Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Oleh:
FITRIA MARIZKA KUSUMAWARDHANY
G99122116
PEMBIMBING:
MH Sudjito, dr., Sp.An. KNA
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai
tindakan yang meliputi pemberian anestesi, penjagaan penderita yang sedang
menjalani pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif
pasien gawat, terapi inhalasi, dan penanggulangan nyeri menahun.
Teknik anestesi secara garis besar dibagi menjadi dua macam, yaitu
anestesi umum dan anestesi regional. Anestesi umum bekerja untuk menekan
pelaksanaan
anestesi
meliputi
premedikasi,
induksi
dan
pemeliharaan yang dapat dilakukan secara intravena maupun inhalasi. Pada tahap
ini perlu monitoring dan pengawasan ketat serta pemeliharaan jalan nafas karena
pada saat ini pasien dalam keadaan sadar dan kemungkinan komplikasi anestesi
maupun pembedahan dapat terjadi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANESTESI UMUM
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen anestesi
yang ideal terdiri dari hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Pada kasus ini
anestesi yang digunakan adalah anestesi umum.
Tanda-tanda klinis anestesi umum (menggunakan zat anestesi yang mudah
menguap, terutama diethyleter) menurut Guedel, dengan teknik open drop ada
beberapa stadium:
1. Stadium I: analgesia dari mulanya induksi anestesi hingga hilangnya
kesadaran. Rasa nyeri belum hilang sama sekali sehingga hanya
pembedahan kecil yang dapat dilakukan pada stadium ini. Stadium ini
berakhir ditandai dengan hilangnya reflek bulu mata.
2. Stadium II : excitement, dari hilangnya kesadaran
hingga mulainya
Teknik
Resevoir Bag
Valve
Rebreathing
Sodalime
Open
Semi Open
Semi Closed
Closed
Keterangan :
o Rebreathing (-) = CO2 langsung ke udara kamar
o Rebreathing (+) = CO2 langsung ke udara kamar
dan
udara
ekspirasi
Zat anestetik
ASA I
Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali,
biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%
ASA II
ASA III
Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian /
live style terbatas. Angka mortalitas 38%
ASA IV
Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak
selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ,
angina menetap. Angka mortalitas 68%
ASA V
Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir
tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa
operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.
Klasifikasi
ASA
juga
dipakai
pada
pembedahan
darurat
dengan
diberikan secara intravena. Adapun obat obat yang sering digunakan sebagai
premedikasi adalah :
dikombinasikan
dengan
droperidol
untuk
menimbulkan
penderita yang berobat jalan. Pada penderita rawat baring obat ini tidak
mempengaruhi sistem kardiovaskular, tetapi pada penderita berobat jalan
dapat timbul sinkop orthostatik karena terjadi hipotensi akibat vasodilatasi
perifer karena pelepasan histamin.
Petidin dimetabolisme dihati, sehingga pada penderita penyakit hati
dosis harus dikurangi. Petidin tidak mengganggu kontraksi atau involusi
uterus pasca persalinan dan tidak menambah frekuensi perdarahan pasca
persalinan . Preparat oral tersedia dalam tablet 50 mg, untuk parenteral
tersedia dalam bentuk ampul 50 mg per cc. Dosis dewasa adalah 50 100 mg,
disuntikkan secara SC atau IM. Bila diberikan secara IV efek analgetiknya
tercapai dalam waktu 15 menit.
b. Antikolinergik
Sulfas Atropin
Sulfas atropin termasuk golongan anti kolinergik. Berguna mengurangi
sekresi lendir dan mengurangi efek bronkhial dan kardial yang berasal dari
perangsangan parasimpatis akibat obat anestesi atau tindakan operasi. Dalam
dosis 0,5 mg, atropin merangsang N. vagus dan bradikardi. Pada dosis lebih
dari 2 mg, terjadi hambatan N. vagus dan timbul takikardi. Pada dosis yang
besar sekali, atropine menyebabkan depresi napas, eksitasi, disorientasi,
delirium, halusinasi. Pada orang muda efek samping mulut kering, gangguan
miksi, meteorisme. Pada orangtua dapat terjadi sindrom demensia. Keracunan
biasanya terjadi pada anak-anak karena salah menghitung dosis, karena itu
atropin tidak dianjurkan untuk anak dibawah 4 tahun. Sebagai antidotumnya
adalah fisostigmin, fisostigmin salisilat 2-4
: dalam bentuk sulfat atropin dalam ampul 0,25 mg dan 0,50 mg.
Dosis
c. Benzodiazepin
Midazolam
Midazolam adalah obat induksi tidur jangka pendek untuk premedikasi,
induksi dan pemeliharaan anestesi. Dibandingkan dengan diazepam,
midazolam bekerja cepat karena transformasi metabolitnya cepat dan lama
kerjanya singkat. Pada pasien orang tua dengan perubahan organik otak atau
gangguan fungsi jantung dan pernafasan, dosis harus ditentukan secara hatihati. Efek obat timbul dalam 2 menit setelah penyuntikan. Dosis premedikasi
dewasa 0,07-0,10 mg/kgBB, disesuaikan dengan umur dan keadaan pasien.
Dosis lazim adalah 5 mg. pada orang tua dan pasien lemah dosisnya 0,0250,05 mg/kgBB. Efek sampingnya terjadi perubahan tekanan darah arteri,
denyut nadi dan pernafasan, umumnya hanya sedikit.
D. INDUKSI ANESTESI
Induksi anestesia adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesia dan
pembedahan. Induksi anestesia dapat dikerjakan dengan secara intravena,
inhalasi, intramuskular, atau rectal. Induksi merupakan saat dimasukkannya
zat anestesi sampai tercapainya stadium pembedahan yang selanjutnya
diteruskan dengan tahap pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau
memperdalam stadium anestesi setelah induksi. Setelah pasien tidur akibat
induksi anestesia langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia sampai
tindakan pembedahan selesai.
Induksi intravena merupakan cara imduksi yang paling sering digunakan
karena cepat dan mudah. Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan 306- detik. Selama induksi anestesia, pernafasan pasien, nadi, dan tekanan darah
harus diawasi dan selalu diberikan oksigen.
Obat Induksi Anestesi
a. Propofol
Propofol adalah campuran 1% obat dalam air dan emulsi yang berisi
10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25% glycerol. Pemberian
intravena propofol (2 mg/kg BB) menginduksi anestesi secara cepat seperti
tiopental. Setelah injeksi intravena secara cepat disalurkan ke otak, jantung,
hati, dan ginjal. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi
jarang disertai dengan plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan
dengan infus propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2 dan atau
anestesi inhalasi lain.
Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% teapi efek ini
lebih disebabkan karena vasodilatsai perifer daripada penurunan curah
jantung. Tekanan sismatik kembali normal dengan intubasi trakea. Propofol
tidak menimbulkan aritmia atau iskemik otot jantung. Sesudah pemberian
propofol IV terjadi depresi pernafasan sampai apnea selama 30 detik. Hal ini
diperkuat dengan premediaksi dengan opiat.
Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak,
metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun. Tak jelas adanya
interaksi dengan obat pelemas otot. Keuntungan propofol karena bekerja lebih
cepat dari tiopental dan konfusi pasca operasi yang minimal. Terjadi mual,
muntah dan sakit kepala mirip dengan tiopental.
Obat Muscle Relaxant
a. Succynil choline
Suksinil kolin merupakan pelumpuh otot depolarisasi dengan mula kerja
cepat, sekitar 1 2 menit dan lama kerja singkat sekitar 3 5 menit sehingga
obat ini sering digunakan dalam tindakan intubai trakea. Lama kerja dapat
memanjang jika kadar enzim kolinesterase berkurang, misalnya pada penyakit
hati parenkimal, kakeksia, anemia dan hipoproteinemia.
Pada umumnya mulai kerja atrakium pada dosis intubasi adalah 3-5 menit,
sedang lama kerja antrakium dengan dosis relaksasi 15-35 menit. Pemulihan
fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah lama kerja obat
berakhir) atau dibantu dengan pemberian antikolinesterase. Antrakurium dapat
menjadi obat terpilih untuk pasien geriatrik atau pasien dengan penyakit
jantung dan ginjal yang berat. Kemasan 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung
50 mg atrakurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada
penyimpanan pada suhu dingin dan perlindungan terhadap penyinaran.
Obat Analgesik
a. Ketamin
Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil sikloheksilamin, merupakan
rapid acting non barbiturate general anesthesia. Ketalar sebagai nama
dagang yang pertama kali diperkenalkan oleh Domino dan Carson tahun 1965
yang digunakan sebagai anestesi umum. Ketamin untuk induksi anastesia
dapat menimbulkan takikardi, hipertensi , hipersalivasi , nyeri kepala, pasca
anastesi dapat menimbulkan muntah-muntah, pandangan kabur dan mimpi
buruk. Ketamin juga sering menyebabkan terjadinya disorientasi, ilusi sensoris
dan persepsi dan mimpi gembira yang mengikuti anesthesia, dan sering
disebut dengan emergence phenomena. Obat ini bekerja dengan blok terhadap
reseptor opiat dalam otak dan medulla spinalis yang memberikan efek
analgesik, sedangkan interaksi terhadap reseptor metilaspartat dapat
menyebabkan anastesi umum dan juga efek analgesik.
Pemberian ketamin dapat dilakukan secara intravena atau intramuskular.
Ketamin bersifat larut air sehingga dapat diberikan secara IV atau IM dosis
induksi adalah 1 2 mg/KgBB secara IV atau 5 10 mg/KgBB IM , untuk
dosis sedatif lebih rendah yaitu 0,2 mg/KgBB dan harus dititrasi untuk
mendapatkan efek yang diinginkan. Untuk pemeliharaan dapat diberikan
secara intermitten atau kontinyu. Pemberian secara intermitten diulang setiap
10 15 menit dengan dosis setengah dari dosis awal sampai operasi selesai.
Ketamin lebih larut dalam lemak sehingga dengan cepat akan didistribusikan
ke seluruh organ. Efek muncul dalam 30 60 detik setelah pemberian secara
IV dengan dosis induksi, dan akan kembali sadar setelah 15 20 menit. Jika
diberikan secara IM maka efek baru akan muncul setelah 15 menit. Obat ini
dapat menyebabkan efek samping berupa takikardi, agitasi dan perasaan lelah,
halusinasi dan mimpi buruk juga terjadi pasca operasi, pada otot dapat
menimbulkan efek mioklonus serta dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
dalam keadaan utuh dan hanya 2,5-10% diubah menjadi ion fluorida bebas.
Pada anestesi yang dalam dapat menimbulkan penurunan tekanan darah
disebabkan depresi pada miokardium. Penggunaan pada seksio caesarea cukup
aman pada konsentrasi rendah (0,5-0,8%) tanpa menimbulkan depresi pada
foetus. Berhati-hati penggunaan konsentrasi tinggi karena dapat menimbulkan
relaksasi pada otot uterus yang dapat meningkatkan pendarahan pada
persalinan. Efek samping berupa hipotensi, menekan pernapasan, aritmia,
merangsang SSP, pasca anestesi dapat timbul hipoermi serta mual muntah.
2
tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut
dalam darah. Gas ini tidak mempunyai relaksasi otot, oleh karena itu operasi
abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Gas ini
memiliki efek analgesic yang baik, dengan inhalasi 20% N 2O dalam oksigen
efeknya seperti 15 mg morfin. Kadar optimum untuk mendapatkan efek
analgesic maksimum 35%. N2O diekskresi dalam bentuk utuh melalui paruparu dan sebagian kecil melalui kulit. Depresi nafas terjadi pada masa
pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dengan
ruangan ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian
oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai.
Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen.
Perbandingan N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40 % ; 70% : 30% atau
50% : 50%.
G. Terapi Cairan
Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk mencukupi kebutuhan cairan,
elektrolit dan darah yang hilang selama operasi dan replacement dan dapat
untuk tindakan emergency pemberian obat.
Pemberian cairan operasi dibagi :
1. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan kaena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti
pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain lain. Kebutuhan
cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kgBB / jam. Bila terjadi
dehidrasi ringan 2% BB, sedang 5% BB, berat 7% BB. Setiap kenaikan
suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10 15 %.
2. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan
pada dewasa untuk operasi :
a. Ringan
= 4 ml / kgBB / jam
b. Sedang
= 6 ml / kgBB / jam
c. Berat
= 8 ml / kg BB / jam
H. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room
yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca operasi atau anestesi. Ruang pulih
sadar adalah batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih
memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca
operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena
operasi atau pengaruh anestesinya.
I.
Kehamilan Ektopik
1. Definisi
Kehamilan ektopik adalah semua kehamilan dimana sel telur yang
dibuahi oleh spermatozoa berimplantasi dan tumbuh diluar endometrium
kavum uterus. Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan implantasi
terjadi diluar rongga uterus, tuba falopii merupakan tempat tersering untuk
terjadinya implantasi kehamilan ektopik,sebagian besar kehamilan ektopik
berlokasi
di
tuba,jarang
terjadi
implantasi
pada
ovarium,rongga
dalam
rongga
perut
yang
apabila
terlambat
diatasi
akan
kehamilan ektopik. Dinamika normal kenaikan kadar -hCG dua kali lipat
kira-kira setiap 1,4 sampai 2,1 hari sampai mencapai puncaknya 100.000
mIU/ml. kenaikan ini akan melambat bila sudah mencapai nilai puncaknya,
dan pada saat itu sudah harus dilakukan diagnosis dengan USG.
Pemeriksaan tunggal tes -hCG kuantitatif ini berguna untuk
mendiagnosis kehamilan, namun tidak dapat membedakan antara
kehamilan ektopik atau kehamilan intrauterine. Pemeriksaan laboratorium
umum lainnya adalah pemeriksaan darah rutin untuk mengetahui kadar
hemoglobin yang dapat rendah bila terjadi perdarahan yang sudah lama.
Juga dinilai kadar leukosit untuk membedakan apakah terjadi infeksi yang
bisa disebabkan oleh kehamilan ektopik ini atau dugaan adanya infeksi
pelvik. Pada infeksi pelvik biasanya lebih tinggi hingga dapat lebih dari
20.000.
4. Penatalaksanaan
Ada banyak opsi yang dapat dipilih dalam menangani kehamilan
ektopik, yaitu terapi bedah dan terapi obat. Ada juga pilihan tanpa terapi,
namun hanya bisa dilakukan pada pasien yang tidak menunjukkan gejala
dan tidak ada bukti adanya rupture atau ketidakstabilan hemodinamik.
Namun pada pilihan ini pasien harus bersedian diawasi secara lebih ketat
dan sering dan harus menunjukkan perkembangan yang baik. Pasien juga
harus menerima segala resiko apabila terjadi rupture harus dioperasi.
TERAPI BEDAH
Sebagian besar wanita dengan kehamilan ektopik akan
membutuhkan tindakan bedah. Tindakan bedah ini dapat radikal
laparaskopi.
Pada
banyak
kasus,
pasien-pasien
ini
Salpingotomi laparaskopik
diindikasikan pada pasien hamil ektopik yang belum rupture dan besarnya
tidak lebih dari 5 cm pada diameter transversa yang terlihat komplit melalui
laparaskop.
Linier salpingektomi pada laparaskopi atau laparatomi dikerjakan
pada pasien hamil ektopik yang belum rupture dengan menginsisi
permukaan antimesenterik dari tuba dengan kauter kecil, gunting, atau
laser. Kemudian diinjeksikan pitressin
DAFTAR PUSTAKA
Boulton T.H., Blogg C.E., (1994). Anesthesiology, cetakan I. EGC, Jakarta.
Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. 2002.
Kehamilan Ektopik. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
Jakarta.
Ery L., (1998), Belajar Ilmu Anestesi. FK Univ. Diponegoro. Semarang.
Ganiswarna, Farmakologi dan terapi, edisi ke- 3 FKUI, Jakarta, 1986.
M. Roesli T. dan O.E. Tampubolon.1989. Pendidikan Anestesiologi
Mahasiswa. Dalam buku : Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif. FKUI. CV Infomedika. Jakarta. Hal:9.
Michael B D., (1994),Penuntun Praktis Anestesi. cetakan I. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Morgan G.E., Mikhail M.S., (1992). Clinical Anesthesiology. 1st ed. A large
medical Book.
Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, bagian Anastesiologi dan Terapi
Intensif, FKUI, CV Infomedia, Jakarta.
Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu kebidanan dan Penyakit Kandungan,
2008. Edisi III. Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo Surabaya.
Ruswan Dachlan. 1989. Persiapan Pra Anestesi. Dalam buku : Anestesiologi.
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif. FKUI. CV Infomedika. Jakarta.
Hal:1, 33-34, 129, 137-138.
Said A. Latief, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. Hal:34-37, 72-80.
Snow, J.C. Manual of Anasthaesiology, 2 nd edition, Little Brown and
Company, Boston, 1982.
Standar Tatalaksana Medis Rumah Sakit fatmawati. 2002. Kehamilan ektopik
Terganggu.Jakarta.
Susman Iskandar.1989. Premedikasi. Dalam buku : Anestesiologi. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif. FKUI. CV Infomedika. Jakarta.
Hal:59-62.
Wiknjosastro, Hanifa. 1999. Kehamilan Ektopik. Ilmu Kebidanan edisi ketiga.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Jakarta..hal 323-338.
Wim de Jong, 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Penerbit Buku kedokteran
EGC, Jakarta.
Wirjoatmojo, K. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar Untuk Pendidikan
S1 Kedokteran, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional, 2000