PASIEN OPERASI
Disusun Oleh :
42160059
Pembimbing :
YOGYAKARTA
2016
BAB I
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. AK
Usia : 13 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Kendaga, Banjarnegara
Tgl masuk RS : 10 Agustus 2017
ANAMNESA
Keluhan Utama
Terdapat benjolan di pergelangan tangan sebelah kiri
Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan dirasakan sejak ± 2 minggu yang lalu, benjolan tidak
membesar dan nyeri ketika menulis (NPS:2), OS merasakan
benjolan tersebut mengganggu. Tidak terdapat keluhan demam
sebelumnya. Pasien sebelumnya tidak pernah memeriksakan
keluhannya ke dokter.
Riwayat Penyakit Dahulu : Mondok di RS (+), DM (-), HT (-),
Asma (-), penyakit jantung (-)
Riwayat Alergi : Obat (-), makanan (-)
Riwayat Penyakit Keluarga : DM (-), HT (-), Asma (-), Jantung
(-), tidak ada keluarga yang mengalami gangguan serupa
Life Style : Olahraga rutin (-), merokok (-), alkohol (-), kopi (-), teh
(-), makan teratur 3x sehari
A : Airway
Jalan napas : Bebas (tidak menggunakan alat bantu nafas)
Hidung : Sumbatan (-)
Mulut : Gigi palsu/goyang/maju/ompong (-)
Lidah : Simetris, ukuran normal.
Faring : Malampati 1
Mandibula : Tidak ada kelainan mandibula
B : Breathing
Respirasi : 26 x/menit
Suara nafas : Vesikuler ( + / +), Rh (- / -)
Pergerakkan dinding dada : simetris
C : Circulation
Tekanan darah :-
Nadi : Nadi kuat, reguler 82 x/menit
CRT : < 2 detik
Kondisi akral : Hangat
D : Disability
Keadaan umum : Baik
GCS : E4V5M6
DIAGNOSA KERJA
Diagnosa Medis : Kista Ganglion
Diagnosa Tindakan : Eksisi Kista Ganglion
Rencana Anestesi : Anestesi umum dengan LMA
Diagnosis Anestesi : ASA I / Non Emergency
Persiapan Anestesi : Makan minum terakhir jam 08.30 WIB
PELAKSANAAN OPERASI
Identitas : (sesuai yang tercantum)
Dokter bedah : dr. Samuel Zacharias, Sp.B, MM
Dokter anestesi : dr. Yos Kresna W., M. Sc, Sp.An
Operasi : 14.45-15.15 WIB
Obat yang disediakan :
Propofol 10 mg/ml (20 ml)
Fentanyl 100 mcg diencerkan dengan aquadest sampai 10 mL
(diberikan 50mcg atau 5 mL)
Ondansentron 4 mg/2ml
Ketorolac 30 mg
S : Scope ; Stetoskop dan laringoscope
T : Tube ; LMA, Goodel
A : Airways ; Mayo
T : Tape ; Hipafix
I : Inserter ; kawat
C : Connector
S : Suction
Prosedur Anastesi :
Pasien diposisikan secara terlentang dipasang tensimeter pada tangan kiri
dan pulseoxymetri pada tangan kanan.
Disuntikan Fentanyl 1 ml yang telah diencerkan sebagai pre medikasi
kemudian dilakukan penyuntikan Recofol 100 mg
Ditunggu hingga pasien tertidur kemudian dilakukan pemeriksaan refleks
pada bulu mata pasien, jika sudah tidak ada reflek dilakukan oksigenasi
menggunakan sungkup wajah (face mask) selama 3 menit (hiperventilasi)
hingga saturasi oksigen pada pasien 100%.
Posisikan kepala pasien secara ekstensi dan lakukan jaw thurst maneuver
kemudian LMA diinsersi mengikuti posisi anatomis dari jalan napas pasien.
Dilakukan bagging manual menggunakan tangan agar mempertahankan
saturasi oksigen pasien 95-100%
Kemudian dilakukan fiksasi menggunakan hipafix
Dilakukan maintenance selama operasi menggunakan Oksigen, N2O dan
Sevoflurane.
Hemodinamik durante operasi :
Waktu Tekanan Darah (mmHg) Nadi (x/menit)
14.45 - 100
15.00 - 716
15.15 - 116
TINJAUAN PUSTAKA
I. ANASTESI UMUM
Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral
disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible.
Anestesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur bedah yang akan
menimbulkan sakit yang tak tertahankan, mempotensiasi eksaserbasi fisiologis
yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan.
Didalam praktek obat-obat anastesi dimasukkan ke dalam tubuh melalui
inhalasi, atau parenteral, ada pula yang dimasukkan melalui rektal tetapi jarang
dilakukan. Yang melalui inhalasi antara lain : N2O, halotan, enflurane, ether,
isoflurane, sevoflurane, metixiflurane, trilene.
Yang melalui parenteral :
Intravena antara lain penthotal, ketamine, propofol, etomidat dan golongan
benzodiazepine.
Intramuskuler antara lain ketamine.
V. KLASIFIKASI ASA
Setiap pasien memerlukan penilaian status fisis untuk menunjukkan apakah
kondisi tubuhnya normal atau mempunyai kelainan yang memerlukan
perhatian khusus. Status fisis dinyatakan dalam status ASA (American
Society of Anesthesiologist), dibagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu :
a. ASA I : Pasien sehat, tidak ada gangguan organik, fisiologis atau
kejiwaan, tidak sangat muda atau terlalu tua, sehat dengan toleransi
latihan yang baik
b. ASA II : Pasien memiliki kelainan sistemik ringan, memiliki
penyakit yang terkendali dengan baik
c. ASA III : Pasien dengan kelainan sistemik berat; terdapat beberapa
kelainan fungsional, memiliki penyakit lebih dari satu sistem tubuh
atau satu system utama yang terkendali; tidak ada bahaya kematian
d. ASA IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat + incapacitance
(misalnya pasien dengan gagal jantung derajat 3), kemungkinan
risiko kematian
e. ASA V : Pasien yang dengan atau tanpa operasi diperkirakan
meninggal dalam 24 jam atau tidak diharapkan untuk hidup lebih dari
24 jam tanpa operasi
VI. CARA MEMBERIKAN ANASTESI
Untuk memberikan anastesi, keselamatan penderita harus diutamakan
karena itu sebelum memberikan anastesi harus dilakukan:
Penilaian keadaan/status penderita apakah tindakan anastesi aman
dilakukan kepada penderita tersebut.
Semua obat-obat anastesi dan obat-obat emergency (obat untuk
pertolongan darurat) harus siap digunakan dan tersedia dalam
jumlah yang cukup dan memungkinkan ada jalur masuknya obat
tersebut ke tubuh pasien.
Semua peralatan anastesi, saluran gas, alat penghisap lendir dan alat-
alat monitor pasien dipastikan berfungsi dengan baik dan siap
digunakan.
Disamping itu harus ada asisten terlatih yang sewaktu-waktu bisa
membantu bila diperlukan dan jangan menggunakan alat-alat, obat-
obat dan teknik yang belum dikuasai/dimengerti betul tanpa
pengawasan ahlinya.
Pemberian anastesi dimulai dengan induksi yaitu memberikan obat
sehingga penderita tidur. Tergantung lama operasinya, untuk operasi
yang waktunya pendek mungkin cukup induksi saja. Tetapi untuk
operasi yang lama, kedalaman anastesi perlu dipertahankan dengan
memberikan obat terus menerus dengan dosis tertentu, hal ini
disebut maintenance atau pemeliharaan, setelah tindakan selesai
pemberian obat anastesi dihentikan dan fungsi tubuh penderita
dipulihkan, periode ini disebut dengan pemulihan/recovery.
3. ProSeal LMA
LMA Proseal mempunyai 2 gambaran design yang menawarkan
keuntungan lebih dibandingkan LMA standar selama melakukan ventilasi
tekanan positif. Pertama, tekanan jalan nafas yang lebih baik yang
berhubungan dengan rendahnya tekanan pada mukosa. Kedua, LMA
Proseal terdapat pemisahan antara saluran pernafasan dengan saluran
gastrointestinal, dengan penyatuan drainage tube yang dapat mengalirkan
gas-gas esofagus atau memfasilitasi suatu jalur tube orogastric untuk
dekompresi lambung. PLMA diperkenalkan tahun 2000. PLMA
mempunyai “mangkuk” yang lebih lunak dan lebih lebar dan lebih dalam
dibandingkan cLMA. Terdapat drainage tube yang melintas dari ujung
mask, melewati “mangkuk” untuk berjalan paralel dengan airway tube.
Ketika posisinya tepat, drain tube terletak dipuncak esofagus yang
mengelilingi cricopharyngeal, dan “mangkuk” berada diatas jalan nafas.
Lebih jauh lagi, traktus GI dan traktus respirasi secara fungsi terpisah.
PLMA di insersi secara manual seperti cLMA. Akhirnya saat insersi sulit
dapat melalui suatu jalur rel melalui suatubougie yang dimasukkan kedalam
esofagus. Tehnik ini paling invasif tetapi paling berhasil
denganmisplacement yang kecil. Terdapat suatu teori yang baik dan bukti
performa untuk mendukung gambaran perbandingan antara cLMA dengan
PLMA, berkurangnya kebocoran gas, berkurangnya inflasi lambung, dan
meningkatnya proteksi dari regurgitasi isi lambung. Akan tetapi, semua ini
sepenuhnya tergantung pada ketepatan posisi alat tersebut Harga PLMA
kira-kira 10 % lebih mahal dari cLMA dan direkomendasikan untuk 40 kali
pemakaian. Pada pasien dengan keterbatasan komplian paru atau
peningkatan tahanan jalan nafas, ventilasi yang adekuat tidak mungkin
karena dibutuhkan tekanan inflasi yang tinggi dan mengakibatkan
kebocoran. Modifikasi baru, Proseal LMA telah dikembangkan untuk
mengatasi keterbatasan ini dengan cuf yang lebih besar dan tube drain yang
memungkinkan insersi gastric tube. Versi ini sering lebih sulit untuk
insersinya dan pabrik merekomendasikan dengan bantuan introduser kaku.
Pada suatu penelitian, ProSeal LMA juga dapat digunakan dalam jangka
waktu panjang ( 40 jam ) tanpa menyebabkan tekanan yang berlebihan dan
kerusakan mukosa hypopharing. Laporan terakhir, satu kasus injury nervus
lingual telah dilaporkan saat pemakaian ProSeal LMA. Sementara juga
dilaporkan terjadi hypoglossal palsies oleh karena pemakaian clasic LMA.
Meskipun begitu komplikasi tadi sangat jarang terjadi, frekwensi injury
pada nervus cranialis dapat dikurangi dengan cara menghindari trauma saat
dilakukan insersi, menggunakan ukuran yang sesuai dan meminimalisir
volume cuff. Disarankan untuk membatasi tekanan jalan nafas kurang dari
20 cmH2O selama inflasi paru dan untuk menggunakan volume tidal yang
kecil ( 6 – 10 ml/kgBB ). Ketika ProSeal LMA digunakan untuk periode
memanjang, fungsi respirasi harus dimonitor secara ketat dan tekanan
intracuff harus diperiksa secara periodik dan dipertahankan lebih rendah
dari 60 cmH2O. Akhirnya resiko terjadinya inflasi lambung harus secara
aktif disingkirkan dengan mendengarkan daerah leher dan abdomen dengan
menggunakan stetoskop.
4. Flexible LMA
Bentuk dan ukuran mask nya hampir menyerupai cLMA, dengan airway
tube terdapat gulungan kawat yang menyebabkan fleksibilitasnya
meningkat yang memungkinkan posisi proximal end menjauhi lapang bedah
tanpa menyebabkan pergeseran mask. Berguna pada pembedahan kepala
dan leher, maxillo facial dan THT. fLMA memberikan perlindungan yang
baik terhadap laryng dari sekresi dan darah yang ada diatas fLMA. Populer
digunakan untuk pembedahan nasal dan pembedahan intraoral, termasuk
tonsilektomi. Airway tube fLMA lebih panjang dan lebih sempit, yang akan
menaikkan resistensi tube dan work of breathing. Ukuran fLMA : 2 – 5.
Insersi fLMA dapat lebih sulit dari cLMA karena flexibilitas airway tube.
Mask dapat ber rotasi 180 pada sumbu panjangnya sehingga masknya
mengarah ke belakang. Harga fLMA kira-kira 30 % lebih mahal dari cLMA
dan direkomendasikan untuk digunakan 40 kali.
Gambar 5. Flexible LMA
XI. TEKNIK ANESTESI LMA
Indikasi:
a. Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET
untukairway management. LMA bukanlah suatu penggantian ET,
ketika pemakaian ET menjadi suatu indikasi.
b. Pada penatalaksanaan dificult airway yang diketahui atau yang tidak
diperkirakan.
c. Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak
sadarkan diri.
Kontraindikasi:
a. Pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung ( penggunaan pada
emergency adalah pengecualian ).
b. Pasien-pasien dengan penurunan compliance sistem pernafasan,
karenaseal yang bertekanan rendah pada cuff LMA akan mengalami
kebocoran pada tekanan inspirasi tinggi dan akan terjadi
pengembangan lambung. Tekanainspirasi puncak harus dijaga
kurang dari 20 cm H2O untuk meminimalisir kebocoron cuff dan
pengembangan lambung.
c. Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik
jangka waktu lama.
d. Pasien-pasien dengan reflex jalan nafas atas yangintack karena
insersi dapat memicu terjadinya laryngospasme.
Efek Samping :
Efek samping yang paling sering ditemukan adalah nyeri tenggorok, dengan
insidensi 10 % dan sering berhubungan dengan over inflasi cuff LMA. Efek
samping yang utama adalah aspirasi
Teknik Induksi dan Insersi :
Untuk melakukan insersi cLMA membutuhkan kedalaman anestesi yang lebih
besar. Kedalaman anestesi merupakan suatu hal yang penting untuk keberhasilan
selama pergerakan insersi cLMA dimana jika kurang dalam sering membuat posisi
mask yang tidak sempurna Sebelum insersi, kondisi pasien harus sudah tidak ber
respon dengan mandibula yang relaksasi dan tidak ber-respon terhadap tindakan
jaw thrust. Tetapi, insersi cLMA tidak membutuhkan pelumpuh otot. Hal lain yang
dapat mengurangi tahanan yaitu pemakaian pelumpuh otot. Meskipun pemakaian
pelumpuh otot bukan standar praktek di klinik, dan pemakaian pelumpuh otot akan
mengurangi trauma oleh karena reflex proteksi yang di tumpulkan, atau mungkin
malah akan meningkatkan trauma yang berhubungan dengan jalan nafas yang
relax/menyempit jika manuver jaw thrust tidak dilakukan. Propofol merupakan
agen induksi yang paling tepat karena propofol dapat menekan refleks jalan nafas
dan mampu melakukan insersi cLMA tanpa batuk atau terjadinya gerakan.
Introduksi LMA ke supraglotis dan inflasi the cuff akan menstimulasi dinding
pharing akan menyebabkan peningkatan tekanan darah dan nadi. Perubahan
kardiovaskuler setelah insersi LMA dapat ditumpulkan dengan menggunakan dosis
besar propofol yang berpengaruh pada tonus simpatis jantung.
Jika propofol tidak tersedia, insersi dapat dilakukan setelah pemberian induksi
thiopental yang ditambahkan agen volatil untuk mendalamkan anestesi atau dengan
penambahan anestesi lokal bersifat topikal ke oropharing. Untuk memperbaiki
insersi mask, sebelum induksi dapat diberikan opioid beronset cepat (seperti
fentanyl atau alfentanyl). Jika diperlukan, cLMA dapat di insersi dibawah anestesi
topikal. Insersi dilakukan dengan posisi seperti akan dilakukan laryngoscopy
(Sniffing Position) dan akan lebih mudah jika dilakukan jaw thrust oleh asisten
selama dilakukan insersi. Cuff cLMA harus secara penuh di deflasi dan permukaan
posterior diberikan lubrikasi dengan lubrikasi berbasis air sebelum dilakukan
insersi.
Meskipun metode standar meliputi deflasi total cuff, beberapa klinisi lebih
menyukai insersi LMA dengan cuff setengah mengembang. Tehnik ini akan
menurunkan resiko terjadinya nyeri tenggorokan dan perdarahan mukosa pharing.
Dokter anestesi berdiri dibelakang pasien yang berbaring supine dengan satu tangan
men-stabilisasi kepala dan leher pasien, sementara tangan yang lain memegang
cLMA. Tindakan ini terbaik dilakukan dengan cara menaruh tangan dibawah
occiput pasien dan dilakukan ekstensi ringan pada tulang belakang leher bagian
atas. cLMA dipegang seperti memegang pensil pada perbatasan mask dan tube.
Rute insersi cLMA harus menyerupai rute masuknya makanan. Selama insersi,
cLMA dimajukan ke arah posterior sepanjang palatum durum kemudian
dilanjutkan mengikuti aspek posterior-superior dari jalan nafas. Saat cLMA
”berhenti” selama insersi, ujungnya telah mencapai cricopharyngeus (sfingter
esofagus bagian atas) dan harusnya sudah berada pada posisi yang tepat. Insersi
harus dilakukan dengan satu gerakan yang lembut untuk meyakinkan ”titik akhir”
teridentifikasi
Cuff harus diinflasi sebeum dilakukan koneksi dengan sirkuit pernafasan.Lima test
sederhana dapat dilakukan untuk meyakinkan ketepatan posisi cLMA:
1. End point” yang jelas dirasakan selama insersi.
2. Posisi cLMA menjadi naik keluar sedikit dari mulut saat cuff di inflasi.
3. Leher bagian depan tampak mengelembung sedikit selama cuff di inflasi.
4. Garis hitam di belakang cLMA tetap digaris tengah.
5. Cuff cLMA tidak tampak dimulut.
Anatomi
Ganglion terjadi pada sendi, oleh karena itu perlu diketahui mengenai
anatomi sendi. Ganglion ditemukan pada sendi diartrodial yang merupakan jenis
sendi yang dapat digerakkan dengan bebas dan ditemukan paling sering pada wrist
joint. Hal ini mungkin diakibatkan banyaknya gerakan yang dilakukan oleh wrist
joint sehingga banyak gesekan yang terjadi antar struktur di daerah tersebut
sehingga memungkinkan terjadinya reaksi inflamasi dan pada akhimya
mengakibatkan timbulnya ganglion. Selain itu wrist joint mempakan sendi yang
kompleks karena terdiri dari beberapa tulang sehingga kemungkinan timbulnya
iritasi atau trauma jaringan lebih besar.
Jenis sendi diartrodial mempunyai unsur-unsur seperti rongga sendi dan
kapsul sendi. Kapsul sendi terdiri dari selaput penutup fibrosa padat serta sinovium
yang membentuk suatu kantung yang melapisi seluruh sendi dan membungkus
tendon-tendon yang melintasi sendi. Sinovium tidak terlalu meluas melampaui
permukaan sendi tetapi terlipat sehingga memungkinkan gerakan sendi secara
penuh. Lapisan-lapisan bursa di seluruh persendian membentuk sinovium.
Sinovium menghasilkan caiIan yang sangat kental yang membasahi permukaan
sendj. Cairan sinovial normalnya bening, tidak membeku, clan tidak berwama.
Jumlah yang ditemukan pada tiap sendi relatif sedikit (1-3 ml). Asam hialuronidase
adalah senyawa yang bertanggung jawab atas viskositas cairan sinovial dan
disintesis oleh sel sel pembungkus sinovial. Bagian cair dari cairan sinovial
diperkirakan berasal dari transudat plasma. Cairan sinovial juga bertindak sebagai
sumber nutrisi bagi tulang rawan sendi.
Epidemiologi
Etiologi
Patofisiologi
Normalnya, sendi dari tendon dilumasi oleh cairan khusus yang terkunci di
dalam sebuah kompanemen kecil. Kadang, akibat arhritis, cedera atau tanpa sebah
yang jelas, terjadi kebocoran dari kompartemen tersebut. Cairan tersebut kental
seperti madu, dan jika kebocoran tersebut kecil maka akan seperti lubang jarum
pada pasta gigi jika pasta gigi ditekan, walaupun lubangnya kecil dan pasta di
dalamnya kental, maka akan mengali: keluar dan begitu keluar, tidak dapat masuk
kembali. Hal ini bekerja hampir seperti katup satu arah, dan akan mengisi ruang di
luar area lubang. Ketika kita menggunakan tangan kita untuk bekerja, sendi akan
meremas dan menyebabkan tekanan yang besar pada kompanemen yang berisi
cairan tersebut ini dapat menyebabkan benjolan dengan tekanan yang besar
sehingga sekeras tulang.
PEMBAHASAN
Pada tanggal 10 Agustus 2017, dilakukan asesmen pre operasi pada pasien
atas nama An. AK dengan diagnose kista ganglion. Kondisi pasien tersebut sehat
baik fisiologis, psikiatrik dan tidak didapatkan riwayat penyakit dahulu sehingga
didapatkan hasil ASA I, klasifikasi Mallampati 1 dan puasa yang cukup lebih dari
6 jam, pasien siap untuk di operasi. Rencana jenis anestesi yang akan dilakukan
adalah anestesi umum dengan LMA.
Pada pre medikasi pasien diberikan injeksi Fentanyl sebanyak 50 mcg yang
telah diencerkan dengan aquadest, fentanyl merupakan analgesik narkotik, derivat
agonis sintetik opioid fenil piperidin dan sebagai anestetik 75-125x lebih poten,
namun memiliki durasi yang lebih singkat dari Morfin. Onset kerja cepat (±5 menit)
dengan durasi 30 menit dosis tunggal. Terikatnya opioid pada reseptor
menghasilkan pengurangan masuknya ion Ca2+ ke dalam sel, selain itu
mengakibatkan pula hiperpolarisasi dengan meningkatkan masuknya ion K+ ke
dalam sel merupakan mekanisme kerja dari Fentanyl
Pasien di anestesi umum dengan LMA menggunakan Propofol yang
merupakan obat anestesi / induksi yang paling sering digunakan dengan dosis 100
mg. Derivat phenol bekerja dengan menghambat neurotransmitter yang di mediasi
GABA. Melalui mekanisma pada reseptor GABAA di hippocampus, propofol
menghambat pelepasan acethylcoline pada hippocampus dan korteks prefrontal.
Waktu paruh propofol pendek hanya 2-8 menit dengan dosis 1-2,5 mg/kgBB
intravena. Setelah pasien berhasil di induksi, LMA di insersi lalu dipastikan LMA
masuk dengan baik dengan bagging dan melihat kedua paru mengembang simetris.
Selama operasi di maintenance dengan O2 + N2O masing-masing 2 lpm dan
Sevoflurane yang merupakan obat anestesi inhalasi berbentuk cairan derivate eter
dengan kelarutan dalam darah yang lebih rendah dari halotan, enfluran dan
isofluran.
Analgetika yang diberikan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa
nyeri tanpa mempengaruhi susunan saraf pusat atau menurunkan kesadaran juga
tidak menimbulkan ketagihan. Obat yang digunakan ketorolac, merupakan anti
inflamasi non steroid (AINS) bekerja pada jalur oksigenasi menghambat biosintesis
prostaglandin dengan analgesic yang kuat secara perifer atau sentral. Juga memiliki
efek anti inflamasi dan antipiretik. Ketorolac dapat mengatasi rasa nyeri ringan
sampai berat pada kasus emergensi seperti pada pasien ini. Mula kerja efek
analgesia ketorolac mungkin sedikit lebih lambat namun lama kerjanya lebih
panjang dibanding opioid. Efek analgesianya akan mulai terasa dalam pemberian
IV/IM, lama efek analgesic adalah 4-6 jam.
Pasien juga diberika ondansetron 4 mg/2 ml. Ondansetron merupakan suatu
antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif yang diindikasikan sebagai pencegahan
dan pengobatan mual dan muntah pasca bedah. Pelepasan 5HT3 ke dalam usus
dapat merangsang refleks muntah dengan mengaktifkan serabut aferen vagal lewat
reseptornya. Ondansetron diberikan pada pasien ini untuk mencegah mual dan
muntah yang bisa menyebabkan aspirasi
Pasca operasi, penderita dibawa ke ruang pulih untuk diawasi secara
lengkap dan baik. Hingga kondisi penderita stabil dan tidak terdapat kendala-
kendala yang berarti, Pasien dibawa ke bangsal dalam keadaan cukup baik dimana
dilakukan observasi menggunakan Stewart Score bernilai 9. Di bangsal yang harus
diperhatikan adalah :
a. Kontrol tekanan darah, nadi, dan respirasi setiap 15’ sampai 2 jam post
operasi
b. Jika ada mual muntah diberikan ondansetron 4 mg intravena
c. Jika pasien kesakitan diberikan ketorolac 30 mg intravena
d. Jika nadi < 60 kali/menit diberikan sulfas atropine 0,25 mg intravena
e. Jika tekanan darah sistolik <90 mmHg diberikan efedrin 10 mg intravena
f. Makan & minum pelan dan bertahap
g. Apabila terdapat sesak nafas, segera lapor dr. Anestesi atau dr. jaga
BAB IV
KESIMPULAN
1. Pasien usia tahun 13 tahun dengan Kista Ganglion dan kondisi pasien tersebut
sehat organik, fisiologik, psikiatrik, dan biokimia digolongkan sebagai ASA I
dan siap di operasi
2. Premedikasi yang digunakan adalah Fentanyl 100mcg yang telah diencerkan
(1 ampul).
3. Induksi anestesi menggunakan Propofol dengan dosis 100 mg, setelah induksi
berhasil LMA di insersi dan pasien di maintenance dengan O2 + N2O dan
Sevoflurane
4. Selama akhir operasi pasien diberikan analgetik berupa ketorolac sebagai anti
nyeri , serta ondansentron sebagai anti mual.
5. Pasca operasi, penderita dibawa ke ruang pulih untuk diawasi secara lengkap
dan baik. Pasien keluar bangsal dengan Stewart Score 9 dan diberikan instruksi
paska operasi, sebagai penanganan jika terjadi efek anestesi yang masih tersisa.
DAFTAR PUSTAKA
Cook TM, Lee G, Nolan JP. 2005. The ProSeal laryngeal mask airway ; a
review of the literature. Can j Anesth ; 52 : 739 - 760