Anda di halaman 1dari 26

REFLEKSI KASUS ANESTESI

PASIEN OPERASI

Disusun Oleh :

I Wayan Siaga

42170202

Pembimbing :

dr. Yos Kresna Wardhana, M.Sc, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESI RUMAH SAKIT EMANUEL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA

YOGYAKARTA

2019
BAB I

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

 Nama : An. MZ
 Usia : 9 tahun
 Jenis Kelamin : Laki-Laki
 Alamat : Kalipelus, Banjarnegara
 Tgl masuk RS : 15 Agustus 2019 pukul 12.30 WIB

ANAMNESA
 Keluhan Utama
Terdapat benjolan pada penis
 Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan dirasakan sejak ± 2 minggu yang lalu, benjolan tidak
membesar dan tidak nyeri tekan, OS merasakan benjolan tersebut
mengganggu. Tidak terdapat keluhan demam sebelumnya. Riwayat
pengobatan (-).
 Riwayat Penyakit Dahulu : Mondok di RS (-), DM (-), HT (-),
Asma (+), penyakit jantung (-)
 Riwayat Alergi : Obat (-), makanan (-)
 Riwayat Penyakit Keluarga : DM (-), HT (-), Asma (-), Jantung
(-), tidak ada keluarga yang mengalami gangguan serupa
 Life Style : Olahraga rutin (+), merokok (-), alkohol (-), kopi (-), teh
(-), makan teratur 3x sehari

PEMERIKSAAN FISIK PRE OPERATIF


Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital
 Tekanan darah :-
 Nadi : 82 x/menit
 RR : 26 x/menit
 Suhu : 36,5O C
 Tinggi badan : 140 cm
 BB : 29,8 kg
 Nyeri : (-)
A : Airway
Jalan napas : Bebas (tidak menggunakan alat bantu nafas)
Hidung : Sumbatan (-)
Mulut : Gigi palsu/goyang/maju/ompong (-)
Lidah : Simetris, ukuran normal.
Faring : Malampati 1
Mandibula : Tidak ada kelainan mandibula

B : Breathing
Respirasi : 15 x/menit
Suara nafas : Vesikuler ( + / +), Rh (- / -)
Pergerakkan dinding dada : simetris

C : Circulation
Tekanan darah :-
Nadi : Nadi kuat, reguler 82 x/menit
CRT : < 2 detik
Kondisi akral : Hangat

D : Disability
Keadaan umum : Baik
GCS : E4V5M6

Kesimpulan assesment pra-anestesi


Diagnosis : Tumor Penis
Status ASA : ASA II
Rencana teknik anestesi : Anastesi umum dengan LMA

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium - Darah Lengkap

Hasil Nilai Rujukan Keterangan


Darah Rutin
Hemoglobin 12.9 (12-16 g/dl) Nilai kritis (low<6,
high>22)
Lekosit 8.82 (4.8-10.8ribu) Nilai kritis (low<2.0,
high>30.0)
Eritrosit 5.05 (4,2-5,4 juta)
Hematokrit 37.5 (37-47%) Nilai kritis (low<25,
high>60)
MCV 75.5 (79-99mikrom3)
MCH 25.1 (27-31 pg)
MCHC 33.9 (33-37 g/dl)
RDW 36.2 (35-47%)
Trombosit 608 (150-450 ribu) Nilai kritis (low<50,
high>1000)
PDW 8.2 (9-13%)
P-CLR 11.3 (15-25%)
MPV 8.1 (7.2-11.1 mikro
m3)
Neutrofil% 46 (50-70%)
Limfosit% 37.2 (25-40%)
Monosit 6.1 2-8 %
Kimia Klinik
Glukosa Sewaktu 82 70-115 mg/100ml

DIAGNOSA KERJA
Diagnosa Medis : Tumor Penis
Diagnosa Tindakan : Sirkumsisi
Rencana Anestesi : Anestesi umum dengan LMA
Diagnosis Anestesi : ASA II / Non Emergency
Persiapan Anestesi : Makan minum terakhir jam 08.30 WIB
PELAKSANAAN OPERASI
Identitas : (sesuai yang tercantum)
Dokter bedah : dr. Samuel Zacharias, Sp.B, MM
Dokter anestesi : dr. Yos Kresna W., M. Sc, Sp.An
Operasi : 14.45-15.15 WIB
Obat yang disediakan :
 Propofol 10 mg/ml (20 ml)
 Fentanyl 100 mcg diencerkan dengan aquadest sampai 10 mL
(diberikan 50mcg atau 5 mL)
 Ondansentron 4 mg/2ml
 Ketorolac 30 mg
S : Scope ; Stetoskop dan laringoscope
T : Tube ; LMA, Goodel
A : Airways ; Mayo
T : Tape ; Hipafix
I : Inserter ; kawat
C : Connector
S : Suction
Prosedur Anastesi :
 Pasien diposisikan secara terlentang dipasang tensimeter pada tangan kiri
dan pulseoxymetri pada tangan kanan.
 Disuntikan Fentanyl 1 ml yang telah diencerkan sebagai pre medikasi
kemudian dilakukan penyuntikan Recofol 100 mg
 Ditunggu hingga pasien tertidur kemudian dilakukan pemeriksaan refleks
pada bulu mata pasien, jika sudah tidak ada reflek dilakukan oksigenasi
menggunakan sungkup wajah (face mask) selama 3 menit (hiperventilasi)
hingga saturasi oksigen pada pasien 100%.
 Posisikan kepala pasien secara ekstensi dan lakukan jaw thurst maneuver
kemudian LMA diinsersi mengikuti posisi anatomis dari jalan napas pasien.
 Dilakukan bagging manual menggunakan tangan agar mempertahankan
saturasi oksigen pasien 95-100%
 Kemudian dilakukan fiksasi menggunakan hipafix
 Dilakukan maintenance selama operasi menggunakan Oksigen, N2O dan
Sevoflurane.
Hemodinamik durante operasi :
Waktu Tekanan Darah (mmHg) Nadi (x/menit)
14.45 - 80
15.00 - 70
15.15 - 86

Pasca Operatif (Recovery Room)


Kriteria Masuk Keluar
Kesadaran
Bangun 2 1 2
Ada respon terhadap rangsangan 1
Tidak ada respon 0
Respirasi
Batuk/menangis 2 2 2
Pertahankan jalan napas 1
Perlu bantuan napas 0
Aktivitas Motorik
Gerak bertujuan 2 2 2
Gerak tanpa tujuan 1
Tidak bergerak 0
Total 5 6
Penilaian Steward Score pasien ialah 6 sehingga pasien dapat pindah dari
Recovery Room ke bangsal.

Hemodinamik pasca operasi :


Waktu Tekanan Darah (mmHg) Nadi (x/menit)
15.15 - 87
15.30 - 80

Instruksi Pasca Anestesi di Ruangan / Bangsal


 Awasi tensi, nadi, pernafasan tiap 15 menit sampai 2 jam post
operasi.
 Kesakitan diberi injeksi ketorolac 30 mg.
 Mual/muntah diberi injeksi : Ondansetron 4 mg
 Infus dalam 24 jam : +
 Injeksi ceftriaxone IV sebagai antibiotic profilaksis
 Injeksi asam traneksamat 250 mg IV
 Pasien sadar penuh +, mual muntah (-), minum bertahap.
 Bila sistolik <90 mmHg, berikan injeksi Ephedrine 10 mg (iv).
 Bila sesak nafas, lapor dr. Anastesi / dr. jaga

FOLLOW UP PASCA OPERASI


Pasien tidak dilakukan follow up karena pasien merupakan pasien one day surgery.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. ANASTESI UMUM
Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral
disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible.
Anestesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur bedah yang akan
menimbulkan sakit yang tak tertahankan, mempotensiasi eksaserbasi fisiologis
yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan.
Didalam praktek obat-obat anastesi dimasukkan ke dalam tubuh melalui
inhalasi, atau parenteral, ada pula yang dimasukkan melalui rektal tetapi jarang
dilakukan. Yang melalui inhalasi antara lain : N2O, halotan, enflurane, ether,
isoflurane, sevoflurane, metixiflurane, trilene.
Yang melalui parenteral :
 Intravena antara lain penthotal, ketamine, propofol, etomidat dan golongan
benzodiazepine.
 Intramuskuler antara lain ketamine.

Yang melalui rektal :


 Etomidat (dilakuakan untuk induksi anak)
Apabila obat anastesi inhalasi, dihirup bersama-sama udara inspirasi masuk
kedalam saluran pernapasan, di dalam alveoli paru-paru akan berdifusi dan masuk
ke dalam aliran darah. Demikian pula yang disuntikan secara intramuskuler, obat
tersebut akan diabsorbsi masuk ke dalam sirkulasi darah.
Setelah masuk ke dalam sirkulasi darah, obat tersebut akan menyebar kedalam
jaringan. Dengan sendirinya jaringan yang kaya pembuluh darah seperti otak dan
organ vital akan menerima obat lebih banyak dibandingkan dengan jaringan yang
pembuluh darahnya sedikit seperti tulang dan lemak.
Tergantung obatnya, di dalam jaringan sebagian akan mengalami metabolisme,
ada yang terjadi di hepar,ginjal atau jaringan lain. Eksresi bisa melalui ginjal,
hepar,kulit atau paru-paru. Eksresi bisa dalam bentuk asli atau dalam bentuk hasil
metabolismenya. N2O dieksresikan dalam bentuk asli lewat paru.

II. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANASTESI ANTARA LAIN :


Faktor respirasi (untuk obat inhalasi), faktor sirkulasi, faktor jaringan dan faktor
obat anastesi
A. Faktor Respirasi
Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesika akan masuk ke dalam paru-paru
(alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan parsial tertentu. Kemudian
zat anestesika akan berdifusi melalui membrane alveolus. Epitel alveolus bukan
penghambat disfusi zat anestesika, sehingga tekanan parsial dalam alveolus sama
dengan tekanan parsial dalam arteri pulmonaris. Hal- hal yang mempengaruhi hal
tersebut adalah:
 Konsentrasi zat anestesika yang dihirup/ diinhalasi; makin tinggi konsentrasinya,
makin cepat naik tekanan parsial zat anestesika dalam alveolus.
 Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat meningginya
tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada hipoventilasi.
B. Faktor Sirkulasi
Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena
Faktor-faktor yang mempengaruhi:
1. Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam alveolus dan
darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesika diserap jaringan dan
sebagian kembali melalui vena.
2. Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesika dalam
darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan
seimbang.
3. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak aliran
darah yang melalui paru makin banyak zat anestesika yang diambil dari
alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga induksi lambat dan makin
lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat anesthesia yang
adekuat.
C. Faktor Jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan jaringan.
2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat
anestesika, kecuali halotan.
3. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
a) Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD) : otak, jantung, hepar, ginjal.
Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga tekanan
parsial zat anestesika ini meninggi dengan cepat dalam organ-organ
ini. Otak menerima 14% curah jantung.
b) Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.
c) Lemak : jaringan lemak
d) Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada aliran
darah : ligament dan tendon.
D. Faktor Obat Anestesi
Bermacam-macam zat anestesika mempunyai potensi yang berbeda-beda.
Untuk menentukan derajata potensi ini dikenal adanya MAC (minimal
alveolar concentration atau konsentrasi alveolar minimal) yaitu konsentrasi
terendah zat anestesika dalam udara alveolus yang mampu mencegah
terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang rasa sakit. Makin rendah
nilai MAC, makin tinggi potensi zat anestesika tersebut.

III. TEORI TERJADINYA ANESTESI UMUM


1. Lipid solubility theory
Obat anastesi adalah lipid soluble sehingga efeknya berhubungan dengan
daya larutanya di dalam lemak. Makin besar daya larutnya, makin besar efek
anestesinya.
2. Teori colloid
Efek anestesi disebabkan karena terjadinya agregrasi colloid dalam sel yang
menyebabkan terjadinya gangguan fungsi pada sel.
3. Teori adsorbis/ tegangan permukaan
Menghubungkan efek anastesi dengan daya adsorbs atau menurunnya
tegangan permukaan membrane sel. Dengan mengumpulnya obat anastesi
pada membrane sel berakibat perubahan permeabilitas membrane/daya
adsorbs dan menyebabkan terjadinya hambatan fungsi neuron.
4. Teori biokimiawi
Menerangkan efek obat anastesi dengan peningkatan reaksi enzimatik atau
dalam sel. Antara lain beberapa obat anastesi menyebabkan uncoupling dan
oxsidative phosphorylation dan menghambat konsumsi oksigen.
5. Teori Fisik
Menghubungkan daya anastesi dengan aktivitas thermodinamik atau bentuk
dasar molekul. Menurut Mullins 1954 bekerjanya obat anastesi yang inert
adalah dengan pengisian ruangan-ruangan non aqueous dari membran sel
oleh obat anastesi sehingga permeabilitas membrane terganggu.
6. Teori hidrat mikro
Pauling 1964 mengemukakan bahwa zat anastesi dapat membentuk mikro
kristal dengan air dalam membrane sel neuron dan ini menyebabkan
stabilisasi membran sel

IV. STADIUM ANESTESI


Kedalaman anastesi dinilai berdasarkan tanda klinik yang didapat. Guedel
membagi kedalaman anastesi menjadi 4 stadium dengan melihat
pernapasan, gerakan bola mata, tanda pada pupil, tonus otot dan refleks pada
penderita yang mendapatkan anastesi ether. Empat stadium tersebut adalah:
1. Stadium I
Disebut juga stadium analgesi atau stadium disorientasi. Dimulai sejak
diberikan anastesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini operasi
kecil bisa dilakukan.
2. Stadium II
Disebut juga stadium delirium atau stadium eksitasi. Dimulai dari
hilangnya kesadaran sampai nafas teratur. Dalam stadium ini penderita
bisa meronta-ronta, pernafasan irregular, pupil melebar, refleks cahaya
positif, gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot
meninggi, refleks fisiologi masih ada, dapat terjadi batuk atau muntah
kadang-kadang kencing atau defekasi. Stadium ini diakhiri dengan
hilangnya refleks menelan dan kelopak mata dan selanjtnya napas
menjadi teratur.
3. Stadium II
Disebut juga stadium operasi. Dimulai dari nafas teratur sampai paralise
otot napas stadium ini terbagi menjadi 4 plana.
4. Stadium IV dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Juga
disebut stadium over dosis atau stadium paralysis. Ditandai dengan
hilangnya semua refleks, pupil dilatasi, terjadinya respiratory failure dan
diikuti dengan circulatory failure.

V. KLASIFIKASI ASA
Setiap pasien memerlukan penilaian status fisis untuk menunjukkan apakah
kondisi tubuhnya normal atau mempunyai kelainan yang memerlukan
perhatian khusus. Status fisis dinyatakan dalam status ASA (American
Society of Anesthesiologist), dibagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu :
a. ASA I : Pasien sehat, tidak ada gangguan organik, fisiologis atau
kejiwaan, tidak sangat muda atau terlalu tua, sehat dengan toleransi
latihan yang baik
b. ASA II : Pasien memiliki kelainan sistemik ringan, memiliki
penyakit yang terkendali dengan baik
c. ASA III : Pasien dengan kelainan sistemik berat; terdapat beberapa
kelainan fungsional, memiliki penyakit lebih dari satu sistem tubuh
atau satu system utama yang terkendali; tidak ada bahaya kematian
d. ASA IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat + incapacitance
(misalnya pasien dengan gagal jantung derajat 3), kemungkinan
risiko kematian
e. ASA V : Pasien yang dengan atau tanpa operasi diperkirakan
meninggal dalam 24 jam atau tidak diharapkan untuk hidup lebih dari
24 jam tanpa operasi

VI. CARA MEMBERIKAN ANASTESI


Untuk memberikan anastesi, keselamatan penderita harus diutamakan
karena itu sebelum memberikan anastesi harus dilakukan:
 Penilaian keadaan/status penderita apakah tindakan anastesi aman
dilakukan kepada penderita tersebut.
 Semua obat-obat anastesi dan obat-obat emergency (obat untuk
pertolongan darurat) harus siap digunakan dan tersedia dalam
jumlah yang cukup dan memungkinkan ada jalur masuknya obat
tersebut ke tubuh pasien.
 Semua peralatan anastesi, saluran gas, alat penghisap lendir dan alat-
alat monitor pasien dipastikan berfungsi dengan baik dan siap
digunakan.
 Disamping itu harus ada asisten terlatih yang sewaktu-waktu bisa
membantu bila diperlukan dan jangan menggunakan alat-alat, obat-
obat dan teknik yang belum dikuasai/dimengerti betul tanpa
pengawasan ahlinya.
 Pemberian anastesi dimulai dengan induksi yaitu memberikan obat
sehingga penderita tidur. Tergantung lama operasinya, untuk operasi
yang waktunya pendek mungkin cukup induksi saja. Tetapi untuk
operasi yang lama, kedalaman anastesi perlu dipertahankan dengan
memberikan obat terus menerus dengan dosis tertentu, hal ini
disebut maintenance atau pemeliharaan, setelah tindakan selesai
pemberian obat anastesi dihentikan dan fungsi tubuh penderita
dipulihkan, periode ini disebut dengan pemulihan/recovery.

VII. ANATOMI JALAN NAPAS


 Hidung
Udara lewat melalui hidung yang berfungsi sangat penting yaitu
penghangatan dan melembabkan (humidifikasi). Hidung adalah jalan utama pada
pernafasan normal jika tidak ada obstruksi oleh polip atau infeksi saluran nafas atas.
Selama bernafas tenang, tahanan aliran udara yang melewati hidung sejumlah
hampir dua per tiga dari total tahanan jalan nafas. Tahanan yang melalui hidung
adalah hampir dua kali bila dibandingkan melalui mulut. Ini menjelaskan mengapa
pernafasan mulut digunakan ketika aliran udara tinggi dibutuhkan seperti pada saat
aktivitas berat. Inervasi sensoris pada mukosa berasal dari dua divisi nervus
trigeminal. Nervus ethmoidalis anterior menginervasi pada septum anterior,
dinding lateral sedangkan pada area posterior di inervasi oleh nervus nasopalatina
dari ganglion sphenopalatina. Anestesi lokal dengan topikal cukup efektif
memblokade nervus ethmoidalis anterior dan nervus maksila bilateral.

 Faring
Faring meluas dari bagian belakang hidung turun ke kartilago krikoid
berlanjut sampai esofagus. Bagian atas atau nasofaring dipisahkan dengan orofaring
dibawahnya oleh jaringan palatum mole. Pinsip kesulitan udara melintas melalui
nasofaring kerena menonjolnya struktur jaringan limfoid tonsiler. Lidah adalah
sumber dari obstruksi pada orofaring, biasanya karena menurunnya tegangan
muskulus genioglosus, yang bila berkontraksi berfungsi menggerakkan lidah
kedepan selama inspirasi dan berfungsi sebagai dilatasi faring.
 Laring
Laring terbentang pada level Servikal 3 sampai 6 vertebra servikalis,
melayani organ fonasi dan katup yang melindung jalan nafas bawah dari isi traktus
digestifus. Strukturnya terdiri dari otot, ligamen dan kartilago. Ini termasuk tiroid,
krikoid, aritenoid, kornikulata dan epiglotis. Epiglotis, sebuah kartilago fibrosa,
memiliki lapisan membran mukus, merupakan lipatan glosoepiglotis pada
permukaan faring dan lidah. Pada bagian yang tertekan disebut velecula. Velecula
ini adalah tempat diletakkannya ujung blade laringokop Macinthos. Epiglotis
menggantung pada bagian dalam laring dan tidak dapat melindungi jalan nafas
selama udema.
Rongga laring meluas dari epiglotis ke kartilago krikoid dibagian bawah.
Bagian dalam dibentuk oleh epiglotis, gabungan apek kartilago arytnenoid, lipatan
aryepiglotis, Bagian dalam rongga laring adalah lipatan vestibuler cincin sempit
dan jaringan fibrus pada tiap sisinya. Ini perluasan dari permukaan anterolateral
aritenoid, sudut tiroid, dimana yang terakhir berikatan dengan epiglotis. Lipatan ini
adalah sebagai korda vokalis palsu, yang terpisah dari korda vokalis sesungguhnya
oleh sinus laringeal atau ventrikel. Korda vokalis yang sesungguhnya pucat, putih,
struktur ligamen melekat pada sudut tiroid bagian belakang. Celah triangular antara
korda vocalis saat glotis terbuka merupakan segmen tersempit pada orang dewasa.
Pada anak kurang dari 10 tahun, bagian tersempit adalah dibawah plika vocalis pada
level setinggi cincin krikoid. Panjang rata-rata pembukaan glotis sekitar 23 mm
pada laki-laki 17 mm pada wanita. Otot-otot laring dapat diklasifikasikan menjadi
tiga group berdasarkan aksinya pada korda: abduktor, adduktor, dan regulasi
tegangan. Seluruh inervasi motorik dan sensorik pada otot-otot laring berasal dari
dua cabang nervus vagus yaitu nervus superior dan rekuren laring.
 Trakea
Trakea adalah sebuah struktur berbentuk tubulus yang mulai setinggi
Cervikal 6 columna vertebaralis pada level kartilago tiroid. Trakea mendatar pada
bagian posterior, panjang sekitar 10 – 15 cm, didukung oleh 16 – 20 tulang rawan
yang berbentuk tapal kuda sampai bercabang menjadi dua atau bifurkasio menjadi
bronkus kanan dan kiri pada thorakal 5 kolumna vertebaralis. Luas penampang
melintang lebih besar dari glotis, antara 150 – 300 mm2. Beberapa tipe reseptor
pada trakea, sensitif terhadap stimulus mekanik dan kimia. Penyesuaian lambat
reseptor regang yang berlokasi pada otot-otot dinding posterior, membantu
mengatur rate dan dalamnya pernafasan, tetapi juga menimbulkan dilatasi pada
bronkus melalui penurunan aktivitas afferen nervus vagus. Respon cepat resptor
iritan yang berada pada seluruh permukaan trakea berfungsi sebagai reseptor batuk
dan mengandung reflek bronkokontriksi.

VIII. PENGELOLAAN JALAN NAFAS


Kemampuan menjaga jalan nafas tetap bebas merupakan keterampilan yang
harus dimiliki dalam mengelola pasien kritis dan untuk melakukan tindakan
anastesi yang aman. Kesulitan atau kegagalan dalam mengelola jalan nafas
merupakan faktor utama morbiditas dan mortalitas akibat tindakan anastesi.
Insiden kesulitan ventilasi dengan sungkup muka(didefinisikan sebagai
ketidakmampuan mempertahankan SpO2 lebih dari 90%) berkisar antara
0.09% sampai 5%. Kesulitan intubasi endotrakea(didefiniskan sebagai intubasi
berhasil dilakukan setelah lebih 3 kali usaha atau lebih dari 10 menit) terjadi
1.1% sampai 3.8% pasien. Insiden kegagalan intubasi endotrakea terjadi
anatara 0.0001%-0.02%.
Tahapan dalam melakukan pengelolaan jalan napas adalah :
 Menilai jalan nafas
 Membersihkan jalan nafas
 Membebaskan jalan nafas

IX. KLASIFIKASI MALLAMPATI


Untuk mengetahui kemungkinan kesulitan intubasi, dapat dilakukan
pengukuran klasifikasi Mallampati dengan cara pasien diminta membuka
mulut dengan posisi duduk, sebagai berikut :
a. Kelas 1 : Palatum molle, fauces, uvula dan pilar terlihat jelas
b. Kelas 2 : Palatum molle, fauces dan sebagian uvula terlihat
c. Kelas 3 : Palatum molle, dan dasar uvula saja yang terlihat
d. Kelas 4 : Hanya terlihat langit-langit
Kelas 1 dan 2 merupakan bentuk paling mudah untuk dilakukan intubasi,
sementara kelas 3 dan 4 merupakan bentuk yang sulit untuk dilakukan
intubasi. Prediksi kesulitan juga dapat dilihat dari:
a. Pasien obese dengan leher pendek
b. Keterbatasan gerak leher (kurang dari 15o)
c. Pengurangan gerak tyromental joint
d. Residing mandibula
e. Jarak thyromental kurang dari 3 jari (<6,5cm)
X. LARINGEAL MASK AIRWAY
Hilangnya kesadaran karena induksi anestesi berhubungan dengan
hilangnya pengendalian jalan nafas dan reflex-reflex proteksi jalan nafas.
Tanggung jawab dokter anestesi adalah untuk menyediakan respirasi dan
managemen jalan nafas yang adekuat untuk pasien. LMA telah digunakan
secara luas untuk mengisi celah antara intubasi ET danz pemakaian face
mask. LMA di insersi secara blind ke dalam pharing dan membentuk suatu
sekat bertekanan rendah sekeliling pintu masuk laring. Dibawah ini tabel 2
keuntungan dan kerugian pemakaian LMA jika dibandingkan dengan
ventilasi facemask atau intubasi ET:

 Desain dan Fungsi


Laringeal mask airway ( LMA ) adalah alat supra glotis airway, didesain
untuk memberikan dan menjamin tertutupnya bagian dalam laring untuk ventilasi
spontan dan memungkinkan ventilasi kendali pada mode level (< 15 cm H2O)
tekanan positif. Alat ini tersedia dalam 7 ukuran untuk neonatus, infant, anak kecil,
anak besar, kecil, normal dan besar.
 Macam-macam LMA
LMA dapat dibagi menjadi :
1. Classic LMA
Merupakan suatu peralatan yang digunakan pada airway management yang
dapat digunakan ulang dan digunakan sebagai alternatif baik itu untuk
ventilasi facemask maupun intubasi ET. LMA juga memegang peranan
penting dalam penatalaksanaan difficult airway. Jika LMA dimasukkan
dengan tepat maka tip LMA berada diatas sfingter esofagus, cuff samping
berada di fossa pyriformis, dan cuff bagian atas berlawanan dengan dasar
lidah. Dengan posisi seperti ini akan menyebabkan ventilasi yang efektif
dengan inflasi yang minimal dari lambung.

Gambar. Classic LMA

2. Fastrach LMA (Intubating LMA)


LMA Fastrach terdiri dari satu tube stainless steel yang melengkung
(diameter internal 13 mm) yang dilapisi dengan silicone, connector 15 mm,
handle, cuff, dan suatu batang pengangkat epiglotis. Perbedaan utama antara
LMA classic dan LMA Fastrach yaitu pada tube baja, handle dan batang
pengangkat epiglottic. Sifat ILMA : airway tube-nya kaku, lebih pendek
dan diameternya lebih lebar dibandingkan cLMA. Ujung proximal ILMA
terdapat metal handle yang berfungsi membantu insersi dan membantu
intubasi, yang memungkinkan insersi dan manipulasi alat ini. Di ujung mask
terdapat ”pengangkat epiglotis”, yang merupakan batang semi rigid yang
menempel pada mask. ILMA didesign untuk insersi dengan posisi kepala
dan leher yang netral.
Ukuran ILMA : 3 – 5, dengan tracheal tube yang terbuat dari silicone yang
dapat dipakai ulang, dikenal : ILMA tube dengan ukuran : 6,0 – 8,0 mm
internal diameter. ILMA tidak boleh dilakukan pada pasien-pasien dengan
patologi esofagus bagian atas karena pernah dilaporkan kejadian perforasi
esofagus. Intubasi pada ILMA bersifat ”blind intubation technique”. Setelah
intubasi direkomendasikan untuk memindahkan ILMA. Nyeri tenggorok
dan suara serak biasanya ringan, namun lebih sering terjadi pada pemakaian
ILMA dibandingkan cLMA. ILMA memegang peranan penting dalam
managemen kesulitan intubasi yang tidak terduga. Juga cocok untuk pasien
dengan cedera tulang belakang bagian cervical. Dan dapat dipakai selama
resusitasi cardiopulmonal. Respon hemodinamik terhadap intubasi dengan
ILMA mirip dengan intubasi konvensional dengan menggunakan
laryngoscope. Kemampuan untuk insersi ILMA dari belakang, depan atau
dari samping pasien dan dengan posisi pasien supine, lateral atau bahkan
prone, yang berarti bahwa ILMA merupakan jalan nafas yang cocok untuk
insersi selama mengeluarkan pasien yang terjebak.

Gambar. Intubating LMA

3. ProSeal LMA
LMA Proseal mempunyai 2 gambaran design yang menawarkan
keuntungan lebih dibandingkan LMA standar selama melakukan ventilasi
tekanan positif. Pertama, tekanan jalan nafas yang lebih baik yang
berhubungan dengan rendahnya tekanan pada mukosa. Kedua, LMA
Proseal terdapat pemisahan antara saluran pernafasan dengan saluran
gastrointestinal, dengan penyatuan drainage tube yang dapat mengalirkan
gas-gas esofagus atau memfasilitasi suatu jalur tube orogastric untuk
dekompresi lambung. PLMA diperkenalkan tahun 2000. PLMA
mempunyai “mangkuk” yang lebih lunak dan lebih lebar dan lebih dalam
dibandingkan cLMA. Terdapat drainage tube yang melintas dari ujung
mask, melewati “mangkuk” untuk berjalan paralel dengan airway tube.
Ketika posisinya tepat, drain tube terletak dipuncak esofagus yang
mengelilingi cricopharyngeal, dan “mangkuk” berada diatas jalan nafas.
Lebih jauh lagi, traktus GI dan traktus respirasi secara fungsi terpisah.
PLMA di insersi secara manual seperti cLMA. Akhirnya saat insersi sulit
dapat melalui suatu jalur rel melalui suatubougie yang dimasukkan kedalam
esofagus. Tehnik ini paling invasif tetapi paling berhasil
denganmisplacement yang kecil. Terdapat suatu teori yang baik dan bukti
performa untuk mendukung gambaran perbandingan antara cLMA dengan
PLMA, berkurangnya kebocoran gas, berkurangnya inflasi lambung, dan
meningkatnya proteksi dari regurgitasi isi lambung. Akan tetapi, semua ini
sepenuhnya tergantung pada ketepatan posisi alat tersebut Harga PLMA
kira-kira 10 % lebih mahal dari cLMA dan direkomendasikan untuk 40 kali
pemakaian. Pada pasien dengan keterbatasan komplian paru atau
peningkatan tahanan jalan nafas, ventilasi yang adekuat tidak mungkin
karena dibutuhkan tekanan inflasi yang tinggi dan mengakibatkan
kebocoran. Modifikasi baru, Proseal LMA telah dikembangkan untuk
mengatasi keterbatasan ini dengan cuf yang lebih besar dan tube drain yang
memungkinkan insersi gastric tube. Versi ini sering lebih sulit untuk
insersinya dan pabrik merekomendasikan dengan bantuan introduser kaku.
Pada suatu penelitian, ProSeal LMA juga dapat digunakan dalam jangka
waktu panjang ( 40 jam ) tanpa menyebabkan tekanan yang berlebihan dan
kerusakan mukosa hypopharing. Laporan terakhir, satu kasus injury nervus
lingual telah dilaporkan saat pemakaian ProSeal LMA. Sementara juga
dilaporkan terjadi hypoglossal palsies oleh karena pemakaian clasic LMA.
Meskipun begitu komplikasi tadi sangat jarang terjadi, frekwensi injury
pada nervus cranialis dapat dikurangi dengan cara menghindari trauma saat
dilakukan insersi, menggunakan ukuran yang sesuai dan meminimalisir
volume cuff. Disarankan untuk membatasi tekanan jalan nafas kurang dari
20 cmH2O selama inflasi paru dan untuk menggunakan volume tidal yang
kecil ( 6 – 10 ml/kgBB ). Ketika ProSeal LMA digunakan untuk periode
memanjang, fungsi respirasi harus dimonitor secara ketat dan tekanan
intracuff harus diperiksa secara periodik dan dipertahankan lebih rendah
dari 60 cmH2O. Akhirnya resiko terjadinya inflasi lambung harus secara
aktif disingkirkan dengan mendengarkan daerah leher dan abdomen dengan
menggunakan stetoskop.
Gambar. ProSeal LMA

4. Flexible LMA
Bentuk dan ukuran mask nya hampir menyerupai cLMA, dengan airway
tube terdapat gulungan kawat yang menyebabkan fleksibilitasnya
meningkat yang memungkinkan posisi proximal end menjauhi lapang bedah
tanpa menyebabkan pergeseran mask. Berguna pada pembedahan kepala
dan leher, maxillo facial dan THT. fLMA memberikan perlindungan yang
baik terhadap laryng dari sekresi dan darah yang ada diatas fLMA. Populer
digunakan untuk pembedahan nasal dan pembedahan intraoral, termasuk
tonsilektomi. Airway tube fLMA lebih panjang dan lebih sempit, yang akan
menaikkan resistensi tube dan work of breathing. Ukuran fLMA : 2 – 5.
Insersi fLMA dapat lebih sulit dari cLMA karena flexibilitas airway tube.
Mask dapat ber rotasi 180 pada sumbu panjangnya sehingga masknya
mengarah ke belakang. Harga fLMA kira-kira 30 % lebih mahal dari cLMA
dan direkomendasikan untuk digunakan 40 kali.

Gambar 5. Flexible LMA


XI. TEKNIK ANESTESI LMA
 Indikasi:
a. Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET
untukairway management. LMA bukanlah suatu penggantian ET,
ketika pemakaian ET menjadi suatu indikasi.
b. Pada penatalaksanaan dificult airway yang diketahui atau yang tidak
diperkirakan.
c. Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak
sadarkan diri.
 Kontraindikasi:
a. Pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung ( penggunaan pada
emergency adalah pengecualian ).
b. Pasien-pasien dengan penurunan compliance sistem pernafasan,
karenaseal yang bertekanan rendah pada cuff LMA akan mengalami
kebocoran pada tekanan inspirasi tinggi dan akan terjadi
pengembangan lambung. Tekanainspirasi puncak harus dijaga
kurang dari 20 cm H2O untuk meminimalisir kebocoron cuff dan
pengembangan lambung.
c. Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik
jangka waktu lama.
d. Pasien-pasien dengan reflex jalan nafas atas yangintack karena
insersi dapat memicu terjadinya laryngospasme.
 Efek Samping :
Efek samping yang paling sering ditemukan adalah nyeri tenggorok, dengan
insidensi 10 % dan sering berhubungan dengan over inflasi cuff LMA. Efek
samping yang utama adalah aspirasi

 Teknik Induksi dan Insersi :


Untuk melakukan insersi cLMA membutuhkan kedalaman anestesi yang lebih
besar. Kedalaman anestesi merupakan suatu hal yang penting untuk keberhasilan
selama pergerakan insersi cLMA dimana jika kurang dalam sering membuat posisi
mask yang tidak sempurna Sebelum insersi, kondisi pasien harus sudah tidak ber
respon dengan mandibula yang relaksasi dan tidak ber-respon terhadap tindakan
jaw thrust. Tetapi, insersi cLMA tidak membutuhkan pelumpuh otot. Hal lain yang
dapat mengurangi tahanan yaitu pemakaian pelumpuh otot. Meskipun pemakaian
pelumpuh otot bukan standar praktek di klinik, dan pemakaian pelumpuh otot akan
mengurangi trauma oleh karena reflex proteksi yang di tumpulkan, atau mungkin
malah akan meningkatkan trauma yang berhubungan dengan jalan nafas yang
relax/menyempit jika manuver jaw thrust tidak dilakukan. Propofol merupakan
agen induksi yang paling tepat karena propofol dapat menekan refleks jalan nafas
dan mampu melakukan insersi cLMA tanpa batuk atau terjadinya gerakan.
Introduksi LMA ke supraglotis dan inflasi the cuff akan menstimulasi dinding
pharing akan menyebabkan peningkatan tekanan darah dan nadi. Perubahan
kardiovaskuler setelah insersi LMA dapat ditumpulkan dengan menggunakan dosis
besar propofol yang berpengaruh pada tonus simpatis jantung.
Jika propofol tidak tersedia, insersi dapat dilakukan setelah pemberian induksi
thiopental yang ditambahkan agen volatil untuk mendalamkan anestesi atau dengan
penambahan anestesi lokal bersifat topikal ke oropharing. Untuk memperbaiki
insersi mask, sebelum induksi dapat diberikan opioid beronset cepat (seperti
fentanyl atau alfentanyl). Jika diperlukan, cLMA dapat di insersi dibawah anestesi
topikal. Insersi dilakukan dengan posisi seperti akan dilakukan laryngoscopy
(Sniffing Position) dan akan lebih mudah jika dilakukan jaw thrust oleh asisten
selama dilakukan insersi. Cuff cLMA harus secara penuh di deflasi dan permukaan
posterior diberikan lubrikasi dengan lubrikasi berbasis air sebelum dilakukan
insersi.
Meskipun metode standar meliputi deflasi total cuff, beberapa klinisi lebih
menyukai insersi LMA dengan cuff setengah mengembang. Tehnik ini akan
menurunkan resiko terjadinya nyeri tenggorokan dan perdarahan mukosa pharing.
Dokter anestesi berdiri dibelakang pasien yang berbaring supine dengan satu tangan
men-stabilisasi kepala dan leher pasien, sementara tangan yang lain memegang
cLMA. Tindakan ini terbaik dilakukan dengan cara menaruh tangan dibawah
occiput pasien dan dilakukan ekstensi ringan pada tulang belakang leher bagian
atas. cLMA dipegang seperti memegang pensil pada perbatasan mask dan tube.
Rute insersi cLMA harus menyerupai rute masuknya makanan. Selama insersi,
cLMA dimajukan ke arah posterior sepanjang palatum durum kemudian
dilanjutkan mengikuti aspek posterior-superior dari jalan nafas. Saat cLMA
”berhenti” selama insersi, ujungnya telah mencapai cricopharyngeus (sfingter
esofagus bagian atas) dan harusnya sudah berada pada posisi yang tepat. Insersi
harus dilakukan dengan satu gerakan yang lembut untuk meyakinkan ”titik akhir”
teridentifikasi

Gambar. Insersi LMA

Cuff harus diinflasi sebeum dilakukan koneksi dengan sirkuit pernafasan.Lima test
sederhana dapat dilakukan untuk meyakinkan ketepatan posisi cLMA:
1. End point” yang jelas dirasakan selama insersi.
2. Posisi cLMA menjadi naik keluar sedikit dari mulut saat cuff di inflasi.
3. Leher bagian depan tampak mengelembung sedikit selama cuff di inflasi.
4. Garis hitam di belakang cLMA tetap digaris tengah.
5. Cuff cLMA tidak tampak dimulut.

Jumlah udara yang direkomendasikan untuk inflasi cuff tergantung dari


pembuat LMA yang bervariasi sesuai dengan ukuran cLMA. Penting untuk dicatat
bahwa volume yang direkomendasikan adalah volume yang maksimum.Biasanya
tidak lebih dari setengah volume ini yang dibutuhkan. Volume ini dibutuhkan untuk
mencapai sekat bertekanan rendah dengan jalan nafas. Tekanan didalam cuff tidak
boleh melebihi 60 cmH2O. Inflasi yang berlebihan akan meningkatkan resiko
komplikasi pharyngolaryngeal, termasuk cedera syaraf ( glossopharyngeal,
hypoglossal, lingual dan laryngeal recuren ) dan biasanya menyebabkan obstruksi
jalan nafas. Setelah cLMA di insersikan, pergerakan kepala dan leher akan
membuat perbedaan kecil terhadap posisi cLMA dan dapat menyebabkan
perubahan pada tekanan intra cuff dan sekat jalan nafas. N2O jika digunakan akan
berdifusi kedalam cuff cLMA sampai tekanan partial intracuff sama dengan
tekanan campuran gas anestesi. Hal ini akan menyebabkan peningkatan tekanan
didalam cuff pada 30 menit pertama sejak pemberian N2O. Tekanan cuff yang
berlebihan dapat dihindari dengan mem-palpasi secara intermiten pada pilot
ballon. Setelah insersi, patensi jalan nafas harus di test dengan cara mem-bagging
dengan lembut. Yang perlu diingat, cuff cLMA menghasilkan sekat bertekanan
rendah sekitar laryng dan tekanan jalan nafas diatas sekat ini akan menyebabkan
kebocoran gas anestesi dari jalan nafas.
Dengan lembut, ventilasi tangan akan menyebabkan naiknya dinding dada
tanpa adanya suara ribut pada jalan nafas atau kebocoran udara yang dapat
terdengar. Saturasi oksigen harus stabil. Jika kantung reservoir tidak terisi ulang
kembali seperti normalnya, ini mengindikasikan adanya kebocoran yang besar atau
obstruksi jalan nafas yang partial, jika kedua hal tadi terjadi maka cLMA harus
dipindahkan dan di insersi ulang.
Pemakaian LMA sendiri dapat juga menimbulkan obstruksi. Untuk itu
diperlukan suatu algoritme untuk memfasilitasi diagnosis dan penatalaksanaan
obstruksi jalan nafas dengan LMA :
LMA harus diamankan dengan pita perekat untuk mencegah terjadinya
migrasi keluar. Saat dihubungkan dengan sirkuit anestesi, yakinkan berat sirkuit
tadi tidak menarik cLMA yang dapat menyebabkan pergeseran. Sebelum LMA
difiksasi dengan plaster, sangat penting mengecek dengan capnograf, auskultasi,
dan melihat gerakan udara bahwa cuf telah pada posisi yang tepat dan tidak
menimbulkan obstruksi dari kesalahan tempat menurun pada epiglotis. Karena
keterbatasan kemampuan LMA untuk menutupi laring dan penggunaan elektif alat
ini di kontraindikasikan dengan beberapa kondisi dengan peningkatan resiko
aspirasi. Pada pasien tanpa faktor predisposisi, resiko regurgitasi faring rendah.
 Maintenance ( Pemeliharaan )
Saat ventilasi kendali digunakan, puncak tekanan jalan nafas pada orang
dewasa sedang dan juga pada anak-anak biasanya tidak lebih dari 10 -14 cmH2O.
Tekanan diatas 20 cmH2O harus dihindari karena tidak hanya menyebabkan
kebocoran gas dari cLMA tetapi juga melebihi tekanan sfingter esofagus. Pada
tekanan jalan nafas yang rendah, tekanan gas keluar lewat mulut, tetapi pada
tekanan yang lebih tinggi, gas akan masuk ke esofagus dan lambung yang akan
meningkatkan resiko regurgitasi dan aspirasi.
Untuk anak kecil dan bayi, nafas spontan lewat cLMA untuk periode yang
lama kemungkinan tidak dianjurkan. cLMA meningkatkan resistensi jalan nafas
dan akses ke jalan nafas untuk membersihkan sekret, tidak sebaik lewat tube trakea.
Untungnya ventilasi kendali pada grup ini sering lebih mudah sebagaimana anak-
anak secara umum mempunyai paru-paru dengan compliance yang tinggi dan sekat
jalan nafas dengan cLMA secara umum sedikit lebih tinggi pada anak-anak
dibandingkan pada orang dewasa.
Selama fase maintenance anestesi, cLMA biasanya menyediakan jalan
nafas yang bebas dan penyesuaian posisi jarang diperlukan. Biasanya pergeseran
dapat terjadi jika anestesi kurang dalam atau pasien bergerak. Kantung reservoir
sirkuit anestesi harus tampak dan di monitoring dengan alarm yang tepat harus
digunakan selama tindakan anestesi untuk meyakinkan kejadian-kejadian ini
terdeteksi. Jika posisi pasien butuh untuk di ubah, akan bijaksana untuk melepas
jalan nafas selama pergerakan. Saat pengembalian posisi telah dilakukan,
sambungkan kembali ke sirkuit anestesi dan periksa ulang jalan nafas.
 Tehnik Extubasi
Pada akhir pembedahan, cLMA tetap pada posisinya sampai pasien bangun
dan mampu untuk membuka mulut sesuai perintah, dimana reflex proteksi jalan
nafas telah normal pulih kembali. Melakukan penghisapan pada pahryng secara
umum tidak diperlukan dan malah dapat men-stimuli dan meningkatkan komplikasi
jalan nafas seperti laryngospasme. Saat pasien dapat membuka mulut mereka,
cLMA dapat ditarik. Kebanyakan sekresi akan terjadi pada saat-saat ini dan adanya
sekresi tambahan atau darah dapat dihisap saat cLMA ditarik jika pasien tidak dapat
menelan sekret tersebut. Beberapa kajian menyebutkan tingkat komplikasi akan
lebih tinggi jika cLMA ditarik saat sadar, dan beberapa saat ditarik ”dalam”. Jika
cLMA ditarik dalam kondisi masih ”dalam”, perhatikan mengenai obstruksi jalan
nafas dan hypoksia.
 Komplikasi Pemakaian LMA
cLMA tidak menyediakan perlindungan terhadap aspirasi paru karena
regurgitasi isi lambung dan juga tidak bijaksana untuk menggunakan cLMA pada
pasien-pasien yang punya resiko meningkatnya regurgitasi, seperti : pasien yang
tidak puasa, emergensi, pada hernia hiatus simtomatik atau refluks gastro-esofageal
dan pada pasien obese. Insidensi nyeri tenggorokan dengan menggunakan LMA
sekitar 28 %13 dimana insidensi ini mirip dengan kisaran yang pernah dilaporkan
yaitu antara 21,4 % - 30 % ( Wakeling et al ), 28,5 % dan sampai 42 % Clasic LMA
mempunyai insidensi kejadian batuk dan komplikasi jalan nafas yang lebih kecil
dibandingkan dengan ET .Namun clasic LMA mempunyai kerugian. LMA jenis ini
hanya menyediakan sekat tekanan rendah ( rata-rata 18 – 20 cmH2O ) sehingga jika
dilakukan ventilasi kendali pada paru, akan menimbulkan masalah. Peningkatan
tekanan pada jalan nafas akan berhubungan dengan meningkatnya kebocoran gas
dan inflasi lambung. Lebih lanjut lagi, clasic LMA tidak memberikan perlindungan
pada kasus regurgitasi isi lambung. Proseal LMA berhubungan dengan kurangnya
stimulasi respirasi dibandingkan ET selama situasi emergensi pembiusan.
ProSeal LMA juga mempunyai keuntungan dibandingkan clasic LMA
selama ventilasi kendali ; sekat pada ProSeal LMA meningkat sampai dengan 50 %
dibandingkan clasic LMA sehingga memperbaiki ventilasi dengan mengurangi
kebocoran dari jalan nafas. Sebagai tambahan drain tube pada ProSeal LMA akan
meminimalisir inflasi lambung dan dapat menjadi rute untuk regurgitasi isi
lambung jika hal ini terjadi.

BAB III

PEMBAHASAN

Pada tanggal 15 April 2019, dilakukan asesmen pre operasi pada pasien atas
nama An. MZ dengan diagnose tumor penis. Kondisi pasien tersebut sehat baik
fisiologis, psikiatrik dan didapatkan riwayat penyakit dahulu asma, sehingga masuk
kategori ASA II, klasifikasi Mallampati 1 dan puasa yang cukup lebih dari 6 jam,
pasien siap untuk di operasi. Rencana jenis anestesi yang akan dilakukan adalah
anestesi umum dengan LMA.
Pada pre medikasi pasien diberikan injeksi Fentanyl sebanyak 50 mcg yang
telah diencerkan dengan aquadest, fentanyl merupakan analgesik narkotik, derivat
agonis sintetik opioid fenil piperidin dan sebagai anestetik 75-125x lebih poten,
namun memiliki durasi yang lebih singkat dari Morfin. Onset kerja cepat (±5 menit)
dengan durasi 30 menit dosis tunggal. Terikatnya opioid pada reseptor
menghasilkan pengurangan masuknya ion Ca2+ ke dalam sel, selain itu
mengakibatkan pula hiperpolarisasi dengan meningkatkan masuknya ion K+ ke
dalam sel merupakan mekanisme kerja dari Fentanyl
Pasien di anestesi umum dengan LMA menggunakan Propofol yang
merupakan obat anestesi / induksi yang paling sering digunakan dengan dosis 100
mg. Derivat phenol bekerja dengan menghambat neurotransmitter yang di mediasi
GABA. Melalui mekanisma pada reseptor GABAA di hippocampus, propofol
menghambat pelepasan acethylcoline pada hippocampus dan korteks prefrontal.
Waktu paruh propofol pendek hanya 2-8 menit dengan dosis 1-2,5 mg/kgBB
intravena. Setelah pasien berhasil di induksi, LMA di insersi lalu dipastikan LMA
masuk dengan baik dengan bagging dan melihat kedua paru mengembang simetris.
Selama operasi di maintenance dengan O2 + N2O masing-masing 2 lpm dan
Sevoflurane yang merupakan obat anestesi inhalasi berbentuk cairan derivate eter
dengan kelarutan dalam darah yang lebih rendah dari halotan, enfluran dan
isofluran.
Analgetika yang diberikan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa
nyeri tanpa mempengaruhi susunan saraf pusat atau menurunkan kesadaran juga
tidak menimbulkan ketagihan. Obat yang digunakan ketorolac, merupakan anti
inflamasi non steroid (AINS) bekerja pada jalur oksigenasi menghambat biosintesis
prostaglandin dengan analgesic yang kuat secara perifer atau sentral. Juga memiliki
efek anti inflamasi dan antipiretik. Ketorolac dapat mengatasi rasa nyeri ringan
sampai berat pada kasus emergensi seperti pada pasien ini. Mula kerja efek
analgesia ketorolac mungkin sedikit lebih lambat namun lama kerjanya lebih
panjang dibanding opioid. Efek analgesianya akan mulai terasa dalam pemberian
IV/IM, lama efek analgesic adalah 4-6 jam.
Pasien juga diberika ondansetron 4 mg/2 ml. Ondansetron merupakan suatu
antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif yang diindikasikan sebagai pencegahan
dan pengobatan mual dan muntah pasca bedah. Pelepasan 5HT3 ke dalam usus
dapat merangsang refleks muntah dengan mengaktifkan serabut aferen vagal lewat
reseptornya. Ondansetron diberikan pada pasien ini untuk mencegah mual dan
muntah yang bisa menyebabkan aspirasi
Pasca operasi, penderita dibawa ke ruang pulih untuk diawasi secara
lengkap dan baik. Hingga kondisi penderita stabil dan tidak terdapat kendala-
kendala yang berarti, Pasien dibawa ke bangsal dalam keadaan cukup baik dimana
dilakukan observasi menggunakan Stewart Score bernilai 6. Di bangsal yang harus
diperhatikan adalah :
a. Kontrol tekanan darah, nadi, dan respirasi setiap 15’ sampai 2 jam post
operasi
b. Jika ada mual muntah diberikan ondansetron 4 mg intravena
c. Jika pasien kesakitan diberikan ketorolac 30 mg intravena
d. Jika nadi < 60 kali/menit diberikan sulfas atropine 0,25 mg intravena
e. Jika tekanan darah sistolik <90 mmHg diberikan efedrin 10 mg intravena
f. Makan & minum pelan dan bertahap
g. Apabila terdapat sesak nafas, segera lapor dr. Anestesi atau dr. jaga
BAB IV

KESIMPULAN

1. Pasien usia tahun 9 tahun dengan tumor penis dan kondisi pasien tersebut sehat
organik namun memiliki riwayat asma, fisiologik, psikiatrik, dan biokimia
digolongkan sebagai ASA II dan siap di operasi
2. Premedikasi yang digunakan adalah Fentanyl 100mcg yang telah diencerkan
(1 ampul).
3. Induksi anestesi menggunakan Propofol dengan dosis 100 mg, setelah induksi
berhasil LMA di insersi dan pasien di maintenance dengan O2 + N2O dan
Sevoflurane
4. Selama akhir operasi pasien diberikan analgetik berupa ketorolac sebagai anti
nyeri , ondansentron sebagai anti mual dan asam traneksamat untuk mencegah
perdarahan.
5. Pasca operasi, penderita dibawa ke ruang pulih untuk diawasi secara lengkap
dan baik. Pasien keluar bangsal dengan Stewart Score 6 dan diberikan instruksi
paska operasi, sebagai penanganan jika terjadi efek anestesi yang masih tersisa.

DAFTAR PUSTAKA

Brimacombe J, Clarke G, Keller C.Lingual nerve injury associated with


the ProSeal laryngeal mask airway : a case report and review of the literature. Br J
Anaesth 2005 ; 95 : 420 – 423

Cook TM, Lee G, Nolan JP. 2005. The ProSeal laryngeal mask airway ; a
review of the literature. Can j Anesth ; 52 : 739 - 760

Cook, T., Walton, B. The Laryngeal Mask Airway. in Update in


Anaesthesia : 32 - 42

Edward Morgan et al. 2006.Clinical Anesthesiology, Fourth Edition.


McGraw-Hill Companies : 98

Peter F Dunn. 2007. Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts


General Hospital. Lippincot Williams & Wilkins : 213 -217

Pramono, Ardi. 2015. Buku Kuliah : Anestesi. Jakarta : EGC


Thomas J Gal. 2005. Airway Management in Miller’s Anesthesia, Chapter
42, page 1617. Elsevier

Turan et al.Comparison of the laryngeal mask (LMA) and laryngeal tube


(LT) with the new perilaryngeal airway in short surgical procedures. EJA 2006 ;
23 : 234 – 238

Anda mungkin juga menyukai