PASIEN OPERASI
Disusun Oleh :
I Wayan Siaga
42170202
Pembimbing :
YOGYAKARTA
2019
BAB I
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. MZ
Usia : 9 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Kalipelus, Banjarnegara
Tgl masuk RS : 15 Agustus 2019 pukul 12.30 WIB
ANAMNESA
Keluhan Utama
Terdapat benjolan pada penis
Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan dirasakan sejak ± 2 minggu yang lalu, benjolan tidak
membesar dan tidak nyeri tekan, OS merasakan benjolan tersebut
mengganggu. Tidak terdapat keluhan demam sebelumnya. Riwayat
pengobatan (-).
Riwayat Penyakit Dahulu : Mondok di RS (-), DM (-), HT (-),
Asma (+), penyakit jantung (-)
Riwayat Alergi : Obat (-), makanan (-)
Riwayat Penyakit Keluarga : DM (-), HT (-), Asma (-), Jantung
(-), tidak ada keluarga yang mengalami gangguan serupa
Life Style : Olahraga rutin (+), merokok (-), alkohol (-), kopi (-), teh
(-), makan teratur 3x sehari
B : Breathing
Respirasi : 15 x/menit
Suara nafas : Vesikuler ( + / +), Rh (- / -)
Pergerakkan dinding dada : simetris
C : Circulation
Tekanan darah :-
Nadi : Nadi kuat, reguler 82 x/menit
CRT : < 2 detik
Kondisi akral : Hangat
D : Disability
Keadaan umum : Baik
GCS : E4V5M6
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium - Darah Lengkap
DIAGNOSA KERJA
Diagnosa Medis : Tumor Penis
Diagnosa Tindakan : Sirkumsisi
Rencana Anestesi : Anestesi umum dengan LMA
Diagnosis Anestesi : ASA II / Non Emergency
Persiapan Anestesi : Makan minum terakhir jam 08.30 WIB
PELAKSANAAN OPERASI
Identitas : (sesuai yang tercantum)
Dokter bedah : dr. Samuel Zacharias, Sp.B, MM
Dokter anestesi : dr. Yos Kresna W., M. Sc, Sp.An
Operasi : 14.45-15.15 WIB
Obat yang disediakan :
Propofol 10 mg/ml (20 ml)
Fentanyl 100 mcg diencerkan dengan aquadest sampai 10 mL
(diberikan 50mcg atau 5 mL)
Ondansentron 4 mg/2ml
Ketorolac 30 mg
S : Scope ; Stetoskop dan laringoscope
T : Tube ; LMA, Goodel
A : Airways ; Mayo
T : Tape ; Hipafix
I : Inserter ; kawat
C : Connector
S : Suction
Prosedur Anastesi :
Pasien diposisikan secara terlentang dipasang tensimeter pada tangan kiri
dan pulseoxymetri pada tangan kanan.
Disuntikan Fentanyl 1 ml yang telah diencerkan sebagai pre medikasi
kemudian dilakukan penyuntikan Recofol 100 mg
Ditunggu hingga pasien tertidur kemudian dilakukan pemeriksaan refleks
pada bulu mata pasien, jika sudah tidak ada reflek dilakukan oksigenasi
menggunakan sungkup wajah (face mask) selama 3 menit (hiperventilasi)
hingga saturasi oksigen pada pasien 100%.
Posisikan kepala pasien secara ekstensi dan lakukan jaw thurst maneuver
kemudian LMA diinsersi mengikuti posisi anatomis dari jalan napas pasien.
Dilakukan bagging manual menggunakan tangan agar mempertahankan
saturasi oksigen pasien 95-100%
Kemudian dilakukan fiksasi menggunakan hipafix
Dilakukan maintenance selama operasi menggunakan Oksigen, N2O dan
Sevoflurane.
Hemodinamik durante operasi :
Waktu Tekanan Darah (mmHg) Nadi (x/menit)
14.45 - 80
15.00 - 70
15.15 - 86
TINJAUAN PUSTAKA
I. ANASTESI UMUM
Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral
disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible.
Anestesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur bedah yang akan
menimbulkan sakit yang tak tertahankan, mempotensiasi eksaserbasi fisiologis
yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan.
Didalam praktek obat-obat anastesi dimasukkan ke dalam tubuh melalui
inhalasi, atau parenteral, ada pula yang dimasukkan melalui rektal tetapi jarang
dilakukan. Yang melalui inhalasi antara lain : N2O, halotan, enflurane, ether,
isoflurane, sevoflurane, metixiflurane, trilene.
Yang melalui parenteral :
Intravena antara lain penthotal, ketamine, propofol, etomidat dan golongan
benzodiazepine.
Intramuskuler antara lain ketamine.
V. KLASIFIKASI ASA
Setiap pasien memerlukan penilaian status fisis untuk menunjukkan apakah
kondisi tubuhnya normal atau mempunyai kelainan yang memerlukan
perhatian khusus. Status fisis dinyatakan dalam status ASA (American
Society of Anesthesiologist), dibagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu :
a. ASA I : Pasien sehat, tidak ada gangguan organik, fisiologis atau
kejiwaan, tidak sangat muda atau terlalu tua, sehat dengan toleransi
latihan yang baik
b. ASA II : Pasien memiliki kelainan sistemik ringan, memiliki
penyakit yang terkendali dengan baik
c. ASA III : Pasien dengan kelainan sistemik berat; terdapat beberapa
kelainan fungsional, memiliki penyakit lebih dari satu sistem tubuh
atau satu system utama yang terkendali; tidak ada bahaya kematian
d. ASA IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat + incapacitance
(misalnya pasien dengan gagal jantung derajat 3), kemungkinan
risiko kematian
e. ASA V : Pasien yang dengan atau tanpa operasi diperkirakan
meninggal dalam 24 jam atau tidak diharapkan untuk hidup lebih dari
24 jam tanpa operasi
Faring
Faring meluas dari bagian belakang hidung turun ke kartilago krikoid
berlanjut sampai esofagus. Bagian atas atau nasofaring dipisahkan dengan orofaring
dibawahnya oleh jaringan palatum mole. Pinsip kesulitan udara melintas melalui
nasofaring kerena menonjolnya struktur jaringan limfoid tonsiler. Lidah adalah
sumber dari obstruksi pada orofaring, biasanya karena menurunnya tegangan
muskulus genioglosus, yang bila berkontraksi berfungsi menggerakkan lidah
kedepan selama inspirasi dan berfungsi sebagai dilatasi faring.
Laring
Laring terbentang pada level Servikal 3 sampai 6 vertebra servikalis,
melayani organ fonasi dan katup yang melindung jalan nafas bawah dari isi traktus
digestifus. Strukturnya terdiri dari otot, ligamen dan kartilago. Ini termasuk tiroid,
krikoid, aritenoid, kornikulata dan epiglotis. Epiglotis, sebuah kartilago fibrosa,
memiliki lapisan membran mukus, merupakan lipatan glosoepiglotis pada
permukaan faring dan lidah. Pada bagian yang tertekan disebut velecula. Velecula
ini adalah tempat diletakkannya ujung blade laringokop Macinthos. Epiglotis
menggantung pada bagian dalam laring dan tidak dapat melindungi jalan nafas
selama udema.
Rongga laring meluas dari epiglotis ke kartilago krikoid dibagian bawah.
Bagian dalam dibentuk oleh epiglotis, gabungan apek kartilago arytnenoid, lipatan
aryepiglotis, Bagian dalam rongga laring adalah lipatan vestibuler cincin sempit
dan jaringan fibrus pada tiap sisinya. Ini perluasan dari permukaan anterolateral
aritenoid, sudut tiroid, dimana yang terakhir berikatan dengan epiglotis. Lipatan ini
adalah sebagai korda vokalis palsu, yang terpisah dari korda vokalis sesungguhnya
oleh sinus laringeal atau ventrikel. Korda vokalis yang sesungguhnya pucat, putih,
struktur ligamen melekat pada sudut tiroid bagian belakang. Celah triangular antara
korda vocalis saat glotis terbuka merupakan segmen tersempit pada orang dewasa.
Pada anak kurang dari 10 tahun, bagian tersempit adalah dibawah plika vocalis pada
level setinggi cincin krikoid. Panjang rata-rata pembukaan glotis sekitar 23 mm
pada laki-laki 17 mm pada wanita. Otot-otot laring dapat diklasifikasikan menjadi
tiga group berdasarkan aksinya pada korda: abduktor, adduktor, dan regulasi
tegangan. Seluruh inervasi motorik dan sensorik pada otot-otot laring berasal dari
dua cabang nervus vagus yaitu nervus superior dan rekuren laring.
Trakea
Trakea adalah sebuah struktur berbentuk tubulus yang mulai setinggi
Cervikal 6 columna vertebaralis pada level kartilago tiroid. Trakea mendatar pada
bagian posterior, panjang sekitar 10 – 15 cm, didukung oleh 16 – 20 tulang rawan
yang berbentuk tapal kuda sampai bercabang menjadi dua atau bifurkasio menjadi
bronkus kanan dan kiri pada thorakal 5 kolumna vertebaralis. Luas penampang
melintang lebih besar dari glotis, antara 150 – 300 mm2. Beberapa tipe reseptor
pada trakea, sensitif terhadap stimulus mekanik dan kimia. Penyesuaian lambat
reseptor regang yang berlokasi pada otot-otot dinding posterior, membantu
mengatur rate dan dalamnya pernafasan, tetapi juga menimbulkan dilatasi pada
bronkus melalui penurunan aktivitas afferen nervus vagus. Respon cepat resptor
iritan yang berada pada seluruh permukaan trakea berfungsi sebagai reseptor batuk
dan mengandung reflek bronkokontriksi.
3. ProSeal LMA
LMA Proseal mempunyai 2 gambaran design yang menawarkan
keuntungan lebih dibandingkan LMA standar selama melakukan ventilasi
tekanan positif. Pertama, tekanan jalan nafas yang lebih baik yang
berhubungan dengan rendahnya tekanan pada mukosa. Kedua, LMA
Proseal terdapat pemisahan antara saluran pernafasan dengan saluran
gastrointestinal, dengan penyatuan drainage tube yang dapat mengalirkan
gas-gas esofagus atau memfasilitasi suatu jalur tube orogastric untuk
dekompresi lambung. PLMA diperkenalkan tahun 2000. PLMA
mempunyai “mangkuk” yang lebih lunak dan lebih lebar dan lebih dalam
dibandingkan cLMA. Terdapat drainage tube yang melintas dari ujung
mask, melewati “mangkuk” untuk berjalan paralel dengan airway tube.
Ketika posisinya tepat, drain tube terletak dipuncak esofagus yang
mengelilingi cricopharyngeal, dan “mangkuk” berada diatas jalan nafas.
Lebih jauh lagi, traktus GI dan traktus respirasi secara fungsi terpisah.
PLMA di insersi secara manual seperti cLMA. Akhirnya saat insersi sulit
dapat melalui suatu jalur rel melalui suatubougie yang dimasukkan kedalam
esofagus. Tehnik ini paling invasif tetapi paling berhasil
denganmisplacement yang kecil. Terdapat suatu teori yang baik dan bukti
performa untuk mendukung gambaran perbandingan antara cLMA dengan
PLMA, berkurangnya kebocoran gas, berkurangnya inflasi lambung, dan
meningkatnya proteksi dari regurgitasi isi lambung. Akan tetapi, semua ini
sepenuhnya tergantung pada ketepatan posisi alat tersebut Harga PLMA
kira-kira 10 % lebih mahal dari cLMA dan direkomendasikan untuk 40 kali
pemakaian. Pada pasien dengan keterbatasan komplian paru atau
peningkatan tahanan jalan nafas, ventilasi yang adekuat tidak mungkin
karena dibutuhkan tekanan inflasi yang tinggi dan mengakibatkan
kebocoran. Modifikasi baru, Proseal LMA telah dikembangkan untuk
mengatasi keterbatasan ini dengan cuf yang lebih besar dan tube drain yang
memungkinkan insersi gastric tube. Versi ini sering lebih sulit untuk
insersinya dan pabrik merekomendasikan dengan bantuan introduser kaku.
Pada suatu penelitian, ProSeal LMA juga dapat digunakan dalam jangka
waktu panjang ( 40 jam ) tanpa menyebabkan tekanan yang berlebihan dan
kerusakan mukosa hypopharing. Laporan terakhir, satu kasus injury nervus
lingual telah dilaporkan saat pemakaian ProSeal LMA. Sementara juga
dilaporkan terjadi hypoglossal palsies oleh karena pemakaian clasic LMA.
Meskipun begitu komplikasi tadi sangat jarang terjadi, frekwensi injury
pada nervus cranialis dapat dikurangi dengan cara menghindari trauma saat
dilakukan insersi, menggunakan ukuran yang sesuai dan meminimalisir
volume cuff. Disarankan untuk membatasi tekanan jalan nafas kurang dari
20 cmH2O selama inflasi paru dan untuk menggunakan volume tidal yang
kecil ( 6 – 10 ml/kgBB ). Ketika ProSeal LMA digunakan untuk periode
memanjang, fungsi respirasi harus dimonitor secara ketat dan tekanan
intracuff harus diperiksa secara periodik dan dipertahankan lebih rendah
dari 60 cmH2O. Akhirnya resiko terjadinya inflasi lambung harus secara
aktif disingkirkan dengan mendengarkan daerah leher dan abdomen dengan
menggunakan stetoskop.
Gambar. ProSeal LMA
4. Flexible LMA
Bentuk dan ukuran mask nya hampir menyerupai cLMA, dengan airway
tube terdapat gulungan kawat yang menyebabkan fleksibilitasnya
meningkat yang memungkinkan posisi proximal end menjauhi lapang bedah
tanpa menyebabkan pergeseran mask. Berguna pada pembedahan kepala
dan leher, maxillo facial dan THT. fLMA memberikan perlindungan yang
baik terhadap laryng dari sekresi dan darah yang ada diatas fLMA. Populer
digunakan untuk pembedahan nasal dan pembedahan intraoral, termasuk
tonsilektomi. Airway tube fLMA lebih panjang dan lebih sempit, yang akan
menaikkan resistensi tube dan work of breathing. Ukuran fLMA : 2 – 5.
Insersi fLMA dapat lebih sulit dari cLMA karena flexibilitas airway tube.
Mask dapat ber rotasi 180 pada sumbu panjangnya sehingga masknya
mengarah ke belakang. Harga fLMA kira-kira 30 % lebih mahal dari cLMA
dan direkomendasikan untuk digunakan 40 kali.
Cuff harus diinflasi sebeum dilakukan koneksi dengan sirkuit pernafasan.Lima test
sederhana dapat dilakukan untuk meyakinkan ketepatan posisi cLMA:
1. End point” yang jelas dirasakan selama insersi.
2. Posisi cLMA menjadi naik keluar sedikit dari mulut saat cuff di inflasi.
3. Leher bagian depan tampak mengelembung sedikit selama cuff di inflasi.
4. Garis hitam di belakang cLMA tetap digaris tengah.
5. Cuff cLMA tidak tampak dimulut.
BAB III
PEMBAHASAN
Pada tanggal 15 April 2019, dilakukan asesmen pre operasi pada pasien atas
nama An. MZ dengan diagnose tumor penis. Kondisi pasien tersebut sehat baik
fisiologis, psikiatrik dan didapatkan riwayat penyakit dahulu asma, sehingga masuk
kategori ASA II, klasifikasi Mallampati 1 dan puasa yang cukup lebih dari 6 jam,
pasien siap untuk di operasi. Rencana jenis anestesi yang akan dilakukan adalah
anestesi umum dengan LMA.
Pada pre medikasi pasien diberikan injeksi Fentanyl sebanyak 50 mcg yang
telah diencerkan dengan aquadest, fentanyl merupakan analgesik narkotik, derivat
agonis sintetik opioid fenil piperidin dan sebagai anestetik 75-125x lebih poten,
namun memiliki durasi yang lebih singkat dari Morfin. Onset kerja cepat (±5 menit)
dengan durasi 30 menit dosis tunggal. Terikatnya opioid pada reseptor
menghasilkan pengurangan masuknya ion Ca2+ ke dalam sel, selain itu
mengakibatkan pula hiperpolarisasi dengan meningkatkan masuknya ion K+ ke
dalam sel merupakan mekanisme kerja dari Fentanyl
Pasien di anestesi umum dengan LMA menggunakan Propofol yang
merupakan obat anestesi / induksi yang paling sering digunakan dengan dosis 100
mg. Derivat phenol bekerja dengan menghambat neurotransmitter yang di mediasi
GABA. Melalui mekanisma pada reseptor GABAA di hippocampus, propofol
menghambat pelepasan acethylcoline pada hippocampus dan korteks prefrontal.
Waktu paruh propofol pendek hanya 2-8 menit dengan dosis 1-2,5 mg/kgBB
intravena. Setelah pasien berhasil di induksi, LMA di insersi lalu dipastikan LMA
masuk dengan baik dengan bagging dan melihat kedua paru mengembang simetris.
Selama operasi di maintenance dengan O2 + N2O masing-masing 2 lpm dan
Sevoflurane yang merupakan obat anestesi inhalasi berbentuk cairan derivate eter
dengan kelarutan dalam darah yang lebih rendah dari halotan, enfluran dan
isofluran.
Analgetika yang diberikan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa
nyeri tanpa mempengaruhi susunan saraf pusat atau menurunkan kesadaran juga
tidak menimbulkan ketagihan. Obat yang digunakan ketorolac, merupakan anti
inflamasi non steroid (AINS) bekerja pada jalur oksigenasi menghambat biosintesis
prostaglandin dengan analgesic yang kuat secara perifer atau sentral. Juga memiliki
efek anti inflamasi dan antipiretik. Ketorolac dapat mengatasi rasa nyeri ringan
sampai berat pada kasus emergensi seperti pada pasien ini. Mula kerja efek
analgesia ketorolac mungkin sedikit lebih lambat namun lama kerjanya lebih
panjang dibanding opioid. Efek analgesianya akan mulai terasa dalam pemberian
IV/IM, lama efek analgesic adalah 4-6 jam.
Pasien juga diberika ondansetron 4 mg/2 ml. Ondansetron merupakan suatu
antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif yang diindikasikan sebagai pencegahan
dan pengobatan mual dan muntah pasca bedah. Pelepasan 5HT3 ke dalam usus
dapat merangsang refleks muntah dengan mengaktifkan serabut aferen vagal lewat
reseptornya. Ondansetron diberikan pada pasien ini untuk mencegah mual dan
muntah yang bisa menyebabkan aspirasi
Pasca operasi, penderita dibawa ke ruang pulih untuk diawasi secara
lengkap dan baik. Hingga kondisi penderita stabil dan tidak terdapat kendala-
kendala yang berarti, Pasien dibawa ke bangsal dalam keadaan cukup baik dimana
dilakukan observasi menggunakan Stewart Score bernilai 6. Di bangsal yang harus
diperhatikan adalah :
a. Kontrol tekanan darah, nadi, dan respirasi setiap 15’ sampai 2 jam post
operasi
b. Jika ada mual muntah diberikan ondansetron 4 mg intravena
c. Jika pasien kesakitan diberikan ketorolac 30 mg intravena
d. Jika nadi < 60 kali/menit diberikan sulfas atropine 0,25 mg intravena
e. Jika tekanan darah sistolik <90 mmHg diberikan efedrin 10 mg intravena
f. Makan & minum pelan dan bertahap
g. Apabila terdapat sesak nafas, segera lapor dr. Anestesi atau dr. jaga
BAB IV
KESIMPULAN
1. Pasien usia tahun 9 tahun dengan tumor penis dan kondisi pasien tersebut sehat
organik namun memiliki riwayat asma, fisiologik, psikiatrik, dan biokimia
digolongkan sebagai ASA II dan siap di operasi
2. Premedikasi yang digunakan adalah Fentanyl 100mcg yang telah diencerkan
(1 ampul).
3. Induksi anestesi menggunakan Propofol dengan dosis 100 mg, setelah induksi
berhasil LMA di insersi dan pasien di maintenance dengan O2 + N2O dan
Sevoflurane
4. Selama akhir operasi pasien diberikan analgetik berupa ketorolac sebagai anti
nyeri , ondansentron sebagai anti mual dan asam traneksamat untuk mencegah
perdarahan.
5. Pasca operasi, penderita dibawa ke ruang pulih untuk diawasi secara lengkap
dan baik. Pasien keluar bangsal dengan Stewart Score 6 dan diberikan instruksi
paska operasi, sebagai penanganan jika terjadi efek anestesi yang masih tersisa.
DAFTAR PUSTAKA
Cook TM, Lee G, Nolan JP. 2005. The ProSeal laryngeal mask airway ; a
review of the literature. Can j Anesth ; 52 : 739 - 760