Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

ANESTESI UMUM

Mata Kuliah : Farmakologi II

Dosen Pemngampu : Andika, M.Farm

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 1

1. Widia Latifa (1848201001)


2. Voni Febrida Yanti (1848201002)
3. Charissa Novita (1848201003)
4. Fitriani Edika (1848201004)
5. Reza Sasra Meiliza (1848201005)
6. Suwai Matul Aslamia (1848201006)
7. Siti Chairunnisa (1848201007)
8. Gatryssa Nurhaliza Rofi (1848201008)
9. Fahira Ashiri Burma (1848201009)
10. Novia Wirasti (1848201010)
11. Aulia Febrina (1848201011)
12. Syandu Pereskhan Hulda (1848201050)

UNIVERSITAS FORT DE KOCK

Fakultas Kesehatan

S1 Farmasi

i
2019/2020

ii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak
akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Farmakologi II dengan judul “Anestesi
Umum”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang
lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen Farmasi Miming
Andika, M.Farm yang telah membimbing dalam menulis makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Bukittinggi , 12 April 2020

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i


DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ....................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................................. 2
C. Tujuan .................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................. 3
A. Rinci Pokok Bahasan Anestesi Umum .................................................................. 3
1. Sejarah .............................................................................................................. 3
2. Devinisi ............................................................................................................ 3
3. Metode Pemberian Obat .................................................................................. 5
4. Interaksi Obat ................................................................................................... 7
5. Contoh Obat ..................................................................................................... 7
6. Efek Samping Anestesi Umum ...................................................................... 11
B. Penggolongan Obat Anestesi Umum ................................................................... 12
C. Obat Bisa Mencapai Target Pada Terapi ............................................................. 16
D. Kasus Mengenai Anestesi Umum ...................................................................... 17
BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 19
A. Kesimpulan ....................................................................................................... 19
Daftar Pustaka ............................................................................................................... 21

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada
tahun 1846. Asal kata Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani An- “tidak,
tanpa” dan aesthetos, “persepsi, kemampuan untuk merasa”), secara berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.  Obat yang digunakan
dalam menimbulkan anesthesia disebut sebagai anestetik dan kelompok ini dibedakan
dalam anestetik umum dan anestetik lokal. Bergantung pada dalamnya pembiusan,
anestetik umum dapat memberikan efek analgesia yaitu hilangnya kesadaran,
sedangkan anastetik lokal hanya menimbulkan efek analgesia. Anestesi umum
bekerja disusunan saraf pusat, sedangkan anastetik lokal bekerja langsung pada
serabut saraf di perifer.
Anestesi umum (General Anestesia) disebut pula dengan nama Narkose
Umum (NU). Anastesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan bersifat reversibel. Anestesi umum yang sempurna
menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan resiko
yang tidak di inginkan dari pasien.
Hipnosis didapat dari sedatif, anestesi inhalasi (halotan, enfluran, isofluran,
sevofluran). Analgesia di dapat dari N2O, analgetika narkotik, NSAID tertentu. Obat-
obat tertentu misalnya thiopental hanya menyebabkan tidur tanpa relaksasi atau
analgesia, sehingga hanya baik untuk induksi. Hanya eter yang memiliki trias
anestesia.Karena anastesi modern saat ini menggunakan obat-obat selain eter, maka
trias anastesi di peroleh dengan menggabungkan berbagai macam obat. Eter
menyebabkan tidur, analgesia dan relaksasi, tetapi karena baunya tajam dan
kelarutannya dalam darah tinggi sehingga agak mengganggu dan lambat (meskipun

1
aman) untuk induksi. Sedangkan relaksasi otot didapatkan dari obat pelemas otot
(muscle relaxant). Relaksasi otot diperlukan untuk mengurangi tegangnya tonus otot
sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan. Obat-obat opium seperti morfin
dan petidin akan menyebabkan analdesia dengan sedikit perubahan pada tonus otot
atau tingkat kesadaran. Kombinasi beberapa teknik dan obat dapat dipergunakan
untuk mencapai tujuan ini kombinasi ini harus dipilih yang paling sesuai untuk
pasien. Tujuan anastesi umum adalah menjamin hidup pasien, yang memungkinkan
operator melakukan tindakan bedah dengan leluasa dan meghilangkan rasa nyeri.

B. Rumusan Masalah
Topik yang penulis bahas pada makalah ini perlu diberikan rumusan masalah agar
lebih memudahkan dan tidak terjadi kesalah pahaman dalam menjawab permasalahannya.
Berdasarkan latar belakang masalah yang penulis berikan ada beberapa rumusan sebagai
pertanyaan dalam makalah ini. Berikut rumusan masalah dari makalah ini yaitu sebagai
berikut.
1. Jelaskan secara rinci pokok bahasan tentang anestesi umum !
2. Apa saja penggolongan obat dari anestesi umum ?
3. Bagaimana obat bisa mencapai target pada terapi ?
4. Jelaskan 1 kasus dan alasan menggunakan obat yang diberikan !

C. Tujuan
Tujuan dari permasalahan ini sesuai dari rumusan masalah yang telah
disampaikan. Hal tersebut untuk memudahkan hal yang harus dilakukan berdasarkan
masalah yang akan dibahas. Berikut tujuan dari permasalahan dari makalah ini.
1. Mendeskripsikan secara rinci pokok bahasan tentang anestesi umum
2. Mendeskripsikan penggolongan obat dari anestesi umum
3. Mendeskripsikan obat bisa mencapai target pada terapi
4. Mendeskripsikan 1 kasus mengenai anestesi umum dan alasan menggunakan
obat yang diberikan.

2
BAB I

PEMBAHASAN

A. RINCI POKOK BAHASAN ANESTESI UMUM


1. SEJARAH
Sejak pertama kali ditemukan oleh Oliver Wendel Holmes pada tahun 1846,
anestesi terus berkembang pesat hingga sekarang. Saat itu ia sedang memperagakan
pemakaian dietil eter untuk menghilangkan kesadaran dan rasa nyeri pada pasien
yang ditanganinya. Ia berhasil melakukan pembedahan tumor rahang pada seorang
pasien tanpa memperlihatkan gejala kesakitan. Karena pada saat itu eter merupakan
obat yang cukup aman, memenuhi kebutuhan, mudah digunakan, tidak memerlukan
obat lain, cara pembuatan mudah, dan harganya murah. Oleh karena itu eter terus
dipakai, tanpa ada usaha untuk mencari obat yang lebih baik. Setelah mengalami
stagnasi dalam perkembangannya selama 100 tahun setelah penemuan morton
barulah kemudian banyak dokter tertarik untuk memperlajari bidang anestesiologi,
dan barulah obat-obat anestesi generasi baru muncul satu-persatu (Mangku dan
Senapathi, 2010) Anastesi berasal dari bahasa Yunani yaitu An berati tidak, dan
Aesthesis berarti rasa atau sensasi. Sehingga anestesi berarti suatu keadaan hilangnya
rasa atau sensasi tanpa atau disertai dengan hilangnya kesadaran. Anestesi adalah
keadaan tanpa rasa (without sensation) tetapi bersifat sementara dan dapat kembali
kepada keadaan semula. (Sudisma et al., 2006).

2. DEVINISI
Anestesi (pembiusan; berasal dari Bahasa Yunani an-"tidak, tanpa"
dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan
pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.

3
Anestesi menurut arti kata adalah hilangnya kesadaran rasa sakit, namun obat
anestasi umum tidak hanya menghilangkan rasa sakit akan tetapi juga menghilangkan
kesadaran. Pada operasi-operasi daerah tertentu seperti perut, maka selain hilangnya
rasa sakit dan kesadaran, dibutuhkan juga relaksasi otot yang optimal agar operasi
dapat berjalan dengan lancar (Ibrahim, 2000).
Anestesia umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversibel). Komponen anesthesia
yang ideal terdiri:
1.      Hipnotik
2.      Analgesia
3.      Relaksasi otot
Keadaan anestesi berbeda dengan keadaan analgesia, yang didefinisikan
sebagai tidak adanya nyeri. Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh agen narkotika yang
dapat menghilangkan nyeri sampai pasien sama sekali tidak sadar. Sebaliknya,
barbiturate dan penenang tidak menghilangkan nyeri sampai pasien sama sekali tidak
sadar.
Tanda-tanda dan tingkat anestesi. Anastesik mendepresi SSP secara perlahan,
yang dapat dibagi menjadi 4 tahap:
1.   Tahap I atau analgesia
Tahap ini ditandai dengan berkurangya respon terhadap nyeri perasaan enak
atau euforia dan hilangnya kesadaran (tidur).
2.   Tahap II atau delirium
Fase ini juga disebut excitement karena terjadi perangsangan simpatik. Yaitu
terjadi peningkatan tekanan darah, kecepatan denyut jantung, pernafasan dan
tonus otot. Dalam fase ini dapat terjadi aritmia jantung namun karena adanya
depresi hipotalamus menyebabkan masuk pada fase III.
3.   Fase III
Dalam fase ini tindakan pembedahan dilangsungkan. Dalam tahap ini
terjadi depresi SSP yang dalam terapi fungsi jantung dan pernafasan
kembali normal disertai reflek spinal terhambat oleh otot skelet relaksasi.
4.   Fase IV

4
Fase IV atau paralisis medula, ini terjadi kalau over dosis, yaitu terjadi
hambatan pusat jantung dan pernafasan di medula.

3. METODE PEMBERIAN OBAT


a. Oral
Obat oral merupakan obat yang pemakaiannya dengan cara
memasukkannya lewat mulut. Dengan demikian obat oral juga dapat dikatakan
sebagai obat dalam.
b. Lingual atau bukal
Metode lingual adalah metode pemberian yang berguna jika obat larut
dalam lemak dan menembus mukosa mulut dengan relatif mudah. Metabolisme
lintas pertama dapat dihindari. Gliseril trinitrat dan buprenorfin tersedia sebagai
tablet sublingual dan morfin sebagai persiapan bukal.
c. Intramuskular
Pemberian intramuskular masih digunakan sesekali dalam periode
perioperatif. Metode ini dapat menghindari masalah yang terkait dengan
konsentrasi plasma awal yang besar setelah pemberian intravena yang cepat,
tanpa efek lintas pertama dan dapat diberikan dengan relatif mudah.
Namun, penyerapan mungkin tidak dapat diprediksi, beberapa sediaan
sangat menyakitkan dan mengiritasi (misalnya diklofenak) dan komplikasi
termasuk kerusakan jaringan saraf dan pembuluh darah dan injeksi intravena
yang tidak disengaja.
Metode ini sangat tidak disukai oleh kebanyakan orang dewasa dan
hampir semua anak. Variasi dalam penyerapan mungkin relevan secara klinis.
Sebagai contoh, konsentrasi plasma morfin puncak dapat terjadi setiap saat dari 5
hingga 60 menit setelah pemberian intramuskular, merupakan faktor penting
dalam kegagalan metode ini untuk menghasilkan analgesik andal yang baik.
d. Subkutan
Absorpsi sangat rentan terhadap perubahan pada perfusi kulit, dan iritasi
jaringan mungkin menjadi masalah yang signifikan. Namun, metode ini
digunakan di banyak tempat untuk menyediakan pereda nyeri pasca operasi,

5
terutama pada anak-anak atau setelah operasi lanjutan, dan memiliki keuntungan
yang tidak memerlukan akses intravena yang sangat sulit.
Sebuah kanula kecil ditempatkan secara subkutan selama anestesi dan
dapat diganti, jika perlu, dengan relatif mudah. Bahkan analgesia yang dikontrol
pasien (PCA) telah digunakan secara efektif oleh rute ini.
e. Rektal
Teknik ini mengurangi masalah metabolisme lintas pertama dan
kebutuhan akan suntikan. Metode digunakan pada anak-anak dan orang dewasa
(parasetamol, diklofenak, ibuprofen) untuk analgesia pasca operasi. Namun,
proporsi obat yang diserap sangat bervariasi.
f. Transdermal
Sediaan transdermal merupakan salah satu bentuk sistem penghantaran
obat dengan cara ditempel melalui kulit. Rute penghantaran obat secara
transdermal merupakan rute pilihan alternatif untuk beberapa obat, karena
mempunyai beberapa keuntungan antara lain dapat memberikan efek obat dalam
jangka waktu yang lama, pelepasan obat dengan dosis konstan, cara penggunaan
yang mudah, dan dapat mengurangi frekuensi pemberian obat.
g. Inhalasi
Obat yang diberikan terutama bronkodilator dan steroid. Atropin dan
adrenalin diserap jika disuntikkan ke cabang bronkial dan metode ini
menawarkan rute pemberian bantuan dalam keadaan darurat jika tidak ada
metode pemberian lain yang memungkinkan. Opioid seperti fentanil dan
diamorfin telah diberikan sebagai larutan nebulasi tetapi teknik ini tidak rutin.
h. Epidural
Metode ini adalah rute umum pemberian obat dalam praktek anestesi.
Ruang epidural sangat vaskular dan jumlah obat yang signifikan dapat diserap
secara sistemik, bahkan jika ada pembuluh yang dihindari oleh jarum atau
kanula.
Opioid berdifusi melintasi dura untuk beraksi pada reseptor opioid spinal,
tetapi banyak dari aksi mereka ketika diberikan secara epidural adalah hasil dari
penyerapan sistemik. Komplikasi termasuk haematoma dan infeksi, penusukan

6
dural yang tidak disengaja dengan konsekuensi sakit kepala atau pemberian obat
pada tulang belakang.
i. Spinal (Subarachnoid)
Ketika diberikan secara spinal, obat-obatan memiliki akses bebas ke
jaringan saraf dari sumsum tulang belakang dan dosis kecil memiliki efek yang
mendalam, cepat, keuntungan dan juga kerugian dari metode ini. Pengikatan
protein bukan merupakan faktor yang signifikan karena konsentrasi protein CSF
relatif rendah.

4. INTERAKSI OBAT
Anestesi meningkatkan potensi blokade otot non-depolarisasi. Suksinil
kolin dan anestesi ester bergantung pada pseudokolinesterase untuk
metabolismenya. Pemberian bersamaan dapat meningkatkan potensi masing
masing obat. Dibucaine, anestesi lokal amida, menghambat pseudokolinesterase
dan digunakan untuk mendeteksi kelainan genetik enzim. Inhibitor
pscudokolinacstcrase dapat mcnycbaban penurunan mctabolisme dari ancstesi
lokal estcr. Cimetidine dan propanolol menurunkan aliran darah hepatik dan
bersihan lidokain. Level lidokain yang lcbih tinggi dalam darah meningkatkan
potensi intoksikasi. Opioid (misal, fentanil, morfin) dan agonis adrenergik α2
(contoh: epinefrin, klonidin) meningkatkan potensi penghilang rasa nyeri anestesi.
Kloroprokain epidural dapat mempengaruhi kerja analgesik dari morfin
intraspinal.

5. CONTOH OBAT ANESTESI


Obat-Obat Anestesi Inhalasi
Obat yang tergolong obat Anestesi Inhalasi adalah: Halotan, enfluran,
isofluran, sevofluran, desflurane, dan methoxyflurane merupakan cairan yang
mudah menguap.
1) Halothane
 Bau dan rasa tidak menyengat.

7
 Khasiat anestetisnya sangat kuat tetapi khasiat analgetisnya dan daya
relaksasi ototnya ringan. Halotan digunakan dalam dosis rendah dan
dikombinasi dengan suatu relaksans oto, seperti galamin atau
suksametonium.
 Kelarutannya dalam darah relative rendah induksi lambat, mudah
digunakan, tidak merangsang mukosa saluran napas.
 Bersifat menekan refleks dari paring dan laring, melebarkan bronkioli
danmengurangi sekresi ludah dan sekresi bronchi.
 Famakokinetik: sebagian dimetabolisasikan dalam hati bromide, klorida
anorganik, dan trifluoacetik acid.
 Efek samping: menekan pernapasan dan kegiatan jantung, hipotensi,
jika penggunaan berulang, maka dapat menimbulkan kerusakan hati.
 Dosis: tracheal 0,5-3 v%.
2) Enfluran
 Anestesi inhalasi kuat yang digunakan pada berbagai jenis
pembedahan, juga sebagai analgetikum pada persalinan. Memiliki daya
relaksasi otot dananalgetis yang baik, melemaskan otot uterus, dan tidak
begitu menekanSSP.
 Resorpsinya setelah inhalasi , cepat dengan waktu induksi 2-3
menit. Sebagian besar diekskresikan melalui  paru-paru dalam keadaan
utuh, dansisanya diubah menjadi ion fluoride bebas.
 Efek samping: hipotensi, menekan pernapasan, aritmi, dan
merangsang SSP. Pasca bedah dapat timbul hipotermi (menggigil), serta
mual dan muntah, dapat meningkatkan perdarahan pada saat persalinan,
SC, danabortus.
3) Isofluran (Forane)
 Bau tidak enak 
 Termasuk anestesi inhalasi kuat dengan sifat analgetis dan relaksasi
otot baik.

8
 Efek samping: hipotensi, aritmi, menggigil, konstriksi
bronkhi,meningkatnya jumlah leukosit. Pasca bedah dapat timbul mual,
muntah,dan keadaan tegang
4) Desfluran
 Dessfluran merupakan halogenasi eter yang rumus bangun dan
efek klinisnya mirip isofluran. Desfluran sangat mudah menguap.
 Bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardia dan hipertensi.
 Merangsang jalan napas atas, sehingga tidak digunakan untuk
induksianeste
5) Sevofluran
 Merupakan halogenasi eter 
 Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan dengan isofluran
 Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas
 Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan
aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan belum ada
laporantoksik terhadap hepar 

Obat-Obat Anastesi Intravena


Termasuk golongan ini adalah: barbiturate (thiopental,
methothexital); benzodiazepine (midazolam, diazepam); opioid analgesic
(morphine, fentanyl,sufentanil, alfentanil, remifentanil); propofol; ketamin, suatu
senyawa arylcylohexylamine yang dapat menyebabkan keadaan anestesi disosiatif
dan obat-obat lain ( droperianol, etomidate, dexmedetomidine).
1) Barbiturat
 Blokade sistem stimulasi di formasi retikularis
 Mengambat pernapasan di medula oblongata, menghambat kontraksi
otot. jantung, tdk timbulkan sensitisasi jantung thd ketekolamin
 Dosis : induksi = 2 mg/kgBB (i.v) dlm 60 dtk; maintenance = ½
dosisinduksi.
a) Na tiopental :
                  Induksi : dosis tgt BB, keadaan fisik dan penyakit

9
Dws : 2-4ml lar 2,5% scr intermitten tiap 30-60 dtk ada capaian.
b) Ketamin
Sifat analgesik, anestetik, kataleptik dg kerja singkat. Analgesik
kuat utk sistem somatik, lemah utk sistem viseralKetamin sering
menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyerikepala, pasca
anestesi dapat menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur,dan mimpi
buruk. Dosis 0.1 mg/kg intravena dan untuk mengurangisalivasi diberikan
sulfas atropin 0.001 mg/kg.
2) Fentanil dan droperidol
 Analgesik & anestesi neuroleptik 
 Kombinasi tetap. Aman diberikan pada penyakit yg alami hiperpireksia
anestesi umum lain
 Fentanil : masa kerja pendek, mula keja cepat.
 Droperidol : masa kerja lama& mula kerja lambat
3) Propofol
 Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu
bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml=10 mg).
 Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa
detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.
 Dosis untuk anestesi intravena total 4- 12 mg/kg/jam dan dosis sedasi
untuk  perawatan intensif 0.2 mg/kg. Pada manula dosis harus dikurangi,
pada anak <3 tahun dan pada wanita hamil tidak dianjurkan.
 Interaksi obat
Propofol di kombinasikan dngan opiate,N2O dengan propofol IV 1,5-2,5
mg akan menimbulkan induksi anastesia, tetapi dengan pemulihan cepat dan
pasien akan merasa lebih baik,di nbanding pengunaan anastetik lain. Studi
klinis menunjukkan bahwa injeksi propofol bila digunakan dalam kombinasi
dengan hypocarbia meningkatkan serebrovaskular resistensi dan penurunan
otak aliran darah, otak metabolik oksigen konsumsi, dan intrakranial tekanan.
propofol injeksi Emulsion serebrovaskular tidak mempengaruhi perubahan
reaktivitas karbon dioksida arteri ketegangan,dan efek profol terhadap

10
pernapaan mirip dengan efek thiopental sesuda pemberian IV yakin terjadi
depresi napas sampai apnoe asampai 30 detik, hal ini di perkuat bila di
gunakan opioid sebagai medikasi pra-anastesik
4) Diazepam
 Suatu benzodiazepine dengan kemampuan menghilangkan
kegelisahan,efek relaksasi otot yang bekerja secara sentral, dan bila
diberikan secara intravena bekerja sebagai antikejang. Respon obat
bertahan selama 12-24 jam menjadi nyata dalam 30-90 mnt setelah
pemberian secara oral dan 15 menit setelah injeksi intravena.
 Kontraindikasi: hipersensitif terhadap benzodiazepine,
pemberian parenteral dikontra indikasikan pada pasien syok atau koma
 -Dosis : induksi = 0,1-0,5 mg/kgBB
5) Opioid
 Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan
dosistinggi.
 Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak
digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung.
 Untuk anestesi opioid digunakan fentanil dosis induksi 20-50
mg/kg, dilanjutkan dengan dosis rumatan 0.3-1 mg/kg/menit.

6. EFEK SAMPING ANESTESI UMUM


Obat-obatan anestesi yang umum dipakai pada pembiusan total adalah N2O,
halotan, enfluran, isofluran, sevofluran, dan desfluran. Obat anestesi umum yang
ideal haruslah tidak mudah terbakar, tidak meledak, larut dalam lemak, larut
dalam darah, tidak meracuni organ (jantung, hati, ginjal), efek samping minimal,
tidak dimetabolisasi oleh tubuh, dan tidak mengiritasi pasien.
Obat bius/anestesi umum/total pasti memiliki efek samping di antaranya:
1) Mengiritasi aliran udara, menyebabkan batuk dan spasme laring
(golongan halogen).
2) Menimbulkan stadium kataleptik yang menyebabkan pasien sulit tidur
karena mata terus terbuka (golongan Ketamin).

11
3) Depresi pada susunan saraf pusat.
4) Nyeri tenggorokan.
5) Sakit kepala.
6) Perasaan lelah dan bingung selama beberapa hari.
7) Menekan pernapasan yang pada anestesi dalam terutama ditimbulkan
oleh halotan, enfluran dan isofluran. Efek ini paling ringan pada N2O
dan eter.
8) Menekan system kardiovaskuler, terutama oleh halotan, enfluran dan
isofluran. Efek ini juga ditimbulkan oleh eter, tetapi karena eter juga
merangsang sistem saraf simpatis, maka efek keseluruhannya menjadi
ringan.
9) Merusak hati dan ginjal, terutama senyawa klor, misalnya kloroform.
10) Oliguri (reversibel) karena berkurangnya pengaliran darah di ginjal,
sehingga pasien perlu dihidratasi secukupnya.

B. PENGGOLONGAN OBAT ANASTESI UMUM


Anestesi umum dibagi menurut bentuk fisiknya yaitu anastetik inhalasi dan
intravena.
1.      Anastesik inhalasi
Obat anastesik yang pertama kali dikenal dan digunakan untuk membantu.
pembedahan ialah N2O. Dalam dunia modern anastesik inhalasi yang umum
digunakan untuk praktek klinik adalah N2O, halotan, enfluran, isofluran,
desfluran, dan sevofoluran. Agen ini dapat diberikan dan diserap secara terkontrol
dan cepat karena diserap serta dikeluarkan melalui paru-paru.  Sebagian besar gas
anestetik dikeluarkan lagi oleh paru-paru sebagian lagi dimetabolisme oleh hepar
dengan sistem oksidasi sitokrom P450. Sisa metabolisme yang larut dalam air
dikeluarkan melalui ginjal. Dalam dunia modern anastesik inhalasi yang umum
digunakan untuk praktek klinik adalah sebagai berikut:
a. N2O (gas gelak, nitrous oxide, dinitrogen monoxida)
N2O dikemas dalam bentuk cair, dalam silinder warna biru 9000 liter atau
1800 liter dengan tekanan 750 psi atau 50 atm. Pemberian anastesik dengan N 2O

12
harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifat anastesik lemah, tetapi
analgesiknya kuat sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang
persalinan. Jarang digunakan sendiri tetapi dikombinasikan dengan salah satu
cairan anestesik lain.
b. Halotan
Merupakan anestetik golongan hidrokarbon yang berhalogen. Halotan
menjadi standar bagi anastesik lain yang kini banyak dipakai karena zat inilah
semua itu dikembangkan. Halotan merupakan anastesik yang kuat dengan efek
analgesik yang lemah. Induksi dan tahapan anastesia dilalui dengan mulus, dan
pasien segera bangun setelah anestetik dihentikan. Halotan secara langsung
menghambat otot jantung dan otot polos pembuluh darah serta menurunkan
aktifitas saraf simpatik. Penurunan tekanan darah terjadi akibat 2 hal, yaitu (1)
depresi langsung pada miokard dan (2) dihambatnya refleks baroresptor terhadap
hipotensi. Eksresi halotan umumnya melalui paru, hanya 20% yang
dimetabolisme dalam tubuh untuk kemudian dibuang melalui urin dalam bentuk
asam trifluoro asetat, trifluoroetanol, dan bromida.
c. Enfluran
Enfluran adalah anestetik eter berhalogen yang tidak mudah terbakar.
Enfluran menyebabkan fase induksi anestesia yang relatif lambat. Kadar yang
tinggi menyebabkan depresi kardiovaskuler dan perangsangan SSP, untuk
menghindari hal ini enfluran diberikan dalam kadar rendah bersama N2O.
Enfluran menyebabkan relaksasi otot rangka lebih baik dari pada halotan,
sehingga dosis obat pelumpuh otot nondepolarisasi harus diturunkan. Sebagian
besar enfluran dieksresi dalam bentuk utuh melalui paru-paru, 2-10%
dimetabolisme di hati menghasilkan ion fluor. Ion F- hasil metablosme enfluran
ternyata tidak membahayakan ginjal sehingga masih dipandang aman untuk
pasien yang fungsi ginjalnya menurun, kecuali pada pasien yang juga mendapat
isoniazid. Eksresi F- meningkat pada urin basah. Enfluran bisa menyebabkan efek
samping paska pemulihan berupa menggigil karena hipotermia, gelisah, delerium,
mual, atau muntah.
d. Isofluran

13
Merupakan halogenasi eter yang pada dosis anestesik atau sub anestesik
dapat menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi meniggikan
aliran darah otak dan tekanan intrakranial, namun hal ini dapat dikurangi dengan
teknik anestesia hiperventilasi, sehingga banyak digunakan untuk bedah otak.
e. Sevofluran
Merupakan anastesik inhalasi baru yang membrikan induksi dan
pemulihan lebih cepat dari pendahulunya. Sayangnya, zat tidak stabil secara
kimiawi bila terpajan absroben CO2, sevofluran akan terurai menghasilkan zat
bersifat nefrotoksik. Metabolismenya di hatipun menghasilkan ion fluor yang juga
merusak ginjal. Oleh karena itu kedudukan sebagai zat anestetik inhalasi belum
jelas.

2.      Anestesik intravena
Pemakaian obat anestetik intravena, dilakukan untuk : induksi anestesia,
induksi dan pemeliharaan anestesia bedah singkat, suplementasi hypnosis pada
anesthesia atau tambahan pada anelgesia regional dan sedasi pada beberapa
tindakan medik atau untuk membentu prosedur diagnostik misalnya tiopental,
ketamin dan propofol. Untuk anestesia intravena total biasanya menggunakan
propofol. Anestesia intravena ideal membutuhkan kriteria yang sulit dicapai oleh
hanya satu macam obat yaitu larut dalam air dan tidak iritasi terhadap jaringan,
mula kerja cepat, lama kerja pendek, cepat menghasilkan efek hypnosis,
mempunyai efek analgesia, disertai oleh amnesia pascaanestesia, dampak yang
tidak baik mudah dihilangkan oleh obat antagonisnya, cepat dieliminasi oleh
tubuh, tidak atau sedikit mendepresi fungsi respirasi dan kardiovaskuler, pengaruh
farmakokinetik tidak tergantung pada disfungsi organ, tanpa efek samping (mual-
muntah), menghasilkan pemulihan yang cepat. Untuk mencapai tujuan diatas, kita
dapat menggunakan kombinasi beberapa obat atau cara anestesi lain. Kombinasi
beberapa obat mungkin akan saling berpotensi atau efek salah satu obat dapat
menutupi pengaruh obat yang lain.

14
Keuntungan anestesi intravena lebih dapat diterima pasien, tahap yang
tidak sadar lebih cepat dan lebih menyenangkan bagi ahli anestesi. Oleh karena
itu, agen intravena dapat digunakan sendiri untuk menimbulkan anestesi.
Kekurangan anestesi intravena paling menonjol yaitu terjadi induksi cepat
dan depresi cerebrum yang jelas, seperti terlihat pada gangguan pernapasan yang
mengharuskan digunakannya ventilasi dan ketidakstabilan  hemodinamik. Agen
induksi intravena biasanya digunakan bersama dengan anestesi inhalasi lain untuk
mendapatkan analgesia yang memadai dan dengan relaksan otot untuk
mendapatkan operasi yang optimum.
a. Barbiturat
Barbiturat bekerja menghambat pusat pernafasan di medula oblongata.
Tidal volume menurun dan kecepatan nafas meninggi dan kebutuhan oksigen
badan berkurang, curah jantung sedikit menurun. Barbiturat berefek menghambat
pusat pernafasan dimedula oblongata. Barbiturat tidak menimbulkan sensitisasi
jantung terhadap katekolamin. Contoh disini ialah penthotal atau sodium
thiopenton ialah obat anestesi intravena yang bekerja cepat (short acting).
b. Propofol
Propofol menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik dan juga
tekanan darah. Relaksasi otot polos disebabkan oleh inhibisi simpatik. Efek
negatif inotropik disebabkan inhibisi uptake kalsium intraseluler. Tergantung
dosis, propofol dapat menyebabkan depresi nafas dan apnoe sementara pada
beberapa pasien setelah induksi IV. Metabolisme propofol tejadi di hati (lebih
cepat dari pada eliminasi thiopental) tetapi klirens totalnya lebih besar dari aliran
darah hati yang menunjukkan bahwa ada eliminasi ekstra hepatik. Sifat ini
menguntungkan untuk pasien dengan gangguan metabolisme hati. Kelebihan
propofol ialah bekerja lebih cepat dari pada thepental dan kurang menyebabkan
mual-muntah pascabedah.
c. Benzodiazepin
Benzodiazepin yang digunakan sebagai anastetik ialah diazepam,
lorazepam dan midazolam. Dengan dosis untuk induksi anastesia, kelompok obat
ini menyebabkan tidur, mengurangi cemas, dan menimbulkan amnesia

15
anterograd, tetapi tidak berefek analgesik. Benzodiazepin juga digunakan untuk
medikasi praanastetik (sebagai neurolepanalgesia) dan untuk mengatasi konvulsi
yang disebabkan oleh anastetik lokal.
d. Opioid
Opioid (morfin, petidin, fentanil dan sufentanil) untuk induksi diberikan
dosis tinggi. Opioid tidak menggangu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan
untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesia opioid digunakan
fentanil dosis induksi 20-50 mg/kg dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,3-1
mg/kg/menit. Pentanil, sulfentanil, alventanil dan remiventanil adalah opioid yang
lebih banyak digunakan dibanding morfin karena menimbulkan analgesia
anastesia yang lebih kuat dengan depresi nafas yang lebih ringan. Bila opioid
diberikan dengan dosis lebih besar atau berulang selama pembedahan, sedasi dan
depresi nafas dapat berlangsung lebih lama, ini dapat diatasi dengan nalokson.

C. OBAT BISA MENCAPAI TARGET PADA TERAPI


Zat anestesi memberikan efek terhadap semua sel tubuh, dimana tempat
kerjanya khususnya pada jaringan saraf. Penggunaan pada daerah meradang tidak
akan memberi hasil yang memuaskan oleh karena meningkatnya keasaman jaringan
yang mengalami peradangan sehingga akan menurunkan aktifitas dari zat anestesi
(pH sekitar 5).
Anestesi mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf, efeknya pada
aksoplasma hanya sedikit saja. Sebagaimana diketahui, potensial aksi saraf terjadi
karena adanya peningkatan sesaat (sekilas) pada permeabilitas membran terhadap ion
Na akibat depolarisasi ringan pada membran. Proses inilah yang dihambat oleh obat
anestesi lokal dengan kanal Na+ yang peka terhadap perubahan voltase muatan listrik
(voltase sensitive Na+ channels). Dengan bertambahnya efek anestesi di dalam saraf,
maka ambang rangsang membran akan meningkat secara bertahap, kecepatan
peningkatan potensial aksi menurun, konduksi impuls melambat dan faktor pengaman
(safety factor) konduksi saraf juga berkurang. Faktor-faktor ini akan mengakibatkan
penurunan kemungkinan menjalarnya potensial aksi, dan dengan demikian
mengakibatkan kegagalan konduksi saraf. Ada kemungkinan zat anestesi

16
meninggikan tegangan permukaan lapisan lipid yang merupakan membran sel saraf,
sehingga terjadi penutupan saluran (channel) pada membran tersebut sehingga
gerakan ion (ionik shift) melalui membran akan terhambat. Zat anestesi akan
menghambat perpindahan natrium dengan aksi ganda pada membran sel berupa :
1. Aksi kerja langsung pada reseptor dalam saluran natrium.
Cara ini akan terjadi sumbatan pada saluran, sehingga natrium tak dapat
keluar masuk membran. Aksi ini merupakan hampir 90% dari efek blok.
Percobaan dari Hille menegaskan bahwa reseptor untuk kerja obat anestesi
lokal terletak di dalam saluran natrium.
2. Ekspansi membran
Bekerja non spesifik, sebagai kebalikan dari interaksi antara obat dengan
reseptor. Aksi ini analog dengan stabilisasi listrik yang dihasilkan oleh zat
non-polar lemak misalnya barbiturat, anestesi umum dan benzocaine.
Untuk dapat melakukan aksinya, obat anestesi pertama kali harus dapat
menembus jaringan, dimana bentuk kation adalah bentuk yang diperlukan untuk
melaksanakan kerja obat di membran sel. Jadi bentuk kation yang bergabung dengan
reseptor di membran sel yang mencegah timbulnya potensial aksi. Agar dapat
melakukan aksinya, obat anestesi spinal pertama kali harus menembus jaringan
sekitarnya.

D. CONTOH KASUS
 Keluhan Utama Pasien : G4P3A0 hamil 37 minggu dengan Gemelli dan MOW
 Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien G4P3A0 usia 32 tahun hamil 37 minggu. Janin
2 hidup intrauterin presentasi kepala, mengeluhkan tidak ada kontraksi rahim, keluar
cairan (lendir dan darah) dari jalan lahir (+), terasa gerakan janin (+) ada tanda-tanda
persalinan.

Persiapan Pre Operasi


 Anamnesis (11 Juli 2015)
 A (Allergy) : Tidak ada riwayat alergi obat-obatan, makanan dan penyakit
 M (Medication) : (-)

17
 P (Past Illnes) : Riwayat DM (-), HT (-), Asma (-)
 L (Last meal) : Puasa mulai pukul 00.00 WIB (7 jam sebelum operasi)
 E (Environment) : G4P3A0 hamil 37 minggu, janin 2 hidup intrauterine presentasi
kepala dengan Gemelli

Laporan Anesthesi Durante Operasi

 Tindakan operasi : SC (Sectio Caesarea)

 Jenis anestesi : Regional Spinal, posisi puncture di lumbal terbawah, level


median.

 Lama anestesi : 08.20 - 09.30 WIB

 Lama operasi : 08.30 – 09.30 WIB

 Premedikasi : Ondancetron 4 mg/2ml (IV)

 Induksi : Bunascan Spinal 0.5%

Heavy (Bupivacain HCL) 5mg/ml (4 ml)


Efedrin 10 mg/ml

 Maintenance : O2 2 L/menit

 Adjuvantia : Oxytocin 20 IU/ 2 ml

Methylergometrine Maleat 0.4 mg/ 2 ml


Ketorolac 3% 30 mg/ml

 Reverse :-

 Terapi cairan : Kristaloid : RL 500 ml

Tindakan Anestesi Regional

 Pasien diposisikan lateral dekubitus atau duduk, dilakukan punksi antara L3-L4 (di
daerah cauda equina medulla spinalis), dengan jarum / trokard. Setelah menembus
ligamentum flavum (hilang tahanan), tusukan diteruskan sampai menembus selaput
duramater, mencapai ruangan subaraknoid. Identifikasi adalah dengan keluarnya cairan
cerebrospinal, jika stylet ditarik perlahan-lahan.

 Kemudian obat anestetik diinjeksikan ke dalam ruang subaraknoid.

18
 Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik pada daerah operasi, menggunakan jarum
halus atau kapas dan tes motorik dengan mengangkat kaki dan menekuk lutut.

 Jika dipakai kateter untuk anestesi, dilakukan fiksasi. Daerah pungsi ditutup dengan kasa
dan plester.

 Kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi / tindakan selanjut

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

A. RINCI POKOK BAHASAN ANESTESI UMUM


1. SEJARAH
 Sejak pertama kali ditemukan oleh Oliver Wendel Holmes pada tahun 1846,
anestesi terus berkembang pesat hingga sekarang.
2. DEVINISI
 Anestesi menurut arti kata adalah hilangnya kesadaran rasa sakit, namun obat
anestasi umum tidak hanya menghilangkan rasa sakit akan tetapi juga
menghilangkan kesadaran.
 Anestesia umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversibel).
3. METODE PEMBERIAN OBAT
 Oral (dibahas tersendiri)
 Lingual atau bukal
 Intramuskular
 Subkutan
 Rektal
 Transdermal (dibahas tersendiri)
 Inhalasi
 Epidural
 Spinal (Subarachnoid)
4. INTERAKSI OBAT

19
Anestesi meningkatkan potensi blokade otot non-depolarisasi. Suksinil kolin dan
anestesi ester bergantung pada pseudokolinesterase untuk metabolismenya.
Pemberian bersamaan dapat meningkatkan potensi masing masing obat.
5. CONTOH OBAT ANESTESI
 Obat-Obat Anestesi Inhalasi
Obat yang tergolong obat Anestesi Inhalasi adalah: Halotan, enfluran, isofluran,
sevofluran, desflurane, dan methoxyflurane merupakan cairan yang mudah menguap.
 Obat-Obat Anastesi Intravena
Termasuk golongan ini adalah: barbiturate (thiopental,
methothexital); benzodiazepine (midazolam, diazepam); opioid analgesic (morphine,
fentanyl,sufentanil, alfentanil, remifentanil); propofol; ketamin, suatu
senyawa arylcylohexylamine yang dapat menyebabkan keadaan anestesi disosiatif
dan obat-obat lain ( droperianol, etomidate, dexmedetomidine).
6. EFEK SAMPING ANESTESI UMUM
Obat anestesi umum yang ideal haruslah tidak mudah terbakar, tidak meledak,
larut dalam lemak, larut dalam darah, tidak meracuni organ (jantung, hati, ginjal),
efek samping minimal, tidak dimetabolisasi oleh tubuh, dan tidak mengiritasi pasien.
B. PENGGOLONGAN OBAT ANASTESI UMUM
 Anastesik inhalasi
Obat anastesik yang pertama kali dikenal dan digunakan untuk membantu.
pembedahan ialah N2O.
  Anestesik intravena
Pemakaian obat anestetik intravena, dilakukan untuk : induksi anestesia, induksi
dan pemeliharaan anestesia bedah singkat, suplementasi hypnosis pada anesthesia
atau tambahan pada anelgesia regional dan sedasi pada beberapa tindakan medik atau
untuk membentu prosedur diagnostik misalnya tiopental, ketamin dan propofol.

C. OBAT BISA MENCAPAI TARGET PADA TERAPI


Zat anestesi memberikan efek terhadap semua sel tubuh, dimana tempat kerjanya
khususnya pada jaringan saraf. Penggunaan pada daerah meradang tidak akan memberi
hasil yang memuaskan oleh karena meningkatnya keasaman jaringan yang mengalami
peradangan sehingga akan menurunkan aktifitas dari zat anestesi (pH sekitar 5).

20
DAFTAR PUSTAKA

Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C. 2009. Handbook of
Clinical Anesthesia. 6th edition. USA : Lippincott Williams & Wilkins.
Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua.
Jakarta : Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
Snell, Richard S. 2006. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Edisi ke-6. Editor :
Hartanto Hurniawati, dkk. Jakarta : EGC.
Mangku Gde, Senapathi Agung Gde Tjokorda. 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi.
Indeks Jakarta : Jakarta.

21

Anda mungkin juga menyukai