MANAJEMEN NYERI
Oleh:
Annisa Susanne Sarjono, S.Ked. 04084822225203
Pembimbing:
dr. Aldiar, Sp.An
Referat
MANAJEMEN NYERI
Oleh:
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan
judul “Manajemen Nyeri”. Referat ini merupakan salah satu tugas dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya di RSUD Siti Fatimah
Azzahra Periode 11 September – 8 Oktober 2023.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang
sebesarnya kepada dr. Aldiar, Sp.An, selaku pembimbing yang telah membantu
memberikan ajaran dan masukan sehingga referat ini dapat diselesaikan dengan
baik.
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penyusuanan referat
ini yang disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi
perbaikan di masa yang akan datang. Semoga referat ini dapat memberi manfaat
dan pelajaran bagi kita semua.
Penulis
DAFTAR ISI
c. Nyeri campuran
Nyeri campuran merupakan campuran kompleks faktor nosiseptif
dan neuropatik. Disfungsi atau cedera sistem saraf awal dapat memicu
pelepasan saraf mediator inflamasi dan peradangan neurogenik berikutnya.
Misalnya, sakit kepala migrain, nyeri myofascial.
d. Nyeri psikogenik
Nyeri psikogenik diakibatkan oleh faktor psikologis yang mengarah
pada manifestasi klinis yang berlebihan atau histrionik nyeri.
2) Nyeri kronis
Nyeri kronis adalah nyeri yang berlangsung lebih lama dari perjalanan
penyakit akut atau setelah waktu yang wajar untuk penyembuhan; periode
penyembuhan ini biasanya dapat bervariasi dari 1 hingga 6 bulan. Nyeri kronis
dapat berkepanjangan tanpa tanda aktivitas otonom kecuali serangan akut. Nyeri
tersebut dapat berupa nyeri yang tetap bertahan sesudah penyembuhan luka
(penyakit/operasi) atau awalnya berupa nyeri akut lalu menetap sampai melebihi 3
bulan. Nyeri kronis dapat berupa nyeri nosiseptif, neuropatik, atau campuran. Ciri
khasnya adalah bahwa mekanisme psikologis atau faktor lingkungan sering
memainkan peran utama. Pasien dengan nyeri kronis sering kali memiliki stres
neuroendokrin yang dilemahkan atau tidak ada dan memiliki gangguan tidur dan
afektif yang menonjol. Nyeri neuropatik secara klasik bersifat paroksismal dan
menjalar, memiliki kualitas seperti terbakar, dan berhubungan dengan hiperpathia.
Bentuk nyeri kronis yang paling umum terkait dengan gangguan
muskuloskeletal, gangguan viseral kronis, lesi saraf perifer, akar saraf, atau
ganglia akar dorsal (termasuk neuropati diabetes, kausalgia, nyeri tungkai
phantom, dan neuralgia postherpetik), lesi pada syaraf pusat (stroke, cedera tulang
belakang, dan multiple sclerosis), serta nyeri kanker. Rasa sakit yang paling
banyak pada gangguan muskuloskeletal misalnya artritis reumatoid dan
osteoarthritis yang pada dasarnya bersifat nosiseptif, sedangkan nyeri yang
berhubungan dengan saraf perifer atau sentral terutama bersifat neuropatik. Nyeri
yang berhubungan dengan beberapa gangguan seperti kanker dan nyeri punggung
kronia (terutama setelah operasi) sering kali bersifat campuran
.
Pada pasien yang tidak sadar, skala yang dipakai untuk menilai nyeri
pada pasien ICU ialah: Behavioral Pain Scale (BPS) dan Critical Care Pain
Observation Tool (CPOT). Namun, keunggulan potensial masing-masing
untuk penilaian nyeri pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanis
belum diketahui dengan baik. Perbedaan utama antara CPOT dan BPS adalah
evaluasi gerakan tubuh dan ketegangan otot. 6
BPS terdiri dari tiga bagian utama yaitu status wajah, pergerakan
ekstremitas atas, dan erangan pada pasien yang tidak diintubasi dengan
ventilasi mekanis. Skala ini mengurutkan nyeri dari 3 hingga 12, dan status
pasien berdasarkan skala ini adalah nyeri tanpa nyeri (3), ringan (4-6),
sedang (7-9), atau berat (10- 12). Skor 6 dan lebih tinggi menunjukkan nyeri
sedang hingga berat, yang memerlukan perawatan.6
Gambar 10. Behavioral Pain Scale 17
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang benar sangat diperlukan untuk menguraikan
patofisiologi nyeri. Pemeriksaan vital sign sangat penting dilakukan
untuk mendapatkan hubungannya dengan intensitas nyeri karena nyeri
menyebabkan stimulus simpatik seperti takikardia, hiperventilasi dan
hipertensi. Pemeriksaan Glasgow coma scale rutin dilaksanakan untuk
mengetahui apakah ada proses patologi di intracranial. Pemeriksaan
khusus neurologi seperti adanya gangguan sensorik sangat penting
dilakukan dan yang perlu diperhatikan adalah adanya hipoastesia,
hiperastesia, hiperpatia dan alodinia pada daerah nyeri yang penting
4,18
menggambarkan kemungkinan nyeri neurogenik.
c. Pemeriksaan psikologis
Mengingat faktor kejiwaan sangat berperan penting dalam manifestasi nyeri
yang subjektif, maka pemeriksaan psikologis juga merupakan bagian yang
harus dilakukan dengan seksama agar dapat menguraikan faktor-faktor
kejiwaan yang menyertai.Test yang biasanya digunakan untuk menilai
psikologis pasien berupa the Minnesota Multiphasic Personality Inventory
(MMPI). Dalam mengetahui permasalahan psikologis yang ada maka akan
memudahkan dalam pemilihan obat yang tepat untuk penanggulangan nyeri.
4,18
d. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui penyebab
dari nyeri. Pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan laboratorium dan
4,18
imaging seperti foto polos, CT scan, MRI atau bone scan.
2.6 Tatalaksana Nyeri
2.6.1 Terapi Farmakologi
WHO membuat suatu cara yang sangat sederhana dan efektif untuk
menangani masalah obat pada pasien nyeri. Pada tahun 1986, WHO memulai
pendekatan bertahap yang dikenal sebagai WHO step ladder. Pada nyeri ringan
digunakan step ladder dengan obat analgesik OAINS dan paracetamol, pada
nyeri sedang digunakan kombinasi NSAID dengan opioid lemah dengan atau
tanpa adjuvant, serta pada nyeri berat digunakan kombinasi NSAID dan opioid
kuat dengan atau tanpa adjuvant.4,19
Gambar 12. WHO Analgetic Step Ladder19
a. Analgesik non-opioid
Asetaminofen menghambat sintesis prostaglandin tetapi tidak memiliki
aktivitas antiinflamasi yang signifikan. Asetaminofen memiliki sedikit efek
samping tetapi bersifat hepatotoksik pada dosis tinggi. Batas maksimum harian
yang direkomendasikan untuk orang dewasa adalah 3000 mg/hari, dikurangi dari
batas yang direkomendasikan sebelumnya 4000 mg/hari. Isoniazid, zidovudine,
dan barbiturat dapat meningkatkan toksisitas asetaminofen. Sementara itu, OAINS
menghambat sintesis prostaglandin (COX). Prostaglandin membuat peka dan
memperkuat input nosiseptif, dan memblokade hasil sintesisnya dalam sifat
analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi yang menjadi ciri khas NSAID.
Setidaknya dua jenis COX dikenali yakni COX-1 dan COX-2. COX-1 bersifat
konstitutif dan tersebar luas di seluruh tubuh, tetapi COX-2 diekspresikan terutama
dengan peradangan. Beberapa jenis nyeri, terutama nyeri yang terjadi setelah
operasi ortopedi dan ginekologi, sangat merespons baik terhadap penghambat
COX. Penghambat COX memiliki aksi yang penting pada sistem saraf perifer dan
pusat.5
Mekanisme kerja analgesik nonopioid adalah inhibisi enzim siklooksigenase
(COX) yang menginhibisi sintesis prostaglandin. Seluruh obat nonopioid memiliki
efek antiinflamasi, antipiretik dan analgesic. Efek analgesic OAINS biasanya
bertahan menit hingga jam, sementara efek antiinflamasi dapat 1-2 minggu, Efek
antiinflamasi dapat membantu mengurangi nyeri karena mengurangi
pembengkakan jaringan. Saat ini diketahui bahwa reseptor COX memiliki dua
isoform yaitu COX-1 dan COX-2 dengan efektivitas serta obat nonselektif namun
efek samping yang lebih sedikit. Nonopioid digunakan untuk mengurangi berbagai
tipe nyeri akut dan kronis dan nyeri somatis. Asetaminofen dan OAINS masing-
masing dapat mengatasi nyeri ringan, dan beberapa OAINS untuk nyeri sedang.
Untuk nyeri berat yang menggunakan opioid
juga membutuhkan obat nonopioid sebagai kombinasi untuk mengurangi dosis
opioid yang dibutuhkan. Nonopioid tidak menyebabkan toleransi, ketergantungan
fisik atau adiksi.5,20
a. Antikonvulsan
Antikonvulsan merupakan adjuvan atau ko-analgesik yang umum
digunakan pada nyeri neuropatik. Bila epilepsi maupun nyeri neuropatik
disebabkan oleh aktivitas neuron yang berlebihan; karena itu keduanya harus dapat
diobati dengan antikonvulsan untuk memblok mekanisme eksitatori maupun
meningkatkan mekanisme inhibisi. Obat ini sebagian besar merupakan pemblok
kanal natrium atau kalsium dan menaikkan ambang untuk depolarisasi saraf.
Dengan demikian, menekan aktivitas saraf abnormal. Obat ini harus dimulai dari
dosis rendah, kemudian dititrasi secara bertahap hingga mencapai dosis
terapeutik.5
Tabel 4. Antikonvulsan5
b. Antidepresan
Obat ini menunjukkan efek analgesik langsung dalam dosis yang jauh lebih
rendah daripada yang dibutuhkan untuk efek antidepresi. Efek analgesik disertai
sedasi, pengurangan kecemasan, relaksasi otot, dan siklus tidur yang menjadi
pulih. Berdasarkan mekanisme kerjanya, kelompok obat antidepresan adalah
tricyclic anti-depressant (TSA), selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), dan
serotonin-norepinephrine reuptake inhibitor (SNRI). Efek sampingnya adalah
sedasi, efek antikolinergik, hipotensi ortostatik, diare, dan konstipasi.4,5
Tabel 5. Antidepresan5
c. Muskulorelaksan
e. Agonis α2
Obat-obat ini memiliki efek simpatolitik dan juga mengubah konduktansi
kalsium dan kalium pada tingkat medulla spinalis Obat yang digunakan adalah
klonidin dengan dosis 0,1 mg/hari secara oral. Obat ini berguna dalam kondisi nyeri
neuropatik yang dimediasi simpatis seperti CRPS.5
f. Toksin botulinum
Nyeri yang disebabkan oleh spasisitas, nyeri miofasial, dystonia servikal,
dan beberapa gangguan sakit kepala berespon baik terhadap injeksi botox.
Terapeutik. Obat ini bekerja pada persambungan neuromuscular. Efek analgetik
mungkin dimediasi oleh blockade substansi P, glutamate, dan peptide terkait gen
kalsitonin. 4,5
g. Anestesi local
Obat anestesi local seperti lignokain dan bupivakain digunakan untuk
memblok saraf sebagai prosedur diagnostic atau terapeutik. Pemberian lignokain
sistemik dilakukan untuk prosedur desentisisasi sentral. Dalam hal ini lignokain
berfungsi sebagai penstabil membrane. 4,5
1. Raja SN, Carr DB, Cohen M, Finnerup NB, Flor H, Gibson S, et al. The
revised International Association for the Study of Pain definition of pain :
concepts , challenges , and compromises. Pain J. 2020;1–6.
2. Tanra AH, Musba AMT. Definisi, Mekanisme, dan Klasifikasi Nyeri. In:
Anestesiologi dan Terapi Intensif. 1st ed. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama; 2019. p. 1114–25.
3. Wiryana M, Sinardja IK, Sujana IG, Subagiartha IM, Sideman IGPS,
Suranadi IW. Pengelolaan Nyeri. In: Ilmu Anestesiologi dan Terapi
Intensif. Denpasar: Udayana University Press; 2017. p. 33–7.
4. Das G. Tinjauan Umum Nyeri. In: Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta:
EGC; 2019. p. 3–35.
5. Rosenquist RW, Vrooman BM. Chronic Pain Management. In: Morgan &
Mikhail’s Clinical Anesthesiology. 5th ed. New York: Mc Graw Hill; 2013.
p. 1023–45.
6. Johnson Q, Borsheski RR, Reeves-Viets JL. A Review Management of
Acute Pain. Sci Med. 2013;(February):74–9.
7. Bahrudin M. Patofisiologi Nyeri. J Saintika. 2017;13:7–13.
8. Witjaksono, Vilyastuti YW, Sutiyano D. Masalah Nyeri. In:
Anestesiologi. Semarang: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK
UNDIP; 2013. p. 309–22.
9. Rehatta N, Hanindito E, Redjeki I, Soenarto R, Bisri D. Anestesiologi dan
Terpi Intensif. 1st ed. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama; 2019. 1114–
1123 p.
10. Raphael J, Hester J. PALLIATIVE CARE SECTION Cancer Pain : Part
1 : Pathophysiology ; Oncological , Pharmacological , and Psychological
Treatments : A Perspective from the British Pain Society Endorsed by the
UK Association of Palliative Medicine and the Royal College of Gene.
Pain Med. 2010;11:742–64.
11. Sykes N, Bennet M., Yuan C. Clinical Pain Management Cancer Pain. 1st
ed. London: Hodder & Stoughton Limited; 2013.
12. Benzon. The Assesment of Pain. In: Essential of Pain Medicine
and Regional Anesthesia. 2nd ed. Philadelphia; 2015.
13. Breivik H, Borchgrevink PC, Allen SM, Rosseland LA, Romundstad L,
Hals EKB, et al. Assessment of pain. Br J Anaesth [Internet].
2008;101(1):17–24. Available from: http://dx.doi.org/10.1093/bja/aen103
14. Liebold A, Skrabal C. Assessment and pathophysiology of pain in cardiac
surgery. J Pain Res. 2018;11:1599–611.
15. Sarkaria E. Assessing Neonatal Pain with NIPS and COMFORT-B :
Evaluation of NICU ’ s Staff Competences. Pain Res Manag. 2022;
16. Voepel-lewis T, Dammeyer JA, Merkel S. Reliability and Validity of the
Face, Legs, Activity, Cry, Consolability Behavioral Tool in Assessing
Acute Pain in Critically Ill Patients. Crit care Evalluation.
2013;19(January):55–62.
17. Nazari R, Froelicher ES, Nia HS, Hajihosseini F, Mousazadeh N.
Diagnostic Values of the Critical Care Pain Observation Tool and the
Behavioral Pain Scale for Pain Assessment among Unconscious Patients :
A Comparative Study. Indian J Crit Care Med. 2022;26(4):2–6.
18. Świeboda P, Filip R, Prystupa A, Drozd M. Assessment of pain : types
, mechanism and treatment. Ann Agric Env Med. 2013;(1):2–7.
19. Tameem A. Analgesic ladders [Internet]. Columbia University
Libraries. 2017 [cited 2023 Jul 3]. p. 2016–8. Available from:
https:/www.cambridge.org/core
20. Sheikh H, Vahedi M, Hajebi H, Vahidi E, Nejati A, Saeedi M.
Comparison between intravenous morphine versus fentanyl in acute pain
relief in drug abusers with acute limb traumatic injury. 2019;10(1):27–32.
21. Anekar AA, Hendrix JM CM. WHO Analgesic Ladder. Treasure
Island: StatPearls Publishing; 2023.
22. Geziry A El, Toble Y, Kadhi F Al, Pervaiz M, Nobani M Al. Non-
Pharmacological Pain Management. IntechOpen. 2021;