Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN RINOSINUSITIS

Oleh:

Wawan Adi Saputra Samsul

14220160010

CI LAHAN CI INSTITUSI

( ) ( )

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2019
RESUME KEPERAWATAN PASIEN DENGAN RINOSINUSITIS AKUT PADA TN. R
DI RUANGAN POLI THT RS. BHAYANGKARA

Oleh:

Wawan Adi Saputra Samsul

14220160010

CI LAHAN CI INSTITUSI

( ) ( )

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2019
A. PENGERTIAN
Rinosinusitis adalah peradangan mukosa nasal dan sinus paranasal, dikatakan kronis apabila
berlangsung paling sedikit 12 minggu (CDK, 2010)
Rinosinusitis kronik (RSK) atau sering disebut sinusitis kronik didefinisikan sebagai
gangguan akibat peradangan dan infeksi mukosa sinus paranasalis dan pada mukosa hidung
yang telah mengalami perubahan reversibel maupun irreversible dengan berbagai etiologi
dan faktor predisposisi dan 1,2,3 berlangsung lebih dari 12 minggu RSK masih merupakan
tantangan dan masalah dalam praktek umum maupun spesialis mengingat anatomi, etiologi
serta penanganannya yang kompleks (Harowi dkk, 2011)

B. KLASIFIKASI
Pinheiro et al. (1998) dalam CDK (2010), membagi rinosinusitis ditinjau dari lima aksis,
yaitu: 
1. Gambaran klinis (akut, subakut, dan kronik)
Menurut Konsensus International (2004) dalam Soetjipto & Wardani (2007)
membagi rinosinusitis menjadi:
a. Akut dengan batas sampai 4 minggu
b. Sub akut bila terjadi antara 4 minggu sampai 3 bulan atau 12 minggu 
c. Kronik bila lebih dari 3 bulan atau 12 minggu ,Rinosinusitis kronis adalah
peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal yang menetap selama lebih 12
minggu atau 4 kali serangan akut berulang pertahun yang masing-masing
serangan lebih dari 10 hari.
2.  Lokasi sinus yang terkena (maksilaris, frontalis, ethmoidalis, dan sphenoidalis)
3. Organisme yang terlibat (virus, bakteri, atau jamur)
4. Keterlibatan ekstrasinus (komplikasi atau tanpa komplikasi)   
5. Modifikasi penyebab spesifik (atopi, obstruksi komplek osteomeatal)

Klasifikasi lain didasarkan ditemukan ada tidaknya alergi, membagi rinosinusitis


menjadi alergi dan nonalergi atau berdasarkan ada tidaknya infeksi dibagi dalam rinosinusitis
infeksi dan noninfeksi. Rinosinusitis infeksi biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas
atas akut yang disebabkan virus, biasanya infeksi bakteri merupakan lanjutan dari infeksi
virus. Infeksi virus biasanya akan membaik tanpa terapi setelah 2 minggu. Virus yang biasa
menjadi penyebab adalah virus influenza, corona virus dan rinovirus. Infeksi virus sering
diikuti infeksi bakteri terutama kokkus (streptococcus pneumonia dan staphilococcus aureus)
dan haemophilus influenza. Rinosinusitis kronik noninfeksi Bisa disebabkan alergi, faktor
lingkungan (misalnya polutan) dan penyebab fisiologik atau yang berkaitan dengan usia
(misalnya rinitis vasomotor dan perubahan hormonal).
Pembagian berdasarkan derajat sinusitis digunakan gambaran radiologis untuk
menunjukkan berat ringannya penyakit. Pembagian secara radiologis telah banyak dilakukan
di antaranya menurut Lund MacKay. Pembagian menurut sistem Lund MacKay didasarkan
pada pengukuran obyektif kelainan masing-masing sinus dengan skor 0 bila tidak ditemukan
kelainan, skor 1 bila ditemukan opasitas parsial, skor 2 bila ditemukan opasitas total sinus,
dan penilaian patensi osteomeatal komplek. Sistem ini banyak dipakai karena mampu
mengukur kelainan masing-masing sinus secara obyektif, dapat dipakai untuk kasus
individual, dan mempertimbangkan kondisi komplek osteomeatal (Zeinreich, 2004).

C. ETIOLOGI
1. Faktor Host
a. Umur, Jenis Kelamin dan Ras
Rinosinusitis kronik merupakan penyakit yang dapat mengenai semua kelompok
umur, semua jenis kelamin dan semua ras.
b. Riwayat Rinosinusitis Akut
Rinosinusitis akut biasanya didahului oleh adanya infeksi saluran pernafasan atas
seperti batuk dan influenza. Infeksi saluran pernafasan atas dapat menyebabkan
edema pada mukosa hidung, hipersekresi dan penurunan aktivitas mukosiliar.
Rinosinusitis akut yang tidak diobati secara adekuat akan menyebabkan regenerasi
epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap, akibatnya terjadi kegagalan
mengeluarkan sekret sinus dan menciptakan predisposisi infeksi.
c. Infeksi Gigi
Infeksi gigi merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis maksila.
Hal ini terjadi karena sinus maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan
akar gigi premolar dan molar atas. Hubungan ini dapat menimbulkan masalah klinis
seperti infeksi yang berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke atas dan
menimbulkan infeksi sinus maksila.
d. Rinitis Alergi
Alergi merupakan suatu penyimpangan reaksi tubuh terhadap paparan bahan asing
yang menimbulkan gejala pada orang yang berbakat atopi sedangkan pada
kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apapun.39 Rinitis alergi adalah suatu
penyakit manifestasi reaksi hipersensitifitas tipe I (Gell & Comb) yang diperantarai
oleh IgE dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran utama. Gejalanya berupa
hidung beringus, bersin-bersin, hidung tersumbat dan gatal.
Peranan alergi pada rinosinusitis kronik adalah akibat reaksi anti gen anti bodi
menimbulkan pembengkakan mukosa sinus dan hipersekresi. Mukosa sinus yang
membengkak dapat menyumbat ostium sinus dan mengganggu drainase sehingga
menyebabkan timbulnya infeksi, yang selanjutnya menghancurkan epitel permukaan.
Kejadian yang berulang terus-menerus dapat menyebabkan rinosinusitis kronis.
e. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis
kronik. Hal ini disebabkan penderita diabetes mellitus berada dalam
kondisi immunocompromised atau turunnya sistem kekebalan tubuh sehingga lebih
rentan terkena penyakit infeksi seperti rinosinusitis.
f. Asma
Asma merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis kronik.
Sebesar 25-30 % penderita asma dapat berkembang menjadi polip hidung sehingga
mengganggu aliran mukus.
g. Kelainan anatomi hidung
Kelainan anatomi seperti septum deviasi, bula etmoid yang membesar, hipertrofi atau
paradoksal konka media dan konka bulosa dapat mempengaruhi aliran ostium sinus,
menyebabkan penyempitan pada kompleks osteomeatal dan
menggangu clearance mukosilia sehingga memungkinkan terjadinya rinosinusitis.
h. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital seperti sindroma kartagener dan fibrosis kistik dapatmengganggu
transport mukosiliar (sistem pembersih). Sindrom kartagener atau sindrom
silia immortal  merupakan penyakit yang diturunkan secara genetik, dimana terjadi
kekurangan/ketiadaan lengan dynein sehingga menyebabkan terjadinya gangguan
pada koordinasi gerakan silia dan disorientasi arah dari denyut silia. Gangguan pada
transport mukosiliar dan frekuensi denyut silia menyebabkan infeksi
kronis yang berulang sehingga terjadi bronkiektasis dan rinosinusitis. Pada
fibrosis kistik terjadi perubahan sekresi kelenjar yang menghasilkan mukus yang
kental sehingga menyulitkan pembersihan sekret. Hal ini menimbulkan stase mukus
yang selanjutnya akan terjadi kolonisasi kuman dan timbul infeksi.

2. Faktor Agent
Rinosinusitis kronik dapat disebabkan oleh beberapa bakteri patogen
seperti Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza, Moraxella
catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, Bacteroides,
Peptostreptococcus, Fusobacterium dan Basil gram (-). Selain bakteri, rinosinusitis
juga dapat disebabkan oleh virus (Rhinovirus, influenza virus, parainfluenza
virus  dan Adenovirus) dan jamur (Aspergillus dan Candida).
3. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang memengaruhi terjadinya rinosinusitis kronik yaitu polusi
udara dan udara dingin. Paparan dari polusi udara dapat mengiritasi saluran hidung,
menyebabkan perubahan mukosa dan memperlambat gerakan silia. Apabila
berlangsung terus-menerus dapat menyebabkan rinosinusitis kronik. Udara dingin
akan memperparah infeksi karena menyebabkan mukosa sinus membengkak. Hal ini
membuat jalannya mukus terhambat dan terjebak di dalam sinus, yang kemudian
menyebabkan bakteri berkembang di daerah tersebut

D. ANATOMI DAN FISIOLOGI


Sinus atau lebih dikenal dengan sinus paranasal merupakan rongga di dalam tulang
kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. Sinus paranasal terdiri
dari empat pasang sinus yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid, dan sinus sfenoid
kanan dan kiri. Sinus paranasal berfungsi sebagai pengatur kondisi udara, penahan suhu,
membantu keseimbangan kepala, membantu resonansi suara, peredam perubahan tekanan
udara, dan membantu produksi mucus untuk membersihkan rongga hidung.
Secara embriologik sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal.
Semua rongga sinus dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan dari mukosa hidung,
berisi udara dan semua sinus mempunyai muara (ostium) di dalam rongga hidung.
Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok anterior dan
posterior. Kelompok anterior terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel anterior sinus
etmoid. Kelompok posterior terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sfenoid.
Pembagian Sinus Paranasal
1. Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus
paranasal terbesar dan
terdapata pada daerah tulang
maksila. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang
mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml (34 x 33 x 23mm) saat berusia 15-18 tahun.
Bentuk sinus maksila ini adalah seperti piramida dengan bagian puncak menghadap
ke lateral dan meluas ke arah prosesus zygomatikus dari maksila.
Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang kadang juga gigi taring dan gigi
molar M3. Akar-akar gigi tsb dapat menonjol ke dalam sinus sehingga infeksi gigi
geligi mudah naik ke atas menyebabkan rinosinusitis.
2. Sinus Frontal
Sinus frontal terletak di os frontal dan mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus.
Sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran
maksimal sebelum usia 20 tahun.7 Volume sinus ini sekitar 6–7 ml (28 x 24 x 20
mm). Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk.
Tidak adanya gambaran lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan
adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita
dan fosa serebri anterior sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke
daerah ini.
3. Sinus Etmoid
Sinus etmoid merupakan struktur yang berisi cairan pada bayi yang baru dilahirkan.
Pada saat janin yang berkembang pertama adalah sel anterior diikuti oleh sel
posterior. Sel tumbuh secara berangsur-angsur sampai umur 12 tahun. Gabungan sel
anterior dan posterior mempunyai volume 15 ml (33 x 27 x 14 mm). Bentuk sinus
etmoid seperti piramid dan dibagi menjadi multipel sel oleh sekat yang tipis.
Dibagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus
frontal yang berhubungan dengan sinus frontal. Di dalam etmoid anterior terdapat
suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus
maksila. Peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan rinosinusitis frontal dan
peradangan di infindibulum dapat menyebabkan rinosinusitis maksila.
4. Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid merupakan rongga yang terletak di dasar tengkorak, tidak berhubungan
dengan dunia luar sehingga jarang terkena infeksi. Sinus ini terletak dalam os sfenoid
di belakang sinus etmoid posterior.7 Sinus sfenoid dibentuk di dalam kapsul rongga
hidung dari hidung janin dan tidak berkembang hingga usia 3 tahun.
Sinus mencapai ukuran penuh pada usia 18 tahun dengan volume sekitar 7,5 ml
(23 x 20 x 17 mm). Sebelah superior sinus sfenoid berbatasan dengan fosa serebri
media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferior dengan atap nasofaring, sebelah lateral
dengan sinus kavernosus dan a. karotis interna dan sebelah posteriornya berbatasan
dengan fosa posterior di daerah pons.

E. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait 3 faktor: patensi ostium, fungsi silia dan kualitas
sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau kombinasi faktor-faktor tersebut merubah
fisiologi dan menimbulkan sinusitis. Kegagalan transpor mukus dan menurunnya ventilasi
sinus merupakan faktor utama berkembangnya rinosinusitis kronik.
Patofisiologi rinosinusitis kronik dimulai dari blokade akibat udem hasil proses radang di
area kompleks ostiomeatal. Blokade daerah kompleks ostiomeatal menyebabkan gangguan
drainase dan ventilasi sinus-sinus anterior. Sumbatan yang berlangsung terus menerus akan
mengakibatkan terjadinya hipoksi dan retensi sekret serta perubahan pH sekret yang
merupakan media yang baik bagi bakteri anaerob untuk berkembang biak. Bakteri juga
memproduksi toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi hipertrofi mukosa
yang memperberat blokade kompleks ostiomeatal. Siklus ini dapat dihentikan dengan
membuka blokade kompleks ostiomeatal untuk memperbaiki drainase dan aerasi sinus.
Faktor predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya; obstruksi mekanik seperti
septum deviasi, hipertrofi konkha media, benda asing di hidung, polip serta tumor di dalam
rongga hidung. Faktor sistemik yang mempengaruhi seperti malnutrisi, terapi steroid jangka
panjang, diabetes, kemoterapi dan defisiensi imun. Faktor lingkungan seperti polusi udara,
debu, udara dingin dan kering dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa dan kerusakan
silia.

Pathway
Pathway Rinosinusitis

F. GEJALA DAN TANDA KLINIS


Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 2 atau lebih gejala mayor atau 1 gejala mayor dan 2
gejala minor. Pemeriksaan fisik THT dengan menggunakan nasoendoskopi dan foto polos
hidung dan sinus paranasal atau SPN (Busquets JM , 2000 ; Draft , 1995 ; Stankiewicz, 2001)
1. Gejala Mayor :
a. Hidung tersumbat
b. Sekret pada hidung / sekret belakang hidung / PND
c. Sakit kepala
d. Nyeri / rasa tekan pada wajah
e. Kelainan penciuman (hiposmia / anosmia)
2. Gejala Minor :
a. Demam, halitosis
b. Pada anak; batuk, iritabilitas
c. Sakit gigi
d. Sakit telinga / nyeri tekan pada telinga / rasa penuh pada telinga.

Gejala dan Tanda Klinis : (Ballenger, 1997 cit Setiadi 2009)


1. Gejala Subjektif
a. Nyeri
Sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin tidak. Secara
anatomi, apeks gigi-gigi depan atas (kecuali gigi insisivus) dipisahkan dari lumen
sinus hanya oleh lapisan tipis tulang atau mungkin tanpa tulang hanya oleh mukosa,
karenanya sinusitis maksila sering menimbulkan nyeri hebat pada gigi-gigi ini
b. Sakit kepala
Merupakan tanda yang paling umum dan paling penting pada sinusitis. Wolff
menyatakan bahwa nyeri kepala yang timbul merupakan akibat adanya kongesti dan
udema di ostium sinus dan sekitarnya. Penyebab sakit kepala bermacam-macam, oleh
karena itu bukanlah suatu tanda khas dari peradangan atau penyakit pada sinus. Jika
sakit kepala akibat kelelahan dari mata, maka biasanya bilateral dan makin berat pada
sore hari, sedangkan pada penyakit sinus sakit kepala lebih sering unilateral dan
meluas kesisi lainnya. Sakit kepala yang bersumber di sinus akan meningkat jika
membungkukkan badan kedepan dan jika badan tiba-tiba digerakkan. Sakit kepala ini
akan menetap saat menutup mata, saat istirahat ataupun saat berada dikamar gelap.

Nyeri kepala pada sinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari, dan akan
berkurang atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti,
tetapi mungkin karena pada malam hari terjadi penimbunan ingus dalam rongga
hidung dan sinus serta adanya statis vena.
c. Nyeri pada penekanan
Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin terjadi pada penyakit di
sinus-sinus yang berhubungan dengan permukaan wajah
d. Gangguan penghindu
Indra penghindu dapat disesatkan (parosmia), pasien mencium bau yang tidak tercium
oleh hidung normal. Keluhan yang lebih sering adalah hilangnya penghindu
(anosmia). Hal ini disebabkan adanya sumbatan pada fisura olfaktorius didaerah
konka media. Oleh karena itu ventilasi pada meatus superior hidung terhalang,
sehingga menyebabkan hilangnya indra penghindu. Pada kasus kronis, hal ini dapat
terjadi akibat degenerasi filament terminal nervus olfaktorius, meskipun pada
kebanyakan kasus, indra penghindu dapat kembali normal setelah infeksi hilang.
2. Gejala Objektif
a. Pembengkakan dan udem
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit terkena secara akut, dapat terjadi
pembengkakan dan udem kulit yang ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari
mendapati sensasi seperti pada penebalan ringan atau seperti meraba beludru.
b. Sekret nasal
Mukosa hidung jarang merupakan pusat fokus peradangan supuratif, sinus-sinuslah
yang merupakan pusat fokus peradangan semacam ini.
Adanya pus dalam rongga hidung seharusnya sudah menimbulkan kecurigaan
adanya suatu peradangan dalam sinus. Pus di meatus medius biasanya merupakan
tanda terkenanya sinus maksila, sinus frontal atau sinus etmoid anterior, karena sinus-
sinus ini bermuara ke dalam meatus medius.

G. KOMPLIKASI
Kompikasi rinosinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukan antibiotika. Komplikasi
yang dapat terjadi ialah:
1. Osteomielitis dan abses subperiostal
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak.
Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral.
2. Kelainan Orbita
Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang paling
sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi
terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Variasi yang dapat timbul ialah
udema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat
terjadi trombosis sinus kavernosus.
3.  Kelainan Intrakranial
Dapat berupa meningitis, abses ektradural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus.
4. Kelainan Paru
Seperti bronkitis kronis dan brokiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai denga
kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga timbul asma bronkial

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG   
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan palpasi turut membantu menemukan nyeri tekan pada daerah sinus yang
terkena disamping pemeriksan rinoskopi anterior dan rinoskopi posterior.
2. Transiluminasi
Transluminasi mempuyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk pemeriksaan
sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologik tidak tersedia.
3. Pemeriksaan radiologi
a. Foto rontgen sinus paranasal
Pemeriksaan radiologik yang dapat dibuat antara lain: Waters, PA dan Lateral. Tepi
mukosa sinus yang sehat tidak tampak pada foto rontgen, tetapi jika ada infeksi tepi
mukosa akan tampak karena udema permukaan mukosa. Permukaan mukosa yang
membengkak dan udema tampak seperti suatu densitas yang paralel dengan dinding
sinus.
Pembengkakan permukaan mukosa yang berbatas tegas pada resesus alveolaris
antrum maksila biasanya terjadi akibat infeksi yang berasal dari gigi atau daerah
periodontal.
Jika cairan tidak mengisi seluruh rongga sinus, selalu dapat dilihat adanya batas
cairan (air fluid level) pada foto dengan posisi tegak.
b. CT-Scan (Computer Tomography) sinus paranasal
Sinus maksila, rongga hidung, septum nasi dan konka terlihat pada penampang CT-
Scan aksial dan koronal. Pada sinusitis dengan komplikasi, CT-Scan adalah cara yang
terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah.
CT-Scan koronal dari sinus paling baik untuk pembedahan, memberikan
visualisasi yang baik tentang anatomi rongga hidung, komplek osteomeatal, rongga-
rongga sinus dan struktur-struktur yang mengelilinginya seperti orbita, lamina
kribiformis, dan kanalis optikus. Obstruksi anatomi pada komplek osteomeatal dan
kelainan-kelainan gigi akan terlihat jelas.
CT-Scan dapat menilai tingkat keparahan inflamasi dengan menggunakan sistem
gradasi yaitu staging Lund-Mackay. Sistem ini sangat sederhana untuk digunakan
secara rutin dan didasarkan pada skor angka hasil gambaran CT scan. Lund-MacKay
Radiologic Staging System ditentukan dari lokasi Gradasi Radiologik sinus maksila,
etmoid anterior, etmoid posterior dan sinus sphenoid, Penilaian Gradasi radiologik
dari 0-2, Gradasi 0 : Tidak ada kelainan, Gradasi 1 : Opasifikasi parsial Gradasi 2 :
Opasifikasi komplit.
4. Nasoendoskopi
Nasoendoskopi ini akan mempermudah dan memperjelas pemeriksaan karena dapat
melihat bagian-bagian rongga hidung yang berhubungan dengan faktor lokal penyebab
sinusitis.
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat melihat adanya kelainan septum nasi, meatus
media, konka media dan inferior, juga dapat mengetahui adanya polip atau tumor.

I. DIAGNOSIS
Gejala klinik rinosinusitis kronis menurut American Academy of Otolaryngic
Allergy (AAOA), dan American Rhinologic Society  (ARS) adalah rinosinusitis yang
berlangsung lebih dari 12 minggu dengan 2 gejala mayor atau lebih atau 1 gejala mayor
disertai 2 gejala minor atau lebih (Setiadi M, 2009).

J. PENATALAKSANAAN
Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi septum, kelainan
atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid pada anak, polip, kista, jamur, gigi penyebab
sinusitis, dianjurkan untuk melakukan penatalaksanaan yang sesui dengan kelainan yang
ditemukan (Ulusoy, 2007).
Jika tidak ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah bakterial yang
memerlukan pemberian antibiotik dan pengobatan medik lainnya.
1. Medikamentosa
a. Antibiotika
Meskipun tidak memegang peran penting, antibiotika dapat diberikan sebagai
terapi awal. Pilihan antibiotika harus mencakup β-laktamase seperti pada terapi
sinusitis akut lini ke II, yaitu amoksisillin klavulanat atau ampisillin sulbaktam,
sefalosporin generasi kedua, makrolid, klindamisin. Jika ada perbaikan antibiotik
diteruskan mencukupi 10 – 14 atau lebih jika diperlukan.
Jika tidak ada perbaikan dapat dipilih antibiotika alternatif seperti
siprofloksasin, golongan kuinolon atau yang sesuai dengan kultur. Jika diduga ada
bakteri anaerob, dapat diberi metronidazole.
Jika dengan antibiotika alternatif tidak ada perbaikan, maka eveluasi
kembali apakah ada faktor predisposisi yang belum terdiagnosis dengan
pemeriksaan nasoendoskopi maupun CT-Scan.
b. Terapi Medik Tambahan
Dekongestan, Dekongestan berperan penting sebagai terapi awal mendampingi
antibiotik. Dekongestan oral menstimulasi reseptor α-adrenergik dimukosa hidung
dengan efek vasokontriksi yang dapat mengurang keluhan sumbatan hidung,
meningkatkan diameter ostium dan meningkatkan ventilasi.
Preparat yang umum adalah pseudoefedrine dan phenyl-propanolamine.
Karena efek peningkatan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung harus
dilakukan dengan hati-hati.
Dekongestan topikal mempunyai efek yang lebih cepat terhadap sumbatan
hidung, namun efeknya ini sebetulnya tidak fisiologik dan pemakaian jangka lama
(lebih dari 7 hari) akan menyebabkan rinitis medika mentosa.
Antihistamin, Alergi berperan sebagai penyebab sinusitis kronis pada
lebih dari 50% kasus, karenanya penggunaan antihistamin justru dianjurkan,
demikian juga kemungkinan imunoterapi.
Karena antihistamin generasi pertama mempunyai efek antikolinergik
yang tinggi, generasi kedua lebih disukai seperti azelastine, acrivastine,
cetirizine, fexofenadine dan loratadine.
Kortikosteroid, ada 2 jenis kortikosteroid, yaitu kortikosteroid
topikal dan kortikosteroid oral, kortikosteroid topikal mempunyai efek lokal
terhadap bersin, sekresi lendir, sumbatan hidung dan hipo/anosmia. Penemuannya
merupakan perkembangan besar dalam pengobatan rinitis dan sinusitis.
Penggunaannya kortikosteroid topikal meluas pada kelainan alergi dan
non-alergi. Meskipun obat semprot ini tidak mencapai komplek osteomeatal,
keluhan pasien berkurang karena udema di rongga hidung dan meatus medius
hilang.

Sedangkan kortikosteroid oral dapat mencapai seluruh rongga sinus.


Terapi singkat selama dua minggu sudah efektif menghilangkan beberapa
keluhan. Preparat oral dapat diberikan mendahului yang topikal, obat oral dapat
membuka sumbatan hidung terlebih dahulu sehingga distribusi obat semprot
merata.
           2.      Penatalaksanaan Operatif
 Sinusitis kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan medik adekuat dan optimal
serta adanya kelainan mukosa menetap merupakan indikasi tindakan bedah.
 Beberapa macam tindakan bedah mulai dari antrostomi meatus inferior, Caldwel-Luc,
trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) dapat
dilaksanakan.
 Bedah sinus konvensional tidak memperlihatkan usaha pemulihan drainase dan
ventilasi sinus melalui ostium alami.
 Namun dengan berkembangnya pengetahuan patogenesis sinusitis, maka berkembang
pula modifikasi bedah sinus konvensional misalnya operasi Caldwel-Luc yang hanya
mengangkat jaringan patologik dan meninggalkan jaringan normal agar tetap
berfungsi dan melakukan antrostomi meatus medius sehingga drainase dapat sembuh
kembali.
 Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) merupakan kemajuan pesat dalam bedah
sinus. Jenis operasi ini lebih dipilih karena merupakan tindakan konservatif yang
lebih efektif dan fungsional.
 Keuntungan BSEF adalah penggunaan endoskop dengan pencahayaan yang sangat
terang, sehingga saat operasi kita dapat melihat lebih jelas dan rinci adanya kelainan
patologi dirongga-rongga sinus.
 Jaringan patologik yang diangkat tanpa melukai jaringan normal dan ostium sinus
yang tersumbat diperlebar.
 Dengan ini ventilasi sinus lancar secara alami, jaringan normal tetap berfungsi dan
kelainan didalam sinus maksila dan frontal akan sembuh sendiri.
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Biodata

Nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan,,

2. Riwayat Penyakit sekarang


Penderita mengeluah hidung tersumbat,kepala pusing, badan terasa panas, bicara
bendeng.
3. Keluhan utama
Biasanya penderita mengeluh nyeri kepala sinus, tenggorokan.
4. Riwayat penyakit dahulu :
a. Pasien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung atau trauma
b. Pernah mempunyai riwayat penyakit THT
c. Pernah menedrita sakit gigi geraham
5. Riwayat keluarga :
Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang lalu yang mungkin ada
hubungannya dengan penyakit klien sekarang.
6. Riwayat spikososial
a. Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas/sedih)
b. Interpersonal : hubungan dengan orang lain.
7. Pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksanahidup sehat
Untuk mengurangi flu biasanya klien menkonsumsi obat tanpa memperhatikan
efek samping.
b. Pola nutrisi dan metabolisme
Biasanya nafsumakan klien berkurang karena terjadi gangguan pada hidung
c. Pola istirahat dan tidur
Selama inditasi klien merasa tidak dapat istirahat karena klien sering pilek
d. Pola Persepsi dan konsep diri
Klien sering pilek terus menerus dan berbau menyebabkan konsepdiri menurun
e. Pola sensorik
Daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat pilek terus menerus
(baik purulen , serous, mukopurulen).

8. Pemeriksaan fisik
a. tatus kesehatan umum : keadaan umum , tanda viotal, kesadaran.
b. Pemeriksaan fisik data focus hidung : nyeri tekan pada sinus, rinuskopi (mukosa
merah dan bengkak)

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNCUL


1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan mucus berlebih.
2. Nyeri sehubungan dengan adanya sumbatan drainase sinus.
3. Cemas berhubungan dengan ancaman terhadap atau perubahan dalam status
kesehatan.
4. Gangguan persepsi sensori penghidu berhubungan dengan Sumbatan pada fisura
olfaktorius
DAFTAR PUSTAKA

Harowi MR dkk. 2011. Kualitas Hidup Penderita Rinosinusitis Kronik Pasca-bedah.


Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr. Sardjito
Acala V. 2010. CDK: Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis
Rinosinusitis Kronik. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr.
Sardjito
Kentjono WA. 2004. Rinosinusitis: etiologi dan patofisiologi. Dalam: Naskah lengkap
perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Bagian Ilmu
Kesehatan THT FK Unair/RS Dr. Soetomo

Mangunkusumo E, Soetjipto D. 2007. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,


Restuti RD, eds. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher. Edisi ke-6.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2015. Jakarta: Prima Medika

Anda mungkin juga menyukai