Anda di halaman 1dari 10

REFLEKSI KASUS STASE KULIT

KELAMIN
“DKA e.c Lotion”

Dosen Pembimbing:
dr. Dwi Retno Adi Winarni, Sp. KK (K)

Disusun Oleh:
Adelia Novia Sani (42170201)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT KELAMIN


RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA
PERIODE 21 Mei – 15 Juni 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2018
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : NN. M
Usia : 23 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Kunjungan ke klinik : 23 Mei 2018

II. ANAMNESA
A. Keluhan Utama
Gatal, bintil-bintil kemerahan di lengan bawah dan tungkai kanan dan kiri sudah 2
minggu yang lalu.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Gatal, merah dan bintik-bintik timbul setelah memakai Lotion M2J. Sebelumnya
belum pernah memakai lotion tersebut. Lotion sudah dipakai sekitar 1 bulan yang lalu,
mulai bulan April. Sudah berhenti memakai lotion tersebut sekitar 2 minggu yang lalu.
Jika terkena keringat gatal akan bertambah. Sudah pernah mencoba ke dokter umum,
diberikan obat cetirizine dan bedak namun gatal tidak membaik.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada riwayat penyakit terdahulu
D. Riwayat Operasi
Riwayat Operasi : Apendisitis
E. Riwayat Alergi
Tidak ada riwayat alergi
F. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada riwayat penyakit keluarga
G. Riwayat pengobatan
Riwayat pengobatan : cetirizine dan bedak
H. Life Style
Mandi sehari 2 kali, handuk ganti tiap 2 minggu.
III. PEMERIKSAAN FISIK:
Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Gizi : Cukup
Nadi dan RR : Tidak dilakukan pemeriksaan
Kepala : Tidak terdapat lesi UKK
Wajah : Tidak terdapat lesi UKK
Thoraks : Tidak terdapat lesi UKK
Abdomen : Tidak terdapat lesi UKK
Ekstremitas atas : Terdapat lesi UKK
Ekstremitas bawah : Terdapat lesi UKK
Status Lokalis
 Pada fossa cubiti dextra dan sinistra, fossa poplitea dextra dan sinistra
didapatkan patch eritem dan papula eritem multiple diskret, batas tegas,
bentuk reguler

IV. DIAGNOSA BANDING


Dermatitis Kontak Alergi
Dermatitis Kontak Iritan
Dermatitis Atopi
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.
Disarankan untuk dilakukan uji tempel/ patch test.

VI. DIAGNOSA KERJA


Dermatitis kontak alergi et causa Lotion M2J

VII. TATALAKSANA
Kortikosteroid oral
R/ prednison tab mg 5 NO. X
S.1.d.d. tab 1

Kortikosteroid topikal
R/ Desonid cr 0.05% 15 g NO I
S.2.d.d. ue (sehabis mandi paagi dan sore)

Anti Histamin
R/ Loratadine tab mg 10 NO X
S.1.d.d. tab I (jika gatal)

VIII. EDUKASI
a. Mengenai cara minum obat dan penggunaan obat topikal.
b. Menghindari bahan-bahan alergen.
c. Memakai pakaian yang tipis sehingga tidak menyebabkan gesekan dengan lesi
supaya tidak terlalu perih pada lesi.
d. Menjaga kebersihan kulit dan tidak menggaruk lesi.
e. Makan makanan bergizi dan istirahat yang cukup guna membantu proses
penyembuhan

IX. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : bonam
Quo ad Sanam : bonam
Quo ad Fungsionam : bonam
Quo ad Cosmeticam : bonam
X. RESUME
Pada tanggal 23 Mei 2018 seorang pasien wanita 23 tahun datang
memeriksakan diri ke Poli kulit dan kelamin RSB dengan keluhan gatal merah dan
berbintik pada kulit daerah lengan dan tungkai sejak 2 minggu yang lalu. Keluhan
muncul setelah pasien memakai lotion M2J. Pasien sudah memakai lotion tersebut
sudah 1 bulan yang lalu. Gatal dirasakan pada bagian tubuh yang diolesi oleh lotion
M2J. Pasien sudah meminum obat cetirizine untuk mengurangi keluhan gatal namun
keluhan belum membaik. Pada pemeriksaan fisik didapatkan ujud kelainan kulit
berupa; papula eritem multiple, batas tegas, bentuk bulat, diskert, dan patch eritem
batas tegas, bentuk ireguler, pada fossa cubiti dan fossa poplitea dextra dan sinistra.
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Dermatitis kontak merupakan peradangan yang terjadi pada kulit yang disebabkan
oleh bahan / substansi yang menempel pada kulit bisa akut, sub akut, dan kronis. Dermatitis
kontak alergi bisa terjadi pada seseorang yang telah mengalami sensitasi terhadap suatu
bahan penyebab / alergen.

B. Epidemiologi
Bila dibandingkan jumlah kejadian DKA lebih sedikit daripada DKI. Hal ini
disebabkan DKA hanya mengenai sebagian orang dengan keadaan kulit yang sangat peka
(hipersensitif). Pada penelitian yang dilakukan oleh Johnson dan Roberts terikat prevalensi
DKA berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur menunjukan bahwa terdapat
peningkatan prevalensi pada laki-laki. Pada wanita angka prevalensi meningkat umumnya
pada usia 40 tahun.
Pada penelitian yang dilakukan Paolo Pigatto dan kawan-kawan, didapatkan kejadian
DKA meningkat dengan seiring bertambahnya usia, tingkat prevalensi 13,3 - 24,5% telah
dilaporkan tetapi tingkat sensitifitas tertinggi ditemukan pada anak usia 0 – 3 tahun. Tidak
ada data yang cukup tentang epidemiologi dermatitis kontak alergi di Indonesia, namun
berdasarkan penelitian pada penata rias di Denpasar, sekitar 27,6 persen memiliki efek
samping kosmetik, dimana 25, 4 persen dari angka itu menderita DKA.
Diperkirakan kejadian DKI akibat kerja sebanyak 80% dan DKA sebanyak 20%,
namun data baru dari Inggris dan Amerika mencatat bahwa angka kejadian DKA akibat kerja
cukup tinggi yaitu 50-60%. Frekuensi kejadian DKA bukan akibat kerja 3 kali lebih banyak
dibandingkan dengan DKA akibat kerja.

C. Etiologi
Bahan alergen yang dapat menimbulkan reaksi hipersensitif yaitu bahan kimia
sederhana dengan berat molekul rendah. Contoh bahan kimia tersebut adalah hapten yang
bersifat lipofilik, sangat reaktif dan dapat menembus stratum korneum. Faktor yang dapat
mempengaruhi terhadap kejadian DKA yaitu faktor individu. Faktor individu sendiri melihat
dari bagian yang terpapar alergen, misal dari ketebalan kulit, kondisi stratum korneum,dll.
Status sistem imun dari individu sendiri dapat memicu reaksi hipersensitif.
D. Patofis iologi
Mekanisme terjadinya DKA diikuti oleh respon imun yang diperantarai oleh cell
mediated immmune respons atau reaksi hipersensitifitas tipe IV. Reaksi ini terjadi melalui
duua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi.
Fase Sensitisasi
Hapten sebagai alergen akan masuk ke epidermis melewati stratum korneum. Hapten
tersebuut akan ditangkap oleh sel Langerhans dengan proses pinositosis dan secara kimiawi,
dan terikat pada Human Leucocyte Antigen-DR (HLA-DR) supaya menjadi antigen yang
lengkap dan akan diekspresikan pada permukaan sel Langerhans. Sel langerhans pada saat
istirahat berfungsi sebagai makrofag dan hanya menstimulasi sedikit sel T. Setelah terpapar
oleh hapten yang memiliki sifat iritan, keratinosit akan melepaskan sitokin (IL-1) yang
nantinya akan mengaktifkan sel langerhans dan menambah stimulasi sel T. Sitokin lain yang
dilepaskan oleh keratinosit yaitu TNFα, yang akan mengaktivasi sel T, makrofag dan
granulosit, menginduksi perubahan molekul adhesi sel, dan meningkatkan MHC kelas 1 dan
2.
Sel langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan menstimulasi sel T untuk mensekresi
IL-2 dan mengekspresikan reseptor –IL-2. Sitokin tersebut akan menyebabkan proliferasi dan
diferensiasi sel T-spesifik sehingga lebih banyak dan berubah menjadi sel T memori atau sel-
T teraktifasi yang akan meninggalkan kelenjar getah bening dan beredar ke seluruh tubuh dan
kembali ke kulit.
Terjadinya sensitasi kontak tergantung pada sinyal iritan yang berasal dari alergen,
ambang rangsang terhadap respon iritan, bahan kimia yang menyebabkan inflamasi pada kulit.
Jadi, yang menyebabkan sensitasi tidak hanya berasal dari antigenik sendiri namun berasal
dari sifat iritasi dari alergen yang menyertai.
Fase Elistasi
Fase ini merupakan hipersensitivitas tipe lambat terjadi pada pajanan ulang alergen
yang sama atau serupa. Seperti pada fase sensitasi setelah sel langerhans mensekresi IL-1
yang akan merangsang sel-T untuk memproduksi IL-2 dan mengekspresi IL-2R yang akan
menyebabkan proliferasi dan ekspansi populasi sel-T dikulit. Sel-T akan terkativasi dan
mengeluarkan IFN-γ yang akan mengaktifkan keratinosit untuk mengekspresi ICAM-1 dan
HLA-DR. Fungsi dari ICAM-1 membuat keratinosit berinteraksi dengan sel T dan leukosit
lain, sedangkan HLA-DR memungkinkan keratinosit berinteraksi langsung dengan sel-T
CD4+ dan mempresentasikan antigen kepada sel tersebut.
Keratinosit menghasilkan beberapa sitokin yaitu IL-1, IL6, TNFα. Sitokin tersebut
dapat mengaktivasi sel-T. IL-1 akan merangsang keratinosit untuk menghasilkan eikosanoid.
Sitokin dan eikosaniod akan mengaktifkan sel mas dan makrofag. Sel mas dekat pembuluh
darah dermis akan melepaskan histamin, jenis faktor kemotatik, PGE2 dan PGD2 dan
leukotrien. Eikosanoid yang berasal dari sel mas akan menyebabkan dilatasi vaskular dan
meningkatkan permeabilitas sehingga mudah berdifusi ke dermis dan epidermis. Kejadian
tersebut akan menimbulkan respon klinik yang umumnya berlangsung 24-48 jam.

E. Pemeriksaan Fisik
Klinis DKA tergantung lokasi dan derajad keparahannya. Pada stadium akut akan
mulai terlihat patch eritematosa berbatas tegas, diikuti dengan edema, papulovesikel, vesikel
atau bula. Jika vesikel atau bula tersebut pecah akan menyebabkan erosi dan eksudasi. Pada
stadium subakut vesikel biasanya kurang menonjol dan mulai terjadi pengerasan kulit, skala,
likenifikasi. Pada stadium kronik, kulit mulai terlihat kering, berskuama, papul, likenifikasi,
dan fisura bisa dengan atau tanpa papulovesikelisasi, berbatas tidak tegas.
Jenis kulit pada tubuh yang berdea-beda akan mempengaruhi kemudahan tersensitisasinya.
Tekanan, gesekan, dan keringat adalah faktor yang meningkatkan sensitisasi. Kelopak mata,
leher, dan area genital merupakan daerah yang peka, sedangkan telapak tangan dan kaki
lebih resisten.

F. Pemeriksaan Penunjang
Pada kejadian DKA disarankan untuk melakukan pemeriksaan patch test atau uji
tempel. Pemerkiksaan tersebut bertujuan untuk memastikan bahan alergen mana yang
menyebabkan reaksi hipersensitif.

G. Tatalaksana
Farmakologis
 Topikal kortikosteroid digunakan sebagai antiinflamasi, supresi aktivitas mitotik,
dan vasokonstriksi. Efek steroid juga dapat mensupresi pengeluaran histamine,
sehingga bisa juga sebagai antipruritus.
Contoh obat Densonid krim 0,05% atau Fluosinolon asetonid 0,025%. Pada
manifestasi klinis pada pasien likenifikasi dan hiperpigmentasi bisa diberikan
Betametason valerat krim 0,1%
 Oral sistemik antihistamin bekerja dengan histamin terhadap reseptor histamin
sehingga mencegah kerja histamin pada organ target.
Contoh obat Cetirizine 10 mg 1x/hari atau Loratadine 10 mg 1x/hari maksimal 2
minggu.
Non-Farmakologi
 Pasien perlu mengidentifikasi faktor risiko yang menyebabkan alergi.
 Menghindari bahan-bahan yang bersifat kimia, mekanis, dan fisis.
 Menggunakan sabun dengan pH netral dan mengandung pelembab
.
H. Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi ini pada umumnya baik, sejauh dapat menghindari
bahan penyebabnya. Prognosisnya akan tidak baik apabila menjadi kronis dan telah terjadi
infeksi sekunder, atau sulit menghindari alergen penyebab misalnya berhubungan dengan
pekerjaan tertentu atau yang terdapat dilingkungan pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Adiani, A.D. 2014. Karakteristik Dermatitis Kontak Alergi (DKA) Di RSUP DR. Kariadi.
Jurnal Media Medika Muda. Diakses 29 Mei 2018.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=280298&val=4695&title=KAR
AKTERISTIK%20DERMATITIS%20KONTAK%20ALERGI%20(DKA)%20DI%
20RSUP%20DR.%20KARIADI.
Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S.2016. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke 7.
Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p.161-165.
Fansisca, S.K, Kurniawan, D.S. 2012. Efek Samping Kosmetika Pada Pekerja Salon di
Denpasar. Denpasar: FKUNUD. Diakses 29 Mei 2018.
Dvejournal.blogspot.com/p/efeksampingkosmetik.html?m=1.
Ikatan Dokter Indonesia. 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Primer Edisi Revisi Tahun 2014. p. 473-475.
Pierre, S.-M. 2004. Allergic Contact Dermatitis. Europe Journal of Dermatology, 14: 284-95.
Diakses 30 Mei 2018.
http://allergo.lyon.inserm.fr/urci/professionnels/Articles/24.pdf.

Anda mungkin juga menyukai