: Anestesi spinal untuk operasi abdomen, urologi
ekstremitas bawah, dan regio perineum. Kontraindikasi: meningitis, tumor,
poliomielitis, dan pendarahan cranial, TB aktif atau luka metastatik pada kolumna
vertebral, septicemia, anemia pernisiosa dengan generasi subakut pada korda
spinalis, infeksi pirogenik pada kulit, syok kardiogenik atau hipovolemia,
gangguan koagulasi atau pada terapi antikoagulan. Efek samping: Hipotensi,
bradikardia, dan sakit kepala.
•   Ondansetron 4 mg: Ondansetron 1 amp (4mg/2ml, 2 ml ampule). Ondansetron
merupakan antagonis selektif reseptor 5-HT3 menghambat mual dan muntah
•   Ketorolac 30 mg: Ketorolac (30mg/mL, 1 ml ampul) ketorolac trometamin yaitu
senyawa anti inflamasi nonsteroid (NSAID) yang bekerja dengan cara
menghambat biosintesis prostaglandin dengan aktivitas analgesik yang kuat.
•   Pethidine 100 mg : Pethidine adalah analgesik opioid turunan fenilpiperidin. Kerja
pethidine terutama sebagai agonis reseptor-mu. Seperti kebanyakan analgesik
opioid, obat golongan opioid bekerja menyerupai opioid endogen dengan
mengaktifkan reseptor opioid di sistem saraf pusat dan perifer. Hal ini akan
mengurangi pelepasan zat neurotransmitter dan juga mengurangi aktivitas neuron
postinaptik di sumsum tulang belakang sehingga mencegah transmisi impuls nyeri.
Pemberian pethidine dilakukan dengan injeksi IV yang terlebih dahulu diencerkan
dengan aquadest 10 cc.
Setelah pasien pulih dari anestesi, diobservasi di ruang recovery selama 30 menit dan
dilakukan observasi vital sign. Vital sign pasien Bp. P dalam batas normal. Pasien tidak

  28  
merasakan pusing, mual maupun muntah. Ketika masuk recovery room berdasarkan kriteria
Bromage Score yaitu: Tidak ada blok motorik = 0, Mampu menggerakkan lutut dan kaki = 1,
Mampu menggerkan kaki = 2, Blok lengkap motorik tungkai = 3, maka pasien Bp. N tergolong
kedalam score 3 karena belum mampu menggerakan kaki. Pasien dipindahkan ke ruangan
ketika bromage skor ≤ 2 dan tanda tanda vital normal.

  29  
BAB IV
KESIMPULAN

1.   Pasien datang dengan benjolan di anus. Pasien didiagnosis hemorrhoid dan dilakukan
tindakan hemorrhoidectomy
2.   Hasil assesment pasien, pasien digolongkan ASA I dan mallampati grade II.
3.   Induksi: Spinal anestesi dengan no 27 pada kanalis spinalis region antara lumbal 3-4,
menggunakan obat anestesi Bunascan 20 mg
Medikasi post operatif: Ondansentron 4 mg, Ketorolac 30 mg, Pethidine 30 mg
4.   Maintenance oksigen 3 liter/menit
5.   Selama stadium anestesi kondisi hemodinamika pasien dalam keadaan relatif stabil
dengan tensi, nadi, dan frekuensi napas dalam batas normal
6.   Skor Bromage pasien pada saat masuk RR adalah 3 dan saat keluar RR 2 sehingga dapat
dipindahkan ke bangsal.

  30  
DAFTAR PUSTAKA

Broadbent CR, Maxwell WB, Ferrie R, Wilson DJ, Gawne-Cain M, Russell R. Ability of
anaesthetists to identify a marked lumbar interspace. Anaesthesia. 2000
Nov;55(11):1122-6.
Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, et al. Shwartz’s Principles of Surgery. 9thEd. USA:
McGrawHill Companies. 2010.
Halpern S, Preston R. Postdural puncture headache and spinal needle design.
Metaanalyses. Anesthesiology. 1994 Dec;81(6):1376-83.
Latief, Said, et al, (2001) Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua. Balai Penerbit FK UI,
Jakarta
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Daftar Obat Esensial Nasional Tahun 2013. Menteri
Kesehatan Republik Indonesia; 2013.
Pramono, A. 2014. Buku Kuliah Anestesi. LP3M Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Jakarta: EGC
Simanjuntak, C.A. 2017. Penerapan Anestesi Regional Pada Operasi. JMJ Vol 5. Jambi :
Fakultas Kedokteran Ilmu Kesehatan Universitas Jambi.

Sjamsuhidajat, Wim de Jong. Hemoroid, 2004 Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed.2, Jakarta,
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal: 672 – 675

  31  

Anda mungkin juga menyukai