“SINUSITIS”
NIM : 2014730077
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya pada
penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas laporan kasus dengan tema “Sinusitis” ini tepat
pada waktunya. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarga, serta para pengikutnya hingga akhir zaman.
Laporan kasus ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas untuk penilaian kegiatan
kepaniteraan klinik ilmu penyakit THT tahun 2019, dan juga untuk memperdalam
pemahaman tinjauan pustaka yang telah dipelajari sebelumnya.
Penulis menyadari ketidaksempurnaan tugas laporan kasus ini. Untuk itu penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan penyusunan laporan selanjutnya.
Terimakasih penulis ucapkan kepada pembimbing dr. Dian Nurul Al Amini, SpTHT-
KL yang telah membimbing penyusunan laporan kasus ini. Terima kasih juga pada semua
pihak yang telah membantu dalam tahap pengumpulan referensi, analisis materi dan
penyusunan laporan kasus ini.
Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi instansi
kepaniteraan klinik FKK UMJ dan RS Islam Jakarta Pondok Kopi pada umumnya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Sinusitis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal dan merupakan penyakit yang
sering ditemukan dalam praktek dokter sehari hari, bahkan dianggap sebagai salah satu
penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia. Menurut Gluckman, kuman
penyebab sinusitis akut tersering adalah Streptococcus pneumonia dan Haemophilus infuenza
yang ditemukan pada 70% kasus. Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah
sinus ethmoid dan maksilaris. Bahaya dari sinusitis adalah komplikasi ke orbita dan
intrakranial, komplikasi ini terjadi akibat tatalaksana yang in-adekuat atau faktor predisposisi
yang tidak dapat dihindari.1
Sinusitis menjadi masalah kesehatan penting hampir di semua negara dan angka
prevalensinya makin meningkat tiap tahunnya. Sebanyak 24-31 juta kasus sinusitis
ditemukan di United States. Sinusitis paling sering dijumpai dan termasuk 10 penyakit
termahal karena membutuhkan biaya pengobatan cukup besar.1 Prevalensi sinusitis di
Indonesia cukup tinggi. Hasil penelitian tahun 1996 dari sub bagian Rinologi Departemen
THT FKUI-RSCM, dari 496 pasien rawat jalan ditemukan 50 persen penderita sinusitis
kronik. Pada tahun 1999, penelitian yang dilakukan bagian THT FKUI-RSCM bekerjasama
dengan Ilmu Kesehatan Anak, menjumpai prevalensi sinusitis akut pada penderita Infeksi
Saluran Nafas Atas (ISNA) sebesar 25 persen. Angka tersebut lebih besar dibandingkan data
di negara-negara lain.
Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga
terbentuk rongga di dalam tulang. Ada empat pasang sinus paranasal, sinus maksila, sinus
frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid.
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain (1)
sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu keseimbangan
kepala, (4) membantu resonansi suara, (5) peredam perubahan tekanan udara dan (6)
membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung.1
Sinus maksila disebut juga antrum High more, merupakan sinus yang sering
terinfeksi, oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2) letak ostiumnya lebih
tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret atau drainase dari sinus maksila hanya tergantung
dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris),
sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak
di meatus medius, disekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.1
Sinusitis maksilaris dapat terjadi akut, berulang atau kronis. Sinusitis maksilaris akut
berlangsung tidak tanpa adanya residu kerusakan jaringan mukosa. Sinusitis berulang terjadi
lebih sering tapi tidak terjadi kerusakan signifikan pada membran mukosa. Sinusitis kronis
berlangsung selama 3 bulan atau lebih dengan gejala yang terjadi selama lebih dari dua puluh
hari (lebih dari tiga minggu). Sinusitis akut dapat sembuh sempurna jika diterapi dengan baik.
1,2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama :
Hidung terasa tersumbat sejak 1 minggu Sebelum Masuk Rumah Sakit (SMRS).
Pasien datang ke poli THT RSIJ Pondok Kopi kontrol dengan keluhan hidung terasa
tersumbat sejak 1 minggu SMRS. Pada seminggu terakhir ini pasien mengalami gejala flu
disertai pengeluaran cairan dari hidung, awalnya cairan putih dan sekarang mulai berwarna
kuning-kehijauan namun cairan dari lubang hidung kiri kadang sulit dikeluarkan dan ada rasa
bau tidak enak seperti bau busuk. Pasien sering merasa ada cairan yang turun dari belakang
hidung ke tenggorokan, terutama saat pasien sedang menenggakan kepala. Pasien terkadang
merasakan nyeri di bawah mata kiri. Pasien juga mengeluhkan sakit kepala seperti ditusuk-
tusuk yang hilang timbul. Keluhan demam dirasakan beberapa hari yang lalu, namun sudah
membaik. Pasien mengatakan pusing, dan keluhan telinga berdenging tidak ada.
TELINGA
Kanan Kiri
Radang (-), nyeri tekan Radang (-), nyeri tekan tragus
Aurikula
tragus (-) (-)
Retroaurikula Radang (-), nyeri tekan (-) Radang (-), nyeri tekan (-)
Meatus
akustikus Mukosa hiperemi (-) Mukosa hiperemi (-)
eksternus
Utuh, hiperemis (-), reflex Utuh, hiperemis (-), reflex
Membran
cahaya jam 5, warna putih cahaya jam 7, warna putih
timpani
mengkilat mengkilat
HIDUNG
Kanan Kiri
Sekret (-), massa (-), hiperemis Sekret (+), massa (-),
Vestibulum
(-) hiperemis (+)
Konka
Hipertrofi (-), hiperemis (-) Hipertrofi (+), hiperemis (+)
inferior
Meatus nasi
Pus (-), polip (-) Pus (+), polip (-)
media
Kavum nasi Lapang Lapang
Mukosa Hiperemis (-) Hiperemis (+)
Sekret Tidak ada Ada
Septum Normal normal
FARING
Arkus faring Simetris Simetris
T1, hiperemi (-), kripta
(-), T1, hiperemi (-), kripta (-),
Tonsil
detritus (-), permukaan detritus (-), permukaan rata
rata
Uvula Simetris, hiperemi (-), oedem (-)
Palatum mole Simetris, hiperemi (-)
Dinding faring Mukosa halus, hiperemi (-), refleks muntah (+/+)
Regio Fasialis:
Inspeksi : pembengkakan pipi (-), deformitas wajah (-)
Palpasi : nyeri tekan maksila dextra (-), nyeri tekan maksila sinistra (+)
Perkusi : nyeri ketok maksila dextra (-), nyeri ketok maksila sinistra (+)
Pemeriksaan Gigi : Gigi dalam batas normal
Kesan :
◦ Tampak lesi opak berbatas tegas, bulat di sinus maksilaris kiri..
◦ Sinus-sinus paranasalis lainnya cerah, tidak tampak perselubungan.
◦ Septum nasi di tengah.
◦ Kesan: Sinus maksillaris kiri
2.5 Resume
◦ Seorang wanita berusia 71 tahun datang dengan keluhan hidung terasa tersumbat
sejak 1 minggu SMRS, keluhan disertai dengan flu yang dialamai pasien, awalnya
cairan nya jernih dan selanjutnya menjadi warna kuning-kehijauan, pada lubang
hidung kiri sulit keluar cairan. Pasien terkadang merasakan nyeri di bawah mata kiri.
Pasien sempat mengalami demam dan sakit kepala (seperti ditususk-tusuk). Pasien
memiliki alergi terhadap debu dengan keluhan bersin-bersin, alergi ini baru terasa
sekitar satu tahun belakang ini.
◦ Dilakukan pemeriksaan fisik, TTV dalam batas normal, pada status lokalis didapatkan
kelainan pada status hidung yaitu : Pada hidung vestibulum kiri terdapat sekret (+),
hiperemis (+). Pada konka inferior kiri terdapat hipertrofi (+), hiperemis (+), meatus
nasi media kiri pus (+), mukosa kiri hiperemis (+), sekret pada bagian kiri ada (+).
2.6 Diagnosis
Sinusitis Maksilaris Sinistra
2.7 Penatalaksanaan
Terapi Medikamentosa :
1. Amoxicilin 3 x 500 mg
2. Pseudoefedrin hcl 3 x 60 mg
3. Paracetamol 3x500 mg
Tindakan Operasi :
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF atau FESS)
2.8 Prognosa
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior),
sinus maksila kanan dan kiri (antrum highmore) dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Semua
sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan
semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing.3
Pada meatus medius yang merupakan ruang di antara konka medius dan konka
inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris sebagai muara
dari sinus maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior. Pada meatus superior yang
merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid
posterior dan sinus sfenoid.3
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung
dan terbentuk pada fetus usia bulan III atau menjelang bulan IV dan tetap berkembang selama
masa kanak-kanak, jadi tidak heran jika pada foto anak-anak belum ada sinus frontalis karena
belum terbentuk.4
Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila berbentuk
seperti piramid. Dinding anterior sinus maksila dibentuk oleh permukaan fasial os maksila
(fosa kanina), dinding posterior terbentuk oleh permukaan infra-temporal maksila, bagian
medial sinus maksila adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superior terbentuk oleh
dasar orbita, dan dinding inferior terbentuk oleh prosesus alveolaris dan palatum.4
Secara klinis, yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah dasar dari
sinus maksila (dinding inferior) sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, sehingga
infeksi gigi geligi mudah naik ke atas dan menyebabkan terjadinya sinusitis. Sinusitis maksila
dapat menimbulkan terjadinya komplikasi orbita karena dinding superior sinus maksila
dibenuk oleh dasar orbita. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus,
sehingga drainase hanya tergantung dari pergerakan silia.3,4
3.2. Definisi
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang terkena,
dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis
sfenoid.1,2,3 Yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis etmoid,
sinusitis frontal dan sinusuitis sfenoid lebih jarang.
Sinus maksila disebut juga dengan antrum highmore, merupakan sinus yang sering
terinfeksi, oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2) letak ostiumnya lebih
tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret atau drainase dari sinus maksila hanya tergantung
dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris),
sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak
di meatus medius, di sekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.1
Sinusitis maksilaris dapat terjadi akut, berulang atau kronis. Sinusitis maksilaris akut
berlangsung tidak tanpa adanya residu kerusakan jaringan mukosa. Sinusitis berulang terjadi
lebih sering tapi tidak terjadi kerusakan signifikan pada membran mukosa. Sinusitis kronis
berlangsung selama 3 bulan atau lebih dengan gejala yang terjadi selama lebih dari dua puluh
hari (lebih dari tiga minggu). Sinusitis akut dapat sembuh sempurna jika diterapi dengan baik.
1,2,5
3.3 Patofisiologi
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain (1)
sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu keseimbangan
kepala, (4) resonansi suara, (5) peredam perubahan tekanan udara dan (6) membantu produksi
mukus untuk membersihkan rongga hidung.1,3
Fungsi sinus paranasal dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pertahanan
mukosilier, ostium sinus yang tetap terbuka dan pertahanan tubuh baik lokal maupun
sistemik.2,3,5 Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan
palut lendir di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir
menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya.
Gambar 2. Pergerakan silia dalam drainase cairan sinus
Bila terjadi edema di kompleks osteomeatal, mukosa yang letaknya berhadapan akan
saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan. Maka
terjadi gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif
dan lendir yang di produksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang
baik untuk tumbuhnya bakteri patogen. Bila sumbatan berlangsung terus, akan terjadi
hipoksia dan retensi lendir sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob.1 Bakteri yang sering
ditemukan pada sinusitis kronik adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
Moraxella catarrhalis, Streptococcus B hemoliticus, Staphylococcus aureus, kuman anaerob
jarang ditemukan.1 Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau
pembentukan polip dan kista.1,2,3
Gambar 4. Perubahan mukosa pada sinus yang terinfeksi
Reaksi peradangan berjalan menurut tahap-tahap tertentu yang khas. Pelebaran kapiler
darah akan memperlambat aliran darah sehingga akan mengeluarkan fibrin dan eksudat serta
migrasi leukosit menembus dinding pembuluh darah membentuk sel-sel nanah dalam
eksudat. Tetapi bilamana terjadi pada selaput lendir, maka pada saat permulaan vasodilatasi
terjadi peningkatan produksi mukus dari kelenjar mukus sehingga nanah yang terjadi bukan
murni sebagai nanah, tetapi mukopus.5
Ada tiga kategori utama pada mekanisme terjadinya sinusitis kronis, yaitu:5
1. Sinusitis yang berhubungan dengan hiperplasia karena peradangan.
2. Sinusitis sebagai bagian dari alergi umum saluran napas.
3. Sinusitis karena salah satu diatas disertai infeksi sekunder.
Sinusitis yang berhubungan dengan hiperplasia karena peradangan
Biasanya mulai pada masa kanak-kanak. Serangan infeksi terjadi berulang-ulang.
Waktu antara dua serangan makin lama makin pendek. Kekebalan makin terkalahkan dan
resolusi terjadi hampir tidak pernah sempurna. Pengaruh terhadap mukosa adalah penebalan
dengan disertai infiltrasi limfosit yang padat. Fibrosis sub epitel menyebabkan pengurangan
jumlah kelenjar karena iskemia dan bila berlangsung lebih lanjut akan menyebabkan ulserasi
mukosa. Pada tahap berikutnya periosteum akan terkena dan hiperemia meluas ke tulang-
tulang yang kemudian menjadi osteoporosis dan akhirnya menjadi sklerotik.5
Untuk mengakkan diagnosis sinustis memerlukan dua kriteria minor atau satu kriteria
mayor dengan dua kriteria minor pada pasien, dengan gejala lebih dari 7 hari.
Pemeriksaan foto polos kepala air fluid level merupakan gambaran yang paling umum
pada sinusitis bakteri akut dan umumnya tidak terlihat dalam bentuk lain dari sinusitis.
Pemeriksaan ini paling baik dan paling utama untuk mengevaluasi sinus paranasal. Karena
banyaknya unsur-unsur tulang dan jaringan lunak yang tumpang tindih pada daerah sinus
paranasal, kelainan-kelainan jaringan lunak, erosi tulang kadang-kadang sulit dievaluasi.
Pemeriksaan ini dari sudut biaya cukup ekonomis dan pasien hanya mendapat radiasi yang
minimal.11
Kelainan yang akan terlihat dengan foto polos adalah adanya perselubungan dan batas udara-
cairan atau penebalan mukosa.
Pemeriksaan CT-Scan
CT scan sinus bidang koronal telah menjadi metode pencitraan standar internasional
untuk mengevaluasi sinus paranasal yang terkena sinusitis. Pemeriksaan harus mencakup
penilaian terhadap pola, batas, dan kemungkinan penyebab penyakit, serta rincian anatomi
yang relevan dan diperlukan untuk perencanaan penatalaksanaan.6,9
Pada sinusitis akut dapat dilihat tingkat air-fluid, penebalan mukosa, dan
completeopacification sinus. Apabila terdapat darah di sinus karena trauma ini mungkin dapat
meniru air fluid level dalam sinus, namun mudah dibedakan dengan pengukuran kepadatan. 11
Dalam sinusitis kronis, sinus etmoid umumnya terlibat. Temuan meliputi penebalan
mukosa, completeopacification, remodeling tulang dan penebalan karena osteitis, dan
poliposis. 6,9
Gambar 14. Foto CT scan posisi Gambar 15. Foto CT scan posisi
coronal menggambarkan coronal menggambarkan sinusitis
Sinusitis jamur. Jaringan lunak pada sisi kanan sinus
menempati sinus maksilaris spenoethmodal.
kanan dan ethmoid dengan
daerah hyperattenuating pusat
khas jamur sinusitis. Dinding
medial sinus yang terkena
terkikis.
Pemeriksaan MRI
Meskipun CT scan tetap menjadi modalitas utama untuk kriteria standar diagnosis
sinusitis, tetapi MRI diindikasikan pada kasus-kasus klinis yang dicurigai dapat menjadi
komplikasi, terutama pada pasien dengan komplikasi intrakranial dan infeksi yang besifat
extension atau pada mereka yang suspek superior sagittal venous thrombosis. 9
MRI meningkatkan diferensiasi jaringan lunak, tetapi itu tidak membantu dalam
mengevaluasi tulang. MRI jelas menggambarkan tumor dari inflamasi pada jaringan sekitar
dan sekresi pada sinus. Pada MRI T2-weighted, membran edema dan lendir jelas terlihat
hiperintens.9
Pemeriksaan USG
Secara umum, ultrasonografi belum dianggap berguna dalam diagnosis sinusitis.
Namun, beberapa karya yang diterbitkan telah menunjukkan bahwa USG menjadi lebih
akurat daripada MRI atau radiografi polos dalam mendiagnosis sinusitis maksilaris.
Ultrasonografi telah menjadi alat yang handal dalam diagnosis sinusitis maksilaris akut.
Namun, kontroversi masih ada mengenai keandalan ultrasonografi dalam mendeteksi retensi
cairan atau pembengkakan mukosa pada pasien dengan rinosinusitis polypous kronis atau
dalam transantrally operated-on maxillary sinuses.9
Ultrasonografi memiliki beberapa keterbatasan dalam diagnosis sinusitis tetapi
ultrasonografi juga dapat menunjukkan hasil diagnosa positif dengan adanya cairan antral,
tapi sonogram tidak mendefinisikan penyebab cairan. Sonogram tidak bisa memberikan
informasi tentang detil tulang, dan sulit mendiagnosis sinus apa yg terkena. Ultrasonografi
juga tidak dapat digunakan untuk membedakan penyakit sinus dari bakteri, virus, jamur, dan
penyebab alergi.
3.8 Penatalaksanaan
Tujuan terapi sinusitis ialah : 1) mempercepat penyembuhan; 2) mencegah komplikasi;
dan 3) mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka
sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial,
untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan
ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin.
Jka diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, dapat
diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenissefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis
antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang.
Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman negatif gram dan
anaerob.
Selain dekongestan oral dan topikal, teapi lain dapat diberikan jika diperlukan,
seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan
NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat
antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat
sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2, irirgasi sinus maksila atau Proetz
displacement theraphy juga merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat.
Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang
berat.
Gambar 3
Gambar 4
Gambar 5
Gambar 6
3.11Komplikasi
Kelainan Orbita
Disebabkan oleh sinus paranasal yang dekat dengan orbita ethmoidalis, frontal dan maksila.
Penyebaran tromboflebitis dan perkontinuitatum.
Gejala : edema palpebra, abses subperiostal, abses orbita trombosis sinus kavernosus
Kelainan Intrakranial
Meningits abses subdural, abses otak, trombosis sinus kavernosus
Osteomielitis dan abses subperiostal
Sering karena sinusitis frontal dan ditemukan sering pada anak.
Sinus maksila fistula oroantral/ fistula pada pipi
Kelainan paru
Bronkhitis Kronik dan Bronkiektasis
Penyebab kambuhnya asma bronkial
3.12Pencegahan
- Pasien dengan rhinitis alergi harus segera diobati karena edema mukosa dapat
menyebabkan obstruksi sinus.
- Bila adenoid mengalami infeksi, meghilangkan itu berarti eliminasi sarang infeksi dan
dapat mengurangi infeksi pada sinus.
- Menjaga kebersihan gigi dan mulut.
3.13Prognosis
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional akan mengembalikan fungsi sinus dan gejala akan
sembuh secara komplit atau moderat sekitar 80-90% pada pasien dengan sinusitis kronis
rekuren atau sinusitis kronis yang tidak responsif terhadap terapi medikamentosa.
BAB IV
ANALISA MASALAH
Seorang laki-laki berusia 43 tahun datang dengan keluhan hidung terasa tersumbat sejak 1
minggu SMRS, keluhan disertai dengan flu yang dialamai pasien, awalnya cairan nya jernih
dan selanjutnya menjadi warna kuning-kehijauan, pada lubang hidung kanan sulit keluar
cairan. Os sempat mengalami demam dan sakit kepala (seperti ditususk-tusuk) . Keluhan lain
seperti mual, muntah disangkal. Pada 2 bulan yang lalu OS sudah berobat dengan gejala yang
sama dengan fisioterapi dan pengobatan dari dokter.
Dilakukan pemeriksaan fisik, TTV dalam batas normal, pada status generalis didapatkan
kelainan pada status hidung yaitu : konka inferior hipertrofi dan hiperemis. Mukosa hidung
hiperemis dan terdapat sekret.
Terapi :
Medikamentosa
Amoxicilin 3 x 500 mg
Pseudoefedrin hcl 3 x 60 mg
Paracetamol 3x500 mg
Non Medikamentosa
Anamnesis
KASUS TEORI
Pemeriksaan Fisik
KASUS TEORI
Hidung : : konka inferior hipertrofi dan R.A : Mukosa konka hiperemis & edema
hiperemis. Mukosa hidung hiperemis
dan terdapat sekret.
Foto polos kepala dan sinus : Kelainan yang akan terlihat dengan foto polos
AP,Waters,Lateral adalah adanya perselubungan dan batas udara-
cairan atau penebalan mukosa.
Tampak lesi opak berbatas tegas, bulat
di sinus maksilaris sinistra
Diagnosis memerlukan dua kriteria minor atau satu kriteria mayor dengan dua kriteria
minor pada pasien dengan gejala lebih dari 7 hari
Hiposmia atau anosmia Nyeri atau rasa tertekan /penuh pada telinga
Terapi
Kasus Teori
Amoxicilin Antibiotika yang dipilih adalah antibiotika spektrum luas yang relatif murah
dan aman. Lama pemberian antibiotika yang disarankan oleh beberapa
kepustakaan juga bervariasi tergantung kondisi penderita
Dekongestan Dekongestan lokal (tetes hidung) atau sistemik (oral) merupakan Alpha
adrenergik agonis menyebabkan vasokontriksi, sehingga memperlancar
drainase sinus.
Antipiretik Paracetamol
DAFTAR PUSTAKA
1. Hall dan Collmans Sinusitis. Disease of The Nose, Throat and Ear. Head and Neck
Surgery. Fourtheenth ed, 2005, 49 – 53.
2. Dykewicz MS, Hamilos DL February 2010. Rhinitis and Sinusitis. The Journal of
Allergy and Clinical Immunology. 125: S103–15.
3. Mangunkusumo, Endang dan Nusjirwan Rifki. Sinusitis. In: Soepardi EA, Iskandar N
(eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 6 th Ed.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.pp.150-154.
4. Hilger, Peter A. Penyakit pada Hidung. In: Adams GL, Boies LR. Higler PA, editor.
Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997.p.200.
5. Kennedy E. Sinusitis. Available from: http://www.emedicine.com/emerg/topic536.htm
6. Rosenfeld RM. Picirrilo JF. Chandrasekhar SS. Brook I. Kumar KA. Kramper M.
Orlandi RR. Et al. 2015. Clinical Practice Guideline (Update): Adult Sinusitis.
Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2015. 152 : (2S).p.1-24.
7. Pracy R, Siegler Y. Sinusitis Akut dan Sinusitis Kronis. Editor Roezin F, Soejak S.
Pelajaran Ringkas THT . Cetakan 4. Jakarta: Gramedia; 1993.p.81-91.
8. Desrosiers M. Evans GA. Keith PK. Wright ED, Kaplan A, Ciavarella A. Doyle PW,
Javer AR, et al. Canadian clinical practice guidelines for acute and chronic
rhinosinusitis. Allergy, Asthma & Clinical Immunology. 2011. 7:2.p.1-38.
9. Boies ET. Sinusitis. In: Harwood-Nuss A, Wolfson AB, Linden CA, Shepherd SM,
Stenklyft PH. The Clinical Practice of Emergency Medicine. 3rd ed. Philadelphia,
PA: Lippincott Williams & Wilkins Publishers; 2001.
10. Laszlo I. Radiologi Daerah Kepala dan Leher. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepal & Leher Jilid 2. Edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. p 2-9
11. Bell GW, Joshi BB and Macleod RI.Maxillary sinus disease: diagnosis and treatment.
British Dental Journal. 2011. 210: (3). 113-118.