Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

NYERI DAN PENATALAKSANAAN

Pembimbing

dr. Wendy Hudyarisandi, Sp.An.

Disusun Oleh :

Elisa Gondo Asmarani 202210401011077

SMF ILMU ANESTESI

RSU HAJI SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

MUHAMMADIYAH MALANG

2022
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT

NYERI DAN PENATALAKSANAAN

Referat dengan judul “Nyeri dan Penatalaksanaan” telah diperiksa dan disetujui

sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter

Muda di bagian Ilmu Anestesiologi

Surabaya, 23 November 2022


Pembimbing

dr. Wendy Hudyarisandi, Sp.An.

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,

atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul

“Nyeri dan Penatalaksanaan”. Penyusunan tugas ini merupakan salah satu tugas

yang penulis laksanakan selama mengikuti kepaniteraan di SMF Anastesi RSU

Haji Surabaya.

Penulis mengucapkan terima kepada dr. Yudianto, Sp. An selaku dokter

pembimbing dalam penyelesaian tugas referat ini, terima kasih atas bimbingan

dan waktunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini.

Akhirnya, penulis berharap semoga referat ini dapat memberikan manfaat

pada pembaca. Penulis menyadari bahwa penyusunan tugas ini masih jauh dari

kesempurnaan. Dalam kesempatan ini penulis mengharapkan kritik dan saran

yang dapat membangun demi kesempurnaan laporan ini.

Surabaya, 23 November 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.........................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN..............................................................................................ii
KATA PENGANTAR.....................................................................................................iii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iv
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................................1
1.1 Epidemiologi...........................................................................................................1
1.2 Patogenesa, factor predisposisi..............................................................................2
1.3 Manifestasi klinis....................................................................................................4
1.4 Pemeriksaan penunjang.........................................................................................5
BAB 2 TATA LAKSANA FARMAKOTERAPI DAN NON FARMAKOTERAPI....6
2.1 Non Farmakoterapi................................................................................................6
2.2 Farmakoterapi........................................................................................................8
2.2.1 Analgesik non-opioid.......................................................................................9
2.2.2 Opioid.............................................................................................................13
2.3 Asesmen Nyeri......................................................................................................21
BAB III KOMPLIKASI................................................................................................25
BAB IV PENUTUP........................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................27

iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Epidemiologi

Nyeri merupakan mekanisme perlindungan. Nyeri timbul bila ada kerusakan


jaringan, dan hal ini akan menyebabkan individu bereaksi dengan cara
menghilangkan stimulus nyeri. Lebih dari 80% pasien yang menjalani prosedur
operasi mengalami pengalaman nyeri akut pasca operasi dan sekitar 75 % dari itu
dilaporkan tingkat keparahannya sebagai moderat, berat/parah, atau ekstrim. Bukti
menunjukkan bahwa kurang dari setengah dari pasien yang menjalani operasi
melaporkan nyeri yang edekuat pasca operasi. Pengontrolan nyeri yang tidak adekuat
memberi efek negatif terhadap kualitas hidup, fungsi, dan pemulihan secara
fungsional, risiko komplikasi pasca pembedahan, dan risiko nyeri persisten pasca
operasi.
Klasifikasi Nyeri
1. Menurut onset dan stimulus penyebabnya, terbagi menjadi:
a. Nyeri akut
Disebabkan oleh kerusakan jaringan dan ini menghilang seiring dengan
penyembuhan jaringan. Nyeri akut hilang setelah beberapa jam hingga
beberapa hari (7 hari). Contohnya adalah nyeri karena pembedahan.
b. Nyeri kronik
Bila nyeri menetap selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun,
walaupun kerusakan jaringan telah sembuh.

1
2. Menurut mekanisme terjadinya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi nosiseptif
dan nyeri non nosiseptif.
a. Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang ditimbulkan oleh rangsangan
disebabkan reaksi inflamasi. Tergantung lokasinya nyeri dapat
digolongkan nyeri somatic dan nyeri visera.
b. Nyeri non nosiseptif (nyeri neuropatik) yaitu nyeri yang disebabkan
kerusakan jaringan saraf sentral maupun perifer. Kerusakan saraf dapat
disebabkan oleh infeksi /inflamasi, proses metabolic(diabetes mellitus),
trauma pembedahan maupun infiltrasi atau tekanan tumor.
 Nyeri pada kerusakan saraf sentral yaitu kerusakan pada tingkat
corda spinalis atau thalamus misalnya differentiation pain atau
central pain.
 Nyeri pada kerusakan saraf perifer / regional misalnya nyeri pada
polineuropati dan causalgia ( sympathetic dystrophy pain)
3. Menurut berat ringannya nyeri dikategorikan sebagai nyeri ringan, sedang,
berat. Tingkatan ini ditetapkan berdasarkan beberapa parameter yang
dijelaskan pada penilaian skala nyeri.
1.2 Patogenesa, factor predisposisi
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang
nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas
dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial
merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri
(nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf
perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada
daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga
memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari
daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Klasifikasi nosiseptor
didasarka[n pada klasifikasi ujung serabut saraf terminal. Ada dua jenis serabut saraf:

2
1. Diameter kecil, saraf tidak bermielin yang menghantarkan impuls
lambat, disebut serabut C.
2. Diameter besar, saraf yang bermielin yang menghantarkan impuls saraf
dengan cepat disebut serabut A delta.
Aktivasi perifer dari nosiseptor (transduksi) dimodulasi oleh jumlah substansi
kimia yang diproduksi atau dihasilkan ketika terdapat kerusakan sel. Mediator-
mediator ini mempengaruhi derajat aktifitas saraf dan karena itu intensitas nyeri,
dapat disensasikan. Stimulasi berulang biasanya menyebabkan sensasi dari serabut-
serabut saraf perifer, menyebabkan penurunan ambang rasa sakit dan nyeri spontan,
mekanisme itu dapat dialami sebagai hipersensitifitas kutaneus seperti area kulit
dengan terbakar sinar matahari.
Struktur reseptor nyeri somatik (deep somatic) dalam meliputi reseptor nyeri
yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, saraf, otot, dan jaringan penyangga
lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri
yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi
organ- organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang
timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi
sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
Terdapat beberapa jalur stimulus yang melalui empat proses tersendiri yaitu :
1. Transduksi
Proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas
listrik di reseptor nyeri. Terjadi karena pelepasan mediator kimia seperti
prostaglandin dari sel rusak, bradikinin dari plasma, histamin dari sel mast,
serotonin dari trombosit dan substansi P dari ujung saraf. Stimuli ini dapat
berupa stimuli fisik (tekanan), suhu (panas) atau kimia (substansi nyeri).
2. Transmisi
Proses penerusan impuls nyeri dari tempat transduksi melalui nosiseptor
saraf perifer. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut
C sebagai neuron pertama, dari perifer ke medulla spinalis dimana impuls
tersebut
3
mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh traktus
sphinotalamikus sebagai neuron kedua. Dari thalamus selanjutnya impuls
disalurkan ke daerah somato sensoris di korteks serebri melalui neuron ketiga,
dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.
3. Modulasi
Melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desenden dari otak
yang dapat mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis. Modulasi
ini juga melibatkan faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau
meningkatkan aktifitas di reseptor nyeri.
4. Persepsi

Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai
dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya
menghasilkan suatu perasaan yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi
nyeri.

Gambar 1. Proses terjadinya stimulus rangsangan nyeri


1.3 Manifestasi klinis
1. Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)
a. Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
b. Peningkatan heart rate
c. Vasokonstriksi perifer
d. Peningkatan nilai gula darah
4
e. Diaphoresis
f. Peningkatan kekuatan otot
g. Dilatasi pupil
h. Penurunan motilitas GI
2. Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)
a. Muka pucat
b. Otot mengeras
c. Penurunan HR
d. Nafas cepat dan irreguler
e. Nausea dan vomitus
f. Kelelahan dan keletihan
Respon tingkah laku terhadap nyeri
1. Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)
2. Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)
3. Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan
gerakan jari & tangan).
4. Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan,
Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd
aktivitas menghilangkan nyeri).
1.4 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan bertujuan untuk mengatahui penyebab dari
nyeri. Pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan laboratorium dan imaging
seperti foto polos, CT scan, MRI atau bone scan.

5
BAB 2
TATA LAKSANA FARMAKOTERAPI DAN NON FARMAKOTERAPI
Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri
sebesar- besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Terdapat dua
metode umum untuk terapi nyeri yaitu pendekatan farmakoterapi dan non
farmakoterapi.
2.1 Non Farmakoterapi
Berikut ini merupakan tabel yang menyajikan terapi non farmakoterapi yang sering
dipakai.
Contoh metode non farmakoterapi pada penanganan nyeri
Dingin Air es digunakan pada operasi ortepedi setelah
operasi kaki. Air es dapat digunakan di rumah
sakit maupun dirumah. Ada system komersial
yang mudah digunakan. Penggunaan air es
dalam jenis lain dari operasi perlu adanya
investigasi lebih lanjut.
Akupuntur Tidak ada efek yang didokumentasikan pada
akupuntur dalam manajemen nyeri pasca
operasi. Dimana, mungkin ada efek dalam
mengurangi mual dan muntah.
Terapi relaksasi dan Ini mungkin memiliki efek positif pada kasus
gangguan, seperti music, perorangan. Ada CD musik yang tersedia untuk
citra/imajinasi, atau hypnosis relaksasi.
Tabel 1. Metode Non Farmakoterapi
Tindakan non farmakoterapi untuk mengatasi nyeri terdiri dari beberapa tindakan
penanganan berdasarkan.
a. Penanganan fisik/stimulasi fisik meliputi:
1) Stimulasi kulit
Pijatan pada kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan
ketegangan otot. Rangsangan pijatan otot ini dipercaya akan merangsang
serabut
6
berdiameter besar, sehingga mampu mampu memblok atau menurunkan impuls
nyeri.
2) Stimulasi electric (TENS)
Cara kerja dari sistem ini masih belum jelas, salah satu pemikiran
adalah cara ini bisa melepaskan endorfin, sehingga bisa memblok stimulasi
nyeri. Bisa dilakukan dengan pijat, mandi air hangat, kompres dengan
kantong es dan stimulasi saraf elektrik transkutan (TENS/ transcutaneus
electrical nerve stimulation). TENS merupakan stimulasi pada kulit dengan
menggunakan arus listrik ringan yang dihantarkan melalui elektroda luar.
3) Akupuntur
Akupuntur merupakan pengobatan yang sudah sejak lama digunakan
untuk mengobati nyeri. Jarum-jarum kecil yang dimasukkan pada kulit,
bertujuan menyentuh titik-titik tertentu, tergantung pada lokasi nyeri, yang
dapat memblok transmisi nyeri ke otak.
4) Plasebo
Plasebo dalam bahasa latin berarti menyenangkan merupakan zat tanpa
kegiatan farmakoterapik dalam bentuk yang dikenal oleh klien sebagai “obat”
seperti kaplet, kapsul, cairan injeksi dan sebagainya.
b. Intervensi perilaku kognitif meliputi:
1) Relaksasi
Teknik relaksasi terutama efektif untuk nyeri kronik dan memberikan
beberapa keuntungan, antara lain:
a. Relaksasi akan menurunkan ansietas yang berhubungan dengan nyeri atau
stress
b. Menurunkan nyeri otot
c. Menolong individu untuk melupakan nyeri
d. Meningkatkan periode istirahat dan tidur
e. Meningkatkan keefektifan terapi nyeri lain
f. Menurunkan perasaan tak berdaya dan depresi yang timbul akibat nyeri
2) Umpan balik biologis

7
Terapi perilaku yang dilakukan dengan memberikan individu
informasi tentang respon nyeri fisiologis dan cara untuk melatih kontrol
volunter terhadap respon tersebut. Terapi ini efektif untuk mengatasi
ketegangan otot dan migren, dengan cara memasang elektroda pada pelipis.
3) Hipnotis
Membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti positif.
4) Distraksi
Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, efektif untuk nyeri ringan
sampai sedang. Distraksi visual (melihat TV atau pertandingan bola), distraksi
audio (mendengar musik), distraksi sentuhan (massase, memegang mainan),
distraksi intelektual (merangkai puzzle, main catur), nafas lambat, berirama.
5) Guided Imagination (Imajinasi terbimbing)
Meminta pasien berimajinasi membayangkan hal-hal yang
menyenangkan, tindakan ini memerlukan suasana dan ruangan yang tenang
serta konsentrasi dari pasien. Apabila pasien mengalami kegelisahan, tindakan
harus dihentikan. Tindakan ini dilakukan pada saat pasien merasa nyaman dan
tidak sedang nyeri akut.
2.2 Farmakoterapi
World Health Organisation Analgesic Ladder diperkenalkan untuk
meningkatkan penanganan nyeri pada pasien dengan kanker. Namun, formula ini
dapat juga dipakai untuk menangani nyeri akut karena memiliki strategi yang logis
untuk mengatasi nyeri. Formulasi ini menunjukkan, pada nyeri akut, yang pertama
kali diberikan adalah obat Anti-Inflamasi non steroid, Aspirin, atau Paracetamol yang
merupakan obat-obatan yang bekerja di perifer. Apabila dengan obat-obatan ini, nyeri
tidak dapat teratasi, maka diberikan obat-obatan golongan opioid lemah seperti
kodein dan dextropropoxyphene. Apabila regimen ini tidak juga dapat mencapai
kontrol nyeri yang efektif, maka digunakanlah obat-obatan golongan opioid kuat,
misalnya morfin.

8
Gambar 2. WHO Analgesic Ladder
Baru-baru ini dikembangkan World Federation of Societies of
Anaesthesiologists (WFSA) Analgesic Ladder telah dikembangkan untuk mengobati
nyeri akut. Pada awalnya, nyeri dapat dianggap sebagai keadaan yang berat sehingga
perlu dikendalikan dengan analgesik yang kuat. Biasanya, nyeri pascaoperasi akan
berkurang seiring berjalannya waktu dan kebutuhan akan obat yang diberikan melalui
suntikan dapat dihentikan. Anak tangga kedua adalah pemulihan penggunaan rute
oral untuk memberikan analgesia. Opioid kuat tidak lagi diperlukan dan analgesia
yang memadai dapat diperoleh dengan menggunakan kombinasi dari obat-obat yang
berkerja di perifer dan opioid lemah. Langkah terakhir adalah ketika rasa sakit dapat
dikontrol hanya dengan menggunakan obat-obatan yang bekerja di perifer.

Gambar 3. WFSA Analgesic Ladder


2.2.1 Analgesik non-opioid
Obat analgesik antipiretik serta obat antiinflamasi nonsteroid {AINS)
merupakan salah satu kelompok obat yang banyak diresepkan dan juga
digunakan tanpa resep dokter. Obat-obat ini merupakan suatu kelompok obat
yang heterogen secara kimia. Walaupun demikian obat-obat ini ternyata
memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek samping.

9
Gambar 4. Pembagian Obat Anti Inflamasi Non Steroid
 Parasetamol
Asetaminofen (parasetamol) merupakan metabolit fenasetin dengan efek
antipiretik yang sama dan telah digunakan sejak tahun 1893. Efek
antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen. Asetaminofen di
Indonesia lebih dikenal dengan nama parasetamol, dan tersedia sebagai
obat bebas.
 Indikasi : Di Indonesia penggunaan parasetamol sebagai analgesik
dan antipiretik, telah menggantikan penggunaan salisilat dan sering
dikombinasi dengan AINS untuk efek analgesik.
 Farkodinamik : Efek analgesic serupa dengan salisilat yatu
menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang.
Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanismie yang
diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat.
Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu parasetamol
tidak digunakan sebagai antireumatik karena parasetamol
merupakan penghambat biosintesis PG yang lemah.
 Farmakokinetik :

10
o Absorbsi secara cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Obat ini
tersebar ke seluruh cairan tubuh. Metabolisme oleh enzim
mikrosom hati. Sebagian dikonjugasi dengan asam glukuronat dan
sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat. Ekskresi melalui ginjal,
sebagian kecil sebagai parasetamol dan sebagian besar dalam
bentuk terkonjugasi
o Onset : Oral : <1jam; IV : 5-10menit (analgesik); 30menit (antipretik)
o Durasi : 4-6 jam (analgesik), IV ≥6 jam
o Peak Effect : ½ jam
 Efek Samping
Reaksi alergi jarang terjadi. Manifestasinya berupa eritema atau
urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa demam dan lesi pada
mukosa
 Dosis untuk dewasa: 300mg-1g/x minum maksimal 4g/hari; anak 6-
12th: 150-300mg/x dengan dosis maksimal 1,2g/hari; anak 1-6th: 60-
120mg/x dan bayi <1th: 60mg/x dengan diberikan maksimal 6x/hari
 Ketorolak
Ketorolak merupakan analgesik poten dengan efek anti-inflamasi sedang.
Ketorolak merupakan satu dari sedikit AINS yang tersedia untuk
pemberian parenteral. Absorpsi oral dan intramuscular berlangsung cepat
mencapai puncak dalam 30-50 menit.
 Farmakodinamik : reversible menghambat enzim COX-1 dan COX-
2 yang menghasilkan penurunan pembentukan precursor
prostaglandin. Ini menunjukkan efek anti-inflamasi minimal pada
dosis analgesiknya
 Farmakokinetik :
Absorbsi oral dan intramuscular berlangsung cepat mencapai
puncak dalam 30-50 menit. Bioavaibilitas oral 80% dan hampir
seluruhnya terikat protein plasma. Ketorolak IM sebagai analgesic
pascabedah memperlihatkan efektivitas sebanding morfin dosis
umum, masa
11
kerjanya lebih panjang dan efek sampingnya lebih ringan, dapat
diberikan per oral
 Onset : 30 menit (IV/IM)
 Durasi : 4-6 jam
 Dosis IM 30-60mg; IV 15-30mg; dan oral 5-30mg
 Efek Samping
- Nyeri pada tempat suntikan
- Gangguan saluran cerna
- Kantuk
- Pusing
- Sakit kepala
Karena ketorolak sangat selektif menghambat COX-1, maka obat ini
hanya dianjurkan dipakai tidak lebih dari 5 hari karena kemungkinan tukak
lambung dan iritasi lambung besar sekali.
 Ketoprofen
Derivat asam propionat ini memiliki efektivitas seperti ibuprofen
dengan sifat anti-inflamasi sedang. Absorpsi ber1angsung baik dari
lambung dan waktu paruh plasma sekitar 2 jam.
 Farmakodinamik: Efek antiinflamasinya sedang. Selain
menghambat COX, ketoprofen pun dapat menstabilkan membran
lisozim dan mengantagonis bradikinin.
 Farmakokinetik : absorbsi cepat dan konsentrasi maksimal dalam
plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam. 99% terikat pada plasma
protein. Ketoprofen berkonjugasi dengan asam glukoronat di hepar
dan diekskresikan melalui urin.
 Dosis : Dossis 2 kali 100 mg sehari,
 Efek Samping : Gangguan saluran cerna dan reaksi hipersensitifitas.
 Antrain/Santagesik
 Farmakodinamik : Menghambat sintesis dari prostaglandin D dan E
pada efek analgesik, anti inflamasi, dan anti piretik. 12

12
 Farmakokinetik
o Absorbsi: hidrolisa cepat dalam cairan lambung metabolisme oleh
enzim 4-metil-amino-antipirine didistribusi hingga ke asi dan
diekskresikan melalui ginjal
 Efek samping : Reaksi anafilatik, dyspnea, urtikaria
 Dosis : Oral: 1 tab sebagai dosis tunggal, max: 4x1 tab; Inj: 2-5 ml
IM/IV sebagai dosis tunggal, maks: 10 ml/hari; syr: 10-20ml
sebagai dosis tunggal, maks: 4x20 ml/hari
2.2.2 Opioid
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat
seperti opium. Opium yang berasal dari getah Papaver somniferum
mengandung sekitar 20 jenis aikaloid diantaranya morfin, kodein, tebain,
dan papaverin. Analgesik opioid terutama digunakan untuk meredakan atau
menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga memperlihatkan berbagai efek
farmakodinamik yang lain.
lstilah analgesic narkotik dahulu seringkali digunakan untuk kelompok
obat ini, akan tetapi karena golongan obat ini dapat menimbulkan analgesia
tanpa menyebabkan tidur atau menurunnya kesadaran maka istilah
analgesik narkotik menjadi kurang tepat.
Nyeri hebat yang berasal dari organ dalam dan struktur viseral
membutuhkan opioid kuat sebagai analgesianya. Rute oral mungkin
tersedia pada pasien yang telah sembuh dari pembedahan mayor sehingga
opioid kuat seperti morfin dapat digunakan karena morfin sangat efektif per
oral. Bila pasien tidak dapat mengkonsumsi obat melalui rute oral cara
pemberian lain harus dilakukan.
Drug name Route of Dose Length of
delivery (mg) Action (h)
Morphine Intramuscular/ 10-15 2-4
subcutaneous

13
Methadone Intramuscular 7.5-10 4-6
Pethidine/Meperidine Intramuscular 100-150 1-2
Buprenorphine Sublingual 0.2-0.4 6-8
(Intravenous - half the IM dose slowly over 5 minutes)
Tabel 2.Opioid kuat
Berdasarkan kerjanya pada reseptor, obat golongah opioid .dibagi
menjadi: 1. agonis penuh (kuat). 2. agonis ·parsial (agonis lemah sampai
sedang), 3. Campuran agonis dan antagonis, dan 4 antagonis. Berikut
pemaparan tabelnya.

Agonis kuat Agonis lemah- Campuran Antagonis


sedang agonis-antagonis
Morfin Kodein Nalbufin Nalorfin
Hidromorfon Oksikodon- Buprenorfin Nalokson
Oksimorfon Hidrokodon Naltrekson
Metadon Propoksifen Butorfenol
Pentazosin
Meperidin Difenoksilat
Fentanil
Levorfenol
 Morfin
Morfin masih popular sampai saat ini, pada premedikasi sering
dikombinasikan dengan atropin dan fenotiasin (largaktil). Pada
pemeliharaan anestesia umum di kamar bedah sering digunakan sebagai
tambahan analgesia dan diberikan secara intravena.
Morfin adalah analgesik narkotik pertama yang digunakan untuk
mengurangi cemas dan ketegangan pasien menghadapi pembedahan,
mengurangi nyeri, menghindari takipnea pada anestesia dengan
trikloretilen, dan membantu agar anestesia berlangsung baik. Morfin 8-10
mg yang diberikan IM biasanya cukup untuk tujuan tersebut.

14
 Indikasi : Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk
meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat
diobati dengan anlgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin
besar dosis yang diperlukan.
 Farmakodinamik : Efek morfin pada SSP dan usus terutama
ditimbulkan karena morfin bekerja sebagai agonis pada reseptor
mu (μ). Selain itu morfin juga mempunyai afinitas yang lebih
lemah terhadap reseptor delta dan kappa
 Farmakokinetik :
- Onset : IV < 1 menit; IM 1-5 menit; SC 15-30 menit; PO 15-60 menit;
Epidural atau spinal 15-60 menit.
- Peak effect : IV 5-20 menit; IM 30-60 menit; SC 50-90 menit; PO 30-
60 menit; Epidural atau spinal 90 menit.
- Durasi : IV/IM/SC 2-7 jam; Epidural atau spinal 6-24 jam.
 Efek samping :
Gatal seperti alergi kadang ditemukan ditempat suntikan berupa bentol
kecil atau gatal, mual dan muntah. Pruritus sering dijumpai pada
pemberian morfin secara epidural dan intratekal, tetapi dapat segera
dihilangkan dengan pemberian nalokson tanpa menghilangkan efek
analgesinya.
- Kardiovaskular : Hipotensi, hipertensi, bradikardoa, aritmia
- Pulmoner : Bronkospasme, laringospasme.
- SSP : Penglihatan kabur, syncope, euphoria, disforia.
- GU : Retensi urin, efek antidiuretic, spasme ureter.
- GI : Spasme traktus biliaris, konstipasi, anoreksia, mual muntah,
penundaan pengosongan lambung.
- Mata : Miosis
- Muskuloskeletal : Kekakuan dinding dada.
- Alergik : Pruritus, urtikaria.
Untuk digunakan sebagai obat utama anestesia harus ditambahkan
benzodiazepine atau fenotiasin atau anestetik inhalasi volatil dosis rendah.
15
Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengurangi nyeri sedang ialah 0,1-
0,2 mg/kgBB. Subkutan, intramuskular dapat diulang tiap 4 jam.
Untuk nyeri hebat dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai
yang diperlukan. Untuk mengurangi nyeri dewasa pasca bedah atau nyeri
persalinan digunakan dosis 2-4 mg epidural atau 0,05-0,2 mg intratekal dan
dapat diulang antara 6-12 jam.
 Petidin
Meperidin yang juga dikenal sebagi petidin, secara kimia adalah etiJ-1-
metiJ_-4-fenilpiperidin-4- karboksilat. Petidin (meperidin, demerol) adalah zat
sintetik yang formulanya sangan berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai
efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Perbedaan dengan morfin
sebagai berikut :
- Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang
lebih larut dalam air
- Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan
mormeperidin, asam meperidinat, dan asam normeperidinat.
- Petidin bersifat seperti atropin menyebabkan kekeringan mulut,
kekaburan pandangan dan takikardia
- Seperti morfin, menyebabkan konstipasi tetapi efek terhadap sfingter
oddi lebih ringan
- Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah
yang taka da hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg
iv pada dewasa (morfin tidak).
- Lama kerja petidin lebih pendek disbanding morfin
 Indikasi : Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada
beberapa keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa
kerjanya_yang lebih pendek daripada morfin. Misalnya untuk tindakan
diagnostik seperti sistoskopi,pielografi retrograd. gastroskopi dan
pneumoensefalografi.

16
 Farmakodinamik : Efek farmakodinamik meperidin dan derivat
fenilpiperidin serupa satu dengan yang lain. Meperidin terutama bekerja
sebagai agonis reseptor μ.
 Farmakokinetik :
Absorbsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung baik.
Akan tetapi kecepatan absorbsi mungkin tidak teratur setelah pemberian
IM. Setelah pemberian IV kadar meperidin dalam plasma menurun secara
cepat dalam 1-2 jam pertama. Kemudian penurunan berlangsung dengan
lambat. Kurang lebih 60% meperidin dalam plasma terikat protein.
Metabolisme meperidin terutama berlangsung di hati.
- Onset : PO 10-45 menit; IV < 1 menit ; IM 1-5 menit ; Epidural
atau spinal 2-12 menit.
- Peak effect : PO < 1 jam; IV 5-20 menit; IM 30-50 menit; Epidural
atau spinal 2-12 menit.
- Durasi : PO/IV/IM 2-4 jam ; Epidural atau spinal 0,5-3 jam.
 Kontraindikasi : Kontraindikasi penggunaan meperidin menyerupai
kontraindikasi terhadap morfin dan opioid lain. Pada pasien penyakit hati
dan orang tua dosis obat harus dikurangi karena terjadinya perubahan pada
disposisi obat. Selain itu dosis meperidine perlu dikurangi bila diberikan
bersama antipsikosis, hipnotik sedatif dan obat-obat lain penekan SSP.
Pada pasien yang sedang mendapat MAO -inhibitor pemberian meperidin
dapat menimbulkan kegelisahan, gejala eksitasi dan demam.
 Efek Samping :
- Kardiovaskular : hipotensi, henti hantung.
- Pulmoner : Depresi pernapasan, henti napas, laringospasme.
- SSP : Euforia, disforia, sedasi, kejang, ketergantungan psikis.
- GI : Konstipasi, spasme traktus biliaris.
- Muskuloskeletal : kekakuan dinding dada.
- Alergik : Urtikaria, pruritus.

17
Seperti morfin, meperidin menimbulkan analgesia, sedasi, euphoria,
depresi napas, dan efek sentral lain. Dosis petidin umumnya 12,5-50 mg
IV juga efektif mengatasi menggigil akibat berbagai sebab anesthsia.
Dosis petidin intamuskular 1-2mg/kgBB (morfin 10x lebih kuat) dapat
diulang tiap 3-4 jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB.14 Efek analgetik
meperidin serupa dengan efek analgetik morfin, efek analgetik meperidin
mulai timbul 15 menit setelah pemberian oral dan mencapai puncak
dalam dua jam.
 Fentanil
Fentanil dan derivatnya sulfentanil, alfentanil, dan remifentanil
merupakan opioid sintetik dari kelompok fenilpiperidin dan bekerja
sebagai agonis reseptor μ. Fentanil banyak digunakan untuk anestetik
karena waktu untuk mencapai puncak analgesia lebih singkat
dibandingkan morfin dan meperidin.
Fentanyl ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100x
morfin. Lebih larut dalam lemak dibanding petidin dan menembus sawar
jaringan dengan mudah. Efek depresi napasnya lebih lama dibanding efek
analgesinya, Dosis 1-3 µg/kgBB analgesinya kira-kira hanya berlangsung
30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anestesia pembedahan dan
tidak untuk pasca bedah.
Dosis besar 50-150 µg/kgBB digunakan untuk induksi anestesia dan
pemeliharaan anestesia dengan kombinasi bensodiasepin dan anestetik
inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung.
 Farmakodinamik : Fentanyl dan derivatnya (sulfentanil, alfentanil,
dan remifentanil) merupakan opioid sintetik dari kelompok
fenilpiperidin dan bekerja sebagai agonis reseptor µ.
 Farmakokinetik :
- Onset : IV 30 detik; IM < 8menit; Epidural atau spinal 4-10menit
Tramsdermal 12-18 jam; Oral transmukosa 5-15 menit.

18
- Peak effect : IV 5-15 menit; IM <15 menit; Epidural atau spinal
<30 menit; Oral transmukosa 20-30 menit.
- Durasi : IV 30-60 menit; IM 1-2 jam; Epidural atau spinal 1-2 jam;
Transdermal 3 hari.
 Efek samping :
Dapat menimbulkan mual dan muntah, serta gatal. Kekakuan otot
yang mungkin terjadi lebih sering terjadi bila diberikan secara bolus dan
dapat dikurangi dengan menghindarkan atau memperlambat pemberian
secara bolus. Fentanil dosis tinggi juga dapat merangsang saraf dan
kadang-kadang menimbulkan reaksi konvulsi.
- Kardiovaskular : hipotensi, bradikardia.
- Pulmoner : depresi pernapasan, apnea.
- SSP : Pusing, penglihatan kabur, kejang.
- GI : Mual, emesis, pengosongan lambung tertunda, spasme traktus
biliaris.
- Mata : Miosis.
- Muskuloskeletal : Kekakuan otot.
 Tramadol
Tramadol adalah analog kodein sintetik yang merupakan agonis
reseptor μ yang lemah. Tramadol sama efektif dengan morfin atau
meperidin untuk nyeri ringan sampai sedang, tetapi untuk nyeri berat atau
kronik lebih lemah.
Untuk nyeri persalinan tramadol sama efektif dengan meperidin dan
kurang menyebabkan depresi pemapasan pada neonatus.
 Farmakodinamik: Tramadol mempunyai 2 mekanisme yang berbeda
pada manajemen nyeri yang keduanya bekerja secara sinergis yaitu :
agonis opioid yang lemah dan penghambat pengambilan kembali
monoamin neurotransmitter. Tramadol mempunyai bioavailabilitas
70% sampai 90% pada pemberian peroral, serta dengan pemberian dua
kali sehari dapat mengendalikan nyeri secara efektif.

19
 Farmakokinetik: Setelah pemakaian secara oral seperti dalam bentuk
kapsul atau tablet, tramadol akan muncul di dalam plasma selama 15
sampai 45 menit, mempunyai onset setelah 1 jam yang mencapai
konsentrasi plasma pada selama 2 jam. Bioavailabilitas absolute
tramadol kira-kira sebesar 68% setelah satu dosis dan kemudian
meningkat menjadi 90 hingga 100% pada pemakaian berulang.
Dosis dewasa dan anak-anak 12 tahun ke atas adalah 50-100 mg/hari,
setiap 4-6 jam. Konsumsi obat tramadol tidak boleh melebihi 400 mg
per hari. Pada lansia di atas 75 tahun, dosis tramadol tidak boleh
melebihi 300 mg per hari
 Efek Samping: mual, muntah, pusing, mulut kering, sedasi, dan sakit
kepala.

20
2.3 Asesmen Nyeri
Terdapat berbagai modalitas dalam melakukan asesmen nyeri.
a. Numeric Rating Scale (NRS)
Pada Numeric rating scale (NRS), ditanyakan kepada pasien terkait dengan
intensitas nyeri yang dirasakan menggunakan skala 11-poin dari poin 0 (tidak
nyeri sama sekali) hingga 10 (nyeri hebat yang dibayangkan). Poin 1-3
dikategorikan sebagai nyeri ringan, poin 4-7 merupakan nyeri sedang, dan >7
dianggap nyeri berat.
b. Visual Analogue Score
Visual Analogue Score (VAS) merupakan skala yang paling sering digunakan
dalam asesmen nyeri. VAS direpresentasikan dalam bentuk garis horizonal
berukuran 100 mm/10 cm di mana ujung kiri dinyatakan sebagai "tidak nyeri"
dan ujung kanan dinyatakan sebagai "nyeri paling hebat yang dibayangkan"
dengan tidak adanya marka pada garis tersebut. Pasien diinstruksikan untuk
menunjuk pada garis tersebut sesuai rasa sakit yang dirasakan dan skor dicatat
dalam bentuk milimeter/centimeter yang diukur dari ujung kiri. VAS dengan
skala lebih dari 7 merupakan prediktif dan memerlukan tatalaksana yang lebih
agresif.
c. CRIES
Pada neonatus, dapat digunakan metode CRIES sebagai metode penilaian
nyeri. CRIES merupakan singkatan dari C-Crying; R-requires increased
oxygen administrations; I-increased vital signs; E-expression; S-
Sleeplessness. Karena neonatus belum dapat berkomunikasi secara verbal
ataupun mengikuti perintah, skala penilaian ini tergantung pada observasi saat
neonatus menangis, ekspresi fasial, dan tanda-tanda vital.

21
Gambar 5. CRIES
d. FLACC
FLACC scale merupakan salah satu metode dalam asesmen nyeri yang
dapat digunakan pada pasien anak (usia 2 bulan - 7 tahun). Pada FLACC
scale, terdapat 5 kriteria: ekspresi fasial, posisi/pergerakan kaki, aktivitas
keseluruhan, derajat tangisan, dan kemampuan untuk ditenangkan
(Hachimildrissi S et al. 2020)

22
Gambar 6. FLACC Scale
e. FACES Pain Scale (FPS)
Pada pasien dengan daya komunikasi yang terbatas ataupun
ketidakmampuan berkomunikasi secara verbal, FACES pain scale (FPS)
bisa menjadi opsi metode penilaian nyeri. Pasien ditunjukkan ekspresi
wajah yang menunjukkan derajat ketidaknyamanan dan diminta untuk
memilih ekspresi mana yang paling sesuai dengan pasien saat ini.

23
Gambar 7. Wong-Baker FACES
f. Behavioural Pain Scale (BPS)
Pada pasien dalam kondisi ter-sedasi ataupun penurunan kesadaran,
dibutuhkan metode lain dalam penilaian nyeri. Dalam hal ini, behavioural
pain scale (BPS) telah tervalidasi pada kondisi-kondisi pasien tersebut
sebagai salah satu penilaian nyeri yang paling valid dan reliabel. BPS
score merupakan hasil kalkulasi antara 3 sub-skala: ekspresi fasial,
pergerakan ekstremitas atas, dan response terhadap ventilasi. Skor dari
skala ini berada dari rentang 3-12: 3 bermakna tidak nyeri, 4-6 nyeri
ringan, 7-9 nyeri sedang, 10-12 nyeri berat (Gomaverdi et al. 2019).

Gambar 8. Behavioural Pain Scale (BPS)

24
BAB III
KOMPLIKASI
Nyeri dapat diatasi dengan pemberian obat-obatan antinyeri, namun obat-obatan ini
dapat menyebabkan beberapa komplikasi terhadap tubuh sebagai berikut :
1. Sistem kardiovaskular
Nyeri meningkatkan respons simpatis, menghasilkan peningkatan denyut
jantung dan tekanan darah. Ini akan meningkatkan kerja miokard dan
konsumsi oksigen yang akan sangat berbahaya pada pasien dengan
fungsi miokard yang buruk.
2. Sistem pernapasan
Nyeri dari luka thoraco-abdominal dapat menghasilkan perubahan paru-paru
yang luas, peningkatan tonus otot perut dan penurunan terkait fungsi
diafragram. Ini menghasilkan ketidakmampuan untuk batuk dan
mengeluarkan cairan, yang mengarah pada atelektasis dan pneumonia.
3. Saluran pencernaan
Nyeri meningkatkan nada simpatik, menyebabkan, peningkatan sekresi
lambung dan usus, penurunan motilitas usus, menuju ileus, mual dan muntah.
4. Saluran genitourinary
Nyeri meningkatkan tonus simpatis, menyebabkan peningkatan otot polos dan
tonus sfingter, menyebabkan retensi urin.
5. Sistem Muskuloskeletal
Nyeri mencegah mobilisasi dan meningkatkan tonus otot yang mengakibatkan
trombosis vena dalam.
6. Sistem endokrin
Nyeri meningkatkan pelepasan hormon stres, yang pada gilirannya
menghasilkan peningkatan beban pada sistem kardiovaskular dan ginjal. Stres
juga dapat menyebabkan sulit tidur dan kesembuhan yang buruk.
7. Komplikasi jangka Panjang
Meningkatnya risiko pengembangan nyeri kronis.

25
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan

1. Nyeri adalah suatu pengalaman tidak menyenangkan secara sensoris maupun


emotional yang berkaitan dengan adanya kerusakan pada jaringan, maupun
kondisi yang secara potensial dapat menyebabkan kerusakan jaringan
2. Asesmen nyeri dapat menggunakan metode NRS, VAS, CRIES, FLACC,
FPS, hingga BPS. Adapun tatalaksana nyeri dapat meliputi tatalaksana non-
fisiologis dan tatalaksana fisiologis.
3. Hal yang perlu dicermati adalah bahwa nyeri tidak hanya berdampak pada
fisik, namun juga psikologis sehingga pendekatan yang dipakai harus
menggunakan pendekatan yang holistik-komprehensif.
4. Komplikasi pada nyeri dapat berdampak pada berbagai aspek kehidupan
pasien mulai dari fisik, kualitas hidup, dan ekonomi

26
DAFTAR PUSTAKA

Charlton ED. Postoperative Pain Management. World Federation of Societies of


Anaesthesiologists. http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u07/u07_009.htm
Chou R, et all. Guidelines on the management of postoperative pain. 2016. Available
from URL: http://www.jpain.org/article/S1526-5900(15)00995-5/abstract
Datin. S (2013). Handbook Of Management Of Pain. Ministry of Health Malaysia
and the Editorial Team. MOH/P/PAK/257.12 (HB), ISBN 978-967-0399-38-6
Guyton, A. C., Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta :
EGC, 629-635.
Katzung. G Bertram. 2012. Farmakoterapi Dasar dan Klinik. EGC Jakarta. Hal. 479-
496.
Omoigui, Sota. 2014. Buku Saku Obat-Obatan Anestesia. EGC : Jakarta. Hal. 179-
183 Putu. Wardhani. 2014. Management Nyeri. Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. Bali.
Ratna, Ratih, Pryambodho. 2012. Buku Ajar Anastesiologi. Departemen
Anestesiologi dan Intensive Care FKUI : Jakarta. Hal. 149-175.

27

Anda mungkin juga menyukai