Anda di halaman 1dari 25

Presentasi Kasus

WANITA 24 TAHUN DENGAN KEHAMILAN EKTOPIK


TERGANGGU PRO LAPAROTOMY EMERGENCY PLAN
GAET RSI STATUS FISIK ASA III E

Oleh:
FITRIA MARIZKA KUSUMAWARDHANY
G99122116
PEMBIMBING:
MH Sudjito, dr., Sp.An. KNA

KEPANITERAAN KLINIK SMF ANESTESIOLOGI & TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2014

BAB I
PENDAHULUAN
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai
tindakan yang meliputi pemberian anestesi, penjagaan penderita yang sedang
menjalani pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif
pasien gawat, terapi inhalasi, dan penanggulangan nyeri menahun.
Teknik anestesi secara garis besar dibagi menjadi dua macam, yaitu
anestesi umum dan anestesi regional. Anestesi umum bekerja untuk menekan

aksis hipotalamus pituitari adrenal, sementara anestesi regional berfungsi untuk


menekan transmisi impuls nyeri dan menekan saraf otonom eferen ke adrenal.
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Komponen trias
anastesi ideal terdiri dari hipnotik, analgesia dan relaksasi otot, sedangkan anestesi
local adalah tindakan menghilangkan nyeri/sakit secara lokal tanpa disertai
hilangmya kesadaran. Pemberian anestetik lokal dapat dengan teknik anestesi
permukaan, anestesi infiltrasi, dan anestesi blok.
Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi
terdapat beberapa tahap yang herus dilaksanakan yaitu pra anestesi, tahap
penatalaksanaan anestesi dan pemeliharaan serta tahap pemulihan dan perawatan
pasca anestesi.
Tahap pra anestesi merupakan tahap persiapan yang sangat menentukan
keberhasilan suatu anestesi. Hal yang penting dalam tahap ini adalah : (1)
menyiapkan pasien yang meliputi riwayat penyakit pasien, keadaan umum pasien,
dan mental pasien, (2) menyiapkan tehnik, obat obatan dan macam anestesi
yang digunakan, (3) Memperkirakan kemungkinan kemungkinan yang akan
timbul pada waktu pelaksanaan anestesi dan komplikasi yang mungkin timbul
pasca anestesi.
Tahap

pelaksanaan

anestesi

meliputi

premedikasi,

induksi

dan

pemeliharaan yang dapat dilakukan secara intravena maupun inhalasi. Pada tahap
ini perlu monitoring dan pengawasan ketat serta pemeliharaan jalan nafas karena
pada saat ini pasien dalam keadaan sadar dan kemungkinan komplikasi anestesi
maupun pembedahan dapat terjadi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANESTESI UMUM
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen anestesi

yang ideal terdiri dari hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Pada kasus ini
anestesi yang digunakan adalah anestesi umum.
Tanda-tanda klinis anestesi umum (menggunakan zat anestesi yang mudah
menguap, terutama diethyleter) menurut Guedel, dengan teknik open drop ada
beberapa stadium:
1. Stadium I: analgesia dari mulanya induksi anestesi hingga hilangnya
kesadaran. Rasa nyeri belum hilang sama sekali sehingga hanya
pembedahan kecil yang dapat dilakukan pada stadium ini. Stadium ini
berakhir ditandai dengan hilangnya reflek bulu mata.
2. Stadium II : excitement, dari hilangnya kesadaran

hingga mulainya

respirasi teratur, mungkin terdapat batuk, kegelisahan atau muntah.


3. Stadium III : stadium pembedahan, dari mulai respirasi teratur hingga
berhentinya respirasi. Dibagi 4 plana yaitu :
Plane 1: dari timbulnya pernafasan teratur thoracoabdominal, anak
mata terfiksasi kadang kadang eksentrik, pupil miosis, reflek cahaya
positif, lakrimasi meningkat, reflek faring dan muntah negative, tonus
otot mulai menurun.
Plane 2: ventilasi teratur, abdominothoracal, volume tidal menurun,
frekuensi nafas meningkat, anakmata terfiksasi di tengah, pupil mulai
midriasis, reflek cahaya mulai menurun dan reflek kornea negative.
Plane 3: ventilasi teratur dan sifatnya abdominal karena terjadi
kelumpuhan saraf interkostal, lakrimasi tidak ada, pupil melebar dan
sentral, reflek laring dan peritoneum negative, tonus otot makin
menurun.
Plane 4: ventilasi tidak teratur dan tidak adekuat karena otot diafragma
lumpuh yang makin nyata pada akhir plana, tonus otot sangat
menurun, pupil midriasis dan reflek sfingter ani dan kelenjsar air mata
negative.

4. Stadium IV : overdosis, dari timbulnya paralisis diafragma hingga cardiac


arrest.
B. PERSIAPAN PRA ANESTESI
Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan
pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan
tindakan tersebut. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif dilakukan satu
sampai dua hari sebelumnya, sedangkan pada kasus bedah darurat waktu yang
tersedia lebih singkat.
Tujuan pra anestesi adalah:
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal dengan melakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan pemeriksaan lain. Terdiri dari
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri atau dari keluarga pasien.
Dengan cara ini kita dapat mengadakan pendekatan psikologis terhadap
pasien dan keluarganya.

Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan fisik dan penunjang dilakukan dengan teliti, bila ada indikasi
dapat dilakukan konsultasi dengan bidang lain seperti ahli penyakit
jantung, paru, penyakit dalam dan lain-lain.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai
dengan fisik dan kehendak pasien.

Macam-macam sirkuit anestesi :


No

Teknik

Resevoir Bag

Valve

Rebreathing

Sodalime

Open

Semi Open

Semi Closed

Closed

Keterangan :
o Rebreathing (-) = CO2 langsung ke udara kamar
o Rebreathing (+) = CO2 langsung ke udara kamar
dan

sebagian udara ekspirasi kembali dalam

respirasi/inspirasi sesudah C02 diikat oleh soda


lime.
o Rebreathing (+) = sebagian
kembali dalam

udara

ekspirasi

respirasi / inspirasi sesudah CO 2

diikat oleh soda lime.


Open drop method: Cara ini dapat digunakan untuk anestesik yang
menguap, peralatan sangat sederhana dan tidak mahal.

Zat anestetik

diteteskan pada kapas yang diletakkan di depan hidung penderita sehingga


kadar yang dihisap tidak diketahui, dan pemakaiannya boros karena zat
anestetik menguap ke udara terbuka.
Semi open drop method: Hampir sama dengan open drop, hanya untuk
mengurangi terbuangnya zat anestetik digunakan masker. Karbondioksida
yang dikeluarkan sering terhisap kembali sehingga dapat terjadi hipoksia.
Untuk menghindarinya dialirkan volume fresh gas flow yang tinggi minimal
3x dari minimal volume udara semenit.

Semi closed method : Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen


murni yang dapat ditentukan kadarnya kemudian dilewatkan pada vaporizer
sehingga kadar zat anestetik dapat ditentukan. Udara napas yang dikeluarkan
akan dibuang ke udara luar. Keuntungannya dalamnya anestesi dapat diatur
dengan memberikan kadar tertentu dari zat anestetik, dan hipoksia dapat
dihindari dengan memberikan volume fresh gas flow kurang dari 100%
kebutuhan.
Closed method: Cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara
ekspirasi dialirkan melalui soda lime yang dapat mengikat CO2, sehingga
udara yang mengandung anestetik dapat digunakan lagi.
Pada kasus ini dipakai semi closed anestesi karena memiliki beberapa
keuntungan yaitu :
konsentrasi inspirasi relatif konstan
konservasi panas dan uap
menurunkan polusi kamar
menurunkan resiko ledakan dengan obat yang mudah terbakar7
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology).

ASA I
Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali,
biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%

ASA II

Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang


sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka
mortalitas 16%

ASA III
Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian /
live style terbatas. Angka mortalitas 38%

ASA IV
Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak
selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ,
angina menetap. Angka mortalitas 68%

ASA V
Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir
tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa
operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.

Klasifikasi

ASA

juga

dipakai

pada

pembedahan

darurat

dengan

mencantumkan tanda huruf E (emergensi ), misal ASA I E, ASA II E.


C. PREMEDIKASI ANESTESI
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya
kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan
kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien
dalam keadaan bugar. Tujuan kunjungan praanestesi adalah untuk mengurangi
angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan. Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya
adalah dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesi.
Premedikasi ringan banyak digunakan terutama untuk menenangkan pasien

sebagai persiapan anestesia dan masa pulih setelah pembedahan singkat.


Adapun tujuan dari premedikasi antara lain :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Meredakan kecemasan dan ketakutan.


Memperlancar induksi anestesi.
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus.
Meminimalkan jumlah obat anestetik.
Mengurangi mual muntah pasca bedah.
Menciptakan amnesia.
Mengurangi isi cairan lambung.
Mengurangi refleks yang membahayakan.
Obat premedikasi yang digunakan disesuaikan dengan kebutuhan

masing-masing pasien karena kebutuhan masing-masing pasien berbeda.


Pemberian premedikasi secara intramuskular dianjurkan 1 jam sebelum
operasi, sedangkan untuk kasus darurat

yang perlu tindakan cepat bisa

diberikan secara intravena. Adapun obat obat yang sering digunakan sebagai
premedikasi adalah :

Narkotik analgetik, misal morfin, fentanil, pethidin.

Transquillizer yaitu dari golongan benzodiazepin, misal diazepam dan


midazolam
Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital.
Antikolinergik, misal atropin dan hiosin.
Antihistamin, misal prometazine.
Antasida, misal gelusil
H2 reseptor antagonis, misal cimetidine

Obat Obat Premedikasi


a. Narkotik Analgetik (Opioid)
Fentanil

Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x


morfin. Fentanil merupakan opioid sintetik dari kelompok fenilpiperedin.
Lebih larut dalam lemak dan lebih mudah menembus sawar jaringan. Turunan
fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten. Sebagai suatu analgesik,
fentanil 75-125 kali lebih potendibandingkan dengan morfin. Awitan yang
cepat dan lama aksi yang singkat mencerminkan kelarutan lipid yang lebih
besar dari fentanil dibandingkan dengan morfin. Fentanil (dan opioid lain)
meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok saraf tepi. Keadaan itu sebagian
disebabkan oleh sifat anestetsi lokal yamg lemah (dosis yang tinggi menekan
hantara saraf) dan efeknya terhadap reseptor opioid pada terminal saraf tepi.
Fentanil

dikombinasikan

dengan

droperidol

untuk

menimbulkan

neureptanalgesia. Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya.


Dosis 1-3 /kg BB analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya
dipergunakan untuk anastesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis
besar 50-150 mg/kg BB digunakan untuk induksi anastesia dan pemeliharaan
anastesia dengan kombinasi bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah, pada
bedah jantung. Sediaan yang tersedia adalah suntikan 50 mg/ml. Efek yang
tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah
dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula,
katekolamin plasma, ADH, rennin, aldosteron dan kortisol.
Petidin
Petidin merupakan derivat fenil piperidin yang efek utamanya adalah
depresi susunan saraf pusat. Gejala yang timbul antara lain adalah analgesia,
sedasi, euforia dan efek sentral lainnya.

Sebagai analgesia diperkirakan

potensinya 80 kali morfin. Lamanya efek depresi napas lebih pendek


dibanding meperidin. Dosis tinggi menimbulkan kekakuan pada otot lurik, ini
dapat diantagonis oleh nalokson. Setelah pemberian sistemik, petidin akan
menghilangkan reflek kornea akan tetapi diameter pupil dan refleknya tidak
terpengaruh. Obat ini juga meningkatkan kepekaan alat keseimbangan
sehingga dapat menimbulkan muntah muntah, pusing terutama pada

penderita yang berobat jalan. Pada penderita rawat baring obat ini tidak
mempengaruhi sistem kardiovaskular, tetapi pada penderita berobat jalan
dapat timbul sinkop orthostatik karena terjadi hipotensi akibat vasodilatasi
perifer karena pelepasan histamin.
Petidin dimetabolisme dihati, sehingga pada penderita penyakit hati
dosis harus dikurangi. Petidin tidak mengganggu kontraksi atau involusi
uterus pasca persalinan dan tidak menambah frekuensi perdarahan pasca
persalinan . Preparat oral tersedia dalam tablet 50 mg, untuk parenteral
tersedia dalam bentuk ampul 50 mg per cc. Dosis dewasa adalah 50 100 mg,
disuntikkan secara SC atau IM. Bila diberikan secara IV efek analgetiknya
tercapai dalam waktu 15 menit.
b. Antikolinergik
Sulfas Atropin
Sulfas atropin termasuk golongan anti kolinergik. Berguna mengurangi
sekresi lendir dan mengurangi efek bronkhial dan kardial yang berasal dari
perangsangan parasimpatis akibat obat anestesi atau tindakan operasi. Dalam
dosis 0,5 mg, atropin merangsang N. vagus dan bradikardi. Pada dosis lebih
dari 2 mg, terjadi hambatan N. vagus dan timbul takikardi. Pada dosis yang
besar sekali, atropine menyebabkan depresi napas, eksitasi, disorientasi,
delirium, halusinasi. Pada orang muda efek samping mulut kering, gangguan
miksi, meteorisme. Pada orangtua dapat terjadi sindrom demensia. Keracunan
biasanya terjadi pada anak-anak karena salah menghitung dosis, karena itu
atropin tidak dianjurkan untuk anak dibawah 4 tahun. Sebagai antidotumnya
adalah fisostigmin, fisostigmin salisilat 2-4

mg subkutan dapat berhasil

mengatasi semua gejala susunan saraf pusat.


Sediaan

: dalam bentuk sulfat atropin dalam ampul 0,25 mg dan 0,50 mg.

Dosis

: 0,01 mg/ kgBB dan 0,1 0,4 mg untuk anak anak.

Pemberian : SC, IM, IV.

c. Benzodiazepin
Midazolam
Midazolam adalah obat induksi tidur jangka pendek untuk premedikasi,
induksi dan pemeliharaan anestesi. Dibandingkan dengan diazepam,
midazolam bekerja cepat karena transformasi metabolitnya cepat dan lama
kerjanya singkat. Pada pasien orang tua dengan perubahan organik otak atau
gangguan fungsi jantung dan pernafasan, dosis harus ditentukan secara hatihati. Efek obat timbul dalam 2 menit setelah penyuntikan. Dosis premedikasi
dewasa 0,07-0,10 mg/kgBB, disesuaikan dengan umur dan keadaan pasien.
Dosis lazim adalah 5 mg. pada orang tua dan pasien lemah dosisnya 0,0250,05 mg/kgBB. Efek sampingnya terjadi perubahan tekanan darah arteri,
denyut nadi dan pernafasan, umumnya hanya sedikit.
D. INDUKSI ANESTESI
Induksi anestesia adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesia dan
pembedahan. Induksi anestesia dapat dikerjakan dengan secara intravena,
inhalasi, intramuskular, atau rectal. Induksi merupakan saat dimasukkannya
zat anestesi sampai tercapainya stadium pembedahan yang selanjutnya
diteruskan dengan tahap pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau
memperdalam stadium anestesi setelah induksi. Setelah pasien tidur akibat
induksi anestesia langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia sampai
tindakan pembedahan selesai.
Induksi intravena merupakan cara imduksi yang paling sering digunakan
karena cepat dan mudah. Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan 306- detik. Selama induksi anestesia, pernafasan pasien, nadi, dan tekanan darah
harus diawasi dan selalu diberikan oksigen.
Obat Induksi Anestesi

a. Propofol
Propofol adalah campuran 1% obat dalam air dan emulsi yang berisi
10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25% glycerol. Pemberian
intravena propofol (2 mg/kg BB) menginduksi anestesi secara cepat seperti
tiopental. Setelah injeksi intravena secara cepat disalurkan ke otak, jantung,
hati, dan ginjal. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi
jarang disertai dengan plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan
dengan infus propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2 dan atau
anestesi inhalasi lain.
Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% teapi efek ini
lebih disebabkan karena vasodilatsai perifer daripada penurunan curah
jantung. Tekanan sismatik kembali normal dengan intubasi trakea. Propofol
tidak menimbulkan aritmia atau iskemik otot jantung. Sesudah pemberian
propofol IV terjadi depresi pernafasan sampai apnea selama 30 detik. Hal ini
diperkuat dengan premediaksi dengan opiat.
Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak,
metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun. Tak jelas adanya
interaksi dengan obat pelemas otot. Keuntungan propofol karena bekerja lebih
cepat dari tiopental dan konfusi pasca operasi yang minimal. Terjadi mual,
muntah dan sakit kepala mirip dengan tiopental.
Obat Muscle Relaxant
a. Succynil choline
Suksinil kolin merupakan pelumpuh otot depolarisasi dengan mula kerja
cepat, sekitar 1 2 menit dan lama kerja singkat sekitar 3 5 menit sehingga
obat ini sering digunakan dalam tindakan intubai trakea. Lama kerja dapat
memanjang jika kadar enzim kolinesterase berkurang, misalnya pada penyakit
hati parenkimal, kakeksia, anemia dan hipoproteinemia.

Komplikasi dan efek samping dari obat ini adalah bradikardi,


bradiaritma dan asistole, takikardi dan takiaritmia, peningkatan tekanan intra
okuler, hiperkalemi dan nyeri otot fasikulasi.
Obat ini tersedia dalam flacon berisi bubuk 100mg dan 500 mg.
Pengenceran dengan garam fisiologis / aquabidest steril 5 atau 25 ml sehingga
membentuk larutan 2% sebagai pelumpuh otot jangka pendek. Dosis untuk
intubasi 1 2 mg / kgBB/IV.
b. Atrakurium Besilat (tracrium)
Atrakurium besilat merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang
mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman leontice
leontopetaltum. Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan dengan obat
terdahulu antara lain adalah :

Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi


kimia unik yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak
bergantung pada fungsi hati dan ginjal.

Tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang.

Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna


Mula dan lama kerja atrakurium bergantung pada dosis yang dipakai.

Pada umumnya mulai kerja atrakium pada dosis intubasi adalah 3-5 menit,
sedang lama kerja antrakium dengan dosis relaksasi 15-35 menit. Pemulihan
fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah lama kerja obat
berakhir) atau dibantu dengan pemberian antikolinesterase. Antrakurium dapat
menjadi obat terpilih untuk pasien geriatrik atau pasien dengan penyakit
jantung dan ginjal yang berat. Kemasan 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung
50 mg atrakurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada
penyimpanan pada suhu dingin dan perlindungan terhadap penyinaran.

Dosis intubasi : 0,5 0,6 mg/kgBB/iv

Dosis relaksasi otot : 0,5 0,6 mg/kgBB/iv

Dosis pemeliharaan : 0,1 0,2 mg/kgBB/ iv

Obat Analgesik
a. Ketamin
Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil sikloheksilamin, merupakan
rapid acting non barbiturate general anesthesia. Ketalar sebagai nama
dagang yang pertama kali diperkenalkan oleh Domino dan Carson tahun 1965
yang digunakan sebagai anestesi umum. Ketamin untuk induksi anastesia
dapat menimbulkan takikardi, hipertensi , hipersalivasi , nyeri kepala, pasca
anastesi dapat menimbulkan muntah-muntah, pandangan kabur dan mimpi
buruk. Ketamin juga sering menyebabkan terjadinya disorientasi, ilusi sensoris
dan persepsi dan mimpi gembira yang mengikuti anesthesia, dan sering
disebut dengan emergence phenomena. Obat ini bekerja dengan blok terhadap
reseptor opiat dalam otak dan medulla spinalis yang memberikan efek
analgesik, sedangkan interaksi terhadap reseptor metilaspartat dapat
menyebabkan anastesi umum dan juga efek analgesik.
Pemberian ketamin dapat dilakukan secara intravena atau intramuskular.
Ketamin bersifat larut air sehingga dapat diberikan secara IV atau IM dosis
induksi adalah 1 2 mg/KgBB secara IV atau 5 10 mg/KgBB IM , untuk
dosis sedatif lebih rendah yaitu 0,2 mg/KgBB dan harus dititrasi untuk
mendapatkan efek yang diinginkan. Untuk pemeliharaan dapat diberikan
secara intermitten atau kontinyu. Pemberian secara intermitten diulang setiap
10 15 menit dengan dosis setengah dari dosis awal sampai operasi selesai.
Ketamin lebih larut dalam lemak sehingga dengan cepat akan didistribusikan
ke seluruh organ. Efek muncul dalam 30 60 detik setelah pemberian secara
IV dengan dosis induksi, dan akan kembali sadar setelah 15 20 menit. Jika
diberikan secara IM maka efek baru akan muncul setelah 15 menit. Obat ini
dapat menyebabkan efek samping berupa takikardi, agitasi dan perasaan lelah,
halusinasi dan mimpi buruk juga terjadi pasca operasi, pada otot dapat
menimbulkan efek mioklonus serta dapat meningkatkan tekanan intrakranial.

Kontraindikasi pada pasien yang alergi dengan ketorolac trometamin,


aspirin, atau obat AINS lainnya, tukak lambung aktif, pasien dengan penyakit
cerebrovaskuler, pasien dengan riwayat penyakit asma, gangguan ginjal berat,
proses persalinan , ibu menyusui, gangguan hemostasis. Ketorolac dapat
memperpanjang waktu perdarahan.
E. Intubasi Endotrakeal
Intubasi endotrakeal adalah suatu tindakan untuk memasukkan pipa
khusus ke dalam trakea, sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas
mudah dikendalikan. Intubasi trakea bertujuan untuk :
1. Mempermudah pemberian anestesi.
2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas dan kelancaran pernafasan.
3. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
4. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
5. Pemakaian ventilasi yang lama.
6. Mengatasi obstruksi laring akut.
F. Rumatan Anestesi
Rumatan anestesi (maintenance) dapat dikerjakan dengan cara intravena
(anestesia intravena total), inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi.
Rumatan anestesia biasanya mengacu pada trias anestesia yaitu tidur ringan
(hypnosis), analgesia cukup, dan diusahakan agar pasien selama dibedah tidak
mengalami nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.
Obat Rumatan Anestesi
a. Enfluran
Enfluran berbentuk cairan, mudah menguap, tidak mudah terbakar dan
berbau

tidak enak. Merupakan anestesi yang poten, mendepresi SSP

menimbulkan efek hipnotik. Resorpsinya setelah inhalasi cepat dengan waktu


induksi 2-3 menit. Sebagian besar (80-90%) diekskresikan melalui paru-paru

dalam keadaan utuh dan hanya 2,5-10% diubah menjadi ion fluorida bebas.
Pada anestesi yang dalam dapat menimbulkan penurunan tekanan darah
disebabkan depresi pada miokardium. Penggunaan pada seksio caesarea cukup
aman pada konsentrasi rendah (0,5-0,8%) tanpa menimbulkan depresi pada
foetus. Berhati-hati penggunaan konsentrasi tinggi karena dapat menimbulkan
relaksasi pada otot uterus yang dapat meningkatkan pendarahan pada
persalinan. Efek samping berupa hipotensi, menekan pernapasan, aritmia,
merangsang SSP, pasca anestesi dapat timbul hipoermi serta mual muntah.
2

Untuk induksi, enfluran 2-4,5% dikombinasi dengan O atau campuran N O


2

- O . Untuk mempertahankan anestesi diperlukan 0,5-3 % volume.


b. Nitrous Oksida / N2O
Nitrous oksida merupakan gas yang tidak berwarna, berbau amis, dan
tidak iritasi.

Mempunyai sifat analgetik kuat tapi sifat anestesinya lemah,

tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut
dalam darah. Gas ini tidak mempunyai relaksasi otot, oleh karena itu operasi
abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Gas ini
memiliki efek analgesic yang baik, dengan inhalasi 20% N 2O dalam oksigen
efeknya seperti 15 mg morfin. Kadar optimum untuk mendapatkan efek
analgesic maksimum 35%. N2O diekskresi dalam bentuk utuh melalui paruparu dan sebagian kecil melalui kulit. Depresi nafas terjadi pada masa
pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dengan
ruangan ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian
oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai.
Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen.
Perbandingan N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40 % ; 70% : 30% atau
50% : 50%.

G. Terapi Cairan
Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk mencukupi kebutuhan cairan,
elektrolit dan darah yang hilang selama operasi dan replacement dan dapat
untuk tindakan emergency pemberian obat.
Pemberian cairan operasi dibagi :
1. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan kaena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti
pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain lain. Kebutuhan
cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kgBB / jam. Bila terjadi
dehidrasi ringan 2% BB, sedang 5% BB, berat 7% BB. Setiap kenaikan
suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10 15 %.
2. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan
pada dewasa untuk operasi :
a. Ringan

= 4 ml / kgBB / jam

b. Sedang

= 6 ml / kgBB / jam

c. Berat

= 8 ml / kg BB / jam

Bila terjadi perdarahan selama operasi, dimana perdarahan kurang dari


10% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3
kali volume darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka
dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran dengan dosis
1 2 kali darah yang hilang.
3. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan
selama operasi ditambah kebutuhan sehari hari pasien.

H. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room
yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca operasi atau anestesi. Ruang pulih
sadar adalah batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih
memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca
operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena
operasi atau pengaruh anestesinya.
I.

Kehamilan Ektopik
1. Definisi
Kehamilan ektopik adalah semua kehamilan dimana sel telur yang
dibuahi oleh spermatozoa berimplantasi dan tumbuh diluar endometrium
kavum uterus. Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan implantasi
terjadi diluar rongga uterus, tuba falopii merupakan tempat tersering untuk
terjadinya implantasi kehamilan ektopik,sebagian besar kehamilan ektopik
berlokasi

di

tuba,jarang

terjadi

implantasi

pada

ovarium,rongga

perut,kanalis servikalis uteri,tanduk uterus yang rudimenter dan divertikel


pada uterus. Kehamilan ektopik dapat dibagi dalam beberapa golongan.
Tuba Fallopii
Uterus (diluar endometrium kavum uterus)
Ovarium
Intraligamenter
Abdominal
Kombinasi kehamilan didalam dan diluar uterus
Berdasarkan penggolongan diatas, maka kehamilan ektopik paling
sering terjadi di Tuba ( 97% ), yang mana 55% muncul di pars ampullaris,
25% di isthmus, dan 17 % di fimbriae. Sisa 3 % berlokasi di uterus,
ovarium, abdominal, dan intraligamenter, dimana sekitar 2-2,5% muncul di
kornua uterus.
2. Faktor Risiko
Secara ringkas dapat dipisahkan faktor-faktor pada tuba yang dapat
mendukung terjadinya kehamilan ektopik:
1. Faktor dalam lumen tuba :

a. Endosalpingitis dapat menyebabkan perlengketan endosalping,


sehingga lumen tuba menyempit atau membentuk kantong buntu;
b. Lumen tuba sempit dan berlekuk-lekuk yang dapat terjadi pada
hipoplasia uteri. Hal ini dapat disertai kelainan fungsi silia endosalping;
c. Lumen tuba sempit yang diakibatkan oleh operasi plastik tuba dan
sterilisasi yang tidak sempurna.
2. Faktor pada dinding tuba :
a. Endometriosis tuba, dapat memudahkan implantasi telur yang dibuahi
dalam tuba;
b. Divertikel tuba kongenital atau ostium assesorius tubae dapat menahan
telur yang dibuahi ditempat itu.
3. Faktor diluar dinding tuba :
a. Perlekatan peritubal dengan distorsiatau lekukan tuba dapat
menghambat perjalanan telur;
b. Tumor yang menekan dinding tuba dapat menyempitkan lumen tuba.
4. Faktor lain :
a. Migrasi luar ovum, yaitu perjalanan dari ovum kanan ke tuba kiri- atau
sebaliknya- dapat memperpanjang perjalanan telur yang dibuahi ke
uterus. Pertumbuhan telur yang terlalu cepat dapat menyebabkan
implantasi premature
b. Fertilisasi in vitro.
3. Diagnosis
1. Kehamilan ektopik belum terganggu
a. Kehamilan ektopik belum terganggu sulit diketahui,karena biasanya
penderita tidak menyampaikan keluhan yang khas.
b.
Amenorea atau gangguan haid dilaporkan oleh 75%-95%
penderita. Tanda kehamilan muda seperti nausea hanya dilaporkan
oleh 10%-25% kasus.
c. Disamping gangguan haid,keluhan yang paling sering disampaikan
ialah nyeri diperut bawah yang tidak khas,walaupun kehamilan
ektopik belum mengalami rupture. Kadang-kadang teraba tumor
disamping uterus dengan batas yang sukar ditentukan. Keadaan ini
pun masih harus dipastikan dengan alat bantu diagnostik yang
lain,seperti Ultrasonografi dan Laparoskopi.
d. Bagaimana pun juga,mengingat bahwa setiap kehamilan ektopik
akan berakhir dengan abortus atau rupture yang disertai perdarahan

dalam

rongga

perut

yang

apabila

terlambat

diatasi

akan

membahayakan jiwa penderita,maka pada setiap wanita dengan


gangguan haid dan lebih-lebih setelah diperiksa dicurigai akan adanya
kehamilan ektopik ,harus ditangani dengan sungguh-sungguh dengan
menggunakan alat bantu diagnostic yang ada,sampai diperoleh
kepastian diagnostik kehamilan ektopik.
2. Kehamilan ektopik terganggu
a. Diagnosis kehamilan ektopik terganggu pada jenis mendadak(akut)
biasanya tidak sulit. Keluhan yang sering disampaikan ialah haid yang
terlambat untuk beberapa waktu atau terjadi gangguan siklus haid
disertai nyeri perut bagian bawah dan tenesmus. Dapat terjadi
perdarahan pervaginam.
b. Yang menonjol ialah penderita tampak kesakitan, pucat, dan pada
pemeriksaan ditemukan tanda-tanda syok serta perdarahan dalam
rongga perut. Pada pemeriksaan ginekologik ditemukan servik yang
nyeri bila digerakkan dan kavum douglas yang menonjol dan nyeri
raba.
c. Kesulitan diagnosis biasanya terjadi pada kehamilan ektopik
terganggu jenis apitik atau menahun. Kelambatan haid tidak
jelas,tanda dan gejala kehamilan muda tidak jelas,demikian pula nyeri
perut tidak nyata dan sering penderita tampak tidak terlalu pucat. Hal
ini dapat terjadi apabila perdarahan pada kehamilan ektopik yang
terganggu berlangsung lambat. Dalam keadaan demikian,alat bantu
diagnostik amat diperlukan untuk memastikan diagnosis.
3. Kehamilan ektopik lanjut
Yaitu kehamilan ektopik diman janin dapat tumbuh terus karena
mendapat cukup zat makanan dan oksigen dari plasenta yang meluaskan
implantasinya ke jaringan sekitarnya, misalnya ligamentum latum, uterus,
dasar panggul ,dan sebagainya. Pada pemeriksaan dalam mungkin
ditemukan tanda-tanda kehamilan muda. Perabaan serviks dan gerakkannya
menyebabkan nyeri. Bila uterus dapat diraba, maka akan teraba sedikit
membesar dan kadang-kadang teraba tumor disamping uterus dengan batas
yang sukar ditentukan. Kavum Douglas juga teraba menonjol dan nyeri

raba yang menunjukkan adanya hematokel retrouterina. Kadang terdapat


suhu yang naik, sehingga menyulitkan perbedaan dengan infeksi pelvik.
Pemeriksaan laboratorium biasanya menggunakan beta-human
chorionic gonadotropin (-hCG) untuk mendiagnosis kehamilan, dan untuk
membantu menentukan potensi pasien mengalami kehamilan ektopik. hCG diproduksi oleh trofoblas dan dapat dideteksi dalam serum pada kirakira 1 minggu sebelum haid berikutnya. Jika serum -hCG negative,
kemunkinan besar tidak terjadi kehamilan. Hanya ada sedikit sekali kasus
yang dilaporkan pasien dengan tes serum

-hCG negative dengan

kehamilan ektopik. Dinamika normal kenaikan kadar -hCG dua kali lipat
kira-kira setiap 1,4 sampai 2,1 hari sampai mencapai puncaknya 100.000
mIU/ml. kenaikan ini akan melambat bila sudah mencapai nilai puncaknya,
dan pada saat itu sudah harus dilakukan diagnosis dengan USG.
Pemeriksaan tunggal tes -hCG kuantitatif ini berguna untuk
mendiagnosis kehamilan, namun tidak dapat membedakan antara
kehamilan ektopik atau kehamilan intrauterine. Pemeriksaan laboratorium
umum lainnya adalah pemeriksaan darah rutin untuk mengetahui kadar
hemoglobin yang dapat rendah bila terjadi perdarahan yang sudah lama.
Juga dinilai kadar leukosit untuk membedakan apakah terjadi infeksi yang
bisa disebabkan oleh kehamilan ektopik ini atau dugaan adanya infeksi
pelvik. Pada infeksi pelvik biasanya lebih tinggi hingga dapat lebih dari
20.000.
4. Penatalaksanaan
Ada banyak opsi yang dapat dipilih dalam menangani kehamilan
ektopik, yaitu terapi bedah dan terapi obat. Ada juga pilihan tanpa terapi,
namun hanya bisa dilakukan pada pasien yang tidak menunjukkan gejala
dan tidak ada bukti adanya rupture atau ketidakstabilan hemodinamik.
Namun pada pilihan ini pasien harus bersedian diawasi secara lebih ketat
dan sering dan harus menunjukkan perkembangan yang baik. Pasien juga
harus menerima segala resiko apabila terjadi rupture harus dioperasi.
TERAPI BEDAH
Sebagian besar wanita dengan kehamilan ektopik akan
membutuhkan tindakan bedah. Tindakan bedah ini dapat radikal

(salpingektomi) atau konservatif ( biasanya salpingotomi ) dan tindakan itu


dilakukan dengan jalan laparaskopi atau laparatomi. Laparatomi merupakan
teknik yang lebih dipilih bila pasien secara hemodinamik tidak stabil,
operator yang tidak terlatih dengan laparaskopi, fasilitas dan persediaan
untuk melakukan laparaskopi kurang, atau ada hambatan teknik untuk
melakukan

laparaskopi.

Pada

banyak

kasus,

pasien-pasien

ini

membutuhkan salpingektomi karena kerusakan tuba yang banyak, hanya


beberapa kasus saja salpingotomi dapat dilakukan. Pada pasien kehamilan
ektopik yang hemodinamiknya stabil dan dikerjakan salpingotomi dapat
dilakukan dengan teknik laparaskopi.

Salpingotomi laparaskopik

diindikasikan pada pasien hamil ektopik yang belum rupture dan besarnya
tidak lebih dari 5 cm pada diameter transversa yang terlihat komplit melalui
laparaskop.
Linier salpingektomi pada laparaskopi atau laparatomi dikerjakan
pada pasien hamil ektopik yang belum rupture dengan menginsisi
permukaan antimesenterik dari tuba dengan kauter kecil, gunting, atau
laser. Kemudian diinjeksikan pitressin

dilute untuk memperbaiki

hemostasis. Gestasi ektopik dikeluarkan secara perlahan melalui insisi dan


tempat yang berdarah di kauter. Pengkauteran yang banyak didalaam lumen
tuba dapat mengakibatkan terjadinya sumbatan, dan untuk itu dihindari.
Penyembuhan secara sekunder atau dengan menggunakan benang
menghasilkan hasil yang sama. Tindakan ini baik untuk pasien dengan
tempat implantasi di ampulla tuba. Kehamilan ektopik ini mempunyai
kemungkinan invasitrofoblastik kedalam muskularis tuba yang lebih kecil
dibandingkan dengan implantasi pada isthmus.
Pasien dengan implantasi pada isthmus akan mendapatkan hasil
yang lebih baik dari deseksi segmental dan anastomosis lanjut.
Bagaimanapun juga, jika diagnosis ditegakkan lebih awal, maka pada
tempat idthmus dapat dilakukan salpingotomi. Pada kehamilan ektopik
yang berlokasi pada ujung fimbriae, dapat dilakukan gerakan seeperti
memeras (milking) untuk mengeluarkan jaringan trofoblastik melalui
fimbriae.

Tuba kanan yang membesar karena terdapat kehamilan ektopik ada


disebelah kanan di E. Tuba kiri yang tersumbat terlihat pada L- wanita ini
pernah dilakukan ligasi tuba. Secara umum, perawatan pada laparaskopi
lebih cepat dan lebih sedikit waktu yang hilang dalam penanganannya
dibandingkan laparatomi. Parsial atau total salpingektomi laparaskopik
mungkin dilakukan pada pasien dengan riwayat penyakit tuba yang masih
ada dan diketahui mempunyai faktor resiko untuk kehamilan ektopik.
Komplikasi bedah yang paling sering adalah kehamilan ektopik berulang
(5-20 %) dan pengangkatan jaringan trofoblastik yang tidak komplit.
Disarankan pemberian dosis tunggal methotrexate post operasi sebagai
profilaksis para pasien resiko tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Boulton T.H., Blogg C.E., (1994). Anesthesiology, cetakan I. EGC, Jakarta.
Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. 2002.
Kehamilan Ektopik. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
Jakarta.
Ery L., (1998), Belajar Ilmu Anestesi. FK Univ. Diponegoro. Semarang.
Ganiswarna, Farmakologi dan terapi, edisi ke- 3 FKUI, Jakarta, 1986.
M. Roesli T. dan O.E. Tampubolon.1989. Pendidikan Anestesiologi
Mahasiswa. Dalam buku : Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif. FKUI. CV Infomedika. Jakarta. Hal:9.
Michael B D., (1994),Penuntun Praktis Anestesi. cetakan I. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Morgan G.E., Mikhail M.S., (1992). Clinical Anesthesiology. 1st ed. A large
medical Book.
Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, bagian Anastesiologi dan Terapi
Intensif, FKUI, CV Infomedia, Jakarta.

Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu kebidanan dan Penyakit Kandungan,
2008. Edisi III. Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo Surabaya.
Ruswan Dachlan. 1989. Persiapan Pra Anestesi. Dalam buku : Anestesiologi.
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif. FKUI. CV Infomedika. Jakarta.
Hal:1, 33-34, 129, 137-138.
Said A. Latief, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. Hal:34-37, 72-80.
Snow, J.C. Manual of Anasthaesiology, 2 nd edition, Little Brown and
Company, Boston, 1982.
Standar Tatalaksana Medis Rumah Sakit fatmawati. 2002. Kehamilan ektopik
Terganggu.Jakarta.
Susman Iskandar.1989. Premedikasi. Dalam buku : Anestesiologi. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif. FKUI. CV Infomedika. Jakarta.
Hal:59-62.
Wiknjosastro, Hanifa. 1999. Kehamilan Ektopik. Ilmu Kebidanan edisi ketiga.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Jakarta..hal 323-338.
Wim de Jong, 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Penerbit Buku kedokteran
EGC, Jakarta.
Wirjoatmojo, K. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar Untuk Pendidikan
S1 Kedokteran, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional, 2000

Anda mungkin juga menyukai