Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan yang
meliputi pemberian anestesi, penjagaan penderita yang sedang menjalani pembedahan,
pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi, dan
penanggulangan nyeri menahun (Ruswan, 1999).
Teknik anestesi secara garis besar dibagi menjadi dua macam, yaitu anestesi umum
dan anestesi regional. Anestesi umum bekerja untuk menekan aksis hipotalamus pituitari
adrenal, sementara anestesi regional berfungsi untuk menekan transmisi impuls nyeri dan
menekan saraf otonom eferen ke adrenal. Teknik anestesia yang lazim digunakan dalam seksio
sesarea adalah anestesi regional, tetapi tidak selalu dapat dilakukan berhubung dengan sikap
mental pasien. Beberapa teknik anestesi regional yang biasa digunakan pada pasien obstetri
yaitu blok paraservikal, blok epidural, blok subarakhnoid, dan blok kaudal (Morgan, 2002).
Anestesi regional adalah suatu cara untuk menghilangkan rasa sakit pada sebagian atau
beberapa bagian tubuh yang tidak disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat sementara.
Analgesia regional sering digunakan karena sederhana, murah, obatnya mudah disuntikkan,
tidak polusif, alatnya sederhana dan perawatan pasca bedah tidak rumit (Robert, 2000).
Anestesi spinal sebagai salah satu pilihan, telah lama diketahui sebagai teknik anestesi
yang cukup aman. Tetapi hal ini bukan berarti tanpa resiko atau efek samping. Hipotensi, mual
dan muntah bisa terjadi pada anestesi spinal. Bradikardi, disritmia atau bahkan cardiac arrest
merupakan komplikasi yang bisa terjadi (Carpenter et al, 2002).
Seksio sesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding
perut dan dinding uterus. Saat ini pembedahan seksio sesarea jauh lebih aman dibandingkan
masa sebelumnya karena tersedianya antibiotika, transfusi darah, teknik operasi yang lebih
baik, serta teknik anestesi yang lebih sempurna. Hal inilah yang menyebabkan saat ini timbul
kecenderungan untuk melakukan seksio sesarea tanpa adanya indikasi yang cukup kuat
(Lukito, 2002).
Pada kehamilan normal, organ jantung ibu akan mendapat beban untuk memenuhi
kebutuhan selama kehamilan dan juga beban dari berbagai penyakit jantung yang mungkin
diderita selama kehamilan. Kehamilan dapat menyebabkan terjadinya kenaikan tekanan darah,
1

volume darah, tekanan pembuluh darah perifer, serta tekanan pada sisi kanan jantung (Guyton,
1996). Pada kehamilan, darah yang dipompa oleh jantung akan meningkat sekitar 30%,
sementara denyut nadi akan meningkat 10 kali / menit. Volume darah meningkat 40% pada
kehamilan normal. Kenaikan tekanan pembuluh darah perifer terjadi karena adanya
peningkatan volume air total pada tubuh ibu dan hal ini sering menimbulkan edema perifer
serta vena verikosa bahkan pada kehamilan normal (Guyton, 1996).
Anestesia spinal aman untuk janin, namun selalu ada kemungkinan bahwa tekanan
darah pasien menurun dan akan menimbulkan efek samping yang berbahaya bagi ibu dan
janin kuat (Lukito, 2002). Beberapa kemungkinan terjadinya komplikasi pada ibu selama
anestesia harus diperhitungkan dengan teliti. Keadaan ini dapat membahayakan keadaan janin,
bahkan dapat menimbulkan kematian ibu. Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain
aspirasi paru, gangguan respirasi, dan gangguan kardiovaskular (Morgan, 2002).

BAB II
2

TINJAUAN PUSTAKA
A. Persiapan Pra Anestesi
Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan
pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan
tersebut. Adapun tujuan pra anestesi adalah:
1. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
2. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan fisik
dan kehendak pasien.
3. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society Anesthesiology):
a. ASA I

: Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan

faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.


b. ASA II

: Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang

sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
c. ASA III

: Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian

terbatas. Angka mortalitas 38%.


d. ASA IV

: Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak

selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ, angina menetap.
Angka mortalitas 68%.
e. ASA V

: Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir

tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan
operasi. Angka mortalitas 98%.
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) tanda darurat (Morgan,
2002).
B. Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan
dari premedikasi antara lain :
1. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
2. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
3. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
4. memberikan analgesia, misal pethidin
5. mencegah muntah, misal : droperidol, metoklopropamid
3

6. memperlancar induksi, misal : pethidin


7. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
8. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.
9. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin (Morgan,
2002).
C. Klasifikasi Anestesi
Obat bius memang diciptakan dalam berbagai sediaan dan cara kerja. Namun,
secara umum obat bius atau istilah medisnya anestesi ini dibedakan menjadi tiga golongan
yaitu anestesi lokal, regional, dan umum (Morgan, 2002).
1. Anestesi Lokal
Anestesi lokal adalah tindakan pemberian obat yang mampu menghambat
konduksi saraf (terutama nyeri) secara reversibel pada bagian tubuh yang spesifik.
Pada anestesi umum, rasa nyeri hilang bersamaan dengan hilangnya kesadaran
penderita. Sedangkan pada anestesi lokal (sering juga diistilahkan dengan analgesia
lokal), kesadaran penderita tetap utuh dan rasa nyeri yang hilang bersifat setempat
(lokal) (Morgan, 2002).
Pembiusan atau anestesi lokal biasa dimanfaatkan untuk banyak hal. Misalnya,
sulam bibir, sulam alis, dan liposuction, kegiatan sosial seperti sirkumsisi (sunatan),
mencabut gigi berlubang, hingga merawat luka terbuka yang disertai tindakan
penjahitan (Morgan, 2002).
Anestesi lokal bersifat ringan dan biasanya digunakan untuk tindakan yang
hanya perlu waktu singkat. Oleh karena efek mati rasa yang didapat hanya mampu
dipertahankan selama kurun waktu sekitar 30 menit seusai injeksi, bila lebih dari itu,
maka akan diperlukan injeksi tambahan untuk melanjutkan tindakan tanpa rasa nyeri
(Morgan, 2002).
2. Anestesi Regional
Anestesi regional biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang pasiennya
perlu dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi yang lebih
besar, bila pasien tak sadar. Misalnya, pada persalinan Caesar, operasi usus buntu,
operasi pada lengan dan tungkai. Caranya dengan menginjeksikan obat-obatan bius
4

pada bagian utama pengantar register rasa nyeri ke otak yaitu saraf utama yang ada di
dalam tulang belakang. Sehingga, obat anestesi mampu menghentikan impuls saraf di
area itu.
Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf tadi lalu
terhambat dan tak dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat anestesi atau
efek mati rasa akan lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal.
Pada kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari perut ke bawah. Namun, oleh
karena tidak mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat atau otak, maka pasien yang
sudah di anestesi regional masih bisa sadar dan mampu berkomunikasi, walaupun
tidak merasakan nyeri di daerah yang sedang dioperasi (Morgan, 2002).
a. Anestesi Spinal
Anestesi spinal adalah suatu metode anestesi dengan menyuntikkan obat
analgeti local kedalam ruang subarachnoid di daerah lumbal. Cara ini sering
digunakan pada persalinan per vaginam dan pada seksio sesarea tanpa komplikasi
(Oyston, 2000; Scott, 1997).
Anestesi Spinal (blok subarakhnoid) adalah anestesi regional dengan
tindakan penyuntikan obat anestesi lokal ke dalam ruang subarakhnoid. Anestesi
spinal/subarakhnoid disebut juga sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok
intratekal (Mansjoer, 2000).
Pada seksio sesarea blokade sensoris spinal yang lebih tinggi penting. Hal
ini disebabkan karena daerah yang akan dianestesi lebih luas, diperlukan dosis
agen anestesi yang lebih besar, dan ini meningkatkan frekuensi serta intensitas
reaksi-reaksi toksik (Tohaga, 1998 ; Hidayat, 2006).
b. Teknik anestesi spinal pada seksio sesarea (Oyston, 2000)
Pada tindakan premedikasi sekitar 15-30 menit sebelum anestesi, berikan
antasida, dan lakukan observasi tanda vital. Setelah tindakan antisepsis kulit daerah
punggung pasien dan memakai sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan
dengan menyuntikkan jarum lumbal (biasanya no 23 atau 25) pada bidang median
setinggi vertebra L3-4 atau L4-5. Jarum lumbal akan menembus berturut-turut
beberapa ligamen, sampai akhirnya menembus duramater - subarachnoid. Setelah
stilet dicabut, cairan serebro spinal akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan

larutan obat analgetik lokal kedalam ruang subarachnoid tersebut. Keberhasilan


anestesi diuji dengan tes sensorik pada daerah operasi, menggunakan jarum halus
atau kapas. Daerah pungsi ditutup dengan kasa dan plester, kemudian posisi pasien
diatur pada posisi operasi.
c. Posisi Anestesi Spinal
Ada 2 macam posisi dalam melakukan anestesi spinal, yaitu (Morgan et al,
2002) :
Posisi Duduk
Dagu pasien menempel di dada, lengan bersandar di lutut dan
menggunakan tempat duduk yang memiliki sandaran kaki.
Posisi Lateral
Bahu pasien harus tegak lurus dengan tempat tidur, posisi pinggang di tepi
tempat tidur dan pasien memeluk bantal atau posisi lutut menempel di dada.
Pria cenderung mempunyai bahu yang lebih lebar daripada pinggang sehingga
harus menaikkan posisi kepala ketika berbaring. Wanita dengan pinggang lebih
lebar harus menurunkan posisi kepala (Casey, 2000).
d. Indikasi anestesi spinal pada seksio sesarea
Biasanya anestesi spinal dilakukan untuk pembedahan pada daerah yang
diinervasi oleh cabang Th.4 (papila mammae kebawah) (Oyston, 2000) :
- Vaginal delivery
- Operasi perineum
- Ekstremitas inferior
- Operasi urologic
- Seksio sesarea
e. Kontra indikasi anestesi spinal pada seksio sesarea (Oyston, 2000)
- Infeksi tempat penyuntikan
- Gangguan fungsi hepar
- Gangguan koagulasi
- Tekanan itrakranial meninggi
- Alergi obat lokal anstesi
- Hipertensi tak terkontrol
- Pasien menolak
- Syok hipovolemik
- Sepsis
f. Obat anestesi spinal pada seksio sesarea (Oyston, 2000)
Obat anestetik yang sering digunakan:
- Lidocain 1-5 %
- Bupivacain 0,25-0,75 %
g. Komplikasi anestesi spinal pada seksio sesarea (Morgan, 2002; Oyston, 2000)
- Hipotensi
- Brakikardi
- Sakit kepala spinal (pasca pungsi)
- Menggigil
- Mual-muntah
- Depresi nafas
- Total spinal
- Sequelae neurologic
- Penurunan tekanan intracranial
- Meningitis
3. Anestesi Umum

Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut juga dengan nama
narkose umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel. Anestesi umum biasanya dimanfaatkan
untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu
pengerjaan lebih panjang, misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu
empedu, bedah rekonstruksi tulang, dan lain-lain (Morgan, 2002).
Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan
kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. Maka, selama
penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk
meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama operasi dilakukan
(Morgan, 2002).
Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I (stadium induksi atau eksitasi
volunter), dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan hilangnya
kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil,
dapat terjadi urinasi dan defekasi. Stadium II (stadium eksitasi involunter), dimulai
dari hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II
terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pernafasan tidak teratur,
inkontinensia urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan takikardia. Stadium III
(pembedahan/operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu; Plane I yang ditandai dengan
pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota gerak. Tipe pernafasan thoracoabdominal, refleks pedal masih ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva
dan kornea terdepresi. Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola
mata ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane III,
ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke tengah dan otot
perut relaksasi. Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis),ditandai
dengan paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata menunjukkan
gambaran seperti mata ikan karena terhentinya sekresi lakrimal (Morgan, 2002).
D. Obat-obat Anestesi dan Metode Pemberiannya
1. Obat-obat Anestesi Lokal

Anestetika lokal atau zat-zat penghalang rasa setempat adalah obat yang pada
penggunaan lokal merintangi secara reversibel penerusan impuls-impuls saraf ke SSP.
Luasnya daerah anestesi tergantung tempat pemberian larutan anestesi, volume yang
diberikan, kadar zat dan daya tembusnya.
Obat bius lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf. Tempat
kerjanya terutama di selaput lendir. Di samping itu, anestesi lokal menggangu fungsi
semua organ dimana terjadi konduksi dari beberapa impuls. Artinya, anestesi lokal
mempunyai efek yang penting terhadap susunan saraf pusat, ganglia otonom, cabang
cabang neuromuskular dan semua jaringan otot.
Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk suatu jenis obat yang
digunakan sebagai anestetika lokal, antara lain: tidak merangsang jaringan, tidak
mengakibatkan kerusakan permanen terhadap susunan saraf, toksisitas sistemik yang
rendah, efektif dengan jalan injeksi atau penggunaan setempat pada selaput lendir,
mula kerjanya sesingkat mungkin dan bertahan untuk jangka waktu yang cukup lama,
dapat larut dalam air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga tahan terhadap
pemanasan/sterilisasi.
Anestetika yang ideal adalah anestetika yang memiliki sifat antara lain tidak
iritatif/merusak jaringan secara permanen, onset cepat, durasi cukup lama, larut dalam
air, stabil dalam larutan, dan dapat disterilkan tanpa mengalami perubahan.
Struktur dasar anestetika lokal pada umumnya terdiri dari suatu gugus-amino
hidrofil (sekunder atau tersier) yang dihubungkan oleh suatu ikatan ester (alkohol) atau
amida dengan suatu gugus aromatis lipofil). Adanya ikatan ester sangat menentukan
sifat anestesi lokal sebab pada degradasi dan inaktivasi di dalam tubuh, gugus tersebut
akan dihidrolisis. Karena itu golongan ester umumnya kurang stabil dan mudah
mengalami metabolisme dibandingkan golongan amida. Contohnya: Tetrakin,
Benzokain, Kokain, dan Prokain. Senyawa amida contohnya adalah Dibukain,
Lidokain, Mepivakain dan Prilokain. Senyawa lainnya contohnya fenol, Benzilalkohol,
Etilalkohol, Etilklorida, dan Cryofluoran.
Cara pemberian anestesi lokal adalah dengan menginjeksikan obat-obatan
anestesi tertentu pada area yang akan dilakukan sayatan atau jahitan. Obat-obatan yang

diinjeksikan ini lalu bekerja memblokade saraf-saraf tepi yang ada di area sekitar
injeksi sehingga tidak mengirimkan impuls nyeri ke otak (Morgan, 2002).
2. Obat-obat Anestesi Regional
Metode pemberian Anestesi regional dibagi menjadi dua, yaitu secara blok
sentral dan blok perifer.
a. Blok Sentral (Blok Neuroaksial).
Blok sentral dibagi menjadi tiga bagian yaitu anestesi Spinal, Epidural dan
Kaudal (Morgan, 2002).

Anestesi Epidural
Anestesi epidural ialah blokade saraf dengan menempatkan obat pada
ruang epidural (peridural, ekstradural) di dalam kanalis vertebralis pada
ketinggian tertentu, sehingga daerah setinggi pernapasan yang bersangkutan dan
di bawahnya teranestesi sesuai dengan teori dermatom kulit (Bachsinar, 1992).
Ruang epidural berada di antara durameter dan ligamentun flavum. Bagian atas
berbatasan dengan foramen magnum dan dibawah dengan selaput sakrogliseal.
Anestesi epidural sering dikerjakan untuk pembedahan dan penanggulangan
nyeri pasca bedah, tatalaksana nyeri saat persalinan, penurunan tekanan darah
saat pembedahan supaya tidak banyak perdarahan, dan tambahan pada anestesia
umum ringan karena penyakit tertentu pasien (Morgan, 2002) .

Anestesi Kaudal
Anestesi kaudal sebenarnya sama dengan anestesi epidural, karena ruang
kaudal adalah kepanjangan dari ruang epidural dan obat ditempatkan di ruang
kaudal melalui hiatus sakralis. Hiatus sakralis ditutupi oleh ligamentum
sakrogsigeal tanpa tulang yang analog dengan ligamentum supraspinosum dan
ligamentum interspinosum. Ruang kaudal berisi saraf sacral, pleksus venosus,
felum terminale dan kantong dura (Morgan, 2002) .

b. Blok Perifer (Blok Saraf)


Anestesi regional dapat juga dilakukan dengan cara blok perifer. Salah satu
teknik yang dapat digunakan adalah anestesi regional intravena. Anestesi regional
intravena dapat dikerjakan untuk bedah singkat sekitar 45 menit. Melalui cara ini
saraf yang dituju langsung saraf bagian proksimal. Sehingga daerah yang
9

dipersarafi akan teranestesi misalnya pada tindakan operasi di lengan bawah


memblok saraf brakialis. Untuk melakukan anetesi blok perifer harus dipahami
anatomi dan daerah persarafan yang bersangkutan (Morgan, 2002).
3

Obat-obat Anestesi Umum


Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan
utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa
pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan,
dan peralatan serta obat yang tersedia (Morgan, 2002).
Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak
menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran pernapasan atau
jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan relaksasi otot
yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak diinginkan. Obat
anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain : pada dosis yang aman
mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah, mula
kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain itu
obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang
luas, tidak dipengaruhi oleh variasi umur dan kondisi pasien.
Obat-obatan anestesi yang umum dipakai pada pembiusan total adalah N2O,
halotan, enfluran, isofluran, sevofluran, dan desfluran. Obat anestesi umum yang ideal
haruslah tidak mudah terbakar, tidak meledak, larut dalam lemak, larut dalam darah,
tidak meracuni end-organ (jantung, hati, ginjal), efek samping minimal, tidak
dimetabolisasi oleh tubuh, dan tidak mengiritasi pasien (Morgan, 2002).

E. Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati jumlah
dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk :
1. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.
2. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
1. Pra operasi
10

Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan
isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstriktif,
perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam
adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 1 0 Celcius kebutuhan cairan
bertambah 10-15 %.
2. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada
dewasa untuk operasi :
-

Ringan
Sedang
Berat

= 4 ml/kgBB/jam.
= 6 ml / kgBB/jam
= 8 ml / kgBB/jam.

Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10 %


EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume darah
yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan
pemberian plasma / koloid / dekstran dengan dosis 1-2 kali darah yang hilang.
3. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama
operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
F. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi yang
biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk observasi
pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar batu loncatan sebelum pasien dipindahkan
ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien
pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi
atau pengaruh anestesinya.
G. Anestesi Obsteri
Semua pasien yang masuk dalam obstetri sangat besar kemungkinan membutuhkan
anestesi yang baik yang direncanakan atau emergensi, oleh karena itu seorang ahli anestesi
seharusnya menyadari riwayat penyakit sekarang dan dahulu yang berhubungan dengan
pasien obstetri. Pasien yang membutuhkan pelayanan anestesi untuk persalinan atau SC
seharusnya mendapat evaluasi pre anestesi yang detail. Semua wanita dalam persalinan
harus dijaga nutrisi per oral dan diberi cairan iv biasanya menggunakan cairan RL dalam
11

dextrosa untuk mencegah dehidrasi. Berbagai macam indikasi untuk sectio caesaria antara
lain:
1. Kehamilan beresiko tinggi pada maternal dan fetal:
i. Peningkatan resiko ruptur uteri:
a. Riwayat kelahiran dengan seksio caesaria
b. Riwayat miomektomi ekstensif atau rekonstruksi uterin
ii. Peningkatan resiko perdarahan maternal
a. Sentral atau parsial plasenta previa.
b. Solutio plasenta
c. Riwayat rekonstruksi vagina
2. Distorsia
a.

Hubungan Fetopelvik yang abnormal

b.

1).

Disproporsi kepala panggul.

2).

Presentasi fetal yang abnormal : letal transvers atau obliq, presbo.


Aktivitas disfungsional uterin.

3. Keadaan-keadaan gawat darurat yang membutuhkan penanganan segera.


a.

Fetal distress

b.

Prolaps umbilikus

c.

Perdarahan maternal

d.

Amnionitis

e.

Herpes genital dengan disertai ruptur membran

f.

Kematian impending maternal.

H. Eklampsia
1. Definisi

Preeklampsi
:
Sindroma yang spesifik dalam kehamilan yang menyebabkan perfusi darah ke
organ berkurang karena adanya vasospasmus dan menurunnya aktivitas sel
endotel. Preeklampsi ditandai dengan hipertensi, edema dan proteinuria. Umumnya

terjadi pada trisemester ketiga.


Eklampsia
:

12

Eklampsi adalah preeklampsia yang disertai kejang dan atau koma yang tidak

berhubungan dengan kondisi cerebral.


Impending eklampsia
:
Preeklmpsia berat yang akan mengarah pada eklampsia, yang ditandai dengan
adanya nyeri kepala, mata kabur, mual, muntah, nyeri epigatrium dan nyeri
kuadran kanan atas abdomen.

2. Etiologi preeklampsia
Saat ini ada 4 hipotesis etiologi preeklampsia, yaitu
1)

Plasental Ischemic, peningkatan deportasi trofoblast. Sebagai akibat dari

iskemia mengakibatkan iskemia sel endotel.


2) Very Low Density Lipoprotein vs toxicity preventing activity sebagai kompensasi
meningkatkan kebutuhan energi selama hamil dengan memobilisir asam lemak
nonester. Pada wanita dengan kadar albumin rendah, transport asam lemak
nonestertambahan dari depot lemak ke hati untuk mengurangi antitoxic-toxicity
dari albumin ke VLDL toxicity.
3) Immune maladaptation, interaksi antara lekosit decidual dengan invasi dan
perkembangan trofoblast secara normal. Imnune maladaptation menyebabkan
dengkalnya invasif a. Spiralis oleh sel endovasculer cytotrofoblas dan disfungsi
sel

endothel

yang

di

mediasi

oleh

peningkatan

pelepasan

cytokine

decidual,enzim proteolitik dan radikal bebas


4) Genetic imprinting, timbulnya preeklamsia-eklamsia berdasar pada single
recessive gene atau gene dominant dengan incomplete penetrance. Penetrasi
mungkin tergantung pada genotip janin
3.

Diagnosa
Diagnosis pre eklampsia didasarkan atas adanya hipertensi yang muncul saat
kehamilan lebih dari 20 minggu dan adanya proteinuria.
Diagnosis eklampsia dengan adanya tanda dan gejala pre eklampsia yang disusul oleh
serangan kejang.
Menurut Organization Gestosis, impending eklampsia adalah gejala-gejala oedema,
proteinuria, hipertensi disertai gejala subyektif dan obyektif. Gejala subyektif antara
lain: nyeri kepala, gangguan visual dan nyeri epigastrium. Sedangkan gejala obyektif
antara lain: hiperreflexia, eksitasi motorik dan sianosis.

4.

Penatalaksanaan
13

Manajemen umum perawatan pada pasien preeklampsia-eklampsia, meliputi: sikap


terhadap penyakitnya dan sikap terhadap kehamilannya.
a.

Sikap terhadap penyakitnya: pengobatan medikamentosa

Rawat inap dan tirah baring miring ke kiri.

Pengelolaan cairan
Pemberian obat antikejang: MgSO4 dengan loading dose 4gr MgSO4 i.v (40%
dalam 10cc) selama 15 menit, dan maintenance dose 4gr i.m tiap 4-6jam.
Diuretik, diberikan bila ada edema paru, payah jantung kongestif, atau edema
anasarka.
Pemberian antihipertensi, dengan cut off > 160/110 mmHg dan MAP > 126
mmHg.

b.

Sikap terhadap kehamilannya: aktif dan konservatif


1. Perawatan aktif (agresif):
Sambil memberi pengobatan, kehamilan diakhiri.
Indikasi perawatan aktif:
Ibu :
Umur kehamilan > 37 minggu
Adanya tanda-tanda impending eclampsia
Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu keadaan klinik dan
laboratorik memburuk
Diduga terjadi solution plasenta
Timbul onset persalinan, ketuban pecah, atau perdarahan
Janin :
Adanya tanda-tanda fetal distress
Adanya tanda-tanda intrauterine growth restriction (IUGR)
Terjadinya oligohidramnion
Laboratorik
Adanya tanda-tanda Sindrom HELLP khususnya menurunnya trombosit
dengan cepat
Cara mengakhiri kehamilan (terminasi kehamilan) dilakukan berdasar keadaan
obstetric pada waktu itu, apakah sudah in partu atau belum.
14

2. Perawatan konservatif
Indikasi:
UK<37 minggu tanpa tanda-tanda impending eklamsi dengan keadaan
janin baik.
Sebagai pengobatan untuk mencegah timbulnya kejang-kejang dapat diberikan:

Larutan sulfas magnesikus 40 % (4 gram) disuntikan IM pada bokong kiri


dan kanan sebagai dosis permulaan, dan dapat diulang 4 gram tiap 6 jam

menurut keadaan.
Klorpromazin 50 mg IM
Diazepam 20 mg IM.

I. Seksio Sesarea
1. Definisi seksio sesarea
Seksio sesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka
dinding perut dan dinding uterus. Terdapat beberapa cara seksio sesarea yang dikenal
saat ini, yaitu (Lukito, 2002; Elridge, 2000) :

Seksio sesarea transperitonealis profunda


Seksio sesarea klasik / corporal
Seksio sesarea ekstraperitoneal
Seksio sesarea dengan teknik histerektomi
Teknik yang saat ini lebih sering digunakan adalah teknik seksio sesarea

transperitoneal profunda dengan insisi di segmen bawah uterus. Keunggulan teknik


seksio sesarea transperitonealis profunda antara lain kuat (Lukito, 2002) :
Perdarahan akibat luka insisi tidak begitu banyak
Bahaya peritonitis tidak terlalu besar
Parut pada uterus umumnya kuat, sehingga bahaya ruptura uteri di masa mendatang
tidak besar karena dalam masa nifas segmen bawah uterus tidak mengalami
kontraksi yang kuat seperti korpus uteri. Hal ini menyebabkan luka dapat sembuh
lebih sempurna
2. Indikasi seksio sesarea
a. Indikasi ibu

Panggul sempit
Tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi
Stenosis serviks uteri atau vagina
15

Perdarahan ante partum


Disproporsi janin dan panggul
Bakat ruptura uteri
Preeklampsia / hipertensi

b. Indikasi janin
Kelainan letak
- Letak lintang
- Letak sungsang
- Letak dahi dan letak muka dengan dagu di belakang
- Presentasi ganda
- Kelainan letak pada gemelli anak pertama
Gawat janin
c. Indikasi waktu / profilaksis

Partus lama
Partus macet / tidak maju

d. Kontra indikasi

Infeksi intra uterin


Janin mati
Syok / anemia berat yang belum diatasi
Kelainan kongenital berat (Lukito, 2002)

3. Komplikasi seksio sesarea


Faktor-faktor yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas pembedahan antara
lain kelainan atau gangguan yang menjadi indikasi untuk melakukan pembedahan, dan
lamanya persalinan berlangsung. Beberapa komplikasi yang dapat timbul antara lain
sebagai berikut :
a. Infeksi puerperal
Infeksi puerperal yang terjadi bisa bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama
beberapa hari dalam masa nifas. Komplikasi yang terjadi juga bisa bersifat berat,
seperti peritonitis, sepsis, dan sebagainya. Infeksi pasca operatif terjadi apabila
sebelum pembedahan sudah terdapat gejalagejala infeksi intrapartum, atau ada
faktorfaktor yang merupakan predisposisi terhadap kelainan tersebut. Bahaya infeksi
dapat diperkecil dengan pemberian antibiotika, namun tidak dapat dihilangkan sama
sekali.
b. Perdarahan

16

Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabang-cabang


ateria uterina ikut terbuka, atau karena terjadinya atonia uteri.
c. Komplikasikomplikasi lain
Komplikasi lain yang dapat terjadi antara lain adalah luka kandung kencing dan
terjadinya embolisme paru.
d. Suatu komplikasi yang baru tampak pada kemudian hari
Komplikasi jenis ini yaitu kemungkinan terjadinya ruputra uteri pada masa
kehamilan yang selanjutnya. Hal ini disebabkan oleh kurang kuatnya parut pada
dinding uterus. Komplikasi ini lebih sering ditemukan setelah dilakukan metode seksio
sesarea klasik.
e. Komplikasi pada anak
Nasib anak yang dilahirkan dengan seksio sesarea banyak tergantung dari
keadaan yang menjadi alasan untuk melakukan seksio sesarea. Menurut statistik di
negara-negara dengan pengawasan antenatal dan intra natal yang baik, kematian
perinatal pasca seksio sesarea berkisar antara 4% dan 7% (Lukito, 2002).

17

BAB III
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama

: Ny. Iin Nurul

Umur

: 21 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Diagnosis pre operatif

: PEB pada primigravida hamil aterm belum dalam persalinan

Macam Operasi
Macam Anestesi

: Seksio sesarea emergency


: Anestesi spinal

Tanggal Masuk

:22 Agustus 2014

Tanggal Operasi

: 22 Agustus 2014

B. Pemeriksaan Pra Anestesi


1. Anamnesa
a. Keluhan utama
b. Riwayat penyakit sekarang

: Kaki bengkak
:

Seorang G1P0A0 datang kerumah sakit dokter moewardi dengan keluhan


kaki bengkak sejak 1 hari SMRS. Pasien merasa hamil 9 bulan, gerakan janin
masih dirasakan, pasien belum merasakan kenceng-kenceng teratur, pasien belum
merasakan air kawah keluar, tidak keluar lendir darah, pasien tidak merasa nyeri
kepala, pandangan tidak kabur, tidak merasakan nyeri ulu hati dan sesak nafas.
Pasien akan terakhir 10 jam yang lalu dan minum terakhir 6 jam yang lalu.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
18

Riwayat Asma

: (-)

Riwayat Alergi

: (-)

Hipertensi

: (-)

Diabetus Mellitus

: (-)

Operasi

: (-)

2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
b. Vital sign

: Baik, compos mentis, gizi kesan cukup


:

Tekanan darah

: 150/90 mmHg

Nadi

: 108 x/mnt, reguler, isi cukup

Respiratory Rate

: 20 x/mnt

Suhu

: 36,7oC

Berat Badan

: 60 Kg

Tinggi badan

: 150 Cm

Saturasi O2

: 99% dengan nasal canul 3 lpm

c. Status generalis :
Mata

: Konjungtiva anemis (-/-) Sklera Ikterik (-/-),pupil isokor

Airway

Hidung

: Sekret (-), devisiasi septum (-)

Mulut

: Mukosa lembab, buka mulut 3 jari, malampati I

Leher

: Gerak leher bebas

TMD >6cm, trachea di tengah,

gerak leher bebas.


Breathing

Thorax

: Retraksi (-), gerakan dada simetris

Paru

: Suara dasar vesikuler (+/+) suara tambahan (-/-)

Circulation

Cor

: BJ I-II interval meningkat, reguler, bising (-)

Ekstremitas

: Akral dingin (-/-), Edema : Superior (-/-), Inferior (+/


+), CRT < 2 detik

d. Status Obstetri
Abdomen
19

Inspeksi

: Tampak membuncit, striae alba (+), linea fuscha

(+)
Palpasi

: Supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal intra uterin,


hidup, memanjang, preskep, puka, kepala belum masuk
panggul, TFU : 29 cm, TBJ : 2500 gr, his (-)

Auskultasi

: DJJ (+) 11 12 11 reguler

Genital VT

: Vulva/uretra tenang, dinding vagina dbn, portio lunak,


mencucu dibelakang,

= - cm, kulit ketuban dan

penunjuk belum dapat dinilai,, preskep, kepala belum


masuk panggul, air ketuban (-), STLD (-).
3. Status Hidrasi
Mukosa

: Lembab

Turgor kulit

: Baik

Mata

: Tidak cekung

CRT

: < 2 detik

Tekanan Darah

: 150/90 mmHg

Nadi

: 108 x/mnt

Respiratory Rate

: 18 x/mnt

Suhu

: 36,7 oC

Produksi urine

: 50 cc/jam

Kesimpulan

: Tidak ditemukan tanda-tanda dehidrasi

4. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium darah tanggal 22 Agustus 2014 Pre-Operasi
Hemoglobin

12,0

Ureum

14

Hematocrit

36

Creatinin

0,5

Leukosit

10,6

Natrium

138

Trombosit

343

Kalium

Golongan Darah

GDS

89

HBsAg

(-)

LDH

346

PT

11,6

SGOT

26

20

3,6

APTT

28,3

SGPT

24

INR

0,900

Albumin

3,4

Proteinuria

+2

Calium

109

2. USG abdomen tanggal 22 Agustus 2014 Pre-Operasi


a. Tampak janin tunggal, IU, memanjang, punggung di kanan, preskep, DJJ (+)
dengan fetal biometri BPD 71, AC 270, FL 59 dan EFBW 1560 gr.
b. Plasenta berinsersi di corpus kiri grade II, air ketuban kesan cukup, tidak
tampak jelas kelainan kelainan congenital mayor. Kesan janin dalam keadaan
baik
5. Diagnosa
a. Obstetri ginekologi
PEB pada primigravida h. aterm bdp
b. Anestesiologi
Wanita 21 tahun dengan PEB pada primigravida hamil aterm bdp pro
SCTP -E Plan RASAB status fisik ASA II E
6. Problem
Eklamsia
7. Potensial Problem
Perdarahan
Atonia uteri
Stroke
8. Kesimpulan
Seorang wanita, 21 tahun, G1P0A0, datang kerumah sakit daerah dr. moewardi
dengan keluhan bengkak pada kaki sejak 1 hari SMRS, merasa hamil 9 bulan. Pada
pemeriksan USG abdomen tidak terdapat kelainan pada janin yang dikandung, kesan
janin dalam keadaan baik. Pasien didiagnosis dengan PEB pada primigravida h. aterm
bdp. Dari hasil pemeriksaan fisik, didapatkan tekanan darah 150/90 mmHg, kegawatan
(+), status fisik ASA II E.

21

BAB IV
LAPORAN ANESTESI
A. Rencana Anestesi
1. Persiapan Operasi
a. Persetujuan operasi tertulis ( + )
b. Puasa > 6 jam
c. Infus RL 30 tetes / menit
2. Jenis Anestesi

: Regional Anestesi Sub Aracnoid Blok (spinal anestesi)

3. Teknik Anestesi

: Spinal Blok Anestesi, Spinal needle no 27 L3-4 medial

4.
5. Premedikasi

: Metoklopropamid 10 mg

6. Agen anestesi

: Fentanyl 25 mcg + bupivacain 0,5% 12,5 mg

7. Maintenance

: 02 = 2 L/menit
8. Monitoring

: tanda vital selama operasi tiap 10 menit, awasi

penurunan tekanan darah, cairan, perdarahan, ketenangan pasien


dan tanda-tanda komplikasi anestesi
9. Perawatan pasca anestesi di ruang pemulihan
B. Tata Laksana Anestesi
1. Di ruang Persiapan
a. Cek persetujuan operasi
b. Periksa tanda vital dan keadaan umum
c. Lama puasa > 6 jam
d. Cek obat-obat dan alat anestesi
e. Infus RL 30 tetes/menit
f. Injeksi Metoklopropamid 10 mg IV
g. Posisi terlentang
h. Pakaian pasien diganti pakaian operasi
2. Di ruang Operasi
a. Jam 17.50 pasien masuk kamar operasi, manset dan monitor dipasang
b. Jam 18.00 mulai dilakukan anestesi spinal dengan prosedur sebagai berikut :
22

1). Pasien minta duduk dengan punggung flexi maksimal.


2). Dilakukan tindakan antisepsis pada daerah kulit punggung bawah pasien
dengan menggunakan larutan iodin 1% + Alkohol 70%
3). Menggunakan sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan
menyuntikkan jarum spinal no 27 pada bidang median dengan arah 10-30
derajat terhadap bidang horisontal ke arah kranial pada ruang antar vertebra
lumbal 3-4.
4). Setelah jarum sampai di ruang subarachnoid yang ditandai seperti
menembus kertas, stilet dicabut, cairan LCS menetes, aspirasi +
disuntikkan Fentanyl 25 mcg + bupivacain 0,5% 12,5 mg
5). Lokasi penyuntikan ditutup dengan perban.
6). Pasien dikembalikan pada posisi telentang, dan kepala diekestensikan,
Canul oksigen dipasang pada hidung dengan maintenance O2 3 L/menit.
7). Cek ketinggian blok
c. Jam 18.05 operasi dimulai, selama operasi dimonitor tanda vital dan saturasi O2
tiap 10 menit.
d. Jam 18.20 bayi dilahirkan perabdominal, jenis kelamin laki-laki, berat badan
3000 gram, APGAR 8-9-10, anus (+).Berikan methergin 200mcg secara IV dan
oxytocin drip 10 i.
e. Jam 18.25 plasenta dilahirkan per abdominal lengkap dengan insersio
parasentral.
f. Jam 19.00 Operasi selesai, pasien dipindahkan ke ruang pemulihan.
Monitoring Selama Anestesi
Jam
18.00
18.10
18.20
18.30
18.40
18.50
19.00

Tensi (mmHg)
150/91
143/86
132/80
135/82
139/83
135/82
131/83

Nadi (X/menit)
92
83
80
84
80
83
83

23

Sp O2 (%)
99%
99%
99%
99%
99%
99%
98%

3. Di ruang pemulihan
a. Jam 19.05

: Pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dalam

keadaan sadar penuh dalam keadaan posisi terlentang, diberikan


O2 3 liter/menit, apabila skor bromage 2.
b. Jam 19.20

: Pasien dipindah ke ruang perawatan khusus

obsgin.
Monitoring Pasca Anestesi:
Jam
19.05
20.05

Tensi
140/80
130/70

Nadi
84
84

RR
20
22

Terapi Cairan

EBV
ABL
Puasa
Maintenance
Stress Operasi
Kebutuhan jam I
120 + 360 cc
Kebutuhan jam II
120 + 360 cc

= 65 cc/kg x 60 kg = 3900 cc
= 20% x 3900 =780 cc
= terpenuhi
= 120 cc/jam
= 6 x 60 = 360 cc/jam
= 480 cc
= 480 cc

BAB V
KESIMPULAN
Dalam suatu tindakan anestesi banyak hal yang harus diperhatikan agar tindakan
anestesi tersebut dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan anestesi. Anastesi umum
24

dalam persalinan harus dilakukan dengan mempertimbangkan keamanan ibu dan bayi. Dalam
hal ini pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang
melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang baik dan teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi
pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya
serta dapat menentukan teknik anestesi yang akan dipakai. Selain itu, pemilihan obat dan
dosisnya harus benar-benar diperhatikan agar tidak mendepresi janin, dimana hampir
semuanya dapat mendepresi nafas janin.
Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi regional dengan
menggunakan teknik anestesi spinal pada penderita wanita dengan pada primigravida hamil
aterm belum dalam persalinan, ASA II E dengan menggunakan agent anestesi fentanyl 25 mcg
+ bupivacain 0,5% 12,5 mg, maintenance O2 3 lt/menit.
.

DAFTAR PUSTAKA
Carpenter Randall, Caplan R., Brown D., Stephenson C ., Wu Rae (2002). Insidence and Risk
Factor for Side Effect of Spinal Anesthesia, Anesthesiology, 76:6, 906-916.

25

Casey WF. 2000. Spinal Anaesthesia-a Practical Guide. World federation of Societies of
anaesthesiologists. Oxford. P: 1.
Guyton AC, Hall JE (1996). Buku ajar fisiologi kedokteran (terjemahan). Edisi 9. Jakarta:
EGC; 1063-76, 1203-37.
Hidayat R (2006). Perbedaan efek kardiovaskuler pada anestesi inhalasi enfluran antara
teknik medium flow dan high flow semi closed system. Semarang.
Lukito Husodo (2002). Pembedahan dengan laparotomi. Di dalam : Wiknjosastro H, editor.
Ilmu kebidanan, edisi ketiga. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo :
863 875
Morgan, Edward G., Mikhail, Maged S., and Murray, Michael J. (2002). Clinical
Anesthesiology. (3rd ed). New York : Mc Graw- Hill Companies Inc
Robert RG. 2000. Spinal, Epidural and Caudal Anesthesia, In: David EL, Frank LM eds.
Introduction to anesthesia. 9 th ed. Philadelpia: WB Sauders Company. Pp: 216-232.
Ruswan Dachlan, (1999). Persiapan Pra Anestesi, dalam Anestesiology, Bagian
Anestesiology dan Terapi Intensif. Fakultas Kedokteran UI, Jakarta. Hal: 34-35.
Oyston J (2000). A guide to spinal anaesthesia for caesarean section.
Scott D (1997). Spinal anaesthesia and specific cardiovascular conditions.
Tohaga E (1998). Hubungan antara dosis preload dengan perubahan tekanan darah pada
operasi dengan teknik anestesi spinal. Semarang

26

27

Anda mungkin juga menyukai