Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

KLIEN DENGAN SINUSITIS DI POLI THT


RSD dr. ABDOER RAHEM SITUBONDO

Disusun guna memenuhi tugas pada Program Pendidikan Ners


Stase Keperawatan Medikal Bedah

Oleh:
Irwina Angelia Silvanasari, S.Kep
NIM 082311101052

PROGRAM PENDIDIKAN NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2013
LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
PADA KLIEN DENGAN SINUSITIS
Oleh: Irwina Angelia Silvanasari, S.Kep

1. TEORI TENTANG PENYAKIT


1.1 PENGERTIAN
Sinus adalah rongga udara yang terdapat di area wajah yang
terhubung dengan hidung. Fungsi dari rongga sinus adalah untuk
menjaga kelembapan hidung dan menjaga pertukaran udara di daerah
hidung. Rongga sinus terdiri dari 4 jenis, yaitu:
1. Sinus Frontal, terletak di atas mata dibagian tengah dari masing-
masing alis.
2. Sinus Maxillary, terletak diantara tulang pipi, tepat disamping
hidung.
3. Sinus Ethmoid, terletak diantara mata, tepat di belakang tulang
hidung.
4. Sinus Sphenoid, terletak dibelakang sinus ethmoid & dibelakang
mata.
Sinusitis adalah radang sinus paranasal. Sinusitis adalah suatu
peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksi virus,
bakteri, maupun jamur. Biasanya yang paling sering terkena yaitu pada
sinus maxila kemudian ethmoid, frontal, dan spenoid. Sinusitis adalah
penyakit infeksi sinus yang disebabkan oleh infeksi virus atau kuman.
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.
Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut
rinosinusitis (Kumar dan Clark, 2005). Lapisan mukosa dari sinus
paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung. Hidung dan sinus
paranasal merupakan bagian dari sistem pernapasan. Penyakit yang
menyerang bronkus dan paru-paru juga dapat menyerang hidung dan
sinus paranasal. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan proses infeksi,
seluruh saluran nafas dengan perluasan-perluasan anatomik harus
dianggap sebagai satu kesatuan (Hueston, 2002).

1.2 FAKTOR PREDISPOSISI


Sinusitis lebih sering disebabkan adanya faktor predisposisi, yaitu:
a. Gangguan fisik akibat kekurangan gizi, kelelahan, atau penyakit
sistemik.
b. Gangguan faal hidung oleh karena rusaknya aktivitas silia oleh asap
rokok, polusi udara, atau karena panas dan kering.
c. Kelainan anatomi yang menyebabkan gangguan saluran seperti :
1) Atresia atau stenosis koana
2) Deviasi septum
3) Hipertroti konka media
4) Polip yang dapat terjadi pada 30% anak yang menderita fibrosis
kistik
5) Tumor atau neoplasma
6) Hipertrofi adenoid
7) Udem mukosa karena infeksi atau alergi
8) Benda asing
d. Berenang dan menyelam pada waktu sedang pilek
e. Trauma yang menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal
f. Kelainan imunologi didapat seperti imunodefisiensi karena leukemia
dan imunosupresi oleh obat (Tadjudin, 1992, dalam Susanto, Edi,
2009).

1.3 ETIOLOGI
Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau
kurang) maupun kronis (berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat
berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun) (Susanto, Edi,
2009).

Penyebab sinusitis akut, yaitu antara lain:


a. Infeksi virus
Sinusitis akut bisa terjadi setelah suatu infeksi virus pada saluran
pernafasan bagian atas (misalnya pilek).
b. Bakteri
Di dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam
keadaan normal tidak menimbulkan penyakit (misalnya
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae). Jika sistem
pertahanan tubuh menurun atau drainase dari sinus tersumbat akibat
pilek atau infeksi virus lainnya, maka bakteri yang sebelumnya tidak
berbahaya akan berkembang biak dan menyusup ke dalam sinus,
sehingga terjadi infeksi sinus akut.
c. Infeksi jamur
Kadang infeksi jamur bisa menyebabkan sinusitis akut. Aspergillus
merupakan jamur yang bisa menyebabkan sinusitis pada penderita
gangguan sistem kekebalan. Pada orang-orang tertentu, sinusitis
jamur merupakan sejenis reaksi alergi terhadap jamur.
d. Peradangan menahun pada saluran hidung
Pada penderita rinitis alergika bisa terjadi sinusitis akut. Demikian
pula halnya pada penderita rinitis vasomotor.
e. Penyakit tertentu.
Sinusitis akut lebih sering terjadi pada penderita gangguan sistem
kekebalan dan penderita kelainan sekresi lendir (misalnya fibrosis
kistik).
f. Septum nasi yang bengkok
g. Tonsilitis yg kronik
Penyebab sinusitis kronis, yaitu antara lain:
a. Asma
b. Penyakit alergi (misalnya rinitis alergika)
c. Sinusitis akut yang sering kambuh atau tidak sembuh.
d. Karies dentis (gigi geraham atas)
e. Septum nasi yang bengkok sehingga menggagu aliran mukosa.
f. Benda asing di hidung dan sinus paranasal
g. Tumor di hidung dan sinus paranasal.
h. Gangguan sistem kekebalan atau kelainan sekresi maupun
pembuangan lendir (Susanto, Edi, 2009).

1.4 KLASIFIKASI
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, sinusitis terbagi atas:
a. Sinusitis akut
Bila infeksi beberapa hari sampai beberapa minggu.
b. Sinusitis subakut
Bila infeksi beberapa minggu sampai beberapa bulan.
c. Sinusitis kronik
Bila infeksi beberapa bulan sampai beberapa tahun.
Jika berdasarkan gejalanya, sinusitis terbagi atas:
a. Sinusitis akut
Bila terdapat tanda-tanda radang akut
b. Sinusitis subakut
Bila tanda akut sudah reda dan perubahan histologik mukosa sinus
masih reversibel.
c. Sinusitis kronik
Bila perubahan histologik mukosa sinus ireversibel, misalnya
menjadi jaringan granulasi atau polipoid.
1.5 PATOFISIOLOGI
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks
osteomeatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa
yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous
superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh
sel epitel untuk membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba
serta mengandungi zatzat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan
tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Cairan
mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya
berlebihan.
Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis
terjadinya sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi
obstruksi ostium sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi,
yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan
cairan mukus dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi silia ini akan
menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus.
Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi
karena infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda
sehingga jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak. Pulpa terbuka maka
kuman akan masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa sehingga
membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput
periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung
lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat
meluas dan mencapai tulang alveolar menyebabkan abses alveolar.
Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu
inflamasi mukosa sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus serta
abnormalitas sekresi mukus menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus
sehingga terjadinya sinusitis maksila. Dengan ini dapat disimpulkan
bahwa patofisiologi sinusitis ini berhubungan dengan tiga faktor, yaitu
patensi ostium, fungsi silia, dan kualitas sekresi hidung. Perubahan salah
satu dari faktor ini akan merubah sistem fisiologis dan menyebabkan
sinusitis

1.6 TANDA DAN GEJALA


Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas
(terutama pada anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih dari
7 hari. Gejala subyektif terbagi atas gejala sistemik, yaitu demam dan
rasa lesu, serta gejala lokal yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang
kadang berbau dan mengalir ke nasofaring (post nasal drip), halitosis,
sakit kepala yang lebih berat pada pagi hari, nyeri di daerah sinus yang
terkena, serta kadang nyeri alih ke tempat lain.
1. Gejala Subyektif
Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernafasan
atas (terutama pada anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama,
lebih dari 7 hari. Gejala subyektif terbagi atas gejala sistemik yaitu
demam dan rasa lesu, serta gejala lokal yaitu hidung tersumbat,
ingus kental yang kadang berbau dan mengalir ke nasofaring (post
nasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih berat pada pagi hari,
nyeri di daerah sinus yang terkena, serta kadang nyeri alih ke
tempat lain.
a. Sinusitis Maksilaris
Sinus maksila disebut juga Antrum Highmore, merupakan
sinus yang sering terinfeksi oleh karena:
1) Merupakan sinus paranasal yang terbesar
2) Letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran
sekret (drainase) dari sinus maksila hanya tergantung dari
gerakan silia
3) Dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus
alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan
sinusitis maksila
4) Ostium sinus maksila terletak di meatus medius di sekitar
hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat.
Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri
biasanya sesuai dengan daerah yang terkena. Pada sinusitis
maksila nyeri, terasa di bawah kelopak mata dan kadang
menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih
dirasakan di dahi dan depan telinga. Wajah terasa bengkak,
penuh dan gigi nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya
sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi
khas yang tumpul dan menusuk. Sekret mukopurulen dapat
keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif
non produktif seringkali ada.
b. Sinusitis Ethmoidalis
Sinusitus ethmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak,
seringkali bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Karena
dinding leteral labirin ethmoidalis (lamina papirasea)
seringkali merekah dan karena itu cenderung lebih sering
menimbulkan selulitis orbita. Pada dewasa seringkali bersama-
sama dengan sinusitis maksilaris serta dianggap sebagai
penyerta sinusitis frontalis yang tidak dapat dielakkan. Gejala
berupa nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus
medius, kadang-kadang nyeri dibola mata atau belakangnya,
terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih di pelipis , post nasal
drip dan sumbatan hidung.
c. Sinusitis Frontalis
Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan
infeksi sinus etmoidalis anterior. Gejala subyektif terdapat
nyeri kepala yang khas, nyeri berlokasi di atas alis mata,
biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari,
kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam.
Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila
disentuh dan mungkin terdapat pembengkakan supra orbita.
d. Sinusitis Sfenoidalis
Pada sinusitis sfenodalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex,
oksipital, di belakang bola mata dan di daerah mastoid. Namun
penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari pansinusitis,
sehingga gejalanya sering menjadi satu dengan gejala infeksi
sinus lainnya.
2. Gejala Obyektif
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit (frontal, maksila
dan ethmoid anterior) terkena secara akut dapat terjadi
pembengkakan dan edema kulit yang ringan akibat periostitis.
Palpasi dengan jari mendapati sensasi seperti ada penebalan ringan
atau seperti meraba beludru.
Pembengkakan pada sinus maksila terlihat di pipi dan
kelopak mata bawah, pada sinusitis frontal terlihat di dahi dan
kelopak mata atas, pada sinusitis ethmoid jarang timbul
pembengkakan, kecuali bila ada komplikasi.
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis
dan edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis
ethmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus medius,
sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan sinusitis sfenoid
nanah tampak keluar dari meatus superior. Pada sinusitis akut tidak
ditemukan polip,tumor maupun komplikasi sinusitis.Jika
ditemukan maka kita harus melakukan penatalaksanaan yang
sesuai.
Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring
(post nasal drip). Pada posisional test yakni pasien mengambil
posisi sujud selama kurang lebih 5 menit dan provokasi test yakni
suction dimasukkan pada hidung, pemeriksa memencet hidung
pasien kemudian pasien disuruh menelan ludah dan menutup mulut
dengan rapat, jika positif sinusitis maksilaris maka akan keluar pus
dari hidung.

1.7 KEMUNGKINAN KOMPLIKASI YANG MUNCUL


a. Komplikasi orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita
yang tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi
ethmoidalis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga
terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita.
Terdapat lima tahapan :
1) Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi
orbita akibat infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini
terutama ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang
memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah
pada kelompok umur ini.
2) Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara
aktif menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.
3) Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan
dinding tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
4) Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur
dengan isi orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis
optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan
gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis
konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis
yang makin bertambah.
5) Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran
bakteri melalui saluran vena kedalam sinus kavernosus,
kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik.
Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :
a) Oftalmoplegia.
b) Kemosis konjungtiva.
c) Gangguan penglihatan yang berat.
d) Kelemahan pasien.
e) Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus
yang berdekatan dengan saraf kranial II, III, IV dan VI, serta
berdekatan juga dengan otak.

b. Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang
timbul dalam sinus, kista ini paling sering ditemukan pada sinus
maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya
tidak berbahaya. Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis,
kista ini dapat membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur
sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan
pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral.
Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan
gangguan penglihatan dengan menekan saraf didekatnya.
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama
dengan mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat. Prinsip terapi
adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua
mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau
obliterasi sinus.
c. Komplikasi Intra Kranial
1) Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat
adalah meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat
menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang
berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau
melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara
ethmoidalis.
2) Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula
interna kranium, sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses
ini timbul lambat, sehingga pasien hanya mengeluh nyeri kepala
dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan
intra kranial.
3) Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan
arachnoid atau permukaan otak. Gejala yang timbul sama
dengan abses dura.
4) Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus
terinfeksi, maka dapat terjadi perluasan metastatik secara
hematogen ke dalam otak.
Terapi komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif,
drainase secara bedah pada ruangan yang mengalami abses dan
pencegahan penyebaran infeksi.
d. Osteomielitis dan abses subperiosteal
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang
frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat
sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam dan menggigil.

1.8 PEMERIKSAAN KHUSUS DAN PENUNJANG


1. Rinoskopi anterior
Tampak mukosa konka hiperemis, kavum nasi sempit, dan
edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis
ethmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus medius,
sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan sinusitis sfenoid
nanah tampak keluar dari meatus superior.
2. Rinoskopi posterior
Tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).
3. Dentogen
Caries gigi (PM1, PM2, M1)
4. Transiluminasi (diaphanoscopia)
Sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan
transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang sakit,
sehingga tampak lebih suram dibanding sisi yang normal.
5. X Foto sinus paranasalis
Pemeriksaan radiologik yang dibuat ialah Posisi Water’s,
Posteroanterior dan Lateral. Akan tampak perselubungan atau
penebalan mukosa atau batas cairan udara (air fluid level) pada sinus
yang sakit.
Posisi Water’s adalah untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya
terletak di bawah antrum maksila, yakni dengan cara
menengadahkan kepala pasien sedemikian rupa sehingga dagu
menyentuh permukaan meja. Posisi ini terutama untuk melihat
adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi
Posteroanterior untuk menilai sinus frontal dan Posisi Lateral untuk
menilai sinus frontal, sphenoid dan etmoid
6. Pemeriksaan CT –Scan
Pemeriksaan CT-Scan merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan
sifat dan sumber masalah pada sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan
pada sinusitis akan tampak : penebalan mukosa, air fluid level,
perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih
sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada
kasus-kasus kronik).Hal-hal yang mungkin ditemukan pada
pemeriksaan CT-Scan :
a. Kista retensi yang luas, bentuknya konveks (bundar), licin,
homogen, pada pemeriksaan CT-Scan tidak mengalami ehans.
Kadang sukar membedakannya dengan polip yang terinfeksi,
bila kista ini makin lama makin besar dapat menyebabkan
gambaran air-fluid level.
b. Polip yang mengisi ruang sinus
c. Polip antrokoanal
d. Massa pada cavum nasi yang menyumbat sinus
e. Mukokel, penekanan, atrofi dan erosi tulang yang berangsur-
angsur oleh massa jaringan lunak mukokel yang membesar dan
gambaran pada CT Scan sebagai perluasan yang berdensitas
rendah dan kadang-kadang pengapuran perifer.
7. Pemeriksaan di setiap sinus
a. Sinusitis maksila akut
Pemeriksaan rongga hidung akan tampak ingus kental yang
kadang-kadang dapat terlihat berasal dari meatus medius
mukosa hidung. Mukosa hidung tampak membengkak (edema)
dan merah (hiperemis). Pada pemeriksaan tenggorok, terdapat
ingus kental di nasofaring. Pada pemeriksaan di kamar gelap,
dengan memasukkan lampu kedalam mulut dan ditekankan ke
langit-langit, akan tampak pada sinus maksila yang normal
gambar bulan sabit di bawah mata. Pada kelainan sinus maksila
gambar bulan sabit itu kurang terang atau tidak tampak. Untuk
diagnosis diperlukan foto rontgen. Akan terlihat perselubungan
di sinus maksila, dapat sebelah (unilateral), dapat juga kedua
belah (bilateral).
b. Sinusitis etmoid akut
Pemeriksaan rongga hidung, terdapat ingus kental, mukosa
hidung edema dan hiperemis. Foto roentgen, akan terdapat
perselubungan di sinus etmoid.
c. Sinusitis frontal akut
Pemeriksaan rongga hidung, ingus di meatus medius. Pada
pemeriksaan di kamar gelap, dengan meletakkan lampu di sudut
mata bagian dalam, akan tampak bentuk sinus frontal di dahi
yang terang pada orang normal, dan kurang terang atau gelap
pada sinusitis akut atau kronis. Pemeriksaan radiologik, tampak
pada foto roentgen daerah sinus frontal berselubung.
d. Sinusitis sfenoid akut
Pemeriksaan rongga hidung, tampak ingus atau krusta serta foto
rontgen.

1.9 TERAPI YANG DILAKUKAN


a. Penatalaksanaan Medis
1. Drainage
a) Dengan pemberian obat, yaitu
Dekongestan local : efedrin 1%(dewasa) ½%(anak).
Dekongestan oral sedo efedrin 3 X 60 mg.
b) Surgikal dengan irigasi sinus maksilaris.
2. Pemberian antibiotik dalam 5-7 hari (untuk Sinusitis akut)
a) Ampisilin 4 X 500 mg
b) Amoksilin 3 x 500 mg
c) Sulfametaksol=TMP (800/60) 2 x 1tablet
d) Diksisiklin 100 mg/hari.
3. Pemberian obat simtomatik
Contohnya : parasetamol , metampiron 3 x 500 mg.
4. Untuk sinusitis kronis bisa dengan
a) Cabut geraham atas bila penyebab dentogen
b) Irigasi 1 x setiap minggu ( 10-20)
c) Operasi Cadwell Luc bila degenerasi mukosa ireversibel
(biopsi).
b. Penatalaksanaan Pembedahan
1. Pencucian sinus paranasal
a) Pada sinus maksila
Dilakukan fungsi sinus maksila, dan dicuci 2 kali seminggu
dengan larutan garam fisiologis. Caranya ialah, dengan
sebelumnya memasukkan kapas yang telah diteteskan
xilokain dan adrenalin ke daerah meatus inferior. Setelah 5
menit, kapas dikeluarkan, lalu dengan trokar ditusuk di
bawah konka inferior, ujung trokar diarahkan ke batas luar
mata. Setelah tulang dinding sinus maksila bagian medial
tembus, maka jarum trokar dicabut, sehingga tinggal pipa
selubungnya berada di dalam sinus maksila. Pipa itu
dihubungkan dengan semprit yang berisi larutan garam
fisiologis, atau dengan balon yang khusus untuk pencucian
sinus itu. Pasien yang telah ditataki plastik di dadanya,
diminta untuk membuka mulut. Air cucian sinus akan keluar
dari mulut, dan ditampung di tempat bengkok.
Tindakan ini diulang 3 hari kemudian. Karena sudah ada
lubang fungsi, maka untuk memasukkan pipa dipakai trokar
yang tumpul. Tapi tindakan seperti ini dapat menimbulkan
kemungkinan trokar menembus melewati sinus ke jaringan
lunak pipi,dasar mata tertusuk karena arah penusukan salah,
emboli udara karena setelah menyemprot dengan air
disemprotkan udara dengan maksud mengeluarkan seluruh
cairn yang telah dimasukkan serta perdarahan karena konka
inferior tertusuk. Lubang fungsi ini dapat diperbesar,
dengan memotong dinding lateral hidung, atau dengan
memakai alat, yaitu busi. Tindakan ini disebut antrostomi,
dan dilakukan di kamar bedah, dengan pasien yang diberi
anastesi.
b) Pada sinus frontal, etmoid dan sfenoid
Pencucian sinus dilakukan dengan pencucian Proetz.
Caranya ialah dengan pasien ditidurkan dengan kepala lebih
rendah dari badan. Kedalam hidung diteteskan HCL efedrin
0,5-1,5 %. Pasien harus menyebut “kek-kek” supaya HCL
efedrin yang diteteskan tidak masuk ke dalam mulut, tetapi
ke dalam rongga yang terletak dibawah ( yaitu sinus
paranasal, oleh karena kepala diletakkan ebih rendah dari
badan). Ke dalam lubang hidung dimasukkan pipa gelas
yang dihubungkan dengan alat pengisap untuk menampung
ingus yang terisap dari sinus. Pada pipa gelas itu dibuat
lubang yang dapat ditutup dan dibuka dengan ujung jari
jempol. Pada waktu lubang ditutup maka akan terisap ingus
dari sinus. Pada waktu meneteskan HCL ini, lubang di pipa
tidak ditutup. Tindakan pencucian menurut cara ini
dilakukan 2 kali seminggu.
2. CLINICAL PATHWAY

Infeksi virus, jamur, bakteri, peradangan menahun, septum nasal yang


bengkok, tonsillitis kronik, asma, alergi, karies dentis, tumor hidung.

Sinusitis

Peradangan Abnormalitas
Nafsu
makan sekresi mukus
menurun
Respon inflamasi
Sekret
mengental
Ketidakseimb
angan nutrisi
Nyeri akut Hipertermi kurang dari
Ketidakefektifan
kebutuhan Gangguan
bersihan jalan
tubuh pernapasan
napas

Sering
Gangguan pola
terbangun
tidur
malam hari
3. PROSES KEPERAWATAN
3.1 PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Pengkajian keperawatan pada klien dengan sinusitis meliputi:
1) Biodata : Nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan,
pekerjaan
2) Riwayat Penyakit sekarang
3) Keluhan utama : biasanya penderita mengeluh nyeri kepala sinus,
tenggorokan.
4) Riwayat penyakit dahulu :
- Pasien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung
atau trauma
- Pernah mempunyai riwayat penyakit THT
- Pernah menderita sakit gigi geraham
5) Riwayat keluarga : Adakah penyakit yang diderita oleh anggota
keluarga yang lalu yang mungkin ada hubungannya dengan
penyakit klien sekarang.
6) Riwayat spikososial
a. Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas/sedih0
b. Interpersonal : hubungan dengan orang lain.
7) Pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksanahidup sehat
Untuk mengurangi flu biasanya klien menkonsumsi obat tanpa
memperhatikan efek samping
b. Pola nutrisi dan metabolisme
Biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi gangguan
pada hidung
c. Pola istirahat dan tidur
Biasanya klien merasa tidak dapat istirahat karena klien sering
pilek

d. Pola Persepsi dan konsep diri


Klien sering pilek terus menerus dan berbau menyebabkan
konsepdiri menurun
e. Pola sensorik
Daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat
pilek terus menerus (baik purulen , serous, mukopurulen).
8) Pemeriksaan fisik
a. status kesehatan umum : keadaan umum , tanda viotal,
kesadaran.
b. Pemeriksaan fisik data focus hidung : nyeri tekan pada sinus,
rinuskopi (mukosa merah dan bengkak).

3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN


a. Nyeri berhubungan dengan peradangan pada hidung
b. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas jalan nafas berhubungan
dengan adanya sekret yang mengental
c. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan nafsu
makan menurun sekunder akibat peradangan pada sinus
d. Gangguan pola tidur berhubungan dengan sering terbangun
sekunder akibat gangguan pernafasan

3.3 PERENCANAAN KEPERAWATAN


a. Nyeri berhubungan dengan peradangan pada hidung
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, klien tidak
merasakan nyeri atau nyeri berkurang.
Kriteria hasil:
1) Skala nyeri 0-2
2) Jalan nafas menjadi efektif setelah sekret dikeluarkan
3) Klien tidak mengeluhkan penurunan nyeri

INTERVENSI RASIONAL

1. Observasi tanda-tanda vital. 1. Perubahan frekuensi jantung atau TD


menunjukkan bahwa pasien
mengalami nyeri.
2. Kaji terhadap nyeri dengan skala 2. Membantu dalam mengevaluasi gejala
0-10 nyeri.
3. Berikan kesempatan waktu 3. Meningkatkan relaksasi dan
istirahat bila terasa nyeri dan pengalihan perhatian. Menghilangkan
berikan posisi yang nyaman Serta ketidaknyamanan dan meningkatkan
ajarkan tehnik relaksasi dan efek terapiutik analgesik.
metode distraksi.
4. Kolaborasi analgesik 4. Mempertahankan kadar obat lebih
konstan menghindari puncak periode
nyeri.

b. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan adanya


sekret yang mengental.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, bersihan jalan
napas klien efektif.
Kriteria hasil:
a. Jalan napas paten
b. Bunyi napas vesikuler
c. Tidak ada sekret pada jalan napas

INTERVENSI RASIONAL

1. Auskultasi bunyi nafas. 1. Beberapa derajat spasme bronkus


terjadi dengan obstruksi jalan nafas
dan dapat / tak dimanifestasikan
adanya bunyi nafas.
2. Membantu untuk meminimalkan
2. Ajarkan batuk efektif. kolaps jalan nafas kecil.
3. Hidrasi membantu menurunkan
3. Tingkatkan masukan cairan kekentalan sekret.
sesuai toleransi jantung. 4. Dapat memperbaiki / mencegah
4. Beri O2 tambahan sesuai hipoksia.
indikasi. 5. Kelembapan dapat menurunkan
5. Koaborasi nebulizing dengan kekentalan sekret dan
tim medis untuk pembersihan mempermudah pengeluaran.
secret.

c. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan nafsu


makan menurun sekunder akibat peradangan pada sinus.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, kebutuhan nutrisi
klien sesuai dengan kebutuhan tubuh.
Kriteria hasil:
1) Intake nutrisi klien cukup
2) Klien tidak mual atau muntah
3) Berat badan klien ideal

INTERVENSI RASIONAL

1. Catat intake dan output 1. Mengetahui perkembangan


makanan klien. pemenuhan nutrisi klien
2. Memberikan kesempatan untuk
2. Menganjurkan untuk makan meningkatkan masukan kalori
sedikit- sedikit tapi sering. total.
3. Dapat menghasilkan distensi
3. Hindari makanan penghasil gas
abdomen yang mengganggu nafas
dan minuman karbonat.
abdomen dan gerakan diafragma.
4. Kolaborasi dengan ahli gizi 4. Metode makan dan kebutuhan
untuk membantu memilih kalori didasarkan pada kebutuhan
makanan yang dapat memenuhi individu untuk memberikan nutrisi
kebutuhan gizi selama sakit. maksimal.

d. Gangguan pola tidur berhubungan dengan sering terbangun


sekunder akibat gangguan pernafasan
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, pola tidur klien baik
Kriteria hasil:
1) Pola tidur klien teratur
2) Klien tidak mengeluhkan perasaan tidak nyaman setelah bangun
tidur
3) Tidur malam klien 6-8 jam

INTERVENSI RASIONAL

1. Kaji kebutuhan tidur klien. 1. Mengetahui permasalahan klien


dalam pemenuhan kebutuhan
istirahat atau tidur.
2. Menciptakan suasana yang 2. Suasana yang nyaman merupakan
nyaman. indikator untuk klien agar dapat
tidur dengan nyaman dan tenang.
3. Kolaborasi dengan tim medis 3. Pernafasan dapat efektif kembali
pemberian obat lewat hidung

4. DAFTAR PUSTAKA
Damayanti dan Endang. 2002. Buku Ajar Ilmu Kedokteran THT Kepala dan
Leher, edisi. 5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Ghorayeb B. Sinusitis. Dalam Otolaryngology Houston. Diakses dari
www.ghorayeb.com/AnatomiSinuses.html [16 September 2013].
Hueston, W.J., 2002. Sinusitis. In: Hueston’s. Respiratory disorder. 3rd ed.
USA: McGraw-Hill. 83-102
Kumar, P. and Clark, M., 2005. The Special Senses. Clinical Medicine. 6th
ed. Philadelphia : Saunders Elsevier. 1153-1155
Mangunkusumo E, Soetjipto. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Jakarta: FKUI
Mangunkusumo, Endang, dkk. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta: Balai Penerbit FK UI
Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3. Jakarta:
Penerbit Media Ausculapius FK UI
Perhati. 2006. Fungsional endoscopic sinus surgery. HTA Indonesia
Susanto, Edi. 2009. Sinusitis Frontalis.
http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/09/sinusitis_frontalis_files
_of_drsmed.pdf [diakses tanggal 16 September 2013].
Wikipedia. Sinusitis. Diakses dari www.wikipedia.org/wiki/sinusitis [16
September 2013].

Anda mungkin juga menyukai