Anda di halaman 1dari 37

Referat

PNEUMONIA

Oleh :

Annisa Susanne Sarjono, S.Ked 04084822225203

Pembimbing :

dr. Sudarto, Sp.PD, K-P

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2022
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Pneumonia

Oleh :

Annisa Susanne Sarjono, S.Ked 0408482225203

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad
Hoesin Palembang Periode 15 Agustus – 6 November 2022.

Palembang, September 2022

dr. Sudarto, Sp. PD, K-P

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dihaturkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan
karunia-Nya telaah ilmiah yang berjudul ―PNEUMONIA‖ ini dapat diselesaikan
tepat waktu. Telaah ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian/Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Terima kasih kepada dr. Sudarto, Sp. PD, K-P selaku pembimbing yang
telah memberikan bimbingan dan arahan selama penulisan telaah ilmiah ini
sehingga menjadi lebih baik. Terima kasih juga kepada para residen, teman-teman
dokter muda, dan semua pihak yang telah membantu dalam penulisan telaah
ilmiah ini. Masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan telaah
ilmiah ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan
untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Palembang, September 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

JUDUL ..................................................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii

KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. vi

DAFTAR TABEL ................................................................................................. vii

BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 3

2.1 Mekanisme Pertahanan Paru .................................................................... 3

2.2 Pneumonia ................................................................................................ 6

2.2.1 Definisi .............................................................................................. 6

2.2.2 Epidemiologi ..................................................................................... 6

2.2.3 Etiologi .............................................................................................. 7

2.2.4 Faktor Risiko ..................................................................................... 9

2.2.5 Klasifikasi ....................................................................................... 11

2.2.6 Patofisiologi dan Patogenesis.......................................................... 12

2.2.7 Manifestasi Klinis ........................................................................... 16

2.2.8 Diagnosis ......................................................................................... 18

2.2.9 Diagnosis Banding .......................................................................... 20

2.2.10 Tatalaksana...................................................................................... 22

2.2.11 Komplikasi ...................................................................................... 26

iv
2.2.12 Prognosis ......................................................................................... 27

BAB 3 KESIMPULAN ................................................................................... 28

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 29

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Mekanisme Pertahanan Paru .............................................................. 3


Gambar 2.2 Gambaran infeksi nafas bawah ........................................................... 6
Gambar 2.3 Patofisiologi dan Manifestasi Klinis ................................................. 13
Gambar 2.4 Patofisiologi pneumonia .................................................................... 14
Gambar 2.5 Patofisiologi pneumonia .................................................................... 15
Gambar 2.6 Contoh foto thoraks pasien dengan Pneumonia Lobaris Lobus Media
Paru Kanan ............................................................................................................ 19
Gambar 2.7 Contoh foto thoraks pasien dengan VAP .......................................... 19
Gambar 2.8 Contoh foto thoraks pasien dengan Aspiration pneumonia .............. 19

vi
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Etiologi utama pneumonia komunitas menurut ATS/IDSA 2007 .......... 7
Tabel 2.2 Rangkuman tanda dan gejala pneumonia.............................................. 17
Tabel 2.3 Tabel CURB-65 .................................................................................... 22
Tabel 2.4 Rekomendasi pemberian antibiotik pada pneumonia komunitas .......... 23

vii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Saluran pernafasan pada manusia secara anatomi dibagi menjadi saluran
nafas atas dan saluran nafas bawah. Secara fisiologis, saluran nafas memiliki
mekanisme pertahanan terhadap patogen yang masuk ke dalam saluran
pernafasan. Apabila patogen yang masuk tersebut tidak mampu di eliminasi oleh
mekanisme pertahanan saluran nafas maka dapat menyebabkan infeksi. Infeksi
pada saluran pernafasan atas meliputi rhinitis, otitis media, faringitis, dan
sinusitis. Sedangkan infeksi pada saluran nafas bawah meliputi croup (epiglotitis,
laryngitis, laringotrakeitis), bronchitis, bronkiolitis dan pneumonia.1,2

Pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan akut pada parenkim


paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius,
yang menimbulkan konsolidasi paru yang terkena dan pengisian alveoli oleh
eksudat, sel radang dan fibrin.3 Peradangan ini dapat disebabkan oleh berbagai
mikroorganisme seperti bakteri, jamur, virus, parasit dan basil lainnya.4,5

Infeksi saluran pernafasan bawah termasuk didalamnya pneumonia


komunitas menduduki peringkat ketiga dari 30 penyebab kematian tersering di
dunia.3 Prevalensi pneumonia secara global paling banyak ditemukan pada Negara
berkembang dengan status social ekonomi yang rendah dengan populasi
malnutrisi dan gangguan imunitas yang tinggi.6–9 Di Indonesia, pneumonia
termasuk ke dalam 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit. Berdasarkan riset
kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi pneumonia di Indonesia
meningkat manjadi 2% dibanding tahun 2013.3,10

Klasifikasi pneumonia dapat bervariasi berdasarkan lokasi sumber infeksi


didapat, status imunitas, dan mikrobiologi pathogen penyebab.11 Klasifikasi
berdasarkan lokasi sumber infeksi didapat yang paling sering digunakan,

1
klasifikasinya dibagi menjadi Community-acquired pneumonia (CAP), Hospital-
acquired pneumonia (HAP), Health care-acquired pneumonia (HCAP), dan
Aspiration pneumonia.12

Diagnosis pneumonia didasarkan pada tanda dan gejala yang timbul


dibuktikan dengan temuan pada pemeriksaan penunjang berupa hasil
pemeriksaan radiologis. Tatalaksana pneumonia didasarkan pada tanda dan gejala
disesuaikan dengan kemungkinan jenis pathogen penyebab dari penyakit ini.3
Berdasarkan SNPPDI tahun 2019, standar kompetensi dokter umum terhadap
pneumonia adalah tingkat kemampuan 4. Lulusan dokter diharapkan mampu
membuat diagnosis dan penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan
tuntas.13 Oleh karena itu, pemahaman mengenai penyakit pneumonia dari
pengertian, tanda dan gejala, tata laksana, sampai prognosis penyakit ini penting
untuk dibahas lebih lanjut.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mekanisme Pertahanan Paru


Paru merupakan organ di dalam tubuh yang berhubungan langsung dengan
udara atmosfer. Dalam 24 jam, 300 juta alveoli yang memiliki luas
total permukaan dinding seluas lapangan tenis, akan menampung udara
sebanyak 11.520 liter (frekuensi napas 16 per menit, volume tidal 500 mL)
atau 10.000 – 20.000 L udara perhari. Selain itu, lapisan tipis dari membrane
kapiler alveolus memiliki kemampuan esensial untuk difusi gas respirasi dan
menurunkan keefektifan lapisan untuk mengarbsorbsi material lain yang terhirup,
sehingga paru mempunyai kemungkinan terpajan bahan atau benda yang
berbahaya, yang dapat terlihat (contoh bakteri, virus, dll) dan tidak terlihat
(contoh debu kimia, uap, debu-debuan, dll) yang dapat ditemukan di udara
sekitar.14

Gambar 2.1. Mekanisme Pertahanan Paru

3
Oleh karena itu, paru memiliki mekanisme pertahanan untuk
melindunginya dari pengaruh buruk bahan yang mengenainya. Mekanisme
pertahanan yang ada dapat mencegah atau menurunkan kerusakkan pada paru dan
arbsorbsi dari substansi berbahaya yang dapat masuk ke dalam peredaran darah.
Mekanisme pertahanan paru merupakan sebagian kecil dari keseluruhan
mekanisme pertahanan tubuh. Mekanisme pertahanan saluran napas tidak
hanya berkaitan dengan infeksi (mikroorganisme) tetapi juga untuk melawan
debu/partikel, gas berbahaya, serta suhu. Pertahanan ini dibagi menjadi 2
kategori besar, yang pertama terdiri dari nonspesifik, yaitu mekanisme non
selektif yang menangani berbagai macam bahan. Kelompok lainnya berupa
respons imunologis spesifik yang ditimbulkan oleh stimulasi yang sangat selektif.
Mekanisme pertahanan tubuh yang melindungi paru berupa14 :

 Deposisi partikel
Perjalanan udara pernapasan mulai dari hidung sampai ke
parenkim paru melalui struktur yang berbelok-belok sehingga
memungkinkan terjadinya proses deposisi partikel. Partikel yang
masuk ke dalam sistem pernapasan ukurannya sangat heterogen.
Partikel berukuran > 10 μm tertangkap di dalam rongga hidung, yang
berukuran di antara 5-10 μm tertangkap di bronkus dan percabangannya
sedangkan yang berukuran < 3 μm dapat masuk ke dalam alveoli.14,15

 Refleks Batuk dan Refleks Tekak (Gag Refleks)


Batuk merupakan mekanisme refleks yang sangat penting
untuk menjaga agar jalan napas tetap terbuka (paten) dengan cara
menyingkirkan hasil sekresi, selain itu juga untuk menghalau benda
asing yang akan masuk ke dalam sistem pernapasan. Benda asing
yang masuk ke dalam saluran pernapasan dapat menyebabkan
peradangan di dalam sistem pernapasan.14

 Mekanisme eskalasi mucus

4
Eskalasi mukosiliar melibatkan peran silia dan mukus. Silia
terdapat pada dinding saluran pernapasan mulai dari pernapasan mulai
dari laring sampai bronkious terminal. Silia bergerak 14 kali per detik.
Jumlah silia dan aktivitasnya dipengaruhi oleh asap rokok, toksin, dan
asidosis; ketiganya menurunkan jumlah silia dan akivitasnya.14,15

 Mekanisme fagositik dan inflamasi


Partikel dan mikroorganisme yang terdeposisi akan
difagositosis oleh sel yang bertugas mempertahankan tubuh. Sel-sel
tersebut adalah sel makrofag dan sel polimorfonuklear (PMN). Sel
makrofag adalah sel berukuran besar yang berdiameter antara 15-50
μm; sel ini merupakan perkembangan dari sel monosit (circulating
monocyte) yang diproduksi di sumsum tulang14.

 Mekanisme respon imun


Mekanisme berhubungan dengan pengenalan dan upaya
merespon materi antigen spesifik. Paru sangat sering atau berkali-kali
berkontak dengan bakteri, virus, partikel asing sehingga dapat mengenali
benda-benda asing tersebut. Proses untuk mengenali dan mengingat benda
asing ini melalui mekanisme respon imun. Ada 2 macam komponen di
dalam sistem imun, yaitu14,15:
- Mekanisme respon imun humoral yang melibatkan limfosit B
- Mekanisme respon imun seluler yang melibatkan limfosit T

Untuk melindungi tubuh dari pengaruh partikel dan mikroorganisme yang masuk
melalui sistem pernapasan, keempat mekanisme di atas saling
berinteraksi14,15.

5
2.2 Pneumonia

2.2.1 Definisi
Pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan akut pada parenkim
paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius,
yang menimbulkan konsolidasi paru yang terkena dan pengisian alveoli oleh
eksudat, sel radang dan fibrin serta dapat mengganggu pertukaran gas setempat.3–5
Pada dasarnya pneumonia merupakan infeksi yang terjadi pada saluran pernafasan
bawah (gambar 2.2) Peradangan ini dapat disebabkan oleh berbagai
mikroorganisme seperti bakteri, jamur, virus, parasit dan basil lainnya.4,5,16

Gambar 2.2 Gambaran infeksi nafas bawah

Pneumonia dapat dibagi menjadi 2 kelompok utama, yaitu pneumonia di


rumah perawatan (PN) dan pneumonia komunitas (PK) yang didapat
dimasyarakat. PK adalah pneumonia yang terjadi akibat infeksi diluar rumah
sakit, sedangkan PN adalah pneumonia yang terjadi >48 jam atau lebih setelah
dirawat di rumah sakit, baik di ruang perawatan umum ataupun ICU tetapi tidak
sedang memakai ventilator.16

2.2.2 Epidemiologi
Infeksi saluran pernafasan bawah termasuk didalamnya pneumonia
komunitas menduduki peringkat ketiga dari 30 penyebab kematian tersering di
dunia.3 Prevalensi pneumonia secara global paling banyak ditemukan pada Negara
berkembang dengan status sosial ekonomi yang rendah dengan populasi
malnutrisi dan gangguan imunitas yang tinggi. Berdasarkan studi yang dilakukan

6
oleh The Global Burden of Diseases, Injuries, and Risl Factors (GBD) pada tahun
2016, infeksi saluran pernafasan bawah menyebabkan 2,38 juta kematian di 195
negara. ISPB ditempatkan sebagai penyebab kematian nomor 6 tertinggi di
dunia.6–9

Data epidemiologi pada tahun 2016 menunjukkan sebanyak 652.572


kematian pada anak usia <5 tahun dan 1.080.958 kematian pada dewasa usia >70
tahun yang disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan bawah di seluruh dunia.6–9
Studi US Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menunjukkan
kejadian pneumonia komunitas menjadi penyakit dengan urutan ke-8 penyebab
kematian di Amerika Serikat dan ke-7 penyebab kematian di kanada. Sedangkan,
data mengenai prevalensi VAP dan HAP tidak luas dikarenakan faktor perancu
yang disebabkan oleh komorbiditas pasien. Diperkirakan kejadian VAP sekitar 2-
16 episode per 1.000 penggunaan ventilator dan berkontribusi sebesar 3-17%
meningkatkan kematian.17

Di Indonesia, pneumonia termasuk ke dalam 10 besar penyakit rawat inap


di rumah sakit.3 Berdasarkan riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2018,
prevalensi pneumonia di Indonesia meningkat menjadi 2% dibanding tahun
2013.10

2.2.3 Etiologi
Etiologi pneumonia dapat berkaitan dengan cara penularannya, misalnya
pada penularan melalui droplet sering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae,
melalui selang infus dapat disebabkan oleh Staphylococcus aureus, dan pada
penggunaan ventilator dapat disebabkan oleh P. aeruginosa dan Enterobacter.16
Etiologi utama pada pneumonia komuitas menurut ATS/IDSA 2007 dapat dilihat
pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Etiologi utama pneumonia komunitas menurut ATS/IDSA 2007

Tipe Pasien Etiologi


Rawat jalan Streptococcus pneumoniae

7
Mycoplasma pneumoniae
Haemophylus influenzae
Chlamydia Pneumoniae
Virus Respiratorik
Rawat Inap Streptococcus pneumoniae
(non ICU) Mycoplasma pneumoniae
Chlamydia pneumoniae
Haemophilus influenzae
Legionella spp
Virus Aspirasi
Virus Respirasi
Rawat ICU Streptococcus pneumonia
Staphylococcus aureus
Legionella spp
Basil gram negatif
Haemophylus influenza

Pada pneumonia komunitas yang dilakukan rawat jalan, dilaporkan 40%


kasus tidak diketahui penyebab patogennya. Etiologi yang diketahui dilaporkan
adanya infeksi oleh patogen Streptococcus pneumoniae dijumpai pada 9-20%
kasus, Mycoplasma pneumoniae dijumpai pada 13-37% kasus, dan Chlamydia
pneumoniae dijumpai pada 17% kasus.3,16

Pada PK yang dilakukan rawat inap diluar ICU, dilaporkan 20–70% kasus
tidak diketahui penyebab patogennya. Etiologi yang diketahui sebagai penyebab
infeksi, dijumpai patogen penyebab pneumonia oleh Streptococcus pneumoniae
sebesar 20–60%, Haemophilus influenza sebesar 3–10%, S. aureus, gram negative
enteric, Mycoplasma pneumonia, Chlamydia pneumonia, Legionella spp, dan
virus sp sebesar 10%. Kejadian infeksi yang disebabkan oleh kuman atipikal
mencapai 40–60 %.3,16

8
Sebanyak 10 % dari pneumonia komunitas dirawat di ICU, patogen pada
PK yang mendapat rawat inap di ICU sebesar 50–60% tidak diketahui
penyebabnya. Patogen yang disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae sekitar
33%, enterobacter dijumpai sebesar 20%, dan sebsar 10-20% diantaranya oleh
Pseudomonas Aeruginosa terutama pasien dengan bronkiektasis.3,16

2.2.4 Faktor Risiko


Berikut faktor risiko terjadinya pneumonia, yaitu3,18 :

1. Usia
Usia lanjut merupakan faktor risiko penting pada kejadian
pneumonia dan berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan
mortalitas akibat perubahan fisiologis yang berhubungan dengan penuaan
serta adanya penyakit kronis. Terdapat hubungan yang kuat antara
peningkatan usia dan hambatan fisik, perlawanan terhadap serangan
pathogen, perubahan fisiologis tubuh terhadap penuaan pada system imun
dan malnutrisi yang menyebabkan populasi usia lanjut rentan terhadap
kejadian pneumonia.
Misalnya, gangguan pada pembersihan mukosiliar yang mencegah
perlekatan bakteri pada epitel, gangguan pertahanan alveolus, batuk yang
tidak efektif, dan gangguan menelan merupakan perubahan mekanisme
pertahanan paru pada pasien usia lanjut.
2. Merokok
Paparan asap rokok berdampak pada kapasitas system kekebalan
dalam memiliki system imunitas dan respon inflamasi terhadap infeksi
seperti pneumonia. Diperkirakan 15 – 30% kasus pneumonia komunitas
dapat dihindari jika tidak memiliki kebiasaan merokok. Terdapat
hubungan antara efek dosis lama merokok dengan kejadian pneumonia.
Maka dari itu, penurunan risiko pneumonia berhubungan dengan
penurunan kebiasaan merokok.
3. Konsumsi Alkohol (alkoholisme)

9
Kecanduan alcohol memiliki hubungan dengan peningkatan risiko
dan manifestasi lebih berat pada pneumonia. Konsumsi alkohol
berpengaruh pada semua komponen system imun adaptif (imunitas seluler
dan humoral). Kebiasaan mengonsumsi alkohol berat sering mengalami
kerusakan hati, kekurangan gizi dan kebersihan pribadi yang buruk dapat
mempengaruhi kekebalan dan meningkatkan risiko terjadinya pneumonia.
4. IMT
Studi meta-analisis yang mencari hubungan IMT dengan risiko
terjadinya pneumonia melaporkan pasien dengan IMT kategori
underweight memiliki 80% risiko lebih tinggi mengalami pneumonia
komunitas, dimana pasien dengan IMT kategori overweight merupakan
faktor protektif dengan 11% menurunkan risiko untuk mengalami
pneumonia komunitas dibandingkan seseorang dengan kategori IMT
normal. Hal ini kemungkinann berhubungan dengan fakta bahwa IMT
underweight merupakan indicator dari malnutrisi sebagai penyebab yang
mendasari terjadinya pneumonia. Namun, temuan ini tidak signifikan
secara statistik.
5. Kebersihan oral buruk
Bakteri mulut dan pernafasan pada plaque gigi yang masuk ke
dalam air liur kemudian teraspirasi ke dalam saluran pernafasan bawah dan
parenkim paru menyebabkan infeksi. Pneumonia aspirasi merupakan salah
satu masalah serius pada populasi lansia.
6. Penyakit paru kronis
Pasien dengan penyakit paru kronis termasuk PPOK, asma, dan
kronik bronchitis berpotensi rentan mengalami pneumonia dan memiliki 2
sampai 4 kali lipat peningkatan risiko terjadinya pneumonia komunitas.
Penggunaan kortikosteroid inhalasi pada pasien dengan PPOK juga
memiliki hubungan terhadap peningkatan risiko pneumonia komunitas.
7. Diabetes mellitus
Pasien dengan DM tipe 1 atau 2 meningkatkan risiko terjadinya
pneumonia, kerentanan ini dapat dijelaskan oleh beberapa alasan. Pasien

10
diabetes memiliki peningkatan risiko mengalami hiperglikemia, aspirasi,
kegagalan perlawanan imun dalam menjaga perlawanan host terhadap
pathogen, fungsi paru yang terganggu dan memiliki komplikasi kronik.
Dikatakan dalam beberapa hasil penelitian, penggunaan beberapa obat
antidiabetes oral memiliki keterkaitan terhadap gangguan system imun
yang mana pada beberapa kasus dapat meningkatkan risiko infeksi.
8. Penyakit yang menurunkan daya tahan tubuh
Penyakit yang berhubungan terhadap penurunan daya tahan tubuh,
salah satunya adalah HIV.
9. Penyakit hati dan ginjal kronis
Penyakit hati dan ginjal kronik meningkatkan risiko pneumonia
komunitas hampir 2 kali lipat.
10. Penyakit jantung
Gagal jantung kronis seperti CHF dan CAD meningkatkan risiko
terhadap Pneumonia, hal ini diduga berkaitan dengan blockade
pembersihan miokardial akibat terisinya alveoli menjadi alasan mengapa
gagal jantung kronis dapat meningkatkan risiko infeksi.

2.2.5 Klasifikasi
Klasifikasi pada pneumonia dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok
berdasarkan etiologi, tempat pasien mendapat infeksi (epidemiologi) dan pola
keterlibatan parenkim paru.11,17

- Community acquired pneumonia (CAP)


Pneumonia yang didapat di luar rumah sakit dan didapatkan dari
komunitas.
- Hospital-Acquired Pneumonia (HAP)
Pneumonia yang didapatkan setelah 48 jam di rawat inap seperti di
rumah sakit dan tidak terintubasi pada saat masuk dianggap HAP atau
pada pasien yang sudah keluar dari rumah sakit selama 7 hari.
- Ventilator Associated Pneumonia (VAP)

11
Pneumonia yang didapat setelah lebih dari 48 jam di rawat di ICU
atau dengan intubasi endotrakeal dianggap sebagai VAP.

Kategori tersebut membantu menentukan organism yang biasa menjadi


penyebab dari setiap jenis pneumonia dan menentukan pemilihan pengobatan
untuk pedoman manajemen yang efisien baik pada pasien rawat inap maupun
rawat jalan. Selain itu, pneumonia dapat diklasifikasikan berdasarkan bagian paru
yang terlibat, sebagai berikut:

1. Fokal non segmental atau pneumonia lobaris : keterlibatan dari satu


lobus dari paru
2. Multifokal bronkopneumonia atau pneumonia lobularis
3. Fokal atau difus interstitial pneumonia

2.2.6 Patofisiologi dan Patogenesis


Pneumonia terjadi akibat adanya proliferasi pathogen pada tingkat
alveolus dan respon pejamu terhadap pathogen tersebut. Mikroorganisme dapat
memasuki saluran napas bawah melalui beberapa cara, yakni melalui aspirasi dari
orofaring (terutama pada lansia dan pasien penurunan kesadaran), inhalasi droplet
yang terkontaminasi, hematogen (misalnya pada endokarditis tricuspid), atau
penyebaran langsung misalnya dari pleura yang terinfeksi atau mediastinum.3

Sebelum mencapai saluran nafas bawah, mikroorganisme akan melalui


system pertahanan pejamu terlebih dahulu. Faktor pertahanan yang penting adalah
faktor mekanik yakni rambut hidung dan konka pada hidung yang menangkap
partikel besar sebelum mencapai saluran yang lebih distal. Arsitektur
trakeobronkial yang bercabang-cabang juga menyebabkan partikel tersangkut
pada saluran napas, dimana terdapat system bersihan mukosillier dan faktor
antibakteri local yang dapat membunuh atau membuang pathogen. Refleks batuk
juga penting untuk proteksi terhadap aspirasi. Flora normal yang menempel pada
sel mukosa di orofaring juga mencegah bakteri pathogen untuk berikatan ditempat
tersebut.3

12
Ketika pertahanan-pertahanan tersebut berhasil dilewati, makrofag
alveolar akan membunuh pathogen. Setelah pathogen ditelan oleh makrofag,
sekalipun tidak terbunuh, pathogen akan di eliminasi oleh system mukosilier atau
system limfatik. Hanya jika kapasitas makrofag untuk membunuh
mikroorganisme dikalahkan, akan muncul pneumonia.3

Gambar 2.3 Patofisiologi dan Manifestasi Klinis

Pada situasi ini, makrofag menginisiasi respon dengan pelepasan


interleukin 1 dan tumor necrosis factor (TNF) yang menyebabkan demam.
Kemokin seperti IL-8 dan G-CSF memanggil neutrofil ke paru sehingga muncul
leukositosis dan secret purulen (Gambar 2.3)

13
Gambar 2.4 Patofisiologi pneumonia

14
Mediator inflamasi menyebabkan kebocoran kapiler alveolus yang dapat
menyebabkan plasma dan bahkan eritrosit masuk ke alveolus, menyebabkan
hemoptisis. Kebocoran kapiler ini menyebabkan gambaran infiltrate pada foto
thoraks dan rhonki yang terdengar saat auskultasi. Adanya gangguan pertukaran
gas akibat pengisian alveolus dapat menyebabkan hipoksemia. Adanya respon
inflamatorik sistemik menyebabkan alkalosis respiratorik. Adanya kebocoran
kapiler, hipoksemia, peningkatan stimulus untuk bernafas, menyebabkan dispnea.3

Gambar 2.5 Patofisiologi pneumonia

Secara Histopatologi, patogenensis terjadinya pneumonia terbagi menjadi


bronkopneumonia/pneumonia lobular dan pneumonia lobaris. Perbedaannya
sebagai berikut17 :

1. Pneumonia lobaris

15
Pneumonia lobaris merupakan konsolidasi difus yang melibatkan
keseluruhan lobus dari paru. Histopatologinya dapat dibagi menjadi 4 fase
:
- Kongesti
Pada tahap ini ditandai dengan jaringan paru terlihat sangat pekat,
kongesti difus, adanya pembengkakkan pembuluh darah, dan tampak
akumulasi cairan alveolus penuh dengan organism yang bersifat
menginfeksi. Terdapat sedikit gambaran sel darah merah neutrofil
pada tahap ini.
- Hepatisasi merah
Terlihat infiltrasi sel darah merah, neutrofil, dan fibrim yang nyata
dalam cairan alveolus. Secara kasar, dapat terlihat paru-paru tampak
merah dan kencang seperti gambaran hati oleh karenanya disebut
dengan tahap hepatisasi.
- Hepatisasi kelabu
Pada tahap ini, sel darah merah hancur dan berkaitan dengan eksudat
fibropurulen yang menyebabkan perubahan warna dari merah
menjadi kelabu.
- Resolusi
Pada tahap ini, ditandai dengan pembersihan eksudat oleh makrofag
residen dengan atau tanpa pembentukan skar residu.

2. Bronkopneumonia
Pada Bronkopneumonia, ditandai dengan inflamasi bersifat supuratif
yang terlokasisasi membentuk bercak disekitar bronkus yang mungkin
terlokalisasi pada satu lobus penuh paru atau juga tidak.

2.2.7 Manifestasi Klinis


Patogenesis terjadinya gejala dan tanda yang timbul pada pneumonia dapat
dilihat pada (gambar 2.3). Keluhan utama pada pasien dengan pneumonia berupa
keluhan sistemik seperti demam dengan menggigil, malaise, kehilangan nafsu

16
makan dan mialgia lebih sering ditemuikan pada pneumonia yang disebabkan oleh
virus di bandingkan penyebab bakteri. Temuan terkait paru dapat berupa batuk
dengan atau tanpa produksi sputum. Pada pneumonia yang disebabkan oleh
bakteri, sputum yang sering dihasilkan berupa sputum purulen atau dapat berupa
sputum yang bercampur darah namun jarang. Pada pneumonia yang disebabkan
oleh virus, sputum yang dihasilkan biasanya encer dan kadang-kadang
mukopurulen. Dapat juga timbul nyeri dada pleuritik dengan adanya keterlibatan
pada pleura. Dyspnea dan rasa berat pada dada yang difuse kadang-kadang
muncul.17

Pada pemeriksaan fisik, temuan yang umum didapati pada pasien dengan
pneumonia sebagai berikut17 :

- Takipnea
- Takikardia
- Demam dengan atau tanpa menggigil
- Penurunan suara vascular atau didapati suara bronchial
- Peningkatan fremitus taktil dan egofoni dapat menggambarkan adanya
proses konsolidasi
- Ronkhi basah pada region yang terkena dari auskultasi
- Perkusi redup

Rangkuman mengenai tanda dan gejala yang dapat ditemukan pada pasien dengan
pneumonia dapat dilihat pada tabel 2.2 di bawah3.

Tabel 2.2 Rangkuman tanda dan gejala pneumonia

Gejala - Sesak nafas, demam, menggigil


- Batuk (dapat kering jika disebabkan oleh virus, atau
produktif; mukoid atau purulen atau bercampur
darah)
- Nyeri pleuritik (jika ada keterlibatan pleura)
- Gejala gastrointestinal (pada 20% pasien) seperti

17
mual, muntah, dan diare
- Kelelahan, sakit kepala, myalgia, athralgia (jika
disebabkan oleh virus)
- Pada lansia gejala mungkin tidak tampak jelas,
dapat bermanifestasi sebagai disorientasi di awal
perjalanan penyakit
Tanda awal - Takikardi, takipnea, febris (> 38℃) atau hipotermia
- Hipotensi (jika mengalami syok sepsis)
KGB - Limfadenopati
Pemeriksaan dada - Tampak penggunaan otot bantu nafas
Pemeriksaan paru - Palpasi : fremitus taktil meningkat/menurun
- Perkusi : pekak (jika ada konsolidasi) atau redup
(jika ada efusi pleura)
- Auskultasi : ronkhi basah kasar, suara nafas
bronchial, pleural friction rub

2.2.8 Diagnosis
Diagnosis Pneumonia pada orang dewasa ditegakkan melalui gambaran
klinis yang sesuai dengan gambaran radiologis berupa infiltrate/air bronchogram.3
Gambaran klinis dilihat berdasarkan temuan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan
fisik pasien terlebih dahulu. Kemudian temuan tersebut disesuaikan dengan
pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan.19,20 Pemeriksaan Penunjang yang
dapat mendukung diantaranya, sebagai berikut :

a. Foto Thoraks, menurut pedoman dari infections Disesae Society of America


(IDSA) dan American Thoracic Society (ATS) temuan berupa infiltrate dari
pemeriksaan rontgen dada dengan disesuaikan temuan klinis yang
mendukung, pemeriksaan ini diperlukan dan dianggap sebagai metode terbaik
dalam mendiagnosis pneumonia.17 Pada foto thoraks, pasien dengan
pneumonia didapatkan gambaran infiltrate yang bervariasi, konsolidasi lobus,
atau kavitas dengan gambaran air-fluid levels suggestive proses yang lebih

18
parah. Proyeksi pasien yang dibutuhkan dalam penerikasaan adalah
posteroanterior (PA) dan lateral3,5,16,17,21.

Gambar 2.6 Contoh foto thoraks pasien dengan Pneumonia Lobaris Lobus
Media Paru Kanan

Gambar 2.7 Contoh foto thoraks pasien dengan VAP

Gambar 2.8 Contoh foto thoraks pasien dengan Aspiration pneumonia

19
b. CT Scan, dikerjakan jika secara klinis mendukung ke arah pneumonia namun
foto thoraks menunjukkan hasil yang negative3,21
c. Pemeriksaan Laboratorium, pemeriksaan yang dapat dilakukan berupa
pemeriksaan DPL, hitung jenis, LED, glukosa darah, ureum, kreatinin,
AST/SGOT, ALT/SGPT, analisis gas darah, dan elektrolit. Umumnya
terdapat leukositosis (biasanya pda rentang 15.000-30.000/mm3) dengan hasil
hitung jenis menunjukkan shift to the left. Leucopenia juga dapat ditemukan
dengan hasil prognosis yang buruk.3,11,17
d. Mikrobiologi, biasanya dilakukan untuk pasien pneumonia komunitas rawat
jalan, dan bersifat opsional.3,17
e. Penanda biologis, pemeriksaan C-reactive protein (CRP) dan prokalsitonin
(PCT) untuk membantu diagnosis dan menilai prognosis pada pneumonia.
Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan untuk membedakan penyebab
pneumonia berasal dari virus atau bakteri ketika temua klinis dan radiologis
tidak begitu jelas17. Pemeriksaan ini tidak rutin untuk dilakukan.

Pada pneumonia akibat ventilator atau Ventilator Aqcuired Pneumonia


(VAP) evaluasi yang dilakukan sedikit berbeda, pada jenis ini diperlukan bukti
secara radiologi dan mikrobiologi untuk memulai inisiasi pemberian terapi
antimikroba. VAP mesti dicurigai pada pasien yang terpasang ventilator dan
ditemukan dispnea onset baru, saturasi oksigen yang menurun dengan penggunaan
ventilator, demam dengan menggigil atau infiltrate paru onset baru. Pasien dengan
kecurigaan VAP mesti dilakukan pemeriksaan foto thoraks (atau CT Scan jika
foto thoraks tidak dapat disimpulkan). Pemeriksaan lainnya berupa broncho-
alveolar lavage (BAL) atau bronkoskopi BAL atau protected specimen brush
(PSB) untuk mengidentifikasi mikroorganisme penyebab. Ketika diagnosis
terkonfirmasi, inisiasi terapi antimikroba dapat dimulai.11,17

2.2.9 Diagnosis Banding


Diagnosis banding pneumonia diantaranya sebagai berikut1,3,11,16,17 :

20
1) Bronkitis akut, adalah suatu peradangan pada bronkus (saluran
udara ke paru-paru). Gejala yang dapat timbul biasanya tidak
sesak, tidak ada ditemukan ronkhi basah kasar pada pemeriksaan
fisik, presentasi ringan, sering berkaitan dengan infeksi virus
saluran napas atas dan akhirnya akan sembuh sempurna. Pada
pemeriksaan penunjang berupa foto thoraks tidak ditemukan
gamabaran konsolidasi.
2) Gagal Jantung Kongestif, adalah sindrom klinis kompleks yang
disebabkan gangguan structural maupun fungsional pengisian
ataupun ejeksi ventrikel. Akibatnya, jantung tidak mampu
menyuplai oksigen yang dibutuhkan jaringan. Pada pemeriksaan
fisik dan penunjang ditemukan edema perifer, kardiomegali, dan
hipotensi.
3) Eksaserbasi PPOK. PPOK adalah suatu penyumbatan menetap
pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh emfisema atau
bronchitis kronis. PPOK lebih sering menyerang laki-laki dan biasa
pada perokok atau yang memiliki risiko terpapar asap berbahaya
dan sering berakibat fatal. Gejala yang timbul dapat berupa
peningkatan dahak, batuk, dan sesak pada pasien dengan latar
belakang PPOK. Pada pemeriksaan penunjang seperti foto polos
menunjukkan adanya gambaran hiperinflasi.
4) Tuberkulosis (TB), suatu penyakit disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium Tuberculosis yang menular. Jalur masuk pathogen
melalui saluran pernafasan, saluran pencernaan. Biasanya bersifat
kronis dengan gejala konstitusional (gejala klinis TB seperti batuk
produktif lama dengan durasi >2 minggu, nyeri dada, hemoptisis,
dan gejala sistemik seperti demam, menggigil, keringat malam,
lemas, hilang nafsu makan, dan penurunan berat badan), terdapat
riwayat kontak dengan pasien TB dan pada pemeriksaan penunjang
berupa foto polos dapat ditemukan gambaran kavitas.

21
5) Atelektasis, istilah yang dapat diartikan sebagai pengembangan
paru yang tidak sempurna dan menyiratkan arti bahwa alveolus
pada bagian paru yang terserang tidak mengandung udara dan
kolaps.
6) Asma Bronkhiale, penyakit yang ditandai dengan penyempitan
saluran pernafasan, sehingga gejala yang sering timbul berupa
keluhan sesak nafas/kesulitan bernafas.

2.2.10 Tatalaksana
Penatalaksanaan pada pneumonia komunitas awalnya dimulai dengan
stratifikasi risiko awal dan penentuan apakah pasien dilakukan pengobatan secara
rawat jalan, rawat inap bukan ICU, atau di ICU. Dapat digunakan Skala ―CURB-
65‖ atau PSI untuk menentukan keputusan tersebut. Skor PSI memiliki 20
variabel yang harus dinilai, termasuk diantaranya usia, penyakit penyerta, dan
temuan abnormal dari pemeriksaan fisik dan laboratorium. Pada skala CURB-65
terdapat lima variable yang harus dinilai (tabel 2.3)3–5,16.

Tabel 2.3 Tabel CURB-65

Confussion/bingung: berdasarkan pemeriksaan mental spesifik atau


disorientasi orang, waktu dan tempat.
Uremia : BUN>7 mmol/L (20 mg/dL)
Respiratory rate/frekuensi nafas ≥ 30 kali/menit
Low blood pressure/tekanan darah rendah : sistolik < 90 mmHg atau
diastolic ≤ 60 mmHg
Usia ≥ 65 tahun

Interpretasi :

- Skor CURB-65 0-1 dan Skor PSI kelas risiko I dan II: dilakukan rawat
jalan.

22
- Skor CURB-65 ≥ 2 atau Skor PSI kelas risiko II-IV : dilakukan rawat inap,
dengan CURB-65 sejumlah 2 di rawat di ruang rawat inap biasa,
sementara CURB-65 ≥ 3 biasanya membutuhkan ICU.

Terapi awal yang dapat dilakukan berupa peberian oksigen, antipiretik,


dan antibiotic empiric berdasarkan epidemiologi, kemudian disesuaikan dengan
hasil kultur. Lamanya waktu pemberian terapi umumnya selama 7 – 10 hari,
minimal pemberian selama 5 hari dengan periode bebas demam selama 48 – 72
jam. Pada infeksi tertentu, seperti M. Pneumonia dan C. Pneumonia¸antibiotik
diberikan selama 10 – 14 hari. Pasien pneumonia dengan terapi steroid jangka
panjang, antibiotic yang diberikan selama 14 hari atau lebih.3,16,19,20,22

Tabel 2.4 Rekomendasi pemberian antibiotik pada pneumonia komunitas

Ruang perawatan Kelompok Terapi


Rawat jalan Sebelumnya sehat dan Makrolid, seperti :
tidak menggunakan - Azitromisin : 500
terapi antimicrobial mg pada hari
selama 3 bulan terakhir pertama diikuti
250 mg/ hari
selama 4 hari
- Klaritomisin 2 x
500 mg selama 5
hari, atau

Golongan beta laktam,


dapat ditambah anti beta
laktamase, atau

Doksisiklin per oral 2 x


100 mg
Dengan komorbiditas Fluorokuinolon respirasi

23
seperti penyakit jantung (levofloksasin 750 mg,
kronik, penyakit paru, moksifloksasin), atau
liver, DM, keganasan,
atau menggunakan obat Beta laktam ditambah
antimicrobial dalam 3 makrolida
bulan terakhir - Amoksisilin dosis
tinggi 3x1 gram/
hari, atau
amoksisilin-
klavulanat 2x2
gram/hari;
alternatifnya antara
lain seftriakson,
sefpodoksim
2x200 mg atau
sefuroksim 2x500
mg.
- Makrolida
azitromisin atau
klaritomisin;
doksisiklin dapat
diberikan sebagai
alternative
makrolida
Berada di daerah dengan Dapat menggunakan
tingkat infeksi tinggi terapi alternative untuk
(25%) dengan tingkat semua pasien, termasuk
streptococcus pneumonia pasien yang tidak
resisten makrolida yang memiliki komorbiditas.
tinggi (MIC ≥ 16 ug/ml)

24
Rawat inap non-ICU Florokuinolon respirasi (levofloksasin IV 750 mg/hari,
moksifloksasin IV 400 mg/hari), atau

Beta laktam ditambah makrolid


- Seftriakson IV 1 – 2 g/hari, sefotaksim IV 1 –
2 g/hari, ampisilin-sulbaktam IV 1,5 – 3
gram/6 jam
- Azitromisin (IV/PO 500 mg/hari) atau
klaritomisin
Rawat inap ICU Beta laktam (sefotaksim, seftriakson, atau ampisilin-
sulbaktam) ditambah makrolid (azitromisin) atau
fluorokuinolon respirasi intravena seperti
levofloksasin atau moksifloksasin
Perhatian khusus Jika dicurigai adanya Antipneumokokal,
pseudomonas antipseudomonas beta
laktam
- Piperasilin-
tazobaktam (IV
4,5 gram/6 jam)
- Sefepim (IV 2
gram/8 jam)
- Imipenem (IV 500
mg/6 jam)
- Meropenem (IV 1
gram/8 jam)
Ditambah levofloksasin
750 mg atau
siprofloksasin 400 mg/8
jam

25
Beta laktam di atas
ditambah aminoglikosida
dan azitromisin, atau

Beta laktam diatas


ditambah aminoglikosida
dan fluorokuinolon
antipneumokokal (untuk
alergi penisilin, beta
laktam diganti dengan
aztreonam)
Jika dicurigai adanya Tambahkan vankomisin
CA-MRSA IV 15 mg/kg/ 12 jam atau
linezolid IV 600 mg/12
jam

Edukasi yang dapat diberikan berupa menghentikan kebiasaan merokok,


etika batuk, serta vaksinasi pneumococcus dan influenza dapat digunakan sebagai
terapi pencegahan.3,20,22

Kriteria Rujukan :

Rujukan ke ahli respirologi dilakukan jika skor CURB-65 ≥ 2, saturasi


oksigen ≤ 92%, memiliki komorbiditas yang signifikan, dan pasien dengan
pneumonia berat3.

2.2.11 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan pneumonia diantaranya,
sebagai berikut 3,17 :

- Sepsis
- Abses paru

26
- Disfungsi multiorgan
- Pneumonia ekstrapulmonal, 10% kasus terjadi meningitis, arthritis,
endokarditis, perikarditis, peritonitis, atau empiema
- Gagal jantung, insidens pada pasien pneumonia komunitas rawat inap
adalah 14,1%
- Efusi pleura, terjadi pada 57% pasien yang di rawat inap akibat pneumonia
dan 2-12% pasien anak dengan pneumonia
- Acute respiratory distress syndrome dan sampai gagal nafas
- Pneumothoraks, terjadi pada 1% pasien anak dengan penumonia

2.2.12 Prognosis
Prognosis ditentukan oleh 3 faktor utama, yaitu usia pasien, kesehatan
secara umum (ada tidaknya komorbiditas), dan setting terapi antibiotic. Laju
mortalitas pada pasien rawat jalan adalah <1% sementara pasien rawat inap
bervariasi dari 5-15 %, meningkat menjadi 20-50% pada pasien ICU.3 Secara
umum, prognosis pada pneumonia yang dapat tertangani dengan baik berdasarkan
quo ad vitam, quo ad functionam dan quo ad sanationam adalah dubia ad
bonam.4,5,16

27
BAB 3
KESIMPULAN

Pneumonia merupakan infeksi yang terjadi pada saluran nafas bagian


bawah yaitu pada parenkim paru. Berdasarkan definisinya, pneumonia adalah
peradangan akut parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup
bronkiolus respiratorius, yang menimbulkan konsolidasi paru yang terkena dan
pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin.

Penegakkan diagnosis pada pneumonia dewasa dilakukan berdasarkan


tanda dan gejala klinis yang dapat ditemukan, disesuaikan dengan temuan dari
pemeriksaan penunjang berupa foto thoraks. Penatalaksanaan pneumonia didasari
dari kondisi emergensi pada pasien terlebih dahulu, dengan menilai kemungkinan
perawatan dan pemantauan yang lebih pada pasien dengan pneumonia. Tata
laksana awal yang dapat dilakukan pada prinsipnya diawali dengan pemberian
oksigen sesuai dengan kebutuhan pasien, antipiretik, dan antibiotic empiric
berdasarkan epidemiologi, yang kemudian disesuaikan dengan hasil kultur.

Selain itu, kompetensi dokter umum pada pneumonia merupakan


kompetensi 4. Pengetahuan lebih terhadap definisi, patofisiologi, faktor risiko,
gejala, tanda, pemeriksaan penunjang, tata laksana, dan kompilasi secara
komprehensif wajib untuk di pahami dengan tuntas.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Damayanti K, Ryusuke O. Pneumonia.; 2017.


https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/f331a8a1e4135790
27127d4509a339e5.pdf
2. Mizgerd JP. Acute Lower Respiratory Tract Infection. N Engl J Med.
2008;358(7):716-727. doi:10.1056/nejmra074111
3. Liwang F, Yuswar patria w., Wijaya E, Sanjaya nadira p. Pneumonia. In:
Kapita Selekta. V. Media Aesculapius; 2020:434-439.
4. Departemen lmu penyakit dalam. Panduan Praktik Klinik Departemen
Penyakit Dalam. RSUP dr. Moh Hoesin; 2017.
5. PAPDI. Panduan Praktik Klinis. (Alwi I, Salim S, Hidayat R, Juferdy K,
Tahapary DL, eds.). InternaPublishing; 2019.
6. A M. Management of lower respiratory tract infection in outpatient
settings: Focus on clarithyromycin. Lung India. 2018;35(2):143-149.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5846264/
7. NF M, RW S. Bronchiolitis. Medscape. Published online 2018.
https://emedicine.medscape.com/article/961963-overview
8. C T, BF B, IA K, et al. Estimates of the global, regional, and national
morbidity, mortality, and aetiologies of lower respiratory infections in 195
countries, 1990-2016: a systematic analysis for the Global Burden of
Disease Study 2016. Lancet Infect Dis. 2018;18:1191-1210.
https://www.thelancet.com/pdfs/journals/laninf/PIIS1473-3099(18)30310-
4.pdf
9. Godbole G G V. Respiratory tract infections in the immunocompromised.
Curr Opin Pulm Med. 2013;19(3):244-250.
10. Kemenkes RI. Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018. Kementrian
Kesehat RI. 2018;53(9):1689-1699.
11. Lim WS. Pneumonia—Overview. Encycl Respir Med. 2022;(January):185-
197. doi:10.1016/b978-0-12-801238-3.11636-8
12. Mayoclinic. Pneumonia. 余东华 张鑫宇 孙 婷.
13. KKI. Standar Pendidikan Profesi Dokter Indonesia. Kons Kedokt Indones.
Published online 2019:169.
14. Schlesinger RB. Defense The Mechanisms of Respiratory System.
2014;32(1):45-50.
15. Paramita DV, Juniati SH. Fisiologi Dan Fungsi Mukosiliar Bronkus. J
THT. 2016;9(2):64-73.
16. Setia S, Alwi I, Sudoyo A, Dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I.;
2014.
17. Jain V, Vashisht; R, Yilmaz; G, Bhardwaj. A. Pneumonia Pathology.
statpearls ncbi. Published 2022.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526116/
18. Cillóniz C, Liapikou A, Ceccato A, Torres A. Risk factors for community-
acquired pneumonia in adults. Minerva Pneumol. 2017;56(3):206-216.

29
doi:10.23736/S0026-4954.17.01797-7
19. NICE. Pneumonia in adults: diagnosis and management. Nice.
2018;(December 2014):1-18. http://www.nice.org.uk/guidance/cg191
20. Arlini, Yunita. Diagnosis Community Aquired Pneumonia (CAP) dan
Tatalaksana Terkini. Bagian Pulmunologi dan Kedokt Respirasi Fak
Kedokt Univ Syiah Kuala. Published online 2015:86-97.
21. David L. Pneumonia. Radiopedia. Published 2021.
https://radiopaedia.org/articles/pneumonia
22. Joseph, R. Dalovisio M. Overview of Lower Respiratory Tract Infections:
Diagnosis and Treatment. autumn 2002. 2002;4(4):227-233.

30

Anda mungkin juga menyukai