Anda di halaman 1dari 27

Anestesia Secara Umum

Anestesi umum modern berdasar pada kemampuan untuk memberikan analgesia dan
amnesia yang adekuat selama prosedur pembedahan. Obat-obat yang memblok
neuromuskuler dapat digunakan untuk memudahkan paparan bedah dengan memberikan
relaksasi otot profunda. Anestesiologis mencoba mencapai keduanya, analgesia dan amnesia,
dengan atau tanpa relaksasi otot, sambil memelihara fungsi fisiologis normal pasien.
Tantangan dalam anestesi untuk memelihara keseimbangan antara stres prosedur
pembedahan dan efek depresi kardiorespirasi dari level kedalaman anestesi (Gambar 2.1).
Anetesiologis menggunakan keterampilan klinis dalam pemeriksaan dan sekumpulan
monitor teknis untuk memberikan umpan balik terhadap status fisiologis dan kebutuhan
anestesi pasien. Tabel 2.1 menunjukan daftar pilihan yang tersedia bagi anestesiologis untuk
memberikan analgesia, amnesia, dan pelumpuh otot.

Status anestesia umum dapat diinduksi dengan injeksi obat-obat anestesi atau
melalui inhalasi campuran uap anestesi (gambar 2.1). Dengan anestesia umum, pelumpuh
otot dapat digunakan untuk memudahkan intubasi trakeal dan relaksasi otot. Pelumpuh otot
sering digunakan untuk memudahkan akses pembedahan dan penting untuk operasi toraks
dan abdomen. Karena pelumpuh otot tidak berpengaruh pada status kesadaran, harus diberi
obat-obat anestesi tambahan untuk meyakinkan adekuatnya amnesia dan analgesia.
Penggunaan pelumpuh otot mencegah penggunaan agen anestesi yang berlebihan yang di lain
pihak dibutuhkan untuk mencapai derajat relaksasi otot yang sama. Karena pelumpuh otot
juga mempengaruhi otot-otot pernapasan, ventilasi tekanan positif seringkali digunakan untuk
memelihara volum menit normal. Ketika pelumpuh otot tidak digunakan, pasien dapat
menghirup uap anestesi untuk memelihara status anestesi. Apabila usaha pada ventilasi
spontan tidak adekuat, ventilasi mekanik yang dibantu atau dikontrol dapat digunakan oleh
anestetis. Ventilasi mekanik terkontrol umumnya hanya digunakan apabila telah terintubasi.
Ventilasi spontan dan dibantu dapat digunakan sehubungan dengan pipa trakea, LMA
(laryngeal mask airway), atau simple face mask (gambar 2.2).
Anestesi umum modern menggunaka n kombinasi obat-obatan untuk mencoba
meminimalkan efek samping obat dan memaksimalkan manfaat bagi pasien. Oleh karena itu,
daripada hanya menggunakan halotan untuk anestesi bedah abdomen, anestetis seringkali
memilih serangkaian obat-obatan yang sesuai dengan kebutuhan pasien. Obat-obatan tersebut
meliputi opioid untuk menumpulkan respon nyeri terhadap pembedahan, barbiturat untuk
menginduksi status anestesi, dan obat anestesi inhalasi seperti nitrous oksida dan isofluran
untuk memelihara status anestesi. Obat-obat anestesi lainnya yang umum digunakan selama
anestesi umum antara lain antiemetik, obat-obat yang memblok neuromuskuler, dan
antagonis neuromuskuler.
Tabel 2.1. Pilihan Anestesi
Pilihan Anestesi
Hanya anestesi lokal
Anestesi lokal dengan sedasi sadar intravena Contoh: Propofol, midazolam, fentanyl, atau
musik untuk sedasi
Neurolept-analgesia Jarang digunakan. Dicapai dengan dosis tinggi
droperidol dengan opioid (seperti fentanyl) untuk
suplementasi analgesik.
Anestesi regional, dengan atau tanpa sedasi Contoh: Anestesi spinal, anestesi epidural, blok
pleksus brakialis, blok “Bier” intravena, blok saraf
perifer
Anestesi umum (lihat gambar 2.2) Dapat dikombinasi dengan anestesi regional, blok
saraf perifer, atau anestesia lokal.
Lain-lain Akupuntur
Teknik biofeedback (Lamaze)
Agen inhalasi
(contoh: Entonox = campuran nitrous oksida dan
oksigen 50:50)
Sedatif, narkotik, neroleptik, atau antiemetik IM,
PO, atau IV.
Evaluasi Preoperative dan Faktor Resiko
Penilaian pra operasi sangat penting untuk keamanan anestesi . Dokter yang tidak
memiliki paparan khusus anestesi ,tidak siap untuk mengevaluasi , mempersiapkan, dan
meminimalkan risiko pasien di periode perioperatif. Bab ini memberikan pedoman untuk
dokter yang perlu memahami risiko pasien mereka dalam menjalani prosedur bedah , dan
langkah-langkah yang dapat digunakan untuk mengoptimalkan kondisi pasien mereka
sebelum operasi.

Evaluasi pra operasi mempunyai beberapa tujuan. Pertama, mengidentifikasi


masalah medis dan bedah pasien dan rencana teknik anestesi. Kedua, menentukan
pemeriksaan penunjang, konsultasi, dan pengobatan untuk pasien yang kondisinya tidak
optimal. Akhirnya, memberikan informasi dan menenangkan pasien dalam menjalani
operasinya.

Pendekatan evaluasi preopertif yang terorganisasi akan memungkinkan dokter


anestesi untuk melakukan evaluasi terfokus terhadap kondisi medis dan bedah pasien, dan
untuk mencipkan operasi yang aman dan efisien. Evaluasi pra operasi tidak menggantikan
peran perawatan dokter primer, dan tidak boleh mengintervensi masalah pasien yang lain
yang tidak berhubungan dengan tindakan anestesi dan operasi.

Kunjungan preoperatif harus mencakup langkah-langkah berikut:

I. Identifikasi Masalah

II. Penilaian Faktor Risiko

III. Persiapan Pre Operatif

IV. Rencana Teknik anestesi

I. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah pasien adalah salah satu komponen manajemen
perioperatif yang paling penting, namun mudah diabaikan. Sebuah pedekatan
holistik dan menyeluruh dapat di jadikan pedoman dalam mengidentifikasi
masalah pasien. Identifikasi masalah didapatkan melalui anamnesa riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.
Teknik dan obat-obat anestesi memiliki efek besar pada fisiologi
manusia. Oleh karena itu, evaluasi terfokus terhadap semua sistem organ utama
harus dilakukan sebelum operasi. Anestesi memberikan perhatian khusus untuk
gejala dan penyakit yang terkait dengan sistem kardiovaskular, pernapasan, dan
neuromuskuler karena tindakan anestesi dan obat obatan akan langsung
memanipulasi sistem ini selama operasi. Oleh karena salah satu tujuan evaluasi
pra operasi adalah untuk memastikan bahwa pasien dalam kondisi terbaik (atau
optimal) , penting untuk tidak hanya mengidentifikasi gejala, tetapi juga untuk
mendokumentasikan keparahan penyakit dan memastikan stabilitas atau
perkembangan kondisi pasien. Pasien dengan kondisi yang tidak stabil harus
ditunda dan dioptimalisasi sebelum operasi elektif.

Kardiovaskular:
Pasien dengan penyakit jantung iskemik beresiko untuk iskemia miokard
atau infark pada periode perioperatif. Anemnesis menyeluruh harus memastikan
apakah hal ini merupakan angina yang baru atau perubahan dari pola sebelumnya
yang stabil. Pasien dengan riwayat infark miokard (<6 bulan) atau angina tidak
stabil adalah kandidat yang buruk untuk menjalani operasi elektif, dengan risiko
morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Penilaian risiko jantung akan dibahas kemudian dalam bab ini. karena
hampir sebagian besar agen anestesi merupakan suatu kardiakdepresan, riwayat
gagal jantung atau kardiomiopati harus menjadi perhatian utama dari seorang
anestesiologis. Penyakit katub jantung juga memerlukan evaluasi khusus dalam
masa preoperatif karena hal ini dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang
tidak menguntungkan dan bahkan berbahaya yang disebabkan oleh agen anestesi,
terutama untuk teknik anestesi regional.
Aritmia merupakan kondisi yang sering didapatkan di ruang operasi,
walaupun sekarang kejadiannya berkurang sejak ditemukannya agen anaestesi
yang baru. Dalam kunjungan preoperasi, penting juga untuk mengidentifikasi
riwayat aritmia atau gejala yang menunjukkan kebutuhan untuk alat pacu jantung.
Pasien dengan hipertensi akan membutuhkan perhatian khusus terhadap terapi
antihipertensi serta keseimbangan cairan dan elektrolit
Respirasi

Asap rokok memiliki beberapa efek yang merugikan, diantaranya


perubahan bersihan dan sekresi mukus, serta penurunan diameter saluran napas
kecil. Hal ini juga dapat mengubah respon imun. Perokok kronis harus didorong
untuk berhenti merokok selama minimal 8 minggu sebelum operasi, Akan tetapi
dengan berhenti merokok selama 24 jam dapat memperbaiki fisilogi
kardiovaskular dan menurunkan level carboxyhemoglobin.
Pasien dengan paru obstruktif kronik Penyakit (PPOK) memiliki
peningkatan risiko komplikasi pernapasan perioperatif. Anestesi, operasi dan
analgesia pascaoperasi merupakan faktor predisposisi untuk mengalami depresi
pernafasan, atelektasis, retensi sputum, pneumonia dan gagal nafas. Pasien dengan
asma berisiko untuk terjadinya serangan karena manipulasi jalan napas, gas
anestesi yang kering dan dingin adalah pemicu untuk terjadinya bronkospasme
intraopertif. Evaluasi ada tidaknya batuk, warna dan jumlah sputum. Pastikan
bahwa ada tidak ada infeksi saluran pernapasan atas akut.
Kapasitas paru paru pasien harus dievaluasi dengan mengajukan
pertanyaan seperti bagaimana mereka kondisi mereka saat naik/turun tangga di
rumah, atau saat berjalan ke toko-toko lokal. Apakah mereka mampu berjalan
beberapa blok dengan nyaman pada kecepatan yang normal? Apakah mereka
menghindari untuk naik tangga? Jika mereka secara rutin menggunakan tangga,
bagaimana banyak lantai yang dapat mereka raih? Apakah mereka harus
beristirahat di tangga? apakah ada sensasi kelelahan, sesak napas, atau nyeri
dada ?
Penyakit paru-paru restriktif akan diperparah dengan perut bagian atas
atau bedah toraks, dan meningkatkan resiko gagal nafas perioperatif. Setiap proses
penyakit yang mengarah pada perubahan kontrol pernapasan (obstruktif sleep
apnea, gangguan CNS, dll) meningkatkan resiko depresi nafas dari obat obat
anestesi , dan mungkin memerlukan pemantauan pascaoperasi yang intensif dan
perawatan ICU.

NEUROMUSKULAR

Jika pasien memiliki lesi intrakranial, cari tanda-tanda awal dan gejala
peningkatan tekanan intrakranial seperti sakit kepala, mual, muntah, penuruan
kesadaran dan papilledema. Lesi hipofisis mungkin menyebabkan kelainan
endokrin. Sebuah riwayat Cerebro Vascular Attack menandakan penyakit
serebrovaskular signifikan Seorang anestesiologis harus menanyakan mengenai
ada tidaknya riwayat kejang, jenis, frekuensi dan waktu kejang terakhir serta obat
antikejang yang diterima pasien.
Pasien dengan riwayat cedera medula spinalis memiliki resiko terjadinya
gagal nafas, aritmia, hiperrefleksia autonomik, hiperkalemia ,fraktur patologis dan
dekubitus. Penting untuk mencatat waktu dan tinggi level cedera sarafnya.
Gangguan pada celah neuromuskular seperti myastenia grafis, sindrom
miastenik,dll dapat menyebabkan respon yang sulit diprediksi dengan penggunaan
obat pelumpuh otot. Pasien dengan muscular dystrophy dan penyakit miopati
lainya akan memiliki resiko peningkatan malignan hipertemia dan gagal nafas
perioperatif.
Endokrin
Pasien dengan diabetes melits memerlukan evaluasi dan managemen
dalam fase perioperative karena respon stres pembedahan dan puasa dapat
menyebabkan perubahan bermakna dalam kadar gula darah. Pasien dengan DM
biasanya memiliki gangguan pada target organnya, termasuk didalamnya sistem
kardiovaskular, otal dan ginjal.
Pasien dengan penyakit tiroid juga memerlukan evaluasi mendalam.
Hipotiroid diasosiasikan dengan kejadian depresi miokardiom dan efek yang besar
terhadap pemberian obat sedatif. Pasien dengan hipertiroid memiliki resiko
terjadinya tiroid strom. Goiter dapa menekan jalan nafas dan mempengaruhi
nervus laringeus rekuren yang dapat menyebakan paralisis dari plica vocalis yang
nantinya akan menyebabkan obtruksi pada jalan nafas.
Pasien dengan phaeochromocytoma merupakan kondisi yang menantang
untuk anestesiologis, dokter bedah dan internis yang merawatnya. Pasien ini dapat
mengalami perubahan tekanan darah dan laju jantung yang drastis serta
memerlukan terapi yang intensif dengan obat anti adrenergik. Pasien ini juga
biasanya mengalami kondisi supresi adrenal sehingga tidak dapat memproduksi
kortikosteroid sebagai respon terhadap stress pembedahan.

Gastrointestinal
Pasien dengan penyakit hati biasanya memiliki gangguan pada
keseimbangan cairan dan elektrolit , pembekuan darah dan metabolisme obat.
Pasien dengan GERD rentan terhadap terjadinya refluks dari isi lambung dan
aspirasi pneumonia. Pasien pasien ini harus diberikan profilaksis antri relfuks
pada fase preoperatif

Renal

Gangguan pada cairan dan keseimbangan elektrolit merupakan hal yang


sering dijumpai pada pasien dengan gangguan ginjal. Secara umum semua jenis
gangguan ini harus diperbaikn sebelum operasi elektif.

Pasien dengan gagal ginjal, baik akut maupu kronis, sering dijumpai
dalam kamar oparasi. Dokter anestesi harus mampu menangani gangguan cairan
dan elektrolit , kemungkinan untuk dialisis dan perubahan metabolisme obat.
Berikan perhatian khusus tentang jadwal hemodialisa pasien karena terjadi
perubahan status cairan pada saat pre dan post HD, perubahan kadar kalium , serta
volume darah. Jika memungkinkan jadwalkan operasi satu hari setelah
hemodialisa . pasien dengan insufisensi ginjal akan memiliki resiko penurunan
fungsi ginjal ketika menjalani operasi. Maka dari itu evaluasi mendalam terhadap
keseimbangan cairan dan elektrolit serta perubahan hemodinamik harus
dilaksanakan.
Hematologis
Anemia oleh karena berbagai penyebab merupakan hal yang sering pada
pasien yang menjalani pembedahan . Level Hb 10g/dl meruopakan target minimal
untuk pasien elektif. Dalam tahun belakangan dogma mengenai hb minimal untuk
operasi mulai ditinggalkan. Keperluan untuk transfusi harus dievaluasi secara
individu tegantung dari kronisitas anemia, kemungkinan perdarahan intraoperatif
dan penyakit yang diderita pasien
Koagulopati yang menyangkut faktor pembekuan dan platelet baik
kongetial ataupun didapat perlu mendapatkan perhatian khusus. Pasien dengan
gangguan koagulasi biasanya merupakan calon yang buruk untuk dilakukan
anestesi regional dan pemilihan teknik anestesi harus didasarkan pada jenis
tindakan oparasi dan kondisi medis pasien.
Orang Tua/ Geriati
Pasien geriatri memiliki insiden yang lebih tinggi tehadap penyakit yang
berhubungan dengan usia sekaligus penuruan dari fungsi organ, hal ini
menyebabkan pasien geriatri memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Komplikasi ini tergantung dari penyakit penyerta yang dideritanya bukan
berdasarkan pada usia. Segala tindakan preopertif harus bertujuan untuk
mengidentifikasi dan menatalaksana penyakit penyerta.
Operasi emergensi pada geriatri dapat meningkatkan mortalitas sebanyak
20-40x. Hal ini disebabkan karena minimnya waktu yang tersedia untuk
mengoptimalkan kondisi pasien kuranganya cadangan fisiologis organ ,
penurunan fungsi organ serta penurunan toleransi tubuh terhadap stres mayor dan
pembedahan.

Pengobatan dan Alergi


Informasi mengenai pengobatan dan alergi merupakan hal yang penting
dalam evaluasi preoperasi. Perhatian harus di tujukan terhadapa obat obat
kardiovaskular dan respirasi, obat narkotika dan obat yang memiliki efek samping
yang signifikan serta interaksi antar obat.
Seluruh obat jantung, paru-paru dan obat yang penting lainanya harus
diminum dengan sedikit air pada hari operasi. Beberapa obat yang perlu
dihentikan antara lain coumadin, ASA, NSAID, Insulin ( dosis penyesuaian ),
Obat Hipoglikemik Oral, antidepresan. Perhatikan pada pasien yang menerima
MAO inhibitor dan Amiodarone.
Tanyakan pula mengeneai riwayat alergi pasien terhadap obat obatan ,
bagaiaman reaksi tubuh ketika alergi muncul . reaksi alergi merupakah hal yang
jarang, namun sangat fatal bila terjadi.

Riwayat Anestesi sebelumnya


Seorang anestesiolog harus menanyakan secara mendalam mengenai
riwayat anestesi dan riwayat kesulitan anesti dalam keluarga untuk pasien yang
akan menjalani pembedahan. Gali informasi mengenai komplikasi atau efek
samping dari anestesi sebelumnya, mendokumentasikan jenis masalah, serta
manajemen dan hasil intervensinya. Kondisi kondisi yang membahayakan seperti
malignant hipertemia dan defisiensi cholinesterase plasma merupakan gangguan
herediter yang serius di bidang anestesi.

Masalah yang berhubungan dengan pembedahan

Informasi mengenai kondisi umum pasien pada saat ini serta rencana
pembedahan yang akan dijalani, merupakan hal yang sangat penting untuk
diketahui sebelum pembedahan. Pertimbangan yang menyeluruh dapat
memprediksi masalah masalah yang berkaitan dengan pembedahan seperti resiko
pendarahan yang banyak / perpindahan cairan ke ruang interstitial ( pada operasi
digestif ) . penyulit penyulit kardiovaskular atau posisi posisi yang ekstrim pada
saat pembedahan ( prone , litotomi ) dll. Informasi ini diperlukan untuk
mempersiapkan kebutuhan jalur intravena, monitoring dan pertimbangan teknik
anestesi yang akan digunakan.

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada kunjungan pre operasi harus terarah pada
evalusai jalan nafa, sistem kardiovaskuler , sistem respirasi dan sistem lainya yang
memiliki masalah atau gejala dari anamnesa.

Pemeriksaan fisik umum:


Menilai status fisik dan psikologis pasien, perhatikan apakah kondisi
pasien tenang atau gelisah , kooperatif / tidak dalam menghadapi operasi nya.
Tentukan apakah pasien muda dan sehat atau lansia yang memiliki banyak
masalah pada sistem organnya. Hal ini diperlukan untuk menilai kebutuhan
premedikasi yang diberikan untuk mengoptimalkan kondisi pasien dalam
menjalani oparasi serta pemilihan teknik anestesi

Jalan nafas atas


Pemeriksaan ini harus dilakakukan pada setiap pasien. Indetifikasi
adakah gigi goyan , gigi ompong atau gigi palsu. Pasien diminta membukan mulut
untuk menilai mobilitas sendi temporomandibular, visualisasi dari palatum mole ,
uvula , arkus pharingeus, dan posterior faring. Nilai jarak thyromental ( dari
mentum / ujung dagu ke thyroid notch), mobilitas dari sendi leher dan posisi dari
trakea harus dinilai untuk mengevaluasi adanya kemungkinan kesulitan intubasi.

Jalan nafas bawah


Nilai lajut pernafasan, perhatikan kesimterisan gerakan dinding dada dan
bentuk dari dinding thorax. Lihat ada tidaknya otot otot bantu nafas yang bekerja (
mis pada pasien bronkitis kronis dan asma ). Auskultasi untuk menentukan
adanya/ tidaknya suara nafas dan suara nafas tambahan seperti ronki / whezzing.
Hal ini diperlukan untuk menilai sismtem respirasi pasien secara klinis.
Kardiovaskular
Tentukan laju jantung, irama dan tekanan darah. Tentukan lokasi iktus
kordis untuk melihat ada tidaknya pergeseran (kardiomegaly). Tentukan JVP
untuk menilai ada tidaknya tanda gagal jantung kongestif. Auskultasi untuk
mengidentifikasi adanya murmur atau gallop.
Pada operasi besar . antisipasi kemungkinan perdarahan dan
kemungkinan perlunya monitoring invasive seperti arteriar line, kanulasi vena
sentral.

Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium di lakukan jika ditemukan masalah dari
pemeriksaan fisik dan anamnesa. Pemeriksaan darah rutin diminta jika ada
kemungkinan perdarahan yang besar atau gangguan darah seperti anemia,
thalasema serta pasien yang baru menjalani kemoterapi. Pasien yang menjalani
pengobatan dengan diuterika, kemotrapi, gangguan ginjal harus mendapatkan
pemerikaan kadar elektrolit sebelum operasi. EKG harus dilakukan pada pasien
diatas 50 tahun atau meraka yang memiliki riwayat penyakit jantung ,
hipertensi .Penyakit arteri perifer, diabtes melitus, penyakit ginjal atau penyakit
metabolik lainnya.
Pemeriksaan foto torak diperuntukan bagi pasien dengan riwayat
gangguan jantung dan penyakit paru lainya seperti asma, PPOK atau pasien
dengna gangguan respirasi dalam 6 bulan terakir. Pemeriksaan urine digunakan
untuk pasien dengan DM atau gangguan ginjal disertai riwayat infeksi salurana
kemih.
II. Penilaian resiko

Ada 3 komponen yang harus dipertimbangkan saat melakukan evaluasi


resiko perioperatif: kondisi medis pasien saat preoperatif, prosedur bedahnya, dan
resiko dari anestesi. Secara umum, kontribusi mayor yang dapat meningkatkan
resiko adalah kondisi kesehatan pasien sebelum operasi dan efek dari
pembedahan. Namun pasien yang direncanakan operasi sering kali lebih merasa
takut pada proses anestesi dari pada proses pembedahannya. Untungnya
mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan anestesia jarang terjadi,
namun tidak beruntung karena tidak absen. Hal ini menimbulkan masalah yang
unik. Kombinasi dari kejadian yang jarang namun serius memicu seorang penulis
menyatakan “mungkin hal yang paling membahayakan dari anestesia adalah
tingkat keselamatannya yang relatif”

Mortalitas pada anestesia:

Berbagai macam prosedur bedah dan teknik anestesi, digabungkan


dengan berbagai macam penyakit bedah dan penyakit medisnya, menhasilkan
sejumlah faktor resiko yang berkontribusi pada keluaran secara keseluruhan, dan
membuat pernyataan secara menyeluruh mengenai resiko menjadi sulit. Prediksi
spesifik untuk keluaran seorang pasien nampak tidak mungkin, dan kompleksitas
dari masalah ini memicu studi peneliti tentang keluaran menjadi sangat sulit.
Namun beberapa penelitian yang mencoba untuk menentukan mortalitas dan
morbiditas pada anestesia telah dilakukan. Sulit untuk memisahkan kontribusi
dari anestesia dan pembedahan pada tingkat mortalitas dan morbiditas, yang
mana pasien sangat jarang yang menerima anestesi namun tidak dilakukan
pembedahan. Tabel 3.1 merangkum beberapa penelitian yang mencoba untuk
menentukan resiko mortalitas yang disebabkan hanya karena tindakan anestesia.

Studi pada mortalitas perioperatif menunjukkan hasil yang berbeda beda.


Perbeda pada definisi dari variabel keluaran, design studi, dan durasi dari follow
up membuat hasil tersebut sulit untuk dibandingkan. Saat diulas secara kritis,
studi ini menunjukkan bahwa nilai yang sering di gunakan untuk keseluruhan
resiko mortalitas karena anestesi pada semua pasien yang menjalani berbagai
macam jenis pembedahan adalah sekitar 1:10.000.
Pertanyaan yang perlu dijawab oleh anestesiologis dan pasien adalah:
“bagaimana resiko dari prosedur tertentu pada pasien dengan status medisnya
yang menerima teknik anestesi spesifik?” berbagai investigasi telah dilakukan
untuk menjawab pertanyaan yang sangat komplex ini. Namun kebanyakan hanya
mampu menjawab resiko operatif berdasarkan status medis preoperatif pasien.

Penilaian resiko perioperatif:

Metode tertua dan tersimpel untuk penilaian resiko mungkin adalah


status fisik dari American Society of Anesthesiology (ASA) (tabel 3.2). Sistem
klasifikasi status fisik ASA diusulkan pada tahun 1941 dan direvisi oleh Dripps
pada tahun 1961 untuk menyeragamkan penilaian kondisi fisik preoperatif pasien.

Sistem ini sederhana, mudah digunakan, dan tidak membutuhkan


investigasi laboratorium, sekarang telah diterima secara luas sebagai standart dari
klasifikasi pasien preoperatif. Walaupun dibuat sebagai alat untuk
mengklasifikasikan kondisi fisik pasien, status fisik ASA juga telah digunakan
untuk mengklasifikasikan resiko pasien. Terbuka untuk kritikan karena kategori
yang samar-samar dan aplikasi yang inkonsisten, klasifikasi status fisik ASA
menunjukkan korelasi dengan mortalitas perioperatif.
Contoh klasifikasi ASA :

ASA 1 : Pasien sehat, tanpa masalah medis


ASA 2 : Hipertensi terkontrol
ASA 3 : Emphysema
ASA 4 : Unstable angina
ASA 5E : Ruptur aneurisme aorta abdominalis dengan syok, menjalani operasi emergensi

Resiko kardiak:

Beberapa penelitian resiko perioperatif telah mencoba untuk menilai


resiko kardiak perioperatif mana yang penting. Penyakit jantung iskemik meraih
banyak perhatian karena mortalitas dari perioperatif infark miokardial mencapai
50%.
Pada taun 1977 Goldman menerbitkan indeks resiko multifaktorial untuk
pasien jantung yang menjalani prosedur non-kardiak (tabel 3.4). penelitian ini
melibatkan 1001 pasien, mengidentifikasi, analisis multivariabel, sembilan faktor
resiko potensial yang diprediksi memberikan komplikasi kardiak yang
mengancam nyawa. Sistem skoring yang menitikberatkan faktor-faktor tersebut
dalam kemampuannya memprediksi keluaran kardiak yang merugikan.

Dari data tersebut, Goldman mengusulkan pada pasien dengan skor lebih
besar dari 25 hanya di pertimbangkan untuk prosedur yang menyelamatkan
nyawa. Pasien dengan skor 13 – 25 dianjurkan untuk memperoleh konsultasi
medis preoperatif untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas. Tentunya,
menunda operasi sampai kondisi pasien lebih stabil dapat menurunkan indeks
resiko kardiak secara signifikan. Menunggu selama 6 bulan setelah infark
miokardial, menunda prosedur emergensi (jika memungkinkan) dan
meningkatkan kondisi kesehatan pasien yang buruk dapat menurunkan resiko
secara signifikan.
Indeks Goldman memiliki spesifitas yang tinggi, namun sensitivitas
yang rendah saat memprediksi resiko. Pasien dengan skor 13 atau lebih harus
menimbulkan kecurigaan kita. Skor yang rendah berkorelasi dengan rendahnya
kemungkinan keluaran yang buruk. Dalam usaha untuk meningkatkan sensitifitas
dari index Goldman, kriteria Goldman modifikasi Detsky memasukkan lebih
banyak penyakit-penyakit jantung (tabel 3.5). Detsky juga menyadari bahwa tidak
semua pembedahan membawa resiko yang sama, dan faktor dari prosedur
pembedahan untuk pretest probability yang menginduksi komplikasi kardiak
(tabel 3.6).

Dengan menggunakan rasio, Detsky mampu membuat namogram


menghubungkan pretest probability morbiditas kardiak untuk prosedur
pembedahan sampai skor resiko pasien. Hal ini secara keseluruhan menghasilkan
prediksi dari resiko mortalitas dan morbiditas mayor untuk pasien dengan status
medis tertentu yang menjalani prosedur spesifik.
Walaupun indeks resiko Detsky adalah prediktor keluaran kardiak yang
lebih baik dibandingkan dengan Goldman, ia masih memiliki keterbatasan.
Namun review faktor resiko yang dibahas dalam kedua penelitian tersebut dapat
memberikan peringatan kepada anestesiologis atas tanda dan gejala dari penyakit
yang signifikan yang dapat menghasilkan keluaran yang buruk.

Goldman dan Detsky mengidentifikasi infark miokardium baru sebagai


factor risiko morbiditas jantung perioperatif. Period perioperatif ditandai oleh
perubahan hemodinamik, perubahan inventilasi, ketidakseimbangan elektrolit,
dan perubahan koagulasi, yang semuanya menjadikan pasien dengan penyakit
dasar jantung berisiko signifikan mengalami infark. Beberapa penelitian penting
telah dilakukan selama 20 tahun dan mencoba mengidentifikasi kemungkinan re-
infark perioperatif pada pasien dengan infark miokardium baru. Tujuan penelitian
tersebut adalah untuk menentukan interval waktu yang paling aman setelah infark
miokardium untuk persiapan pembedahan elektif dan mengarahkan perhatian
pada pengawasan dan perawatan perioperatif (Tabel 3.7).
Pada penelitian Rao, pasien ditangani dengan pemantauan hemodinamik
invasif dan terapi agresif di ICU selama 72 jam setelah pembedahan. Secara
kumulatif, penelitian tersebut menunjukkan manfaat menunda pembedahan
elektif selama periode 6 bulan setelah infark miokardium. Sebelum enam bulan,
pemantauan invasif dan terapi pascaoperasi agresif tampaknya penting abgi
pasien yang pembedahannya harus dilakukan.
III. Persiapan Pre-Operatif
Premedikasi:
Indikasi anestesi: kunjungan pre-anestesi harus didesain untuk
mengurangi kecemasan dan ketakutan pasien mengenai prosedur pembedahan
yang diajukan. Akan tetapi, benzodiazepin seperti diazepam atau lorazepam juga
seringkali diberikan per oral 1-2 jam sebelum operasi. Hal ini dapat memberikan
sedasi dan derajat amnesia segera sebelum operasi dimulai. Pasien dengan risiko
refluks gastrointestinal harus mendapatkan profilaksis anti-refluks. Hal ini
biasanya dicapai dengan pemberian ranitidine 150 - 300 mg per oral 2 jam
sebelum operasi.
Obat-obat lain seperti metoklopramid dapat ditambahlan untuk
mendorong pengosongan lambung. Natrium sitrat merupakan antasida
nonpartikulat efektif yang juga dapat digunakan secara tunggal atau dikombinasi
dengan ranitidine.
Indikasi pembedahan: Berdasarkan American Heart Association
Guidelines, profilaksis antibiotik yang tepat harus diberikan pada pasien dengan
risiko endokarditis infektif. Indikasi tersebut meliputi pasien dengan bakteremia
yang mungkin terjadi sebagai akibat intervensi saluran napas, saluran genital, dan
saluran cerna. Beberapa pasien berisiko tinggi mengalami DVT (deep vein
thrombosis) pascaoperasi. Penilaian profilaksis harus digunakan dan meliputi
heparin dosis rendah, kompresi betis intermitten, atau coumadin. Pasien yang
sementara mendapatkan steroid dan memerlukan steroid enam bulan sebelumnya
dapat memerlukan steroid suplemental karena supresi adrenal dan respon yang
tumpul terhadap stres.
Indikasi Penyakit: Semua obat-obatan yang penting harus dilanjutkan
pada hari pembedahan. Obat-obat tersebut dapat diminum dengan beberapa
isapan air. Beberapa obat, termasuk insulin, prednison, coumadin, dan
bronkodilator memerlukan penyeuaian dosis dan/atau perubahan rute
pemberian.Obat hipoglikemik oral dan antidepresan tidak boleh diminum pada
hari pembedahan. Tidak lagi dianjurkan untuk menghentikan MAO inhibitor dua
pekan sebelum operasi.
IV. Merencanakan Anestesi
Untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi masalah pasien, sekarang kita
menanyakan pada diri sendiri lima pertanyaan.
1. Apakah kondisi pasien optimal?
2. Apakah terdapat masalah yang memerlukan konsultasi atau pemeriksaan
khusus? (Misalnya: Pada pasien dengan angina yang tidak terkontrol,
konsultasi pada ahli kardiologi merupakan tindakan tepat. And dapat
menulis: Konsul TS Kardiologi. ‘Mohon penilaian dan saran; balas:
penanganan medis periopertif angina pasien ini’).
3. Apakah terdapat prosedur alternatif yang mungkin lebih tepat? Hal ini
terutama penting untuk mempertimbangkan pasien risiko tinggi.
Contohnya: pemasangan kateter suprapubik dapat lebih tepat dilakukan
daripada prostatektomi trans uretra (TURP) pada pasien kanker terminal
dengan serangan stroke, gagal jantung kongestif, dan uropati obstruktif.
Diskusikan pilihan yang tersedia dengan staf anestesi dan staf bedah.
4. Apa rencana penanganan pasca operasi pasien tersebut?
Pilihannya meliputi: Pemantauan di PACU (post-anaesthesia care unit)
selama periode observasi, kemudian mengembalikan pasien ke ruangan
atau memulangkan pasien ke rumah (misalnya pasien rawat sehari). Pasien
dengan penyakit dasar yang signifikan atau akan menjalani prosedur
pembedahan mayor dapat tetap dirawat di unit perawtaan kritis sepanjang
malam untuk observasi ketat (misalnya PACU, ICU, CCU). Pertimbangan
manajemen nyeri paling tepat untuk pasien pasca operasi.
5. Premedikasi apa yang tepat?
Akhirnya, kita merencanakan teknik anestesi kita. Rencana ini dapat berupa:
1. Anestesi lokal dengan pemantauan ‘standby’ dengan atau tanpa sedasi.
2. Anestesi regional dengan atau tanpa sedasi intraoperasi.
3. Anestesi umum dengan atau tanpa intubasi. Jika intubasi diperlukan,
anestetis dapat dipilih untuk mengontrol ventilasi pasien atau memudahkan
mereka bernapas spontan. Jika digunakan ventilasi terkontrol, anestetis
dapat menggunakan pelumpuh otot atau tidak.
4. Kombinasi anestesi regional dengan anestesia umum. Diskusikan dengan
staf anestesi Anda kapan dan mengapa kita memilih setiap teknik tersebut.
Untuk diskusi mari bekerja melalui kasus pasien. Kami baru saja
memberikan anestesi pada pasien laki-laki berusia 50 tahun untuk prosedur elektif
repair hernia inguinalis. Pasien tersebut merokok satu bungkus rokok per hari dan
telah melakukannya selama 35 tahun. Pasien menderita hipertensi selama 6 tahun
terakhir dan juga menemukan NIDDM pada saat hipertensi didiagnosis.
Masalah pasien kita meliputi:
1. Pembedahan elektif abdomen bawah.
2. Hipertensi terkontrol
3. NIDDM
4. Riwayat merokok 35 bungkus per tahun
5. Faktor risiko penyakit jantung koroner
Riwayat anestesi harus meliputi:
1. Ringkasan riwayat penyakit sekarang. Misalnya: :Rasa tidak nyaman pada
paha selama 6 bulan.”
2. Pengobatan sekarang (meliputi ASA, alkohol, alkohol, dan obat-obat
terlarang jika ada). Contoh: “Elanapril 10 mg dan gliburid 10 mg per
hari.”
3. Alergi dan jenis reaksi. Contoh: penisilin: gatal kemerahan.
4. Pengobatan terdahulu—riwayat pembedahan. Misalnya: appendektomi.
5. Riwayat anestesi sebelumnya. Misalnya: tidak ada masalah.
6. Riwayat keluarga. Misalnya: tidak ada masalah.
7. Keterangan fungsional yang sesuai dengan pasien dan konsentrasi pada
sistem kardiorespirasi. Misalnya: gaya hidup tidak aktif, tidak ada gejala
nyeri dada atau iskemia koroner.
8. Status NPO. Misalnya: tidak makan atau minum sejak kemarin malam.
9. Pertanyaan spesifik yang mengarah pad daftar masalah, yang mencoba
menilai derajat keparahan masalah, disabilitas yang berkaitan, dan
kemampuan fisiologis pasien yang tersisa.
Masalah: Perokok 35 bungkus per tahun
 Apakah sering batuk di pagi hari? Atau ‘batuk perokok’? (bronkitis
kronik)
 Pernah mengalami mengik?
 Pernah membutuhkan obat-obatan untuk menbantu pernapasan?
 Apakah pernapasan Anda membatasi aktivitas fisik?
 Jenis aktivitas apa yang membuat Anda sesak? (jalan cepat? Menaiki
tangga? Berjalan dua blok? dll).
 Masalah: Hipertensi
 Kapan pertama kali menyadari menderita tekanan darah tinggi?
 Seberapa sering mengecek tekanan darah?
 Apakah telah terkontrol baik dengan obat-obatan?
 Berapa tekanan darah Anda biasanya ketika mengunjungi dokter?
 Masalah: NIDDM
 Sejak kapan anda menyadari terkena diabetes?
 Sejauh mana perjalanan penyakit tersebut? (melibatkan beberapa
organ antara lain: mata, jantung, ginjal, sirkulasi perifer, saraf otonom
dan perifer.
 Bagaimana anda memantau gula darah?
 Pernahkah Anda dibawa ke UGD akibat diabetes tersebut?
 Risiko penyakit arteri koroner termasuk hipertensi, riwayat merokok,
jenis kelamin laki-laki, usia, dan diabetes.
Pertanyaan-pertanyaan yang sesuai mengenai faktor risiko kardiovaskuler
meliputi:
 Pernahkah mengalami serangan jantung?
 Pernahkah merasakan nyeri dada, atau keram tungkai ketika bergiat?
(angina, klaudikasio).
 Seberapa sering? Apa yang membuatnya berkurang? Bagaimana
rasanya?
 Pernahkah terbangun di malam hari karena sesak? (PND)
 Dapatkah tidur dengan posisi kepala rata? (Orthopnea)
 Pertanyaan-pertanyaan tambahan meliputi pertanyaan mengenai
refluks gastroesofagus.
 Pernahkah mengalami refluks asam lambung? Seberapa sering?
Selanjutnya, pemeriksaan fisik seperti yang dijelaskan sebelumnya harus
dilakukan.Pemeriksaan laboratorium yang sesuai untuk pasien ini antara lain
pemeriksaan darah rutin, elektrolit, glukosa, dan EKG.
Setelah diskusi dengan pasien dan ahli bedah, dipilih anestesi spinal
untuk pasien ini. Sementara anestesi umum juga akan menjadi pilihan, kami
memilih anestesi spinal karena dapat mencegah intubasi dan stimulasi simpatis
yang berkaitan (peningkatan denyut jantung dan tekanan darah), dan juga potensi
memicu refleks jalan napas yang menyebabkan bronkospasme.
PREMEDIKASI
Kebanyakan pasien dijadwalkan untuk operasi akan mengalami beberapa tingkat
kecemasan. Stres psikologis pengalaman pasien sebelum operasi bisa lebih merugikan
daripada kerusakan fisik yang sebenarnya dari prosedur bedah. Kecemasan pra operasi dapat
disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa penyebab yang lebih umum termasuk :
 takut lepas kendali kepada orang lain sementara di bawah anestesi umum.
 takut mati selama operasi.
 takut mengalami nyeri pasca operasi.
 Ketidakmampuan untuk melestarikan kesopanan dan martabat mereka selama operasi.
 Takut pemisahan dari keluarga, dan orang-orang terkasih.
 takut menemukan masalah serius seperti kanker.
 takut mutilasi bedah dan citra tubuh diubah.
Penting meluangkan waktu untuk menjawab pertanyaan masing-masing pasien. Jika
Anda tidak dapat menjawab pertanyaan mereka dengan jujur, maka meyakinkan mereka
bahwa pertanyaan mereka penting bagi Anda dan bahwa, sementara Anda mungkin tidak
tahu jawabannya, Anda akan berbicara dengan staf dokter menghadiri dan menyediakan
mereka dengan jawaban. Mungkin bagian yang paling penting dari visite preoperasi adalah
untuk menyampaikan sikap meyakinkan, jujur dan penuh perhatian.
Keinginan pasien untuk sedasi sebelum prosedur pembedahan yang direncanakan
adalah alasan paling umum untuk meresepkan obat sebelum operasi. Kami juga meresepkan
obat sebelum operasi untuk menghindari potensi komplikasi yang terkait dengan prosedur
(misalnya., Antibiotik untuk mencegah perkembangan endokarditis pada pasien dengan
penyakit jantung katup), atau untuk melanjutkan obat saat pasien untuk hidup bersama
kondisi medis.
Alasan untuk meresepkan obat sebelum operasi meliputi:
I. alasan yang berhubungan dengan Pasien:
1. Sedasi
2. Amnesia
3. Analgesia
4. Efek Antisialogogue (mengeringkan sekresi oral)
5. Obat-obatan untuk menurunkan keasaman lambung dan volume lambung.
6. Untuk memfasilitasi induksi anestesi.
II alasan Prosedur terkait:
 Antibiotik profilaksis untuk mencegah endokarditis infektif pada pasien yang
rentan.
 profilaksis lambung (untuk meminimalkan resiko aspirasi lambung selama
anestesi).
 cakupan kortikosteroid pada pasien yang imunosupresi (lihat bab 3).
 Untuk menghindari refleks yang tidak diinginkan yang timbul selama prosedur
(misalnya, refleks vagal selama operasi mata).
 agen antikolinergik untuk menurunkan sekresi lisan dan memfasilitasi intubasi
terjaga direncanakan dengan bronkoskopi serat optik.
III. Berdampingan Penyakit:
 Untuk melanjutkan obat pasien sendiri atau penyakit berdampingan. (misalnya,
beta blockers, obat antihipertensi, nitrat, obat antiparkinson dll)
 Untuk mengoptimalkan pasien status sebelum prosedur. (misalnya,
bronkodilator, nitrogliserin, beta blockers, antibiotik dll)
Pasien dengan penyakit comorbid yang signifikan harus diberikan mengurangi
jumlah obat penenang sebelum operasi. Pasien obesitas tidak selalu memerlukan obat yang
lebih pra operasi.
Hal ini lebih aman untuk mengurangi jumlah obat yang diperlukan pra operasi. Obat
tambahan dapat diberikan secara intravena yang diperlukan saat pasien tiba di ruang
operasi. Pasien yang lebih tua dari 65 tahun harus memiliki dosis obat dikurangi.Perhatian
harus dilakukan dalam resep obat penenang untuk pasien 75 tahun atau lebih tua, karena
mereka mungkin mengalami efek depresan yang berlebihan dari obat-obat ini.
Benzodiazepin adalah kelas yang paling sering digunakan obat-obatan untuk
mencapai sedasi, relief kecemasan, dan amnesia sebelum operasi. Diazepam (5 sampai 15 mg
po.) Dapat diberikan dengan sedikit air 1% sampai 2 jam sebelum
operasi.Lorazepam (1 sampai 3 mg) dapat diberikan baik oleh sublingual atau
oral. Lorazepam memberikan amnesia yang sangat baik dan sedasi, tapi kadang-kadang,
pasien tetap berlebihan mengantuk setelah operasi. Atau, lorazepam dapat disediakan untuk
pasien sangat cemas yang dijadwalkan untuk operasi sore. Dasar pemikiran dari premedikasi
pagi dengan lorazepam adalah untuk memungkinkan pasien untuk tetap tenang dan santai
sepanjang pagi tanpa memperpanjang waktu pemulihan pasca operasi.Midazolam (0,07
mglkg im., Sekitar 5 mg dalam muda yang sehat 70 kg dewasa) memberikan amnesia yang
sangat baik, sedasi, dan anxiolysis saat iven 112 jam sebelum operasi. Midazolam (sebagai
premedikasi a) tidak tersedia di semua rumah sakit.Ketidaknyamanan suntikan intramuskular
dan terkait biaya midazolam lebih tinggi umumnya telah membuat pilihan ketiga dari kelas
benzodiazepine.
Opioid seperti morfin dan meperidine menyediakan baik sedasi dan
analgesia. Mereka adalah sesuai untuk pasien yang mengalami nyeri sebelum operasi mereka,
(misalnya, ekstremitas retak menunggu operasi). Morfin memiliki efek sedatif yang lebih
baik daripada meperidine. Efek samping yang mengganggu dari intramuskular (im.) Opioid
dapat terjadi. Ini termasuk mual, muntah, depresi pernafasan, bradikardia, hipotensi, dan
reaksi alergi yang benar. Selain itu, morfin, dan pada tingkat lebih rendah semua opioid lain,
dapat menyebabkan kejang empedu. Opioid harus digunakan dengan hati-hati pada pasien
dengan cholelithiasis dikenal.
TABEL 4.1 premedikasi
Obat / Dosis / Rute Golongan Obat Komentar
Diazepam (Valium) Benzodiazepine 1 ½ - 2 jam pre op
5-15 mg PO dengan seteguk air. Sedasi,
amnesia dan ansiolitik.
Antikonvulsan (anestesi
regional). Depresi pernafasan
dengan dosis tinggi.
Lorazepam (Ativan) Benzodiazepine Amnestik dan sedasi
1-3 mg PO atau SL baik. Terbaik diberikan pada
kasus terlambat. Biasanya
sedasi post operasi berlebih
Midazolam (Versed) Benzodiazepine ½ - 1 jam pre op.
0,07mg/kg im (kira-kira amnestik baik, sedasi dan
5mg/70kg) ansiolotik. Tidak tersedia di
semua rumah sakit.
Morphine 5-15 mg Opioid 1 jam pre op. efek
IM samping yang sering
termasuk penurunan denyut
jantung, tekanan darah,
respirasi, mual, spasme bilier
dan reaksi alergi. Sedasi leih
baik dibandingkan
meperidine.
Meperidine Opioid 1 jam pre op. efek
(Demerol) 50-100 mg IM samping menyerupai
morphine. Kemungkinan
efek mual yang lebih dan
spasme bilier yang lebih
rendah.
Atropine 0,4-0,6 mg Antikolinergik 1 jam pre op.
IM antisialogogue, sering
tahikardi signifikan (HR >
100) hindari pada pasien
CAD
Hyoscine Antikolinergik 1 jam pre op.
(scopolamine) 0,2-0,4 mg IM antisialogogue, penyebabkan
bingung pada orang tua,
biasanya delirium pada orang
muda. Amnestik dan
antiemetic yang baik.
Glycopyrrolate Antikolinergik Antisialogogue,
(Robinal) 0,2-0,4mg IM takikardi lebih rendah
daripada atropine, tidak
manyebabkan bingung.
Promethazine Antihistamine 1 jam pre op. sedasi
(Phenergan) 12,5-50 mg IM baik dan antiemetik.
Biasanya delirium post
operasi.

Obat dengan baik kualitas antiemetik dan obat penenang, yang sering digunakan
dalam kombinasi dengan opioid untuk menghindari mual dan untuk meningkatkan efek
sedatif dari opioid tersebut. Prometazin adalah salah satu obat tersebut (antihistamin- kelas
phenothiazine), dan diberikan dalam dosis dari 125 sampai 50 mg im. bersama-sama dengan
opioid tersebut. dimenhydrinate
(~ ravol9al sehingga memiliki sedatif dan kualitas antiemetik. Hal ini diberikan
dalam dosis 12,5 untuk SO mg im. dengan
opioid (misalnya, 'Demerol 75 mg dengan gravol 50 mg isme. dalam satu jarum
suntik satu jam sebelum operasi.
Antikolinergik dapat diberikan dengan morfin atau meperidin untuk menghindari
potensi bradikardia opioid-induced.
Agen antikolinergik juga dapat digunakan jika intubasi fiberoptik terjaga
direncanakan. Penggunaan antikolinergik pada pasien ini menyebabkan penurunan sekresi
dari kelenjar ludah lisan, sehingga memfasilitasi baik penyerapan anestesi topikal dan
visualisasi jalan napas oleh lingkup serat optik. Kedua hiosin dan atropin melewati sawar
darah otak. Hiosin (0,2 -. 0,4 mg im) telah dikaitkan dengan kebingungan dalam delirium tua
dan pasca operasi pada pasien muda. Atropin (0,4 -. 0,6 mg im) jarang menyebabkan
kebingungan mental klinis. Namun, kurang efektif dalam mengeringkan sekresi dari hiosin
dan menyebabkan takikardia lebih besar (yang tidak diinginkan pada pasien dengan penyakit
arteri koroner). Glikopirolat (0,2 -. 0,4 mg im) adalah agen pengeringan yang baik. Itu tidak
melewati sawar darah otak dan menyebabkan kurang takikardia dari atropin.
Premeditations khusus lainnya termasuk: oksigen, antibiotik, steroid,
antihistamin, H-2 blocker, beta blocker, calcium channel blockers, nitrogliserin,
bronkodilator, antasid, desmopresin, insulin, dll Tanyakan anestesi staf Anda kapan dan
mengapa mereka akan meresepkan obat-obat ini.
Kontraindikasi umum * untuk penggunaan prernedication meliputi:
1. Alergi atau hipersensitivitas terhadap obat tersebut.
2. Atas kompromi jalan napas, atau gagal napas.
3. ketidakstabilan hemodinamik atau syok.
4. Penurunan tingkat kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial.
5. berat hati, ginjal, atau penyakit tiroid.
6. pasien Kandungan.
7. Lansia atau lemah pasien.

Anda mungkin juga menyukai