Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

ANESTESI UMUM INTRAVENA

Disusun Oleh:
Candra Farid Rifai 20360070

Pembimbing:
dr. M. Winardi S. Lesmana, Sp.An.

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ANASTESI


RUMAH SAKIT HAJI MEDAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
2021
BAB I

PENDAHULUAN

Anestesia berarti pembiusan, kata ini berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa"
dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa". Istilah anestesi digunakan pertama kali
oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. Anestesi umum adalah tindakan
meniadakan nyeri secara sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih
kembali (reversible).

Komponen anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari : hipnotik, analgesia dan
relaksasi otot. Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasan dengan
pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi. Tahapannya mencakup
premedikasi, induksi, maintenance, dan pemulihan. Metode anestesi umum dapat dilakukan
dengan 3 cara: antara lain secaara parenteral melalui intravena dan intramuskular, perrektal
(biasanya untuk anak-anak) dan inhalasi. Yang akan saya bahas adalah mengenai anestesi
umum intravena.

Anestesi umum intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur intravena,
baik untuk tujuan hipnotik, analgetik ataupun pelumpuh otot. Anestesi yang ideal akan
bekerja secara cepat dan baik serta mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah
pemberian dihentikan. Selain itu batas keamanan pemakaian harus cukup lebar dengan efek
samping yang sangat minimal. Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek yang
diharapkan tanpa efek samping, bila diberikan secara tunggal. Kombinasi beberapa obat
mungkin akan saling berpotensi atau efek salah satu obat dapat menutupi pengaruh obat yang
lain.

Anestesi umum intravena ini penting untuk kita ketahui karena selain dapat digunakan
dalam pembedahan dikamar operasi, juga dapat menenangkan pasien dalam keadaan gawat
darurat. Oleh karena itu sebagai dokter umum, sebaiknya kita mengetahu tentang anestessi
umum intravena.

2
BAB II
PEMBAHASAN

II.1 ANESTESI UMUM INTRAVENA


Anestesi umum intravena adalah anestesi yang diberikan melalui jalur intravena, baik
untuk tujuan hipnotik, analgetik ataupun pelumpuh otot. Tahapan tindakan yang dilakukan
untuk anestesi umum intravena antara lain 1) penilaian dan persiapan pra anestesi meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, klasifikasi status fisik, masukan
oral, dan premedikasi. 2) induksi obat anestesi intravena beserta pemeliharaan dan 3)
pemulihan. Obat anestesi intravena setelah berada di dalam vena, obat-obat ini akan
diedarkan ke seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi sistemik. Obat anestesi yang ideal
memiliki sifat: 1) hipnotik dengan onset cepat serta mengembalikan kesadaran dengan cepat
segera sesudah pemberian dihentikan; 2) analgetik; 3) amnesia; 4) memiliki antagonis; 5)
cepat dieliminasi; 6) depresi kardiovaskular dan pernafasan tidak ada atau minimal; 7)
farmakokinetik tidak dipengaruhi atau minimal terhadap disfungsi organ.(1)
Indikasi anestesi intravena antara lain untuk: 1) induksi anestesia; 2) induksi dan
pemeliharaan anestesi pada pembedahan singkat; 3) menambahkan efek hipnosis pada
anestesi inhalasi dan anestesi regional; 4) menambahkan sedasi pada tindakan medik(1)
Cara pemberian dapat berupa : 1) suntikan intravena tunggal untuk induksi anestesi
atau pada operasi-operasi singkat hanya obat ini saja yang dipakai; 2) suntikan berulang
untuk prosedur yang tidak memerlukan anestesi inhalasi dengan dosis ulangan lebih kecil dari
dosis permulaan, 3) Melalui infus, untuk menambah daya anestesi inhalasi. (2)
Tingkat pemberian obat tiap ndividu sangat bervariasi dalam respon mereka terhadap
dosis obat yang diberikan atau konsentrasi, dan oleh karena itu penting untuk titrasi untuk
tingkat obat yang memadai untuk setiap pasien. Obat konsentrasi yang diperlukan untuk
memberikan anestesi yang memadai juga bervariasi sesuai dengan jenis operasi (misalnya,
permukaan bedah dibandingkan pembedahan perut bagian atas). Akhir pembedahan
membutuhkan kadar obat yang lebih rendah, dan karenanya titrasi sering melibatkan
penurunan bijaksana laju infus menjelang akhir operasi untuk memfasilitasi pemulihan yang
cepat. (1)(2)

3
Setelah dosis muatan, tingkat infus awalnya tinggi untuk menjelaskan redistribusi
harus digunakan dan kemudian dititrasi dengan tingkat infus terendah yang akan
mempertahankan anestesi yang memadai atau sedasi. Bila menggunakan opiat sebagai bagian
dari teknik nitrous-narkotika atau anestesi jantung, skema dosis yang tercantum di bawah
anestesi yang digunakan. Ketika candu tersebut digabungkan sebagai bagian dari anestesi
seimbang, dosis yang tercantum untuk analgesia diperlukan. (1)(2)
Jika laju infus terbukti tidak mencukupi untuk mempertahankan anestesi yang
memadai, baik suntikan tambahan (bolus) dosis dan peningkatan infus diperlukan untuk
secara cepat untuk meningkatkan konsentrasi obat. Berbagai intervensi juga membutuhkan
konsentrasi obat yang lebih besar, biasanya untuk periode singkat (misalnya, laringoskopi,
intubasi endotrakeal, sayatan kulit) Oleh karena itu, skema infus harus disesuaikan untuk
memberikan konsentrasi puncaknya selama periode singkat stimulasi intens. Tingkat obat
yang memadai untuk intubasi endotrakeal sering dicapai dengan dosis pemberian awal, tapi
untuk prosedur seperti sayatan kulit, dosis bolus lanjut mungkin diperlukan. (1)(2)

II.2 PENILAIAN DAN PERSIAPAN PRA ANESTESI


Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya kecelakaan
dalam anestesi. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan kunjungan pasien terlebih
dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan bugar. Tujuan dari
kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya
operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. (3)
II.2.1 Penilaian pra bedah
II.2.1.A Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat
perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak
nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang anestesi berikutnya dengan lebih baik.
Beberapa peneliti menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa
lampau sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang
dalam waktu tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga
jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya. (3)

4
II.2.1.B Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi.
Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan
rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua system organ tubuh pasien. (3)

II.2.1.C Pemeriksaan laboratorium


Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan
darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada
usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks. (3)

II.2.1.D Kebugaran untuk anestesia


Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar
pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan yang tidak perlu
harus dihindari. (3)

II.2.1.E Klasifikasi status fisik


Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang
adalah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA).
Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko anestesia, karena dampaksamping
anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan. (2)(3)
➢ Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
➢ Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
➢ Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik sedang atau berat, sehingga
aktivitas rutin terbatas.
➢ Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik sedang atau berat tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya
setiap saat.
➢ Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

5
➢ Kelas VI : Pasien yang mati batang otak dan akan diambil organnya untuk
transplantasi.

II.2.1.F Masukan oral


Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada
pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua
pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan
dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia.(3)
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada
bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebeluminduksi anestesia.
Minuman bening, air putih teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat
air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesia. (3)

II.2.1.G Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya adalah dilakukan
premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesi diberi dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya:
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
a. Menghilangkan rasa khawatir melalui:
i. Kunjungan pre anestesi
ii. Pengertian masalah yang dihadapi
iii. Keyakinan akan keberhasilan operasi
b. Memberikan ketenangan (sedative)
c. Membuat amnesia
d. Mengurangi rasa sakit (analgesic non/narkotik)
e. Mencegah mual dan muntah
2. Memudahkan atau memperlancar induksi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
3. Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
4. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur)
5. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
6
a. Pemberian antikolinergik atropine, primperan, rantin, H2 antagonis
6. Mengurangi rasa sakit.(2)(3)

Waktu dan cara pemberian premedikasi:


Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1 jam, secara
intramuscular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang sangat darurat
dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-obat dapat diberikan
secara intravena, obat akan efektif dalam 3 - 5 menit. Obat akan sangat efektif
sebelum induksi. Bila pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan
pemberian premedikasi intramuscular, subkutan tidak dianjurkan. Semua obat
premedikasi bila diberikan secara intravena dapat menyebabkan sedikit hipotensi
kecuali atropine dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian secara
perlahan-lahan dan diencerkan.(3)

Obat-obat yang sering digunakan:


1. Analgesik narkotik
a. Morfin ( amp 1cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
Morfin adalah alkaloid golongan
fenantren. Morfin memiliki gugus OH
fenolik dan gugus OH alkoholik. Atom
hidrogen pada kedua gugus itu dapat
diganti oleh berbagai gugus membentuk
berbagai alkaloid opium. (1)(4)
Farmakokinetik: morfin diabsorbsi
diusus. Setelah pemberian dosis tunggal,
sebagian morfin mengalami konjugasi dengan asam glukoronat dihepar,
sebagian keluar dalam bentuk bebas dan 10 % tidak diketahui nasibnya.
Morfin melintasi sawar uri dan mempengaruhi janin. Eksresi morfin terutama
melalui ginjal, sebagian kecil ditinja dan keringat. (1) (4)
Farmakodinamik: morfin memiliki efek analgetik dan narkose
terhadap susunan saraf pusat. Efek analgetik terutama ditimbulkan akibat kerja
opioid pada reseptor μ, selain itu juga memiliki afinitas yang lemah terhadap
7
terhadap reseptor δ dan reseptor κ. Reseptor μ, κ, dan δ banyak didapatkan
pada kornu dorsalis medula spinalis. Reseptor didapatkan baik pada saraf yang
mentransmisi nyeri dimedula spinalis maupun pada aferen primer yang
melerai nyeri. Agonis opioid melalu reseptor μ, δ, dan κ pada ujung prasinaps
aferen primer nosiseptif mengurangi pelepasan transmiter, dan selanjutnya
menghambat saraf yang mentransmisi nyeri di kornu dorsalis medula spinalis,
selain itu μ agonis menimbulkan efek inhibisi pascasinaps melalui reseptor μ
di otak. Terjadi perubahan reaksi terhadap stimulus nyeri itu. Pasien
mengatakan bahwa nyeri masih ada tetapi ia tidak menderita lagi. Efek
narkose, morfin dosis kecil (5-10mg) menimbulkan euforia pada pasien yang
menderita nyeri, sedih, gelisah sebaliknya pada orang normal akan
menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut. Morfin menimbulkan
rasa kantuk, tidak dapat berkonsentrasi sukar berfikir, apatis dan aktivitas
motorik berkurang. Miosis yang ditimbulkan morfin akibat kerjanya pada
reseptor μ dan κ oleh perangsangan pada segmen otonom inti saraf
okulomotorius. Miosis dapat dilawan dengan atropin. Pada intoksikasi morfin
didapatkan pin point pupils. Depresi nafas terjadi berdasarkan efek langsung
terhadap pusat nafas dibatang otak, terjadi penurunan frekuensi nafas, volume
semenit dan tidal exchange, akibat PCO2 dalam darah dan udara alveolar
meningkat dan kadar O2 dalam darah menurun. Kepekaaan pusat nafas
terhadap CO2 berkurang. Kadar CO2 5% tidak lagi menimbulkan peninggiian
ventilasi pulmonal. Morfin dan derivatnya menghambat refleks batuk, tetapi
tidak sekuat kodein. Mual dan muntah, efek emetik terjadi berdasarkan
stimulasi langsung pada Emetic chemoreseptor trigger zone (CTZ) di area
postrema medula oblongata bukan oleh stimulasi pusat emetik sendiri. (1) (4)
Morfin berefek langsung ke saluran cerna bukan memalui SSP. Morfin
menghambat sekresi HCl secara lemah, menyebabkan pergerakan lambung
berkurang, sehingga pergerakan isi lambung ke duodenum diperlambat.
Morfin juga mengurangi sekresi empedu dan pankreas, dan memperlambat
pencernaan makanan diusus halus. Diusus besar morfin mengurangi atau
menghilangkan gerakan propulsi usus besar, meninggikan tonus usus besar
dan menyebabkan spasme usus besar akibatanya penerusan isi kolon menjadi
lambat dan tinja menjadi keras. Morfin menyebabkan peningkatan tekanan
8
dalam duktus koledokus daan efek ini dapat menetap dalam 2 jam keadaan ini
disertai dengan perasaan tidak enak di epigastrium sampai nyeri kolik berat.
Dosis terapi morfin tidak berpengaruh ke kardiovaskular, perubahan
kardiovaskular terjadi akibat efek depresi pada pusat vagus dan pusat
vasomotor yang baru terjadi pada dosis toksik. Yang mungkin dialami pasien
adalah hipotensi orthostatik dan dapat jatuh pingsan akibat vasodilatasi perifer
yang terjadi karena efek langsung terhadap pembuluh darah kecil. Morfin
merendahkan tonus uterus pada masa haid dan menyebabkan uterus lebih
tahan terhadap renggangan oleh karena itulah morfin digunakan untuk obat
dismenore. Karena pelepasan histamin, menyebabkan pelebaran pembuluh
darah kulit sehingga kulit tampak merah dan terasa panas, berkeringat, dan
kadang gatal-gatal. Setelah pemberian morfin volume urin berkurang,
disebabkan merendahnya laju filtrasi glomerulus, alir aliran ginjal dan
penglepasan ADH. (1) (4)
Dosis dan sediaan. yang biasa digunakan ialah garam HCl, garam
sulfat, atau fosfat alkaloid morfin, dengan sediaan 1 amp 10mg/ml. dosis yang
digunakan 0,1 mg/KgBB. Efektivitas morfin peroral hanya 1/6-1/5 kali morfin
subkutan. Pemberian 60 mg morfin per oral memberi efek analgetik sedikit
lebih lemah dan masa kerja lebih panjang dari pada pemberian 8 mg morfin
IM. (1) (3)(4)
Efek samping. Morfin menyebabkan idiosinkrasi dan alergi yaitu
menyebabkan mual dan munta terutama pada wanita, urtikaria, eksantem,
dermatitis kontak, pruritus dan bersin. Pada intoksikasi akut, pasien akan
tertidur sopor atau koma jika intoksikasi cukup berat. Frekuensi nafas
terlambat, 2-4x/menit, pernafasan Cheyne Stokes, sianotik, muka merah agak
kebiruan, sampai terjadi syok, dan pin point pupils. (1) (4)(5)

b. Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB


Petidin atau meperidin
merupakan derivat fenilpiperidin.
Secara kimia adalah etil-1metil-
4-fenilpiperidin-4-karboksilat.

9
Farmakokinetik: kadar puncak dalam plasma biasanya dicapai dalam 45
menit dan kadar yang dicapai sangat bervariasi antar individu. Setelah
pemberian lintas oral, sekitar 50% obat mengalami metabolisme lintas pertama
dan kadar maksimal dalam plasma tercapai dalam 1-2 jam, setelah pemberian
secara IV, kadar dalam plasma menurun secara cepat dalam 1-2 jam pertama,
kemudian penurunan berlangsung dengan lambat. Kurang lebih 6% petidin
terikat dengan protein dalam plasma. Petidin dimetabolisme didalam hati,
dihidrolisis menjadi asam meperidinat yang selanjutnya mengalami konjugasi.
Masa paruhnya ± 3 jam. Pada pasien sirosis hati bioavaibilitasnya meningkat
menjadi 80%. Dan masa paruhnya memanjang. (1) (4)
Farmakodinamik: petidin atau meperidin bekerja pada reseptor μ.
Pada susunan saraf pusat petidin menimbulkan analgesia, sedasi, euforia,
depresi nafas, dan efek sentral lain. Efek analgesia petidin mulai timbul 15
menit setelah pemberian oral dan mencapai puncak dalam 2 jam. Efek
analgetik lebih cepat timbul dengan pemberian secara subkutan dan IM sekitar
10 menit, mencapai puncak dalam 1 jam dan masa kerjanya 3-5 jam.
Efektifitaspetidin 75-100mg parenteral kurang lebih sama dengan 10mg
morfin. Bioavaibilitas peroral 40-60%, maka bila diberikan per parenteral
diberikan setengahnya. Sedasi, euforia dan eksitasi, pemberian petidin kepada
pasien yang nyeri atau cemas akan menimbulkan euforia. Dosis toksik petidin
menimbulkan perangsangan SSP, berupa tremor, kedutan otot, dan konvulsi.
Petidin depresi nafas dengan menurunkan kepekaan pusat nafas terhadap CO2
dan mempengaruhi pusat yang mengatur irama nafas dalam pons. Petidin
menurunkan tidal volume, sedangkan frekuensi nafas kurang dipengaruhi.
Sebaliknya morfin terutama menimbulkan penurunan frekuensi nafas.
Kardiovaskular, pemberian petidin pada pasien berbaring tidak mempengaruhi
kardiovaskular. Bila berobat jalan dapat menyebabkan sinkop akibat
penurunan tekanan darah akibat depresi nafas yang menyebabkan peningkatan
kadar CO2, mengakibatkan dilatasi pembuluh darah otak sehingga timbul
kenaikan tekanan cairan cerebrospinal. Petidin tidak menimbulkan konstipasi
sekuat morfin. Uterus, dosis terapi petidin yang diberikan sewaktu partus tidak
memperlambat kelangsungan partus dan tidak mengubah kontraksi uterus, dan

10
juga tidak mengganggu kontraksi atau involusi uterus pascapersalinan dan
tidak menambah frekuensi perdarahan pasca persalinan. (1) (4)
Dosis. Meperidin HCl tersedia dalam bentuk tablet 50mg dan 100mg
dan ampul 2ml/100mg. pemberian petidin biasanya peroral atau IM.
Pemberian IV menimbulkan reaksi lebih sering dan lebih berat. Pemberian 50-
100mgpetidin secara parenteral menghilangkan nyeri sedang atau hebat pada
sebagian besar pasien. (1) (3) (4)
Efek samping. Berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering,
mual, muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia,
sinkop dan sedasi. Pada pasien dengan penyakit hati dan orangtua, dosis obat
harus dikurangi karena terjadinya perubahan disposisi obat. Bila obat
diberikan bersama antipsikosis, hipnotik sedatif, dan obat-obat lain penekan
SSP, dosis obat juga harus dikurangi. (1) (4) (5)

c. Fentanyl ( fl 10cc = 500


mg), dosis 1-3µgr/kgBB
Fentanil merupakan
obat dari golongan opioid
yang banyak digunakan
dalam anestesi,
kekuatannya 100 X morfin. Dalam dosis kecil (1µg/kgBB, IV) fentanil
memiliki onset dan durasi kerja yang singkat (20-30 menit) dan menimbulkan
efek sedasi sedang. Dalam dosis besar (50-150µg/kgBB, IV) didapatkan sedasi
yang dalam serta penurunan kesadaran, dan kadang didapatkan kekakuan otot
dada. (1) (4)
Farmakokinetik. Farmakokinetik fentanil bervariasi pada tiap individu.
Setelah pemberian melalui bolus intravena, konsentrasi plasma turun dengan
cepat (waktu paruh distribusi sekitar 13 menit). Waktu paruh berkisar antara 3-
4 jam dan dapat memanjang hingga 7-8 jam pada beberapa pasien.(5) Setelah
suntikan intravena ambilan dan distribusinya hampir sama dengan morfin
tetapi fraksi terbesar dirusak oleh paru ketika pertama kali melewatinya.
Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi,

11
metabolit dapat didapatkan di darah dalam 1-2 menit setelah pemberian. Sisa
metabolisme dieksresikan di urin dalam beberapa hari. (1) (4) (60
Farmakodinamik. Fentanil bekerja pada reseptor spesifik di otak dan
medulla spinalis untuk menurunkan rasa nyeri dan respons emosional terhadap
nyeri. Sistem kardiovaskuler. Kardiovaskular cenderung tidak mengalami
perubahan signifikan setelah pemberian fentanil, namun kadang dalam dosis
besar dapat menyebabkan bradikardi yang memerlukan terapi atropin. Sistem
pernafasan. Seperti analgesik opioid yang lain, fentanil mendepresi pernafasan
bergantung dosis pemberiannya. Efek depresi pernafasan berlangsung lebih
lama dari efek analgesiknya. (1) (4) (6)
Dosis. Fentanil dosis 1-3µg/kgBB memiliki efek analgetik yang hanya
berlangsung 30 menit, karena itu hanya digunakan dalam pembedahan dan
tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150µg/kgBB digunakan untuk induksi
dan pemeliharaan anestesi dengan kombinasi dengan benzodiazepine dan
anestetik inhalasi dosis rendah pada bedah jantung selain itu juga dapat
mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH, rennin,
aldosteron dan kortisol. (1) (4)
Efek samping. Efek yang kurang disukai akibat pemberian fentanil adalah
kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pemberian
pelumpuh otot. (1) (4) (6)

2. Analgesik non narkotik


Obat abakgesik antipiretik serta obat antiinflamasi nonsteroid (AINS), untuk
memudahkan mari kita kelompokan jenisnya berdasarkan selektifitasnys.
Antaralain;
a. Ketorolak
Ketorolak merupakan
antigonis poten dengan efek
antiinflamasi sedang.
Absorbsi oral dan
intramuskular berlangsung
cepat mencapai puncak dalam
12
30-50 menit. Biaavailabilitas oral 80% dan hampir seluruhnya terikat protein.
Ketorolak IM sebagai analgesik pasca bedah memeperlihatkan efektivitas
sebanding morfin/petidin dosis umum; masa kerja lebih panjang dan efek
samping lebih ringan. Dosis IM 30-60mg, IV 15-30 mg. efek sampingnya
berupa nyeri ditempat suntikan, gangguan saluran cerna, kantuk, pusing , dan
sakit kepala terjadi kira-kira 2 kali placebo. Karena ketorolak sangat selektif
menghambat COX-1, maka obat ini tidak dilanjur dipakai lebih dari 5 hari
karena kemungkinan tukak lambung. (1) (4)
b. Asam mefenamat
Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik terikat sangat kuat pada protein
plasma. Bekerja menghambat siklooksigenase. Digunakan untuk kerusakan
jaringan lunak, nyeri muskuloskeletal, dan disminorea. Asam mefenamat
diabsorpsi peroral, kadar puncaknya 2-4 jam, waktu paruhnya 2-4 jam dan
50% diekskresikan melalui urin. Efek samping pada saluran cerna sering
timbul misal dispepsia, diare sampai diare berdarah dan gejala iritasi lain
terhadap mukosa lambung. Dosisnya 2-3 kali 250-500mg sehari. Di Amerika
obat ini tidak diberikan pada anak-anak dan ibu hamil dan pemberian tidak
lebuh dari 7 hari. (1) (4)
c. Natrium diklofenak
Natrium diklofenak termasuk
dalam klasifikasi selektivitas
penghambat COX, termasuk
kelompok preferential COX 2
inhibitor. Diklofenac dapat
mengurangi konsentrasi
arachidonat bebas intraseluller didalam lekosit,. Absorbsi obat melalui saluran
cerna berlangsung cepat dan lengkap. Obat ini terikat protein plasma 99% dan
mengalami efek metabolisme lintas pertama (first pass) sebesar 40-50%.
Walaupu waktu paruhnya singkat yakni 1-3 jam, natrium diklofenak
diakumulasi di cariran sinovial yang menjelaskan efek terapi di sendi jauh
lebih panjang dari waktu paruh obat tersebut. Efek sampingnya mual, gastritis,
eritema kulit dan sakit kepala juga peningkatan SGOT, SGPT. Pemakaian

13
selama kehamilan tidak dianjurkan. Dosis orang dewasa 100-150 mg sehari
terbagi 2-3-4. (1) (4)
d. Tramadol
Analog kodein sintetik merupakan agonis reseptor μ yang lemah.
Sebagian dari efek analgetiknya ditimbulkan oleh inhibisi ambilan
norepinefrin dan serotonin. Tramadol sama efektifnya dengan morfin dan
petidin untuk nyeri ringan sampai sedang, tetapi untuk nyeri berat atau kronik
lbih lemah. Untuk nyeri persalinan tramadol sama efektif dengan petidin dan
kurang menyebabkan depresi nafas pada neonatus.
Preparat tramadol merupakan campuran rasemik, yang lebih efektif
dari masing-masing enansiomernya. Enansiomer (+) berikatan dengan reseptor
μ dan menghambat ambilan serotonin. Enansiomer (-) menghambat ambilan
norepinefrin dan merangsang reseptor α2-adrenergik.
Tramadol mengalami metabolisme di hati dan ekskresi oleh ginjal,
dengan masa paruh eliminasi 6 jam unutk tramadol dan 7,5 jam untuk
metabolit aktifnya. Analgesia timbul 1 jam setelah penggunaan secara oral.
Mencapai puncak 2-3 jam dan lama analgesia sekitar 6 jam. Dosis maksimum
perhari 400mg.
Efek samping yang umum mual, muntah, pusing, mulut kering, sedasi,
dan skit kepala. Depresi pernafasan nampaknya kurang dibanding morfin.

3. Hipnotik
a. Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b. Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
4. Sedatif
a. Diazepam/valium/stesolid ( amp 2cc = 10mg), dosis 0,1 mg/kgBB
b. Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis 0,1mg/kgBB
Golongan benzodiazepin yang sering digunakan adalah adalah
Diazepam (valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Miloz). Diazepam
dan lorazepam tidak larut dalam air. Diazepam tersedia dalam sediaan emulsi
lemak (Diazemuls), sedangkan midazolam merupakan benzodiazepin yang
larut air yang tersedia dalam larutan dengan PH 3,5.
Midazolam

14
Golongan benzodiazepine bekerja sebagai hipnotik, sedative, amnestik,
antikonvulsan, pelumpuh otot yang bekerja sentral. Benzodiazepine bekerja
pada reseptor GABAA. Afinitas pada reseptor GABAA berurutan seperti
berikut lorazepam > midazolam > diazepam. Reseptor spesifik
benzodiazepine akan berikatan pada komponen gamma yang terdapat pada
reseptor GABA. (1) (4)
Farmakokinetik. Ketiga macam obat golongan benzodiazepines yang
banyak digunakan dalam anestesi diklasifikasikan sebagai berikut: 1.)
Midazolam (short-lasting); 2.) lorazepam (intermediate-lasting); 3.) diazepam
(long-acting), berdasarkan metabolism dan bersihan dari plasma. Rasio
bersihan midazolam berkisar antara 6-11 ml/kg/menit, sedangkan lorazepam
0.8-1.8 ml/kg/menit dan diazepam 0.2-0.5 ml/kg/menit. Walaupun terminasi
kerja dari obat ini terutama dipengaruhi oleh redistribusi obat dari SSP ke
jaringan lain setelah penggunaan untuk anestesi, pemberian berulang, atau
infuse berkelanjutan, kadar midazolam dalam darah turun lebih cepat
dibandingkan yang lain karena bersihan hati yang lebih besar.(7) Hasil
metabolisme dari benzodiazepines menjadi penting. Diazepam membentuk 2
macam metabolit aktif yaitu, oxazepam dan desmethyldiazepam yang
memperkuat dan memperpanjang efek obat. Midazolam mengalami
biotransformasi menjadi hydroxymidazolam yang memiliki potensi 20-30%
dari midazolam. Metabolit-metabolit ini diekskresikan melalui urin dan dapat
menyebabkan sedasi yang dalam pada pasien dengan gangguan ginjal. Pada
pasien yang sehat, hydroxymidazolam lebih cepat diekskresikan dibanding
midazolam. (1) (4 )(5)
Faktor yang mempengaruhi farmakokinetik dari benzodiazepine antara
lain usia, jenis kelamin, ras, induksi enzim, gangguan hepar & ginjal.
Diazepam sensitive terhadap hal-hal tersebut di atas terutama usia, usia yang
bertambah mengurangi kecepatan bersihan diazepam dari tubuh secara
signifikan, hal ini juga didapatkan pada midazolam namun dalam derajat yang
15
lebih rendah. Kebiasaan merokok sebaliknya mempercepat klirens diazepam.
Klirens midazolam tidak dipengaruhi kebiasaan merokok tetapi konsumsi
alcohol, pada pasien dengan kebiasaan mengkonsumsi alkohol klirens
midazolam akan mengalami percepatan Farmakokinetik lorazepam tidak
dipengaruhi usia, jenis kelamin ataupun gangguan ginjal. Ketiga obat ini
dipengaruhi oleh obesitas. Volume distribusi meningkat akibat perpindahan
dari plasma ke jaringan adipose. Walaupun tidak mempengaruhi klirens,
namun waktu paruh menjadi lebih panjang, sehingga pemulihan akan
didapatkan lebih lambat pada pasien dengan obesitas. (1) (4)
Midazolam dan diazepam memiliki onset yang lebih cepat yaitu 30-60
detik dibanding lorazepam (60-120 detik). Waktu paruh midazolam berkisar
antara 2-3 menit, 2 kali lebih panjang dibanding diazepam, namun kekuatan
lorazepam 6 kali lipat dari diazepam. (6) Sama seperti onset, durasi kerja juga
bergantung kelarutan dalam lemak dan kadar dalam darah. Redistribusi
midazolam dan diazepam lebih cepat dibanding lorazepam yang kemungkinan
diakibatkan dari kelarutan dalam lemak lorazepam yang lebih rendah.
Sehingga durasi kerja lorazepam lebih panjang dibanding diazepam dan
midazolam. (1) (4)
Farmakodinamik. Benzodiazepine menimbulkan efek amnesia, anti
kejang, hipnotik, relaksasi otot dan sedasi tanpa efek analgetik. Bergantung
dari dosisnya, juga menurunkan kebutuhan oksigen otak dan aliran darah ke
otak serta laju metabolism otak. Midazolam dan diazepam bergantung dari
dosisnya juga memiliki efek proteksi dari hipoksia serebral. Efek perlindungan
midazolam didapatkan lebih nyata dari diazepam. Sistem kardiovaskuler.
Perubahan yang mungkin paling jelas adalah penurunan tekanan darah yang
ringan akaibat penurunan resistensi vaskular sistemik. Efek ini didapatkan
sedikit lebih nyata pada pemberian midazolam namun perubahan tekanan
darah ini kurang lebih sama seperti pemberian thiopental. Bahkan dosis
0.2mg/kgBB dilaporkan aman untuk induksi pada pasien dengan stenosis
aorta. Benzodiazepine tidak mempengaruhi mekanisme refleks homeostatik,
oleh karena itu hemodinamik relatif stabil. Sistem pernafasan. Seperti
kebanyakan obat anestesi intravena lainnya, obat golongan benzodiazepine
juga mendepresi pusat pernafasan, menurunkan frekuensi nafas serta volume
16
tidal. Puncak depresi pernafasan setelah pemberian midazolam (0.13-0.2
mg/kg) terjadi dalam 3 menit dan berlangsung kurang lebih selama 60-120
menit. Waktu pemberian juga mempengaruhi onset depresi pernafasan,
semakin cepat obat diberikan, semakin cepat terjadi depresi pernafasan.
Depresi pernafasan setelah pemberian midazolam akan tampak lebih nyata dan
berlangsung lebih lama pada pasien PPOK. Opioid dan benzodiazepine secara
sinergis memperkuat depresi pernafasan walaupun bekerja melalui mekanisme
yang berbeda.(6) Sistem otot rangka. Bekerja di tingkat supraspinal dan spinal,
menimbulkan penurunan tonus otot rangka, sehingga sering digunakan pada
pasien yang menderita kekakuan otot rangka. (1) (4)
Dosis. Benzodiazepin digunakan untuk tujuan sedasi sebagai
premedikasi, selama pemberian regional atau anestesi local, ataupun setelah
operasi. Selain itu juga untuk mengurangi kecemasan, efek amnesia dan
peningkatan ambang batas kejang, untuk keperluan ini benzodiazepine
diberikan secara titrasi. Dosis untuk induksi yang dianjurkan adalah 0.05-0.15
mg/kgBB untuk midazolam dengan dosis ulangan 0.05mg/kgBB bila
diperlukan, 0.3-0.5mg/kgBB untuk diazepam dengan dosis ulangan
0.1mg/kgBB bila diperlukan, dan 0.1 mg/kgBB untuk lorazepam dengan dosis
ulangan 0.02mg/kgBB bila diperlukan. Untuk mendapatkan efek sedasi dosis
berulang yang dianjurkan untuk midazolam adalah 0.5-1mg, 2mg untuk
diazepam, dan 0.25mg untuk lorazepam. (1) (4)
Efek samping. Midazolam dapat menyebabkan depresi pernafasan jika
digunakan sebagai sedasi. Lorazepam dan diazepam dapat menyebabkan
iritasi pada vena dan trombophlebitis. Benzodiazepine turut memperpanjang
waktu sedasi dan amnesia pada pasien. Efek Benzodiazepines dapat di reverse
dengan flumazenil (Anexate, Romazicon) 0.1-0.2 mg IV prn to 1 mg, dan 0.5 -
1 mcg/kg/menit. (1) (4)
5. Antikolinergik
a. Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg),dosis 0,001 mg/kgBB
Atropin sebagai prototipe antimuskarinik. Bertujuan menurunkan sekresi
kelenjar saliva, keringat, dan lendir di mulut serta menurunkan efek
parasimpatolitik / paravasopagolitik sehingga menurunkan risiko timbulnya
refleks vagal. ((1) (4)
17
Farmakodinamik. Atropin dalam dosis kecil memperlihatkan efek
merangsang disusunan saraf pusat dan pada dosis toksik memperlihatkan efek
depresi setelah melampaui fase eksitasi yang berlebihan, depresi pusat tertentu
memberikan efek antitremor dan efek ini berguna sebagai antiparkinson,
atropin merangsang N. Vagus sehingga denyut jantung berkurang.
Memberikan efek kelenjar eksokrin sehingga terjadi hambatan saliva.
Perangsangan respirasi terjadi akibat dilatasi bronkus, tetapi dalam hal depresi
respirasi oleh sebab tertentu, atropin tidak berguna merangsang respirasi tapi
mengurangi sekresi hidung, mulut, faring dan bronkus. Kardiovaskular.
Pengaruh atropin terhadap jantung bersifat bifasik dengan dosis 0.25-0.5mg,
frekuensi jantung berkurang. Pada dosis toksis terjadi dilatasi kapiler pada
bagian muka dan leher akibat vasodilatasi, yang merupakan kompensasi kulit
untuk melepas panas. Pada mata menghambat M constrictor pupilae dan
ciliaris memberikan efek midriasis sehingga terjadi fotofobia dan siklplegia.
Pada pencernaan, menghambat peristaltik usus/lambng sehingga digunakan
(1) (4)
untuk antispasmodik.
Dosis. diberikan jika anestesi dilakukan dengan anestetika dengan efek
hipersekresi, misal: dietileter atau ketamin. Sediaannya amp 1cc = 0,25
mg),dosis 0,001 mg/kgBB. Dosis lebih 2 mg biasanya hanya digunakan pada
keracunan insektisida organofosfat terjadi hambatan N vagus sehingga terjadi
takikardia.
Efek samping: proses pembuangan panas akan terganggu, terutama pada
anak-anak sehingga terjadi febris dan dehidrasi. Pada anak mudah terjadi
keracunan, gejala timbul 15-20 menit dimulai dengan pusing, mulut kering,
tidak bisa menelan , sukar bicar a dan perasaan haus sekali karena air liur tidak
ada, penglihatan kabur, midriasis , gallop rhythm. Anti dotumnya ialah
fisotigmin salisilat 2-4mg SK dapat menghilangkan gejala SSP dan efek
anhidrosis(1) (4)
Antikolinergik secara luas digunakan saat anestesi inhalasi; diproduksi secret
yang berlebihan oleh saluran nafas dan pada bahaya bradikardi intraoperatif.
Indikasi khusus antikolinergik sebelum operasi adalah sebagai (1) antisialogogue dan
(2) sedasi dan amnesia. Walaupun juga memiliki efek sebagai vagolitik dan

18
mengurangi sekresi cairan lambung, namun tidak disetujui penggunaannya pada
preoeratif.
Antisialogogue. Antikolinergik telah digunakan secara selektif
mengeringkan saluran nafas atas bila diinginkan. Sebagai contoh, saat intubasi
endotrakeal. Antisialogogue sangan penting pada operasi intraoral dan pada
pemeriksaan jalan nafas seperti bronkoskopi.
Sedatif dan amnesia. Kedua scopolamine dan atropine dapat menembuas
sawar darah otak namun scopolamine adalah yang selalu dipakai sebagai
sedatif terutama bila dikombinasi dengan morfin. Tidak seperti lorazepam atau
diazepam, tidak semua pasien dapat berefek amnesia oleh pemberian
scopolamine.
Aksi vagolitik. Aksi vagolitik dari antikolinergik diperoleh melalui
blokade efek asetylkolin pada SA node. Atropin lebih potensial dibanding
glykopirolat dan scopolamine. Aksi vagolitik ini berguna mencegah refleks
bradikardi selama operasi. Bradikardi bisa terjadi akibat traksi otot
ekstraorbital, otot abdomen, stimulasi sinus carotis, atau setelah pemberian
berulang suksinylkolin. Atropine dan glykopirolat diberikan intravena.
Elevasi kadar pH cairan gaster. Dosis tinggi antikolinergik sering
diperlukan untuk mengubah kadar pH. Namun demikian, saat preoperative
antikolinergik tidak dibenarkan untuk menurunkan sekresi H+ lambung.
6. Anti emetic
a. Ondancentron
Antagonis 5HT3 yang sangat selektif yang dapat menekan mual dan muntah
karena sitostatika. Mekanisme kerjanya diduga dilangsungkan dengan
mengantagoniskan reseptor 5-HT yang terdapat pada chemoreceptor zone di
area posttrema otak dan mungkin juga pada aferen vagal saluran cerna. Pada
pemberian oral obat ini diabsorpsi secara cepat. Kadar maksimum tercapai
setelah 1-1.5 jam terikat protein plasma sebanyak 70-76% dan wktu paruhnya
3 jam. Dosisnya 0.1-0,2 mg/KgBB. (1) (4)
b. Simetidin dan Ranitidin
Farmakokinetik: bioavaibilitas simetidin sekitar 70% sama dengan
setelah pemberian IV atau IM. Ikatan protein plasmanya hanya 20%. Absorpsi
simetidin diperlambat dengan makanan, sehingga diberikan bersama atau
19
segera setelah makan dengan maksud untuk memperpanjang efek pada periode
pascamakan. Absorpsi simetdidin terutama terjadi pada menit ke 60-90.
Simetidin masuk ke SSP. Sekitar 50-80% dari dosisIV, dan 40% oral,
simetidin diekskresikan dalam bentuk asal dalam urin. Masa paruh
eliminasinya sekitar 2jam. (1) (4)
Bioavaibilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan
meningkat pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya kira-kira 1,7-3 jam pada
orang dewasa, dan memanjang pada orangtua dan pada pasien penyakit gagal
ginjal. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam 1-3jam setelah penggunaan
150mg ranitidin oral dan yang terikat protein pasma 15%. Metabolisme lintas
pertamanya di hepar. Diekskresikan terutama diginjal sisanya pada tinja. (1) (4)
Farmakodinamik. Simetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2
secara selektif dan reversible. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang
sekresi asam lambung sehingga pemberian simetidin atau ranitidin sekresinya
dihambat. Simetidin dan ranitidin juga mengganggu volurme dan kadar
pepsin cairan lambung. (1) (4)
Dosis. Anatagonis reseptor H2 satu kali sehari pada malam hari
diberikan untuk mengatasi gejala akut tukak lambung. Untuk premedikasi
biasanya digunakan ranitidin 50-150mg.
Efek samping. Nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare,
konstipasi, ruam kulit, pruritus. Kehilangan libido dan impoten. (1) (4)

II.3 OBAT-OBAT INDUKSI ANESTESI INTRAVENA


Obat anestesi intravena dapat digolongkan dalam 2 golongan: 1.) Obat yang terutama
digunakan untuk induksi anestesi, contohnya golongan barbiturat, eugenol, dan steroid; 2.)
obat yang digunakan baik sendiri maupun kombinasi untuk mendapat keadaan seperti pada
neuroleptanalgesia (contohnya: droperidol), anestesi dissosiasi (contohnya: ketamin),
sedative (contohnya: diazepam). Dari bermacam-macam obat anesthesia intravena, hanya
beberapa saja yang sering digunakan, yakni golongan: barbiturat, ketamin, dan diazepam. (2)

II.3.1 PROPOFOL
Propofol adalah salah satu dari kelompok
derivat fenol yang banyak digunakan sebagai
20
anastesia intravena. Pertama kali digunakan dalam praktek anestesi pada tahun 1977
sebagai obat induksi. Propofol dikemas dalam cairan emulsi berwarna putih susu
bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg).(7)
Propofol dengan cepat dimetabolisme di hati melalui konjugasi ke glukuronat
dan sulfat untuk menghasilkan senyawa larut dalam air, yang diekskresikan oleh
ginjal. Kurang dari 1% propofol diekskresikan tidak berubah dalam urin, dan hanya
2% diekskresikan dalam tinja. (1) (4)(7)
Farmakokinetik. Waktu paruh 24-72 jam. Dosis induksi cepat menimbulkan
sedasi (30-45 detik) dengan durasi berkisar antara 20-75 menit tergantung dosis dan
redistribusi dari sistem saraf pusat.(4) Sebagian besar propofol terikat dengan albumin
(96-97%). Setelah pemberian bolus intravena, konsentrasi dalam plasma berkurang
dengan cepat dalam 10 menit pertama (waktu paruh 1-3 menit) kemudian diikuti
bersihan lebih lambat dalam 3-4 jam (waktu paruh 20-30 menit). Kedua fase ini
menunjukkan distribusi dari plasma dan ambilan oleh jaringan yang cepat. (5)(7)
Metabolisme terjadi di hepar melalui konjugasi oleh konjugasi oleh
glukoronida dan sulfat untuk membentuk metabolit inaktif yang larut air yang
kemudian diekskresi melalui urin(6). Eliminasi propofol sensitif terhadap perubahan
aliran darah hepar namun tidak dipengaruhi oleh ikatan protein ataupun aktivitas
enzim. Propofol diketahui menghambat metabolisme obat oleh sitokrom p450 oleh
karena itu dapat menyebabkan perlambatan klirens dan durasi yang memanjang pada
pemberian bersama dengan fentanyl, alfentanil dan propanolol.(4)(5)(7)
Farmakodinamik. Sistem saraf pusat. Dosis induksi menyebabkan pasien
kehilangan kesadaran dengan cepat akibat ambilan obat lipofilik yang cepat oleh SSP,
dimana dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek
analgetik. Pada pemberian dosis induksi (2mg/kgBB) pemulihan kesadaran
berlangsung cepat. Dapat menyebabkan perubahan mood tapi tidak sehebat
thiopental. Propofol dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke otak dan
konsumsi oksigen otak sehingga dapat menurunkan tekanan intrakranial dan tekanan
intraokular sebanyak 35%.(2)(3)(5)
Sistem kardiovaskuler. Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan depresi
pada jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat turun. Hal ini disebabkan
oleh efek dari propofol yang menurunkan resistensi vaskular sistemik sebanyak 30%.
Namun penurunan tekanan darah biasanya tidak disertai peningkatan denyut nadi.
21
Pernafasan spontan (dibanding nafas kendali) serta pemberian drip melalui infus
(dibandingkan dengan pemberian melalui bolus) mengurangi depresi jantung.
Sedangkan usia berbanding lurus dengan efek depresi jantung. (4)(5)(7)
Sistem pernafasan. Apnoe paling banyak didapatkan pada pemberian propofol
dibanding obat intravena lainnya. Umumnya berlangsung selama 30 detik, namun
dapat memanjang dengan pemberian opioid sebagai premedikasi atau sebelum induksi
dengan propofol. Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal. Efek ini
biasanya bersifat sementara namun dapat memanjang pada penggunaan dosis yang
melebihi dari rekomendasi atau saat digunakan bersamaan dengan respiratory
depressants. (4)(5)(7)
Dosis. Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia
umum, pada pasien dewasa dan pasien anak – anak usia lebih dari 3 tahun. (4) Dosis
yang dianjurkan untuk induksi pada pasien lebih dari 3 tahun dan kurang dari 55
tahun adalah 2-2.5 mg/kgBB dan untuk pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau
dengan ASA III/IV: 1-1.5 mg/kgBB. Untuk pemeliharaan dosis yang dianjurkan pada
pasien lebih dari 3 tahun dan kurang dari 55 tahun adalah 0.1-0.2 mg/menit/kgBB dan
untuk pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 0.05-0.1
(4)
mg/menit/kgBB. Dosis yang dianjurkan yang dapat menimbulkan sedasi adalah
0.1-0.15 mg/kgBB sebagai dosis inisial dengan dosis pemeliharaan yang dianjurkan
pada pasien lebih dari 3 tahun dan kurang dari 55 tahun adalah 0.025-0.075
mg/menit/kgBB dan untuk pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA
III/IV: 0.02-0.06 mg/menit/kgBB. (4)
Propofol, bila digunakan untuk induksi anestesi dalam prosedur singkat, hasil
dalam pemulihan secara signifikan lebih cepat dan pengembalian sebelumnya fungsi
psikomotor dibandingkan dengan thiopental atau methohexital, terlepas dari anestesi
yang digunakan untuk pemeliharaan anestesi. Kejadian mual dan muntah saat
propofol digunakan untuk induksi juga nyata kurang dari setelah penggunaan anestesi
IV lainnya, mungkin karena sifat antiemetik propofol.(3) Propofol mendukung
perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam lingkungan yang steril dan
hindari profofol dalam kondisi sudah terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah
kontaminasi dari bakteri. (4)(5)
Efek samping. Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2mg/kgBB intravena(3).
22
Biasanya terjadi saat penyuntikan dilakukan di dorsum Palmaris. Insidens nyeri lebih
sedikit didapatkan pada penyuntikan di vena yang lebih besar di fossa antecubiti. (5).
Bradikardi serta hipotensi kadang didapatkan setelah penyuntikan propofol, namun
dapat diatasi dengan penyuntikkan obat antimuskarinik, misalnya: atropin. Efek
samping eksitatorik seperti myoclonus, opisthotonus serta konvulsi kadang
dihubungkan dengan pemberian propofol dan dapat terjadi pada masa pemulihan.
Resiko konvulsi dan onset yang melambat ditemujan pada pemberian propofol pada
pasien epilepsi. (4)(5)(7)

II.3.2 TIOPENTAL
Tiopental (pentotal,
tiopenton) dikemas dalam
bentuk tepung atau bubuk
berwarna kuning, berbau
belerang, biasanya dalam
ampul 500 mg atau 1000 mg.
Sebelum digunakan dilarutkan
dalam akuades steril sampai kepekatan 2.5% (1 ml= 25 mg). Thiopental hanya boleh
digunakan untuk intravena. Penyuntikan dilakukan perlahan-lahan dihabiskan dalam
30-60 detik.(3) Keuntungan thiopental antara lain: 1.) Induksi mudah dan cepat; 2.)
tidak ada delirium; 3.) kesadaran cepat pulih; 4.) tidak ada iritasi mukosa jalan nafas.
Sedangkan kekurangan dari penggunaan thiopental antara lain: 1.) depresi pernafasan;
2.) depresi kardiovaskular; 3.) kecendurangan tejradinya spasme laring; 4.) relaksasi
otot perut kurang; 5.) tidak memiliki efek analgesik.(1)(4)
Farmakokinetik. Waktu paruh thiopental berkisar antara 3-6 jam dengan
onset berkisar antara 30-60 detik dan durasi kerja obat 20-30 menit.(7) Thiopental di
dalam darah 70% diikat oleh albumin, sisanya 30% dalam bentuk bebas, sehingga
pada pasien dengan albumin rendah, dosis rendah harus dikurangi. Bergantung dosis
dan kecepatan suntikan, thiopental akan menyebabkan pasien berada dalam keadaan
sedasi, hipnotik, anesthesia, atau depresi nafas. .(1)(4)
Metabolisme thiopental terutama terjadi di hepar dengan sebagian kecil
thiopental keluar lewat urin tanpa mengalami perubahan. 10-15% thiopental dalam
tubuh akan dimetabolisme tiap jam. Pulih sadar yang cepat setelah thiopental
23
disebabkan oleh pemecahan dalam hepar yang cepat. Dilusi dalam darah dan
redistribusi ke jaringan tubuh yang lain. Oleh karena itu thiopental termasuk dalam
obat dengan daya kerja sangat singkat (ultra short acting barbiturate) Thiopental
dalam jumlah kecil masih dapat ditemukan dalam darah 24 jam setelah pemberian.
Oleh karena itu dapat membahayakan bagi pasien one day care yang masih harus
mengendarai mobil setelah sadar dari efek thiopental. (2) (4)
Farmakodinamik. Sistem saraf pusat. Seperti barbiturat yang lain, thiopental
menimbulkan sedasi, hipnosis, atau tertidur dan depresi pernafasan tergantung dosis
dan kecepatan pemberian. Efek analgetik sedikit dan terhadap SSP terlihat adanya
depresi dan kesadarannya menurun secara progresif. Kontak dengan lingkungan,
gerakan-gerakan, dan kemampuan menjawab pertanyaan pelan-pelan menghilang.(3)
(4)

Kecepatan kerja dari thiopental bergantung pada penetrasi obat ke SSP yang
dipengaruhi oleh kadar obat dalam plasma dan ikatannya dengan protein plasma.
Akibat perbedaan konsentrasi, konsentrasi obat yang lebih tinggi di plasma akan
menyebabkan difusi ke SSP dalam jumlah besar. 70% thiopental terikat albumin,
sedangkan hanya thiopental bebas yang dapat menembus blood brain barrier karena
itu ikatan dengan protein plasma dan kecepatan onset obat berbanding terbalik.(6)
Tiopental menurukan kebutuhan oksigen otak sehingga perfusi ke otak juga berkurang
yang ditandai dengan peningkatan resistensi vaskular otak, penurunan aliran darah ke
otak dan penurunan tekanan intrakranial. (5)
Sistem kardiovaskuler. Thiopental mendepresi pusat vasomotor dan
kontraktilitas miokard yang mengakibatkan vasodilatasi, sehingga dapat menurunkan
curah jantung dan tekanan darah. Efek ini tergantung dosis dan lebih nyata pada
pasien dengan penyakit kardiovaskular atau yang menerima pengobatan yang
mempengaruhi simpatis. .(1)(4) (5)
Sistem pernafasan. Efek utama ialah depresi pernafasan karena efek langsung
ke pusat pernafasan dan penurunan sensitivitas terhadap kadar CO2 sehingga PCO2
akan meningkat dan pH darah akan naik. Efek ini akan bertambah jelas apabila
sebelumnya diberikan opioid atau obat depresan yang lain.(3)
Dosis. Dosis yang dianjurkan untuk induksi yang lambat 2-6mg/kgBB,
sedangkan untuk induksi yang cepat 3-4 mg/kgBB dibagi dalam 2-4 dosis. Untuk
pasien bedah saraf dengan peningkatan tekanan intracranial 1.5-3.5 mg/kgBB dengan
24
ventilator mekanik yang mendukung dan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
dengan GFR kurang dari 10ml/menit dapat diberikan 75% dari dosis normal dengan
interval yang sama dengan dosis normal.(4)(5)
Tiopental dapat digunakan untuk: 1.) induksi pada anestesi umum; 2.) operasi
atau tindakan yang singkat, contohnya: reposisi fraktur, insisi, jahit luka, tindakan
ginekologi keci seperti curettage; 3.) sedasi pada analgesi regional; 4.) mengatasi
kejang-kejang pada eklampsia, tetanus, epilepsi, dan lain-lain.(3)
Efek samping. Larutan ini sangat alkalis dengan PH 10-11, sehingga suntikan
keluar vena akan menimbulkan rasa sakit, bengkak, kemerah-merahan, dapat terjadi
nekrosis. Untuk menghindari efek ini sebaiknya memakai larutan 2.5%. sedangkan
injeksi intraarteri akan menyebabkan rasa terbakar, terjadi spasme arteri dan
kemungkinan thrombosis. .(1)(4)

II.3.3 KETAMIN
Ketamin adalah suatu “rapid acting non-barbiturate general anesthetic”.
Pertama kali diperkenalkan
oleh Domino and Carsen pada
tahun 1965.(2)
Ketamin kurang
digemari untuk induksi
anesthesia karena sering
menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anesthesia dapat
menimbulkan mual muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk.(3) Blok terhadap
reseptor opiat dalam otak dan medulla spinalis yang memberikan efek analgesik,
sedangkan interaksi terhadap reseptor metilaspartat dapat menyebakan anastesi umum
dan juga efek analgesik. .(1)(4)
Farmakokinetik. Onset kerja ketamin pada pemberian intravena lebih cepat
dibandingkan pemberian intramuskular. Onset pada pemberian intravena adalah 30
detik sedangkan dengan pemberian intramuskular membutuhkan waktu 3-4 menit,
tetapi durasi kerja juga didapatkan lebih singkat pada pemberian intravena (5-10
menit) dibandingkan pemberian intramuskular (12-25 menit). .(1)(4)
Metabolisme terjadi di hepar dengan bantuan sitokrom P450 di reticulum
endoplasma halus menjadi norketamine yang masih memiliki efek hipnotis namun
25
30% lebih lemah dibanding ketamine, yang kemudian mengalami konjugasi oleh
glukoronida menjadi senyawa larut air untuk selanjutnya diekskresikan melalui urin.(5)
Farmakodinamik Sistem saraf pusat. Ketamine memiliki efek analgetik yang
kuat akan tetapi efek hipnotiknya kurang (tidur ringan) disertai anestesia disosiasi.
Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan mengalami
perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada mata berupa kelopak mata
terbuka spontan, dilatasi pupil dan nistagmus. Selain itu kadang-kadang dijumpai
gerakan yang tidak disadari (cataleptic appearance), seperti gerakan mengunyah,
menelan, tremor dan kejang. Pada pasien yang diberikan ketamin juga mengalami
amnesia anterograde. Itu merupakan efek anestesi dissosiatif yang merupakan tanda
khas setelah pemberian Ketamin. Sering mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi
pada periode pemulihan sehingga pasien mengalami agitasi. Selain itu, ketamin
menyebabkan peningkatan aliran darah ke otak, konsumsi oksigen otak, dan tekanan
intrakranial. .(1)(4)
Pulih sadar kira-kira tercapai dalam 10-15 menit tetapi sulit menentukan
saatnya yang tepat seperti halnya sulit menentukan permulaan kerjanya. Kontak
penuh dengan lingkungan dapat bervariasi dari beberapa menit setelah permulaan
tanda-tanda sadar sampai 1 jam. Sering mengakibatkan mimpi buruk, disorientasi
tempat dan waktu, halusinasi dan menyebabkan gaduh, gelisah, tidak terkendali. .(1)(4)
Sistem kardiovaskuler. Tekanan darah akan naik baik sistolik maupun
diastolik. Kenaikan rata-rata antara 20-25% dari tekanan darah semula mencapai
maksimum beberapa menit setelah suntikan dan akan turun kembali dalam 15 menit
kemudian. Denyut jantung juga meningkat. Efek ini disebabkan adanya aktivitas saraf
simpatis yang meningkat dan depresi baroreseptor. Efek ini dapat dicegah dengan
pemberian premedikasi opioid, hiosine. Namun aritmia jarang terjadi. .(1)(4)
Sistem pernafasan. Depresi pernafasan kecil sekali dan hanya sementara,
kecuali dosis terlalu besar dan adanya obat-obat depressan sebagai premedikasi.
Ketamin menyebabkan dilatasi bronkus dan bersifat antagonis terhadap efek
konstriksi bronkus oleh histamin, sehingga baik untuk penderita asma dan untuk
mengurangi spasme bronkus pada anesthesia umum yang masih ringan. .(1)(4)
Dosis. Dosis yang dianjurkan untuk induksi pada pasien dewasa adalah 1-
4mg/kgBB atau 1-2mg/kgBB dengan lama kerja 15-20 menit, sedangkan melalui
infus dengan kecepatan 0.5mg/kgBB/menit, sedangkan untuk anak-anak terdapat
26
banyak rekomendasi. Menurut Mace, et al (2004) dosis induksi adalah 1-2 mg/kgBB
sedangkan menurut Harriet Lane, 0.25-0.5 mg/kgBB. Dengan dosis tambahan
setengah dari dosis awal sesuai kebutuhan.(5) Untuk sedasi dan analgesik dosis yang
dianjurkan adalah 0.2-0.8 mg/kgBB intravena dan untuk mencegah nyeri dosis yang
dianjurkan adalah 0.15-0.25 mg/kgBB intravena.(5) Ketamin dapat diberikan bersama
dengan diazepam atau midazolam dengan dosis 0.1mg/kgBB intravena dan untuk
mengurangi salvias dapat diberikan sulfas atropine 0.01mg/kgBB.(3)
Indikasi. Ketamin dipakai baik sebagai obat tunggal maupun sebagai induksi
pada anestesi umum : 1.) untuk prosedur dimana pengendalian jalan nafas sulit,
misalnya pada koreksi jaringan sikatriks daerah leher; 2.) untuk prosedur diagnostic
pada bedah saraf atau radiologi (radiografi); 3.) tindakan ortopedi, misalnya reposisi;
4.) pada pasien dengan resiko tinggi karena ketamin yang tidak mendepresi fungsi
vital; 5.) untuk tindakan operasi kecil; 6.) di tempat dimana alat-alat anestesi tidak
ada; 7.) pasien asma. .(1)(4)
Kontra Indikasi. Ketamin tidak dianjurkan untuk digunakan pada: 1.) Pasien
hipertensi dengan tekanan darah sistolik 160mmHg dan diastolic 100mmHg; 2.)
Pasien dengan riwayat CVD; 3.) pasien dengan decompensatio cordis. Penggunaan
ketamin juga harus hati-hati pada pasien dengan riwayat kelainan jiwa & operasi-
operasi pada daerah faring karena reflex masih baik.
Efek samping. Di masa pemulihan pada 30% pasien didapatkan mimpi buruk
sampai halusinasi visual yang kadang berlanjut hingga 24 jam pasca pemberian.
Namun efek samping ini dapat dihindari dengan pemberian opioid atau
benzodiazepine sebagai premedikasi. .(1)(4)

27
II.4 PEMELIHARAAN ANESTESI (MAINTAINANCE)
Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan
inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi mengacu pada
trias anestesi yaitu tidur rinan (hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup,
diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot
lurik yang cukup. Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanil 10-50 µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan
analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan
intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan
infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena,
pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan
udara + O2 atau N2O + O2. Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O
dan O2 dengan perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4%
atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien bernapas
spontan, dibantu atau dikendalikan.

II.5 TEKNIK ANESTESI UMUM INTRAVENA


Teknik Anestesi Umum Intravena.:
1. Persiapan pasien
2. Persiapan alat (STATICS)
3. Persiapan obat: (premedikasi, induksi, maintaince)
4. Berikan premedikasi
5. Induksi

Persiapan Pasien
1. Anamnesa
a. Riwayat penyakit sistemik yang diderita dahulu dan sekarang, meliputi: 1)
Respirasi, riwayat penyakit saluran napas atas, asma, batuk, influenza, 2)
Kardiovaskular,riwayat penyakit jantung, hipertensi, nyeri dada, dll. 3) Sistem
endokrin : Diabetes Melitus, Hepatitis.
b. Riwayat penyakit keluarga, yaitu adanya anggota keluarga yang menderita
penyakit sistemik seperti TBC, Diabetes Melitus, Asthma.

28
c. Riwayat pengobatan atau pemakaian obat-obatan yang ada hubungannya
interaksi dengan obat anestesi yang digunakan seperti obat anti hipertensi, anti
koagulan, anti konvulsan dan anti diabetikum.
d. Riwayat alergi dan reaksi obat.
e. Riwayat anestesi dan pembedahan
f. Riwayat kebiasaan; suka berolahraga, peminum alkohol, pemakai narkoba.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan keadaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar atau
tidak, leher pendek dan kaku yang bisa menyulitkan intubasi. Dan dilanjutkan ke
pemeriksaan bagian lain dari inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ
tubuh pasien.
3. Pemeriksaan Laboratorium: darah, urinalisa, ekg, foto rontgen thorax, usg, dll.
4. Klasifikasi status penderita dengan ASA.
5. Kesimpulan
6. Instruksi: pasang IV line, pemeriksaan penunjang, dan puasa.

Persiapan Alat
Persiapan alat terdiri dari STATICS : Scope : laringoskop yang terdiri dari blade dan lampu,
stetoskop; Tube : ETT yang nonkingking tiga nomor; Airway : pipaoroparing dan pipa
nasoparing; Tape : plaster untuk fiksasi ETT; Intraducer : mandrin; Connector : penghubung
pipa dengan mesin anestesi; Suction. Selain yang tersebut di atas, terdapat alat anestesi dan
monitor sebagai perangkat utama. Disiapkan pula trakeotomi set bilamana terjadi keadaan
darurat..

Persiapan obat
1.Premedikasi.
o Analgesik: fentanyl/ petidin/morfin
o Sedatif: midazolam,/ diazepam/ dehydrobenzodiazepin
o Hipnotik: ketamin/ pentotal
o Antikolinergik: SA
o Anti emetik: ondancetron/ ranitidin,
2. Induksi: propofol/ pentotal/ ketamin

29
Pemberian premedikasi
Premedikasi dapat dilakukan diruangan maupun di ruang OK, melalui oral (efek tercapai 1-
2jam), Intramuskular (efek tercapai 30-40menit), dan Intravena (efek tercapai 2-3menit)
Premedikasi digunakan sesuai tujuan;
1) Untuk menenangkan pasien (sedasi) berikan Midazolam (0,1 mg/KgBB) / Diazepam
(0,1 mg/KgBB) / DBP 0,1 mg/KgBB.
2) Untuk mengurangi nyeri (analgetik) digunakan fentanyl 1-3 mcg/KgBB / petidin 1-2
mg/KgBB / morfin 0,1 mg/KgBB
3) Bila tensinya meningkat dapat diberikan Clonidin HCl (Catapress)
4) Bila mual muntah dapat diberikan ondancentron/ ranitidin/ simetidin.

Induksi
Induksi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar. Induksi
intravena adalah induksi yg suntikan ke intravena, disuntikan perlah-lahan dengan kecepatan
antara 30-60 detik.. Obat pilihannya.
Propofol (2-2,5 mg/KgBB) / ketamin (1-2 mg/KgBB) / pentotal (4-6mg/KgBB) / golongan
benzodiasepin; diazepam (0,05-0,2 mg/KgBB) / midazolam (0,15-0,3 mg/KgBB).
Cek refleks bulu mata untuk penilaian adekuat obat tersebut.
Kemudian berikan oksigen
Untuk dosis pemeliharaan dapat diberikan 1/2-1/3 dari dosis induksi, dapat pula dikombinasi
dengan gas anestesi, seperti N20 atau dengan obat anestesi inhalasi isofluran, enfluran, dan
juga sevofluran. Dengan perbandingan 30:70 / 50:50 / 3:2.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Dewoto HR, et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5, cetak ulang dengan tambahan,
tahun 2012. Analgesik opioid dan antagonisnya. Balai Penerbit FKUI Jakarta 2012;
210-218.
2. Muhiman, Muhardi, dr. et al. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta; 65-71
3. Latief, Said A, Sp.An; Suryadi, Kartini A, Sp.An; Dachlan, M. Ruswan, Sp.An.
Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2010; 46-47, 81
4. Calvey, Norman; Williams, Norton. Principles and Practice of Pharmacology for
Anaesthetists. Fifth edition. Blackwell Publishing 2008; 110-126, 207-208
5. Miller, Ronald D. MD, et. al. Miller’s anesthesia. Elseveir 2010. CDROOM.
Accessed on 4 Maret 2013.
6. Fentanyl. Available at: http://www.webmd.com/pain-management/fentanyl. Accessed
on 3 Maret 2013.
7. Propofol. Available at: http://reference.medscape.com/drug/diprivan-propofol-
343100#0. Accessed on 3 Maret 2013
8. Sandham J. Total Intravena Anesthesia. May 2009. Available at
http://www.ebme.co.uk/arts/tiva/index.php. accessed on 10 Maret 2013.
9. Hong LY, et al. Predictive performance of ‘Diprifusor’ TCI system in patients
during upper abdominal surgery under propofol/fentanyl anesthesia. Available at
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1390758/pdf/JZUSB06-0043.pdf.
accessed on 10 Maret 2013.

31

Anda mungkin juga menyukai