Oleh:
14220160010
CI LAHAN CI INSTITUSI
( ) ( )
MAKASSAR
2019
RESUME KEPERAWATAN PASIEN DENGAN RINOSINUSITIS AKUT PADA TN. R
DI RUANGAN POLI THT RS. BHAYANGKARA
Oleh:
14220160010
CI LAHAN CI INSTITUSI
( ) ( )
MAKASSAR
2019
A. PENGERTIAN
Rinosinusitis adalah peradangan mukosa nasal dan sinus paranasal, dikatakan kronis apabila
berlangsung paling sedikit 12 minggu (CDK, 2010)
Rinosinusitis kronik (RSK) atau sering disebut sinusitis kronik didefinisikan sebagai
gangguan akibat peradangan dan infeksi mukosa sinus paranasalis dan pada mukosa hidung
yang telah mengalami perubahan reversibel maupun irreversible dengan berbagai etiologi
dan faktor predisposisi dan 1,2,3 berlangsung lebih dari 12 minggu RSK masih merupakan
tantangan dan masalah dalam praktek umum maupun spesialis mengingat anatomi, etiologi
serta penanganannya yang kompleks (Harowi dkk, 2011)
B. KLASIFIKASI
Pinheiro et al. (1998) dalam CDK (2010), membagi rinosinusitis ditinjau dari lima aksis,
yaitu:
1. Gambaran klinis (akut, subakut, dan kronik)
Menurut Konsensus International (2004) dalam Soetjipto & Wardani (2007)
membagi rinosinusitis menjadi:
a. Akut dengan batas sampai 4 minggu
b. Sub akut bila terjadi antara 4 minggu sampai 3 bulan atau 12 minggu
c. Kronik bila lebih dari 3 bulan atau 12 minggu ,Rinosinusitis kronis adalah
peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal yang menetap selama lebih 12
minggu atau 4 kali serangan akut berulang pertahun yang masing-masing
serangan lebih dari 10 hari.
2. Lokasi sinus yang terkena (maksilaris, frontalis, ethmoidalis, dan sphenoidalis)
3. Organisme yang terlibat (virus, bakteri, atau jamur)
4. Keterlibatan ekstrasinus (komplikasi atau tanpa komplikasi)
5. Modifikasi penyebab spesifik (atopi, obstruksi komplek osteomeatal)
C. ETIOLOGI
1. Faktor Host
a. Umur, Jenis Kelamin dan Ras
Rinosinusitis kronik merupakan penyakit yang dapat mengenai semua kelompok
umur, semua jenis kelamin dan semua ras.
b. Riwayat Rinosinusitis Akut
Rinosinusitis akut biasanya didahului oleh adanya infeksi saluran pernafasan atas
seperti batuk dan influenza. Infeksi saluran pernafasan atas dapat menyebabkan
edema pada mukosa hidung, hipersekresi dan penurunan aktivitas mukosiliar.
Rinosinusitis akut yang tidak diobati secara adekuat akan menyebabkan regenerasi
epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap, akibatnya terjadi kegagalan
mengeluarkan sekret sinus dan menciptakan predisposisi infeksi.
c. Infeksi Gigi
Infeksi gigi merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis maksila.
Hal ini terjadi karena sinus maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan
akar gigi premolar dan molar atas. Hubungan ini dapat menimbulkan masalah klinis
seperti infeksi yang berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke atas dan
menimbulkan infeksi sinus maksila.
d. Rinitis Alergi
Alergi merupakan suatu penyimpangan reaksi tubuh terhadap paparan bahan asing
yang menimbulkan gejala pada orang yang berbakat atopi sedangkan pada
kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apapun.39 Rinitis alergi adalah suatu
penyakit manifestasi reaksi hipersensitifitas tipe I (Gell & Comb) yang diperantarai
oleh IgE dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran utama. Gejalanya berupa
hidung beringus, bersin-bersin, hidung tersumbat dan gatal.
Peranan alergi pada rinosinusitis kronik adalah akibat reaksi anti gen anti bodi
menimbulkan pembengkakan mukosa sinus dan hipersekresi. Mukosa sinus yang
membengkak dapat menyumbat ostium sinus dan mengganggu drainase sehingga
menyebabkan timbulnya infeksi, yang selanjutnya menghancurkan epitel permukaan.
Kejadian yang berulang terus-menerus dapat menyebabkan rinosinusitis kronis.
e. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis
kronik. Hal ini disebabkan penderita diabetes mellitus berada dalam
kondisi immunocompromised atau turunnya sistem kekebalan tubuh sehingga lebih
rentan terkena penyakit infeksi seperti rinosinusitis.
f. Asma
Asma merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis kronik.
Sebesar 25-30 % penderita asma dapat berkembang menjadi polip hidung sehingga
mengganggu aliran mukus.
g. Kelainan anatomi hidung
Kelainan anatomi seperti septum deviasi, bula etmoid yang membesar, hipertrofi atau
paradoksal konka media dan konka bulosa dapat mempengaruhi aliran ostium sinus,
menyebabkan penyempitan pada kompleks osteomeatal dan
menggangu clearance mukosilia sehingga memungkinkan terjadinya rinosinusitis.
h. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital seperti sindroma kartagener dan fibrosis kistik dapatmengganggu
transport mukosiliar (sistem pembersih). Sindrom kartagener atau sindrom
silia immortal merupakan penyakit yang diturunkan secara genetik, dimana terjadi
kekurangan/ketiadaan lengan dynein sehingga menyebabkan terjadinya gangguan
pada koordinasi gerakan silia dan disorientasi arah dari denyut silia. Gangguan pada
transport mukosiliar dan frekuensi denyut silia menyebabkan infeksi
kronis yang berulang sehingga terjadi bronkiektasis dan rinosinusitis. Pada
fibrosis kistik terjadi perubahan sekresi kelenjar yang menghasilkan mukus yang
kental sehingga menyulitkan pembersihan sekret. Hal ini menimbulkan stase mukus
yang selanjutnya akan terjadi kolonisasi kuman dan timbul infeksi.
2. Faktor Agent
Rinosinusitis kronik dapat disebabkan oleh beberapa bakteri patogen
seperti Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza, Moraxella
catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, Bacteroides,
Peptostreptococcus, Fusobacterium dan Basil gram (-). Selain bakteri, rinosinusitis
juga dapat disebabkan oleh virus (Rhinovirus, influenza virus, parainfluenza
virus dan Adenovirus) dan jamur (Aspergillus dan Candida).
3. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang memengaruhi terjadinya rinosinusitis kronik yaitu polusi
udara dan udara dingin. Paparan dari polusi udara dapat mengiritasi saluran hidung,
menyebabkan perubahan mukosa dan memperlambat gerakan silia. Apabila
berlangsung terus-menerus dapat menyebabkan rinosinusitis kronik. Udara dingin
akan memperparah infeksi karena menyebabkan mukosa sinus membengkak. Hal ini
membuat jalannya mukus terhambat dan terjebak di dalam sinus, yang kemudian
menyebabkan bakteri berkembang di daerah tersebut
E. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait 3 faktor: patensi ostium, fungsi silia dan kualitas
sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau kombinasi faktor-faktor tersebut merubah
fisiologi dan menimbulkan sinusitis. Kegagalan transpor mukus dan menurunnya ventilasi
sinus merupakan faktor utama berkembangnya rinosinusitis kronik.
Patofisiologi rinosinusitis kronik dimulai dari blokade akibat udem hasil proses radang di
area kompleks ostiomeatal. Blokade daerah kompleks ostiomeatal menyebabkan gangguan
drainase dan ventilasi sinus-sinus anterior. Sumbatan yang berlangsung terus menerus akan
mengakibatkan terjadinya hipoksi dan retensi sekret serta perubahan pH sekret yang
merupakan media yang baik bagi bakteri anaerob untuk berkembang biak. Bakteri juga
memproduksi toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi hipertrofi mukosa
yang memperberat blokade kompleks ostiomeatal. Siklus ini dapat dihentikan dengan
membuka blokade kompleks ostiomeatal untuk memperbaiki drainase dan aerasi sinus.
Faktor predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya; obstruksi mekanik seperti
septum deviasi, hipertrofi konkha media, benda asing di hidung, polip serta tumor di dalam
rongga hidung. Faktor sistemik yang mempengaruhi seperti malnutrisi, terapi steroid jangka
panjang, diabetes, kemoterapi dan defisiensi imun. Faktor lingkungan seperti polusi udara,
debu, udara dingin dan kering dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa dan kerusakan
silia.
Pathway
Pathway Rinosinusitis
Nyeri kepala pada sinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari, dan akan
berkurang atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti,
tetapi mungkin karena pada malam hari terjadi penimbunan ingus dalam rongga
hidung dan sinus serta adanya statis vena.
c. Nyeri pada penekanan
Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin terjadi pada penyakit di
sinus-sinus yang berhubungan dengan permukaan wajah
d. Gangguan penghindu
Indra penghindu dapat disesatkan (parosmia), pasien mencium bau yang tidak tercium
oleh hidung normal. Keluhan yang lebih sering adalah hilangnya penghindu
(anosmia). Hal ini disebabkan adanya sumbatan pada fisura olfaktorius didaerah
konka media. Oleh karena itu ventilasi pada meatus superior hidung terhalang,
sehingga menyebabkan hilangnya indra penghindu. Pada kasus kronis, hal ini dapat
terjadi akibat degenerasi filament terminal nervus olfaktorius, meskipun pada
kebanyakan kasus, indra penghindu dapat kembali normal setelah infeksi hilang.
2. Gejala Objektif
a. Pembengkakan dan udem
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit terkena secara akut, dapat terjadi
pembengkakan dan udem kulit yang ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari
mendapati sensasi seperti pada penebalan ringan atau seperti meraba beludru.
b. Sekret nasal
Mukosa hidung jarang merupakan pusat fokus peradangan supuratif, sinus-sinuslah
yang merupakan pusat fokus peradangan semacam ini.
Adanya pus dalam rongga hidung seharusnya sudah menimbulkan kecurigaan
adanya suatu peradangan dalam sinus. Pus di meatus medius biasanya merupakan
tanda terkenanya sinus maksila, sinus frontal atau sinus etmoid anterior, karena sinus-
sinus ini bermuara ke dalam meatus medius.
G. KOMPLIKASI
Kompikasi rinosinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukan antibiotika. Komplikasi
yang dapat terjadi ialah:
1. Osteomielitis dan abses subperiostal
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak.
Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral.
2. Kelainan Orbita
Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang paling
sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi
terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Variasi yang dapat timbul ialah
udema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat
terjadi trombosis sinus kavernosus.
3. Kelainan Intrakranial
Dapat berupa meningitis, abses ektradural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus.
4. Kelainan Paru
Seperti bronkitis kronis dan brokiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai denga
kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga timbul asma bronkial
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan palpasi turut membantu menemukan nyeri tekan pada daerah sinus yang
terkena disamping pemeriksan rinoskopi anterior dan rinoskopi posterior.
2. Transiluminasi
Transluminasi mempuyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk pemeriksaan
sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologik tidak tersedia.
3. Pemeriksaan radiologi
a. Foto rontgen sinus paranasal
Pemeriksaan radiologik yang dapat dibuat antara lain: Waters, PA dan Lateral. Tepi
mukosa sinus yang sehat tidak tampak pada foto rontgen, tetapi jika ada infeksi tepi
mukosa akan tampak karena udema permukaan mukosa. Permukaan mukosa yang
membengkak dan udema tampak seperti suatu densitas yang paralel dengan dinding
sinus.
Pembengkakan permukaan mukosa yang berbatas tegas pada resesus alveolaris
antrum maksila biasanya terjadi akibat infeksi yang berasal dari gigi atau daerah
periodontal.
Jika cairan tidak mengisi seluruh rongga sinus, selalu dapat dilihat adanya batas
cairan (air fluid level) pada foto dengan posisi tegak.
b. CT-Scan (Computer Tomography) sinus paranasal
Sinus maksila, rongga hidung, septum nasi dan konka terlihat pada penampang CT-
Scan aksial dan koronal. Pada sinusitis dengan komplikasi, CT-Scan adalah cara yang
terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah.
CT-Scan koronal dari sinus paling baik untuk pembedahan, memberikan
visualisasi yang baik tentang anatomi rongga hidung, komplek osteomeatal, rongga-
rongga sinus dan struktur-struktur yang mengelilinginya seperti orbita, lamina
kribiformis, dan kanalis optikus. Obstruksi anatomi pada komplek osteomeatal dan
kelainan-kelainan gigi akan terlihat jelas.
CT-Scan dapat menilai tingkat keparahan inflamasi dengan menggunakan sistem
gradasi yaitu staging Lund-Mackay. Sistem ini sangat sederhana untuk digunakan
secara rutin dan didasarkan pada skor angka hasil gambaran CT scan. Lund-MacKay
Radiologic Staging System ditentukan dari lokasi Gradasi Radiologik sinus maksila,
etmoid anterior, etmoid posterior dan sinus sphenoid, Penilaian Gradasi radiologik
dari 0-2, Gradasi 0 : Tidak ada kelainan, Gradasi 1 : Opasifikasi parsial Gradasi 2 :
Opasifikasi komplit.
4. Nasoendoskopi
Nasoendoskopi ini akan mempermudah dan memperjelas pemeriksaan karena dapat
melihat bagian-bagian rongga hidung yang berhubungan dengan faktor lokal penyebab
sinusitis.
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat melihat adanya kelainan septum nasi, meatus
media, konka media dan inferior, juga dapat mengetahui adanya polip atau tumor.
I. DIAGNOSIS
Gejala klinik rinosinusitis kronis menurut American Academy of Otolaryngic
Allergy (AAOA), dan American Rhinologic Society (ARS) adalah rinosinusitis yang
berlangsung lebih dari 12 minggu dengan 2 gejala mayor atau lebih atau 1 gejala mayor
disertai 2 gejala minor atau lebih (Setiadi M, 2009).
J. PENATALAKSANAAN
Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi septum, kelainan
atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid pada anak, polip, kista, jamur, gigi penyebab
sinusitis, dianjurkan untuk melakukan penatalaksanaan yang sesui dengan kelainan yang
ditemukan (Ulusoy, 2007).
Jika tidak ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah bakterial yang
memerlukan pemberian antibiotik dan pengobatan medik lainnya.
1. Medikamentosa
a. Antibiotika
Meskipun tidak memegang peran penting, antibiotika dapat diberikan sebagai
terapi awal. Pilihan antibiotika harus mencakup β-laktamase seperti pada terapi
sinusitis akut lini ke II, yaitu amoksisillin klavulanat atau ampisillin sulbaktam,
sefalosporin generasi kedua, makrolid, klindamisin. Jika ada perbaikan antibiotik
diteruskan mencukupi 10 – 14 atau lebih jika diperlukan.
Jika tidak ada perbaikan dapat dipilih antibiotika alternatif seperti
siprofloksasin, golongan kuinolon atau yang sesuai dengan kultur. Jika diduga ada
bakteri anaerob, dapat diberi metronidazole.
Jika dengan antibiotika alternatif tidak ada perbaikan, maka eveluasi
kembali apakah ada faktor predisposisi yang belum terdiagnosis dengan
pemeriksaan nasoendoskopi maupun CT-Scan.
b. Terapi Medik Tambahan
Dekongestan, Dekongestan berperan penting sebagai terapi awal mendampingi
antibiotik. Dekongestan oral menstimulasi reseptor α-adrenergik dimukosa hidung
dengan efek vasokontriksi yang dapat mengurang keluhan sumbatan hidung,
meningkatkan diameter ostium dan meningkatkan ventilasi.
Preparat yang umum adalah pseudoefedrine dan phenyl-propanolamine.
Karena efek peningkatan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung harus
dilakukan dengan hati-hati.
Dekongestan topikal mempunyai efek yang lebih cepat terhadap sumbatan
hidung, namun efeknya ini sebetulnya tidak fisiologik dan pemakaian jangka lama
(lebih dari 7 hari) akan menyebabkan rinitis medika mentosa.
Antihistamin, Alergi berperan sebagai penyebab sinusitis kronis pada
lebih dari 50% kasus, karenanya penggunaan antihistamin justru dianjurkan,
demikian juga kemungkinan imunoterapi.
Karena antihistamin generasi pertama mempunyai efek antikolinergik
yang tinggi, generasi kedua lebih disukai seperti azelastine, acrivastine,
cetirizine, fexofenadine dan loratadine.
Kortikosteroid, ada 2 jenis kortikosteroid, yaitu kortikosteroid
topikal dan kortikosteroid oral, kortikosteroid topikal mempunyai efek lokal
terhadap bersin, sekresi lendir, sumbatan hidung dan hipo/anosmia. Penemuannya
merupakan perkembangan besar dalam pengobatan rinitis dan sinusitis.
Penggunaannya kortikosteroid topikal meluas pada kelainan alergi dan
non-alergi. Meskipun obat semprot ini tidak mencapai komplek osteomeatal,
keluhan pasien berkurang karena udema di rongga hidung dan meatus medius
hilang.
A. PENGKAJIAN
1. Biodata
8. Pemeriksaan fisik
a. tatus kesehatan umum : keadaan umum , tanda viotal, kesadaran.
b. Pemeriksaan fisik data focus hidung : nyeri tekan pada sinus, rinuskopi (mukosa
merah dan bengkak)
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2015. Jakarta: Prima Medika