Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

Pendahuluan (1)

Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-hari, bahkan
dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia. Sinusitis
umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Bila mengenai
beberapa sinus disebut multisinus, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut
pansinusitis. Yang paling sering terkena ialah sinus maksila dan etmoid.

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar dan disebut juga antrum Highmore. Saat
lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.

Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang
disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding
medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah prosesus alveolaris dan
palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke
hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksilaris adalah 1) dasar sinus
maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1
dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut
dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan
sinusitis; 2) sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita; 3) ostium sinus maksila
terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainage hanya tergantung dari gerak silia,
lagipula drainage juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian
dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
menghalangi drainage sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.

2
Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke orbita dan intrakranial,
serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati.

Konsensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut dengan batas sampai 8
minggu dan kronik jika lebih dari 8 minggu. Konsensus tahun 2004 membagi menjadi akut
dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan, dan kronik jika lebih
dari 3 bulan.

Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik umumnya merupakan lanjutan dari sinusitis akut
yang tidak terobati secara adekuat. Pada sinusitis kronik adanya faktor predisposisi harus dicari
dan diobati secara tuntas.

Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut adalah
Streptococcus pneumonia (30-50%), Haemophylus influenzae (20-40%), Moraxella catarrhalis
(4%). Pada anak, Moraxella catarrhalis lebih banyak ditemukan (20%).

Pada sinusitis kronik, faktor predisposisi lebih berperan, tetapi umumnya bakteri yang ada lebih
condong kearah bakteri gram negatif dan anaerob.

2
BAB 2

Tinjauan Pustaka Sinusitis Maksilaris

2.1 Definisi (4)


Sinusitis maksilaris adalah suatu peradangan pada sinus maksilaris yang terjadi karena alergi
atau infeksi virus, bakteri maupun jamur.

2.2 Epidemiologi (6)


Di Amerika Serikat, lebih dari 30 juta orang menderita sinusitis. Virus adalah penyebab sinusitis
akut yang paling umum ditemukan. Namun, sinusitis bakterial adalah diagnosis terbanyak
kelima pada pasien dengan pemberian antibiotik. 5 milyar dollar dihabiskan setiap tahunnya
untuk pengobatan medis sinusitis, dan 60 milyar lainnya dihabiskan untuk pengobatan operatif
sinusitis di Amerika Serikat.

Sinusitis adalah penyakit yang banyak ditemukan di seluruh dunia, terutama di tempat dengan
polusi udara tinggi. Iklim yang lembab, dingin, dengan konsentrasi pollen yang tinggi terkait
dengan prevalensi yang lebih tinggi dari sinusitis. Sisnusitis maksilaris adalah sinusitis dengan
insiden yang terbesar.

2.3 Etiologi dan Faktor Predisposisi (1,2,5)


Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam rinitis
terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelaianan anatomi
seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio meatal (KOM), infeksi
tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada sindroma Kartagener, dan
di luar negri adalah penyakit fibrosis kistik.

2.3.1 Infeksi virus

2
Sinusitis virus biasanya terjadi selama infeksi saluran napas atas; virus yang lazim menyerang
hidung dan nasofaring juga menyerang sinus karena mukosa sinus paranasalis berjalan kontinu
dengan mukosa hidung.

2.3.2 Bakteri

Edema dan hilangnya fungsi silia normal pada infeksi virus menciptakan suatu lingkungan yang
ideal untuk perkembangan infeksi bakteri. Infeksi ini sering kali melibatkan lebih dari satu
bakteri. Organisme penyebab sinusitis akut mungkin sama dengan penyebab otitis media. Yang
sering ditemukan dalam frekuensi yang makin menurun adalah Streptococcus pneumonia (30-
50%), Haemophilus influenza (20-40%), Moraxella catarrhalis (4%), bakteri anerob,
Branhamella catarrhalis, streptokok alfa, Staphyolococcus aureus, dan Streptococcus pyogenes.
Selama suatu fase akut, sinusitis kronik dapat disebabkan oleh bakteri yang sama seperti yang
menyebabkan sinusitis akut.

Namun, karena sinusitis kronik biasanya berkaitan dengan drainage yang tidak adekuat ataupun
fungsi mukosiliar yang terganggu, maka agen infeksi yang terlibat cenderung opurtunistik,
dimana proporsi terbesar merupakan bakteri anaerob. Bakteri aerob yang sering ditemukan
dalam frekuensi yang makin menurun antara lain Staphyolococcus aureus, Streptococcus
viridians, Haemophilus influenza, Neisseria flavus, Staphyolococcus epidermidis, Streptococcus
pneumonia, dan Eischerichia coli. Bakteri anaerob termasuk Peptostreptococcus,
Corynebacterium, Bacteroides, dan Veillonella. Infeksi campuran antar organisme aerob dan
anaerob seringkali terjadi.

2.3.3 Infeksi Jamur

Kadang infeksi jamur bisa menyebabkan sinusitis akut. Aspergillus merupakan jamur yang bisa
menyebabkan sinusitis pada penderita gangguan sistem kekebalan. Pada orang-orang tertentu,
sinusitis jamur merupakan sejenis reaksi alergi terhadap jamur.

2.4 Patofisiologi (1,3)

2
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar
(mucociliary clearance) di dalam KOM. Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan
zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk
bersama udara pernafasan.

Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang
berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat.
Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya
transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bakterial dan
biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.

Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk
tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai
rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik.

Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi
hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan
rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu
hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan
tindakan operasi.

Perubahan patologik yang terjadi dalam mukosa dan dinding tulang sinus saat berlangsungnya
peradangan supuratif ialah seperti yang biasa terjadi dalam rongga yang dilapisi mukus.

Ada 4 tipe yang berbeda dari infeksi hidung sinus: kongestif akut, purulen akut, purulen kronik,
dan hiperplastik kronik.

Penyakit sinus supuratif kronik dapat diklasifikasikan secara mikroskopik sebagai 1) edematous,
2) granular dan infiltrasi, 3) fibrous, dan 4) campuran dari beberapa atau semua bentuk ini.
Sering terjadi perubahan jaringan penunjang, dengan penebalan di lapisan subepitel. Penebalan
ini di dalam struktur seluler terdiri dari timbunan sel-sel spiral, bulat, bentuk bintang, plasmosit,
eosinofil, dan pigmen.

2
Perubahan yang terjadi dalam jaringan dapat disusun seperti di bawah ini, yang menunjukan
perubahan patologik pada umumnya secara berurutan:

1. Jaringan submukosa diinfiltrasi oleh serum, sedangkan permukaannya kering. Leukosit


juga mengisi rongga jaringan submukosa.

2. Kapiler berdilatasi, dan mukosa sangat menebal dan merah akibat edem dan
pembengkakan struktur subepitel. Pada stadium ini biasanya tidak ada kelainan epitel.

3. Setelah beberapa jam atau sehari dua hari, serum dan leukosit keluar melalui epitel yang
melapisi mukosa, kemudian bercampur dengan bakteri, debris epitel, dan mukus. Pada
beberapa kasus, perdarahan kapiler terjadi, dan darah bercampur sekret. Sekret yang
mula-mula encer dan sedikit kemudian menjadi kental dan banyak, karena terjadi
koagulasi fibrin dari serum.

4. Pada banyak kasus, resolusi dengan absorpsi eksudat dan berhentinya pengeluaran
leukosit memakan waktu 10-14 hari.

5. Akan tetapi pada kasus lain, peradangan berlangsung dari tipe kongesti ke tipe purulen,
leukosit dikeluarkan dalam jumlah yang besar sekali. Resolusi masih mungkin,
meskipun tidak selalu terjadi, karena perubahan jaringan belum menetap. Kecuali proses
segera berhenti, perubahan jaringan akan menjadi permanen, maka terjadi keadaan
kronis. Tulang dibawahnya dapat memperlihatkan tanda oeteitis dan akan diganti dengan
nekrosis tulang.

Perluasan infeksi dari sinus ke bagian lain dapat terjadi: 1) melalui suatu tromboflebitis dari vena
yang perforasi; 2) perluasan langsung melalui bagian sinus yang ulserasi atau nekrotik; 3)
dengan terjadinya defek; dan 4) melalui jalur vaskuler dalam bentuk bakteremia.

Pada sinusitis kronik, perubahan permukaan mirip dengan peradangan akut supuratif yang
mengenai mukosa dan jaringan tulang lainnya. Bentuk permukaan mukosa dapat granular,
berjonjot-jonjot, penonjolan seperti jamur, penebalan seperti bantal, dan lain-lain. Pada kasus
lama terdapat penebalan hiperplastik. Mukosa dapat rusak pada beberapa tempat akibat ulserasi,
sehingga tampak tulang yang licin dan telanjang, atau dapat menjadi lunak atau kasar akibat

2
karies. Pada beberapa kasus, didapati nekrosis dan sekuestrasi tulang, atau mungkin ini telah
diabsorpsi. Pemeriksaan mikroskop pda bagian mukosa kadang-kadang memperlihatkan
hilangnya epitel dan kelenjar, yang digantikan oleh jaringan ikat. Ulserasi pada mukosa sering
dikelilingi oleh jaringan granulasi, terutama jika ada nekrosis tulang. Jaringan granulasi dapat
meluas ke periosteum, sehingga mempersatukan tulang dengan mukosa. Jika hal ini terjadi,
bagian superfisial tulang diabsorpsi sehingga menjadi kasar. Osteofit, atau kepingan atau
lempengan tulang, yang terjadi akibat eksudasi plastik, kadang-kadang terbentuk di permukaan
tulang.

2.5 Gejala klinis (3,4)


Gejala khas dari kelainan pada sinus adalah sakit kepala yang dirasakan ketika penderita bangun
pada pagi hari.

2.5.1 Gejala Subyektif

Nyeri Nyeri ini sering disebut sakit kepala oleh pasien. Secara anatomi, apeks gigi-gigi depan
atas (kecuali gigi insisivus) dipisahkan dari lumen sinus hanya oleh lapisan tipis tulang atau
mungkin tanpa tulang hanya oleh mukosa. Karenanya, sinusitis maksila sering menimbulkan
nyeri hebat pada gigi-gigi ini.

Sakit Kepala Sakit kepala merupakan salah satu tanda yang paling umum dan paling penting
pada sinusitis. Wolff menyatakan bahwa nyeri kepala yang timbul di hidung merupakan akibat
adanya kongesti dan udem di osteum sinus dan sekitarnya.

Jika sakit kepala akibat kelelahan pada mata, maka biasanya bilateral dan makin berat pada sore
hari, sedangkan pada sinusitis sakit kepala lebih sering unilateral atau lebih terasa pada satu sisi,
atau dimulai sebagai nyeri kepala unilateral dan meluas ke sisi lainnya. Sakit kepala yang
bersumber di sinus akan meningkat jika membungkukan badan ke depan dan jika badan tiba-tiba
digerakan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat istirahat, atau saat berada di
kamar yang gelap, sedangkan jika disebabkan oleh kelelahan mata, nyeri akan menghilang pada
keadaan-keadaan tersebut.

2
Gangguan Penghidu Indera penghidu dapat disesatkan (parosmia), pasien mencium bau yang
tidak tercium oleh hidung normal. Keluhan yang lebih sering adalah hilangnya penghidu
(anosmia). Hal ini terjadi akibat sumbatan pada fisura olfaktorius di daerah konka media. Oleh
karena itu ventilasi pada meatus superior hidung menghilang, sehingga menyebabkan hilangnya
indera penghidu.

2.5.2 Gejala Obyektif

Pembengkakan dan Udem Terjadi pembengkakan dan udem kulit yang ringan akibat
periostitis. Palpasi dengan jari mendapati sensasi seperti ada penebalan ringan atau seperti
meraba beludru.

Sekret Nasal Pus dalam rongga hidung dapat berarti empiema dalam sinus. Mukosa hidung
jarang merupakan pusat fokus peradangan supuratif, sinus-sinuslah yang merupakan pusat fokus
perdangan semacam ini. Adanya pus dalam rongga hidung seharusnya sudah menimbulkan
kecurigaan adanya suatu perdangan dalam sinus.

Transiluminasi Jika sinus normal, tiga hal harus diperhatikan 1) refleks pupil merah, 2)
bayangan sinar bulan sabit yang sesuai dengan posisi kelopak mata bawah, dan 3) sensasi sinar
dalam mata.

Jika refleks pupil merah dan bayangan sinar bulan sabit tidak ada, antrum mungkin terkena.
Perhatikan kedua sisi sekaligus dan tentukan sisi yang mana bila salah satu terkena.

Sinusitis akut dan kronis memiliki gejala yang sama, yaitu nyeri tekan dan pembengkakan pada
sinus yang terkena, tetapi ada gejala tertentu yang timbul berdasarkan sinus yang terkena:

 Sinusitis maksilaris menyebabkan nyeri pipi tepat di bawah mata, sakit gigi dan sakit
kepala.
 Sinusitis frontalis menyebabkan sakit kepala di dahi.
 Sinusitis etmoidalis menyebabkan nyeri di belakang dan diantara mata serta sakit kepala
di dahi. Peradangan sinus etmoidalis juga bisa menyebabkan nyeri bila pinggiran hidung
di tekan, berkurangnya indera penciuman dan hidung tersumbat.

2
 Sinusitis sfenoidalis menyebabkan nyeri yang lokasinya tidak dapat dipastikan dan bisa
dirasakan di puncak kepala bagian depan ataupun belakang, atau kadang menyebabkan
sakit telinga dan sakit leher.

2.6 Diagnosis (1)


Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan naso-endoskopi sangat
dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di meatus
medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada
sinusitis etmoid posterior dan sphenoid)

Inspeksi Yang diperhatikan ialah adanya pembengkakan pada muka. Pembengkakan di pipi
sampai kelopak mata bawah yang berwarana kemerah-merahan mungkin menunjukkan sinusitis
maksila akut, Pembengkakan di kelopak mata atas mungkin menunjukan sinusitis frontal akut.
Sinusitis etmoid akut jarang menyebabkan pembengkakan di luar, kecuali bila telah terbentuk
abses.

Pada rinositis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengakakan dan
kemerahan di daerah kantus medius.

Palpasi Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukan adanya sinusitis maksila.
Pada sinusitis frontal terdapat nyeri tekan di dasar sinus frontal, yaitu pada bagian medial atap
orbita. Sinusitis etmoid menyebabkan rasa nyeri tekan di daerah kantus medius.

Transiluminasi Transiluminasi mempunyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk
memeriksa sinus maksila dan sinus frontal, bila pemeriksaan radiologik tidak tersedia. Bila ada
pemeriksaan transiluminasi tampak gelap di daerah infraorbita, mungkin berarti antrum terisi
oleh pus atau mukosa antrum menebal atau terdapat neoplasma di dalam antrum. Bila terdapat
kista yang besar di dalam sinus maksila, akan tampak terang pada pemeriksaan transiluminasi,
sedangkan pada foto Rontgen tampak adanya perselubungan berbatas tegas di dalam sinus
maksila. Transiluminasi pada sinus frontal hasilnya lebih meragukan. Besar dan bentuk kedua
sinus ini seringkali tidak sama. Gambaran yang terang berarti sinus berkembang dengan baik

2
dan normal, sedangkan gambaran yang gelap mungkin berarti sinusitis atau hanya menunjukan
sinus yang tidak berkembang.

Pemeriksaan Radiologik Bila dicurigai adanya kelainan di sinus paranasal, maka dilakukan
pemeriksaan radiologik. Posisi rutin yang dipakai ialah posisi Waters, PA dan lateral. Posisi
Waters terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal, dan etmoid. Posisi PA
untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai sinus frontal, sphenoid, dan etmoid.
Metode mutakhir yang lebih akurat untuk melihat kelainan sinus paranasal adalah pemeriksaan
CT Scan. Potongan CT Scan yang rutin dipakai adalah koronal dan aksial. Indikasi utama CT
Scan hidung dan sinus paranasal adalah sinusitis kronik, trauma (fraktur frontobasal), dan tumor.
Kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa.
CT Scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi
hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya.
Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak
membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi
sinus.

Sinuskopi Pemeriksaan ke dalam sinus maksila menggunakan endoskop. Endoskop dimasukan


melalui lubang yang dibuat di meatus inferior atau di fosa kanina. Dengan sinuskopi dapat
dilihat keadaan di dalam sinus, apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau
kista, bagaimana keadaan mukosa dan apakah ostiumnya terbuka.

Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus
inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya
dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi.

Pemeriksaan Mikrobiologik Pemeriksaan mikrobiolgik dan tes resistensi dilakukan dengan


mengambil sekret dari meatus medius/superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat guna.
Lebih baik lagi diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila.

Gambar : foto kepala posisi Waters

2
Gambar I.2. Sinus paranasal normal pada foto Waters

Figure 3. Cornal CT scan of patient with significant right


maxiallry and ethmoid sinus onstruction and air-fluid level of
left maxillary sinus

Source: James A Hadley, MD.

2.7 Terapi (1,6)

2
Tujuan terapi sinusitis adalah 1) mempercepat penyembuhan; 2) mencegah komplikasi; dan 3)
mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM
sehingga drainage dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.

Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk
menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus.
Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksilin. Jika diperkirakan kuman
telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksilin-klavulanat atau
jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun
gejala klinik sudah hilang.

Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan, seperti analgetik,
nukolitik, steroid oral/topical, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi).
Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret jadi
lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2. Irigasi sinus
maksila atau Proetz displacement terapi juga merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat.

Irigasi Sinus Maksila Melalui Ostium Pada hampir semua kasus, hal ini dapat dilaksanakan
melalui ostium antrum yang normal, dengan mempergunakan kanula antrum dari Pierce.

Irigasi Sinus Maksila dengan Pungsi Melalui Meatus Inferior Jika irigasi melalui ostium asli
sulit atau ada iritasi jaringan yang berlebihan, dapat dibuat jalan lain. Paling mudah melalui
meatus inferior. Digunakan trokar lurus atau bengkok.

Irigasi Sinus Maksilaris Melalui Prosesus Alveolar Metode ini dikemukakan hanya untuk
dikecam, kecuali jika lubang alveolar dapat ditutup sebelum terjadi epitelialisasi ke dalamnya,
kalau tidak, maka akan terjadi fistel kronis dengan reinfeksi antrum yang menetap. Metode ini
dapat digunakan pada kasus infeksi antrum yang terjadi akibat infeksi akar gigi dan
mengakibakan abses yang telah menyebabkan fistula melalui dasar antrum.

Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang berat.

Tindakan Operasi Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini
untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan hampir

2
semua jenis bedah sinus yang terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan
tindakan lebih ringan dan tidak radikal.

Indikasinya berupa sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat; sinusitis kronik
disertai kista atau kelainan yang irreversible; polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta
sinusitis jamur.

Penatalaksanaan sinusitis adalah dengan menggunakan berbagai modalitas terapi, mulai dari
terapi konservatif saja sampai irigasi sinus dan pembedahan. Kebanyakan penderita sinusitis
dapat diterapi dengan baik menggunakan pendekatan konservatif dengan antibiotika dan
dekongestan dan atau dengan tambahan short wave diathermy (SWD) atau low level laser terapi
(LLLT). LLLT dilaporkan mempunyai efek biomodulasi : mengurangi inflamasi, meningkatkan
respon imunologis, mengurangi rasa nyeri serta mempercepat penyembuhan luka. Saat ini LLLT
sudah cukup sering digunakan di beberapa rumah sakit, namun terapi dengan SWD untuk
sinutitis juga masih digunakan. Pemberian diathermy ini menguntungkan terutama untuk anak-
anak dan prosedurnya lebih sederhana bila dibandingkan dengan irigasi. Short wave diathermy
dikatakan efektif untuk sinusitis kronik karena membantu drainase sinus dengan membuka
ostium sinus.

Bedah intranasal sinus maksila Pengobatan konservatif yang adekuat merupakan pilihan
terapi untuk sinusitis maksila subakut dan kronis. Antibiotika diberikan sesuai dengan kultur dan
uji sensitivitas. Antibiotika harus dilanjutkan sampai sekurang-kurangnya 10 hari. Drainase
diperbaiki dengan dekongestan lokal dan sistemis. Jika terapi ini diberikan secara baik, pungsi
dan irigasi antrum jarang diperlukan. Meski pun demikian, kadang-kadang irigasi antrum
diperlukan untuk mengambil materi untuk kultur atau untuk menghindari tindakan bedah
terhadap sinus.

Jika ada proses edem kronis di daerah meatus medius dan rontgen sinus menunjukkan penebalan
mukosa serta adanya eksudat, tindakan lokal seperti pengangkatan jaringan polip dan jaringan
konka media atau irigasi antrum sedikit sekali artinya. Tindakan lokal tadi hampir selalu dapat
ditiadakan dengan pemberian antibiotik dan dekongestan. Jika terapi medik konservatif tidak
berhasil, maka ahli bedah harus mencari prosedur yang lebih tepat, agar terjadi drainase adekuat
dan jika perlu mengangkat jaringan yang tidak sehat dari sinus.

2
Irigasi nasoantral Irigasi nasoantral kadang-kadang penting dalam terapi sinusitis maksila,
yaitu jika ingin mengetahui apakah drainase sinus adekuat atau guna mengambil sekret purulen
untuk kultur dan uji sensitivitas. Hampir semua ahli THT lebih suka melakukan irigasi sinus
maksila melalui meatus inferior. Jarum Lichtwitz yang lurus dan tipis dengan tumpuan untuk ibu
jari dari Wolf merupaka alat terpilih. Meatus inferior dianalgesi dengan memasang tampon kapas
yang dibasahi dengan kokain 4% atau tetrakain 2%. Larutan efedrin 1% dapat ditambahkan pada
tetrakain. Tampon kapas ini diletakkan selama lebih kurang 15 menit. Jarum dimasukkan
menembus dinding meatus inferior tepatnya 1 cm di belakang ujung anterior. Sebaiknya, jarum
diarahkan agak ke atas, perlu diperhatikan supaya tidak menembus seluruh rongga dan
menembus dinding superior atau lateral. Harus dilakukan aspirasi dahulu sebelum irigasi. Jika
ujung jarum berada di rongga sinus, harus ditemukan pus atau udara. Jika tidak ada udara atau
pus berarti ujung jarum tidak berada dalam antrum atau antrum ini berisi materi yang padat,
seperti neoplasma atau mukositis polipoid. Sinus kemudian diirigasi dengan larutan NaCl hangat.
Tidak perlu memasukkan udara setelah irigasi, bahkan tindakan ini merupakan kontraindikasi
berdasarkan laporan terjadinya emboli udara setelah injeksi udara ke dalam sinus maksila.

Fenestrasi intranasal dinding nasoantral Lubang nasoantral yang baik dapat menyembuhkan
sinusitis maksila kronis yang purulen, dengan syarat antrum tidak berisi jaringan polip dan tidak
ada nekrosis tulang atau komplikasi dentogen. Telah berulang kali di demonstrasikan bahwa
lubang nasoantral yang kecil cepat menutup dan tidak efektif.

Teknik pembedahan Meatus inferior di analgesi dengan tampon kapas yang dibasahi dengan
kokain 4% atau tetrakain 2% dan Efedrin 1%. Tampon dibiarkan pada tempat tersebut selama 10
sampai 15 menit. Meskipun dengan anestesi umum, hal ini juga dikerjakan agar mukosa
mengecil, sehingga meatus inferior dapat tampak jelas serta untuk memperbaiki hemostasis.

Konka inferior dielevasi ke arah superior dengan alat pipih yang pinggirnya licin,seperti elevator
periostal besar atau disektor tonsil. Tidak ada bagian konka media yang diangkat. Dinding
nasoantral dan konka inferior dilubangi dengan alat pembuat lubang atau hemostat bengkok yang
tajam. Lubang diperlebar ke semua arah dengan busi atau cunam. Diameter sekurang-kurangnya
1,5 sampai 2 cm. Penting untuk membuka dinding meatus inferior ke arah bahwa sampai
setingggi dasar hidung untuk mempermudah evakuasi isi rongga sinus. Rongga sinus kemudian

2
di inspeksi secara langsung. Jika tampak penyakit yang ireversibel, dibuat insisi Caldwell-Luc
dan dilanjutkan dengan pembedahan antrum radikal.

Biasanya pascabedah tidak perlu ditampon. Jika ada perdarahan yang mengganggu, daerah
antrostomi di tampon dengan kasa 1 inci yang diberi iodoform dan dibasahi dengan petrolatum.
Tampon ini diangkat pada akhir 24 atau 48 jam. Pasien diawasi dengan cermat sampai ada
perbaikan dari infeksi kroniknya.

Bedah Eksternal Sinus Maksila Di bawah ini adalah indikasi untuk pendekatan eksternal: (1)
kegagalan antrostomi intranasal untuk menyembuhkan infeksi kronis; (2) jaringan polip mengisi
antrum; (3) penyakit kistik antrum; (4)osteonekrosis; (5)diduga neoplasma sinus maksila; (6)
adanya fistel oroantral; dan (7) fraktur maksila dengan komplikasi.

Teknik Pembedahan Radikal Antrum (Caldwell-Luc) Pembedahan Caldwell-Luc dapat


dilaksanakan dengan anestesi umum atau lokal. Jika dengan anestesi lokal, analgesi intranasal
dicapai dengan menempatkan tampon kapas yang dibasahi kokain 4% atau tetrakain 2% dengan
efedrin 1% di atas dan bawah konka media. Prokain atau lidokain 2%, dengan tambahan
epinefrin disuntikkan di regio fosa kanina. Suntikan dilanjutkan ke superior untuk saraf
infraorbital. Insisi horisontal dibuat di sulkus ginggivobukal, tepat di atas akar gigi. Insisi
dilakukan di superior gigi taring dan molar ke dua. Insisi menembus mukosa dan periosteum.
Periosteum di atas fosa kanina di elevasi sampai kanalis infraorbitalis, tempat saraf infraorbita
diidentifikasi dan secara hati-hati dilindungi.

Pada dinding depan sinus dibuat fenestra, dengan pahat, osteotom atau alat bor. Lubang di
perlebar dengan cunam pemotong tulang Kerrison, sampai jari kelingking dapat masuk. Isi
antrum dapat dilihat dengan jelas. Pada saat ini kista atau tumor jinak dapat diangkat, dengan
menggunakan bermacam-macam elevator, usahakan menghindari trauma pada mukosa normal.
Jarang diperlukan untuk mengangkat seluruh mukosa yang melapisi antrum. Meskipun demikan,
jika tampaknya penyakit ireversibel, mukosa dengan mudah dapat dikeluarkan dengan
menggunakan elevator, kuret dan cunam jaringan.

Dinding nasoantral meatus inferior selanjutnya ditembus dengan trokar atau hemostat bengkok.
Antrostomi intranasal ini diperlebar dengan cunam Kerrison dan cunam yang dapat memotong

2
tulang ke arah depan. Lubang nasontral ini sekurang-kurangnya 1,5 cm dan yang dipotong ialah
mukosa intranasal, mukosa sinus dan dinding tulang. Telah diakui secara luas bahwa berbagai
jabir mukosa untuk pembentukan jendela nasoantral tidak diperlukan.

Setelah antrum diinspeksi dengan teliti agar tidak ada tampon yang tertinggal, insisi
ginggivobukal ditutup dengan benang “plain catgut” 00. Biasanya tidak perlu memasang tampon
intasinus atau intranasal. Jika terjadi perdarahan yang mengganggu, kateter balon yang dapat
ditiup dimasukkan ke dalam antrum melalui lubang nasoantral. Kateter dapat diangkat pada akhir
hari ke-1 atau ke-2. Kompres es di pipi selama 24 jam pasca bedah penting untuk mencegah
udem, hematom dan perasaan tidak nyaman.

2.8 Komplikasi (1,2,3,)


Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik. Komplikasi
berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut,
berupa komplikasi orbita atau intrakranial.

2.8.1 Komplikasi Orbita

Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat
timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita, dan selanjutnya
dapat terjadi thrombosis sinus kavernosus. Terdapat 5 tahapan:

1. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus di
dekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang
memisahkan orbita dan sinus seringkali merekah pada kelompok umur ini.

2. Selulitis orbita. Edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita
namun pus belum terbentuk.

3. Abses subperiostal. Pus terkumpul di antara periorbita dan dinding tulang orbita
menyebabkan proptosis dan kemosis.

4. Abses orbita. Pada tahap ini, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi
orbita. Tahap ini disertai gejala sisa neuritis optic dan kebutaan unilateral yang lebih

2
serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mat yang terserang dan kemosis konjungtiva
merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.

5. Trombosis sinus kavernosus. Komplikasi ini merupakan akibat penyebaran bakteri


melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus di mana selanjutnya terbentuk suatu
tromboflebitis septic. Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari
oftalmoplegia, kemosis konjungtiva, gangguan penglihatan yang berat, kelemahan pasien
dan tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan dengan
saraf cranial II, III, IV, dan VI, serta berdekatan juga dengan otak

Pengobatan komplikasi orbita dari sinusitis berupa pemberian antibiotic intravena dosis tinggi
dan pendekatan bedah khusus untuk membebaskan pus dari rongga abses. Manfaat terapi
antikoagulan pada thrombosis sinus kavernosus masih belum jelas. Pada kasus tromboflebitis
septic, terapi antikoagulan hanya akan menyebarkan (diseminata) trombus yang terinfeksi.
Angka kematian setelah trombosis sinus kavernosus dapat setinggi 80%. Pada penderita yang
berhasil sembuh, angka morbiditas biasanya berkisar antara 60-80%, dimana gejala sisa
trombosis sinus kavernosus seringkali berupa atrofi optik.

2.8.2 Mukokel

Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus. Kista ini paling
sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya
tidak berbahaya. Dalam sinus frontalis, etmoidalis, dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar
dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur di sekitarnya. Dengan demikian, kista ini dapat
bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata
ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan
dengan menekan saraf di dekatnya.

Piokel adalah mukokel terinfeksi. Gejala piokel hamper sama dengan mukokel meskipun lebih
akut dan lebih berat. Eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua mukosa yang
terinfeksi dan berpenyakit serta memastikan suatu drainage yang baik, atau obliterasi sinus
merupakan prinsip-prinsip terapi.

2
2.8.3 Komplikasi Intrakranial

Dapa berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak dan trombosis sinus
kavernosus.

Meningitis Akut Infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau
langsungdari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui
lamina kribriformis di dekat sistem sel udara etmoidalis.

Abses Dura Adalah kumpulan pus di antara dura dan tabula interna cranium; seringkali
mengikuti sinus frontalis. Proses ini mungkin timbul lambat sehingga pasien mungkin hanya
mengeluh nyeri kepala, dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan
intracranial yang memadai, mungkin tidak terdapat gejala neurologik lain. Abses subdural
adalah kumpulan pus di antara duramater dan araknoid atau permukaan otak. Gejala-gejal
kondisi ini serupa dengan abses dura yaitu nyeri kepala yang membandel dan demam tinggi
dengan tanda-tanda rangsangan meningen. Gejala utama tidak timbul sebelum tekanan
intracranial meningkat atau sebelum abses memecah ke dalam ruang subarachnoid.

Abses Otak Setelah sistem vena mukoperiosteum terinfeksi, maka dapat dimengerti bahwa
dapat terjadi perluasan metastatic secara hematogen ke dalam otak. Namun, abses otak biasanya
terjadi melalui trombiflebitis yang meluas secara langsung. Dengan demikian, lokasi abses yang
lazim adalah pada ujung vena yang pecah, meluas menembus dura dan araknoid hingga ke
perbatasan antara substansia alba dan grisea korteks serebri. Pada titik inilah akhir saluran vena
permukaan otak bergabung dengan akhir saluran vena serebralis bagian sentral.

2
Kontaminasi substansi otak dapat terjadi pada puncak suatu sinusitis supuratif yang berat, dan
proses pembentukan abses otak dapat berkelanjutan sekalipun penyakit pada sinus telah
memasuki tahap resolusi normal.

Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis, berupa Osteomielitis dan abses subperiostal
dan juga kelainan paru.

BAB 3

Kesimpulan dan Saran


2
DAFTAR PUSTAKA
(1) Soepardi, E, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher, Edisi 6. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.

2
(2) Boies, A. Buku Ajara Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Edisi 6. Jakarta: EGC.
1997.

(3) Ballenger, J. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Jilid I, Edisi 13.
Jakarta: Binarupa Aksara. 1994.

(4) http://www.niaid.nih.gov/TOPICS/SINUSITIS/Pages/symptoms.aspx

(5) http://www.medpagetoday.com/medical-news-rss-feeds/earnosethroat.xml

(6) http://www.scribd.com/doc/38951685/Sinusitis-Maksilaris2

Anda mungkin juga menyukai