Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ilmu anastesi dan reaminasi adalah cabang ilmu kedokteran yang

mempelajari tatalaksanaan untuk mematikan rasa, baik rasa nyeri, akut dan rasa

tidak nyaman yang lain sehingga pasien nyaman dan ilmu yang mempelajari

tatalaksanaan untuk menjaga/untuk mempertahankan hidup dan kehidupan pasien

selama mengalami kematian akibat obat anstesi (Gde Mangku, dkk. 2010).

Kata anastesi di perkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes yang

menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara karena pemberian

obat dengan tujuan untuk menghilangkan rasa nyeri pada saat dilakukan

pembedahan. (Latief S, dkk. 2002).

Anastesi dibagi menjadi dua kelompok, (1) Anastesi lokal yaitu suatu

tindakan yang menghilangkan nyeri lokal tanpa disertai hilangnya kesadaran. (2)

Anastesi umum yaitu keadaan ketidaksadaran yang reversible yang disebabkan

oleh zat anastesi, disertai hilangnya sensasi sakit pada seluruh tubuh. Sebagian

besar operasi (70-75%) dilakukan dengan anastesi umum, lainya dengan anastesi

lokal/regional. Kedua tehknik anastesi ini mempunyai kekurangan dan kelebihan

masing-masing (mansjoer A, dkk 2002).

Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anastesi pada suatu operasi

terdapat beberapa tahap persiapan yang harus dilaksanakan yaitu pra anastesi,
penatalaksanaan anastesi dan pemeliharaan serta tahap pemulihan dan perawatan

pasca operasi.

Salah satu fungsi tindakan anastesi adalah untuk menunjang tindakan

operasi fraktukur klavicula yang di sebabkan hilangnya kontinuitas tulang, tulang

rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial. Untuk

mengetahui mengapa dan bagaimana tulang tulang mengalami kepatahan.

Kesehatan merupakan masalah berharga dan sangat penting dalam

berbagai tatanan kehidupan manusia. Perhatian masyarakat terhadap kesehatan

saat ini semakin besar, sehingga meningkatkan tuntutan masyarakat terhadap

perawatan yang berkualitas. Perkembangan ilmu pengetahuan tentang ilmu bedah

saat ini sangat pesat. Hal ini juga harus didukung dengan peningkatan pemberian

perawatan pada pasien penderita penyakit gigi bedah. Salah satunya adalah kasus-

kasus gigi impaksi.

Kasus-kasus gigi impaksi sering dijumpai dalam praktek Dokter Gigi sehari-

hari. Pengertian gigi impaksi bermacam-macam tetapi artinya hampir sama. Pada

prinsipnya gigi impaksi adalah gigi yang tidak dapat erupsi seluruhnya atau

sebahagiaan karena tertutup oleh tulang atau jaringan lunak atau keduanya

Pencabutan gigi impaksi pada perawatan ortodontik dapat menjadi suatu

indikasi apabila ruangan yang dibutuhkan kurang untuk ekspansi lengkung gigi atau

juga dikhawatirkan akan menjadi faktor relapse setelah dilakukannya perawatan

ortodontik.
Menimbulkan Kerusakan Pada Akar Gigi Yang Berdekatan. Gigi impaksi

dapat menyebabkan tekanan pada akar gigi sebelahnya sehingga mengalami

resorpsi akar. Pencabutan gigi impaksi dapat menyelamatkan gigi terdekat dengan

adanya perbaikan pada sementumnya.

Terdapat keluhan rasa sakit atau pernah merasa sakit. Rasa sakit dapat

timbul bila gigi impaksi menekan syaraf atau menekan gigi tetangga dan tekanan

tersebut dilanjutkan ke gigi tetangga lain di dalam deretan gigi, dan ini dapat

menimbulkan rasa sakit. Rasa sakit dapat timbul karena gigi impaksi langsung

menekan nervus alveolaris inferior pada kanalis mandibularis.

Diperkirakan Akan Mengganggu Pembuatan Protesa. Pencabutan gigi

impaksi dilakukan apabila berada dalam denture bearing area yang dapat

menghambat adaptasi landasan dan mengganggu retensi serta stabilitas dari

protesa yang akan dibuat.

Dalam mencermati masalah-masalah tersebut maka penulis tertarik untuk

mengetahui secara nyata pelaksanaan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan

infaksi. Dengan mengetahui pengertian, etiologi, dan Asuhan Keperawatan pada

pasien Infaksi.

B. Tujuan Penulisan

1. Peserta didik pelatihan mampu menjelaskan keseluruhan konsep dan asuhan

keperawatan pada klien dengan Soft Tissue Tumor (STT).

2. Peserta didik diharapkan mampu memberikan asuhan keperawatan pada

pasien pre, intra dan post operasi yang akan dilakukan pemberian anestesi.
3. Peserta didik pelatihan diharapakan mampu melakukan perhitungan dan

pemberian terapi cairan pada saat pre, intra dan post operasi.

4. Peserta didik pelatihan diharapkan mampu melakukan perhitungan dosis

pembrian obat-obat anestesi.

5. Peserta didik pelatihan diharapkan mampu melakukan tindakan intubasi dan

memberikan pemeliharaan tindakan anestesi.

6. Peserta didik diharapakan mampu memberikan asuhan keperawatan setelah

selesai operasi dan akhir dari anestesi.

7. Peserta didik pelatihan diharapkan mampu mengembalikan keadaan pasien

dalam keadaan normal ke ruangan perawatan.


BAB II

TINJAUAN TEORI

A. ANESTESI UMUM

Anastesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri / sakit secara sentral

disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali ( reversible ). Komponen

triase anastesi ideal terdiri dari analgesia,hipnotik dan relaksasi otot.

Cara pemberian anastesi umum :

1. Parenteral ( intramuscular / intravena )

Digunakan untuk tindakan yang singkat atau induksi anestesi.

2. Anastesi Inhalasi

Anastesi dengan menggunakan gas atau cairan anastesi yang mudah menguap (

volatile agent ) sebagai zat anastetik melalui udara pernapasan. Zat anastetik

yang digunakan berupa campuran gas ( dengan O2 ) dan konsentrasi zat

anastetik tersebut tergantung dari tekanan parsialnya.

3. Anastesi Seimbang

Anastesi seimbang adalah dimana pasien diberikan obat untuk setiap komponen

anastesi, yaitu analgetik, hipnotik, relaksasi.

Contoh Obat Anastesi Seimbang

Anastesi Inhalasi Anastesi Intravena

Analgesia N2O Petidin, Morfin,


Fentanyl.

Hipnotik Halotan, Sevofluran, Penthotal, Propofol,

Isofluran, Enfluran. Diazepam, Midazolam,

Ketamine.

Relaksasi Semua obat pelumpuh

otot

Guedel ( 1920 ) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium ( stadium 3

dibagi menjadi 4 plana ), yaitu :

a. Stadium I

Stadium I ( analgesia ) dimulai dari saat pemberiaan zat anastetik sampai

hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah

dan terdapat analgesia ( hilangnya rasa sakit ). Tindakan pembedahan ringan,

seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar dapat dilakukan pada stadium ini.

b. Stadium II

Stadium II ( delirium / eksitasi, hiper refleksi ) dimulai dari hilangnya bulu mata

sampai pernapasan kembali teratur.

c. Stadium III

Stadium III ( pembedahan ) dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai

pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana, yaitu :

1 ). Plana 1

Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi

gerakanbola mata yang tidak menurut kehendak, pupil midriasis, reflex


cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada, dan

belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna ( tonus otot mulai menurun

).

2 ). Plana 2

Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun,

frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil

midriasis, reflex cahaya menurun, relaksasi otot sedang, dan reflex laring

hilang sehingga dikerjakan intubasi.

3). Plana 3

Pernapasan teratur oleh perut karena otot interokostal mulai paralisis,

lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum

tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempurna (tonus otot semakin menurun).

4). Plana 4

Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interokostal paralisis

total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya hilang, refleks sfingter ani dan

kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempurna ( tonus otot sangat

menurun )

d. Stadium IV

Stadium IV ( paralisis medulla oblongata ) dimulai denganmelemahnya

pernapasan perut disbanding stadium III plana 4. Pada stadium ini tekanan darah

tidak dapat diukur, denyut jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian.

Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan

pernapasan buatan.
Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani

operasi, maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi,

manintanance, dll.

a) Persiapan Pra Anestesi

Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan

pembedahan, baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk

keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan pra anestesi adalah :

Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal. Merencanakan dan memilih

teknik serta obat-obat anastesi yang sesuai dengan fisik dan kehendak pasien.

Menentukan status fisik ASA ( American Society of Anasthesiology ).

b) Premedikasi Anastesi

Premedikasi anastesi adalah pemberian obat sebelum anastesi untuk

mencegah semua penyulit yang dapat timbul selama dan sesudah anastesia

maupun pembedahan.

Adapun tujuan dari premedikasi antara lain :

1. Mengurangi kecemasan

2. Mengurangi nyeri

3. Mengurangi kebutuhan obat-obat anastetik

4. Mengurangi sekresi saluran pernapasan

5. Menyebabkan amnesia

6. Mengurangi kejadian mual-muntah pasca operasi


7. Membantu pengosongan lambung, mengurangi produksi asam

lambung atau meningkatkan pH asam lambung

8. Mencegah reflex-refleks yang tidak diinginkan.

Pre medikasi di kamar bedah tidak sama dengan ko induksi (Co-

Induction). Ko induksi adalah pemberian obat dalam waktu yang berdekatan

sebelum pasien benar – benar terhipnosis di bawah anastesi umum. Teknik ini

menggunakan prinsip “anastesia balans”.

Terkadang sulit membedakan antara ko induksi dengan pre medikasi,

karena seringkali obat yang digunakan sama. Sebagai contoh, pemberian dosis

kecil midazolam di kamar persiapan, kira – kira 1 jam sebelum anastesi

bukanlah ko induksi melainkan pre medikasi. Akan tetapi pemberian mdizolam

2 – 5 menit sebelum menyuntikkan propofol adalah ko induksi. Hal ini tidak

terlalu penting untuk diperdebatkan. Yang penting adalah indikasi yang tepat,

dosis yang tepat, waktu ( timing ) pemberian yang tepat dan kesiapan praktisi

terhadap setiap komplikasi yang mungkin timbul.

c) Obat – obatan Premedikasi

1. Benzodiazepine

Di antara obat-obat golongan ini adalah diazepam, temazepam,

lorazepam, dan midazolam. Benzodiazepin memiliki efek yakni ansiolitik,

sedatif dan amnesia. Benzodiazepin dapat menimbulkan efek ansiolitik

pada dosis yang tidak menimbulkan efek sedasi.


Midazolam efektif sebagai sedatif dan ansiolitik 0,01 – 0,1 mg/kbB.

Obat sedatif pada umumnya berpotensi menyebabkan hipotensi. Pada

pasien sehat yang mendapat midazolam dosis rendah, efek depresi

kardiovaskuler sangat minimal. Efek signifikan kardiovaskuler dari

midazolam terjadi berhubungan dengan benzodiazepine induced

peripheral asodilation. Waktu pulih dari midazolam meningkat pada pasien

usia lanjut, obesitas dan penyakit hati berat.

2. Opioid

Pemberian opioid dapat menimbulkan sedasi, bukan karena efek

ansiolitik melainkan karena depresi susunan saraf pusat. Opiat atau opioid

dengan waktu paruh yang panjang dapat pula memberikan efek analgesia

pasca operasi. Bebrapa kelemahan dari opioid adalah depresi susuna

saraf pusat secara luas, termasuk depresi nafas. Hipoventilasi dapat

mengakibatkan hipoksia dan hiperkapnia yang tentu saja dapat

berbahaya. Oleh karena itu opioid jarang digunakan sebagai premedikasi

di ruangan, kecuali jika tanda-tanda vital diawasi dengan ketat.

Golongan opioid / Narkotik :

a. Pethidin : Digunakan sebagai analgesia dengan dosis 0,2 – 2 mg/kgBB

secara I.V lambat. Memiliki potensi 10 X morphin, dengan 80 – 100 mg

setara dengan 10 mg morphin I.M

b. Morphin : Dosis 2 – 5 mg I.V, dapat diulang 5 – 30 menit dan digunakan

sebagai analgetik yang mempunyai efek vasodilator kuat, digunakan

untuk edema paru setelah terjadinya cardiac arrest.


c. Fentanyl : 75 – 125 kali lebih poten dari morphin. Dosis 1 – 2 mcg/kgBB

secara I.V menghasilkan analgesia. Dosis 2 – 20 mcg/kgBB secara I.V

sebagai tambahan untuk anastesi inhalasi guna menumpulkan respon

respirasi akibat intubasi trachea dengan laringoskop direct.

3. Anti cholinergic

Sulfas atropine termasuk golongan anti kolinergik, berguna untuk

mengurangi sekresi lendir dan menurunkan efek bronchial dan cardial

yang berasal dari perangsangan parasimpatis akibat obat anastesi atau

tindakan operasi. Efek lainnya, yaitu melemaskan otot polos, mendepresi

vagaal reflek, menurunkan spasme gastrointestinal, dan mengurangi rasa

mual serta muntah. Obat ini juga menimbulkan rasa kering di mulut serta

penglihatan kabur, maka lebih baik tidak diberikan pra anestesi local

maupun regional. Dalam dosis toksik dapat menyebabkan gelisah,

delirium, halusinasi,dan kebingungan pada pasien. Tetapi hal ini dapat

diatasi dengan pemberian prostigmin 1-2 mg intravena. Sediaan : dalam

bentuk sulfas atropine dalam ampul 0,25 mg dan 0,5 mg. Dosis 0,01

mg/KgBB. Pemberian : SC, IM, IV.

d) Induksi

Propofol adalah campuran 1% obat dalam air dan emulsi yang berisi 10%

soya bean oil, 1,2% phosphatid telur dan 2,25% glycerol. Dosis yang dianjurkan

2,5 mg/KgBB untuk induksi tanpa premedikasi. Pemberian intravena propofol (

2 mg/KgBB) menginduksi anastesi secara tepat. Rasa nyeri kadang-kadang


terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai plebitis atatu trombosis.

Anastesi dapat dipertahankan dengan infus propofol yang berkesinambungan

dengan opiat, N2O dan / atau anastetik inhalasi lainnya propofol menurunkan

tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini disebabkan karena

vasodilatasi perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan sistemik

kembali normal dengan intubasi trakea. Propofol tidak merusak fungsi hati dan

ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan

menurun. Keuntungan propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan

konfusi pasca operasi yang minimal.pofol

Efek samping propofol pada sistem pernapasan adanya depresi

pernapasan, apnea, bronkospasme dan laringospasme. Pada sistem

kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi. Pada

susunan syaraf pusat adanya sakitkepala, pusing, euphoria, kebingungan,

kejang, mual dan muntah.

e) Pelumpuh Otot

1. Rocuronium

Terutama digunakan untuk mempermudah / fasilitas intubasi trakea

karena mulai kerja cepat ( 1,5 menit ) dan lama kerja yang panjang ( 35 – 75

menit ). Juga dapat dipakai untuk memelihara relaksasi otot dengan cara

pemberian kontinyu per infus atau suntikan intermitten. Dosis untuk intubasi

0,06 – 0,12 mg/kgBB/I.V.

Komplikasi dan efek samping dari obat ini adalah :


1) Aritmia

2) Penurunan atau peningkatan tekanan darah

3) Takikardi

4) Mual dan Muntah

5) Bronkospasma

6) Reaksi alergi

7) Edema pada lokasi injeksi

8) Nyeri pada lokasi injeksi

2. Atrakurium Besylate

Sebagai pelumpuh otot dengan struktur benzilisoquinolin yang memiliki

beberapa keuntungan, antara lain bahwa metabolisme di dalam darah (

plasma ) melalui suatu reaksi yang disebut eliminasi Hoffman yang tidak

tergantung fungsi hati dan fungsi ginjal, tidak mempunyai efek kumulasi pada

pemberian berulang, tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler

yang bermakna. Menurut Chapple DJ, dkk ( 1987 ) dan Tateishi ( 1989 )

bahwa pada binatang, atracurium tidak mempunyai efek yang nyata pada

CBF, CMR O2 atau ICP. Matabolitnya yang disebut laudanosin, menembus

blood brain barrier dan dapat menimbulkan kejang EEG, tetapi kadar

laudanosin pada dosis klinis atracurium tidak menimbulkan efek ini. Lanier,

dkk mengatakan bahwa tidak ada perbedaan ambang kejang dengan

lidokain pada kucing yang diberikan atracurium, pancuronium, atau

vecuronium. Obat ini menurunkan MAP tetapi tidak menyebabkan perubahan

ICP. Dosis atracurium untuk intubasi adalah 0,5 mg/kg dan dosis
pemeliharaan adalah 5 – 10 ug/kg/menit. Kemasan : 2,5 ml dan 5 ml yang

berisi 25 mg dan 50 mg atrakurium besylate. Mula kerja pada dosis intubasi

2 – 3 menit sedangkan lama kerjanya pada dosis relaksasi 15 – 35 menit.

f) Intubasi Endotrakeal

Suatu tindakan memasukkan pipa khusus kedalam trakea, sehingga jalan

nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Intubasi trakea

bertujuan untuk :

1. Mempermudah pemberian anestesi.

2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.

3. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.

4. Mempermudah penghisapan secret trakheobronkial.

5. Pemakaian ventilasi yang lama.

6. Mengatsi obstruksi laring akut.

g) Pemeliharaan

1. Inhalasi

a. Nitrous Oksida / Gas Gelak ( N2O )

Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak

iritatif, tidak berasa, lebih berat daripada udara, tidak mudah

terbakar / meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber (

pengikat CO2 ). Mempunyai sifat anastesi yang kurang kuat, tetapi

dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak
larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot,

oleh karena itu pada operasi abdomen dan orthopedi perlu

tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan

analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan,

hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam

ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan

pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum

anastesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau

kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam anastesi umumnya

dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% :

40% ; 70% : 30% ; 50% : 50%.

b. Ethrane ( Enflurane )

Merupakan anastesi yang poten. Dapat mendepresi SSP

menimbulkan efek hipnotik. Pada kontrasepsi inspirasi3 – 3,5%

dapat menimbulkan perubahan EEG yaitu epileptiform, karena itu

sebaiknya tidak digunakan pada pasien epilepsi. Dan dapat

meningkatkan aliran darah ke otak. Pada anstesi yang dalam dapat

menurunkan tekanan darah disebabkan depresi pada myocardium.

Aritmia jarang terjadi dan penggunaan adrenalin untuk infiltrasi

relative aman. Pada sistem pernapasan, mendepresi ventilasi

pilmoner dengan menurunkan volume tidal dan mungkin pula

meningkatkan laju nafas. Tidak menyebabkan hiperskresi dari

bronkus. Pada otot, ethrane menimbulkan efek relaksasi moderat.


Menyebabkan peningkatan sktivitas obat pelumpuh otot

nondepolarisasi.

Keuntungan dari ethrane adalah harum, induksi dan

pemulihan yang cepat, tidak ada iritasi, sebagai

bronkodilatorrelaksasi otot baik, dapat mempertahankan stabilitas

dari system kardiovaskuler serta bersifat non emetik. Sedangkan

kerugiannya bersifat myocardial depresan, iritasi pada CNS,

kemungkinan kerusakan hati. Sebaiknya dihindari pemberiannya

pada pasien dengan keparahn ginjal.

c. Halothane ( Fluothane )

Berbentuk cairan jernih, sangat mudah menguap dan berbau

manis, tidak tajam dan mempunyai titik didih 50⁰ C. konsentrasi

yang digunakan untuk anastesi beragam dari 0,2 – 3 %. Merupakan

zat yang poten sehingga membutuhkan vaporizer yang dikalibrasi

untuk mecegah dosis yang berlebihan. Karena kurang larut dalam

darahdibandingkan dengan eter, maka saturasi dalam darah lebih

cepat, sehingga induksi inhalasi relatif lebih cepat dan

menyenangkan untuk pasien. Jika persediaan terbatas, maka

sebaiknya Halothane digunakan untuk menstabilkan setelah induksi

intravena. Halothane memberikan induksi yang mulus, tetapi

mempunyai sifat analgesi yang buruk. Penggunaan zat ini untuk

anastesi tunggal akan menyebabkan depresi kardiopulmoner yang

ditandai dengan sianosis, kecuali bila gas inspirasi mengandung


oksigen dengan konsentrasi tinggi. Halothane mempunyai efek

relaksasi otot yang lebih kecil daripada eter, merupakan suatu

bronkodilator. Depresi pusat pernapasan oleh halothane ditandai

dengan pernapasan yang cepat dan dangkal, peningkatan frekuensi

pernapasan ini lebih kecil bila diberikan premedikasi dengan opium.

Efek pada kardiovaskuler adalah depresi langsung pada

miokardium dengan penurunan curah jantung dan tekanan darah,

tetapi terjadi vasodilatasi kulit sehingga mungkin perfusi jaringan

lebih baik. Kerugian dari halothane dapat diatasi dengan

dikombinasikan dengan N2O ( 50 – 70% ) atau trikloroetilen ( 0,5 –

1% ).

d. Isoflurane

Meninggikan aliran darah otak dan tekananintra cranial.

Peninggian aliran darah otak dan tekanan intra cranial dapat

dikurangi dengan teknik anastesi hiperventilasi. Efek terhadap

depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari

untuk anastesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien

dengan gangguan koroner.

e. Desflurane

Sangat mudah menguap, potensinya rendah ( MAC 6,0% ),

bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi.

Efek depresi nafasnya seperti isoflurane dan etrhane.


f. Sevoflurane

Waktu induksi dan waktu pulih dari anastesi lebih cepat

dibandingkan isoflurane. Baunya tidak menyengat dan tidak

merangsang jalan nafas.

Pada fase pemeliharaan juga dapat dipakai obat inhalasi

atau intra vena. Anastes umum dilakukan sampai tingkat

kedalaman obat mencapai trias anastesi, yaitu penderita tidur,

analgesik cukup, dan terjadi realaksasi otot.

Rumatan intra vena biasanya menggunakan opioid fentanil

0,5 – 1mcg/kgBB tiap 25 – 30 menit. Pemberian opioid

menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, ditambahkan

memberikan pelumpuh otot seperti atracurium, recorunium atau

vecuronium tergantung indikasi . rumatan intra vena juga bias

menggunakan opioid dosis biasa dan psien ditidurkan dengan infus

propofol 4 – 12 mg/kgBB/jam.

h) Terapi Cairan

Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati

jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan

untuk memenuhikebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama

operasi. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbukan karena terapi yang

diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :

1. Pra operasi dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,

penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti

pada ileus obstruktif, perdarahan, luk bakar, dan lain-lain. Kebutuhan cairan

untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kgBB / jam. Setiap kenaikan suhu

10⁰ celcius kebutuhan cairan bertambah 10 15 %.

2. Selama operasi dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi :

Ringan = 4 ml/kgBB/jam. Sedang = 6 ml/kgBB/jam. Berat = 8 ml/kgBB/jam.

Bila terjadi perdarahan selama operasi, dimana perdarahan kurang dari 10 %

EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume

darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 %, maka dapat

dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran dengan dosis 1 – 2

kali darah yang hilang.

3. Setelah operasi pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan

defisit cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari – hari pasien.

4. Pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi biasanya dilakukan di

ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk observasi pasien

pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum

pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di

ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar

dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.


B. DEFINISI GIGI IMPAKSI

Gigi impaksi atau gigi terpendam adalah gigi yang erupsi normalnya

terhalang atau terhambat, biasanya oleh gigi di dekatnya atau jaringan patologis

sehingga gigi tersebut tidak keluar dengan sempurna mencapai oklusi yang normal

di dalam deretan susunan gigi geligi lain yang sudah erupsi atau akar gigi yang

tidak terangkat saat pecabutan sebelumnya.

Umumnya gigi yang sering mengalami impaksi adalah gigi posterior dan

jarang pada gigi anterior. Namun gigi anterior yang mengalami impaksi terkadang

masih dapat ditemui. Pada gigi posterior yang sering mengalami impaksi adalah

sebagai berikut :

 Gigi molar tiga (48 dan 38) mandibula

 Gigi molar tiga (18 dan 28) maksila

 Gigi premolar (44,45,34 dan 35) mandibula

 Gigi premolar (14,15,24 dan 25) maksila

Sedangkan gigi anterior yang dapat ditemui mengalami impaksi adalah

sebagai berikut :

 Gigi kaninus maksila dan mandibula (13,23,33 dan 43)

 Gigi incisivus maksila dan mandibula (11,21,31 dan 41)

C. KLASIFIKASI IMPAKSI

Klasifikasi dilakukan bertujuan untuk membantu operator dalam memastikan

dan membuat rencana kerja serta memperkirakan kesulitan- kesulitan yang


mungkin ditemuinya pada saat melalukan pencabutan gigi tersebut. Klasifikasi

menurut Pell dan Gregory yang meliputi sebagian klasifikasi dari George B. Winter:

Hubungan Gigi Dengan Tepi Ramus Antara Mandibula Dan Tepi Distal Molar

Kedua

 Kelas I: Ada cukup ruangan antara ramus dan batas distal molar kedua untuk

lebar mesiodistal molar tiga

 Kelas II: Ruangan antara distal molar kedua dan ramus lebih kecil daripada lebar

mesiodistal molar ketiga

 Kelas III: Sebagian besar atau seluruh molar ketiga terletak di dalam ramus

a. Berdasarkan Letak Molar Ketiga Di Dalam Rahang

1) Posisi A: Bagian tertinggi gigi molar ketiga berada setinggi garis

2) Posisi B: Bagian tertinggi gigi molar ketiga berada di bawah garis oklusal

tapi masih lebih tinggi daripada garis servikal molar kedua

3) Posisi C: Bagian tertinggi gigi molar ketiga berada dibawah garis servikal

molar

b. Klasifikasi Impaksi Gigi M3 Atas

Didasari Pada Posisi Anatomi (Menurut Pell And Gregory)

Berdasarkan kedalaman relatif impaksi gigi M3 atas dalam tulang,yaitu:

 Klas A : Bagian terbawah dari mahkota gigi impaksi M3 atas berada segaris

dengan oklusal gigi M2

 Klas B : Bagian terbawah mahkota gigi impaksi M3 atas berada diantara

dataran oklusal dan garis servikal gigi M2 disebelahnya


 Klas C : Bagian terbawah dari mahkota gigi impaksi M3 atas berada pada

atau terletak diatas servikal gigi M2

D. INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI ODONTEKTOMI

Odontektomi adalah pengambilan gigi dengan prosedur bedah dengan

pengangkatan mukoperiosteal flap dan membuang tulang yang ada diatas gigi

dengan chisel, bur, atau rongeurs.

Indikasi Odontektomi :

1. Perikoronitis

Perikoronitis merupakan peradangan pada jaringan lunak disekeliling

gigi yang akan erupsi, paling sering terjadi pada molar 3 bawah. Perikoronitis

merupakan suatu kondisi yang umum terjadi pada molar impaksi dan

cenderung muncul berulang, bila molar belum erupsi sempurna. Akibatnya,

dapat terjadi destruksi tulang di antara gigi molar dan geraham depannya.

Odontektomi dapat dilakukan sebagai tindakan pencegahan dari terjadinya

pericoronitis akibat gigi erupsi sebagian.Perikoronitis dengan gejala-gejala :

 rasa sakit di regio tersebut

 pembengkakan

 mulut bau

 pembesaran limfenode submandibular.


2. Mencegah Berkembangnya Folikel Menjadi Kista Odontegenik

Suatu gigi yang impaksi mempunyai daya untuk merangsang

pembentukan kista atau bentuk patologi terutama pada masa pembentukan

gigi. Benih gigi tersebut mengalami rintangan sehingga pembentukannya

terganggu menjadi tidak sempurna dan dapat menimbulkan premordial kista

dan folikular kista.

3. Pencegahan Karies

Gigi yang impaksi juga bertendensi menimbulkan infeksi atau karies

pada gigi di dekatnya. Cukup banyak kasus karies pada gigi molar dua karena

gigi molar ketiga mengalami impaksi. Gigi molar ketiga merupakan penyebab

tersering karies pada molar kedua karena retensi makanan. Karies distal molar

kedua yang disebabkan oleh karies posisi gigi molar ketiga.

4. Untuk Keperluan Terapi Ortodontik

Pencabutan gigi impaksi pada perawatan ortodontik dapat menjadi

suatu indikasi apabila ruangan yang dibutuhkan kurang untuk ekspansi

lengkung gigi atau juga dikhawatirkan akan menjadi faktor relapse setelah

dilakukannya perawatan ortodontik.

5. Menimbulkan Kerusakan Pada Akar Gigi Yang Berdekatan.

Gigi impaksi dapat menyebabkan tekanan pada akar gigi sebelahnya

sehingga mengalami resorpsi akar. Pencabutan gigi impaksi dapat

menyelamatkan gigi terdekat dengan adanya perbaikan pada sementumnya.


6. Terdapat keluhan rasa sakit atau pernah merasa sakit.

Rasa sakit dapat timbul bila gigi impaksi menekan syaraf atau menekan

gigi tetangga dan tekanan tersebut dilanjutkan ke gigi tetangga lain di dalam

deretan gigi, dan ini dapat menimbulkan rasa sakit. Rasa sakit dapat timbul

karena gigi impaksi langsung menekan nervus alveolaris inferior pada kanalis

mandibularis.

7. Diperkirakan Akan Mengganggu Pembuatan Protesa.

Pencabutan gigi impaksi dilakukan apabila berada dalam denture

bearing area yang dapat menghambat adaptasi landasan dan mengganggu

retensi serta stabilitas dari protesa yang akan dibuat.

Menurut Pedersen (1996) indikasi odontektomi antara lain :

1. Kegagalan pencabutan dengan tang.

a) Adaptasi tang yang tidak tepat/gagal (mahkota/akar rusak /malposisi)

b) Mahkota fraktur.

c) Tidak berhasil mengekspansi alveolus.

2. Kemungkinan terjadinya fraktur akar.

a) Akar yang panjang dan kecil.

b) Akar yang mengalami dilaserasi.

c) Gigi yang dirawat endodontic (getas).

d) Tulang pendukung yang padat.

e) Celah ligament periodontal yang sempit


3. Kedekatan dengan struktur disekitarnya.

a) Gigi yang lain (arah pengeluaran terhalang gigi lain).

b) Sinus maxilaris.

c) Canalis mandibularis.

4. Untuk mempertahankan tulang alveolus yang mendukungnya.

a) Gigi kaninus atas.

b) Gigi ankilosis.

Menurut Fragiskos (2007) indikasi odontektomi antara lain :

a) Gigi RA atau RB dengan morfologi akar gigi yang tidak biasa.

b) Hipersementosis akar, akar tipis dan akan yang membulat.

c) Akar yang mengalami delaserasi.

d) Gigi ankilosis atau gigi-geligi yang mengalami abnormalitas (contoh : dens in

dente).

e) Gigi impaksi.

f) Gigi yang fusi dengan gigi disebelahnya, gigi yang fusi pada daerah apical

dengan gigi tetangganya.

g) Akar gigi yang ditemukan dibawah garis gusi.

h) Akar dengan lesi periapkal.

i) Gigi molar desidui yang akarnya memeluk mahkota gigi premolar permanen.
Kontraindikasi Odontektomi

1. Tidak Ada Keluhan.

Apabila tidak ada keluhan dari pasien yang mengalami gigi impaksi maka

tidak diperlukan tindakan odontektomi yang dapat memakan waktu, biaya dan

resiko pembedahan yang dapat terjadi.

2. Kemungkinan Menyebabkan Gigi Terdekat Rusak Atau Struktur penting

Lainnya.

Tindakan odontektomi beresiko tinggi untuk merusak jaringan dengan

membuka flap dan juga merusak tulang yang menghalangi akses terhadap gigi

yang impaksi. Apabila dikhawatirkan kerusakan yang akan diakibatkan oleh

tindakan odontektomi tidak sebanding dengan manfaat yang didapatkan, maka

sebaiknya odontektomi tidak dilakukan.

3. Penderita Usia Lanjut

Pada pasien yang berusia lanjut, tulang yang menutupi gigi impaksi akan

sangat termineralisasi dan padat sehingga akan menyulitkan dilakukan

odontektomi. Selain itu perlu diperhatikan juga keadaan umum pasien yang

mungkin akan menghambat keberhasilan penyembuhan setelah dilakukannya

odontektomi.

4. Kondisi Fisik Atau Mental Terganggu.

Pada pasien dengan kesehatan umum yang terganggu misalnya mengidap

penyakit sistemik maka diperlukan konsultasi terlebih dahulu kepada dokter

yang bersangkutan sebelum melakukan tindakan bedah. Sedangkan untuk


pasien dengan keadaan mental yang terganggu dapat mengganggu tingkat

kooperatif pasien selama melakukan tindakan pembedahan.

E. PROSEDUR TINDAKAN ODONTEKTOMI

Prinsip dan langkah-langkah untuk menghilangkan gigi impaksi sama dengan

surgical extraction lain. Ada 5 teknik dasar :

1. Mendapatkan exposure yang cukup ke area gigi impaksi è ini berarti

pengangkatan flap jaringan lunak harus memberikan dimensi yang cukup bagi

operator untuk melakukan pembedahan yang perlu.

2. Mendapatkan akses yang diperlukan untuk pembuangan tulang agar gigi

terlihat untuk dilakukan pemotongan atau pengangkatan.

3. Membelah/membagi gigi dengan bur atau chisel (pisau bedah) agar ekstraksi

gigi dapat dilakukan tanpa pembuangan tulang berlebihan.

4. Mengangkat potongan gigi dari prosesus alveolar dengan elevator.

5. Pembersihan dengan irigasi dan pembersihan mekanis dengan kurettase dan

ditutup dengan simple interrupted suture.

Meskipun pendekatan bedahnya mirip dengan ekstraksi dengan bedah gigi

lainnya, namun perlu perhatian khusus karena pengangkatan gigi memerlukan

pembuangan tulang, kadang memerlukan pembelahan gigi, dan karena tulang yang

dibuang relative keras maka alat dan teknik melakukannya harus sangat baik. Gigi

sebenarnya bisa diangkat tanpa dilakukan pembelahan namun harus dengan

membuang sejumlah besar tulang. Hal ini akan memperlama penyembuhan dan
melemahkan rahang. Namun pemotongan gigi menjadi banyak bagian juga tidak

terlalu baik karena akan memperlama waktu operasi. Jadi buanglah tulang dan

potonglah gigi sesuai dengan kebutuhan untuk menyingkat waktu bedah dan

proses penyembuhan.

Sebelum melakukan suatu tindakan pembedahan pada gigi impaksi, perlu

dilakukan beberapa hal untuk menghindari komplikasi seminimal mungkin.

Tindakan yang perlu dilakukan sebelum pembedahan :

a) Pemeriksaan keadaan umum penderita, dengan anamnesa dan pemeriksaan

klinis.

b) Pemeriksaan penunjang dengan foto rontgen, sehingga dapat mengevaluasi

dan mengetahui kepadatan dari tulang yang mengelilingi gigi, sebaiknya

didasarkan pada pertimbangan usia penderita, hubungan atau kontak dengan

gigi molar kedua, hubungan antara akar gigi impaksi dengan kanalis

mandibula, dan morfologi akar gigi impaksi, serta keadaan jaringan yang

menutupi gigi impaksi, apakah terletak pada jaringan lunak saja atau

terpendam didalam tulang.

c) Menentukan tahapan perencanaan pembedahan yang meliputi perencanaan

bentuk, besarnya dan tipe flap, menentukan cara mengeluarkan gigi impaksi,

perkiraan banyaknya tulang akan dibuang untuk mendapatkan ruang yang

cukup untuk mengeluarkan gigi impaksi, perencanaan penggunaan instrumen

yang tepat, menentukan arah yang tepat untuk pengungkitan gigi dan

menyebabkan trauma yang seminimal mungkin (Archer, 1975; Peterson,

2002)
Fragiskos (2007) mengemukakan bahwa tahapan odontektomi baik pada akar

tunggal maupun akar multiple adalah sama. Tahapan tersebut meliputi :

a) Pembuatan Flap

b) Pengurangan tulang dan pemaparan tulang

c) Ekstraksi gigi atau akar gigi dengan elevator atau tang.

d) Suturing dan perawatan post operasi.

Flap dibuat untuk mendapatkan jalan masuk ke struktur tulang atau gigi

(Pedersen, 1996). Tipe flap menurut Fragiskos (2007) antara lain :

1. Trapezoid

a) Dibentuk dengan membuat insisi horizontal sepanjang gingival dan dua

insisi melintang pada mukosa bukal

b) Dasar flap yang lebih lebar sangat dibutuhkan untuk suplai darah yang

baik dan adekuat

c) Flap tipe ini dibutuhkan untuk prosedur operatif yang luas

2. Triangular

a) Dibentuk dengan membuat insisi bentuk L dan insisi horizontal

sepanjang gingival

b) Diindikasikan untuk pengambilan ujung akar, kista kecil dan apikoektomi

3. Envelope

a) Flap tipe ini adalah hasil perluasan insisi horizontal sepanjang garis

servikal gigi
b) Biasa digunakan untuk pembedahan gigi insisivus, premolar dan molar

4. Semilunar

a) Insisi flap berbentuk kurva

b) Memberikan fasilitas jalan masuk ke apical

c) Melindungi terkoyaknya tepi gingival

Pengambilan Tulang Diatas Gigi Impaksi. Setelah soft tissue diangkat,

surgeon harus menentukan bagian tulang mana yang akan diambil. Pada beberapa

kasus, gigi bisa langsung dipotong dengan chisel tanpa harus dilakukan

pengambilan tulang. Pengamilan tulang dilakukan dengan menggunakan drill. Alat

yang biasa digunakan handpiece with adequate speed, high torque, round bur no.8,

dan telah disterilkan dengan steam autoclave. Tulang yang diatas permukaan

oklusal, bukal, dan distal dibuang lebih dulu. Jarang dilakukan pada bagian lingual

karena membahayakan lingual nerve. Untuk gigi maksila, tulang yang pertama

diambil bagian bukal kebawah sampai servikal line dan terlihat mahkota klinisnya.

Karena tulang di maksila tipis, pengambilan tulang bisa dengan chisel atau hand

instrumen.

Pemotongan Gigi. Dilakukan dengan bur atau chisel. Bur jangan digunakan

untuk memotong dalam arah lingual. Impaksi gigi maksila jarang dilakukan

pemotongan gigi, karena lapisan tulang biasanya tipis dan relative elastis. Secara

umum impaksi gigi dimanapun berada, pemotongan biasanya dilakukan pada

servikal line. Hal ini akan memudahkan pengambilan bagian mahkota, mendorong
bagian akar ke ruang yang ditempati bagian mahkota, kemudian mengangkat

bagian akar. Pada kasus mesioangular yang cenderung sulit, pemotongan

dilakukan pada bagian distal setengah mahkota gigi sampai ke bawah cervical line

dari aspek distal. Setelah bagian distal diangkat, small straight elevator disisipkan

ke purchase point pada mesial aspek M3, dan gigi diangkat dengan gerakan rotasi

dan lever dengan elevator. Pada kasus horizontal impaksi setelah tulang yang

diinginkan diambil, gigi dipotong tepat di servikal line, kemudian pengangkatan

bagian gigi sama dengan pengambilan gigi secara umum. Pada kasus vertical

impaksi gigi dipotong menjadi bagian mesial dan distal.

Pengambilan Potongan Gigi dengan Elevator. Setelah tulang dibersihkan dan

gigi dipotong, langkah selanjutnya adalah mengangkat potongan gigi dengan dental

elevator. Pada mandibula elevator yang biasa digunakan adalah straight elevator,

the paired Cryer elevator, dan Crane pick. Perbedaan pengambilan gigi impaksi

dengan ekstraksi biasa adalah pada pengambilan gigi impaksi hampir tidak

diperlukan luksasi gigi untuk tujuan ekspansi bucal or linguocortical plate. Karena

tulang telah dibuang dan gigi telah dipotong. Pemberian tekanan yang eksesive

malah akan membahayakan gigi M2 sebelahnya dan keseluruhan mandibula.

Elevator didesain bukan untuk memberikan tekanan berlebih pada gigi akan tetapi

untuk mencungkil gigi atau akar gigi kearah yang diinginkan dengan tekanan yang

sesuai.

Debridement of Wound and Wound Closure. Setelah gigi impaksi diangkat,

langkah berikutnya adalah pembersihan wound (soket) dari semua debris yang
mungkin ada dari pecahan tulang dan lainnya. Pembersihan dengan irigasi salin

sterile dan pembersihan mekanis dengan periapikal kuretase. Tulang hasil kuretase

harus halus dan pinggirannya tidak tajam. Sebuah mosquito hemostat dapat

digunakan untuk mengambil sisa dental folikel. Penutupan insisi adalah penutupan

yang dilakukan pertama kali. Jika disain flap baik dan tidak traumatized maka flap

akan dengan mudah dikembalikan ke tempat asalnya. Penjahitan awal dibuat

melalui attach tissue / perlekatan jaringan pada aspek posterior dari M2, jahitan

tambahan dilakukan ke belakang dari posisi tersebut dan kedepan melalui papila

pada sisi mesial dari M2. Biasanya 3-4 jahitan diperlukan untuk menutup flap

bedah.

Tindakan sesudah pencabutan gigi

Sesudah gigi impaksi berhasil dikeluarkan dengan baik, sisa-sisa folikel

dibersihkan seluruhnya. Kegagalan untuk melakukan hal ini bisa mengakibatkan

penyembuhan yang lama atau perkembangan patologis dari sisa epitel

odontogenik. Setelah folikel dibersihkan, alveolus diirigasi dengan saline dan

diperiksa dengan teliti. Pada rahang atas terutama perhatikan adanya kemungkinan

perforasi sinus. Yang penting berkenaan dengan pembedahan impaksi gigi bawah

adalah kondisi bundle neurovascular alveolari inferior yang sering terlihat pada

kedalaman alveolus. Semua potongan gigi atau serpihan tulang juga serpihan

periosteum dan mukosa harus dihilangkan. Tepi-tepi tulang dihaluskan dengan bur

dan kikir tulang. Penjahitan dilakukan terutama untuk menstabilkan jaringan

terhadap prosesus alveolaris dan terhadap efek distobukal M2 di dekatnya. Foto


sinar X segera sesudah operasi dibuat untuk kasus-kasus yang sulit di mana ada

kemungkinan terjadi fraktir menadibula / cedera struktur sekitarnya (permukaan

akar). Kemudian diletakkan tampon di atas bekas operasi dan pasien dianjurkan

untuk tetap menggigitnya paling tidak 1- 1½ jam.

Instruksi pasca-bedah

Tekankan perlunya minum analgesic sebelum rasa sakit timbul, seperti juga

aplikasi dingin untuk mengontrol pembengkakan. Puncak rasa sakit sesudah

pembedahan impaksi adalah selama kembalinya sensasi daerah operasi

sedangkan pembengkakan maksimal biasanya terjadinya 24 jam pasca-

pencabutan.

Tindak lanjut

Control dijadwalkan pada waktu melepas jahita, baisanya hari keempat /

kelima sesuah operasi. Pada kunjungan ini daerah yang dioperasi diperiksa dengan

teliti yaitu mengenai penutupan mukosa dan keberadaan beku darah. Yang hampir

selalu terjadi adalah kebersihan mulut yang jelek karena penyikatan gigi masih

sakit. Tekankan anjuran untuk menggunakan larutan kumur secara efektif,

sedangkan penggunaan alat pulsasi air sebaiknya ditunda karena dikhawatirkan

dapat melukai atau melepas bekuan darah.


BAB III

TINJAUAN KASUS

FORM PENGKAJIAN PRE ANESTESI

PELATIHAN PENATA ANESTESI ANGKATAN 1 DI RS MITRA PLUMBON

Nama : HENDRIKSAL BENKRISTO Amd. Kep

NIP : 19880511 201101 1 008

A. Biodata Pasien

Nama : Nn. C

Umur : 24 th

No. Med. Rec. : 38 42 56

Alamat : Blok jumat – Pantuanan – Leuwimunding - Majalengka

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Belum ada

Tgl / jam MRS : 30 Januari 2019 / 18.00 WIB

Tgl / jam masuk OK : 01 Februari 2019 / 18.00 WIB


B. Riwayat Kesehatan

1. Keluhan Utama

Nyeri pada gusi atas paling belakang bagian kiri dan kanan

2. Riwayat penyakit

Klien mengeluhkan nyeri pada gusi atas paling belakang dirasakan sejak 2

minggu yang lalu. Kemudian Klien datang ke poli gigi RSMP untuk melakukan

pemeriksaan pada giginya. Setelah dilakukan pemeriksaan dan di rontgen

maka dokter menganjurkan untuk dilakukan tindakan operasi

3. Keluhan Tambahan

Tidak ada

4. Riwayat Penyakit Dahulu

Tidak ada

5. Riwayat Penyakit Keluarga

Klien mengatakan tidak ada riwayat penyakit keturunan seperti DM, hipertensi,

dll.

6. Obat – obatan yang telah dan sedang dijalani

Asam mefenamat 3 x 1 sesudah makan

7. Pemeriksaan Fisik

Head to toe

1. Kepala : bentuk lonjong, tidak ada oedem.

2. Mata : conjungtiva tidak anemis, skelera tidak icteric

3. Hidung : tidak ada secret

4. Telinga : bersih, simetris kiri dan kanan


5. Mulut : tidak ada kelainan, tidak ada gigi palsu

6. Leher : tidak ada pembengkakan kelenjar getah bening,

kaku kuduk (-)

7. Thoraks : pergerakan dada simetris

8. Abdomen : tidak ada asites, perut datar

9. Genitalia : tidak dilakukan pengkajian

10. Extremitas : tidak ada kelainan

11. Integumen : keadaan kulit bersih, turgor kuliat baik, akral hangat

 Kesadaran kualitatif

Klien sadar penuh dapat berorientasi dengan baik, bisa melakukan aktifitas jika

disarankan untuk menggerakan anggota tubuh yang di perintahkan

 Tanda-tanda vital :

 Keadaan umum : baik, kooperatif

 Kesadaran : composmentis

 TTV : Tek. Darah : 120/70 mmHg

Nadi : 105 x / menit, reguler

Pernapasan : 20 x / menit

Suhu badan : 36,7 º C ( axilla )


 Pemeriksaan fisik focus

Terlampir hasil pemeriksaan rotgen terdapat infaksi 38 dan 39

C. Data psikologis

Klien tampak cemas dan gelisah serta bertanya-tanya tentang proses operasi yang

akan dijalaninya

D. Data sosial

Klien mengatakan hubungan dengan keluarga maupun tetangganya semua baik-

baik saja

E. Data Kultural

Klien mengatakan dia asli orang cirebon, klien bisa berbahasa jawa Cirebon, klien

juga mengatakan bisa berbahasa indonesia walaupun capur bahasa jawa cirebon

F. Data Spiritual

Klien mengatakan ia beragama islam dan melaksanakan sholat lima waktu secara

rutin

G. Pola Pengkajian Fungsional

1. Pola persepsi kesehatan

Klien mengatakan hidup sehat dengan tidak merokok dan tidak

mengkonsumsi minuman – minuman yang mengandung alkohol

2. Pola nutrisi metabolic

Klien mengatakan makan 3 kali dalam sehari, kadang kalau merasa kenyang

cukup 2 kali sehari, untuk tambahan dia suka makan makanan ringan seperti
kue, kalau minum dia mengatakan kurang lebih 8 gelas air mineral dengan

gelas berukuran sedang

3. Pola eliminasi

Klien mengatakan BAB 1 – 2 kali / hari konsistensi padat dan warna kuning.

BAK 5 – 6 x sehari. BAB dan BAK tidak mengalami gangguan, pasien dapat

melakukan sendiri tanpa bantuan.

4. Pola aktivitas / latihan

Klien mengatakan aktifitas yang sering dia lakukan ketika tidak merasakan

sakit, dia sering mengurus rumah membantu orang tuanya

5. Pola istirahat/ tidur

Klien mengatakan dia tidur siang 1 – 2 jam dan tidur malam 7 – 8 jam

6. Pola kognitif/ persepsional

Klien mengatakan jika ada perasaan cemas tentang proses operasi yang akan

dijalaninya

7. Pola peran /hubungan

Klien mengatakan hubungan dia dengan keluarganya sangat baik dan tidak

ada permasalahan dalam keluarga


8. Pola Sexsualitas/ reproduksi

Klien mengatakan menstruasi 1 kali dalam sebulan

9. Pola nilai/ kepercayaan

Klien mengatakan kepercayaannya mengikuti kepercayaan orang tuanya

secara turun temurun, dan menghargai perbedaan.

H. Pemerisaaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium

Laboratori

um

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan Interpreta

si

HEMATOLOGI

RUTIN

Hemoglobin 13,9 g/dl 13.5 – 17.5 Normal

Hematokrit 39,7 % 33 – 45 Normal

Leukosit 8,21 Ribu/Ul 4.5 – 11.0 Tinggi

Trombosit 303 Ribu/Ul 150 – 450 Normal

Eritrosit 4,60 Juta/Ul 4.50 – 5.90 Normal

HEMOSTASIS
CT 4 Menit 2–6 Normal

BT 2 Menit 1–3 Normal

INR 1.210

KIMIA KLINIK

ELEKTROLIT

Natrium darah 2,00 Mmol/L 136 – 145 Normal

Kalium darah 4,00 Mmol/L 3.3 – 5.1 Rendah

Chlorida darah 87 Mmol/L 58 – 100 Tinggi

HbSAg Rapid Negative S//CO Negativ < Normal

0.13

2. Radiologi

Foto thorak : tak tampak pembesaran jantung, pulmo dalam batas normal

Kesan : Pemeriksaan panoramic

Infaksi 38 dan 39

Tidak tampak sisa radikal

Tampak missing teeth

Tidak tampak lesi lusen pariapikal

Skeletal dalam batas normal

Sinus maksilaris bilateral


Analisa Data

Pre operasi

Data Etiologi Masalah

DS : Klien mengatakan Akan dilakukan tindakan cemas

merasa cemas dengan operasi

tindakan operasi yang

akan dijalaninya

DO : Klien tampak cemas dan

sering bertanya tentang

proses operasi yang

akan dijalaninya

Intra operasi

Data Etiologi Masalah

DS : - Efek penggunaan obat – obat Resiko cidera

DO : pasien tampak gelisah anestesi

dan bergerak tanpa

tujuan

Post operasi

Data Etiologi Masalah

DS : Klien mengatakan nyeri Bekas luka operasi Nyeri akut


pada bekas operasi

DO : Klien tampak meringis

dan gelisah

TD : 130/80

N : 103

R : 20 x/mnt

Sat: 99 %

Diagnosa keperawatan

1. Pre operasi

Cemas berhubungan dengan akan dilakukannya tindakan operasi

2. Intra operasi

Resiko cidera berhubungan dengan efek penggunaan obat - obat anestesi

3. Post operasi

Nyeri berhubungan dengan adanya luka bekas operasi


PERSIAPAN ANESTESI DAN PENATALAKSANAN MEDIS

A. Biodata Pasien

Nama : Ny. C

Umur : 24 th

Alamat : Blok jumat – Pantuanan – Leuwimunding - Majalengka

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Belum ada

Diagnosa : Impaksi gigi

Tindakan : Odontektomi

Nilai ASA :I

Tindakan pembiusan : General Anetesi

B. Persiapan anestesi :

1. Mesin anestesi

a. Gas terdiri dari Oksigen dan Nitro Oxide

b. Gas Volotile terdiri dari Sevofluran dan Isofluren

c. Tidak ada keboran pada mesin anestesi

2. Monitor TTV dan saturasi klien

3. STATICS :

a. Laringoskop no blade 3 (pastikan lampunya menyala) dan stetoskop

b. Tube ( Selang endotrakeal tube) ETT kin kin no 7.0 (pastikan tidak bocor)

c. Air way ( Gudel / Mayo ) ukuran medium no 4

d. Tape ( Plester )
e. Introducer ( mandrein, stilet )

f. Conector

g. Suction

4. Persiapkan obat – obat anestesi yang diperlukan untuk tindakan intubasi ETT

C. Penatalaksanaan Anestesi

1. Ruang persiapan

Pasien masuk ke kamar persiapan pada tanggal 01 Februari 2019 jam 18.00

WIB, pasien langsung diganti baju operasi, infus terpasang pada tangan kanan

dengan iv catether ukuran 18 dan cairan menetes lancar. Selama di ruang

persiapan pasien kooperatif dengan tingkat kesadaran compos mentis GCS 15.

Sebelum tindakan anestesi diperlukan inform concent yang ditandatangani

keluarga klien.

Tanda –tanda vital pasien :

Tek. Darah : 120/70 mmHg

Nadi : 105 x / menit, reguler

Pernapasan : 20 x / menit

Suhu badan : 36,7 º C ( axilla )

Berat badan : 55 Kg
2. Ruang operasi

Pre Operasi

a. Pasien masuk ke kamar operasi pada tanggal 01 februari 2019 jam 18.20

WIB, klien di baringkan dengan posisi supine di meja operasi memasang

papan lengan dan memasangkan sabuk pada lengan agar tidak terjatuh

serta mengatur kecepatan infus.

b. Nyalakan monitor dan mesin anestesi

c. Melakukan pemasangan tensimeter dan saturasi oksigen.

d. Menunggu intruksi dan lapor kepada konsulen dan operator bila sudah siap.

e. Menganjurkan pasien untuk berdoa

f. Beri sedasi sesuai instruksi dokter

Obat – obat yang diberikan pada klien Nn. C antara lain :

Pkl 18.30 WIB

- Fentanyl 100 mcg dicampur dengan ondancentron 8 mg / iv

- Propofol 100 mg / iv

- Atracurium 25 mg / iv

g. Sebelum melakukan intubasi WAJIB dilakukan Ventilasi Tekanan Positif

(VTP) O2 100 % dengan tujuan untik mencegah HIPOKSIA dengan cara :

 2 jari berada di atas sungkup muka , menekan sungkup muka kebawah

 3 jari lain berada di ramus mandibular, mengangkat mandibular ke atas

 Dengan gerakan yang lembut kantong ambu bag ditekan sampai dada

terangkat

 VTP dilakukan Selama 3 sampai 5 menit


 Apabila dada tidak terangkat maka lakukan pemasangan gudel / mayo

atau lakuakan maneuver jalan napas kembali

h. Pelaksanaan intubasi dilakukan pada jam 18.35 WIB dengan prosedur :

 Buka blade pegangan tangkai laringoskop dengan tenang

 Buka mulut pasien

 Masukan blade pelan – pelan menyusuri dasar lidah. Setelah ujung

blade sudah smpai di pangkal lidah, geser lidah pelan – pelan kearah

kiri

 Angat tangkai laringoskop ke depan agar mengangkat seluruh lidah

kedepan sehingga rona glotis terlihat

 Ambil pipa ETT sesuai ukuran yang sudah ditentukan sebelumnya

 Masukan dari sudut kanan mulut arahkan ujung ETT menyusur ke rima

glotis masuk ke cela pita suara

 Masukan udara kebalon ETT sesuai dengan kebutuhan

 Sambungkan ETT dengan konektor sumber oksigen dan lakukan

pengecekan apakah ada suara udara yang keluar dari ETT dengan

cara menekan ambu bag

 Cek ulang dengan stetoskop dan dengarkan aliran udara yang masuk

lewat ETT, apakah sama antara paru – paru kiri dan kanan

 Fiksasi ETT dengan plester

i. Perhitungan respirasi selama operasi.

Perhitungan rencana pemberian ventilasi :

1. Tidal Volume
Tidal Volume = BB (Kg) x Konstanta (6-10)

55 x 8

TV : 440 ml

2. Minute Volume

Minute Volume = Tidal volume x Respirasi rate ( 12-16 x/menit)

440 x 12/menit

MV : 5280 ml/mnt atau 5,3 L/menit

3. Menggunkan teknik ventilator IPPV ( )

TV RR PEEP I:E

440 ml 12 x / menit 4 Ratio

1:2

Intra Operasi

Pasien sudah terintubasi dengan ETT kin kin no 7.0 cup +, mayo ukuran

medium no 4 pada jam 18.40 dan terhubung ke ventilator mesin anestesi.

A. Monitoring Intake dan output cairan

1. Perhitungan cairan pasien selama operasi :

BB : 55 kg

Jenis Operasi : Sedang

Puasa : 8 jam ( sejak pkl 10.30 WIB)

2. Kebutuhan cairan mentenance untuk pasien BB 55 Kg

Menggunakan Rumus 4:2:1

Kebutuhana cairan maintenance :

4 x 10 = 40
2 x 10 = 20

1 x 35 = 35

Kebutuhan cairan maintenace = 95 cc / jam

3. Kebutuhan cairan selama puasa

Menggunakan Rumus maintenace x lama puasa

99 cc x 8 jam = 760 cc / jam

kebutuhan cairan pengganti puasa 760 cc / jam

4. Insensible Water Lose (IWL)

Stres Operasi : Ringan = 2 – 4 ml, sedang = 4 -6 ml, berat = 6 – 8 ml

IWL = Stress operasi x BB (Kg) pasien

= 6 x 55 kg

= 330 ml

5. Kebutuhan cairan selama operasi

Rumus : Maintenance + stress ( jenis Iwl ) operasi + Puasa = ….ml

Jam 1 MOP = 95 + 330 + 760 = 1185 ml x 50 % = 592 ml

Jam 2 MOP = 95 + 330 + 760 = 1185 ml x 25 % = 296 ml

Jam 3 MOP = 95 + 330 + 760 = 1185 ml x 25 % = 296 ml

6. Estimated Blood Volume ( perkiraan volume darah )

EBV laki-laki dewasa 70 cc/kgbb

EBV perempuan dewasa 65 cc/kgbb

= ( 65 x 55 kg )

= 3.575 cc

7. Estimated blood lose ( perkiraan kehilangan darah )


( EBL x 10 %, 15 %, 20 % )

Ringan 10 % x 3.575 cc = 357.5 cc

Sedng 15 % x 3.575 cc = 536,25 cc

Berat 20 % x 3.575 cc = 715 cc

8. Jumlah pendarahan ( suction, kasa ) terdapat pada tabung suction :

100 cc

Perdarahan ringan: di ganti dengan cairan kristaloid dengan

perbandingan 1:3 = 100 cc darah Total cairan yang keluar

Darah = 100 cc

9. Cairan yang sudah diberikan (Kristaloid)

Pre operasi = 500 cc

Intra operasi = 500 cc

Total = 1000 cc

10. Jumlah tetesan / menit = 500 x 20 tetes / menit

= 166 tetes/menit

B. Pengakhiran anestesi

Operasi selesai pada pukul 09.20 wib pasien dilakukan spontanisasi

pada pernapasan dengan baging ( axis) tanpa menggunakan ventilator

dan di berikan terapi injeksi neostigmine 0,5 mg + sulfat atropine 0.25 mg

untuk menghilangkan efek dari obat relaksan (atrakurium). Pasien

bernapas spontan dengan adekuat dengan tanda bisa menelan, pasien

sadar penuh, mampu bernps bila di perintah, kekuatan otot sudah pulih,
tensi normal, saturasi normal dan tidak ada distensi lambung. Pasien

Ekstubasi pada jam 09.30 wib.

C. Post Operasi (Ruang pemulihan )

Pasien keluar dari kamar oparasi menuju ruang pemulihan pada jam 09.40 wib.

Pada saat masu ke ruang pemulihan pasien masih terpantau. Tanda tanda vital

pasien TD 120/70 mmHg, Nadi 83 x/menit. Cairan di ganti dengan Rl + drip

Tramadol 100 mg, ketorolac 30 mg, ondansentron 8 mg dan oksigen nasal kanul

diberikan 3 liter/menit

Waktu
TD Pra Anestesi : / mmHg Skor

5” 15” 30” 45” 60” 90” 120” Keluar

TD+/-20 mHg dari normal 2 2 2 2 2

Siskulasi TD+/20-50 mHg dari normal 1 1 1 1

TD+/ > 50 mHg dari normal 0

Sadar penuh 2 2 2 2 2 2 2 2

Kesadar
Respon terhadap panggilan 1
an

Tidak ada respon 0

Oksigen SPO2> 92% (dengan udara 2 2 2 2 2 2 2 2


asi bebas)

SPO2> 90% (dengan 1

suplemen oksigen)

SPO2< 90% (dengan 0

suplemen oksigen

Bisa tarik nafas dalam dan 2


2 2 2 2 2
batuk bebas
Pernafas

an Dispneu atau limitasi bernafas 1 1 1

Apneu/ tidak bernafas 0

Menggerakkan 4 ekstremitas 2 2 2 2 2 2 2 2

Menggerakkan 2 ekstremitas 1
Aktifitas

Tidak mampu menggerakkan 0

ekstremitas

TOTAL 8 8 9 10 10 10 10

Pasien bisa dipindah ke bangsal jika skor minimal 8

Masuk RR : jam 09.45 wib

Keluar RR : jam 11.45 wib

Pindah ke Ruangan : Perawatan bedah


Instruksi : observasi TTV

Puasa sampai bising usus +

Pemberian pemberian analgetik Tramadol dalam caran RL 20

Tetes / menit

DAFTAR PUSTAKA

Fragiskos, Fragiskos D. . Oral Surgery. New York : Springer-Verlag Berlin

Heidelberg, 2007.

Pedersen, Gordon W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta : EGC.

Peterson L.J.,2003.Contemporary Oral Maxillofacial Surgery.4th Ed.St.Louis: Mosby

Peterson. 2004. Principle of Oral and Maxillofacial Surgery. London : BC Decker Inc.

Riawan, Lucky. 2007. Materi Kuliah Bedah Dento Alveolar. Universitas

Padjadjaran Bandung

Anda mungkin juga menyukai