Anda di halaman 1dari 11

REFRESHING

ANESTESI UMUM (GENERAL AENESTHESIA)

Disusun Oleh :
M Rizky Setiawan
2015730093

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


BLUD-RSUD SEKARWANGI CIBADAK
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesia berasal dari Bahasa Yunani an yang berarti tidak/tanpa dan aesthos yang
berarti persepsi/kemampuan untuk merasa. Anestesia tidak dapat dipisahkan dari Tindakan
operasi dan berbagai prosedur medis lain yang menyebabkan rasa sakit.Ada Trias Anestesia,
yaitu analgesia, hipnosis, dan arefleksia. Secara umum komponen yang ada dalam anesteshia
adalah:
1. Analgesia (rasa sakit yang menghilang)
2. Hipnosis (kesadaran yang menghilang)
3. Arefleksia (refleks motorik tubuh yang menghilang)
4. Relaksasi otot, untuk memudahkan prosedur operasi dan memfasilitasi intubasi
trakeal
5. Amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalani prosedur).
Secara singkat, anesthesia umum dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang
menyebabkan perubahan fisiologik yang reversibel yang dikondisikan untuk memungkinkan
pasien menjalani berbagai prosedur medis.

Tindakan anesthesia memiliki keuntungan dan kerugian tersendiri, tidak semua


pasienbisa menjalani operasi dengan anestesia umum.
Keuntungan dari anestesi umum adalah:
 Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama prosedur operasi berlangsung
 Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien
 Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu yang lama
 Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien

Kerugian dari anestesia umum:


 Sangat mempengaruhi fisiologi. Hampir semua regulasi tubuh menjadi lemah di
bawah efek anestesia umum
 Memerlukan pemantauan yang Iebih menyeluruh dan rumit
 Tidak dapat mendeteksi gangguan susunan saraf pusat, misalnya perubahan kesadaran
 Risiko komplikasi pascabedah yang lebih besar
 Memerlukan persiapan pasien yang lebih seksama
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

ANESTESIA UMUM
A. Stadium Anestesia
Stadium anestesia (anesthesia stages) dibuat berdasarkan efek ether. Ether
merupakan zat anestetik volatil yang paten dan sering digunakan pada jamannya. Selama
masa penggunaan ether, dilakukan observasi dan pencatatan mengenai anestesia yang
sedang terjadi. Klasifikasi Guedel dibuat oleh Arthur Ernest Guedel pada 1937, meliputi:
1. Stadium (stage) 1: atau disebut sebagai stadium induksi, yaitu periode masuknya obat
induksi hingga hilangnya kesadaran, yang ditandai dengan hilangnya reflex bulu
mata.
2. Stadium (stage) 2: disebut stadium eksitasi. Setelah kesadaran hilang, timbul eksitasi
dan delirium. Pernafasan menjadi iregular. Terjadi REM. Timbul gerakan-gerakan
involunter, seringkali spastik. Pasien juga dapat muntah dan hal ini dapat
membahayakan jalan napas. Pada stadium ini dapat terjadi aritmia jantung. Pupil
dilatasi sebagai tanda peningkatan tonus simpatis. Stadium 2 adalah stadium yang
berisiko tinggi.
3. Stadium (stage) 3: disebut juga stadium pembedahan (surgical anesthesia) dibagi atas
4 plana (planes), yaitu:
Plana 1 : Mata berputar kemudian terfiksasi
Plana 2 : Refleks kornea dan refleks laring hilang
Plana 3 : Dilatasi pupil, refleks cahaya hilang
Plana 4 : Kelumpuhan otot interkostal, terjadi pernafasan abdominal dan dangkal
4. Stadium (stage) 4: merupakan stadium overdosis obat anestetik. Anestesia menjadi
terlalu dalam. Terjadi depresi berat semua sistem tubuh termasuk batang otak.
Stadium ini mematikan.

B. Persiapan Anastesia
Hal pertama yang harus ketika masuk ruang bedah adalah memastikan sumber
listrik terpasang. Lampu ruangan, mesin anestesi, berbagai alat pantau, mesin warmer,
tempat tidur, infusion pumps, syringe pumps, defibrillator, sumber gas terutama O2
dan periksa juga kondisi valve APL(adjustable pressure-limiting valve), yaitu katup
yang dapat diatur untuk mengeluarkan gas ke udara Iuar jika tekanan di sirkuit nafas
tinggi, peralatan elektronik yang harus dipastikan berfungsi.
Berikutnya menyiapkan STATICS yaitu memastikan kelengkapan alat yang
harus disediakan sebelum anesthesia. Yang termasuk kedalam STATICS ialah:
S = Scope. Yang dimaksud adalah laringoskop dan stetoskop. Laringoskop harus
diperiksa lampunya cukup atau tidak. Stetoskop diperlukan untuk konfirmasi bunyi
nafas paru kanan dan kiri setelah intubasi endotrakeal. Stetoskop juga dapat
digunakan untuk memantau intensitas dan irama denyut jantung
T = Tube. Yang dimaksud adalah endotracheal tube(ETT). ETT disiapkan dengan
ukuran yang sesuai, disertai dengan satu ukuran dibawahnya dan satu ukuran
diatasnya.
A= Airway, Yang dimaksud dengan airway alat-alat untuk menahan agar lidah tidak
jatuh, yaitu pipa orofaringeal Guedel atau pipe nasofaringeal.
T= Tapes, Tapes adalah pita plester yang akan digunakan untuk memfiksasi ETT
nantinya
I= Introducer, yaitu kawat atau tongkat kecil yang dimasukkan ke dalam ETT untuk
memudahkan tindakan intubasi. Alat ini harus fleksibel agar dapat diatur.
C= Connector, penghubung antara ETT dengan sirkuit nafas.
S= Suction, disamping mesin anestesia harus tersedia mesin penghisap yang
bertujuan untuk membersihkan jalan nafas ketika terpasang laringoskop intubasi,
selama anestesia berlangsung sampai sesudah ekstubasi

Setelah STATICS dan perlengkapan lain sudah lengkap, barulah dapat disiapkan
obat-obatan yang akan digunakan. Ketika pasien masuk di ruang bedah, ada hal pertama
yang harus dilakukan yaitu memastikan patensi akses intravena dan pemasangan alat
pantau pada pasien. Akses intravena adalah keharusan setiap anesthesia umum karena
tidak hanya penting untuk memasukkan obat, namun juga penting untuk pemberian obat
dan cairan resusitasi bila diperlukan.
Ada tenggang masa kritikal anestesi, ketika induksi anestesia dan saat pengakhiran
anestesia (emergence). Ekstubasi dalam keadaan sadar sangat menguntungkan karena
refleks pertahanan diri pasien sudah pulih. Kemungkinan obstruksi jalan napas karena
sekret akan menjadi kecil. Tetapi kondisi ini juga dapat memicu bahaya misalnya
hipertensi. Ekstubasi ketika anestesia masih dalam sangat menguntungkan bagi hasil
pembedahan, namun memerlukan kewaspadaan lebih lama. Anestesiologis harus
mendampingi pasien
hingga kondisinya benar-benar aman dan pasien dapat diobservasi secara normal di ruang
pulih.

C. Obat – obat Anastesi Umum


1. Induksi intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan, apalagi sudah terpasang jalur vena,
karena cepat dan menyenangkan. induksi ini hendaknya dikerjakan dengan hati-
hati. Obat induksi bolus harus disuntikkan dengan kecepatan antara 30-60 detik.
Selama induksi anesthesia, pernapasan, nadi, dan tekanan darah pasien harus
dipantau dan selalu diberikan oksigen. induksi ini diberikan pada pasien yang
kooperatif.
a) Barbiturat
Menekan sistem pengaktifan retikular dibatang otak yang mengontrol
kesadaran diantaranya. Salah satunya Awitan sangat cepat dan durasinya
pendek. Larutan ini bisa menyebabkan rasa sakit, bengkak, kemerah-
merahan, bila keluar dari vena. Pada pengalaman klinis biasanya pasien
kehilangan kesadaran dalam waktu 30 detik dan bangun dalam waktu 20
menit.
Dosis obat : Thiopental IV 2,5 % : 3-6 mg/kgbb, Methohexital IV 1% : 1-2
mg/kgbb.
b) Benzodiazepin
Benzodiazepine mengikat reseptor GABA meningkatkan frekuensi bukaan
ion klorida yang terkait, Contohnya, reseptor benzodiazepin mengikat
memfasilitasi pengikatan GABA ke reseptornya. Dibanding dengan
propofol atau thiopental, induksi dengan benzodiazepin lebih baik
pemulihannya, karena tidak memiliki sifat analgesik langsung. Efek lainnya
adalah amnesia anterograd.
Dosis obat : Diazepam IV 0,04-0,2 mg/kgbb, Midazolam IV 0,1-0,4
mg/kgbb.
c) Propofol
Propofol secara alogenik meningkatkan afinitas pengikatan GABA untuk
reseptor GABA. Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna
putih susu yang bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1 ml = 10 mg).
Wajib diberikan 6 jam sejak pembukaan ampul. Awitan sangat cepat dan
durasinya singkat.
Dosis obat : Propofol IV 1-2,5 mg/kgbb
d) Ketamin
Ketamin bekerja dengan menghambat reseptor NMDA(N-Metil-
d_Aspartat), obat ini dikenal dengan istilah anestetika disosiatif karena
sering menimbulkan halusinasi dan membuat pasien tidak sadar dengan
mata terbuka.
Dosis obat : Ketamin IV 1-2 mg/kgbb
e) Etomidat
Etomidat bekerja tidak secara langsung di GABA. Obat ini tidak dianjurkan
diberikan lebih dari dua kali bolus pada seorang pasien. Etomidat juga tidak
dibolehkan diberikan secara infus berlanjut. Salah satu yang membatasi
penggunaan etomidat yaitu efek sampingnya yang mendepresi korteks
adrenal.
Dosis obat : Etomidate IV : 0,2 - 0,5 mg/kgbb
f) Opioid
Opioid (sintetik maupun endogen) mengaktivasi reseptor prasinaps neuron-
neuron GABA, menghambat pelepasan GABA. Opioid mengantagonis
reseptor NMDA. Pemberian opioid telah menjadi keharusan dalam
analgesia intra anestesia. Bahkan opioid sekarang telah menjadi ajuvan juga
pada anestesia regional. Di Indonesia opioid yang sering digunakan untuk
anestesia fentanyl dan sufentanil. Di beberapa tempat petidin (meperidin)
masih digunakan, hanya saja sekararg terbatas penggunaannya dikarenakan
beberapa efek samping yang tidak diinginkan. Untuk analgesia pascabedah
digunakan tramadol.
Dosis obat : Untuk anestesi digunakan fentanil dosis induksi 20-50 mg/kg
dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/ menit.

2. Induksi Intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamine yang dapat diberikan secara intramuscular
pada anak atau dewasa yang kurang kooperatif, setelah 10-15 menit mencapai
puncak plasma. Bangunnya pasien terganung dari redistribusi dari otak ke
kompartemen perifer.
Dosis obat : Ketamin IM 3-5 mg/kgbb
3. Induksi Inhalasi
Anestetika inhalasi (volatil) termasuk zat anestetik yang pertama kali
digunakan. Zat ini juga dikenal sebagai salah satu pemicu serangan hipertensi
maligna. Saat ini terdapat N2O, halotan, isofluran, sevofluran dan desfluran.
a) N2O
N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi dan
tak terbakar beratnya 1,5 kali udara. N2O adalah antagonis reseptor NMDA
dan menstimulasi sistem saraf simpatic. Pemberian N2O harus disertai O2
minimal 25%. Gas ini bersifat anastetik lemah tapi analgesiknya kuat,
sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan.
Jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu cairanan
astetik lain seperti halotan.
Saat akhir anastesi setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar
dan mengisi alveoli, sehingga terjadilah pengenceran O2 dan terjadi
hypoxia difusi. Untuk menghindari hal ini maka diberikan O2 100% selama
5-10 menit.
b) Halotan
Sering dikombinasi dengan N2O karna baunya yang tidak enak dan tak
merangsang jalan nafas. Sebagai induksi dan juga untuk laringoskop
intubasi, asalkan anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan
sudah diberikan analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring
laring. Pada pernafasan spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol % dan
pada nafas kendali sekitar 0,5 – 1 vol %. Kontraindikasi : penderita
gangguan hepar, pernah dapat halotan dalam waktu kurang 3 bulan atau
pasien yang terlalu gemuk. Kelebihan dosis dapat menyebabkan depresi
napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi,
vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard, dan terjadi inhibisi
reflex baroreseptor. Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga
meninggikan kadar gula darah.
c) Isofluran
Adalah halogenasi eter yang pada dosis anestetik atau subanastetik
menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi dapat
meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Peninggian aliran
darah otak dan tekanan pada intrakranial dapat dikurangi dengan teknik
anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran lebih banyak digunakan untuk
bedah otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung yang minimal,
sehingga banyak dipakai untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak
digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.
d) Sevofluran
Nonpungensi dan peningkatan cepat dalam konsentrasi anestesi alveolar
menjadikan sevoflurane pilihan yang sangat baik untuk induksi inhalasi
yang lancar dan cepat pada pasien anak maupun dewasa. Induksi dan pulih
dari anastesi lebih cepat dari isofluran. Baunya yang tidak menyengat dan
tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi
inhalasi di samping halotan. Memiliki efek terhadap kardiovaskuler cukup
stabil dan jarang menyebabkan terjadinya aritmia. Setelah pemberian
dihentikan sevofluran akan cepat dikeluarkan oleh tubuh.

4. Rumatan Anastesi
Rumatan anestesia (maintenance) dapat juga dikerjakan secara intravena
(anestesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran
intravena inhalasi. Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid
dosis tinggi, atau fentanil 10-50 ug/kgBB. Dosis tinggi opioid rnenyebabkan
pasien tidur dengan analgesia sehingga tinggal memberikan relaksasi
pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis
biasa, akan tetapi pasien ditidurkan dengan infus propofol 4-12 mg/kgBB/jam.
Rumatan iuhalasi biasanya menggunakan campuran dari N2O:O2=3:1
ditambahkan dengan halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol% isofluran 2-4
bergantung apakah pasien bernafas spontan, dibantu (assisted), atau
dikendalikan (controlled).
DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan, G.E., Clinical Anesthesiology 5th ed. Stanford: Appleton and Lange, 2013
2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua.
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:
2009.

Anda mungkin juga menyukai