Anda di halaman 1dari 8

Jelaskan apakah ada perbedaan respon imun antara infeksi oleh bakteri, virus, jamur dan parasit!

Penyakit infeksi merupakan salah satu sebab kematian utama di seluruh dunia. Hampir
semua pathogen mempunyai fase ekstraseluler yang dapat diserang oleh antibody. Mikroba
ekstraseluler dapat ditemukan dipermukaan sel epitel yang dapat diserang oleh IgA dan sel
inflamasi nonspesifik. Bila pathogen ada dalam rongga intrastisial, darah atau limfe, maka upaya
proteksi tubuh melibatkan makrofag dan antibody.

Jenis infeksi Mekanisme pertahanan imun utama


Bakteri Antibody, kompleks imun dan
sitotoksisitas
Mikobakteri DTH dan reaksi granulomatosa
Virus Antibodi (netralisasi), CTL dan Tdth
Protozoa DTH dan antibody
Parasit cacing Antibody (atopi, ADCC) dan reaksi
granulomatosa
Jamur DTH dan reaksi granulomatosa

a. Respon imun terhadap infeksi bakteri


A. Imunologi Bakteri Ekstraselular
Bakteri ekstraselular dapat hidup dan berkembang biak diluar sel pejamu
misalnya dalam sirkulasi, jaringan ikat dan rongga-rongga jaringan seperti lumen
saluran napas dan saluran cerna. Banyak diantaranya yang merupakan bakteri
patogenik. Penyakit yang ditimbulkan bakteri ekstraselular dapat berupa inflamasi
yang menimbulkan destruksi jaringan ditempat infeksi dengan membentuk
nanah/infeksi supuratif seperti yang terjadi pada infeksi streptokok.
1. Imunitas nonspesifik
Komponen utama terhadap bakteri ekstraselular adalah komplemen,
fagositosis dan respon inflamasi. Bakteri yang mengekspresikan manosa pada
permukaannya, dapat diikat lektin yang homolog dengan C1q, sehingga akan
mengaktifkan komplemen melalui jalur lektin, meningkatkan opsonisasi dan
fagositosis. Disamping itu MAC dapat menghancurkan membrane bakteri. Produk
sampingan aktivasi komplemen berperan dalam mengarahkan dan mengaktifkan
leukosit. Fagosit juga mengikat bakteri melalui berbagai reseptor permukaan lain
seprti Toll-like receptor yang semuanya meningkatkan aktivasi leukosit dan
fagositosis. Fagosit yang diaktifkan juga melepas sitokin yang menginduksi
infiltrasi leukosit ke tempat infeksi. Sitokin juga menginduksi panad dan sintesis
APP.
2. Imunitas spesifik
a. Humoral
Antibody merupakan imun protektif utama terhadap bakteri ekstraselular
yang berfungsi untuk menyingkirkan mikroba dan menetralkan toksinnya
melalui berbagai mekanisme. Th2 memproduksi sitokin yang merangsang
respons sel B, aktivasi makrofag dan inflamasi.
Komplikasi lambat respon imun humoral dapat berupa penyakit yang
ditimbulkan antibody.
b. Sitokin
Respon utama pejamu terhadap bakteri ekstraselular adalah produksi
sitokin oleh makrofag yang diaktifkan yang menimbulkan inflamasi dan syok
septic. Toksin seperti siperantigen mampu mengaktifkan banyak sel T
sehingga menimbulkan produksi sitokin dalam jumlah besar yang kelainan
klinikopatologi seperti yang terjadi pada syok septic.
B. Imunologi Bakteri Intraselular
Ciri utama bakteri intraselular adalah kemampuannya untuk hidup bahkan
berkembang biak dalam fagosit. Mikroba tersebut mendapat tempat yang tidak dapat
ditemukan oleh antibody dalam sirkulasi, sehingga untuk eliminasinya memerlukan
mekanisme imun selular.
1. Imunitas nonspesifik
Efektor imunitas nonspesifik utama terhadap bakteri intraselular adalah
fagosit dan sel NK. Fagosit menelan dan mencoba menghancurkan mikroba
tersebut, namun mikroba dapat resisten terhadap efek degradasi fagosit. Bakteri
intraselular dapat mengaktifkan sel NK secara direct atau melalui aktivasi
makrofag yang memproduksi IL-12, sitokin poten yang mengaktifkan sel NK. Sel
NK memproduksi IFN − γ yang kembali mengaktifkan makrofag dan
meningkatkan daya membunuh bakteri dan memakan bakteri. Jadi sel NK
memberika respon dini, dan terjadi interaksi antara sel NK dan makrofag.
2. Imunitas spesifik
Proteksi utama respon imun spesifik terhadap bakteri intraselular berupa
imunitas selular. Seperti telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya, imunitas
selular terdiri atas 2 tipe reaksi, yaitu sel CD4+ Th1 yang mengaktifkan makrofag
(DTH) yang memproduksi IFN − γ dan sel CD8+/CTL, yang memacu
pembunuhan mikroba serta lisis sel terinfeksi.
Makrofag yang diaktifkan sebagai repons terhadap mikroba intraselular
dapat pula membentul kerusakan jaringan seperti yang terjadi pada DTH terhadap
protein PPD M.tuberkulosis. Sel CD4+ dan CD8+ bekerja sama dalam pertahanan
terhadap mikroba.
b. Respon imun terhadap infeksi virus
1. Imunitas nonspesifik humoral dan selular
Prinsip mekanisme imunitas nonspesifik terhadap virus adalah mencegah infeksi.
Efektor yang berperan adalah IFN tipe 1 dan sel NK yang membunuh sel terinfeksi.
Infeksi banyak virus disertai produksi RNA yang merangsang sel terinfeksi untuk
sekresi IFN tipe 1, mungkin melalui ikatan dengan TLR. IFN tipe 1 mencegah
replikasi virus dalam sel terinfeksi dan sel sekitarnya yang menginduksi lingkungan
anti-viral, IFN−∝ dan IFN − β mencegah replikasi virus dalam sel yang terinfeksi.
Sel NK membunuh sel yang terinfeksi oleh berbagai jenis virus dan merupakan
efektor imunitas penting terhadap infeksi dini virus, sebelum respons imun spesifik
bekerja. Sel NK mengenal sel terinfeksi yang tidak mengekspresikan MHC-1. Untuk
membunuh virus, sel NK tidak memerlukan bantuan molekul MHC-I.
2. Imunitas spesifik
a. Humoral
Respons imun terhadap virus tergantung dari lokasi virus dalam pejamu.
Antibody merupakan efektor dalam imunitas spesifik humoral terhadap infeksi
virus. Antibody diproduksi dan hanya efektif terhadap virus dalam fase
ekstraselular. Virus dapat ditemukan ekatraselular pada awal infeksi sebelum
virus masuk ke dalam sel atau bila dilepas oleh sel terinfeksi yang dihancurkan
(khusus untuk virus sitopatik). Antibody dapat menetralkan virus, mencegah virus
menempel pada sel dan masuk ke dalam sel pejamu.
Antibody dapat berperan sebagai opsonin yang meningkatkan eleminasi
partikel virus oleh fagosit. Aktivasi komplemen juga ikut berperan dalam
meningkatkan fagositosis dan menghancurkan virus dengan envelop lipid secara
langsung. IgA yang disekresi di mukosa berperan terhadap virus yang masuk
tubuh melalui mukosa saluran napas dan cerna. Imunisasi oral terhadap virus
polio bekerja untuk menginduksi imunitas mukosa tersebut.
b. Selular
Virus yang berhasil masuk ke dalam sel, tidak lagi rentan terhadap efek
antibody. Respons imun terhadap virus intraselular terutama tergantung dari sel
CD8+/CTL yang membunuh sel terinfeksi. Fungsi fisiologik utama CTK ialah
pemantauan terhadap infeksi virus. Kebanyakan CTL yang spesifik untuk virus
mengenal antigen virus yang sudah dicerna dalam sitosol, biasanya disintesis
endogen yang berhubungan dengan MHC-I dalam setiap sel yang bernukleus.
Untuk berdiferensiasi penuh, CD8+ memerlukan sitokin yang diproduksi sel
CD4+ Th dan kostimulator yang diekspresikan pada sel jaringan dan bukan APC,
sel teronfeksi dapat dimakanoleh APC professional seperti sel dendritik yang
selanjutnya memproses antigen virus dan mempresentasikannya bersama molekul
MHC-I ke sel CD8+ naïf ke KGB. Sel yang akhir akan berproliferasi secara
massif yang kebanyakan merupakan sel spesifik untuk beberapa peptide virus. Sel
CD8+ naïf yang diaktifkan berdiferensiasi menjadi sel CTL efektor yang dapat
membunuh antivirus utama CTL adalah membunuh sel terinfeksi.
Patologi yang diinduksi virus merupakan efek direct yang menimbulkan
kematian sel pejamu dan kerusakan jaringan. Hamper semua virus tanpa envelop
menimbulkan infeksi akut dan kerusakan. Lisis sel terjadi selama terjadi replikasi
dan penyebaran virus ke sel sekitar. Kerusakan patologi sebetulnya sering lebih
merupakan akibat respons imun aktif terhadap antigen virus dan epitopnya pada
permukaan sel terinfeksi.
c. Respon imun terhadap infeksi jamur
1. Imunitas nonspesifik
Sawar fisik kulit dan membrane mukosa, factor kimiawi dalam serum dan sekresi
kulit berperan dalam imunitas nonspesifik. Efektor utama imunitas nonspesifik
terhadap jamur adalah neutrofil dan makrofag. Penderita dengan neutropenia sangat
rentan terhadap jamur oportunistik. Neutrofil didugs melepas bahan fungisidal seperti
ROI dan enzim lisosom serta memakan jamur untuk dibunuh intraselular. Galur
virulen seperti kriptokok neoformans menghambat produksi sitokin TNF dan IL-12
oleh makrofag dan merangsang produksi IL-10 yang menghambat aktivasi makrofag.
2. Imunitas spesifik
Imunitas nonspesifik kadang kurang efektif, tidak mampu membatasi
pertumbuhan jamur pathogen. Tidak banyak bukti bahwa antibody berperan dalam
resolusi dan control infeksi. CMI merupakan efektor imunitas spesifik utama tehadap
infeksi jamur. Histoplasma kapsulatum, parasit intraselular falkutatif hidup dalam
makrofag dan dieleminasi oleh efektor selular sama yang efektif terhadap bakteri
intraselular. CD4+ dan CD8+ bekerja sama untuk menyingkirkan bentuk
K.neoformans yang cenderung mengkolonisasi paru dan otak pada pejamu
imunokompromais.
Infeksi kandida sering berawal pada permukaan mukosa dan CMI diduga dapat
mencegah penyebarannya ke jaringan. Pada semua keadaan tersebut, respons Th1
adalah protektif sedangkan respons Th2 dapat merusak pejamu. Inflamasi granuloma
dapat menimbulkan kerusakan pejamu seperti pada infeksi histoplasma. Kadang
terjadi respons humoral yang dapat digunakan dalam diagnostic serologic, namun
efek proteksinya belum diketahui.

d. Respon imun terhadap infeksi parasit


A. Imunitas nonspesifik
Meskipun berbagai protozoa dan cacing mengaktifkan imunitas nonspesifik
melalui mekanisme yang berbeda, mikroba tersebut biasanya dapat tetap hidup dan
berkembang biak dalam penjamu oleh karena dapat beradaptasi dan menjadi resisten
terhadap system imun pejamu. Respon imun nonspesifik utama terhadap protozoa
adalah fagositosis, tetapi banyak parasit tersebut yang resisten terhadap efek
bakterisidal makrofag, bahkan beberapa diantaranya dapat hidup dalam makrofag.
Fagosit juga menyerang cacing dan melepas bahan mikrobisidal untuk membunuh
mikroba yang terlalu besar untuk dimakan. Beberapa cacing mengaktifkan
komplemen melalui jalur alternative, tetapi ternyata banyak parasit memiliki lapisan
permukaan tebal sehingga resisten terhadap mekanisme sitosidal neutrofil dan
makrofag. Banyak parasit ternyata mengembangkan resistensi terhadap efek lisis
komplemen.
B. Imunitas spesifik
1. Respon imun berbeda
Berbagai protozoa dan cacing berbeda dalam besar, struktur, sifat
biokimiawi, siklus hidup dan patogenitasnya. Hal itu menimbulkan respon imun
spesifik yang berbeda pula. Infeksi cacing biasanya terjadi kronik dan kematian
pejamu akan merugikan parasit sendiri. Infeksi yang kronik itu akan
menimbulkan rangsangan antigen persisten yang meningkatkan kadar
immunoglobulin dalam sirkulasi dan pembentukan komplek imun. Antigen-
antigen yang dilepas parasit diduga berfungsi sebagai mitogen poliklonal sel B
yang T independen.
2. Infeksi cacing
Respon pejamu terhadap infeksi cacing pada umumnya lebih kompleks
oleh karena pathogen lebih besar dan tidak bias ditelan oleh fagosit. Pertahanan
terhadap banyak infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2. Cacing
merangsang subset Th2 sel CD4+ yang melepas IL-4 DAN IL-5. IL-4
merangsang produksi Ig E dan IL-5 merangsang perkembangan dan aktivasi
eosinofil. Ig E yang berikatan dengan permukaan cacing diikat eosinofil.
Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan mensekresi granul enzim yang
menghancurkan parasit.
Eosinofil lebih efektif disbanding leukosit lain oleh karena eosinofil
mengandung granul yang lebih toksik dibandingkan enzim proteolitik dan ROI
yang di produksi neutrofil dan makrofag. Cacing dan ekstrak cacing dapat
merangsang produksi Ig E yang nonspesifik. Reaksi inflamasi yang
ditimbulkannya diduga dapat mencegah menempelnya cacing pada mukosa
saluran cerna.
Parasit yang masuk ke dalam lumen saluran cerna, pertama dirusak oleh Ig
G, Ig E dan juga mungkin dibantu oleh ADCC. Sitokin yang dilepas sel T yang
dipacu antigen spesifik merangsang proliferasi sel goblet dan sekresi bahan
mucus yang menyelubungi cacing yang dirusak. Hal itu memungkinkan cacing
dapat dikeluarkan dari tubuh melalui peningkatan gerakan usus yang diinduksi
mediator sel mast seperti LTD4 dan diare akibat pencegahan absorbs Na yang
tergantung glukosa oleh histamine dan prostaglandin asal sel mast.
Cacing biasanya terlalu besar untuk fagositosis. Degranulasi sel
mast/basofil yang IgE depen menghasilkan produksi histamine yang
menimbulkan spasme usus tempat cacing hidup. Eosinofil menempel pada
cacing melalui IgG/IgA dan melepas protein kationik, MBP dan neurotoksin.
PMN dan makrofag menempel melalui IgA/IgG dan melepas superoksida,
oksida nitrit dan enzim yang membunuh cacing.
IgE parasit diduga banyak ahli hanya merupakan bagian dari peningkatan
massif IgE yang diinduksi IL-4 oleh sel Th2 dan eksesnya diduga untuk
memenuhi IgER pada permukaan sel mast untuk dijadikan refrakter terhadap
rangsangan antigen parasit.
3. Filariasis
Filariasis limfatik dan sumbatan saluran limfe oleh parasit menimbulkan
CMI kronis, fibrosis dan akhirnya limfedema berat. Investasi persisten parasit
kronis sering disertai pembentukan kompleks antigen parasit dan antibody
spesifik yang dapat diendapkan di dinding pembuluh darah dan glomerulus
ginjal yang menimbulkan vaskulitis dan nefritis. Penyakit kompleks imun dpat
terjadi pada skistosoma dan malaria. Filariasis limfatik menunjukkan gambaran
klinis dengan spectrum luas pada berbagai pejamu, mulai dari besar jumlah
parasit dengan sedikit gejala klinis sampai yang kronis dengan parasit yang
sedikit ditemukan. Sifat system imun pada individu tersebut berbeda.
Dengan munculnya microfilaria dalam darah, sitokin Th2 menjadi
dominan, disertai dengan cepat menghilangnya respon sel T dan peningkatan
mencolok dalam sintesis IgG4 spesifik parasit. Induksi toleransi sel T terhadap
parasit diduga terjadi dalam subset Th1. Pada individu yang sakit, toleransi
dipatahkan dan respon terhadap Th1 dan Th2 meningkatkan secara dramatis.
Baik respon Th1 dan Th2 terhadap antigen filarial ditemukan pada individu yang
imun terhadap infeksi ulang. Oleh karena itu kedua respon Th dianggap penting
pada proteksi pejamu dan pathogenesis filariasis.
4. Granuloma
Pada beberapa infeksi, cacing tidak dapat dihancurkan oleh system imun
dengan cara-cara yang sudah disebut di atas. Dalam hal ini badan berusaha
mengucilkan parasit dengan membentuk kapsul yang terdiri atas sel-sel
inflamasi. Reaksi tersebut merupakan respon selular terhadap penglepasan
antigen kronik setempat. Makrofag yang dikerahkan, melepas factor fibrogenik
dan merangsang pembentukan granuloma dan fibrotic. Hal tersebut terjadi atas
pengaruh sel Th1 dan defisiensi sel T akan mengurangi kemampuan tubuh untuk
membentuk granuloma dan kapsul. Pembentukan granuloma terlihat jelas
disekitar telur cacing skistosoma di hati. Fibrosis yang berat yang berhubungan
dengan CMI dapat merusak arus darah vena di hati dan menimbulkan hipertensi
portal dan sirosis.
5. Respon Th1 dan Th2 pada infeksi parasit
Respon terhadap infeksi seperti pada lesmania berhubungan dengan
respons Th1 atau Th2. Pada infeksi parasit intraselular, gambaran kedua respon
tersebut berhubungan dengan prognosis baik dan buruk. Dalam menentukan
perjalanan penyakit, peran Th1 dan Th2 pada banyak penyakit lebih kompleks.

Anda mungkin juga menyukai