Anda di halaman 1dari 39

Referat

MANAJEMEN NYERI

Dokter Muda Stase Anestesi


Periode 11 September – 8 Oktober 2023

Oleh:
Annisa Susanne Sarjono, S.Ked. 04084822225203

Pembimbing:
dr. Aldiar, Sp.An

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUD SITI FATIMAH
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

MANAJEMEN NYERI

Oleh:

Annisa Susanne Sarjono, S.Ked. 04084822225203

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan


Klinik di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Periode 11 September – 8 Oktober 2023.

Palembang, September 2023


Pembimbing

dr. Aldiar, Sp.An


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan
judul “Manajemen Nyeri”. Referat ini merupakan salah satu tugas dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya di RSUD Siti Fatimah
Azzahra Periode 11 September – 8 Oktober 2023.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang
sebesarnya kepada dr. Aldiar, Sp.An, selaku pembimbing yang telah membantu
memberikan ajaran dan masukan sehingga referat ini dapat diselesaikan dengan
baik.
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penyusuanan referat
ini yang disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi
perbaikan di masa yang akan datang. Semoga referat ini dapat memberi manfaat
dan pelajaran bagi kita semua.

Palembang, September 2023

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii


KATA PENGANTAR............................................................................................ iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 2
2.1 Definisi Nyeri ........................................................................................... 2
2.2 Klasifikasi Nyeri ....................................................................................... 2
2.3 Mekanisme Nyeri ..................................................................................... 6
2.4 Penilaian Derajat Nyeri .......................................................................... 14
2.5 Penegakkan Diagnosis Nyeri .................................................................. 20
2.6 Tatalaksana Nyeri ................................................................................... 23
2.6.1 Terapi Farmakologis ...................................................................... 23
2.6.2 Terapi Non-Farmakologis.............................................................. 31
BAB III KESIMPULAN ....................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 34
BAB I
PENDAHULUAN

Definisi nyeri menurut International Association for the Study of Pain


(IASP) adalah pengalaman emosional serta sensori yang tidak menyenangkan dan
berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual maupun potensial, atau
digambarkan sebagai suatu kerusakan.1 Definisi ini menekankan adanya interaksi
antara aspek sensorik yang fisiologik, komponen afektif, dan respons kognitif.
Nyeri timbul sebagai manifestasi klinis pada suatu proses patologis, nyeri tersebut
memprovokasi saraf-saraf sensorik nyeri dan menghasilkan reaksi
ketidaknyamanan. Setiap persepsi nyeri yang timbul merupakan respons tubuh
terhadap rangsangan nyeri tersebut yang akan mempengaruhi secara keseluruhan
sistem organ penderita.2 Berdasarkan patofisiologinya, nyeri terbagi menjadi nyeri
nosiseptif, neuropatik, campuran, dan psikogenik. Berdasarkan waktu terjadinya,
nyeri terbagi menjadi akut dan kronis. Berdasarkan derajatnya, nyeri terbagi
menjadi nyeri ringan, sedang, dan berat.3
Penilaian nyeri merupakan hal yang penting untuk mengetahui intensitas
dan menentukan terapi yang efektif. Bila tidak teratasi dengan baik nyeri dapat
mempengaruhi aspek psikologis dan aspek fisik dari penderita. Aspek psikologis
meliputi kecemasan, takut, perubahan kepribadian dan perilaku, gangguan tidur
dan gangguan kehidupan sosial. Sedangkan dari aspek fisik, nyeri mempengaruhi
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas.4 Bila pengelolaan dan penyebab
nyeri akut tidak ditatalaksana dengan baik, dapat berkembang menjadi nyeri
kronik. Adapun tatalaksana nyeri dibagi menjadi tatalaksana farmakologis dan
nonfarmakologis.5 Oleh karena itu, referat ini bertujuan untuk memberikan
referensi terkait nyeri, penilaian nyeri, dan tatalaksana nyeri sehingga dapat
mempermudah untuk melakukan menejemen nyeri pada pasien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Nyeri


Definisi nyeri menurut International Association for the Study of Pain
(IASP) adalah pengalaman emosional serta sensori yang tidak menyenangkan dan
berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual maupun potensial, atau
digambarkan sebagai suatu kerusakan.1 Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik
yang multidimensional. Fenomena ini dapat berbeda dalam intensitas (ringan,
sedang, berat), kualitas (tumpul, seperti terbakar, tajam), durasi (transien,
intermiten, persisten), dan penyebaran (superfisial atau dalam, terlokalisir atau
difus). Meskipun nyeri adalah suatu sensasi, nyeri memiliki komponen kognitif
dan emosional, yang digambarkan dalam suatu bentuk penderitaan. Nyeri juga
berkaitan dengan reflex menghindar dan perubahan output otonom.2 Ketika suatu
jaringan mengalami cedera atau kerusakan, mengakibatkan dilepasnya bahan-
bahan yang dapat menstimulus reseptor nyeri seperti serotonin, histamine, ion
kalium, bradikinin, prostaglandin, dan substansi P yang akan mengakibatkan
respon nyeri.2,3,6

2.2 Klasifikasi Nyeri


Berdasarkan patofisiologi nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:2,5,7
a. Nyeri nosiseptif
Nyeri nosiseptif terjadi akibat aktivasi nosiseptor saraf A-gamma
dan C yang berlangsung secara terus menerus oleh stimulus noxius.
Stimulasi nosiseptor baik secara langsung maupun tidak langsung akan
mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun dan
ujung saraf sensoris dan simpatik. Nyeri timbul akibat cedera atau
ancaman cedera pada jaringan non saraf dan disebabkan oleh aktivasi
nosiseptor. Nyeri nosiseptif bersifat tajam ± melebar dan terlokalisir.
b. Nyeri neuropatik
Nyeri neuropatik disebabkan gangguan sinyal pada sistem saraf
pusat atau perifer yang biasanya disebabkan oleh trauma, inflamasi
penyakit metabolik, infeksi, tumor, toksin, atau penyakit neurologis
primer. Rasa sakit dapat bertahan selama berbulan-bulan atau bertahun-
tahun di luar penyembuhan yang jelas dari jaringan yang rusak. Nyeri
neuropatik seringkali kronis, dan cenderung memiliki respons yang kurang
kuat terhadap pengobatan dengan opioid. Sifat nyeri neuropatik yakni rasa
terbakar, mendadak seperti tertembak ± rasa tebal (kurang peka), dan rasa
seperti tertusuk jarum. Nyeri ini juga menyebar dan tidak terlokalisasi
dengan tepat. Nyeri neuropatik dapat dijumpai pada penderita diabetes,
infeksi (herpes zoster), kompresi saraf, trauma saraf, channelopathies‖, dan
penyakit autoimun.

Tabel 1. Perbedaan antara nyeri nosiseptif dan neuropatik4


Nyeri Nosiseptif Nyeri Neuropatik
Kerusakan jaringan non saraf Kerusakan jaringan saraf
Nyeri fisiologis Nyeri patologis
Hubungan sederhana antara nyeri dan Hubungan disasosiatif antara nyeri dan
kerusakan jaringan kerusakan jaringan
Nyeri inflamatorik dan nyeri visceral Neuralgia dan neuritis merupakan
merupakan variasi jenis ini variasi jenis nyeri ini
Tatalaksana farmakologis berupa Tatalaksana analgesic adjuvant atau ko-
parasetamol, opioid, dan OAINS efektif analgesik seperti antikonvulsan,
untuk mengurangi nyeri antidepresan, dan sebagainya efektif
untuk mengurangi nyeri

c. Nyeri campuran
Nyeri campuran merupakan campuran kompleks faktor nosiseptif
dan neuropatik. Disfungsi atau cedera sistem saraf awal dapat memicu
pelepasan saraf mediator inflamasi dan peradangan neurogenik berikutnya.
Misalnya, sakit kepala migrain, nyeri myofascial.
d. Nyeri psikogenik
Nyeri psikogenik diakibatkan oleh faktor psikologis yang mengarah
pada manifestasi klinis yang berlebihan atau histrionik nyeri.

Berdasarkan waktu timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:5,4,8


1) Nyeri akut
Nyeri akut disebabkan oleh rangsangan bersifat nosiseptif karena cedera,
proses penyakit, atau fungsi otot atau viscera yang tidak normal. Nyeri nosiseptif
berfungsi untuk mendeteksi, melokalisasi, dan membatasi kerusakan jaringan.
Empat proses fisiologis yang terlibat: transduksi, transmisi, modulasi, dan
persepsi. Nyeri akut adalah jenis nyeri biasanya dikaitkan dengan stres
neuroendokrin respons yang sebanding dengan intensitas nyeri. Nyeri ini ditandai
dengan adanya aktivitas saraf otonom seperti: takikardi, hipertensi, hiperhidrosis,
pucat dan midriasis dan perubahan wajah: menyeringai atau menangis. Nyeri akut
saat timbul awal jejasnya dirasakan sebagai nyeri dengan intensitas tinggi
kemudian berangsur-angsur menghilang bersamaan dengan sembuhnya jejas yang
mendasari dan nyeri akut bersifat nosiseptif. Bentuk yang paling umum termasuk
pasca trauma, pasca operasi, dan nyeri kebidanan serta nyeri yang terkait dengan
penyakit medis akut, seperti infark miokard, pankreatitis, dan batu ginjal.
Sebagian besar bentuk nyeri akut bersifat self- limited atau membaik dengan
pengobatan dalam beberapa hari atau minggu. Ketika nyeri tidak membaik karena
penyembuhan yang tidak normal atau pengobatan yang tidak memadai, maka
akan menjadi kronis. Bentuk nyeri akut dapat berupa:
a. Nyeri somatik superficial
Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan membran
mukosa. Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar, tajam dan terlokalisasi
di tempat yang jelas.
b. Nyeri somatik dalam

Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat


rangsangan pada otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat
c. Nyeri visceral
Nyeri karena perangsangan organ viseral atau membran yang menutupinya
(pleura parietalis, perikardium, peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi lagi
menjadi nyeri viseral terlokalisasi, nyeri parietal terlokalisasi, nyeri alih
viseral dan nyeri alih parietal. Nyeri visceral hanya bisa ditimbulkan oleh
beberapa organ visceral, tidak berhubungan dengan cedera organ visceral,
bersifat difus dan tidak terlokalisasi, disertai dengan refleks otonomik dan
motoric yang berlebihan sehingga pasien Nampak sakit berat disertai
gejala mual, muntah, berkeringat serta perubahan tekanan darah dan nadi

2) Nyeri kronis
Nyeri kronis adalah nyeri yang berlangsung lebih lama dari perjalanan
penyakit akut atau setelah waktu yang wajar untuk penyembuhan; periode
penyembuhan ini biasanya dapat bervariasi dari 1 hingga 6 bulan. Nyeri kronis
dapat berkepanjangan tanpa tanda aktivitas otonom kecuali serangan akut. Nyeri
tersebut dapat berupa nyeri yang tetap bertahan sesudah penyembuhan luka
(penyakit/operasi) atau awalnya berupa nyeri akut lalu menetap sampai melebihi 3
bulan. Nyeri kronis dapat berupa nyeri nosiseptif, neuropatik, atau campuran. Ciri
khasnya adalah bahwa mekanisme psikologis atau faktor lingkungan sering
memainkan peran utama. Pasien dengan nyeri kronis sering kali memiliki stres
neuroendokrin yang dilemahkan atau tidak ada dan memiliki gangguan tidur dan
afektif yang menonjol. Nyeri neuropatik secara klasik bersifat paroksismal dan
menjalar, memiliki kualitas seperti terbakar, dan berhubungan dengan hiperpathia.
Bentuk nyeri kronis yang paling umum terkait dengan gangguan
muskuloskeletal, gangguan viseral kronis, lesi saraf perifer, akar saraf, atau
ganglia akar dorsal (termasuk neuropati diabetes, kausalgia, nyeri tungkai
phantom, dan neuralgia postherpetik), lesi pada syaraf pusat (stroke, cedera tulang
belakang, dan multiple sclerosis), serta nyeri kanker. Rasa sakit yang paling
banyak pada gangguan muskuloskeletal misalnya artritis reumatoid dan
osteoarthritis yang pada dasarnya bersifat nosiseptif, sedangkan nyeri yang
berhubungan dengan saraf perifer atau sentral terutama bersifat neuropatik. Nyeri
yang berhubungan dengan beberapa gangguan seperti kanker dan nyeri punggung
kronia (terutama setelah operasi) sering kali bersifat campuran
.

Berdasakan derajat nyeri dikelompokan menjadi:4


a. Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas sehari hari
dan menjelang tidur.
b. Nyeri sedang adalah nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya
hilang bila penderita tidur.
c. Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat
tidur dan sering terjaga akibat nyeri.

2.3 Mekanisme Nyeri


Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu nosisepsi,
sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik,
reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Antara stimulus cedera jaringan
dan pengalaman subjektif nyeri terdapat proses tersendiri: tranduksi, konduksi,
transmisi, persepsi dan modulasi. Transduksi adalah suatu proses dimana stimulus
noksius yang berinteraksi pada nosiseptor perifer dikonversikan menjadi aktivitas
elektrik sehingga menghasilkan potensial aksi dan diteruskan sebagai impuls
saraf.9 Ada tiga tipe serabut saraf yang terlibat dalam proses ini, yaitu serabut A-
beta, A-delta, dan C. Serabut yang berespon secara maksimal terhadap stimulasi
non noksius dikelompokkan sebagai serabut penghantar nyeri, atau nosiseptor.
Serabut ini adalah A-delta dan C. Silent nociceptor, juga terlibat dalam proses
transduksi, merupakan serabut saraf aferen yang tidak bersepon terhadap stimulasi
eksternal tanpa adanya mediator inflamasi.7
Konduksi adalah proses penghantaran impuls saraf sepanjang neuron orde
pertama untuk mencapai sinaps dengan saraf orde kedua. Transmisi adalah
penghantaran informasi pada sinaps antara neuron orde pertama dan neuron orde
kedua di kornu dorsalis medulla spinalis. Persepsi adalah pengalaman sadar dan
actual dari nyeri, baik sensorik (lokasi, karakter dan diskriminasi) maupun aspek
emosional1. Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Reseptor
nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ
tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit
yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secaara potensial merusak.
Reseptor nyeri disebut juga nociseptor. Secara anatomis, reseptor nyeri
(nociseptor) ada yang bermiyelin dan ada juga yang tidak bermiyelin dari syaraf
aferen. Modulasi adalah proses yang mengakibatkan nyeri yang dirasakan tidak
sebanding dengan besarnya stimulus noksius. Jalur asendens yaitu jalur konduksi
stimulasi noksius dari perifer ke korteks serebri. Jalur asendens terdiri dari tiga
jalur yaitu neuron orde pertama yang merupakan saraf yang berjalan mulai dari
perifer (kulit, tulang, ligamentum, otot dan visera lainnnya) sampai mencapai
kornu dorsalis medulla spinalis, neuron orde kedua yang merupakan saraf yang
berjalan mulai dari kornu dorsalis, menyebrang ke kornu dorsalis sisi
kontralatreral, lalu naik menuju ke thalamus dan area otak lainnya. Neuron orde
kedua bersinaps di nucleus thalamus dengan neuron orde ketiga. Neuron orde
ketiga merupakan saraf yang berjalan mulai dari thalamus, berakhir melalui
kapsula interna dan korona radiata sampai ke girus post sentral di korteks
serebri.4,5
Jalur Nyeri di sistem syaraf pusat terdiri dari jalur asenden yang berupa
Serabut saraf C dan A delta halus, yang masing-masing membawa nyeri akut
tajam dan kronik lambat, bersinap di substansia gelatinosa kornu dorsalis,
memotong medula spinalis dan naik ke otak di cabang neospinotalamikus atau
cabang paleospinotalamikus traktus spino talamikus anterolateralis. Traktus
neospinotalamikus yang terutama diaktifkan oleh aferen perifer A delta, bersinap
di nukleusventropostero lateralis (VPN) talamus dan melanjutkan diri secara
langsung ke kortek somato sensorik girus pasca sentralis, tempat nyeri
dipersepsikan sebagai sensasi yang tajam dan berbatas tegas. Cabang
paleospinotalamikus, yang terutama diaktifkan oleh aferen perifer serabt saraf C
adalah suatu jalur difus yang mengirim kolateral-kolateral keformatio retikularis
batang otak dan struktur lain. Serat-serat ini mempengaruhi hipotalamus dan
4,5
sistem limbik serta kortek serebri.
Jalur Desenden Salah satu jalur desenden yang telah diidentifikasi mencakup 3
komponen yaitu: 4,5
1. Bagian pertama adalah substansia griseaperiaquaductus (PAG) dan substansia
griseaperi ventrikel mesensefalon dan pons bagian atas yang mengelilingi
aquaductus Sylvius.
2. Neuron-neuron di daerah satu mengirim impuls ke nukleus ravemaknus
(NRM) yang terletak dipons bagian bawah dan medula oblongata bagian atas
dan nukleus reticularis para giganto selularis (PGL) di medula lateralis.
3. Impuls ditransmisikan ke bawah menuju kolumna dorsalis medula spinalis ke
suatu komplek inhibitorik nyeri yang terletak di kornu dorsalis medula
spinalis.

Gambar 1. Mekansime Nyeri2

Patofisiologi nyeri secara umum berupa rangsangan nyeri diterima oleh


nociceptors pada kulit bisa intesitas tinggi maupun rendah seperti perennggangan
dan suhu serta oleh lesi jaringan. Sel yang mengalami nekrotik akan merilis K+
dan protein intraseluler.
Peningkatan kadar K+ ekstraseluler akan menyebabkan depolarisasi
nociceptor, sedangkan protein pada beberapa keadaan akan menginfiltrasi
mikroorganisme sehingga menyebabkan peradangan/ inflamasi. Akibatnya,
mediator nyeri dilepaskan seperti leukotrien, prostaglandin E2, dan histamin yang
akan merangasng nosiseptor sehingga rangsangan berbahaya dan tidak berbahaya
dapat menyebabkan nyeri (hiperalgesia atau allodynia). Selain itu lesi juga
mengaktifkan faktor pembekuan darah sehingga bradikinin dan serotonin akan
terstimulasi dan merangsang nosiseptor. Jika terjadi oklusi pembuluh darah maka
akan terjadi iskemia yang akan menyebabkan akumulasi K+ ekstraseluler dan H+
yang selanjutnya mengaktifkan nosiseptor. Histamin, bradikinin, dan
prostaglandin E2 memiliki efek vasodilator dan meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah. Hal ini menyebabkan edema lokal, tekanan jaringan meningkat
dan juga terjadi rangsangan nosiseptor. Bila nosiseptor terangsang maka mereka
melepaskan substansi peptida P (SP) dan kalsitoningen terkait peptida (CGRP),
yang akan merangsang proses inflamasi dan juga menghasilkan vasodilatasi dan
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.Vasokonstriksi (oleh serotonin),
diikuti oleh vasodilatasi, mungkin juga bertanggung jawab untuk serangan
4,5,7
migrain. Peransangan nosiseptor inilah yang menyebabkan nyeri.
Gambar 2. Mekanisme Nyeri Perifer7

Neuroregulator atau substansi yang berperan dalam transmisi stimulus


saraf dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu neurotransmitter dan
neuromodulator. Neurotransmitter mengirimkan impuls-impuls elektrik melewati
rongga sinaps antara dua serabut saraf, dan dapat bersifat sebagai penghambat
atau dapat pula mengeksitasi. Sedangkan neuromodulator dipercaya bekerja secra
tidak langsung dengan meningkatkan atau menurunkan efek partokular
neurotransmitter. Beberapa neuroregulator yang berperan dalam penghantaran
impuls nyeri antara lain adalah:2,4,7
a. Neurotransmiter
a. Substansi P (Peptida)
Ditemukan pada neuron nyeri di kornudorsalis (peptide eksitator)
berfungsi untuk menstranmisi impuls nyeri dari perifer keotak dan
dapat menyebabkan vasodilatasi dan edema
b. Serotonin
Dilepaskan oleh batang otak dan kornudorsalis untuk menghambat
transmisi nyeri.
c. Prostaglandin
Dibangkitkan dari pemecahan pospolipid dimembran sel dipercaya
dapat meningkatkan sensitivitas terhadap sel.
b. Neuromodulator
a. Endorfin (morfin endogen)
Merupakan substansi sejenis morfin yangdisuplai oleh tubuh.
Diaktivasi oleh daya stress dan nyeri. Terdapat pada otak, spinal,dan
traktus gastrointestinal. Berfungsi memberi efek analgesic.
b. Bradikinin
Dilepaskan dari plasma dan pecah disekitar pembuluh darah pada
daerah yang mengalami cedera. Bekerja pada reseptor saraf perifer,
menyebabkan peningkatan stimulus nyeri. Bekerja pada sel,
menyebabkan reaksi berantai sehingga terjadi pelepasan prostaglandin.
Impuls sepanjang saraf aferen sinaps di sumsum tulang belakang dan lulus
melalui anterolateral saluran ke talamus dan dari sana, antara lain, korteks
somatosensori, yang Cingular gyrus, dan insular korteks. Koneksi yang tepat
memproduksi berbagai komponen sensasi nyeri: sensorik (Misalnya persepsi
lokalisasi dan intensitas), afektif (penyakit), motor (refleks pelindung, tonus otot,
mimikri), dan otonom (perubahan di tekanan darah, takikardia, dilatasi pupil,
berkeringat, mual). Sambungan di thalamus dan sumsum tulang belakang
dihambat oleh yang turun saluran dari otak tengah, korteks periaqueductal abu-
abu materi, dan rafe inti, initraktat mempekerjakan norepinefrin, serotonin, dan
terutama endorphines. Lesi thalamus, misalnya, dapat menghasilkan rasa sakit
melalui tidak adanya hambatan ini (Sindrom talamus). Untuk mengatasi nyeri,
pengaktifan rasa sakit reseptor dapat dihambat misalnya, dengan pendinginan
daerah yang rusak dan oleh prostaglandin inhibitor sintesis. Transmisi nyeri dapat
dihambat dengan pendinginan dan bloker kanal Na +. Transmisi di thalamus dapat
dihambat oleh anestesi dan alkohol. Jika penyebab nyeri tidak dihilangkan,
konsekuensinya dapat membahayakan jiwa.7
Nyeri kanker umumnya diakibatkan oleh infiltrasi sel tumor pada struktur
yang sensitif dengan nyeri seperti tulang, jaringan lunak, serabut saraf, organ
dalam, dan pembuluh darah. Dua golongan nyeri kanker dipaparkan sebagai nyeri
nosiseptif, terdiri dari nyeri somatik dan nyeri viseral, dan nyeri neuropatik15.
Neurofisiologi nyeri kanker dapat terjadi akibat beberapa reseptor yang sensitif
terhadap stimuli noksius. Nosiseptor ini adalah saraf aferen primer dengan ujung
perifernya berespon terhadap berbagai stimuli noksius. Nosiseptor ini memiliki
dua fungsi yaitu transduksi dan transmisi. Beberapa faktor kimiawi, mekanik dan
termal dapat mengaktivasi reseptor, mengakibatkan impuls saraf elektrokimiawi
pada aferen primer. Informasi ini selanjutnya dikodekan dalam frekuensi impuls
yang ditransmisi menuju sistem saraf pusat, dimana persepsi nyeri terjadi. Baik
nosiseptor bermielin ataupun tidak bermielin menyampaikan sensasi nyeri ke
sistem saraf pusat. Nosiseptor bermielin berespon terhadap stimuli mekanik secara
khusus dan dengan konduksi yang cepat melalui serabut saraf A-delta,
menyebabkan sensasi nyeri tajam. Nosiseptor tak bermielin adalah serabut saraf
polimodal, berespon terhadap stimuli mekanik, termal dan kimiawi, dengan
penghantaran konduksi yang lebih lambat melalui serabut C dan sifat nyerinya
tumpul dan rasa terbakar. Infiltrasi dan kompresi tumor dapat menyebabkan
aktivasi nosiseptor baik secara mekanik maupun kimiawi.10,11
Nyeri kanker somatik dapat disebabkan oleh invasi neoplastik pada
tulang, sendi, otot dan jaringan penyambung. Massa tumor menghasilkan dan
menstimulasi mediator inflamatorik lokal, yang menyebabkan stimulasi
nosiseptor perifer yang terus berlangsung. Sumber nyeri kanker somatic yang lain
yaitu fraktur tulang, spasme otot sekitar area tumor, nyeri insisi setelah
pembedahan, dan sindrom nyeri akibat radio/kemoterapi. Sindroma nyeri somatik
yang paling banyak adalah akibat invasi sel tumor pada tulang. Nyeri tulang bisa
bersifat akut, kronik atau insidentil. Sifatnya terlokalisasi dengan jelas, intermitten
atau konstan dan dideskripsikan sebagai nyeri berdenyut-denyut, tercabik, seperti
digerogoti, menyebabkan reaksi lokal, dan diperberat oleh gerakan atau beban.
10,11
Nyeri kanker viseral memiliki karakteristik klinik yang khas. Beberapa
organ dalam kurang sensitif terhadap nyeri. Organ padat seperti paru, hati, dan
parenkim ginjal tidak sensitif, meski terjadi destruksi besar-besaran oleh proses
keganasan dan nyeri terasa hanya jika kapsular atau struktur dekat kapsul terlibat.
Organ berlubang dengan mukosa serosa seperti kolon sangat sensitif dengan
distensi lumen dan inflamasi namun tidak terhadap pembakaran atau pemotongan.
Nyeri akibat distensi kolon lebih bergantung pada tekanan daripada volume.
Diketahui bahawa tekanan intralumen dalam kolon yang dibutuhkan untuk
menimbulkan sensasi nyeri adalah 40-50 mm Hg. Sehingga tumor dapat terus
berkembang tanpa terdeteksi dan menyebabkan nyeri hanya pada stadium
terjadinya obstruksi komplit dan terjadi peningkatan tekanan intrakolonik. Nyeri
viseral bersifat difus dan sulit dilokalisir, dan kadang dialihkan oleh nyeri struktur
nonviseral yang lain, sehingga sumber nyeri sebenarnya sulit dijelaskan. Nyeri
viseral kadang disalah artikan sebagai nyeri kutaneus. Nyeri bahu, dihasilkan oleh
iritasi diafragma akibat penyakit pada pleura, adalah contoh nyeri alih kutaneus
dari nyeri viseral. Nyeri viseral kadang disertai refleks otonom seperti mual. Nyeri
viseral dimediasi oleh nosiseptor tersendiri pada sistem kardiovaskular, respirasi,
gastrointestinal, dan urogenitalia, yang dideskripsikan sebagai nyeri yang dalam,
menekan, kolik, dan diteruskan ke daerah kutaneus yang nyeri. Nyeri alih ini
dianggap sehubungan dengan fakta bahwa struktur somatik dan viseral memiliki
innervasi ganda dengan serabut saraf yang umum. Serabut saraf ini bertemu pada
kornu dorsalis medulla spinalis. 10,11
Nyeri Kanker Neuropatik dihasilkan oleh kerusakan atau inflamasi sistem
saraf, baik perifer maupun sentral. Nyeri neuropatik dicirikan oleh nyeri seperti
terbakar dengan rasa tertusuk-tusuk yang intermitten, hiperalgesia dan allodinia.
10,11
Hubungan antara mekanisme dan gejala klinis agak kompleks.
2.4 Penilaian Derajat Nyeri
Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang dipengaruhi oleh
psikologis, kebudayaan dan hal lainnya, sehingga mengukur intensitas nyeri
merupakan masalah yang relatif sulit. Ada beberapa metoda yang umumnya
digunakan untuk menilai intensitas nyeri, antara lain: 4,12,13,14,15,16
1. Verbal Rating Scale (VRSs)
Metoda ini menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan nyeri yang
dirasakan. Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang
menggambarkan karakteristik nyeri yang dirasakan dari word list yang ada.
Metoda ini dapat digunakan untuk mengetahui intensitas nyeri dari saat
pertama kali muncul sampai tahap penyembuhan. Penilaian ini menjadi
beberapa kategori nyeri yaitu:
a. Tidak nyeri (none)
b. Nyeri ringan (mild)
c. Nyeri sedang (moderate)
d. Nyeri berat (severe)
e. Nyeri sangat berat (very severe)

Gambar 3. Verbal Rating Scale14

2. Numerical Rating Scale (NRSs)


Metoda ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari
intensitas nyeri. Umumnya pasien akan menggambarkan intensitas nyeri yang
dirasakan dari angka 0-10. ”0” menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan
”10” menggambarkan nyeri yang hebat.
Gambar 4. Numerical Rating Scale14

3. Visual Analogue Scale (VASs)


Metoda ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri. Metoda
ini menggunakan garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak
nyeri sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang
menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan
metoda ini adalah sensitif untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri,
mudah dimengerti dan dikerjakan, dan dapat digunakan dalam berbagai
kondisi klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan pada anak-anak
dibawah 8 tahun dan mungkin sukar diterapkan jika pasien sedang berada
dalam nyeri hebat

Gambar 5. Visual Analogue Scale14

4. McGill Pain Questionnaire (MPQ)


Metoda ini menggunakan check list untuk mendiskripsikan gejala-gejal nyeri
yang dirasakan. Metoda ini menggambarkan nyeri dari berbagai aspek antara
lain sensorik, afektif dan kognitif. Intensitas nyeri digambarkan dengan
merangking dari ”0” sampai ”3”.
Gambar 6. McGill Pain Questionnaire 4

5. Wong Baker Faces Pain Rating Scale


Metode ini berupa melihat mimik wajah pasien dan biasanya untuk menilai
intensitas nyeri pada anak-anak, orang tua, ataupun pasien yang kebingungan
atau pada pasien yang tidakmengerti dengan bahasa lokal setempat.

Gambar 7. The Faces Pain Scale12


6. Neonatal Infant Pain Score (NIPS)
Salah satu pengkajian nyeri pada pasien neonatus yang digunakan di rumah
sakit adalah metode NIPS (Neonatal-Infant Pain Scale). Pada skala ini dinilai
ekspresi wajah, menangis, pola napas, lengan, tungkai, dan respon rangsangan.

Gambar 8. NIPS Scale15


Keterangan: ≤ 2:nyeri ringan, 3-4: nyeri sedang, 5-8 : nyeri berat

7. Face, Legs, Activity, Cry and Consolability (FLACC)


FLACC dalah intrumen pengkajian nyeri yang baik digunakan pada anak usia
2-7 tahun. Skala ini terdiri dari 5 penilaian dengan skor total 0 (tidak nyeri)
dan 10 (nyeri hebat).
Gambar 9. FLACC Scale16

8. Behavioral Pain Scale (BPS)

Pada pasien yang tidak sadar, skala yang dipakai untuk menilai nyeri
pada pasien ICU ialah: Behavioral Pain Scale (BPS) dan Critical Care Pain
Observation Tool (CPOT). Namun, keunggulan potensial masing-masing
untuk penilaian nyeri pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanis
belum diketahui dengan baik. Perbedaan utama antara CPOT dan BPS adalah
evaluasi gerakan tubuh dan ketegangan otot. 6
BPS terdiri dari tiga bagian utama yaitu status wajah, pergerakan
ekstremitas atas, dan erangan pada pasien yang tidak diintubasi dengan
ventilasi mekanis. Skala ini mengurutkan nyeri dari 3 hingga 12, dan status
pasien berdasarkan skala ini adalah nyeri tanpa nyeri (3), ringan (4-6),
sedang (7-9), atau berat (10- 12). Skor 6 dan lebih tinggi menunjukkan nyeri
sedang hingga berat, yang memerlukan perawatan.6
Gambar 10. Behavioral Pain Scale 17

9. Critical Care Pain Observation Tool (CCPOT)


CPOT terdiri dari empat bagian utama, yang selain bagian utama dari skala
BPS, meliputi pemeriksaan tonus otot. Berdasarkan skala ini, status nyeri
pasien diklasifikasikan sebagai tidak nyeri (0), ringan (0-3), sedang (3-6),
atau berat (6- 8), dan nyeri minimum dan maksimum pasien dinilai
berdasarkan skor yang didapat.
Gambar 11. Critical Care Pain Observation Tool
(CPOT)17

2.5 Penegakkan Diagnosis Nyeri


Nyeri merupakan suatu keluhan (symptom). Berkenaan dengan hal
ini diagnostik nyeri sesuai dengan usaha untuk mencari penyebab terjadinya
nyeri. Langkah ini meliputi langkah anamnesa, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium dan kalau perlu pemeriksaan radiologi serta
pemeriksaan imaging dan lain-lain. Dengan demikian diagnostik terutama
ditujukan untuk mencari penyebab. Dengan menanggulangi penyebab,
keluhan nyeri akan reda atau hilang. Pemeriksaan laboratorium spesifik
untuk menegakkan diagnosa nyeri tidak ada. Pemeriksaan terhadap nyeri
harus dilakukan dengan seksama yang dilakukan sebelum pengobatan
dimulai, secara teratur setelah pengobatan dimulai, setiap saat bila ada
laporan nyeri baru dan setelah interval terapi 15-30 menit setelah pemberian
parenteral dan 1 jam setelah pemberian peroral.4,18
a. Anamnesis
Metode SOCRATES dapat memudahkan pemeriksa dalam
4,18
menanyakan secara lengkap nyeri yang dirasakan pasien.
1. Site Of Pain: di daerah mana nyeri dirasakan? Apakah ada nyeri otot
atau sendi.
2. Onset: kapan nyeri terjadi, bagaimana nyeri tersebut, kondisi apa
yang dapat memicu munculnya nyeri, apakah nyerinya berubah
dalam kurun waktu selama kejadian.
3. Character: bagaimana tipe nyeri dirasakan, apakah seperti rasa
tertusuk, terhiris, gatal,panas, terbakar, tertekan. Bagaimana pola
nyerinya, apakah nyeri terjadi secara terus menerus atau hilang
timbul.
4. Radiation: apakah nyeri menyebar ke bagian tubuh lainnya, pada
daerah apa.

5. Associated Features: apakah saat nyeri terjadi kadang disertai


dengan gejala yang lain seperti mual, muntah.
6. Timing atau Pattern: apakah nyeri semakin parah pada waktu-
waktu tertentu, apakah nyeri terjadi saat melakukan aktivitas seperti
bergerak atau buang air kecil.
7. Exacerbating and Relieving Factor: apa saja yang membuat nyeri
semakin memburuk atau nyeri menjadi lebih berkurang.
8. Severity: apakah derajat atau sekala nyeri mengalami perubahan
selama kurun waktu kejadian.

b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang benar sangat diperlukan untuk menguraikan
patofisiologi nyeri. Pemeriksaan vital sign sangat penting dilakukan
untuk mendapatkan hubungannya dengan intensitas nyeri karena nyeri
menyebabkan stimulus simpatik seperti takikardia, hiperventilasi dan
hipertensi. Pemeriksaan Glasgow coma scale rutin dilaksanakan untuk
mengetahui apakah ada proses patologi di intracranial. Pemeriksaan
khusus neurologi seperti adanya gangguan sensorik sangat penting
dilakukan dan yang perlu diperhatikan adalah adanya hipoastesia,
hiperastesia, hiperpatia dan alodinia pada daerah nyeri yang penting
4,18
menggambarkan kemungkinan nyeri neurogenik.
c. Pemeriksaan psikologis
Mengingat faktor kejiwaan sangat berperan penting dalam manifestasi nyeri
yang subjektif, maka pemeriksaan psikologis juga merupakan bagian yang
harus dilakukan dengan seksama agar dapat menguraikan faktor-faktor
kejiwaan yang menyertai.Test yang biasanya digunakan untuk menilai
psikologis pasien berupa the Minnesota Multiphasic Personality Inventory
(MMPI). Dalam mengetahui permasalahan psikologis yang ada maka akan
memudahkan dalam pemilihan obat yang tepat untuk penanggulangan nyeri.
4,18

d. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui penyebab
dari nyeri. Pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan laboratorium dan
4,18
imaging seperti foto polos, CT scan, MRI atau bone scan.
2.6 Tatalaksana Nyeri
2.6.1 Terapi Farmakologi

Metode paling umum dalam tatalaksana semua tipe nyeri adalah


farmakoterapi. Pada nyeri nosiseptif yang disebabkan oleh aktivasi atau
sensitisasi perifer, yaitu reseptor khusus yang mentransduksi stimulus
berbahaya. Pada nyeri ini dapat merespon analgesic sederhana dengan baik
seperti obat anti-inflamasi nonsteroid (OAINS) dan opioid. Namun, nyeri
neuropatik yang patologinya dari disfungsi system saraf itu sendiri dan tidak
secara langsung disebabkan kerusakan jaringan, berespon lebih baik terhadap ko
analgesic seperti antikonvulsan dan antidepresan. Obat-obatan yang digunakan
pada manajemen nyeri dapat dibedakan menjadi 2 yakni:4

 Analgesik : OAINS , asetaminofen/paracetamol, dan Opioid


 Ko-analgesik atau golongan adjuvant meliputi: antikonvulsan,
antidepresan, anestesi local, steroid, muskulorelaksan, toksin botulinum,
antagonis reseptor NMDA, dan obat-obat lain seperti agonis α2, calcium
channel blocker, dan vitamin.

WHO membuat suatu cara yang sangat sederhana dan efektif untuk
menangani masalah obat pada pasien nyeri. Pada tahun 1986, WHO memulai
pendekatan bertahap yang dikenal sebagai WHO step ladder. Pada nyeri ringan
digunakan step ladder dengan obat analgesik OAINS dan paracetamol, pada
nyeri sedang digunakan kombinasi NSAID dengan opioid lemah dengan atau
tanpa adjuvant, serta pada nyeri berat digunakan kombinasi NSAID dan opioid
kuat dengan atau tanpa adjuvant.4,19
Gambar 12. WHO Analgetic Step Ladder19

Tatalaksana nyeri secara garis besar yaitu: 4,19


1. Tahap pertama: analgesik non-opioid seperti obat antiinflamasi nonsteroid
(NSAID) atau COX 2 specific inhibitors atau asetaminofen dengan atau tanpa
adjuvan.
2. Tahap kedua: opioid lemah (hydrocodone, codeine, tramadol) dengan atau tanpa
analgesik non-opioid, dan dengan atau tanpa adjuvan. Tahap kedua ini dilakukan
jika pasien masih mengeluh nyeri, diberikan obat seperti pada tahap 1 ditambah
opioid secara intermiten.

3. Tahap ketiga: opioid kuat (morfin, methadone, fentanyl, oksikodon, buprenorfin,


tapentadol, hidromorfon, oksimorfon) dengan atau tanpa analgesik nonopioid, dan
dengan atau tanpa adjuvan. memberikan obat pada tahap 2 ditambah opioid yang
lebih kuat. Istilah adjuvant mengacu pada sekumpulan besar obat-obatan yang
termasuk dalam kelas yang berbeda. Meskipun biasanya diberikan untuk indikasi
selain pengobatan nyeri, obat-obatan ini dapat sangat membantu dalam berbagai
kondisi yang menyakitkan.

4. Tahap empat: Langkah keempat direkomendasikan untuk terapi pasien yang


mengalami kegagalan pada pengobatan oral atau transdermal. Kegagalan mungkin
disebabkan oleh tidak tercapainya peredaan nyeri secara memadai atau munculnya
efek samping yang tidak diinginkan/ tidak dapat ditoleransi. Langkah keempat ini
bersifat intervensif dan mencakup penggunaan blokade saraf, penggunaan obat
anastesi lokal secara spinal (epidural dan subaraknoid), agonis alfa-2 opioid,
stimulasi medula spinalis, dan intervensi bedah sesuai kebutuhan berdasar kondisi
pasien.

a. Analgesik non-opioid
Asetaminofen menghambat sintesis prostaglandin tetapi tidak memiliki
aktivitas antiinflamasi yang signifikan. Asetaminofen memiliki sedikit efek
samping tetapi bersifat hepatotoksik pada dosis tinggi. Batas maksimum harian
yang direkomendasikan untuk orang dewasa adalah 3000 mg/hari, dikurangi dari
batas yang direkomendasikan sebelumnya 4000 mg/hari. Isoniazid, zidovudine,
dan barbiturat dapat meningkatkan toksisitas asetaminofen. Sementara itu, OAINS
menghambat sintesis prostaglandin (COX). Prostaglandin membuat peka dan
memperkuat input nosiseptif, dan memblokade hasil sintesisnya dalam sifat
analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi yang menjadi ciri khas NSAID.
Setidaknya dua jenis COX dikenali yakni COX-1 dan COX-2. COX-1 bersifat
konstitutif dan tersebar luas di seluruh tubuh, tetapi COX-2 diekspresikan terutama
dengan peradangan. Beberapa jenis nyeri, terutama nyeri yang terjadi setelah
operasi ortopedi dan ginekologi, sangat merespons baik terhadap penghambat
COX. Penghambat COX memiliki aksi yang penting pada sistem saraf perifer dan
pusat.5
Mekanisme kerja analgesik nonopioid adalah inhibisi enzim siklooksigenase
(COX) yang menginhibisi sintesis prostaglandin. Seluruh obat nonopioid memiliki
efek antiinflamasi, antipiretik dan analgesic. Efek analgesic OAINS biasanya
bertahan menit hingga jam, sementara efek antiinflamasi dapat 1-2 minggu, Efek
antiinflamasi dapat membantu mengurangi nyeri karena mengurangi
pembengkakan jaringan. Saat ini diketahui bahwa reseptor COX memiliki dua
isoform yaitu COX-1 dan COX-2 dengan efektivitas serta obat nonselektif namun
efek samping yang lebih sedikit. Nonopioid digunakan untuk mengurangi berbagai
tipe nyeri akut dan kronis dan nyeri somatis. Asetaminofen dan OAINS masing-
masing dapat mengatasi nyeri ringan, dan beberapa OAINS untuk nyeri sedang.
Untuk nyeri berat yang menggunakan opioid
juga membutuhkan obat nonopioid sebagai kombinasi untuk mengurangi dosis
opioid yang dibutuhkan. Nonopioid tidak menyebabkan toleransi, ketergantungan
fisik atau adiksi.5,20

Gambar 13. Arachidonic Acid Pathway20

Tabel 2. Analgesik Nonopioid5


b. Opioid
Efektif untuk nyeri skala sedang hingga berat. Namun, memiliki beberapa efek
samping seperti mual, muntah, gatal, penurunan kesadaran, dan atau konstipasi.
Keluhan nyeri perut dapat dicegah dengan mengonsumsi obat bersamaan makanan.
Pasien juga diminta untuk tidak sedang mengendarai kendaraan ataupun
mengoperasikan mesin selama mengonsumsi obat ini. Opioid bertindak sebagai agonis
pada reseptor opioid stereospesifik yang terjadi di situs prasinaps dan pascasinaps di
dalam SSP dan di jaringan perifer. Opioid meniru tindakan ligan endogen dengan
mengikat reseptor opioid, sehingga menghasilkan aktivasi sistem modulasi nyeri
(antinosiseptif). Opioid yang diberikan melalui rute neuraksial bekerja dengan difusi
melintasi dura untukmendapatkan akses ke reseptor opioid pada susbstansia gelatinosa
dari sumsum tulang belakang, serta dengan penyerapan sistemik untuk menghasilkan
efek yang serupa dengan yang akan terjadi setelah pemberian opioid secara intravena.5

Tabel 3. Analgesik opioid5


Gambar 14. Algoritma untuk pemberian opioid4

Adjuvan, juga disebut co-analgesik, termasuk antidepresan trisiklik (TCA) seperti


amitriptyline dan nortriptyline, serotonin-norepinefrin reuptake inhibitor (SNRI) seperti
duloxetine dan venlafaxine, antikonvulsan seperti gabapentin dan pregabalin, anestesi topikal
(misalnya patch 20 lidokain), terapi topikal (misalnya, capsaicin), kortikosteroid, bifosfonat,
dan kanabinoid. Meskipun adjuvant diberikan bersama dengan analgesik, mereka
diindikasikan sebagai pilihan pengobatan lini pertama untuk pengobatan kondisi nyeri
tertentu. Misalnya, European Federation of Neurological Societies (ENS) merekomendasikan
penggunaan duloxetine, atau antikonvulsan, atau TCA untuk pengobatan neuropati nyeri
diabetes.19,21

a. Antikonvulsan
Antikonvulsan merupakan adjuvan atau ko-analgesik yang umum
digunakan pada nyeri neuropatik. Bila epilepsi maupun nyeri neuropatik
disebabkan oleh aktivitas neuron yang berlebihan; karena itu keduanya harus dapat
diobati dengan antikonvulsan untuk memblok mekanisme eksitatori maupun
meningkatkan mekanisme inhibisi. Obat ini sebagian besar merupakan pemblok
kanal natrium atau kalsium dan menaikkan ambang untuk depolarisasi saraf.
Dengan demikian, menekan aktivitas saraf abnormal. Obat ini harus dimulai dari
dosis rendah, kemudian dititrasi secara bertahap hingga mencapai dosis
terapeutik.5
Tabel 4. Antikonvulsan5

b. Antidepresan
Obat ini menunjukkan efek analgesik langsung dalam dosis yang jauh lebih
rendah daripada yang dibutuhkan untuk efek antidepresi. Efek analgesik disertai
sedasi, pengurangan kecemasan, relaksasi otot, dan siklus tidur yang menjadi
pulih. Berdasarkan mekanisme kerjanya, kelompok obat antidepresan adalah
tricyclic anti-depressant (TSA), selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), dan
serotonin-norepinephrine reuptake inhibitor (SNRI). Efek sampingnya adalah
sedasi, efek antikolinergik, hipotensi ortostatik, diare, dan konstipasi.4,5
Tabel 5. Antidepresan5

c. Muskulorelaksan

Muskulorelaksan yang berbeda-beda digunakan untuk mengobati nyeri


terutama jika disebabkan oleh kejang otot. Bebebrapa obat bekerja secara sentral,
sedangkan obat lainnya merupakan muskulorelaksan yang bekerja secara perifer. 4,5
d. Steroid
Glukokortikoid banyak digunakan dalam manajemen nyeri untuk tindakan
antiinflamasi dan mungkin analgesik. Obat ini dapat diberikan secara topikal, secara
oral, atau parenteral (intravena, subkutan, intrabursal, intraartikular, atau epidural).
4,5
Tabel 6. Steroid5

e. Agonis α2
Obat-obat ini memiliki efek simpatolitik dan juga mengubah konduktansi
kalsium dan kalium pada tingkat medulla spinalis Obat yang digunakan adalah
klonidin dengan dosis 0,1 mg/hari secara oral. Obat ini berguna dalam kondisi nyeri
neuropatik yang dimediasi simpatis seperti CRPS.5

f. Toksin botulinum
Nyeri yang disebabkan oleh spasisitas, nyeri miofasial, dystonia servikal,
dan beberapa gangguan sakit kepala berespon baik terhadap injeksi botox.
Terapeutik. Obat ini bekerja pada persambungan neuromuscular. Efek analgetik
mungkin dimediasi oleh blockade substansi P, glutamate, dan peptide terkait gen
kalsitonin. 4,5

g. Anestesi local
Obat anestesi local seperti lignokain dan bupivakain digunakan untuk
memblok saraf sebagai prosedur diagnostic atau terapeutik. Pemberian lignokain
sistemik dilakukan untuk prosedur desentisisasi sentral. Dalam hal ini lignokain
berfungsi sebagai penstabil membrane. 4,5

2.6.2 Terapi Non-Farmakologi


Metode Non-Farmakologi dapat dibagi menjadi empat kelompok utama:22
a. Modalitas fisik
Latihan fisik yang diterapkan secara pasif, seperti akupuntur, pijat, stimulasi saraf
listrik transkutan (TENS), terapi panas atau dingin, vibrasi, pijatan, perbaikan
posisi, dan imobilisasi. Selain itu, dapat dengan Aktivitas fisik seperti jalan kaki,
pernapasan dalam, atau aktivitas olahraga ringan hingga sedang, serta perbaikan
pola hidup
b. Modalitas kognitif-behavioral
Relaksasi, distraksi kognitif (misalnya menonton TV, mendengarkan musik atau
berbicara dengan orang), mendidik pasien, dan pendekatan spiritual.
c. Modalitas Invasif
Pendekatan radioterapi, pembedahan, dan tindakan blok saraf. Intervensi dalam
teknik pembedahan yang dapat menurunkan skor nyeri pada pasien pasca operasi.
Intervensi tersebut antara lain penggunaan tekanan rendah (<12 mmHg), bilas
salin diikuti dengan suction, aspirasi gas pneumoperitoneum, dan penggunaan
mini port.
d. Modalitas Psikoterapi
Dilakukan secara terstruktur dan terencana, khususnya bagi merreka yang
mengalami depresi dan berpikir ke arah bunuh diri. Pendekatan psikologis/spiritual
seperti berdoa, imajinasi, visualisasi, relaksasi atau meditasi.
BAB III
KESIMPULAN

Nyeri adalah pengalaman emosional serta sensori yang tidak menyenangkan


dan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual maupun potensial, atau
digambarkan sebagai suatu kerusakan. Berdasarkan patofisiologinya, nyeri terbagi
menjadi nyeri nosiseptif, neuropatik, campuran, dan psikogenik. Berdasarkan waktu
terjadinya, nyeri terbagi menjadi akut dan kronis. Berdasarkan derajatnya, nyeri
terbagi menjadi nyeri ringan, sedang, dan berat. Nyeri dapat didiagnosis dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan psikologis, dan pemeriksaan penunjang.
Penilaian nyeri dapat dilakukan dengan beberapa skala yang umum dipakai seperti
Numering Rating Scale, Visual Analog Scale, dan instrumen lainnya. Tatalaksana
nyeri terdiri dari terapi farmakologis dan nonfarmakologis. Pada terapi farmakologi,
manajemen nyeri dapat menggunakan panduan WHO steps ladder sesuai intensitas
nyeri. Sementara untuk terapi non-farmakologi dilakukan dengan 4 modalitas yakni
modalitas fisik, modalitas kognitif-behaviour, modalitas invasif, dan modalitas
psikoterapi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Raja SN, Carr DB, Cohen M, Finnerup NB, Flor H, Gibson S, et al. The
revised International Association for the Study of Pain definition of pain :
concepts , challenges , and compromises. Pain J. 2020;1–6.
2. Tanra AH, Musba AMT. Definisi, Mekanisme, dan Klasifikasi Nyeri. In:
Anestesiologi dan Terapi Intensif. 1st ed. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama; 2019. p. 1114–25.
3. Wiryana M, Sinardja IK, Sujana IG, Subagiartha IM, Sideman IGPS,
Suranadi IW. Pengelolaan Nyeri. In: Ilmu Anestesiologi dan Terapi
Intensif. Denpasar: Udayana University Press; 2017. p. 33–7.
4. Das G. Tinjauan Umum Nyeri. In: Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta:
EGC; 2019. p. 3–35.
5. Rosenquist RW, Vrooman BM. Chronic Pain Management. In: Morgan &
Mikhail’s Clinical Anesthesiology. 5th ed. New York: Mc Graw Hill; 2013.
p. 1023–45.
6. Johnson Q, Borsheski RR, Reeves-Viets JL. A Review Management of
Acute Pain. Sci Med. 2013;(February):74–9.
7. Bahrudin M. Patofisiologi Nyeri. J Saintika. 2017;13:7–13.
8. Witjaksono, Vilyastuti YW, Sutiyano D. Masalah Nyeri. In:
Anestesiologi. Semarang: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK
UNDIP; 2013. p. 309–22.
9. Rehatta N, Hanindito E, Redjeki I, Soenarto R, Bisri D. Anestesiologi dan
Terpi Intensif. 1st ed. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama; 2019. 1114–
1123 p.
10. Raphael J, Hester J. PALLIATIVE CARE SECTION Cancer Pain : Part
1 : Pathophysiology ; Oncological , Pharmacological , and Psychological
Treatments : A Perspective from the British Pain Society Endorsed by the
UK Association of Palliative Medicine and the Royal College of Gene.
Pain Med. 2010;11:742–64.
11. Sykes N, Bennet M., Yuan C. Clinical Pain Management Cancer Pain. 1st
ed. London: Hodder & Stoughton Limited; 2013.
12. Benzon. The Assesment of Pain. In: Essential of Pain Medicine
and Regional Anesthesia. 2nd ed. Philadelphia; 2015.
13. Breivik H, Borchgrevink PC, Allen SM, Rosseland LA, Romundstad L,
Hals EKB, et al. Assessment of pain. Br J Anaesth [Internet].
2008;101(1):17–24. Available from: http://dx.doi.org/10.1093/bja/aen103
14. Liebold A, Skrabal C. Assessment and pathophysiology of pain in cardiac
surgery. J Pain Res. 2018;11:1599–611.
15. Sarkaria E. Assessing Neonatal Pain with NIPS and COMFORT-B :
Evaluation of NICU ’ s Staff Competences. Pain Res Manag. 2022;
16. Voepel-lewis T, Dammeyer JA, Merkel S. Reliability and Validity of the
Face, Legs, Activity, Cry, Consolability Behavioral Tool in Assessing
Acute Pain in Critically Ill Patients. Crit care Evalluation.
2013;19(January):55–62.
17. Nazari R, Froelicher ES, Nia HS, Hajihosseini F, Mousazadeh N.
Diagnostic Values of the Critical Care Pain Observation Tool and the
Behavioral Pain Scale for Pain Assessment among Unconscious Patients :
A Comparative Study. Indian J Crit Care Med. 2022;26(4):2–6.
18. Świeboda P, Filip R, Prystupa A, Drozd M. Assessment of pain : types
, mechanism and treatment. Ann Agric Env Med. 2013;(1):2–7.
19. Tameem A. Analgesic ladders [Internet]. Columbia University
Libraries. 2017 [cited 2023 Jul 3]. p. 2016–8. Available from:
https:/www.cambridge.org/core
20. Sheikh H, Vahedi M, Hajebi H, Vahidi E, Nejati A, Saeedi M.
Comparison between intravenous morphine versus fentanyl in acute pain
relief in drug abusers with acute limb traumatic injury. 2019;10(1):27–32.
21. Anekar AA, Hendrix JM CM. WHO Analgesic Ladder. Treasure
Island: StatPearls Publishing; 2023.
22. Geziry A El, Toble Y, Kadhi F Al, Pervaiz M, Nobani M Al. Non-
Pharmacological Pain Management. IntechOpen. 2021;

Anda mungkin juga menyukai