Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN KASUS

“SINUSITIS”

Pembimbing : dr. Dian Nurul Al Amini, Sp. THT

Nama : Nur Indah Sari

NIM : 2014730077

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA PONDOK KOPI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya pada
penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas laporan kasus dengan tema “Sinusitis” ini tepat
pada waktunya. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarga, serta para pengikutnya hingga akhir zaman.
Laporan kasus ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas untuk penilaian kegiatan
kepaniteraan klinik ilmu penyakit THT tahun 2019, dan juga untuk memperdalam
pemahaman tinjauan pustaka yang telah dipelajari sebelumnya.
Penulis menyadari ketidaksempurnaan tugas laporan kasus ini. Untuk itu penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan penyusunan laporan selanjutnya.
Terimakasih penulis ucapkan kepada pembimbing dr. Dian Nurul Al Amini, SpTHT-
KL yang telah membimbing penyusunan laporan kasus ini. Terima kasih juga pada semua
pihak yang telah membantu dalam tahap pengumpulan referensi, analisis materi dan
penyusunan laporan kasus ini.
Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi instansi
kepaniteraan klinik FKK UMJ dan RS Islam Jakarta Pondok Kopi pada umumnya.

Jakarta, Oktober 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Sinusitis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal dan merupakan penyakit yang
sering ditemukan dalam praktek dokter sehari hari, bahkan dianggap sebagai salah satu
penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia. Menurut Gluckman, kuman
penyebab sinusitis akut tersering adalah Streptococcus pneumonia dan Haemophilus infuenza
yang ditemukan pada 70% kasus. Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah
sinus ethmoid dan maksilaris. Bahaya dari sinusitis adalah komplikasi ke orbita dan
intrakranial, komplikasi ini terjadi akibat tatalaksana yang in-adekuat atau faktor predisposisi
yang tidak dapat dihindari.1
Sinusitis menjadi masalah kesehatan penting hampir di semua negara dan angka
prevalensinya makin meningkat tiap tahunnya. Sebanyak 24-31 juta kasus sinusitis
ditemukan di United States. Sinusitis paling sering dijumpai dan termasuk 10 penyakit
termahal karena membutuhkan biaya pengobatan cukup besar.1 Prevalensi sinusitis di
Indonesia cukup tinggi. Hasil penelitian tahun 1996 dari sub bagian Rinologi Departemen
THT FKUI-RSCM, dari 496 pasien rawat jalan ditemukan 50 persen penderita sinusitis
kronik. Pada tahun 1999, penelitian yang dilakukan bagian THT FKUI-RSCM bekerjasama
dengan Ilmu Kesehatan Anak, menjumpai prevalensi sinusitis akut pada penderita Infeksi
Saluran Nafas Atas (ISNA) sebesar 25 persen. Angka tersebut lebih besar dibandingkan data
di negara-negara lain.
Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga
terbentuk rongga di dalam tulang. Ada empat pasang sinus paranasal, sinus maksila, sinus
frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid.
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain (1)
sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu keseimbangan
kepala, (4) membantu resonansi suara, (5) peredam perubahan tekanan udara dan (6)
membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung.1
Sinus maksila disebut juga antrum High more, merupakan sinus yang sering
terinfeksi, oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2) letak ostiumnya lebih
tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret atau drainase dari sinus maksila hanya tergantung
dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris),
sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak
di meatus medius, disekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.1
Sinusitis maksilaris dapat terjadi akut, berulang atau kronis. Sinusitis maksilaris akut
berlangsung tidak tanpa adanya residu kerusakan jaringan mukosa. Sinusitis berulang terjadi
lebih sering tapi tidak terjadi kerusakan signifikan pada membran mukosa. Sinusitis kronis
berlangsung selama 3 bulan atau lebih dengan gejala yang terjadi selama lebih dari dua puluh
hari (lebih dari tiga minggu). Sinusitis akut dapat sembuh sempurna jika diterapi dengan baik.
1,2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. P
Jenis Kelamin : Wanita
Usia : 71 tahun
Tanggal Pemeriksaan : 16 Oktober 2019
NRM : 81 33 xx

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama :

Hidung terasa tersumbat sejak 1 minggu Sebelum Masuk Rumah Sakit (SMRS).

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke poli THT RSIJ Pondok Kopi kontrol dengan keluhan hidung terasa
tersumbat sejak 1 minggu SMRS. Pada seminggu terakhir ini pasien mengalami gejala flu
disertai pengeluaran cairan dari hidung, awalnya cairan putih dan sekarang mulai berwarna
kuning-kehijauan namun cairan dari lubang hidung kiri kadang sulit dikeluarkan dan ada rasa
bau tidak enak seperti bau busuk. Pasien sering merasa ada cairan yang turun dari belakang
hidung ke tenggorokan, terutama saat pasien sedang menenggakan kepala. Pasien terkadang
merasakan nyeri di bawah mata kiri. Pasien juga mengeluhkan sakit kepala seperti ditusuk-
tusuk yang hilang timbul. Keluhan demam dirasakan beberapa hari yang lalu, namun sudah
membaik. Pasien mengatakan pusing, dan keluhan telinga berdenging tidak ada.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien sudah pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya, terdapat riwayat sering batuk,
pilek, nyeri tenggorok dan terdapat gigi yang bolong. Riwayat penyakit kencing manis dan
tekanan darah tinggi tidak ada.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa dengan pasien. Riwayat
penyakit kencing manis dan tekanan darah tinggi tidak ada.
Riwayat Alergi :
Pasien mengaku memiliki riwayat alergi terhadap debu dengan keluhan bersin-
bersin, alergi ini baru terasa sekitar satu tahun belakang ini.
Riwayat Pengobatan:
Sebelumnya pasien sudah periksa ke dokter, dan diberikan obat, namun belum ada
perbaikan.
Riwayat Psikososial
Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok dan alkohol.

2.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital :
Frekuensi nadi : 82 x/menit, reguler, isi cukup
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Frekuensi nafas : 18 x/menit, reguler
Suhu : 36,8º C
Status Generalis
Kepala& Leher : normochepali, conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga/Hidung/Tenggorok : status lokalis
Thoraks
Cor :
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1 S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo :
Inspeksi : gerakan simetris kanan = kiri
Palpasi : vokal fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor
Auskultasi: vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : distensi (-)
Palpasi : soepel, organomegali (-)
Perkusi : timpani (+)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Ektremitas : edema (-/-), varises (-/-), akral hangat

Status Lokalis Telinga, Hidung dan Tenggorok

TELINGA
Kanan Kiri
Radang (-), nyeri tekan Radang (-), nyeri tekan tragus
Aurikula
tragus (-) (-)
Retroaurikula Radang (-), nyeri tekan (-) Radang (-), nyeri tekan (-)
Meatus
akustikus Mukosa hiperemi (-) Mukosa hiperemi (-)
eksternus
Utuh, hiperemis (-), reflex Utuh, hiperemis (-), reflex
Membran
cahaya jam 5, warna putih cahaya jam 7, warna putih
timpani
mengkilat mengkilat

HIDUNG
Kanan Kiri
Sekret (-), massa (-), hiperemis Sekret (+), massa (-),
Vestibulum
(-) hiperemis (+)
Konka
Hipertrofi (-), hiperemis (-) Hipertrofi (+), hiperemis (+)
inferior
Meatus nasi
Pus (-), polip (-) Pus (+), polip (-)
media
Kavum nasi Lapang Lapang
Mukosa Hiperemis (-) Hiperemis (+)
Sekret Tidak ada Ada
Septum Normal normal

FARING
Arkus faring Simetris Simetris
T1, hiperemi (-), kripta
(-), T1, hiperemi (-), kripta (-),
Tonsil
detritus (-), permukaan detritus (-), permukaan rata
rata
Uvula Simetris, hiperemi (-), oedem (-)
Palatum mole Simetris, hiperemi (-)
Dinding faring Mukosa halus, hiperemi (-), refleks muntah (+/+)

Regio Fasialis:
Inspeksi : pembengkakan pipi (-), deformitas wajah (-)
Palpasi : nyeri tekan maksila dextra (-), nyeri tekan maksila sinistra (+)
Perkusi : nyeri ketok maksila dextra (-), nyeri ketok maksila sinistra (+)
Pemeriksaan Gigi : Gigi dalam batas normal

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Foto Rontgen Kepala 3 posisi tgl 7 Oktober 2019

Kesan :
◦ Tampak lesi opak berbatas tegas, bulat di sinus maksilaris kiri..
◦ Sinus-sinus paranasalis lainnya cerah, tidak tampak perselubungan.
◦ Septum nasi di tengah.
◦ Kesan: Sinus maksillaris kiri
2.5 Resume
◦ Seorang wanita berusia 71 tahun datang dengan keluhan hidung terasa tersumbat
sejak 1 minggu SMRS, keluhan disertai dengan flu yang dialamai pasien, awalnya
cairan nya jernih dan selanjutnya menjadi warna kuning-kehijauan, pada lubang
hidung kiri sulit keluar cairan. Pasien terkadang merasakan nyeri di bawah mata kiri.
Pasien sempat mengalami demam dan sakit kepala (seperti ditususk-tusuk). Pasien
memiliki alergi terhadap debu dengan keluhan bersin-bersin, alergi ini baru terasa
sekitar satu tahun belakang ini.
◦ Dilakukan pemeriksaan fisik, TTV dalam batas normal, pada status lokalis didapatkan
kelainan pada status hidung yaitu : Pada hidung vestibulum kiri terdapat sekret (+),
hiperemis (+). Pada konka inferior kiri terdapat hipertrofi (+), hiperemis (+), meatus
nasi media kiri pus (+), mukosa kiri hiperemis (+), sekret pada bagian kiri ada (+).

2.6 Diagnosis
Sinusitis Maksilaris Sinistra

2.7 Penatalaksanaan
Terapi Medikamentosa :
1. Amoxicilin 3 x 500 mg
2. Pseudoefedrin hcl 3 x 60 mg
3. Paracetamol 3x500 mg

Terapi Non Medikamentosa :


1. Istirahat yang cukup
2. Gunakan masker dan hindari debu
3. Menjaga kebersihan gigi dan mulut

Tindakan Operasi :
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF atau FESS)

2.8 Prognosa
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : dubia ad bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Sinus Paranasal


Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit untuk
dideskripsikan karena bentuknya yang bervariasi pada setiap individu. Sinus paranasal
merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam
tulang. Ada empat pasang sinus paranasal, sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan
sinus sfenoid. Anatominya dapat dijelaskan sebagai berikut:

Gambar 1. Anatomi Sinus Paranasal

Sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior),
sinus maksila kanan dan kiri (antrum highmore) dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Semua
sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan
semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing.3
Pada meatus medius yang merupakan ruang di antara konka medius dan konka
inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris sebagai muara
dari sinus maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior. Pada meatus superior yang
merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid
posterior dan sinus sfenoid.3
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung
dan terbentuk pada fetus usia bulan III atau menjelang bulan IV dan tetap berkembang selama
masa kanak-kanak, jadi tidak heran jika pada foto anak-anak belum ada sinus frontalis karena
belum terbentuk.4

Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila berbentuk
seperti piramid. Dinding anterior sinus maksila dibentuk oleh permukaan fasial os maksila
(fosa kanina), dinding posterior terbentuk oleh permukaan infra-temporal maksila, bagian
medial sinus maksila adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superior terbentuk oleh
dasar orbita, dan dinding inferior terbentuk oleh prosesus alveolaris dan palatum.4
Secara klinis, yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah dasar dari
sinus maksila (dinding inferior) sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, sehingga
infeksi gigi geligi mudah naik ke atas dan menyebabkan terjadinya sinusitis. Sinusitis maksila
dapat menimbulkan terjadinya komplikasi orbita karena dinding superior sinus maksila
dibenuk oleh dasar orbita. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus,
sehingga drainase hanya tergantung dari pergerakan silia.3,4

Fungsi Sinus Paranasal4


 Membentuk pertumbuhan wajah
 Sebagai pengatur udara (air conditioning)
 Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
 Membantu keseimbangan cranium
 Membantu resonansi suara
 Peredam perubahan tekanan udara
 Membantu produksi mukus

3.2. Definisi
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang terkena,
dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis
sfenoid.1,2,3 Yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis etmoid,
sinusitis frontal dan sinusuitis sfenoid lebih jarang.
Sinus maksila disebut juga dengan antrum highmore, merupakan sinus yang sering
terinfeksi, oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2) letak ostiumnya lebih
tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret atau drainase dari sinus maksila hanya tergantung
dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris),
sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak
di meatus medius, di sekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.1
Sinusitis maksilaris dapat terjadi akut, berulang atau kronis. Sinusitis maksilaris akut
berlangsung tidak tanpa adanya residu kerusakan jaringan mukosa. Sinusitis berulang terjadi
lebih sering tapi tidak terjadi kerusakan signifikan pada membran mukosa. Sinusitis kronis
berlangsung selama 3 bulan atau lebih dengan gejala yang terjadi selama lebih dari dua puluh
hari (lebih dari tiga minggu). Sinusitis akut dapat sembuh sempurna jika diterapi dengan baik.
1,2,5

3.3 Patofisiologi

Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain (1)
sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu keseimbangan
kepala, (4) resonansi suara, (5) peredam perubahan tekanan udara dan (6) membantu produksi
mukus untuk membersihkan rongga hidung.1,3
Fungsi sinus paranasal dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pertahanan
mukosilier, ostium sinus yang tetap terbuka dan pertahanan tubuh baik lokal maupun
sistemik.2,3,5 Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan
palut lendir di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir
menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya.
Gambar 2. Pergerakan silia dalam drainase cairan sinus

Gambar 3. Perubahan silia pada sinusitis

Bila terjadi edema di kompleks osteomeatal, mukosa yang letaknya berhadapan akan
saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan. Maka
terjadi gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif
dan lendir yang di produksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang
baik untuk tumbuhnya bakteri patogen. Bila sumbatan berlangsung terus, akan terjadi
hipoksia dan retensi lendir sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob.1 Bakteri yang sering
ditemukan pada sinusitis kronik adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
Moraxella catarrhalis, Streptococcus B hemoliticus, Staphylococcus aureus, kuman anaerob
jarang ditemukan.1 Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau
pembentukan polip dan kista.1,2,3
Gambar 4. Perubahan mukosa pada sinus yang terinfeksi

Reaksi peradangan berjalan menurut tahap-tahap tertentu yang khas. Pelebaran kapiler
darah akan memperlambat aliran darah sehingga akan mengeluarkan fibrin dan eksudat serta
migrasi leukosit menembus dinding pembuluh darah membentuk sel-sel nanah dalam
eksudat. Tetapi bilamana terjadi pada selaput lendir, maka pada saat permulaan vasodilatasi
terjadi peningkatan produksi mukus dari kelenjar mukus sehingga nanah yang terjadi bukan
murni sebagai nanah, tetapi mukopus.5

Gambar 5. Sinusitis akut menjadi sinusitis kronik

Ada tiga kategori utama pada mekanisme terjadinya sinusitis kronis, yaitu:5
1. Sinusitis yang berhubungan dengan hiperplasia karena peradangan.
2. Sinusitis sebagai bagian dari alergi umum saluran napas.
3. Sinusitis karena salah satu diatas disertai infeksi sekunder.
Sinusitis yang berhubungan dengan hiperplasia karena peradangan
Biasanya mulai pada masa kanak-kanak. Serangan infeksi terjadi berulang-ulang.
Waktu antara dua serangan makin lama makin pendek. Kekebalan makin terkalahkan dan
resolusi terjadi hampir tidak pernah sempurna. Pengaruh terhadap mukosa adalah penebalan
dengan disertai infiltrasi limfosit yang padat. Fibrosis sub epitel menyebabkan pengurangan
jumlah kelenjar karena iskemia dan bila berlangsung lebih lanjut akan menyebabkan ulserasi
mukosa. Pada tahap berikutnya periosteum akan terkena dan hiperemia meluas ke tulang-
tulang yang kemudian menjadi osteoporosis dan akhirnya menjadi sklerotik.5

Sinusitis sebagai bagian dari alergi umum saluran napas


Penderita memiliki salah satu dari dua tipe alergi. Pertama adalah alergi umum
diatesis yang timbul pada permulaan bersama asma, eksema, konjungtivitis dan rinitis yang
kemudian menjadi rinitis musiman (hay fever) pada anak lebih tua. Kedua mngkin tidak
didapatkan keluhan dan tanda dari alergi sampai umur 8 atau 9 tahun secara berangsur-angsur
mukosa semakin “penuh terisi air” yang menyebabkan bertambahnya sumbatan dan sekret
hidung. Polip dapat timbul karena pengaruh gaya berat terhadap selaput mukosa yang penuh
dengan air dan dapat memenuhi rongga hidung.5
Gambar 6. Mekanisme terjadinya sinusitis kronis
3.4 Etiologi dan Faktor Predisposisi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam
rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan
anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks osteo-meatal,
infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada sindroma
Kartegener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik.
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis sehingga
perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan
rhinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan yang berpolusi, udara dingin dan
kering, serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa
dan merusak silia.

3.5 Gejala klinis


Gejala subyektif terdiri dari gejala sistemik dan gejala lokal. Gejala sistemik ialah
demam dan rasa lesu. Gejala lokal pada hidung terdapat ingus kental yang kadang-kadang
berbau dan dirasakan mengalir ke nasofaring. Dirasakan hidung tersumbat, rasa nyeri
didaerah infraorbita dan kadang-kadang menyebar ke alveolus, sehingga terasa nyeri di gigi.
Nyeri alih dirasakan di dahi dan di depan telinga. Penciuman terganggu dan ada perasaan
penuh dipipi waktu membungkuk ke depan. Terdapat perasaan sakit kepala waktu bangun
tidur dan dapat menghilang hanya bila peningkatan sumbatan hidung sewaktu berbaring
sudah ditiadakan.1,2,5,6
Gejala obyektif, pada pemeriksaan sinusitis maksila akut akan tampak pembengkakan
di pipi dan kelopak mata bawah. Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis
dan edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis etmoid anterior tampak
mukopus atau nanah di meatus medius. Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di
nasofaring (post nasal drip).1,5,6

Gambar 7. Pus pada meatus medius


Gambar 8. Pembengkakan pipi pada pasien sinusitis

3.6 Pemeriksaan Fisik


Untuk melihat tanda-tanda klinis dapat dilakukan pemeriksaan :1,2
a. Rhinoskopi anterior, tampak mukosa hidung hiperemis dan edema, terlihat pus pada
meatus nasi media.
b. Rhinoskopi posterior, tampak sekret kental di nasofaring (post nasal drip).
c. Transiluminasi. Pada sinus normal tampak gambaran bulan sabit yang terang di
bawah mata, dan bila ada sinusitis, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap.
Pemeriksaan transiluminasi bermakna apabila salah satu sisi sinus yang sakit,
sehingga tampak lebih suram dibandingkan sisi yang normal.

Tabel 1. Kriteria diagnosis sinusitis 9,10


Mayor Minor
Nyeri atau rasa tertekan pada wajah Sakit kepala
Sekret nasal dan post nasal purulen Batuk
Demam (fase akut) Rasa lelah
Kongesti nasal Halitosis (bau mulut)
Obstruksi nasal Nyeri gigi
Hiposmia atau anosmia Nyeri atau rasa tertekan /penuh pada
telinga

Untuk mengakkan diagnosis sinustis memerlukan dua kriteria minor atau satu kriteria
mayor dengan dua kriteria minor pada pasien, dengan gejala lebih dari 7 hari.

3.7 Pemeriksaan Radiologi


Pemeriksaan radiologis untuk mendapatkan informasi dan untuk mengevaluasi sinus
paranasal adalah: pemeriksaan foto kepala dengan berbagai posisi yang khas, pemeriksaan
CT-Scan, pemeriksaan MRI, pemeriksaan Dengan pemeriksaan radiologis tersebut para ahli
radiologi dapat memberikan gambaran anatomi atau variasi anatomi, kelainan-kelainan
patologis pada sinus paranasalis dan struktur tulang sekitarnya, sehingga dapat memberikan
diagnosis yang lebih dini.11

Pemeriksaan Foto Kepala


Pemeriksaan foto kepala untuk mengevaluasi sinus paranasal terdiri atas berbagai
macam posisi antara lain:
a. Foto kepala posisi Caldwell
Foto ini diambil pada posisi kepala meghadap kaset, bidang midsagital kepala tegak
lurus pada film. Idealnya pada film tampak pyramid tulang petrosum diproyeksi pada 1/3
bawah orbita atau pada dasar orbita. Hal ini dapat tercapai apabila orbito-meatal line tegak
lurus pada film dan membentuk 150 ̊ kaudal. 11

Gambar 9. Foto posisi Caldwell

b. Foto kepala lateral


Dilakukan dengan film terletak di sebelah lateral dengan sentrasi di luar kantus mata,
sehingga dinding posterior dan dasar sinus maksilaris berhimpit satu sama lain.11
Gambar 10. Foto lateral menunjukkan gambaran air fluid level di sinus maksila

c. Foto kepala posisi Water’s


Foto ini dilakukan dengan posisi dimana kepala menghadap film, garis orbito meatus
membentuk sudut 37 ̊ dengan film. Pada foto ini, secara ideal piramid tulang petrosum
diproyeksikan pada dasar sinus maksilaris sehingga kedua sinus maksilaris dapat dievaluasi
sepenuhnya. Foto Water’s umumnya dilakukan pada keadaan mulut tertutup. Pada posisi
mulut terbuka akan dapat menilai dinding posterior sinus sfenoid dengan baik. 11

Gambar 11. Foto posisi Waters Gambar 12. Foto posisi


mulut terbuka Waters

d. Foto kepala posisi Submentoverteks


Foto diambil dengan meletakkan film pada vertex, kepala pasien menengadah
sehingga garis infraorbito meatal sejajar dengan film. Sentrasi tegak lurus film dalam bidang
midsagital melalui sella turcica kearah vertex. Posisi ini biasa untuk melihat sinus frontalis
dan dinding posterior sinus maksilaris. 11
Gambar 13. Foto posisi submentoverteks

Pemeriksaan foto polos kepala air fluid level merupakan gambaran yang paling umum
pada sinusitis bakteri akut dan umumnya tidak terlihat dalam bentuk lain dari sinusitis.
Pemeriksaan ini paling baik dan paling utama untuk mengevaluasi sinus paranasal. Karena
banyaknya unsur-unsur tulang dan jaringan lunak yang tumpang tindih pada daerah sinus
paranasal, kelainan-kelainan jaringan lunak, erosi tulang kadang-kadang sulit dievaluasi.
Pemeriksaan ini dari sudut biaya cukup ekonomis dan pasien hanya mendapat radiasi yang
minimal.11

Kelainan yang akan terlihat dengan foto polos adalah adanya perselubungan dan batas udara-
cairan atau penebalan mukosa.

Pemeriksaan CT-Scan
CT scan sinus bidang koronal telah menjadi metode pencitraan standar internasional
untuk mengevaluasi sinus paranasal yang terkena sinusitis. Pemeriksaan harus mencakup
penilaian terhadap pola, batas, dan kemungkinan penyebab penyakit, serta rincian anatomi
yang relevan dan diperlukan untuk perencanaan penatalaksanaan.6,9
Pada sinusitis akut dapat dilihat tingkat air-fluid, penebalan mukosa, dan
completeopacification sinus. Apabila terdapat darah di sinus karena trauma ini mungkin dapat
meniru air fluid level dalam sinus, namun mudah dibedakan dengan pengukuran kepadatan. 11
Dalam sinusitis kronis, sinus etmoid umumnya terlibat. Temuan meliputi penebalan
mukosa, completeopacification, remodeling tulang dan penebalan karena osteitis, dan
poliposis. 6,9
Gambar 14. Foto CT scan posisi Gambar 15. Foto CT scan posisi
coronal menggambarkan coronal menggambarkan sinusitis
Sinusitis jamur. Jaringan lunak pada sisi kanan sinus
menempati sinus maksilaris spenoethmodal.
kanan dan ethmoid dengan
daerah hyperattenuating pusat
khas jamur sinusitis. Dinding
medial sinus yang terkena
terkikis.

Pemeriksaan MRI
Meskipun CT scan tetap menjadi modalitas utama untuk kriteria standar diagnosis
sinusitis, tetapi MRI diindikasikan pada kasus-kasus klinis yang dicurigai dapat menjadi
komplikasi, terutama pada pasien dengan komplikasi intrakranial dan infeksi yang besifat
extension atau pada mereka yang suspek superior sagittal venous thrombosis. 9
MRI meningkatkan diferensiasi jaringan lunak, tetapi itu tidak membantu dalam
mengevaluasi tulang. MRI jelas menggambarkan tumor dari inflamasi pada jaringan sekitar
dan sekresi pada sinus. Pada MRI T2-weighted, membran edema dan lendir jelas terlihat
hiperintens.9

Gambar 16. Foto MRI Gambar 17. Foto MRI


menggambarkan sinusitis ethmodal menggambarkan sinusitis
bilateral. ethmodal dengan ekstensi
intrakranial dan juga perluasan
ke orbit kiri.

Gambar 18. Foto MRI Gambar 19. Foto MRI axial


menggambarkan sinusitis ethmodal menggambarkan sinusitis yg
kanan dengan ekstensi intraorbital. menyebabkan extensi
intraorbital kanan dengan
perpindahan M. Rectus medialis
ke arah medial.

Pemeriksaan USG
Secara umum, ultrasonografi belum dianggap berguna dalam diagnosis sinusitis.
Namun, beberapa karya yang diterbitkan telah menunjukkan bahwa USG menjadi lebih
akurat daripada MRI atau radiografi polos dalam mendiagnosis sinusitis maksilaris.
Ultrasonografi telah menjadi alat yang handal dalam diagnosis sinusitis maksilaris akut.
Namun, kontroversi masih ada mengenai keandalan ultrasonografi dalam mendeteksi retensi
cairan atau pembengkakan mukosa pada pasien dengan rinosinusitis polypous kronis atau
dalam transantrally operated-on maxillary sinuses.9
Ultrasonografi memiliki beberapa keterbatasan dalam diagnosis sinusitis tetapi
ultrasonografi juga dapat menunjukkan hasil diagnosa positif dengan adanya cairan antral,
tapi sonogram tidak mendefinisikan penyebab cairan. Sonogram tidak bisa memberikan
informasi tentang detil tulang, dan sulit mendiagnosis sinus apa yg terkena. Ultrasonografi
juga tidak dapat digunakan untuk membedakan penyakit sinus dari bakteri, virus, jamur, dan
penyebab alergi.

3.8 Penatalaksanaan
Tujuan terapi sinusitis ialah : 1) mempercepat penyembuhan; 2) mencegah komplikasi;
dan 3) mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka
sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial,
untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan
ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin.
Jka diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, dapat
diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenissefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis
antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang.
Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman negatif gram dan
anaerob.
Selain dekongestan oral dan topikal, teapi lain dapat diberikan jika diperlukan,
seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan
NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat
antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat
sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2, irirgasi sinus maksila atau Proetz
displacement theraphy juga merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat.
Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang
berat.

Terapi sinusitis maksilaris umumnya terdiri dari : 9,10,11


1. Istirahat
2. Antibiotika
Antibiotika yang dipilih adalah antibiotika spektrum luas yang relatif murah dan aman.
Lama pemberian antibiotika yang disarankan oleh beberapa kepustakaan juga bervariasi
tergantung kondisi penderita. Pada kasus akut, antibiotika diberikan selama 5-7 hari
sedangkan pada kasus kronik diberikan selama 2 minggu hingga bebas gejala selama 7 hari.
Antibiotika yang dapat diberikan antara lain :
a. Amoksisilin 3 kali 500 mg
b. Ampicillin 4 kali 500 mg
c. Eritromisin 4 kali 500 mg
d. Sulfametoksasol – TMP
e. Doksisiklin
3. Dekongestan lokal (tetes hidung) atau sistemik (oral) merupakan Alpha adrenergik
agonis menyebabkan vasokontriksi, sehingga memperlancar drainase sinus.
a. Sol Efedrin 1-2 % sebagai tetes hidung
b. Sol Oksimetasolin HCL 0,05% (semprot hidung untuk dewasa)
c. Oksimetasolin HCL 0,025% (semprot hidung untuk anak-anak)
d. Tablet pseudoefedrin 3 kali 60 mg (dewasa)
4. Analgetika dan antipiretik: parasetamol atau metampiron
5. Antihistamin
Antagonis histamine H1 yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H1 sel
target. Bekerja dengan menghambat hipersekresi kelenjar mukosa dan sel goblet dan
menghambat peningkatan permeabilitas kapiler sehingga mencegah rinore dan sebagai
vasokontriksi sinusoid untuk mencegah hidung tersumbat. Antihistamin berguna untuk
mengurangi obstruksi KOM pada pasien alergi yang menderita sinusitis akut. Terapi
antihistamin ini tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin pada pasien dengan sinusitis
akut, karena dapat menimbulkan komplikasi melalui efeknya yang mengentalkan dan
mengumpulkan sekresi sinonasal.
6. Mukolitik
Secara teori, mukolitik seperti bromehexin atau ambroxol hidroklorida memiliki
kelebihan dalam mengurangi sekresi dan memperbaiki drainase. Namun tidak biasa
digunakan dalam praktek klinis untuk mengobati sinusitis akut.
7. Tindakan operatif
a. Pungsi dan Irigasi sinus maksilaris (antrum wash out)
Tujuan dilakukan Irigasi antrum adalah 1) sebagai tindakan diagnostik untuk
memastikan ada tidaknya sekret pada sinus maksilaris, 2) untuk mengeluarkan sekret
yang terkumpul didalam rongga sinus maksilaris, 3) memperbaiki aliran mukosiliar, 4)
jika dalam waktu 10 hari, penderita tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan dengan
terapi konservatif, atau telah didapatkan adanya air fluid level dalam antrum, 5) untuk
memperoleh material yang dapat digunakan untuk kultur dan tes sensitifitas.
Tindakan ini dapat dilakukan dengan :
 Mukosa hidung disemprot dengan larutan 10% kokain dan adrenalin 1/1000. kemudian
dengan sepotong kapas yang dibasahi dengan larutan yang sama ditempatkan pada
meatus inferior. Ditunggu selama 15 menit.
 Dengan menggunakan trokar (misal Trokar dari Lichwits) dibuat drainase melalui
meatus inferior atau celah bukalis gusi menembus fosa insisiva dengan menempatkan
ujung trokar pada bagian atas dari meatus nasi inferior, kearah kanthus lateralis 1-1/2
inch dari lobang hidung atau tepi atas daun telinga. Trokar didorong masuk dengan arah
sedikit memutar sampai terasa menembus tulang. Trokar dicabut dengan meninggalkan
kanul.
 Dilakukan irigasi antrum dengan larutan salin steril hangat ke dalam antrum maksilaris.
Selanjutnya mengalirkan larutan saline hangat, akan mendorong pus ke luar melalui
ostium alami ke rongga hidung atau mulut. cairan irigasi ditampung dan dikirim untuk
pemeriksaan bakteriologi dan uji kepekaan kuman.
 Antrum wash out dilakukan lima-enam kali dengan selang waktu 4- 5 hari (2 kali dalam
seminggu). Bila tidak ada perbaikan dan klinis masih tetap banyak sekret purulen, berarti
mukosa sinus tidak dapat kembali normal (perubahan irreversible), maka perlu dilakukan
operasi radikal.
 Antibiotika diberikan sesuai dengan pemeriksaan bakteriologi dan tes uji kepekaan.
8. Pembedahan radikal
Indikasi pembedahan radikal ini adalah 1) kegagalan respon terapi konservatif yakni
sinusitis kronik refrakter terhadap terapi medis yang maksimal terhadap terapi antibiotik, 2)
tindakan irigasi terutama pada sinusitis kronik dan persisten dengan mukosa sinus yang
irreversible. Sinusitis akut jarang membutuhkan pembedahan, kecuali jika terjadi komplikasi
seperti bentukan mukopiokele dengan kecurigaan penyebaran ke orbita atau intrakranial, atau
bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.
Terapi radikal dilakukan dengan pembedahan Caldwel-luc, yaitu dengan mengangkat mukosa
yang patologis dan membuat drainasesinus.
9. Pembedahan tidak radikal
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic Sinus Surgery
(FESS) merupakan tehnik penanganan terkini dari sinusitis oleh karena pembedahan dengan
metode Caldwel-luc sudah jarang dipakai. Prinsipnya ialah membuka dan membersihkan
daerah KOM yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi, sehingga ventilasi sinus dan
drainase sinus dapat lancer kembali melalui ostium alami dan mengembalikan fungsi
mukosilier. Pendekatan terdahulu untuk membuat saluran nasoantral dalam sinus maksilaris
(untuk memfasilitasi gravitasi drainase) adalah tidak efektif, karena pembersihan normal
mukosilier adalah satu arah dan melawan gravitasi. Oleh karena itu, pembersihan normal
mukosilier tidak akan berubah walaupun telah dibuatkan saluran nasoantral.

3.9 Kriteria EPOS 2007


3.10Kriteria EPOS 2012
Gambar 1
Gambar 2

Gambar 3
Gambar 4
Gambar 5
Gambar 6

3.11Komplikasi

Kelainan Orbita
Disebabkan oleh sinus paranasal yang dekat dengan orbita  ethmoidalis, frontal dan maksila.
Penyebaran  tromboflebitis dan perkontinuitatum.
Gejala : edema palpebra, abses subperiostal, abses orbita  trombosis sinus kavernosus

Kelainan Intrakranial
Meningits abses subdural, abses otak, trombosis sinus kavernosus
Osteomielitis dan abses subperiostal
Sering karena sinusitis frontal dan ditemukan sering pada anak.
Sinus maksila  fistula oroantral/ fistula pada pipi

Kelainan paru
Bronkhitis Kronik dan Bronkiektasis
Penyebab kambuhnya asma bronkial

3.12Pencegahan
- Pasien dengan rhinitis alergi harus segera diobati karena edema mukosa dapat
menyebabkan obstruksi sinus.
- Bila adenoid mengalami infeksi, meghilangkan itu berarti eliminasi sarang infeksi dan
dapat mengurangi infeksi pada sinus.
- Menjaga kebersihan gigi dan mulut.

3.13Prognosis

Prognosis tergantung dari ketepatan serta cepatnya penanganan yang diberikan.


Semakin cepat maka prognosis semakin baik. Pemberian antibiotik serta obat-obat
simptomatis bersama dengan penanganan faktor penyebab dapat memberikan prognosis
yang baik.

Bedah Sinus Endoskopi Fungsional akan mengembalikan fungsi sinus dan gejala akan
sembuh secara komplit atau moderat sekitar 80-90% pada pasien dengan sinusitis kronis
rekuren atau sinusitis kronis yang tidak responsif terhadap terapi medikamentosa.

BAB IV

ANALISA MASALAH

Seorang laki-laki berusia 43 tahun datang dengan keluhan hidung terasa tersumbat sejak 1
minggu SMRS, keluhan disertai dengan flu yang dialamai pasien, awalnya cairan nya jernih
dan selanjutnya menjadi warna kuning-kehijauan, pada lubang hidung kanan sulit keluar
cairan. Os sempat mengalami demam dan sakit kepala (seperti ditususk-tusuk) . Keluhan lain
seperti mual, muntah disangkal. Pada 2 bulan yang lalu OS sudah berobat dengan gejala yang
sama dengan fisioterapi dan pengobatan dari dokter.

Dilakukan pemeriksaan fisik, TTV dalam batas normal, pada status generalis didapatkan
kelainan pada status hidung yaitu : konka inferior hipertrofi dan hiperemis. Mukosa hidung
hiperemis dan terdapat sekret.

Pemeriksaan penunjang dilakukan dengan kesan : sinusitis maksilaris sinistra


Diagnosis Kerja
Sinusitis Maksilaris Sinistra

Terapi :

Medikamentosa

 Amoxicilin 3 x 500 mg

 Pseudoefedrin hcl 3 x 60 mg

 Paracetamol 3x500 mg

Non Medikamentosa

Istirahat yang cukup

Gunakan Masker dan Hindari debu terutama debu lama.

Menjaga kebersihan gigi dan mulut

Anamnesis

KASUS TEORI

Wanita usia 71 tahun • Berdasarkan penelitian yang dilakukan di


Rumah Sakit Santa Elisabeth,  total pasien
sinusitis berjenis kelamin laki-laki lebih banyak
dari pada perempuan yaitu 59 orang (57,8%).

• usia 21-30 tahun dengan presentase 27,5% dan


pada kelompok umur 51-60 tahun dengan
presentase 7,5%.

KU : Hidung Tersumbat, Gejala Subyektif Lokal : hidung tersumbat, kental, bau


Terasa ada cairan yang yang mengalir ke nasofaring
jatuh ke nasofaring, dan
cairan tercium bau Gejala Subyektif sistemik : Demam
busuk, pusing, demam

Pasien mengalami Flu • Etiologi dan faktor predisposisi sinusitis.


(common cold) Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara
lain ISPA akibat virus, bermacam rhinitis
terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada
wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi
seperti deviasi septum atau hipertrofi konka,
sumbatan kompleks osteo-meatal, infeksi tonsil,
infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia
seperti pada sindroma Kartegener, dan di luar
negeri adalah penyakit fibrosis kistik.

Pemeriksaan Fisik

KASUS TEORI

Hidung : : konka inferior hipertrofi dan R.A : Mukosa konka hiperemis & edema
hiperemis. Mukosa hidung hiperemis
dan terdapat sekret.

Foto polos kepala dan sinus : Kelainan yang akan terlihat dengan foto polos
AP,Waters,Lateral adalah adanya perselubungan dan batas udara-
cairan atau penebalan mukosa.
Tampak lesi opak berbatas tegas, bulat
di sinus maksilaris sinistra

Septum nasi masih relatif ditengah

Kesan : sinusitis maksilaris sinistra

Kriteria diagnosis sinusitis:

Diagnosis memerlukan dua kriteria minor atau satu kriteria mayor dengan dua kriteria
minor pada pasien dengan gejala lebih dari 7 hari

Gejala mayor Gejala minor

Nyeri atau rasa tertekan pada wajah Sakit kepala

Sekret nasal purulent Batuk

Demam Rasa lelah


Kongesti nasal Halitosis

Obstruksi nasal Nyeri gigi

Hiposmia atau anosmia Nyeri atau rasa tertekan /penuh pada telinga

Terapi

Kasus Teori

Amoxicilin Antibiotika yang dipilih adalah antibiotika spektrum luas yang relatif murah
dan aman. Lama pemberian antibiotika yang disarankan oleh beberapa
kepustakaan juga bervariasi tergantung kondisi penderita

Dekongestan Dekongestan lokal (tetes hidung) atau sistemik (oral) merupakan Alpha
adrenergik agonis menyebabkan vasokontriksi, sehingga memperlancar
drainase sinus.

Antipiretik Paracetamol

DAFTAR PUSTAKA

1. Hall dan Collmans Sinusitis. Disease of The Nose, Throat and Ear. Head and Neck
Surgery. Fourtheenth ed, 2005, 49 – 53.
2. Dykewicz MS, Hamilos DL February 2010. Rhinitis and Sinusitis. The Journal of
Allergy and Clinical Immunology. 125: S103–15.
3. Mangunkusumo, Endang dan Nusjirwan Rifki. Sinusitis. In: Soepardi EA, Iskandar N
(eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 6 th Ed.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.pp.150-154.
4. Hilger, Peter A. Penyakit pada Hidung. In: Adams GL, Boies LR. Higler PA, editor.
Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997.p.200.
5. Kennedy E. Sinusitis. Available from: http://www.emedicine.com/emerg/topic536.htm
6. Rosenfeld RM. Picirrilo JF. Chandrasekhar SS. Brook I. Kumar KA. Kramper M.
Orlandi RR. Et al. 2015. Clinical Practice Guideline (Update): Adult Sinusitis.
Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2015. 152 : (2S).p.1-24.
7. Pracy R, Siegler Y. Sinusitis Akut dan Sinusitis Kronis. Editor Roezin F, Soejak S.
Pelajaran Ringkas THT . Cetakan 4. Jakarta: Gramedia; 1993.p.81-91.
8. Desrosiers M. Evans GA. Keith PK. Wright ED, Kaplan A, Ciavarella A. Doyle PW,
Javer AR, et al. Canadian clinical practice guidelines for acute and chronic
rhinosinusitis. Allergy, Asthma & Clinical Immunology. 2011. 7:2.p.1-38.
9. Boies ET. Sinusitis. In: Harwood-Nuss A, Wolfson AB, Linden CA, Shepherd SM,
Stenklyft PH. The Clinical Practice of Emergency Medicine. 3rd ed. Philadelphia,
PA: Lippincott Williams & Wilkins Publishers; 2001.
10. Laszlo I. Radiologi Daerah Kepala dan Leher. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepal & Leher Jilid 2. Edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. p 2-9
11. Bell GW, Joshi BB and Macleod RI.Maxillary sinus disease: diagnosis and treatment.
British Dental Journal. 2011. 210: (3). 113-118.

Anda mungkin juga menyukai