Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI

Sinusitis merupakan inflamasi dari sinus, yang merupakan rongga berisi udara di tengkorak.
Inflamasi menyebabkan blockade dari drainase sinus normal, yang menyebabkan retensi mucus,
hipoksia, penurunan klirens mukosiliari, dan presdisposisi pertumbuhan bakteri. Sinusitis
merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-hari, juga sebagai salah
satu penyebab utama peresepan antibiotik. Umumnya disertasi atau dipicu oleh rinitis sehingga
sering disebut rinosinusitis.

II. ETIOLOGI
Etiologi sinusisitis dapat infksius (bakteri, virus, fungal) atau noninfeksius (alergi). Sinusitis juga
terjadi akibat kombinasi dari lingkungan dan faktor host. Kebanyakan sinusitis merupakan
kejadian sekunder dari penyakit akibat virus, misal pada coryza. Jika infeksi merupakan bakteri,
makan discharge akan menjadi purulent. Organisme penyebab biasanya piogenik, seperti
Streptococcus pneumonia, haemophilus influenza, atau Staphylococcus pyogenes. Pada sinusitis
rhinogenic, mode infeksi melalui perluasan infeksi dari klirens mukosiliar dan kontinuitas
jaringan. Anaerob bisa saja terlibat khususnya pada kasus infeksi gigi. Kebanyakan pasien punya
riwayat rhinitis, atau alergi yang menjadi predisposisi obstruksi kompleks ostiomeatal dan infeksi
sinus. Sekitar 10% pasien kasus sinusitis maxillaris infeksi dari giginya berasal dari molar atas
atau premolar. Pada sinusitis dentogenic, mode infeksinya yaitu akibat infeksi gigi (abses
periapical atau periodontal) dan pencabutan gigi (komplikasi dari fistula oromaxillary). Kadang-
kadang, infeksi dapat terjadi diikuti masuknya material infeksius, seperti habis menyelam –
dimana air masuk dengan paksa ke sinus lewat ostium.

III. PATOGENESIS
Faring Patofosiologi dari sinusitis akut akibat virus bermula dari infeksi virus yang paling sering
dari flu menyebabkan keluarnya sitokin dan pengerahan eosinophil, neutrofil, serta sel T yang
menyebabkan edema mukosa dan obstruksi sinus. Setelah itu terjadi hipoksia dari kavitas sinus
diikuti penurunan pH yang menyebabkan kerusakan silia. Kerusakan dari silia dan epitel dapat
menyebabkan edema mukosa dan obstruksi sinus, sekret yang stasis dalam sinus menjadi
predisposisi infeksi bakteri. Jika terjadi infeksi, maka disebut sinusitis akibat bakteri. Dalam

9
penanganan, dapat terjadi perbaikan atau berubah menjadi sinusitis kronik. Sinusitis kronik
dapat terjadi multifactorial, dimana penyebab seperti infeksi, kerusakan silia, gangguan drainase,
perubahan mukosa dapat mempengaruhi dan menyebabkan satu sama lain.

IV. KLASIFIKASI

1. Sinusitis akut : Durasi gejala <4 minggu

a. Sinusitis maxilaris : Infeksi sinus paranasal maxilaris. Sinus terbesar benar-benar


mengisi badan maksila. Paling sering akibat rhinitis viral yang meluas
melibatkan mukosa sinus. Infeksi dental merupakan sumber penting dari sinusitis
maxilaris.

10
b. Sinusitis ethmoidalis : Infeksi sinus paranasal ethmoidalis. Berada di pangkal
hidung. Sinusitis ethmoidalis biasanya berhubungan dengan infeksi dari sinus
paranasal lainnya. Lebih sering melibatkan bayi dan anak kecil.

c. Sinusitis frontalis : Infeksi sinus paranasal frontalis. Sinus berbentuk segitiga


berada di tulang frontal dibawah dahi masing- masing di kiri dan kanan,
merupakan sinus paling superior. Biasanya mengikuti infeksi virus pernapasan
atas yang kemudian diikuti oleh invasi bakteri.

d. Sinusitis sfenoidalis : Infeksi sinus paranasal sfenoidal. Sinus sfenoidal berada di


belakan sinus ethmoid. Keterlibatan dari sinus sphenoid yang terisolasi jarang
terjadi. Jika terjadi sering merupakan bagian dari pansinusitis atau berhubungan
dengan infeksi sinus ethmoid posterior.

2. Sinusitis Kronis : Penyakit peradangan kronis mukosa sinus hidung dan paranasal
di mana simtomatologi berlanjut lebih dari 12 minggu. Kadang-kadang ada
eksaserbasi akut, di mana gejala memburuk.

V. DIAGNOSIS
1) Anamnesis

Keluhan utama sinusitis ialah hidung tersumbat disertai nyeri/ rasa ‘sesak’
pada hidung dan wajah. Keluhan pada sinusitis akut akibat virus antara lain
hidung tersumbat, rinorea, bersin, dan demam ringan. Keluhan pada sinusitis
akut akibat bakteri hidung tersumbat, rinore purulent, dan tanda cardinal nyeri
pada penekanan di wajah. Dapat juga disertai anosmia, batuk, demam, sakit
kepala, rasa penuh di telinga, dan nyeri gigi atau halitosis. Sinusitis maxillary
punya nyeri khas di rahang atas dengan radiasi ke gusi dan gigi, diperparah
batuk dan membungkuk disertai nyeri kepala frontal. Sinusitis frontal punya
nyeri kepala khas di area frontal atau dahi. Nyeri bersifat periodik, nyeri berat
terasa di siang hari, meringan pada malam hari. Dapat disertai juga dengan
fotofobia.

11
Sinusitis ethmoid punya nyeri khas di atas jembatan hidung dan medial ke
dalam mata, nyeri diperburuk oleh gerakan bola mata. Sinusitis sphenoid punya
nyeri terlokalisasi di oksiput atau vertex, nyeri juga dapat merujuk ke daerah
mastoid.

2) Pemeriksaan Fisik

Pada inspeksi yang diperhatikan ialah adanya pembengkakan/ edema pada


muka, adanya discharge baik dari hidung maupun postnasal discharge. Pada
sinus maxilaris didapatkan kemerahan dan edema pada pipi serta kelopak mata
bagian bawah mungkin terlihat bengkak. Pada rinoskopi anterior dapat terlihat
nanah atau mucopus di meatus nasi medial, konka mungkin tampak merah dan
bengkak. Postnasal discharge dapat terlihat berupa nanah di palatum mole pada
rinoskopi posterior.

Pada sinus frontalis didapatkan edema kelopak mata atas daan discharge
hidung, dan dapat terlihat mucopus dan peradangan pada meatus nasi media.

12
Pada sinusitis ethmoidal didapatkan edema kelopak mata, terjadi peningkatan
lakrimasi, adanya selulitis merupakan tanda komplikasi awal. Discharge pada
hidung berupa nanah dapat terlihat di meatus nasal medial atau superior
tergantung pada keterlibatan kelompok sinus ethmoid anterior atau posterior.
Didapatkan juga pembengkakan konka medial.

(Arora, 2016)

Pada sinus sphenoid didapatkan postnasal discharge berupa nanah dapat


terlihat di atap dan posterior nasofaring atau di atas ujung posterior konka
medial.

Pada palpasi serta perkusi bisa didapatkan nyeri atau rasa tidak nyaman pada
penekanan dan pengetukan. Lokasi pengetukan bisa saja
13
berhubungan dengan lokasi sinusitis paranasalnya. Rasa tidak nyaman saat
pengetukan di area pipi khas pada sinusitis maxillary. Pada sinusitis frontalis
rasa tidak nyaman saat pengetukan sepanjang dasar sinus forntal tepat di atas
canthus medial. Pada sinusitis ethmoid sepanjang cantus bagian dalam.

Pemeriksaan transluminasi dilakukan dengan memproyeksikan cahaya terang


kearah atau melalui area yang akan diperiksa. Sinus yang terkena atau berisi
discharge atau massa akan ditemukan tampak buram atau gelap.

3) Pemeriksaan Penunjang

Dua modalitas yang paling umum digunakan yaitu xray polo dan CT scan.
Pemeriksaan penunjang yang pertama dilakukan di masa lalui ialah plain xray.
Namun saat ini, lini pertama skrining hidung dan sinus paranasal ialah CT scan
polos tanpa kontras view koronal dan aksial. Xray polos tidak cukup mewakili
ethmoid, luasnya penebalan mukosa pada sinusitis kronis, atau visualisasi
kompleks ostiomeatal. MRI dapat dipertimbangkan untuk evaluasi dugaan tumor
tetapi tidak direkomendasikan untuk sinusitis akut karena tidak membedakan
udara dari tulang. Oleh karena itu, CT scan polos non kontras ada prosedur
pencitraan yang tepat. Pada CT scan biasanya terdiri dari kira-kira enam
gambaran koronal dari sinus maksila, etmoid, sfenoid, dan frontal yang cukup
optimal untuk menyingkirkan sinusitis.

VI. TATALAKSANA
1) Farmakologi
a. Antibiotik
Ampicilin dan amoksisilin cukup efektif dan mencakup berbagai
organisme. Eritromisin dan doksisiklin atau kotrikmozasol sama
efektifnya dan diberika kepada mereka yang sensitive terhadap
penisilin. Strain β-lactamase dari H. Influenzae dan M. catarrhalis
mungkin memerlukan penggunaan amoksisilin/ asam klavulanat atau

14
cefuroxime axetil. Dapat juga diberikan amoksisilin + asam
klavulanat minimum pemberian selama 2 minggu (10 – 14 hari)
merupakan antibiotik yang melawan bakteri produksi β-lactamase
b. Nasal dekongestan
Satu persen efedrin atau 0,1% xylo atau oxymetazoline digunakan
sebagai tetes hidung atau semprot hidung untuk mendekongesti
ostium sinus dan mendorong drainase. Dekongestan digunakan
dalam waktu yang singkat (3 – 5 hari sudah cukup) karena dapat
menyebabkan rhinitis medikamentosa.
c. Analgesik
Parasetamol atau analgesik lain yang sesuai harus diberikan untuk
meredakan nyeri dan sakit kepala.
d. Mukolitik
Digunakan untuk membantu drainase mukosiliari.
e. Inhalasi uap panas
Air kukusan atau dicampur dengan menthol atau Tr. Benzoin dapat
meredakan gejala dan mendorong drainase sinus. Inhalasi dilakukan
15 – 20 menit setelah dekongestan untuk penetrasi yang lebih baik.
Pada kasus sinusitis kronik tatalaksana antara lain: antibiotic, mukolitik,
irigasi nasal saline, dan kortikosteroid untuk mengurangi pembengkakan
mukosa.
2) Operasi : tidak dilakukan pada sinusitis akut kecuali pada kasus selulitis
orbita yang merupakan tanda awal komplikasi. Indikasi operasi pada
sinusitis kronik jika terapi medis yang diberikan dalam kurun waktu 3 – 4
minggu tidak berhasil.
f. Operasi Radical antrum (Caldwell-Luc)
Alasan dilakukan untuk pengangkatan mukosa sinus yang rusak ireversibel
dan pembuatan jendela nasoantral untuk memungkinkan drainase.
Indikasi:
i. Sinusitis dentogenic resistan
ii. Polip antrokoanal rekuren

15
iii. Fraktur lantai orbit
iv. Tumor jinak sinus maksila
v. Kista dental dan fistula
oromaksila Komplikasi
i. Fistula oroantral sublabial karena drainase sinus tidak cukup
ii. Neuralgia infraorbital
iii. Recovery lama
g. FESS (Functional Endoscopic Sinus Surgery)
Dilakukan teknik mikroinvasif bertujuan untuk menghilangkan mukosa
yang sakit secara lokal bersama dengan pelebaran ostia sinus untuk
mengembalikan ventilasi dan klirens mukosiliar sinus yang memadai.
Pendekatan: endonasal anterior ke posterior
Teknik: endoskopik
Indikasi: Untuk sinusitis rinogenik dan jamur kronis atau berulan
Komplikasi
i. Orbital: hematoma, cedera saraf optic
ii. Intracranial: kebocoran CSf
iii. Nasal: adhesi

Perbedaan operasi CWL dan FESS (EL


Guindy, 2019)

16
VII. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi bila infeksi menyebar ke luar dinding tulang
sinus. Waspadai pasien sinusitis yang mengalami sakit kepala parah,
pireksia berayun atau tanda neurologis

1. Komplikasi orbital (selulitis atau abses)

ditandai dengan edema pada kelopak mata, diplopia, kemerahan


dan pembengkakan konjungtiva (kemosis). Proptosis menunjukkan
ketrlibatan orbita yang parah. pemberian antibiotic intravena segera
dan minta konsul THT urgent. Penyembuhan biasanya mengikuti
terapi antibiotik intensif tetapi drainase bedah diperlukan segera
jika ada perubahan dalam penglihatan.

2. Meningitis, abses ekstradural dan subdural dapat terjadi dan harus


ditangani sebagai keadaan darurat bedah saraf.

17
3. Abses serebral (lobus frontal), Setiap pasien dengan riwayat sakit
kepala akibat infeksi sinus frontal baru-baru ini atau yang
menunjukkan kelainan perilaku apa pun harus dicurigai
mengalami abses lobus frontal.
4. Osteomielitis tulang frontal ditandai dengan sakit kepala terus-
menerus dan edema kulit kepala di sekitar sinus frontal.
Gambaran dari Xray terlembat, pada saat jelas osteomyelitis
sudah terbentuk. Diperlukan terapi antibiotik intensif yang
dikombinasikan dengan pengangkatan tulang yang sakit.

(Clarke, 2014)

5. Drainase sinus yang buruk dapat menyebabkan pembengkakan


tulang karena sekresi menumpuk di sinus- 'mucocoele' yang
tersumbat.

VIII. PROGNOSIS

Prognosis sebagian besar sinusitis akut 40% akan sembuh


secara spontan tanpa diberikan antibiotic, terkadang ada yang
mengalami relaps setelah pengobatan sekitar 5%, komplikasi yang
dapat terjadi bila pengobatan tidak adekuat yang nantinya akan
menyebabkan sinusitis kronik. Sedangkan penderita sinusitis kronik
jika dilakukan penanganan yang dini dan tepat akan mengalami
prognosis yang baik.
18
DAFTAR PUSTAKA

Arora, Sakshi. (2016). Self Assessment and Review ENT. Jaypee


Brothers Medical Publishers.

Battisti AS, Modi P, Pangia J. Sinusitis. [Updated 2022 Aug 8]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing;
2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470383/

Clarke, R. (2013). Diseases of the Ear, Nose and Throat. John Wiley & Sons.

Dhingra, P. L., Dhingra, S., & Dhingra, D. Diseases of Ear, Nose and
Throat & Head and Neck Surgery, 2019. Publisher: Elsevier
Publications.

Drake, R., Vogl, A. W., & Mitchell, A. W. (2009). Gray's anatomy for
students E- book. Elsevier Health Sciences.

El-Guindy, Ahmend. (2019). ENT Perspectives.

Munir, N., & Clarke, R. (2013). Ear, nose and throat at a glance.

19
20

Anda mungkin juga menyukai