Anda di halaman 1dari 2

Skenario 1

Gejala

Manifestasi Klinis
AKUT
- Hidung tersumbat + nyeri tekan di muka
- Ingus purulent (sering turun ke tenggorok /
post nasal drip)
- Dapat disertai demam + lesu
- Nyeri  di pipi = sinusitis maksila,
diantara / di belakang bola mata  sinusitis
etmoid, di dahi/seluruh kepala = sinusitis
frontal, nyeri di vertex, oksipitaal, belakang
bola mataa, mastoid = sinusitis sfenoid.
KRONIK
- Sakit kepala kronik
- Post nasal drip
- Batuk kronik
- Gangguan tenggorok
- Gg telinga akibat sumbatan kronik muaraa tube Eustachius
- Gangguan ke paru (sino-bronkitis)
- Bronkiektasis
- Serangan asma meningkat

Pemeriksaan

Transiluminasi
Pemeriksaan transiluminasi hanya dapat digunakan untuk pemeriksaan sinus maksila dan
frontal. Pemeriksaan dilakukan bila pemeriksaan penunjang radiologi tidak tersedia.
Pemeriksaan transiluminasi dilakukan pada ruangan yang gelap atau cahaya minimal.
Untuk pemeriksaan sinus maksila, pasien diminta untuk duduk dan mendongakkan
kepalanya ke belakang sambil membuka mulut. Pemeriksa menempelkan penlight/ otoskop/
transiluminator pada bagian pipi di area sinus maksila. Cahaya yang tembus dan terang pada
bagian palatum merupakan pemeriksaan yang normal. Bila cahaya redup atau tidak tampak sama
sekali dapat dicurigai adanya cairan yang kental (pus), penebalan mukosa, atau bisa juga massa
yang mengisi rongga sinus. Bandingkan hasil pemeriksaan sinus maksila kanan dan kiri.
Untuk pemeriksaan sinus frontal, penlight / otoskop / transiluminator ditempelkan pada
bagian medial orbita di bawah alis dengan cahaya diarahkan ke bagian atas. Perhatikan cahaya
yang muncul di area sinus frontal, bandingkan antara sinus frontal kanan dan kiri. Cahaya yang
gelap bisa disebabkan karena sinusitis atau karena sinus yang tidak berkembang.
Scenario 2
Perbedaan epistaksis vs hipertensI

Approach to the adult with epistaxis - Harrison Alter – 2021- UptoDate

Bukti yang menunjukkan adanya hubungan didasarkan pada peningkatan keausan jangka
panjang dan perubahan aterosklerotik pada dinding pembuluh darah kecil karena peningkatan tekanan
hemodinamik, sedangkan bukti yang menentang hubungan menyatakan bahwa hipertensi mungkin
sebenarnya merupakan produk sampingan dari kecemasan yang diinduksi epistaksis.

Dalam penelitian ini, pasien hipertensi yang mengalami epistaksis lebih mungkin untuk mencari
pengobatan di unit gawat darurat dan menerima tampon hidung posterior. Beberapa penelitian
sebelumnya telah mengaitkan hipertensi dengan mimisan, meskipun penelitian yang secara khusus
mengeksplorasi hubungan ini tidak dapat mengkonfirmasi hubungan tersebut. Secara agregat, data dari
Korea dan lainnya menunjukkan bahwa hipertensi yang berlangsung lama berkontribusi pada
peningkatan risiko epistaksis, kemungkinan besar karena efek vaskulopatinya. Beberapa spesialis
menyarankan bahwa hipertensi tidak menyebabkan epistaksis tetapi memperpanjang episode
perdarahan [38]; pandangan ini saat ini tidak memiliki data substantif untuk mendukungnya.

Beck, R., Sorge, M., Schneider, A., & Dietz, A. (2018). Current Approaches to Epistaxis Treatment in
Primary and Secondary Care. Deutsches Arzteblatt international, 115(1-02), 12–22.
https://doi.org/10.3238/arztebl.2018.0012

Sebenarnya sudah banyak asumsi bahwa hipertensi bisa menyebabkan epistaksis, namun
ternyata itu keliru. Pada penelitian jurnal ini, diketahui sebenarnya jumlah orang yang mengalami
epistaksis yang ternyata hipertensi tidak ada bedanya dengan yang tekanan darahnya normal. Namun,
hipertensi ini ternyata berpengaruh pada penyembuhan dari epistaksis itu sendiri. Jadi menurut
European Society of Hypertension and the European Society of Cardiology jika tekanan darah >180/120
mmHg dan tidak menyebabkan gejala maka direkomendasikan untuk meminum obat penurun tekanan
darah oral, dengan tujuan untuk menurunkan tekanan darah dalam kurun waktu 24-48 jam. Penelitian
mereka ternyata menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah yang dikombinasikan dengan
dekongestan bisa lebih cepat menghentikan epistaksis pada 65-75% kasus yang ada.

Anda mungkin juga menyukai