Anda di halaman 1dari 38

TUTORIAL 2

Disusun oleh :
Mehdi Bennet
M Rizky Setiawan
Rizky Pratiwi
Toshiya R. Setiahadi

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


BLUD-RSUD SEKARWANGI CIBADAK
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan hidayah-Nya sehingga laporan tutorial ini dapat penulis selesaikan.
Adapun tujuan penulisan laporan tutorial ini adalah untuk memenuhi tugas
kepaniteraan klinik stase Ilmu Anestesi RSUD Sekarwangi.
Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan terima kasih kepada
pembimbing penulis. Besar harapan penulis melalui laporan ini, agar pengetahuan
dan pemahaman penulis semakin bertambah.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini masih belum sempurna,
baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan
segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
demi perbaikan laporan tutorial ini. Atas bantuan dan segala dukungan dari
berbagai pihak, penulis ucapkan terima kasih.

Jakarta, April 2020

Kelompok Anestesi RSUD Sekarwangi

2
DAFTAR ISI

TUTORIAL 2........................................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................................3
BAB I.................................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................................4
1.1 SKENARIO......................................................................................................4
1.2 KATA SULIT....................................................................................................4
1.3 KATA / KALIMAT KUNCI................................................................................4
1.4 MIND MAP....................................................................................................4
1.5 IDENTIFIKASI MASALAH................................................................................5
BAB II................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................6
2.1 DEFINISI KENCING NANAH............................................................................6
2.2 PENGOBATAN YANG DIBERIKAN PADA PASIEN DENGAN KENCING NANAH.. 6
2.3 HUBUNGAN ANTARA OBAT YANG DIBERIKAN DENGAN GEJALA YANG
TIMBUL PADA SKENARIO...........................................................................................7
2.4 PEMBERIAN TERAPI YANG TEPAT PADA PASIEN DENGAN SESAK DAN
KEHILANGAN KESADARAN.........................................................................................8
2.5 PEMBERIAN TERAPI OKSIGEN......................................................................22
2.6 PEMBERIAN TERAPI CAIRAN.........................................................................5
2.7 EFEK JANGKA PANJANG DARI PEMBERIAN TERAPI OKSIGEN DAN CAIRAN.. .9
2.8 BAGAIMANA CARA MENYINGKIRKAN GEJALA YANG DIALAMI PASIEN
KARENA REAKSI OBAT.............................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................14

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 SKENARIO
Seorang pasien laki-laki berusia 30 tahun datang ke poliklinik umum
dengan keluhan kencing nanah sejak 2 hari yang lalu. dokter memutuskan akan
melakukan pengobatan dengan suntikan antibiotik secara intramuskular. Tak lama
setelah proses penyuntikan dilakukan, pasien tiba-tiba sesak napas dan keringat
dingin, tak lama kemudian hilang kesadaran. Pada pemeriksaan tanda vital
didapatkan nadi 120x /menit, regular, lemah. Tekanan darah 70/p.

1.2 KATA SULIT


Tidak ditemukan kata sulit.

1.3 KATA / KALIMAT KUNCI


1. Laki-laki 30 tahun.
2. Kencing nanah sejak 2 hari yll.
3. Dilakukan pengobatan suntikan antibiotic secara IM.
4. Tiba-tiba pasien sesak nafas dan keringat dingin.
5. Pasien kemudian hilang kesadaran.
6. Ttv : nadi 120x/menit, regular, lemah. TD : 70/p

1.4 MIND MAP

TTV Pengobatan
 Nadi : 120x/menit, Laki-laki, 30 tahun  Antibiotik secara
regular , lemah kencing nanah. IM
 TD : 70/p

Tiba-tiba pasien sesak


Hilang kesadaran nafas dan keringat
dingin

4
1.5 IDENTIFIKASI MASALAH
1. Apa definisi dari kencing nanah ?
2. Pengobatan apa yang diberikan pada pasien dengan kencing nanah ?
3. Bagaimana hubungan antara obat yang diberikan dengan gejala yang timbul
pada kasus ?
4. Apakah pemberian terapi yang tepat kepada pasien setelah pasien mengalami
sesak dan kehilangan kesadaran ?
5. Bagaimana cara pemberian terapi oksigen ?
6. Bagaimana cara pemberian terapi cairan ?
7. Bagaimana efek jangka panjang dari pemberian terapi oksigen dan terapi
cairan ?
8. Bagaimana cara menyingkirkan bahwa gejala yang dialami pasien bukan
karena infeksi melainkan reaksi obat ?

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI KENCING NANAH.


Penyakit kencing nanah atau gonore adalah penyakit infeksi menular seksual
(IMS) yang disebabkan oleh bakteri diplokokus gram negatif, Neisseria
gonorrhoeae (N. gonorrhoeae). Bakteri ini mapu menginfeksi membran mukosa
dari urethra, endocervix, rectum, dan pharynx. Gonore dapat ditularkan melalui
hubungan seksual baik secara vaginal, anal dan oral dengan pasangan yang telah
terinfeksi bakteri N. gonorrhoeae. Gonore juga dapat terkena pada anak bayi yang
tertular oleh ibu saat proses melahirkan bayi tersebut terinfeksi dan menyebabkan
ophtalmia neonatorum dan systemic neonatal infection.
Gambaran klinis dan perjalanan penyakit pada perempuan berbeda dengan
laki-laki. Hal ini disebabkan oleh perbedaan anatomi dan fisiologi alat kelamin
laki-laki dan perempuan. Pada perempuan, penyakit akut maupun kronik,
gejala subjektif jarang ditemukan dan hampir tidak pernah didapati kelainan
objektif. Pada umumnya perempuan datang berobat kalau sudah ada
komplikasi. Gejala pertama pada laki-laki berupa uretritis sedangkan pada
perempuan berupa uretritis dan servisitis.

2.2 PENGOBATAN YANG DIBERIKAN PADA PASIEN DENGAN KENCING


NANAH.
Pedoman tatalaksana pada infeksi gonore :
Non medikamentosa :
- Bila memungkinkan periksa dan lakukan pengobatan pada pesangan
tetapnya (notifikasi pasangan)
- Anjurkan abstinensia sampai infeksi dinyatakan sembuh secara
laboratorium, bila tidak memungkinkan anjurkan penggunaan kondom
- Kunjungan ulang untuk tindak lanjut di hari ke-3 dan hari-7
- Lakukan konseling mengenai infeksi, komplikasi yang dapat terjadi,
pentingnya jeteraturan berobat

6
- Lakukan Provider Initiated Testing and Countseling (PTIC) terhadap
infeksi HIV dan kemungkinan mendapat infeksi menular seksual lain
- Bila memungkinkan lakukan pemeriksaan penapisan untuk IMS lainnya

Medikamentosa :
Pilihan utama pengobatan untuk gonore pada jaman dahulu adalah
penisilin+probenesid. Namun, karena tingginya insidensi infeksi klamidia
bersamaan dengan gonore maka CDC 2011 dan WHO 2010 menganjurkan agar
pada pengobatan gonore tidak lagi menggunakan lagi penisilin atau derivatnya.
Sekarang lini pertama untuk pengobatan gonore adalah dapat diberikan
Cefrtriaxone 250 mg single dose diberikan secara IM dan diberikan Azithromycin
1g single dose secara PO.
Atau terapi alternatifnya dapat diberikan Cefixime 400mg single dose secara PO
dan diberikan azithromycin 1g sinlge dose secara PO

2.3 HUBUNGAN ANTARA OBAT YANG DIBERIKAN DENGAN GEJALA


YANG TIMBUL PADA SKENARIO.
Berdasarkan rekomendasi CDC (Centers for Disease Control) pengobatan
gonore melalui jalur intramuscular (IM) adalah dengan pemberian seftriakson
250mg dosis tunggal. Seftriakson merupakan antibiotik golongan sefalosporin
generasi tiga. Reaksi yang diinduksi sefalosporin dapat langsung atau tidak
langsung tergantung pada waktu terjadinya gejala setelah pemberian obat. Reaksi
segera terjadi dalam satu jam setelah pemberian obat dan ditandai dengan adanya
urtikaria dan / atau angioedema, syok anafilaksis, rinitis dan bronkospasme dan
dimediasi oleh IgE. Reaksi terkadang tidak langsung ditandai dengan ruam yang
muncul makulopapular atau morbiliformis dan keterlambatan penampilan
urtikaria. Patogenesis reaksi tidak langsung kurang dipahami. Reaktivitas silang
juga diketahui dapat terjadi antara sefalosporin dan penisilin dan di dalam
sefalosporin. Tingkat reaktivitas silang ditentukan oleh kesamaan rantai samping
beta-laktam yang dimiliki oleh sefalosporin di antara mereka sendiri dan juga di
antara penisilin dan sebagian besar dimediasi oleh IgE.

7
2.4 PEMBERIAN TERAPI YANG TEPAT PADA PASIEN DENGAN SESAK
DAN KEHILANGAN KESADARAN.
Penanganan pasien pada kasus bergantung kepada etiologi penyebab

terjadinya gejala, namun pada skenario kasus ini dicurigai pasien mengalami

reaksi alergi obat yang diberikan secara intramuskular, akan dibahas disini

penanganan kegawatdaruratan secara umum dan berdasarkan etiologinya.

Penanganan awal dengan primary survey


AIRWAY
1. Penilaian
a. Tanda-tanda objektif – sumbatan airway
 Look (lihat)melihat gerakan nafas/ pengembangan dada dan adanya
retraksi sela iga.
 Listen (dengar) mendengar aliran udara pernapasan
 Feel (Raba) merasakan adanya aliran udara pernapasan
b. Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi
2. Pengelolaan airway bila terdapat obstruksi
1. OBSTRUKSI PARSIAL
I. Suara mendengkur (snoring)
a. Tanpa alat secara manual

Sumbatan jalan nafas karena pangkal lidah jatuh kebelakang, terdengar


suara snooring atau mendengkur. Lakukan pertolongan dengan cara :

Head-tilt/chin lift
Bila tidak ada cedera kepala dengan cara head tilt atau chin lift
Cara melakukan:
1. Letakkan satu tangan pada dahi tekan perlahan ke posterior,
sehingga kemiringan kepala menjadi normal atau sedikit ekstensi
(hindari hiperekstensi karena dapat menyumbat jalan napas).
2. Letakkan jari (bukan ibu jari) tangan yang lain pada tulang rahang
bawah tepat di ujung dagu dan dorong ke luar atas, sambil
mempertahankan cara 1.
8
Jaw thrust
Bila tidak sadar dan ada cedera kepala dengan cara jaw thrust
Cara melakukannya:
1. Posisi penolong di sisi atau di arah kepala
2. Letakkan 2-3 jari (tangan kiri dan kanan) pada masing-masing
sudut posterior bawah kemudian angkat dan dorong keluar.
3. Bila posisi penolong diatas kepala. Kedua siku penolong
diletakkan pada lantai atau alas dimana korban diletakkan.
4. Bila upaya ini belum membuka jalan napas, kombinasi dengan
head tilt dan membuka mulut (metode gerak triple)
Untuk cedera kepala/ leher lakukan jaw thrust dengan immobilisasi
leher.

(A) (B)
Gambar 1. (A) Head-tilt dan Chin-lift. (B) Jaw thrust

b. Dengan menggunakan alat


Pipa orofaring
Cara pemasangan :
1. Pakai sarung tangan
2. Buka mulut pasien dengan cara chin lift atau gunakan ibu jari dan
telunjuk
3. Siapkan pipa orofaring yang tepat ukurannya
4. Bersihkan dan basahi pipa orofaring agar licin dan mudah
dimasukkan
5. Arahkan lengkungan menghadap ke langit-langit (ke palatal)
6. Masukkan separuh, putar lengkungan mengarah ke bawah lidah.
7. Dorong pelan-pelan sampai posisi tepat.

9
8. Yakinkan lidah sudah tertopang dengan pipa orofaring dengan
melihat pola napas, rasakan dan dengarkan suara napas pasca
pemasangan.
II. Berkumur (gurgling)
Sapuan jari (finger sweep)
Cara :
a. Pasang sarung tangan
b. Buka mulut pasien dengan jaw thrust dan tekan dagu ke bawah
c. Gunakan 2 jari (jari telunjuk dan jari tengah yang bersih atau dibungkus
dengan sarung tangan /kassa untuk membersihkan dan mengorek semua
benda asing dalam mulut.
Cross finger
Dengan suction
2. OBSTRUKSI TOTAL
a. Tanpa alat secara manual
Back blows (kalau pasien sadar)
Pukulan punggung dilakukan 5 kali dengan pangkal tangan diatas tulang
belakang diantara kedua tulang belikat.Jika memungkinkan rendahkan
kepala di bawah dada.
Heimlich maneuver (pasien sadar)
Penolong berdiri di belakang korban, lingkarkan kedua lengan mengitari
pinggang, peganglah satu sama lain pergelangan atau kepalan tangan
(penolong).
Abdominal thrust(kalau pasien tidak sadar)
Letakkkan kedua tangan (penolong) pada perut antara pusat dan prosessus
sifoideus, tekanlah ke arah abdomen atas dengan hentakan cepat 3-5 kali.
b. Dengan menggunakan alat
ETT (Endotrakhea tube)
BREATHING
Breating dilakukan apabila pemeriksaan airway telah dilaksanakan.Atau
apabila tidak terdapat tanda-tanda obstruksi.
Tanpa menggunakan alat:

10
Mouth to mouth
Sambil mempertahankan posisi kepala (jalan nafas) lakukan tiupan nafas
buatan dengan mulut dengan cara tarik nafas dalam, tiup dan liat
pengembangan dada. Dengan konsentrasi oksigen 16%.
Mouth to mask
Caranya :
a. Pasang sungkup dengan ukuran sesuai umur sehingga menutup mulut
dan hidung, lalu rapatkan
b. Sambil mempertahankan posisi kepala (jalan nafas) lakukan tiupan
nafas dengan menggunakan :
 Kanula oksigen : dengan oksigen 2-3 liter/menit, konsentrasi
30%
 Sungkup sederhana : dengan oksigen 6-8 liter/menit, konsentrasi
60%
 Sungkup berbalon : dengan oksigen >10 liter/menit, konsentrasi
100%
c. Kemudian liat pengembangan dada.
d. Evaluasi pernapasan, nadi dan warna kulit.
Evaluasi pernapasan, Bernapas Perawatan
nadi dan warna kulit Nadi > 100 observasi

Sianosis
Nadi < 100 Beri tambahan O2
Sianosis menetap
Ventilasi efektif
Berikan VTP Perawatan pasca
Nadi > 100 resusitasi
Nadi < 60 nadi > 60

 Berikan VTP
 Lakukan kompresi dada

Nadi < 60 nadi < 60

Berikan epinfrin
11
Pemberian Ventilasi Tekanan positif
1. Pilih ukuran masker yang cocok dengan wajah penderita
2. Pastikan jalan napas penderita bebas.
3. Tangan kiri memegang masker sedemikian rupa sehingga masker rapat ke
wajah penderita dan pastikan tidak ada udara yang keluar dari sisi masker
pada saat dipompa. Tangan kanan memegang bag dan memompa sampai
dada penderita terlihat mengembang.
4. Kecukupan ventilasi dinilai dengan melihat gerakan dada penderita.

CIRCULATION
Indikasi pijat jantung : bradikardia ( <60x/m atau henti jantung )
Lokasi pemijatan : 1/3 bagian bawah tulang dada (sternum) dengan kedalaman
pijatan 1/3 tebal dada. Metode kompressi yaitu 1 pangkal telapak tangan
dengan frekuensi pemijatan± 100x/menit. Koordinasi antara pijat jantung dan
nafas buatan yaitu 5 : 1 dengan 20 siklus

DISABILITY (Neurologic Evaluation)


1. Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS
2. Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tanda-tanda
lateralisasi
3. Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi, ventilasi dan circulation.

EXPOSURE / KONTROL LINGKUNGAN


1. Buka pakaian penderita
2. Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan
yangcukup hangat

Penanganan pada kasus asma


Terapi

12
1. Albuterol, 1 sampai 2 semprotan dengan inhaler “dosis terukur”, atau 0,15
sampai 0,3 mg/kg dalam beberapa ml salin dengan nebulasi, atau pada kasus
berat dengan tekanan positif. Terapi boleh diulang jika diperlukan dengan
pemantauan frekuensi jantung. Dosis yang pasti tidak diperlukan karena
banyak albuterol dari nebuizer tersebut tidak diperlukan karena banyak
albuterol dan nebulizer tersebut tidak terhirup. Anak yang lebih muda dapat
menerima 0,25 ml larutan 0,5% (1,25mg) dalam 2,5 ml NS, dan anak yang
lebih besar dan remaja 0,5 ml (2,5 mg) dalam 2,5 ml NS. Albuterol kontinu
dapat juga yang diberikan dengan kecepatan 0,5 mg /kg/jam (maksimum 7,5
mg/jam).
2. Meskipun biasanya tidak perlu, pada kasus berat, epinefrin dalam air
(1:1000) dapat diberikan, 0,01 ml/kg, perdosis subkutan (maksimum dosis
tunggal tidak lebih dari 0,5 ml). onset kerja berlangsung cepat, durasi
kerjanya mendekati 20 menit. Suntikan boleh diulang setiap 15 sampai 20
menit sampai total tiga dosis.
3. Pemberian peroral atau cairan IV untuk mengencerkan mucus pada saat
yang bersamaan cukup menguntungkan dan amat penting jika anak tersebut
mengalami dehidrasi.
4. Pada kasus signifikan, steroid boleh diberikan UGD, prednisolon 1 sampai 2
mg/kg PO (prelone) atau IV (SoluMedrol).
5. Jika langkah-langkah yang disebut diatas tidak mengurangi serangan, pasien
harus dirawat di rumah sakit.
6. Jika serangan asma member respons terhadap terapi, anak boleh
dipulangkan. Bronkodilator inhalasi harus dilanjutkan, dan setiap serangan
yang signifikan harus diobati dengan pemberian singkat steroid. Berbagai
regimen telah digunakan, misalnya prednisone atau prednisolon, 1 sampai 2
mg/kg/hari dalam dosis terbagi untuk 3 hari atau dikurangi bertahap dalam
10 hari.
7. Epinefrin lepas lambat (Sus-Phrine), 0,005 ml/kg, kadang-kadang diberikan
secara subkutan sebelum anak dipulangkan, meskipun penggunaannya sudah
menurun pada tahun-tahun belakangan.

13
Penilaian Awal
Riwayat dan pemeriksaan fisik
(auskultasi, otot bantu napas, denyut jantung, frekuensi napas) dan bila mungkin faal paru (APE atau VEP1,
saturasi O2), AGDA dan pemeriksaan lain atas indikasi

Serangan Asma Ringan Serangan Asma Sedang/Berat Serangan Asma Mengancam Jiwa

Pengobatan Awal
Oksigenasi dengan kanul nasal
Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat (nebulisasi), setiap 20 menit dalam satu jam) atau agonis beta-2 injeksi
(Terbutalin 0,5 ml subkutan atau Adrenalin 1/1000 0,3 ml subkutan)
Kortikosteroid sistemik :
- serangan asma berat
- tidak ada respons segera dengan pengobatan bronkodilator
- dalam kortikosterois oral

Penilaian Ulang setelah 1 jam


Pem.fisis, saturasi O2, dan pemeriksaan lain atas indikasi

Respons baik Respons Tidak Sempurna Respons buruk dalam 1 jam


Respons baik dan stabil dalam 60 Resiko tinggi distress Resiko tinggi distress
menit Pem.fisis : gejala ringan – sedang Pem.fisis : berat, gelisah dan kesadaran
Pem.fisi normal APE > 50% terapi < 70% menurun
APE >70% prediksi/nilai terbaik Saturasi O2 tidak perbaikan APE < 30%
PaCO2 < 45 mmHg
PaCO2 < 60 mmHg

Pulang Dirawat di RS Dirawat di ICU


Pengobatan dilanjutkan dengan Inhalasi agonis beta-2 + anti—kolinergik Inhalasi agonis beta-2 + anti kolinergik
inhalasi agonis beta-2 Kortikosteroid sistemik Kortikosteroid IV
Membutuhkan kortikosteroid oral Aminofilin drip Pertimbangkan agonis beta-2 injeksi
Edukasi pasien Terapi Oksigen pertimbangkan kanul SC/IM/IV
Memakai obat yang benar nasal atau masker venturi Aminofilin drip
Ikuti rencana pengobatan Pantau APE, Sat O2, Nadi, kadar teofilin Mungkin perlu intubasi dan ventilasi
selanjutnya mekanik

Perbaikan Tidak Perbaikan

Pulang
Dirawat di ICU
Bila APE > 60% prediksi / terbaik. Tetap berikan Bila tidak perbaikan dalam 6-12 jam
pengobatan oral atau inhalasi

14
Penanganan untuk alergi
Terapi :
 Hentikan kontak dengan allergen
 Perhatikan tanda-tanda vital dan jalan napas; bila perlu dilakukan
resusitasi dan pemberian oksigen.
 Epinefrin 1/1000 (obat terpilih) 0,5-1 ml sk/im, dapat diulang 5-10 menit
kemudian.
 Dapat diberikan pula :
- Antihistamin-difenhidramin (benadryl) 10-20 mg iv
- Kortikosteroid-hidrokortison (Solu-Cortef) 100-250 mg iv
lambat (dalam 30 detik).
- Aminofilin 250-500 mg iv lambat, bila spasme bronkioli
nyata.

Syok
anafilaktik

Adrenalin/epinephrin
0,3-0,5 IM (0,01 mg/kg
BB)
Oksigen 100% 8
L/m

Tidak ada
Perbaikan perbaikan
Antihistamin
Berikan cairan Inhalasi beta-2
10-20 mg IM
IV agonist
atau IV

Evaluasi,
stabilisasi,
rujukan
15
16
Pada bayi atau anak dengan riwayat spel hipoksia harus diberikan Propranolol
peroral sampai dilakukan operasi. Dengan obat ini diharapkan spasme otot
infundibuler berkurang dan frekwensi spel menurun. Selain itu keadaan umum
pasien harus diperbaiki, misalnya koreksi anemia, dehidrasi atau infeksi yang
semuanya akan meningkatkan frekwensi spel. Bila spel hipoksia tak teratasi
dengan pemberian propranolol dan keadaan umumnya memburuk, maka harus
secepatnya dilakukan operasi paliatif Blalock-Tausig Shunt (BTS).

Prinsip Umum Penanganan alergi obat dimulai dengan mengenali reaksi


obat berdasarkan mekanisme yang terbagi menjadi 3 kelompok seperti pada Tabel
1.2 Berdasarkan Tabel 1, maka prioritas tatalaksana obat mengarah kepada daftar
obat-obatan terutama yang terbukti kuat menimbulkan reaksi alergi yang
diperoleh dari data anamnesis. Tiga hal yang menjadi dasar tatalaksana alergi obat
adalah menghindari faktor yang menimbulkan gejala, pengobatan reaksi yang
benar dan cara-cara khusus.
Pengobatan reaksi cepat pada alergi obat prinsip nya adalah pemberian
epinefrin, pengehentian obat yang diberikan, pemberian antihistamin (jika
terdapat urtikaria, angioedema dan pruritus) dan pertimbangan untuk pemberian
kortikosteroid oral. Sedangkan untuk reaksi lambat, pada dasarnya sama dengan
pada reaksi alergi obat cepat kecuali pemberian epinefrin.Namun, reaksi alergi
obat lambat dapat berlanjut meskipun obat penyebab sudah dihentikan.
Pada kasus skenario ini, dicurigai pasien mengalami reaksi alergi obat
yang diberikan secara injeksi intramuskular dan akan diberikan
penanganan seperti diatas.

1. Penanganan untuk tetralogi fallot


Pada penderita yang mengalami serangan sianosis maka terapi ditujukan untuk
memutus patofisiologi serangan tersebut, antara lain dengan cara :
 Posisi lutut ke dada agar aliran darah ke paru bertambah
 Morphine sulfat 0,1-0,2 mg/kg SC, IM atau Iv untuk menekan pusat
pernafasan dan mengatasi takipneu.
 Bikarbonas natrikus 1 Meq/kg BB IV untuk mengatasi asidosis
 Oksigen dapat diberikan, walaupun pemberian disini tidak begitu tepat
karena permasalahan bukan karena kekuranganoksigen, tetapi karena

17
aliran darah ke paru menurun. Dengan usaha diatas diharapkan anak tidak
lagi takipnea, sianosis berkurang dan anak menjadi tenang. Bila hal ini
tidak terjadi dapat dilanjutkan dengan pemberian:
 Propanolol 0,01-0,25 mg/kg IV perlahan-lahan untuk menurunkan denyut
jantung sehingga seranga dapat diatasi. Dosis total dilarutkan dengan 10
ml cairan dalam spuit, dosis awal/bolus diberikan separohnya, bila
serangan belum teratasi sisanya diberikan perlahan dalam 5-10 menit
berikutnya.
 Ketamin 1-3 mg/kg (rata-rata 2,2 mg/kg) IV perlahan. Obat ini bekerja
meningkatkan resistensi vaskuler sistemik dan juga sedatif
 penambahan volume cairan tubuh dengan infus cairan dapat efektif dalam
penganan serangan sianotik. Penambahan volume darah juga dapat
meningkatkan curah jantung, sehingga aliran darah ke paru bertambah dan
aliran darah sistemik membawa oksigen ke seluruh tubuh juga meningkat.

Lakukan selanjutnya
1. Propanolol oral 2-4 mg/kg/hari dapat digunakan untuk serangan sianotik
2. Bila ada defisiensi zat besi segera diatasi
3. Hindari dehidrasi

TOF

oksigenasi

Baik Buruk

Propanolol 0,01- Resusitasi


Ketamin 1-3
0,25 mg/kg IV cairan
mg/kg IV

Evaluasi, stabilisasi,
rujukan

18
4. Penanganan untuk intoksikasi makanan
1. Stabilisasi
Penatalaksanan keracunan pada waktu pertama kali berupa tindakan
resusitasi kardiopulmonal yang dilakukan dengan cepat dan tepat
berupa:
 Pembebasan jalan nafas
 Perbaikan fungsi pernapasan (Ventilasi dan okigenasi)
 Perbaikan sistem sirkulasi darah
2. Dekontaminasi GI
Dekomtaminasi merupakan terapi intervensi yang bertujuan untuk
menurunkan pemaparan terhadap racun mengurangi absorpsi dan
mengurangi kerusakan. Tindakan dekontaminasi tergantung pada
loksi tubuh yang terkena racun. Pada GI, penelanan makanan
merupakan rute pemaparan yang tersering sehingga tindakan
pemberian bahan pengikat (karbon aktif), pengenceran atau
mengeluarkan isis ambung dengan cara induksi muntah atau
aspirasi dan kumbah lambung dapat mengurangi jumlah paparan
bahan toksik.
3. Eliminasi
Tindakan mempercepat pengeuaran racun yang sedang beredar
dalam darah atau dalam sal.GI setelah lebih dari 4 jam. Apabila
masih dalam sal.cerna dapat digunakn pemberian arang aktif yang
diberikan berulang dengan dosis 30-50 gr (0,5-1 gr/kgBB) setiap 4
jam per orl atau enteral. Tinadakan ini dapat bermanfaat pada
keracunan obat seperti karbamazepin,dll.
Terapi gejaa penyerta
Gangguan cairan, elektrolit dan asam basa.
Kebutuhan dasar cairan harian adalah 30-35 ml/kgBB hari,
Natrium 1-1,5 mmol/kgBB/hari., kalium 1 mmol/kgBB/hari.
Apabila ada gangguan elektrolit dan asam basa harus dikoreksi
sesuai derajat bert ringannya.

19
Intoksikasi makanan

dekontaminasi

Aspirasi dan bilas lambung

Pasang NGT

Baik Buruk

Evaluasi, stabilisasi,
rujukan Resusitasi cairan

SECONDARY SURVEY
A. Anamnesis
Anamnesis yang harus diingat :
A : Alergi
M : Mekanisme dan sebab trauma
M : Medikasi ( obat yang sedang diminum saat ini)
P : Past illness
L : Last meal (makan minum terakhir)
E : Event/Environtment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan.

B. PemeriksaanFisik
1. Kepala dan Maksilofasial
a) Penilaian
 Inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya laserasi,
kontusi, fraktur dan luka termal
 Re-evaluasi pupil
 Re-evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS

20
 Penilaian mata untuk perdarahan, luka tembus, ketajaman penglihatan,
dislokasi lensa, dan adanya lensa kontak
 Evaluasi syaraf kranial
 Periksa telinga dan hidung akan adanya kebocoran cairan serebro-
spinal
 Periksa mulut untuk adanya perdarahan dan kebocoran cairan serebro-
spinal, perlukaan jaringan lunak dan gigi goyang.
b) Pengelolaan
 Jaga airway, pernafasan dan oksigenasi
 Cegah kerusakan otak sekunder

2. Vertebra servikalis dan leher


Penilaian
 Periksa adanya cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian
otot pernafasan tambahan
 Palpasi untuk adanya nyeri, deformitas, pembengkakan, emfisema
subkutan, deviasi trakea, simetri pulsasi.

3. Toraks
Penilaian
 Penilaian dinding dada bagian depan, samping dan belakang untuk
adanya trauma tumpul ataupun tajam, pemakaian otot pernafasan
tambahan dan ekspansi toraks bilateral.
 Auskultasi pada bagian depan dan basal untuk bising nafas (bilateral)
dan bising jantung.

 Palpasi seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,


emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
 Perkusi untuk adanya hipersonor atau keredupan.
c. Abdomen
Penilaian :

21
 Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang untuk adanya trauma
tajam/tumpul dan adanya perdarahan internal.
 Auskultasi bising usus
 Perkusi abdomen untuk menemukan nyeri lepas (ringan)
 Palpasi abdomen untuk nyeri tekan.
d. Perineum/rectum/penis
Penilaian :
 Penilaian perineum : perdarahan uretra, laserasi, dsb
 Penilaian rektum : perdarahan rektum
Tonus sfinkter ani
Utuhnya dinding rectum
Fragmen tulang
Posisi prostat
e. Muskuloskeletal
Penilaian :
 Inspeksi lengan dan tungkai akan adanya trauma tumpul/tajam, termasuk
adanya laserasi kontusio dan deformitas
 Palpasi lengan dan tungkai akan adanya nyeri tekan, krepitasi,
pergerakan abnormal, dan sensorik
 Palpasi semua arteri perifer untuk kuatnya pulsasi dan ekualitas
 Nilai pelvis untuk adanya fraktur dan perdarahan
 Inspeksi dan palpasi vertebra torakalis dan lumbalis untuk adanya
trauma tajam/ tumpul, termasuk adanya kontusio, laserasi, nyeri tekan,
deformitas, dan sensorik
f. Neurologis
Penilaian :
 Re-evaluasi pupil dan tingkat kesadaran
 Tentukan skor GCS
 Evaluasi motoric dan sensorik dari keempat ekstremitas
 Tentukan adanya tanda lateralisasi

22
C. Tambahan pada secondary survey
Dalam melakukan secondary survey, mungkin akan dilakukan
pemeriksaan diagnostik yang lebih spesifik yaitu pemeriksaan radiologi dan
laboratorium.Seringkali ini membutuhkan transportasi penderita ke ruangan
yang lain harus tersedia perlengkapan untuk resusitasi.Dengan demikian
semua prosedur di atas jangan dilakukan sebelum hemodinamik penderita
stabil dan telah diperiksa secara teliti.

2.5 PEMBERIAN TERAPI OKSIGEN.

 Teknik Pemberian Terapi Oksigen (O2)


Pemilihan teknik dan alat yang akan digunakan sangat ditentukan
oleh kondisi pasien yang akan diberikan terapi oksigen. Teknik dan alat
yang akan digunakan dalam pemberian terapi oksigen hendaknya memenuhi
kriteria sebagai berikut:
1. Mampu mengatur konsentrasi atau fraksi oksigen (FiO2) udara inspirasi.
2. Tidak menyebabkan akumulasi karbon dioksida (CO2).
3. Tahanan terhadap pernapasan mininal.
4. Irit dan efisien dalam penggunaan oksigen.
5. Diterima dan nyaman digunakan oleh pasien.
Cara pemberian terapi oksigen terbagi menjadi dua jenis sistem,
yang pertama adalah sistem arus rendah dan kedua sistem arus tinggi. Pada
sistem arus rendah, sebagian dari volume tidal berasal dari udara ruangan.
Alat ini memberikan fraksi oksigen 21%-90%, tergantung dari aliran gas
oksigen dan tambahan asesoris seperti kantong penampung. Alat-alat yang
biasanya digunakan pada sistem arus rendah adalah nasal kanul, nasal
kateter, sungkup muka tanpa atau dengan kantong penampung dan oksigen
transtrakeal. Alat ini digunakan pada pasien dengan kondisi stabil, yaitu
kadar volume tidal berkisar antara 300-700 ml pada orang dewasa serta
memiliki pola napas teratur. Pada sistem arus tinggi, adapun alat yang
digunakan yaitu sungkup venturi yang mempunyai kemampuan menarik
udara ruangan pada perbandingan yang tetap dengan aliran oksigen

23
sehingga mampu memberikan aliran total gas yang tinggi dengan fraksi
oksigen yang tetap pula. Keuntungan dari alat ini adalah fraksi oksigen
yang diberikan stabil serta mampu mengendalikan suhu dan humidifikasi
udara inspirasi sedangkan kelemahannya adalah alat ini mahal, mengganti
seluruh alat apabila ingin mengubah fraksi oksigen serta membuat pasien
merasa tidak nyaman.
o Alat Terapi Oksigen (O2) Arus Rendah
1. Nasal kanul dan nasal kateter.
Nasal kanul dan nasal kateter merupakan alat terapi oksigen
dengan sistem arus rendah yang digunakan secara luas. Nasal kanul terdiri
dari sepasang tube (pipa) yang mempunyai panjang +2 cm yang dipasangkan
pada lubang hidung pasien dan tube dihubungkan secara langsung menuju
oxygen flow meter. Alat ini dapat menjadi alternatif bila tidak terdapat
sungkup muka, terutama bagi pasien yang membutuhkan konsentrasi
oksigen rendah oleh karena tergolong sebagai alat yang sederhana, murah
dan mudah dalam pemakaiannya. Nasal kanul arus rendah mengalirkan
oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-6 liter/menit dengan fraksi oksigen
antara 24-44%. Aliran yang lebih tinggi tidak meningkatkan fraksi oksigen
secara bermakna diatas 44% dan dapat mengakibatkan mukosa membran
menjadi kering. Adapun keun- tungan dari nasal kanul yaitu pemberian
oksigen yang stabil serta pemasangannya mudah dan nyaman oleh karena
pasien masih dapat makan minum bergerak dan berbicara. Walaupun nasal
kanul nyaman digunakan tetapi pemasangan nasal kanul dapat
menyebabkan terjadinya iritasi pada mukosa hidung, mudah lepas, ti- dak
dapat memberikan konsentrasi oksigen lebih dari 44% dan tidak dapat
digunakan pada pasien dengan obstruksi nasal. Nasal kateter mirip dengan
kanul di mana sama-sama memi-liki sifat yang sederhana, murah dan
mudah dalam pemakaiannya serta tersedia dalam berbagai ukuran sesuai
dengan usia dan jenis kelamin pasien. Untuk pasien anak-anak digunakan
kateter nomor 8-10 F, untuk wanita digunakan kateter nomor 10-12 F dan
untuk pria digunakan kateter nomor 12-14 F. Fraksi oksigen yang
dihasilkan sama dengan nasal kanul.

24
Nasal Kanul

Nasal Kateter

2. Sungkup muka tanpa kantong penampung.


Sungkup muka tanpa kantong penampung merupakan alat terapi oksigen yang
dilakukan dengan cara diikatkan pada wajah pasien dengan ikat kepala elastis yang
berfungsi untuk menutupi hidung dan mulut. Tubuh sungkup berfungsi sebagai
penampung untuk oksigen dan karbon dioksida hasil ekspirasi. Alat ini mampu
menyediakan fraksi oksigen sekitar 40-60% dengan aliran sekitar 5-10 liter/menit.
Pada penggunaan alat ini, direkomendasikan agar aliran oksigen dapat tetap
dipertahankan sekitar 5 liter/menit atau lebih yang bertujuan untuk mencegah karbon
dioksida yang telah dikeluarkan dan tertahan pada sungkup untuk terhirup kembali.
Adapun keuntungan dari penggunaan sungkup muka tanpa kantong penampung
adalah alat ini mampu memberikan fraksi oksigen yang lebih tinggi daripada nasal
kanul ataupun nasal kateter dan sistem humidifikasi dapat ditingkatkan melalui
pemilihan sungkup berlubang besar sedangkan kerugian dari alat ini yaitu tidak dapat
memberikan fraksi oksigen kurang dari 40%, dapat menyebabkan penumpukan
karbon dioksida jika aliran oksigen rendah dan oleh karena penggunaannya menutupi
mulut, pasien seringkali kesulitan untuk makan dan minum serta suara pasien akan

1
teredam. Sungkup muka tanpa kantong penampung paling cocok untuk pasien yang
membutuhkan fraksi oksigen yang lebih tinggi daripada nasal kanul ataupun nasal
kateter dalam jangka waktu yang singkat, seperti terapi oksigen pada unit perawatan
pasca anestesi. Sungkup muka tanpa kantong penampung sebaiknya juga tidak
digunakan pada pasien yang tidak mampu untuk melindungi jalan napas mereka dari
resiko aspirasi.

3. Sungkup muka dengan kantong penampung.


Terdapat dua jenis sungkup muka dengan kantong penampung yang
seringkali digunakan dalam pemberian terapi oksigen, yaitu sungkup muka partial
rebreathing dan sungkup muka nonrebreathing. Keduanya terbuat dari bahan plastik
namun perbedaan terletak pada jenis sungkup muka tersebut yang terkait dengan
adanya katup pada tubuh sungkup dan di antara sungkup dan kantong penampung.
Sungkup muka partial rebreathing tidak memiliki katup satu arah di antara sungkup
dengan kantong penampung sehingga udara ekspirasi dapat terhirup kembali
saat fase inspirasi sedangkan pada sungkup muka nonrebreathing, terdapat katup satu arah
antara sungkup dan kantong penampung sehingga pasien hanya dapat menghirup udara
yang terdapat pada kantong penam- pung dan menghembuskannya melalui katup terpisah
yang terletak pada sisi tubuh sungkup. Sungkup muka dengan kantong penampung
dapat mengantarkan oksigen sebanyak 10-15 liter/menit dengan fraksi oksigen sebesar
80-85% pada sungkup muka partial rebreathing bahkan hingga 100% pada sungkup muka
nonrebreathing. Kedua jenis sungkup muka ini sangat dianjurkan penggunaannya pada
pasien-pasien yang membutuhkan terapi oksigen oleh karena infark miokard dan
keracunan karbon monoksida (CO).

2
Sungkup muka partial rebreathing Sungkup muka nonrebreathing

4. Oksigen (O2) transtrakeal.


Oksigen transtrakeal dapat mengalirkan oksigen secara langsung melalui
kateter di dalam trakea. Oksigen transtrakeal dapat meningkatkan kepatuhan pasien untuk
menggunakan terapi oksigen secara kontinyu selama 24 jam dan seringkali berhasil untuk
mengatasi hipoksemia refrakter. Oksigen transtrakeal dapat menghemat
penggunaan oksigen sekitar 30-60%. Keuntungan dari pemberian oksigen
transtrakeal yaitu tidak ada iritasi muka ataupun hidung dengan rata-rata oksigen yang
dapat diterima pasien mencapai 80-96%. Kerugian dari penggunaan alat ini yaitu
biayanya yang tergolong tinggi dan resiko terjadinya infeksi lokal. Selain itu, ada pula
berbagai komplikasi lainnya yang seringkali terjadi pada pemberian oksigen transtrakeal
antara lain emfisema subkutan, bronkospasme, batuk paroksismal dan infeksi
stoma.
Oksigen (O2) Transtrakeal

o Alat Terapi Oksigen (O2) Arus Tinggi


Terdapat dua indikasi klinis untuk penggunaan terapi oksigen dengan
arus tinggi, di antaranya adalah pasien dengan hipoksia yang memerlukan pengendalian
fraksi oksigen dan pasien hipoksia dengan ventilasi yang abnormal. Adapun alat terapi
oksigen arus tinggi yang seringkali digunakan, salah satunya yaitu sungkup venturi.
Sungkup venturi merupakan alat terapi oksigen dengan prinsip jet mixing yang dapat
memberikan fraksi oksigen sesuai dengan yang dikehendaki. Alat ini sangat
bermanfaat untuk dapat mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen rendah
sekitar 24-35% dengan arus tinggi, terutama pada pasien dengan penyakit paru obstruktif
kronis (PPOK) dan gagal napas tipe II di mana dapat mengurangi resiko terjadinya

3
retensi karbon dioksida (CO2) sekaligus juga memerbaiki hipoksemia. Alat ini juga lebih
nyaman untuk digunakan dan oleh karena adanya pendorongan oleh arus tinggi, maka
masalah rebreathing akan dapat teratasi
Sungkup Venturi

 Pedoman Pemberian Terapi Oksigen (O2)


1. Tentukan status oksigenasi pasien dengan pemeriksaan klinis, analisa gas darah
dan oksimetri.
2. Pilih sistem yang akan digunakan untuk memberikan terapi oksigen
3. Tentukan konsentrasi oksigen (O2) yang dikehendaki: rendah (di bawah 35%),
sedang (35 sampai dengan 60%) atau tinggi (di atas 60%).
4. Pantau keberhasilan terapi oksigen dengan pemeriksaan fisik pada sistem respirasi
dan kardiovaskuler.
5. Lakukan pemeriksaan analisa gas darah secara periodik dengan selang waktu
minimal 30 menit.
6. Apabila dianggap perlu maka dapat dilakukan perubahan terhadap cara pemberian
terapi oksigen.
7. Selalu perhatikan terjadinya efek samping dari terapi oksigen yang diberikan.

2.6 PEMBERIAN TERAPI CAIRAN.


Komponen cairan tubuh
Tubuh manusia terdiri dari zat padat dan cair. Distribusi cairan manusa pada dewasa :
 Zat padat : 40% dari berat badan
 Zat cair : 60% dari berat badan, yang terdiri dari :
o Cairan intrasel 40% dari berat badan
o Catran ekstrasel 20% dari berat badan, yang terdiri dari :
 Cairan intravaskuler 5% dari berat badan
 Cairan intertisial 15% dari berat badan

Cairan transseluler (1-3% dari berat badan) contohnya : LCS, sinovial, gastrointestinal dan
intraorbita
Konsep dasar cairan dan elektrolit
Kebutuhan cairan merupakan bagian dari kebutuhan dasar manusia secara fisiologis, yang
memiliki proporsi besar dalam bagian tubuh

4
 Total cairan tubuh 45-75% dari berat badan
 Pada bayi 70-80% dari berat badan
Persentase cairan tubuh bervariasi, bergantung pada faktor usia, lemak dalam tubuh, dan jenis
kelamin.
Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Cairan
 Demam ( kebutuhan meningkat 12% setiap 10 C, jika suhu > 370 C )
 Suhu lingkungan yang tinggi
 Aktivitas yang ekstrim / berlebihan
 Setiap kehilangan yang abnormal seperti diare atau poliuria
Kebutuhan Air dan Elektrolit pada Orang Dewasa
 Pada orang dewasa kebutuhannya yaitu :
o Kebutuhan air sebanyak 30 -50 ml/kgBB/hari
o Kebutuhan kalium 1-2 mEq/kgBB/hari
o Kebutuhan natrium 2-3 mEq/kgBB/hari

5
Kebutuhan elektrolit perhari
ELEKTROLIT JUMLAH KEBUTUHAN / 24 JAM / KgBB
Na (natrium) 3 - 4 mEq
K (kalium) 2 - 3 mEq
Cl (klorida) 3 - 4 mEq
Mg (magnesium) 0.35 - 0.45 mEq
Ca (kalsium) 1-2 mEq
PO4 (fosfat) 3 - 10 mg
Glukosa 200 - 400 g / KgBB / JAM
Cairan intravena
Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau kombinasi keduanya.
Larutan kristaloid adalah larutan ion (garam) berair dengan atau tanpa glukosa, sedangkan
larutan koloid juga mengandung zat dengan berat molekul tinggi seperti protein atau polimer
glukosa besar. Larutan koloid membantu menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan
sebagian besar tetap intravaskular, sedangkan larutan kristaloid dengan cepat
menyeimbangkan dan mendistribusikan ke seluruh ruang cairan ekstraseluler. Masih ada
kontroversi mengenai penggunaan koloid versus cairan kristaloid untuk pasien bedah.
Beberapa generalisasi dapat dibuat:
 Kristaloid, bila diberikan dalam jumlah yang cukup, sama efektifnya dengan koloid
dalam memulihkan volume intravaskular.
 Mengganti defisit volume intravaskular dengan kristaloid biasanya membutuhkan tiga
hingga empat kali volume yang dibutuhkan saat menggunakan koloid.
 Pasien bedah mungkin memiliki defisit cairan ekstraseluler yang melebihi defisit
intravaskular.
 Defisit cairan intravaskular yang parah dapat lebih cepat dikoreksi menggunakan
larutan koloid.
 Pemberian cepat kristaloid dalam jumlah besar (> 4-5 L) sering dikaitkan dengan
edema jaringan.

Edema jaringan sekunder akibat pemberian cairan berlebihan dapat mengganggu transportasi
oksigen, penyembuhan jaringan, dan kembalinya fungsi usus setelah operasi dan dapat
meningkatkan risiko infeksi di tempat bedah.
1. Larutan kristaloid

6
Cairan kristaloid yang paling banyak digunakan adalah normal saline dan ringer laktat.
Cairan kristaloid memiliki komposisi yang mirip cairan ekstraselular. Kristaloid sering
dianggap sebagai cairan resusitasi awal pada pasien dengan syok hemoragik dan septik,
pasien luka bakar, pasien dengan cedera kepala (untuk mempertahankan tekanan perfusi
otak), dan pasien yang menjalani plasmaferesis dan reseksi hepar. Berbagai macam
larutan tersedia dan pilihannya sesuai dengan jenis kehilangan cairan. Untuk kehilangan
terutama yang melibatkan air, penggantian dilakukan dengan larutan hipotonik, dan jika
kehilangan melibatkan air dan elektrolit, penggantian dilakukan dengan larutan elektrolit
isotonik. Glukosa disediakan dalam beberapa larutan untuk mempertahankan tonisitas,
atau mencegah ketosis dan hipoglikemia akibat puasa. Anak-anak cenderung mengalami
hipoglikemia (<50 mg / dL) setelah puasa 4-8 jam. Normal saline ketika diberikan dalam
volume besar, menghasilkan asidosis metabolik hiperkloremik karena kandungan klorida
yang tinggi dan kurangnya bikarbonat. Selain itu, kristaloid yang kaya klorida seperti
normal saline dapat berkontribusi pada cedera ginjal akut perioperatif. Oleh karena itu,
kami lebih suka larutan garam seimbang untuk sebagian besar penggunaan intraoperatif.
Saline normal adalah solusi yang lebih disukai untuk alkalosis metabolik hipokloremik
dan untuk mengencerkan sel darah merah sebelum transfusi.

2. Larutan koloid
Aktivitas osmotik zat berat molekul tinggi dalam koloid cenderung mempertahankan
larutan ini secara intravaskular. Meskipun paruh intravaskular dari larutan kristaloid
adalah 20 hingga 30 menit, sebagian besar larutan koloid memiliki paruh intravaskular
antara 3 dan 6 jam. Biaya yang relatif lebih besar dan komplikasi sesekali terkait dengan
koloid dapat membatasi penggunaannya. Indikasi secara umum untuk koloid meliputi :
a. resusitasi cairan pada pasien dengan defisit cairan intravaskular yang parah (misalnya
syok hemoragik) sebelum kedatangan darah untuk transfusi
b. resusitasi cairan pada hipoalbuminemia berat atau kondisi yang terkait dengan besar
kehilangan protein seperti luka bakar. Untuk pasien luka bakar, koloid tidak termasuk
dalam sebagian besar protokol resusitasi awal, tetapi dapat dipertimbangkan setelah
resusitasi awal dengan cedera luka bakar yang lebih luas selama prosedur operasi
selanjutnya.

Banyak dokter juga menggunakan larutan koloid dengan kristaloid ketika kebutuhan
penggantian cairan melebihi 3 sampai 4 L sebelum transfusi. Perlu dicatat bahwa larutan

7
koloid disiapkan dalam larutan salin normal (Cl-145-154 mEq\L) dan dengan demikian
juga dapat menyebabkan asidosis metabolik hiperkloremik. Beberapa dokter
menyarankan bahwa selama anestesi, perawatan (dan lainnya) kebutuhan cairan diberikan
dengan larutan kristaloid dan kehilangan darah diganti dengan larutan koloid (termasuk
produk darah).
Beberapa larutan koloid umumnya berasal dari protein plasma atau polimer glukosa
sintetis dan disuplai dalam larutan elektrolit isotonik. Koloid yang diturunkan dari darah
termasuk albumin (5% dan 25% larutan) dan fraksi protein plasma (5%). Keduanya
dipanaskan hingga 60 ° C selama setidaknya 10 jam untuk meminimalkan risiko
penularan hepatitis dan penyakit virus lainnya. Fraksi protein plasma mengandung α- dan
β-globulin di samping albumin dan kadang-kadang menghasilkan reaksi alergi hipotensi.
Koloid sintetik termasuk gelatin dan pati dekstrosa. Gelatin (mis., Gelofusine)
berhubungan dengan reaksi alergi histaminemediasi dan tidak tersedia di Amerika
Serikat.
Dextran adalah polisakarida kompleks yang tersedia sebagai dekstran 70 (Macrodex) dan
dekstran 40 (Rheomacrodex), yang masing-masing memiliki bobot molekul rata-rata
70.000 dan 40.000. Dekstran digunakan sebagai volume expander tetapi juga mengurangi
viskositas darah, antigen faktor von Willebrand, adhesi trombosit, dan agregasi sel darah
merah. Karena sifat-sifat yang terakhir ini, ini digunakan oleh para microsurgeon untuk
meningkatkan aliran mikrosirkulasi dan mengurangi risiko pembentukan mikrotrombus.
Infus melebihi 20 mL / kg per hari dapat mengganggu golongan darah, dapat
memperpanjang waktu perdarahan, dan telah dikaitkan dengan komplikasi perdarahan.
Dextran telah dikaitkan dengan cedera dan kegagalan ginjal akut dan tidak boleh
diberikan kepada pasien dengan riwayat penyakit ginjal atau mereka yang berisiko
mengalami cedera ginjal akut (misalnya, orang tua atau sakit kritis).
Reaksi anafilaktoid dan anafilaktik telah dilaporkan. Dekstran 1 (Promit) dapat diberikan
sebelum dekstran 40 atau dekstran 70 untuk mencegah reaksi anafilaksis berat; bertindak
sebagai hapten dan mengikat semua antibodi dekstran yang bersirkulasi. Hetastarch (pati
hidroksietil) tersedia dalam berbagai formulasi yang ditentukan oleh konsentrasi, berat
molekul, tingkat substitusi pati (berdasarkan molar), dan rasio hidroksilasi antara posisi
C2 dan C6. Dengan demikian, di beberapa negara berbagai formulasi tersedia dengan
konsentrasi antara 6% dan 10%, berat molekul antara 200 dan 670, dan tingkat substitusi
molar antara 0,4 dan 0,7.

8
Kristaloid Koloid
Keunggulan 1. Lebih mudah tersedia dan 1. Ekspansi volume plasma
murah tanpa ekspansi interstitial

2. Komposisi serupa dengan 2. Ekspansi volume lebih besar


plasma (Ringer asetat/ringer
laktat) 3. Durasi lebih lama

3. Bisa disimpan di suhu kamar 4. Oksigenasi jaringan lebih


baik
4. Bebas dari reaksi anafilaktik
5. Insiden edema paru dan/atau
5. Komplikasi minimal edema sistemik lebih rendah
Kekurangan 1. Edema bisa mengurangi 1. Anafilaksis
ekspansibilitas dinding dada 2. Koagulopati
3. Albumin bisa memperberat
2. Oksigenasi jaringan depresi miokard pada pasien
terganggu karena syok
bertambahnya jarak kapiler
dan sel
3. Memerlukan volume 4 kali
lebih banyak

2.7 EFEK JANGKA PANJANG DARI PEMBERIAN TERAPI OKSIGEN DAN CAIRAN.
a. Efek terapi oksigen
Seperti halnya terapi dengan obat, pemberian terapi oksigen (O2) juga dapat
menimbulkan efek samping, terutama terhadap sistem pernapasan, susunan saraf
pusat dan mata, terutama pada bayi prematur. Efek samping pemberian terapi oksigen
(O2) terhadap sistem pernapasan, di antaranya dapat menyebabkan terjadinya depresi
napas, keracunan oksigen (O2) dan nyeri substernal.
Depresi napas dapat terjadi pada pasien yang menderita penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK) dengan hipoksia dan hiperkarbia kronis. Pada penderita
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), kendali pusat napas bukan oleh karena
kondisi hiperkarbia seperti pada keadaan normal, tetapi oleh kondisi hipoksia
sehingga pabila kada oksigen (O2) dalam darah meningkat maka akan dapat
menimbulkan depresi napas. Pada penderita penyakit paru obstruktif kronis (PPOK),
terapi oksigen (O2) dianjurkan dilakukan dengan sistem aliran rendah dan diberikan
secara intermiten.
Keracunan oksigen (O2) terjadi apabila pemberian oksigen (O2) dengan
konsentrasi tinggi (di atas 60%) dalam jangka waktu yang lama. Hal ini akan
menimbulkan perubahan pada paru dalam bentuk kongesti paru, penebalan membran
alveoli, edema, konsolidasi dan atelektasis. Pada keadaan hipoksia berat, pemberian
terapi oksigen dengan fraksi oksigen (O2) (FiO2) yang mencapai 100% dalam waktu
6-12 jam untuk penyelamatan hidup seperti misalnya pada saat resusitasi masih
dianjurkan namun apabila keadaan kritis sudah teratasi maka fraksi oksigen (O2)
(FiO2) harus segera di turunkan. Nyeri substernal dapat terjadi akibat iritasi pada

9
trakea yang menimbulkan trakeitis. Hal ini terjadi pada pemberian oksigen (O2)
konsentrasi tinggi dan keluhan tersebut biasanya akan diperpa-rah ketika oksigen (O2)
yang diberikan kering atau tanpa humidifikasi.
Efek samping pemberian terapi oksigen (O2) terhadap susunan saraf pusat
apabila diberikan dengan konsentrasi yang tinggi maka akan dapat menimbulkan
keluhan parestesia dan nyeri pada sendi sedangkan efek samping pemberian terapi
oksigen (O2) terhadap mata, terutama pada bayi baru lahir yang tergolong prematur,
keadaan hiperoksia dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada retina akibat
proliferasi pembuluh darah yang disertai dengan perdarahan dan fibrosis atau
seringkali disebut sebagai retrolental fibroplasia.2,3

Terdapat tiga klasifikasi risiko penggunaan jangka panjang terapi oksigen yaitu: fisik,
fungsional, dan sitotoksik.2,3
a) Risiko fisik Penggunaan jangka panjang dari terapi oksigen secara fisik dapat
mengakibatkan luka lecet pada hidung dan wajah yang timbul dari pemakaian
nasal kateter dan sungkup. Kulit kering dan pengelupasan kulit dapat muncul
dengan penggunaan gas yang kering tanpa proses humidifikasi.
b) Risiko fungsional Terapi oksigen dapat menyebabkan hipoventilasi pada
pasien dengan COPD. Dalarn prakteknya, terapi oksigen aliran rendah,
memiliki risiko yang kecil untuk menyebabkan hipoventilasi tersebut.
c) Risiko kerusakan sitotoksik Pemberian oksigen dapat menyebabkan kerusakan
struktural pada paruparu. Perubahan proliferasi dan perubahan fibrosis akibat
toksisitas oksigen terbukti setelah dilakukannya otopsi pada pasien COPD
yang diterapi dengan oksigen jangka panjangv Namun perubahan ini tidak
menimbulkan pengaruh yang signifikan pada pexjalanan klinis atau
kelangsungan hidup pasien yang diterapi dengan oksigen. Sebagian besar
kerusakan yang texjadi diakibatkan oleh hasil hyperoksia dari pemberian FiO2
tinggi pada kondisi akut.

b. Efek terapi cairan


Komplikasi yang paling sering terjadi adalah cairan yang masuk ke dalam
tubuh terlalu banyak. Ketika hal ini terjadi, jantung gagal memompa volume 15
sirkulasi yang terekspansi secara efektif. Distensi berlebih pada ventrikel kiri dapat
menyebabkan gagal jantung, dengan konsekuensi berupa edema paru. Pasien dengan
edema paru akan memendekkan pernapasan dan menyebabkan batuk, terdengar
crackles pada auskultasi dan penurunan saturasi oksigen. Manifestasi klinis ini
seringkali diikuti oleh meningkatnya denyut jantung. Gagal ginjal dan kerusakan
ventrikel yang sudah ada dapat memperburuk kondisi. Sindrom kompartemen
abdomen dan sindrom distres resprasi akut adalah konsekuensi dari kelebihan
resusitasi cairan dan kelebihan cairan. Penanganan khusus juga harus dilakukan pada
pasien dengan gagal jantung atau gagal nafas, ataupun pada orang dengan resiko
ketidakstabilan hemodinamik.

10
2.8 BAGAIMANA CARA MENYINGKIRKAN GEJALA YANG DIALAMI PASIEN
KARENA REAKSI OBAT.
Berdasarkan algoritma koma, untuk mengetahui pasien mengalami penurunan

kesadaran dan sesak karna reaksi obat atau bukan perlu dilakukan beberapa tahapan seperti,

yang tertera dibawah ini.

11
Untuk itu pada skenario ini ada beberapa kemungkinan yang paling mungkin yaitu

endogen ataupun eksogen, namun dicurigai kearah eksogen alergi obat, dengan reaksi

imunologi Tipe I .

12
Reaksi obat yang mengancam nyawa merupakan reaksi anafilaktik yang melibatkan organ

saluran nafas atas dan bawah serta sistem kardiovaskuler. Reaksi ini juga dapat muncul

sebagai demam yang dapat mencapai 40○C. Reaksi obat secara umum dapat

menimbulkan gejala yang sangat bervariasi seperti lesi membran mukosa, limfadenopati,

hepatosplenomegali, nyeri dan bengkak pada sendi.

PEMERIKSAAN PENUNJANG UMUM

Pemeriksaan penunjang umum berdasarkan indikasi di antaranya adalah pemeriksaan

darah perifer lengkap dengan hitung jenis, laju endap darah, c-reactive protein, tes

autoantibodi, tes imunologis khusus, pemeriksaan rontgen dan elektrokardiografi. Jika

reaksi alergi obat melibatkan ginjal, maka diperlukan pemeriksaan urinalisis untuk

mencari proteinuria, eosinofil dan casts pada urin. Adanya eosinofil pada urin dan

peningkatan kadar total IgE dapat mengarahkan kepada adanya nefritis interstitial.2,20

Jika ada kecurigaan vaskulitis yang disebabkan alergi obat, maka perlu dilakukan

pemeriksaan laju endap darah, C-reactive protein, tes komplemen dan beberapa tes

autoantibodi seperti antinuclear antibody (ANA), antinuclear cytoplasmic antibody (c-

ANCA),dan perinuclear cytoplasmic antibody (p-ANCA). Hasil tes ANA yang positif

mengarahkan kepada diagnosis dari sindrom lupus imbas obat.

PEMERIKSAAN PENUNJANG KHUSUS

Pemeriksaan penunjang yang khusus untuk alergi obat tebagi menjadi pemeriksaan in
vivo dan in vitro. Beberapa pemeriksaan penunjang khusus yang penting untuk
menunjang diagnosis alergi obat adalah tes kulit untuk reaksi hipersensitivitas cepat (lgE),
tes tempel, tes provokasi atau tes dosing, radioallergosorbent test (RAST), mengukur lgG
atau lgM yang spesifik untuk obat, mengukur aktivasi komplemen, mengukur pelepasan
histamin atau mediator lain dari basofil, mengukur mediator seperti histamin,
prostaglandin, leukotrien, triptase, transformasi limfosit, uji toksisitas leukosit, evaluasi
dengan bantuan komputer.

13
DAFTAR PUSTAKA

Sethi A. Tuberculosis and Infections with Atypical Mycobacteria, In: Wolff, K. Goldsmith,
LA. Katz, SI. Gilchrest, BA. Paller, AS. and Leffell, DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. 8th Ed, Vol 2. New York:McGraw-Hill; 2012

American college of surgeons. 2004. Advance Trauma Life Support Program for Doctors, 7 th
edition. USA (Diterjemahan dan dicetak oleh komisi trauma IKABI)

Tambunan, Karmel L, dkk. 2003. Buku Panduan Penatalaksanaan Gawat Darurat, Jilid 1.
Jakarta. FKUI

Alsagaff, Hood dan Mukty Abdul H.2006. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga
University Press : Surabaya.

PDSPDI. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Pusat Penerbitan FKUI: Jakarta.

Davey, Patrick. 2006. At a Glance Medicine. Airlangga: Jakarta

Venkatesh, C., Chhavi, N., Soundararajan, P. and Arulraj, R., 2013. Hypersensitivity due to
ceftriaxone mimicking measlesin a child. Indian Journal of Pharmacology, [online] 45(5),
p.528. Available at: <https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3793530/> [Accessed
10 April 2020].

Mangku G, Senapathi TGE. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Edisi II. Jakarta.
Indeks. 2017.

Jindal S.K. Oxygen Therapy: Important Considerations. Indian J Chest Dis Allied Sci. 2008.
Hal: 97-107.

Floss K, Borthwick M, Clark C. Intravenous Fluids Principles of Treatment. Clinical


Pharmacist Vol.3. 2011.

Baratawidjaja, KG., Rengganis, Iris. Alergi Dasar Edisi ke-10. Jakarta: FKUI; 2009.hal.459-
92.

Joint Task Force on Practice Parameters; American Academy of Alergy, Asthma and
Immunology; American College of Allergy, Asthma and Immunology; Joint Council of
Allergy, Asthma and Immunology. Drug allergy: an updated practice parameter. Ann Allergy
Asthma Immunol. 2010;105(4):259-73.

Brust, J.C.M., 2007, Current Diagnosis & Treatment NEUROLOGY, International ed, Mc
GrawHill, New York

Frew A. Generalprinciples ofinvestigatingand managingdrug allergy. Br J Clin Pharmacol.


2011;71(5):642-6.

14

Anda mungkin juga menyukai