Anda di halaman 1dari 14

Kasus 1 : Sinusitis dan COVID-19

Kasus 2 : Epistaksis
Kasus 3 : trauma pada hidung dan tonsilitis

1. Sinusitis
Definsi : Adalah pennyakit yang sering ditemukan, merupakan inflamasi mukosa sinus paranasal. Ini disertai dan
dipicu oleh rinitis yang disebut rinosinusitis.
Penyebab : common cold (virus, bakteri).

Mengenai beberapa sinus : multisinusitis. Mengenai semua sinus paranasal : pansinusitis.


Paling sering : sinus etmodid dan maksila. Sinus frontal dan sfenid : jarang.
Sinus maksilla : Antrum highmore, letak dekat akar gigi rahang ataas, maka infeksi gigi lebih cepat nyebar ke sinus
disebut sinusitis dentogen.

Etiopatogenesis :
Sinusitis paranasal salah satu fungsinya adalah menghasilkan lender yang dialirkan ke dalam hidung, untuk
selanjutnya dialirkan ke belakang, kea rah tenggorokan untuk ditelan di saluran pencernaan. Semua keadaan yang
mengakibatkan tersumbatnya aliran lendir dari sinus ke rongga hidung akan menyebabkan terjadinya sinusitis.
Secara garis besar penyebab sinusitis ada 2 macam, yaitu :
a. Faktor local adalah smua kelainan pada hidung yang dapat mnegakibatkan terjadinya sumbatan; antara lain
infeksi, alergi, kelainan anatomi, tumor, benda asing, iritasi polutan, dan gangguan pada mukosilia (rambut
halus pada selaput lendir)
b. Faktor sistemik adalah keadaan diluar hidung yang dapat menyebabkan sinusitis; antara lain gangguan daya
tahan tubuh (diabetes, AIDS), penggunaan obat – obat yang dapat mengakibatkan sumbatan hidung

 Penyebab pada sinusitis akut adalah


a. Infeksi virus Sinusitis akut bisa terjadi setelah adanya infeksi virus pada saluran pernafasan bagian atas
(misalnya Rhinovirus, Influenza virus
b. Bakteri : sistem pertahanan tubuh menurun atau drainase dari sinus stersumbat karena pilek atau infeksi virus,
maka bakteri akan berkembang biak dan masik sinus (Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae).
c. Jamur : Aspergillus
d. Peradangan menahun pada saluran hidung

 Penyebab sinusitis kronik adalah :


a. Sinusitis akut yang sering kambuh atau tidak sembuh
b. Alergi
c. Karies dentis ( gigi geraham atas )
d. Septum nasi yang bengkok sehingga menggagu aliran mucosa.
e. Benda asing di hidung dan sinus paranasal
f. Tumor di hidung dan sinus paranasal.

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary
clearance) di dalam KOM. Mukus juga mengandung substansi antimicrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai
mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Organ-organ yang membentuk
KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak
dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negative di dalam ronga sinus yang menyebabkan
terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini biasa dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya
sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.
Bila kondisi ini menetap, secret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan
multiplikasi bakteri. Secret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bacterial dan memerlukan
terapi antibiotic. Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada factor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi
hipoksia dan bacteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus
berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan
kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi.
Menurut berbagai penelitian, bacteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut adalah streptococcus pneumonia
(30-50%). Hemopylus influenzae (20-40%) dan moraxella catarrhalis (4%). Pada anak, M.Catarrhalis lebih banyak di
temukan (20%). Pada sinusitis kronik, factor predisposisi lebih berperan, tetapi umumnya bakteri yang ada lebih
condong ka rarah bakteri negative gram dan anaerob.

Diagnosis :
Pemeriksaan fisik
1. Rinoskopi anterior
Pada pemeriksaan Rinoskopi anterior akan didapatkan mukosa yang edema dan hiperemis, terlihat sekret
mukopus pada meatus media. Pada sinusitis ethmoiditis kronis eksasserbasi akut dapat terlihat suatu kronisitas
misalnya terlihat hipertrofi konka, konka polipoid ataupun poliposis hidung.
2. Rinoskopi posterior
Pada pemerikasaan Rinoskopi posterior, tampak sekret yang purulen di nasofaring dan dapat turun ke
tenggorokan.
3. Nyeri tekan pipi sakit
4. Transiluminasi
Dilakukan di kamar gelap memakai sumber cahaya penlight berfokus jelas yang dimasukkan ke dalam mulut
dan bibir dikatupkan. Arah sumber cahaya menghadap ke atas. Pada sinus normal tampak gambaran terang
pada daerah glabella. Pada sinusitis ethmoidalis akan tampak kesuraman.
Pemeriksaan penunjang
1. Foto polos posisi Waters, PA dan lateral  menilai kondisi sinus-sinus besar yaitu sinus maksilla dan sinus
frontal. Kelainan terlihata adanya batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalann mukosa.
2. CT Scan sinus
GOLD STANDARD dalam penilaian sinsys 00> mahal dan hanya dikerjakan pada penunjang diagnosis
sinusitis kronik.
3. Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi
Untuk mendaptkan antibiotik yang tebat.
4. Sinuskopi
Dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila yang melalui meatus inferior, dengan alat endoskop
bisa dilihat kondisi sinus maksila yanng sebenarnya.
Faktor risiko
Manifestasi Klinis :
Ada beberapa tanda gejala yang terjadi saat infeksi sinus. Gejala ini sering dialami oleh banyak orang, yaitu :
1. Nyeri dan merasa tertekan pada wajah. Nyeri tumpul berdenyut atau tekanan yang merupakan tanda utama
sinusitis terjadi akibat tekanan yang ditimbulkan oleh jaringan yang meradang pada ujung-ujung syaraf di
dinding dalam sinus.
Sinusitis frontalis menyebabkan nyeri dahi atau sakit kepala. Sinusitis maksilaris menyebabkan nyeri pipi
yang dapat menjalar ke gigi di rahang atas. Sinusitis Edmoidalis menyebabkan nyeri diantara mata. Sinusitis
sfenidalis menyebabkan nyeri di belkang mata, di puncak kepala, atau di sepanjang tengkuk.
2. Hidung tersumbat dan susah bernafas..
Pembengkakan selaput hidung dan peningkatan pembentukan lendir menyebabkan penderita sulit bernafas
melalui hidung. Penyumbatan ini dapat mengenai satu atau dua sisi hidung.
Bagi sebagian penderita sinusitis, istilah penyumbatan merujuk bukan pada tersumbatnya pernafasan hidung,
melainkan pada perasaan penuh atau tersumbat di wajah, terutama di pipi. Sensasi ini disebabkan oleh
tersumbatnya sinus itu sendiri. Jika ostium yang membengkak tertutup, membrane mukosa pada sinus akan
menyerap oksigen, menghasikan tekanan negative (atau vakum), yang dapat menimbulkan sensasi
penyumbatan wajah atau bahkan nyeri.
3. Postnasal Drip Lendir dari sinus secara normal mengalir dalam jumlah kecil ke dalam hidung dan turun ke
belakang tenggorokkan sebelum tertelan. Selama infeksi produksi lendir meningkat, lebih kental dan berwarna
kuning atau hijau.
Perubahan warna lendir disebabkan oleh campuran bakteri dan sel darah putih, sebagai tanda bahwa tubuh
telah melawan infeksi yang berlangsung. Lendir yang kental dan berwarna hijau ini seringkali turun ke
tenggorokan dan disebut postnasal drip.
Adapun gejala sinusitis lainnya, adalah :
a. Berkurangnya daya penciuman Atap rongga hidung dilapisi oleh jaringan khusus yang dikenal sebagai epitel
olfaktorius. Jaringan ini mengandung reseptor penghidu yang dirangsang oleh molekul-molekul bau.
Membengkaknya membrane di hidung dapat menghambat molekul-molekul ini mencapai reseftor penciuman
sehingga indra penciuman menjadi kurang peka.
b. Berkurangnya daya pengecapan Indra pengecapan yang normal bergantung pada keutuhan sensasi penciuman,
sehingga terganggunya indra penciuman akan menyebabkan berkurangnya fungsi dari indera pengecap.
c. Nafas berbau Lendir kehijauan yang mengalir dari sinus yang terinfeksi mengandung bakteri dan bahan
buangan yang mengalami bau busuk akibatnya, lendir kental yang mengalir ke tenggorokkan dapat
menyebabkan bau mulut. Bau mulut ini biasanya ditimbulkan oleh adanya bakteri di mulut.
d. Batuk Ketika mengalir ke bawah melalui belakang tenggorokkan, lendir mungkin menyentuh pita suara dan
memicu respon batuk yang tidak di sengaja. Batuk sering lebih parah saat bangun pagi karena sepanjang
malam terjadi penumpukkan lendir dari hidung dan sinus tenggorokkan. Jika lendir ini meresap di antara pite
suara dan ke dalam trakea mungkin di perlukan batuk-batuk hebat untuk membersihkan sekresi dan
melindungi paru-paru.
e. Nyeri tenggorokkan Lendir kental yang mengalir sewaktu infeksi sinus bersifat lebih asam daripada lendir cair
normal, sehingga lendir ini dapat mengiritasi membrane yang melapisi tenggorokkan anda.
f. Lesu Tubuh manusia menggunakan energy untuk menghasilkan respon imun. Pergeseran cadangan kalori ini
dari aktifitas harian normal ke perlawanan terhadap infeksi dapat menyebabkan seseorang menjadi lelah.
Selain itu, pernafasan hidung yang terganggu dan sering batuk pada malam hari dapat menyebabkan kualitas
hidup menurun.
g. Rasa penuh di telinga Drainase lendir dan peradangan sinusitis dapat menyumbat tuba eustakius, yaitu saluran
yang menghubungkan telinga dengan bagian belakang hidung. Jika saluran ini terbuka dan berfungsi normal,
tekanan antara bagian dalam telinga dan atmosfer luar akan seimbang. Jika saluran ini tersumbat, biasanya
akan mengalami perasaan penuh atau tekanan yang tidak nyaman di telinga.
h. Demam
Demam akan timbul pada gejala dan tanda sinusitits, hal ini karena sistem imun dalam tubuh sedang bekerja,
tetapi tidak terlalu tinggi. Demam yang tidak terlalu tinggi ini juga menandakan bahwa infeksi sinus telah
berlangsung lama.
Tatalaksana :
Prinsip pengobatan ialah menghilangkan gejala membrantas infeksi,dan menghilangkan penyebab. Pengobatan dpat
dilakukan dengan cara konservatif dan pembedahan.
Pengobatan konservatif terdiri dari :
 Istirahat yang cukup dan udara disekitarnya harus bersihdengan kelembaban yang ideal 45-55%
 Antibiotika ayang adekuat palingsedikit selama 2 minggu
 Analgetika untuk mengatasi rasa nyeri
 Dekongestan untuk memperbaiki saluran yang tidak boleh diberikan lebih dari pada 5 hari karena dapat terjadi
Rebound congestion dan Rhinitis redikamentosa. Selain itu pada pemberian dekongestan terlalu lama dapat
timbul rasa nyeri, rasa terbakar,dan kering karena arthofi mukosa dan kerusakan sili
 Antihistamin jikaada factor alergi
 Kortikosteoid dalam jangka pendek jika ada riwayat alergi yang cukup parah.

Pengobatan operatif dilakukan hanya jika ada gejala sakit yang kronis, otitis media kronik, bronchitis kronis, atau ada
komplikasi serta abses orbita atau komplikasi abses intracranial.
Prinsip operasi sinus ialah untuk memperbaiki saluran sinus paranasalis yaitu dengan cara membebaskan muara sinus
dari sumbatan. Operasi dapat dilakukan dengan alat sinoskopi (1-“ESS= fungsional endoscopic sinus surgery).
Tekhnologi ballon sinuplasty digunakan sebagai perawatan sinusitis. Tekhnologi ini, sama dengan balloon
Angioplasty untuk menggunakan kateter balon sinus yang kecil dan lentur (fleksibel) untuk membuka sumbatan
saluran sinus, memulihkan saluran pembuangan Sinus yang normaldan fungsi-fungsinya. Ketika balon mengembang,
ia akan secara perlahan mengubah struktur dan memperlebar dinding-dinding dari saluran tersebut tanpa merusak jalur
sinus.

Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF / FESS) adalah operasi terkini dalam sinusitis kronik. Indikasi : sinusitis
kronis yang tidak emmbaik, sinusitis kronik yang disertai kista atua kelainan yang ireversibel, polip ekstensif, ada
komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.

Komplikasi :
 Kelainan orbita
Karena sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita)  paling sering adalah sinus etmoid, kemudian
sinusitis frontal dan maksila.
Penyebaran infeksi bakteri : tromboflebitis dan perkontinuitataum.
Kelainan : edema palpebra, abses superiostal, abses orbita, dan selanjutnya terjadi trombosis sinus kavernous.
 Kelainan intrakranial
Meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak dan trombosis sinus kavernous.
Komplikasi pada sinusitis kronis
 Osteomielitis dan abses suoperiosteal
Timbul akibat sinusitis frontal dan ditemukan pada anak-anak. Osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula
oroantral atau fistula pada pipi.
 Kelainan paru
Bronkitis kronik dan bronkiektasis, kambuhnya asma bronkial.
2. COVID-19
Definsi :
Etiopatogenesis :
Diagnosis :
Faktor risiko
Manifestasi Klinis :
Tatalaksana
3. Epistaksis
Definsi :
Atau perdarahan hidung banyak yang dapat dijumpai pada anak hingga usia lanjut. Seringkali sebagai gejala
klinis dan kebanyakan ringan.
Epistaksis berasal dari istilah yunani epistazein yang berarti perdarahan dari hidung. Epistaksis adalah
perdarahan akut yang berasal dari vestibulum nasi, kavum nasi atau nasofaring.
Epistaksis anterior paling sering terjadi daerah septum anterior bagian kartilagenus, pada bagian ini terdapat
anastomosis dari arteri sfenopalatina, palatina mayor, etmoidalis anterior, dan labialis superior (cabang dari arteri
fasialis), membentuk plexus Kiesselbach atau Little’s area.
Etiopatogenesis :
Etiologi : timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya, kadang2 ada trauma. Epistaksis juga karena kelainan lokal
pada hidung atau kelainan sistemik.

Kelainan lokal :
a. trauma,
Karena menggorek hihdung, bersin, megeluarkan ingus terlalu keras. Karena trauma jatuh, pukul, kecelakaan
lalu lintas.
Juga karena spina septum tajam. Perdarahan terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka.

b. kelainan anatomi,
c. kelainan pembuluh darah,
Kongenital  pembuluh darah tipis, lebar, jaringan ikat dan sel2 lebih dikit.
d. infeksi lokal,
Rinitis, atau sinusitis. Infeksi spesifik : rinitis jamur, tuberkulosis, sifilis, lepra.
e. benda asing,
Hemangioma dan karsinoma.  angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat.
f. tumor,
g. pengaruh udara lingkungan.

Kelainan sistemik :
a. Penyakit kardiovaskular
Hipertensi dan kelainan pembulh darah (aterosklerosis, nefritis kornis, sirosis hepatis, atau diabetes melitus
dapat menyebabkan epistaksis.
Kelainan darah : trombositopenia, leukemia, anemia, hemofilia.
b. Perubahan tekanan atmosfir
c. Kelainan hormonal
Pada wanita hamil atau menopause karena perubahan hormonal.
d. Kelainan kongenital
Von willebrand disease, telangiektasis osler-rendu-weber disease.
e. Infeksi sistemik (dbd, demam tifoid, influenza, morbili).
Sumber pedarahan
 Epistaksis anterior
Berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian anterior atau dari arteri etmoidaslis anterior.
Perdarahan bersifat ringan , karena keadaan mukosa hiperemis atau kebiasan mengorek hidung.
 Epistaksis posterior
Berasal dari arteri etmoidalis posteiror atau arteri sfenopalatina, lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri.
Sering ditemukan pada hipertnesi, arteriosklerosis, atau pasien dengan kardiovaskular karena pecahnya
sfenopalatina.

Diagnosis :
1. Anamnesis
Pada anamnesis harus di tanyakan tentang awal terjadi perdarahan, perdarahan pada satu sisi atau
kedua sisi hidung, riwayat perdarahan sebelumnya, durasi dan jumlah perdarahan, penyakit penyerta seperti
hipertensi, leukemia, hemofilia, purpura, gagal jantung, pemakaian obat-obatan seperti Aspirin atau Warfarin,
NSAID ( Ibuprofen), Vitamin E dosis tinggi serta riwayat kelainan darah atau leukemia dalam keluarga.
Kebanyakan perdarahan dari hidung disebabkan oleh trauma ringan pada septum nasi anterior, oleh
karena itu anamnesis harus mencakup kemungkinan tersebut. Riwayat perdarahan hidung yang sering
berulang disertai bagian tubuh lain yang mudah memar atau perdarahan lainnya memberikan kecurigaan
terhadap penyebab sistemik dan dianjurkan pemeriksaan hematologis.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, setelah memeriksa keadaan umum pasien dan memastikan tanda vital stabil,
perhatian diarahkan pada hidung. Alat-alat yang harus disiapkan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala,
spekulum hidung dengan ukuran yang sesuai ( anak atau dewasa), alat penghisap ( Suction ) dan pinset
bayonet. Adapun bahan-bahan yang harus disiapkan adalah kapas, kain kasa, larutan pantokain 2% atau
larutan lidokain 2%, larutan epinefrin 1:100.000 dan 1:200.000.
Untuk pemeriksaan yang adekuat penderita harus ditempatkan dalam posisi duduk tegak atau tidur
dengan posisi kepala tinggi yang memudahkan pemeriksa bekerja dan cukup sesuai untuk mengobservasi atau
mengeksplorasi kavum nasi penderita. Dengan menggunakan spekulum, hidung dibuka dan dengan alat
pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun bekuan darah, sesudah
dibersihkan seluruh kavum nasi diobservasi untuk mencari sumber perdarahan dan kemungkinan faktor
penyebab perdarahan. Kemudian masukkan kapas tampon xylocaine jelly dengan adrenalin atau epinefrin
1:5000 atau dengan larutan efedrin 1 – 2 % atau kapas yang telah disemprot dengan larutan epinefrin :
lidokain 1 : 4 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah
sehingga perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung
dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.
Rinoskopi anterior ; Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa
hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan cermat.
Rinoskopi posterior ; Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis
berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemerikasaan penunjang dilakukan untuk mencari penyebab dari epistaksis. Pemeriksaan yang dapat
dilakukan antara lain: nasoendoskopi, foto kepala (posisi waters, lateral dan caldwell), Cumputed Tomografi
Scan (CT Scan), dan Magnetic Resonance Imaging (MRI).
Pemeriksaan nasoendoskopi dilakukan untuk evaluasi bagian kavum nasi dan muara sinus secara
langsung menggunakan tampilan berkualitas tinggi. Ini adalah prosedur yang biasa dilakukan di bagian THT-
KL dan berfungsi sebagai alat diagnostik objektif dalam mengevaluasi mukosa hidung, anatomi sinonasal, dan
patologi hidung. Nasoendoskopi dapat dilakukan dengan menggunakan teleskop serat optik atau teleskop
kaku.4 Pemeriksaan foto kepala dilakukan dalam 2 posisi, yaitu posisi Waters, Lateral dan Caldwell.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat gambaran sinus paranasal, detail tulang kepala, dasar kepala dan
struktur tulang wajah pada epistaksis yang dicurigai akibat fraktur nasal dan trauma wajah.
Pada epistaksis, pemeriksaan Computed Tomography Scan (CT Scan) sangat penting untuk menilai
rongga hidung dan sinus paranasalis terhadap kemungkinan adanya penyakit primer yang menjadi penyebab
dari epistaksis. Beberapa penyakit yang dapat menjadi penyebab dari epistaksis antara lain trauma, neoplasma
maupun kelaianan kongenital dapat ditegakkan diagnosis dengan bantuan CT Scan. Demikian juga, Magnetic
Resonance Imaging (MRI) lebih baik dibandingkan CT scan dalam membedakan tumor dari sekitarnya terkait
penyakit inflamasi.
Faktor risiko
Manifestasi Klinis :
Epistaksis biasanya unilateral akan tetapi dapat juga bilateral, biasanya bila perdarahan cukup banyak maka
darah akan keluar juga dari sisi sebelahnya dan akan terlihat bilateral. Bila perdarahan cukup masif maka pasien akan
terlihat gelisah bila begitu hebat mungkin dapat menimbulkan risiko pada jalan napas, biasanya disebabkan oleh
epistaksis posterior, pada umumnya kelainan ini muncul sebagai akibat terdapatnya perdarahan dari cabang arteri
sphenopalatina.
Epistaksis posterior biasanyasering ditemukan pada pasien yang berusia lanjut denganriwayat komorbid yang
jelas.Epistaksis pada pasien tertentu membutuhkan pertimbangan khusus,termasuk didalamnya adalah mereka yang
memiliki riwayat hemoragik telangiektasia,neoplasma sinonasal, dan pasien pascaoperasi hidung atau pasca trauma
hidung atau muka.
Tatalaksana :
Terdapat 3 prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi,
dan mencegah berulangnya epistaksis. Menghentikan perdarahan dapat dilakukan dengan:
a. Penekanan langsung pada ala nasi
Penanganan pertama dimulai dengan penekanan langsung ala nasi kiri dan kanan bersamaan selama 5
– 30 menit. Setiap 5 – 10 menit sekali dievaluasi apakah perdarahan telah terkontrol atau belum. Penderita
sebaiknya tetap tegak namun tidak hiperekstensi untuk menghindari darah mengalir ke faring yang dapat
mengakibatkan aspirasi.
b. Kauterisasi
Perdarahan yang berasal dari plexus Kiesselbach dapat ditangani dengan kauteriasi kimia Perak Nitrat
30%, Asam Triklorasetat 30%, atau Polikresulen pada pembuluh darah yang mengalami perdarahan selama 2
– 3 detik. Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua septum karena dapat menimbulkan perforasi.
Prosedur elektrokauterisasi juga dapat dilakukan. Metode ini dilakukan pada perdarahan yang lebih
masif yang kemungkinan berasal dari daerah posterior, dan kadang memerlukan anestesi lokal. Terdapat dua
macam mekanisme elektrokauter, yaitu monopolar dan bipolar.
c. Tampon hidung
Tampon hidung dapat digunakan untuk menangani epistaksis yang tidak responsif terhadap
kauterisasi. Terdapat dua tipe tampon, tampon anterior dan tampon posterior. Pada keduanya, dibutuhkan
anestesi dan vasokonstriksi yang adekuat.
Tampon Anterior. Untuk tampon anterior dapat digunakan tampon Boorzalf atau tampon sinonasal
atau tampon pita (ukuran 1,2 cm x 180 cm), yaitu tampon yang dibuat dari kassa gulung yang diberikan
vaselin putih (petrolatum) dan asam borat 10%, atau dapat menggunakan salep antibiotik, misalnya
Oksitetrasiklin 1%, tampon ini merupakan tampon tradisional yang sering digunakan.
Bahan lain yang dapat dipakai adalah campuran bismuth subnitrat 20% dan pasta parafin iodoform
40%, pasta tersebut dicairkan dan diberikan secara merata pada tampon sinonasal / pita, tampon ini dapat
dipakai untuk membantu menghentikan epistaksis yang hebat. Pasang dengan menggunakan spekulum hidung
dan pinset bayonet, yang diatur secara bersusun dari inferior ke superior dan seposterior mungkin untuk
memberikan tekanan yang adekuat. Apabila tampon menggunakan boorzalf atau salep antibiotik harus dilepas
dalam 2 hari, sedangkan apabila menggunakan bismuth dan pasta parafin iodoform dapat dipertahankan
sampai 4 hari.
Tampon posterior. Epistaksis yang tidak terkontrol menggunakan tampon rongga hidung anterior
dapat ditambahkan tampon posterior.
Menggunakan tampon yang digulung disebut tampon Bellocq. Apabila melakukan pemasangan
tampon posterior, maka tampon anterior seyogyanya tetap dipasang. Antibiotik intravena tetap diberikan
untuk mencegah rinosinusitis dan syok septik.

d. Ligasi arteri
Pemilihan pembuluh darah yang akan diligasi bergantung pada lokasi epistaksis. Secara umum,
semakin dekat ligasi ke lokasi perdarahan, maka kontrol perdarahan semakin efektif. Pembuluh darah yang
dipilih antara lain : arteri karotis eksterna, arteri maksila interna atau arteri etmoidalis.
e. Embolisasi
Perdarahan yang berasal dari sistem arteri karotis eksterna dapat diembolisasi. Dilakukan angiografi
preembolisasi untuk mengevaluasi sistem arteri karotis eksterna dan arteri karotis interna. Embolisasi
dilakukan pada arteri maxilaris interna dan externa. Angiografi postembolisasi dapat digunakan untuk menilai
tingkat oklusi.
Komplikasi dan pencgegana
Akibat perdarahan hebat : anemia, syok, gagal ginjal. Turunnya tekanan darah menyebabkan hipotensi, hipoksia,
iskemia serebri, insufisiensi kokroner, infark miokard, sampai kematian.
Infeksi terjadi karena pembuluh darah terbuka.
Pemasangan tampon dapat menyeabbkan rino-sinusitis, otitis media, septikemia atau toxic shock syndrome. Harus
ddiberikan antibiotik pada pemasangan tampon dan 2-3 hari setelah itu harus dicebut.
Dapat tejradi hemotimpanium kaibat mengalirnya darah melalui tuba eustachius, air mata berdarah karena mengalir
darah melalui duktus nasolakrimalis.
Pemasangan tampon posterior, menyebabkan laserasi palatum mole atau sudut bibir, jika benang keluar dari mulut
terlallu ketat dengan ipi.
4. Trauma pada hidung / fraktur nasal
Definsi :
Fraktur hidung merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh trauma pada wajah, ditandai dengan patahnya
tulang hidung baik sederhana maupun kominutif dan sering menyebabkan sumbatan pada hidung. Fraktur hidung
terjadi akibat benturan langsung pada wajah yang paling sering didapatkan dengan insiden sekitar 40%. Bentuk
struktur hidung yang menonjol dan rapuh mengakibatkan hidung sangat rentan mengalami trauma benturan.
Kesalahan penanganan fraktur hidung mengakibatkan deformitas cukup bermakna secara kosmetik maupun
fungsional.
Etiopatogenesis :
Penyebab fraktur hidung berkaitan dengan trauma langsung pada hidung atau wajah. Hanya sedikit kekuatan
benturan yang diperlukan untuk dapat menimbulkan fraktur hidung. Fraktur hidung paling sering terjadi pada dewasa,
di daerah perkotaan biasanya terjadi pada perkelahian, olahraga, dan kecelakaan lalu lintas sedangkan daerah pedesaan
biasanya terjadi akibat kecelakaan bekerja. Kekerasan fisik pada perempuan dapat juga dipertimbangkan.
Tipe dan berat-ringannya fraktur nasal tergantung pada kekuatan, arah, jenis dan mekanisme trauma. Objek
yang kecil dengan kecepatan tinggi akan menimbulkan kerusakan yang hebat dibandingkan dengan objek besar tapi
kecepatan rendah.
Mekanisme terjadinya fraktur nasal harus dipahami dengan benar agar penatalaksaannya dapat dilakukan
dengan tepat. Pada penderita dewasa muda cenderung lebih mudah terjadi dislokasi, pada orang tua cenderung terjadi
fraktur komunitif sedangkan pada anak umumnya terjadi terjadi fraktur greenstick. Hal ini disebabkan karena tulang
hidung anak masih banyak terdapat tulang rawan, dan berisiko terjadi hematom septum.
Avulsi dan dislokasi kartilago nasalis lateralis superior os nasal dan septum akan menyebabkan cekungan
pada pertengahan dorsum nasi. Hal tersebut dapat mengakibatkan robekan arteri yang keluar antara os. nasal dan
kartilago sehingga dapat terjadi hematom dorsum nasi. Fraktur nasal sering disertai cedera septum. Cedera septum
nasi dapat berupa fraktur sederhana, dislokasi atau fraktur komunitif yang dapat menyebabkan deformitas dan
disfungsi hidung berupa obstruksi jalan napas. Bagian tipis septum yang cenderung mudah terjadi fraktur adalah
kartilago quadrangularis dan lamina perpendikularis os etmoid. Fraktur inkomplet pada septum menyebabkan
lepasnya artikulasi kartilago sehingga kelak dapat menimbulkan gangguan pada pusat pertumbuhan dan menyebabkan
deformitas.
 Trauma lateral menyebabkan fraktur depresi ipsilateral, deformitas dorsum nasi bentuk C atau S, fraktur
dinding medial os maksila dan deformitas septum.
 Trauma anterior menyebabkan fraktur apeks nasi, dorsum nasi menjadi rata dan melebar disebut saddle nose
dan deformitas septum.
Saddle nose diklasifikasikan atas dua yaitu anterior, bila yang terlibat adalah bagian kartilago, posterior bila
yang terkena bagian tulang. Karakteristik saddle nose adalah berkurangnya tinggi dorsum nasi, istilah lainnya
adalah pug nose atau boxers nose. Saddle nose menyebabkan berbagai derajat sumbatan hidung.
 Trauma inferior menyebabkan pola fraktur yang lebih kompleks disertai faktur dan dislokasi septum.
Tipe fraktur nasal antara lain berupa tipe fraktur depresi yaitu apabila kekuatan trauma dari frontal cukup besar
sehingga menyebabkan open book fracture dimana septum menjadi kolaps dan os. nasal melebar. Bahkan pada
kekuatan trauma yang lebih kuat dapat menyebabkan fraktur komunitif os. nasal dan pros. frontalis os maksila
menjadi rata dan dorsum nasi menjadi lebar, tipe fraktur angulasi atau fraktur bilateral yaitu trauma dari arah lateral
yang dapat menyebabkan fraktur depresi unilateral sisi trauma atau dapat juga pada kedua sisi os. nasal dan deviasi
septum serta fraktur greenstick yang banyak terjadi pada anak.

Klasifikasi fraktur tulang hidung:


a. Tipe I.
Lurus sederhana unilateral atau bilateral tanpa deviasi septum,
b. Tipe II.
Deviasi sederhana unilateral atau bilateral dengan deviasi septum
c. Tipe III.
Kominutif tulang hidung
d. Tipe IV.
Berat, terjadi deviasi hidung dan patah tulang septum
e. Tipe V.
Kompleks dengan fraktur tulang hidung dan fraktur septum Luka berat termasuk laserasi dan trauma jaringan
lunak, saddle nose akut, cedera terbuka dan avulsi jaringan.
Trauma yang sering dihubungkan dengan fraktur hidung melibatkan sebagian wajah adalah
1) fraktur dinding orbita
2) fraktur lamina kribriformis,
3) fraktur sinus frontalis dan
4) fraktur maksila Le Fort I, II dan III.
Diagnosis :
a. Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan adanya riwayat trauma tumpul pada midface. Mekanisme terjadinya
cedera harus dipahami dengan benar karena dapat memperkirakan derajat beratringannya cedera. Anamnesis
yang lengkap meliputi usia penderita, mekanisme, arah, kekuatan, lokasi, dan waktu terjadinya trauma.
Perlu ditanyakan pula apakah fraktur nasal terjadi karena kecelakaan bermotor, perkelahian dengan
atau tanpa senjata, atau karena terjatuh. Objek trauma yang berbeda menyebabkan pola patologis yang timbul
berbeda pula. Misalnya pukulan akibat perkelahian umumnya dari arah lateral dengan energi rendah dapat
menyebabkan fraktur depresi pada dinding ipsilateral, out fracture pada sisi kontralateral dan sering
menyebabkan deformitas septum. Arah trauma dari frontal yang disebabkan karena kecelakaan bermotor
umumnya melibatkan kekuatan energi tinggi, sehingga menyebabkan cedera yang lebih berat berupa fraktur
komunitif dan deformitas septum.
Waktu terjadinya cedera, penting untuk ditanyakan. Hal ini berkaitan dengan prosedur
penatalaksanaan dan prognosis hasil pengobatan. Bila cedera baru saja terjadi, udim masih belum banyak
sehingga pemeriksaan fisik dan manipulasi mudah dikerjakan, teknik reduksi tertutup adalah prosedur yang
paling ideal dikerjakan.
Sedangkan bila datang terlambat dimana udim sudah banyak terjadi maka pemeriksaan fisik menjadi
lebih terbatas. Dalam hal ini reposisi sebaiknya ditunda 3-5 hari sampai udim berkurang sehingga evaluasi
dapat dilakukan secara lebih detail. Perlu ditanyakan juga riwayat medis sebelumnya apakah pernah
mengalami fraktur sebelumnya atau pernah menjalani operasi hidung sebelumnya.
Alkohol sering berhubungan dengan fraktur nasal maka dapat pula ditanyakan perihal konsumsi
alkohol sebelum cedera.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi dan palpasi dan harus dilakukan secara hati-hati. Inspeksi untuk
melihat adakah laserasi mukosa nasal, adakah kartilago atau tulang yang terekspose, udim dan deformitas
hidung, perubahan patologis warna kulit, kesimetrisan dan gerakan bola mata. Palpasi untuk mencari
iregularitas tulang, dan pergerakan fragmen fraktur atau krepitasi.
Pemeriksaan intranasal dapat dengan rinoskopi anterior apabila tidak mempunyai fasilitas endoskopi.
Evaluasi mukosa cavum nasi, posisi septum nasi dan mencari adakah hematom septum. Pemeriksaan dapat
dimulai dari distal ke proksimal. Fraktur nasal dapat disertai epistaksis, nyeri, udim, buntu hidung dan
perdarahan subkonjungtiva, sedangkan tanda yang lebih spesifik adalah ditemukannya krepitasi, laserasi
mukosa hidung, fraktur atau dislokasi septum. Adanya krepitasi pada jaringan lunak menunjukan bahwa
cedera lebih berat, sedangkan adanya matirasa menunjukan telah terjadi cedera pada n. infraorbitalis.
Bentuk hidung sebelum cedera dapat membantu memperkirakan seberapa berat cedera yang terjadi.
Foto nasal sebelum cedera dapat diperoleh dari kartu identitas atau kartu izin mengemudi pasien.
Dokumentasi pada fraktur nasal sangat penting dengan tujuan untuk legalitas hukum dan untuk menilai hasil
pengobatan.
Pada fraktur nasal apabila penderita datang setelah timbul udim maka pemeriksaan dan reposisi
ditunda dulu. Untuk sementara penderita dapat diberikan analgesik dan berobat jalan sambil diinstruksikan
agar beristirahat, kompres es dan menjaga elevasi kepala. Follow-up, evaluasi, dan penanganan baru dapat
dilakukan setelah udim berkurang, umumnya terjadi dalam 3-5 hari. Reposisi harus segera dilakukan dalam
waktu 5-10 hari setelah cedera. Bila reposisi tidak memungkinkan dalam 10 hari pertama, maka fragmen
fraktur mulai terbentuk kalus dan setelah lebih dari 2 minggu fraktur menjadi tidak lagi mudah digerakan
sehingga manipulasi menjadi lebih sulit lagi. Penyembuhan sempurna harus ditunda beberapa bulan sebelum
dapat dikerjakan rinoplasti korektif.
Apabila setelah cedera, penderita mengeluh buntu hidung berat atau total, maka hal tersebut
kemungkinan dapat disebabkan karena adanya hematom septum. Hematom septum ini sering dikaitkan
dengan cedera septum nasi walaupun tidak selalu. Adanya hematom septum tampak pada inspeksi yaitu
daerah yang fluktuatif berwarna sedikit kemerahan atau keunguan sepanjang salah satu atau kedua dinding
septum (Gambar 4). Hematom septum menyebabkan terpisahnya perikondrium dari kartilago septum, tetapi
tidak menimbulkan robekan mukosa. Ruang potensial tersebut berisi darah dari robekan vena kecil yang
mensuplai perikondrium.
Pemeriksaan intranasal memerlukan beberapa peralatan antara lain suksion, nasal sprai untuk anastesi
dan vasokontriksi, spekulum hidung dan lampu kepala. Sebelum melakukan pemeriksaan intranasal dilakukan
anestesi dan vasikontriksi dekongestan.
Obat topikal dapat berupa solusio kokain 5-10% yang sangat efektif sebagai anestesi dan
vasokontriksi kuat, alternatif lain dapat berupa lidokain, bupivakaine dan pantokaine spray. Vasokontriksi
topikal seperti oxymetazoline dan phenylephrine hydrochloride dapat berfungsi juga untuk mengontrol
perdarahan dan mengurangi udim intranasal. Campuran antara oxymetazoline atau phenylephrine dan lidokain
4% dengan perbandingan 1:1 mempunyai efek yang sama efektifnya dengan kokain.
Penderita diperiksa dalam posisi duduk senyaman mungkin. Hidung diposisikan seoptimal mungkin
sehingga dapat terlihat cavum nasi dari segala sudut. Kelainan yang didapat harus dicatat dan bila terjadi
epistaksis dan seberapa banyak harus dicatat juga. Adanya rinorea CSF dapat merupakan indikasi trauma intra
kranial, dan fraktur sudah meluas sampai lamina kribosa, sinus frontalis, dan komplek nasoethmoid. Stabilitas
prosesus ini dinilai dengan palpasi secara bimanual yaitu dengan memakai klemp Kelly dibagian dalam dan
jari dibagian luar hidung.
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang radiologi berupa foto polos nasal view, foto Water’s dan bila diperlukan
dapat dilakukan pemeriksaan CT scan. Tetapi jika tidak dicurigai adanya fraktur tulang hidung dengan
komplikasi pemeriksaan penunjang jarang diindikasikan. Pada kenyataannya foto polos os nasal view kurang
sensitif dan spesifik sehingga hanya diindikasikan jika ditemukan keraguan dalam mendiagnosis. Radiografi
tidak mampu untuk mengidentifikasi kelainan pada kartilago dan para ahli klinis sering salah dalam
menginterpretasikan sutura normal sebagai fraktur yang disertai dislokasi.
CT scan dapat digunakan untuk menegakan diagnosis fraktur hidung setelah dilakukan pemeriksaan
klinis jika dicurigai terjadinya trauma wajah yang lain. Ketika pada pemeriksaan klinis ditemukan gejala
klinis seperti rinorea serebrospinalis, gangguan pergerakan ekstraokular atau maloklusi dapat
mengindikasikan adanya fraktur hidung.
Pemeriksaan radiologi atau radiografi rutin bagaimanapun penting dari sudut pandang medis dan
hukum medikolegal tetapi penatalaksanaannya tetap berdasarkan pemeriksaan fisik.
Faktor risiko
Manifestasi Klinis :
Tanda-tanda fraktur hidung
• Depresi atau pergeseran tulang-tulang hidung
• Pada perabaan dirasakan nyeri
• Edema hidung
• Epistaksis
• Krepitasi
Tatalaksana :
https://repositori.unud.ac.id/protected/storage/upload/repositori/c52dcbde59bc9148cc8fb40e96b54ce9.pdf
Komplikasi :
Hematoma septum merupakan komplikasi awal yang sering dari trauma hidung, ditandai dengan adanya
akumulasi darah pada ruang subperikondrial yang akan menekan kartilago di bawahnya dan mengakibatkan nekrosis
septum. Prosedur yang harus dilakukan adalah insisi dan drainase segera disertai dengan pemberian antibiotika setelah
drainase. Komplikasi awal lainnya edema, ekimosis, epistaksis selalu terjadi spontan, cairan rinorea serebrospinal dan
terkadang terjadi ephisema paru. Komplikasi terlambat bila hematoma septum yang tidak ditangani mengakibatkan
fibrosis subperikondrial, kalsifikasi tulang rawan septum trauma berulang, sinekia, osteitis residual, obstruksi duktus
nasolakrimalis, dan malunion.
Komplikasi neurologik
a. Robeknya duramater.
b. Keluarnya cairan serebrospinal dengan kemungkinan timbulnya meningitis
c. Pneumosefalus
d. Laserasi otak
e. Avulsi dari nervus olfaktorius
f. Hematoma epidural atau subdural
g. Kontusio otak dan nekrosis jaringan otak

Komplikasi pada mata:


a. Telekantus traumatika.
b. Hematoma pada mata
c. Kerusakan nervus optikus yang mungkin menyebabkan kebutaan
d. Epifora
e. Ptosis
f. Kerusakan bola mata
Komplikasi pada hidung:
a. Perubahan bentuk hidung
b. Obstruksi rongga hidung  fraktur, dislokasi atau hematoma pada septum .
c. Gangguan penciuman ( hiposmia atau anosmia )
d. Epistaksis posterior  robeknya arteri ethmoidalis.
e. Kerusakan duktus nasofrontalis  sinusitis frontalis atau mukokel
5. Tonsilitis
Definsi : Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cicin waldeyer. Penyebaran infeksi
melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak (Ringgo,
2019). Tonsilitis akut merupakan peradangan pada tonsil yang disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus yang terjadi
dalam waktu kurang dari 3 minggu (Ramadhan, 2017). Tonsilitis membranosa termasuk dalam salah satu jenis radang
amandel akut yang disertai dengan pembentukan membran/ selaput pada permukaan tonsil yang bisa meluas ke
sekitarnya (Ramadhan, 2017). Tonsilitis kronis merupakan kondisi di mana terjadi pembesaran tonsil disertai dengan
serangan infeksi yang berulangulang.
Etiopatogenesis :
Penyebab tonsilitis adalah infeksi bakteri streptococcus atau infeksi virus. Tonsil berfungsi membantu
menyerang bakteri dan mikroorganisme lainnya sebagai tindakan pencegahan terhadap infeksi. Tonsil bisa dikalahkan
oleh bakteri maupun virus, sehingga membengkak dan meradang, menyebabkan tonsilitis. Hal-hal yang dapat memicu
peradangan pada tonsil adalah seringnya kuman masuk kedalam mulut bersama makanan atau minuman.
Patofisiologi dan Patogenesis Tonsil merupakan salah satu pertahanan tubuh terdepan. Antigen yang berasal
dari inhalan maupun ingestan dengan mudah masuk ke dalam tonsil hingga terjadi perlawanan tubuh dan bisa
menyebabkan peradangan oleh virus yang tumbuh di membran mukosa kemudian terbentuk fokus infeksi. Keadaan ini
akan semakin berat jika daya tahan tubuh penderita menurun akibat peradangan virus sebelumnya.
Tonsilitis akut yang disebabkan oleh bakteri disebut peradangan lokal primer. Setelah terjadi serangan
tonsilitis akut, tonsil akan sembuh atau bahkan tidak dapat kembali sehat seperti semula (Fakh, et al., 2016). Secara
patologi terdapat peradangan dari jaringan pada tonsil dengan adanya kumpulan leukosit, sel epitel yang mati, dan
bakteri pathogen dalam kripta.
Fase- fase patologis tersebut ialah:
a. Peradangan biasa daerah tonsil saja
b. Pembentukan eksudat
c. Selulitis tonsil
d. Pembentukan abses peritonsiler
e. Nekrosis jaringan (Adams, et al., 2012)
Karena proses radang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada
proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti
melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan
akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan
pembesaran kelenjar limfa dengan submandibular (Soepardi, et al., 2012).
Peradangan dapat menyebabkan keluhan tidak nyaman kepada penderita berupa rasa nyeri saat menelan
karena sesuatu yang ditelan menyentuh daerah yang mengalami peradangan. Peradangan tonsil akan mengakibatkan
pembesaran yang menyebabkan kesulitan menelan atau seperti ada yang mengganjal di tenggorok. Pada anak biasanya
keadaan ini juga dapat mengakibatkan keluhan berupa ngorok saat tidur karena pengaruh besarnya tonsil mengganggu
pernafasan bahkan keluhan sesak nafas juga dapat terjadi apabila pembesaran tonsil telah menutup jalur pernafasan.
Jika peradangan telah ditanggulangi, kemungkin tonsil kembali pulih seperti semula atau bahkan tidak dapat kembali
sehat seperti semula.
Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari semua penyakit tenggorok yang berulang.
Tonsilitis kronis umumnya terjadi akibat komplikasi tonsilitis akut, terutama yang tidak mendapat terapi adekuat.
Selain pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat, faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronis lain adalah higien
mulut yang buruk, kelelahan fisik dan beberapa jenis makanan.

Diagnosis :
Diagnosis tonsilitis dilakukan oleh dokter dengan menggunakan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Setiap
gejala yang ditemukan diberi skor masing-masing 1, sehingga apabila ditemukan lebih dari 1 gejala seperti batuk,
demam>380C, pembengkakan tonsil, nyeri tekan pada kelenjar getah bening di leher, dan kesulitan menelan, maka
skor dijumlahkan sesuai dengan gejala yang ditemukan.
Durasi tonsilitis juga diperhitungkan, apabila tonsilitis berlangsung kurang dari 2 minggu maka diberi skor 1
dan apabila berlangsung selama lebih dari 4 minggu atau menetap diberi skor 2. Total skor gejala merupakan
penjumlahan dari banyaknya tanda atau gejala tersebut (Prasetya, et al., 2018).
Diagnosis yang dilakukan oleh dokter saat ini masih dilakukan dengan cara langsung mengecek pada rongga
mulut pasiennya, padahal saat menderita tonsilitis pasien akan merasa sangat kesakitan apabila diminta untuk
membuka rongga mulut, terlebih lagi dengan waktu yang cukup lama.
Proses diagnosis dilakukan secara visual dan hasil yang subjektif tergantung dari keahlian dokter. Untuk itu
diperlukan suatu sistem yang dapat membantu dan mempermudah dokter dalam mendiagnosis dan menjelaskan pada
pasien mengenai penyakit tonsilitis ini. Tonsilitis dapat dideteksi dengan mengetahui karakteristik yang terlihat pada
tonsil, karakteristik yang paling mudah dapat dilihat adalah terjadinya perubahan warna (kemerahan) pada daerah
tonsil dan sekitarnya.

Faktor risiko
Manifestasi Klinis :
Manifestasi klinis yang muncul akan berbeda-beda pada setiap kategori tonsilitis sebagai berikut.
(Rusmarjono & Soepardi, 2016).
A. Tonsilitis akut
1. Tonsilitis viral
Gejala tonsilitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri tenggorok dan beberapa derajat
disfagia. Dan pada kasus berat dapat meolak untuk minum atau makan melalui mulut. Penderita mengalami malaise,
suhu tinggi, dan nafasnya bau (Adams, et al., 2012).
2. Tonsilitis bacterial
Gejala dan tanda Masa inkubasi 2-4 hari. Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorok dan
nyeri waktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan
dan rasa nyeri di telinga karena nyeri alih (referred pain) melalui saraf N. glosofaringeus (N. IX). Pada pemeriksaan
tampak tonsil membengkak, hiperemis dan terdapat detritus berbentuk folikel, lakuna atau tertutup oleh membran
semu. Kelenjar sub-mandibula membengkak dan nyeri tekan. (otalgia).

B. Tonsilitis Membranosa
1. Tonsilitis difteri
a. Gejala umum seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu\ tubuh biasanya subfebris, nyeri
kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan.
b. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin
meluas dan bersatu membentuk membran semu. Membran ini dapat meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring, lanng,
trakea dan bronkus dan dapat menyumbat saluran napas. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila
diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher
akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga
Burgemeester's
2. Tonsilitis Septik
Disebabkan oleh Streptococcus hemoliticus pada susu sapi, tapi di Indonesia jarang.
3. Angina Plaut Vincent Gejala demam sampai dengan 390 C, nyeri kepala, badan lemah, dan kadang-kadang
terdapat gangguan pencernaan. Rasa nyeri di mulut, hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah. Pada pemeriksaan
tampak mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membran putih keabuan di atas tonsil, uvula, dinding faring, gusi,
serta terdapat bau mulut dan kelenjar sub mandibula membesar.

C. Tonsilitis Kronik
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa
kripti terisi oleh detritus. Rasa ada yang mengganjal di tenggorok, dirasakan kering di tenggorok dan napas berbau.
Radang amandel/tonsil yang kronis terjadi secara berulang-ulang dan berlangsung lama.
Pembesaran tonsil/amandel bisa sangat besar sehingga tonsil kiri dan kanan saling bertemu dan dapat
mengganggu jalan pernapasan (Manurung, 2016). Tonsilitis pada anak biasanya dapat mengakibatkan keluhan berupa
ngorok saat tidur karena pengaruh besarnya tonsil yang mengganggu pernafasan bahkan keluhan sesak nafas dapat
terjadi apabila pemebesaran tonsil telah menutup jalur pernafasan (Fakh, et al., 2016)

Tatalaksana :

Anda mungkin juga menyukai