Anda di halaman 1dari 27

Case Report Session

BLEFAROKERATOKONJUNGTIVITIS

Disusun Oleh:

Randi Fersnandy 1210313074


Heniszayanti Nabiladhiya Asrialdi 1740312218
Devi Miranda 1310312022

Preseptor :

dr. Fitratul Ilahi, Sp.M

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2018
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................. 1
1.2 Batasan Masalah................................................................................................ 2
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................... 2
1.4 Metode Penulisan.............................................................................................. 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 3
2.1 Anatomi..............................................................................................................3
2.2 Definisi.............................................................................................................. 10
2.3 Epidemiologi..................................................................................................... 10
2.4 Etiologi dan Patofisiologi.................................................................................. 11
2.5 Manifestasi Klinis.............................................................................................
2.6 Diagnosis...........................................................................................................
2.7 Diagnosis Banding.............................................................................................
2.8 Tatalaksana........................................................................................................
2.9 Komplikasi.....................................................................................................
2.10 Prognosis........................................................................................................
BAB III LAPORAN KASUS...............................................................................
BAB 1V ANALISIS KASUS...............................................................................
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Blefarokeratokonjungtivitis (BKC) adalah penyakit inflamasi kronik yang

melibatkan margo palpebra dengan komplikasi sekunder pada konjungtiva dan

kornea. BKC dapat terjadi pada orang dewasa maupun anak-anak, dan lebih sering

terjadi pada wanita. Penyakit ini disebabkan oleh blefaritis yang menginduksi

terjadinya meibomitis dari perkembangan bakteri yang berlebih. Enzim lipolitik yang

diproduksi oleh bakteri mengubah produksi meibom, menyebabkan sekresi lipid

abnormal masuk ke kelenjar air mata dan mengurangi integritas epitel kornea. Karena

margo palpebra sering bergerak menyentuh permukaan kornea saat mengedip,

penyebaran iritasi mudah terjadi.1,2

Diagnosis yang tepat dari blefarokeratokonjungtivitis sangat penting untuk

menghindari kerusakan parah dari kornea yang dapat memperburuk penglihatan.

Dalam mendiagnosis BKC, diperlukan fitur berupa episode berulang dari mata merah

kronis, mata berair, fotofobia, blepharitis termasuk berulangnya kista atau

meibomian, dan keratitis. Gejala klinis biasanya terdiri dari kelopak mata yang

meradang, telangiektasia pada kelopak mata anterior, dan akumulasi sisik keras,

fibrinous, dan krusta di sekitar pangkal silia. Pada kasus kronis, sering dijumpai

ulserasi, torehan pada kelopak mata (tilosis), penipisan atau madarosis, dan trikiasis.

Perubahan konjungtiva dalam kasus lama yaitu termasuk hipertrofi papiler dan folikel

derajat ringan sampai sedang dari konjungtiva palpebra. Pada eksaserbasi akut, dapat

terjadi keterlibatan kornea inferior seperti erosi epitel pungtata, infiltrat marginal, dan
abses marginal steril. Inflamasi kornea juga akan menginduksi refleks robekan, gatal,

sensasi benda asing, terbakar dan fotofobia.2,3,4

Tatalaksana yang direkomendasikan untuk BKC adalah pengeliminasian

bakteri pada margo palpebra dan mengatasi reaksi inflamasi yang menyumbat

kelenjar meibom. Kompres hangat yang berulang dan pembersihan margo palpebra

dilakukan untuk mengembalikan fungsi kelenjar meibom. Antibiotik topikal

diberikan untuk membersihkan margo palpebra dan konjungtiva dari bakteri. Untuk

mengatasi inflamasi pada permukaan mata, imunosupresan topikal dan lubrikan

digunakan untuk mengurangi dan mendilusi mediator inflamasi pada tear film. Terapi

medikamentosa dengan mengkombinasikan steroid dan antibiotik telah terbukti

efektif dalam mengurangi inflamasi pada mata akibat blefarokeratokonjungtivitis.4

1.2 Batasan Masalah

Batasan penulisan ini membahas mengenai definisi, epidemiologi, etiologi,

patofisiologi, gambaran klinis, penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis dari

blefarokeratokonjungtivitis.

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan penulisan mengenai

blefarokeratokonjungtivitis.

1.4 Metode Penulisan

Penulisan ini menggunakan metode penulisan tinjauan kepustakaan merujuk

pada berbagai literatur.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Palpebra, Konjungtiva, dan Kornea

2.1.1 Anatomi Palpebra

Palpebra adalah lipatan tipis yang terdiri atas kulit, otot, dan jaringan fibrosa,

yang berfungsi melindungi strukturstruktur mata yang rentan. Palpebra sangat mudah

digerakkan karena kulitnya paling tipis di antara kulit di bagian tubuh lain. Di

palpebra terdapat rambut halus, yang hanya tampak dengan pembesaran. Di bawah

kulit terdapat jaringan areolar longgar yang bisa mengembang pada edema masif.

Musculus orbicularis oculi melekat pada kulit. Permukaan dalamnya dipersarafi

nervus cranialis facialis (VII), dan fungsinya adalah untuk menutup palpebra. Otot ini

terbagi atas bagian orbital, praseptal, dan pratarsal. Bagian orbital, yang terutama

berfungsi untuk menutup mata dengan kuat, adalah suatu otot sirkular tanpa insersio

temporal. Otot praseptal dan pratarsal memiliki caput medial superfisial dan

profundus yang berperan dalam pemompaan air mata.5

Pada Gambar 2.1, terlihat area sekitar bola mata beserta palpebra. Tepian

palpebra ditunjang oleh tarsus, yaitu lempeng fibrosa kaku yang dihubungkan ke

tepian orbita oleh tendo-tendo kantus medialis dan lateralis. Septum orbitale, yang

berasal dari tepian orbita, melekat pada aponeurosis levatoris, kemudian menyatu

dengan tarsus. Pada palpebra inferior, septum bergabung dengan tepi bawah tarsus.

Septum merupakan sawar yang penting antara palpebra dan orbita. Di belakangnya

terletak bantalan lemak praaponeurotik, suatu petunjuk bedah yang penting. Bantalan
lemak tambahan terletak di medial palpebra superior. Di bawah septum orbitale,

palpebra inferior memiliki dua bantalan lemak yang terpisah secara anatomis.5

Gambar 2.1 Area sekitar bola mata.6

Terbenam di dalam lemak terdapat kompleks otot levator - retraktor utama

palpebra superior - dan padanannya, fasia kapsulopalpebra di palpebra inferior. Otot

levator berorigo di apeks orbita. Saat memasuki palpebra, otot ini membentuk

aponeurosis yang melekat pada sepertiga bawah tarsus superior. Pada palpebra

inferior, fasia kapsulopalpebra berasal dari musculus rectus inferior dan berinsersio

pada batas bawah tarsus. Otot ini berfungsi menarik palpebra inferior saat melihat ke

bawah. Musculus tarsalis superior dan inferior membentuk lapisan berikutnya, yang
melekat pada konjungtiva. Otot-otot simpatis ini juga merupakan retraktor palpebra.

Konjungtiva melapisi permukaan dalam palpebra. Konjungtiva palpebralis menyatu

dengan konjungtiva yang berasal dari bola mata dan mengandung kelenjar-kelenjar

yang penting untuk pelumasan kornea.5

Palpebra superior lebih besar dan lebih mudah digerakkan daripada palpebra

inferior. Sebuah alur yang dalam, biasanya terdapat di posisi tengah palpebra superior

bangsa kulit puti[ merupakan tempat melekatnya seratserat otot levator. Alur ini jauh

lebih dangkal atau bahkan tidak ada pada palpebra orang Asia. Dengan meningkatnya

usia, kulit tipis palpebra superior cenderung menggantung di atas alur palpebra

tersebut dan bisa sampai menyentuh bulu mata. Penuaan juga menipiskan septum

orbitale sehingga terlihat bantalan lemak di bawahnya. Kantus lateralis terletak 1-2

mm lebih tinggi dari kantus medialis. Karena longgarnya insersio tendo ke tepian

orbita, kantus lateralis akan sedikit naik saat melihat ke atas.5

Gambar 2.2 Palpebra superior.6


Pada Gambar 2.2, terlihat penampang palpebra superior. Kelopak mata dapat

dibagi menjadi lamina luar dan dalam. Lamina luar terdiri dari lapisan M. orbicularis

oculi dengan Pars palpebralisnya. Lamina dalam terdiri dari konjungtiva (Tunika

konjungtiva palpebra) dengan kelenjar Meibom yang terintegrasi (Glandula tarsalis,

kelenjar sebasea yang termodifikasi) dan di dekat pinggiran kelopak mata, terdapat

serat otot yang terderivasi dari Pars orbitalis M. orbitalis oculi yang terproyeksikan ke

dalam tarsus.6

2.1.2 Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang

membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan

permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan

kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di

limbus.5

Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan

melekat eral ke tarsus. Di tepi supedor dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke

posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera

menjadi konjungtiva bulbaris.5

Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan

melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak

dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. (Duktus-duktus kelenjar

lakrimal bermuara ke forniks temporal superior.) Konjungtiva bulbaris melekat

longgar pada kapsul tenon dan sklera di bawahnya, kecuali di limbus (tempat kapsul

Tenon dan konjungtiva menyatu sepanjang 3 mm).5


Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal, lunak, dan mudah bergerak (plica

semilunaris) terletak di kantus internus dan merupakan selaput pembentuk kelopak

mata dalam pada beberapa hewan kelas rendah. Struktur epidermoid kecil semacam

daging (caruncula) menempel secara superfisial ke bagian dalam plica semilunaris

dan merupakan zona transisi yang mengandung baik elemen kulit maupun membran

mukosa.5

Lapisan epitel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima lapisan sel epitel

silindris bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus,

di atas caruncula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata

terdiri atas sel-sel epitel skuamosa bertingkat. Sel-sel epitel superfisial mengandung

sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk

mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata

prakornea secara merata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-

sel superfisial dan di dekat lirnbus dapat mengandung pigmen.5

Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial) dan'satu

lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di

beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum

germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2

atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada neonatus

bersifat papllar bukan folikular dan mengapa kemudian menjadi folikular. Lapisan

fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini

menjelaskan gambaran reaksi papilar pada radang konjungtiva. Lapisan fibrosa

tersusun longgar pada bola mata.5


Kelenjar lakrimal aksesorius (kelenjar Krause dan Wolfring), yang struktur dan

fungsinya mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar

Krause berada di forniks atas, sisanya ada di forniks bawah. Kelenjar Wolfring

terletak di tepi atas tarsus atas.5

2.1.3 Anatomi Kornea

Kornea, yang merupakan membran transparan, tersisipkan ke dalam sklera pada

limbus, dengan lekukan melingkar pada sambungannya (sulcus scleralis). Kornea

dewasa rata-rata mempunyai tebal 550 pm di pusat, diameter horizontal sekitar 11,75

mm dan vertikalnya 10,6 mm. Dari anterior ke posterior, kornea mempunyai lima

lapisan yang berbeda-beda, yaitu lapisan epitel (yang berbatasan dengan lapisan epitel

konjungtiva bulbaris), lapisan Bowman, stroma, membran Descemet, dan lapisan

endotel. Lapisan-lapisan ini dapat terlihat pada Gambar 2.3.5

Gambar 2.3 Potongan transversal kornea.


Lapisan epitel mempunyai lima atau enam lapis sel. Lapisan Bowman

merupakan lapisan jernih aselular, yang merupakan bagian stroma yang berubah.

Stroma kornea menyusun sekitar 90% ketebalan kornea. Bagian ini tersusun atas

jalinein lamella serat-serat kolagen dengan lebar sekitar 10-250 pm dan tinggi 1-2 pm

yang mencakup hampir seluruh diameter kornea. Lamella ini berjalan sejajar dengan

permukaan kornea, dan karena ukuran dan kerapatannya menjadi jernih secara optis.

Lamella terletak di dalam suatu zat dasar proteoglikan terhidrasi bersama keratosit

yang menghasilkan kolagen dan zat dasar.5

Membran Descemet, yang merupakan lamina basalis endotel kornea, memiliki

tampilan yang homogen dengan rnikroskop cahaya tetapi tampak berlapis-lapis

dengan mikroskop elektron akibat perbedaan struktur antara bagian pra- dan

pascanasalnya. Saat lahir, tebalnya sekitar 3 pm dan terus menebal selama hidup,

mencapai 10-12 pm. Endotel hanya memiliki satu lapis sel, tetapi lapisan ini berperan

besar dalam mempertahankan deturgesensi stroma kornea. Endotel kornea cukup

rentan terhadap trauma dan kehilangafl sel-selnya seiring dengan penuaan. Reparasi

endotel terjadi hanya dalam wujud pembesaran dan pergeseran sel-sel, dengan sedikit

pembelahan sel. Kegagalan fungsi endotel akan menimbulkan edema kornea.5

Sumber-sumber nutrisi untuk kornea adalah pembuluh-pembuluh darah limbus,

humor aqueous, dan air mata. Kornea superfisial juga mendapatkan sebagian besar

oksigen dari atmosfer. Saraf-saraf sensorik kornea didapat dari cabang pertama (V1,

ophthalmicus) nervus kranialis V (trigeminus). Transparansi kornea disebabkan oleh

strukturnya yang seragam, avaskularitas, dan deturgensinya.5

2.2 Definisi Blefarokeratokonjungtivitis


Blepharokeratoconjunctivitis (BKC) adalah penyakit inflamasi kronis dari

palpebra dengan keterlibatan konjungtiva dan kornea sekunder yang mempengaruhi

populasi pediatrik. Presentasi penyakit menunjukkan spektrum klinis yang luas.

Nama-nama seperti staphylococcal blepharitis, non-tuberculous, atau penyakit

phyctenular staphylococcal, rosacea anak, dan blepharokeratitis semuanya telah

digunakan untuk menggambarkan gangguan ini.3

Penyakit ini berhubungan dengan blepharitis anterior atau posterior dan

biasanya terjadi pada pasien muda. Beberapa peneliti yang telah menekankan

pentingnya blepharitis posterior (meibomitis) dengan BKC, juga menamakannya

sebagai meibomitis-related keratoconjunctivitis (MRKC). Keratopati yang terjadi

termasuk erosi pungtata, phlyctenules, keratitis marginal, ulserasi kornea dan

perforasi. BKC sering salah didiagnosis dalam praktek klinis, dan pasien mungkin

menderita gangguan penglihatan yang signifikan sebagai konsekuensinya.7

2.3 Epidemiologi Blefarokeratokonjungtivitis

Blefarokeratokonjungtivitis dapat terjadi pada orang dewasa maupun anak-

anak. BKC tidak jarang pada pasien yang menderita blepharitis, dengan berbagai

karakteristik klinis. Pasien wanita dan anak-anak dengan blepharitis lebih rentan

terhadap BKC.8

Sebuah penelitian oleh Zhang et al. di Beijing pada tahun 2016 menemukan

sebanyak 172 pasien dengan BKC pada sebanyak 1.875 pasien dengan blefaritis.

Rentang usia pasien adalah 2 sampai 78 tahun, dengan 71,5% berjenis kelamin

wanita. Tidak ada perbedaan derajat yang signifikan pada pasien berjenis kelamin
wanita maupun pria. Dari 105 pasien BKC yang memiliki catatan foto, 73,4% dari

pasien mengalami kelainan bilateral. Tingkat kekambuhan adalah sebesar 9,2%.8

Di klinik mata anak, BKC adalah diagnosis umum dan diperkirakan menjadi

alasan rujukan dalam 12% hingga 15% kasus. Anak-anak keturunan Asia mungkin

lebih sering terkena. Dalam serangkaian kasus UK dari 44 anak, 50% adalah

keturunan India atau Sri Lanka, 45,5% berkulit putih dan 4,5% berasal dari Timur

Tengah; dalam seri kasus Inggris lain dari 27 anak-anak, 63% berkulit putih, 30%

berasal dari India atau Pakistan, 4% berasal dari Timur Tengah dan 4% berasal dari

Cina. Usia onset adalah pada anak usia dini, dan studi kasus seri melaporkan usia

rata-rata onset 3,2 hingga 4,5 tahun, dengan kisaran lima bulan hingga 13 tahun. Usia

awitan muda berarti bahwa anak-anak berisiko mengalami ambliopia sekunder karena

otak tidak belajar cara memproses informasi visual resolusi tinggi. Penyakit dengan

fenotip yang sangat berat, pemanjangan durasi kondisi hingga dewasa, asosiasi

sistemik seperti rosacea dan risiko tinggi komplikasi kornea, seperti penipisan,

vaskularisasi dan perforasi telah diamati terdapat pada sebagian proporsi pasien kulit

putih.9

2.4 Etiologi dan Patofisiologi Blefarokeratokonjungtivitis

Patogenesis dari penyakit ini tidak jelas, tetapi banyak peneliti mengkaitkan

BKC dengan kolonisasi awal bakteri Staphylococcus aureus pada kulit dan membran

mukosa, termasuk mukosa mulut dan hidung, konjungtiva, dan kelopak mata dengan

koagulase negatif. Kerentanan kekebalan genetik dari pasien yang terkena,

pengembangan respon hipersensitivitas, terutama tipe IV (mediasi sel tertunda)

terhadap antigen dari dinding seluler (protein-A dan asam teichoic, seperti ribitol),
dan juga racun dan aksi langsung dari eksotoxin staphylococcal (alfa, beta, dan

gamma-hemolysins) pada permukaan okular, semuanya juga terlibat dalam

perkembangan penyakit ini.3

Penelitian sebelumnya telah melaporkan tingkat yang lebih tinggi dari

penyakit kelopak mata posterior (74,2-100%) dibandingkan tingkat penyakit margo

palpebra anterior (22-50%) pada pasien dengan BKC. Selain itu, perawatan khusus

BKC termasuk kebersihan tutupan yang penting dan antibiotik topikal maupun oral,

yang ditujukan untuk memperbaiki kondisi peradangan kelenjar meibom. Oleh karena

itu, pemantauan kondisi kelenjar meibom penting bagi pasien dengan BKC.7

Kelenjar meibom, terletak di kelopak mata, mengeluarkan lapisan lipid dan

protein yang melindungi film air mata terhadap penguapan; disfungsi kelenjar ini

dapat menghasilkan sensasi kering atau berpasir. Banyak yang telah disarankan

tentang mekanisme yang mendasari disfungsi kelenjar meibom dan bagaimana

mengelolanya, terutama pada orang dewasa. BKC diduga disebabkan oleh blefaritis

yang menginduksi terjadinya meibomitis dari perkembangan bakteri yang berlebih.

Enzim lipolitik yang diproduksi oleh bakteri mengubah produksi meibom,

menyebabkan sekresi lipid abnormal masuk ke kelenjar air mata dan mengurangi

integritas epitel kornea. Karena margo palpebra sering bergerak menyentuh

permukaan kornea saat mengedip, penyebaran iritasi mudah terjadi.2,9

2.5 Manifestasi Klinis

Pada pasien dengan blefarokeratokonjungtivitis, penyakit dapat berjalan akut

maupun kronik. Gejala klinis awal biasanya berupa gejala blefaritis, seperti mata

yang berair10, adanya pus atau kemerahan dan krusta pada palpebra11. Apabila sudah
terdapat keterlibatan konjungtiva dan kornea, injeksi konjungtiva dan sklera dapat

muncul. Selain itu penurunan lapang pandang juga dapat menjadi salah satu keluhan

pasien.12

Munculnya telangiectasia, koleret, dan ulkus juga dapat terjadi pada kasus

blefarokeratokonjungtivitis yang lanjut. Masa eksaserbasi akut pada pasien dapat

ditandai dengan adanya keterlibatan kornea yang lebih lanjut, seperti erosi epitel

pungtata, infiltrate marginal, dan abses marginal steril.2

2.6 Diagnosis

Diagnosis dari blefarokeratokonjungtivitis dapat ditegakkan dari anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lain yang dilakukan sesuai dengan

indikasi.

a. Anamnesis

Dari anamnesis saja, pasien datang dengan berbagai macam keluhan, terutama

adanya pus pada palpebra, atau iritasi dan kemerahan serta rasa nyeri pada kelopak

mata.11,13 Pasien juga akan mengeluhkan mata yang merah serta gangguan lapang

pandang karena sudah ada keterlibatan kornea.11,12,13 Pada blefarokonjungtivitis yang

disebabkan oleh virus, pasien dapat mengeluhkan mata berair.10

b. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang

Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan kelainan pada palpebra, konjungtiva,

dan kornea. Pada palpebra, dapat ditemukan tanda-tanda blefaritis seperti kelainan

posisi palpebra (entropion atau ektropion), madarosis atau trikiasis, ulkus, tanda-
tanda inflamasi14 serta adanya pus yang purulent11,13. Dapat ditemukan tanda-tanda

konjungtivitis seperti injeksi konjungtiva dan mata merah. Selain itu, dapat pula

ditemukan infiltrate pada kornea.13

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah swab palpebra.2

Pewarnaan konjungtiva dan kornea dengan lisamin hijau, rose Bengal, atau

fluoeresein juga dapat dilakukan untuk membantu menentukan kemungkinan kira-

kira penyebab dari penyakit.13 Selain itu, pemeriksaan kultur, slit lamp dan

pemeriksaan tekanan intraocular juga dianjurkan.14

2.7 Diagnosis Banding

1. Ocular Rosacea

Penyakit ini cukup sering luput dari diagnosis, dan sering dialami oleh pasien

dengan usia tua. Gejala yang paling sering ditemui adalah mata merah dan

blefarokonjungtivitis yang berulang. Diagnosisnya cukup sulit untuk ditegakkan, dan

biasanya dapat dilihat dari keterlibatan ocular yang dominan. Untuk terapinya dapat

diberikan doksisiklin.15,16

2.8 Penatalaksanaan

Tujuan dari terapi pada blefarokeratokonjungtivitis adalah terapi awal pada

infeksi, mengembalikan keseimbangan flora normal pada ocular dan periocular11,

serta peningkatan dari kebersihan palpebra.12

1. Membersihkan debris dan krusta yang terdapat di palpebra menggunakan

cotton bud yang telah direndam dengan larutan bicarbonate, sampo bayi,

atau air hangat. 2,11


2. Antibiotic topikal, seperti kloramfenikol tetes mata yang diberikan 4 kali

sehari, atau kloramfenikol oles yang dioleskan setiap malam selama 1

bulan.2,14

3. Pemberian eritromisin topikal atau azitromisin topical. 2,11

4. Pada kasus yang lebih berat, pemberian eritromisin sistemik dengan dosis

30 – 40 mg/kg juga dianjurkan, dimana dosis pada 3 minggu awal dibagi

menjadi 3 kali sehari, dan dilanjutkan 2 kali sehari selama 4 – 6 minggu.2

5. Kortikosteroid topikal atau siklosporin dapat diberikan untuk mengontrol

inflamasi pada konjungtiva dan keratitis (ppp blefaritis; bkc in children).

Dianjurkan pemberian prednisolone 0,3% - 0,5% atau fluorometholon

0,1% yang diberikan 4 kali sehari selama 4 – 6 minggu, lalu diturunkan

dosisnya menjadi 1 atau 2 kali sehari selama 2 – 3 bulan.2

6. Pengompresan dengan air hangat juga boleh dilakukan untuk mengurangi

keluhan pada pasien.2,12,14

2.11 Komplikasi

Blefarokeratokonjungtivitis dapat terjadi secara berulang, dan bila tidak

ditangani dengan baik maka pasien dapat mengalami beberapa komplikasi seperti

peningkatan tekanan intraocular yang dapat mengarah pada glaukoma.2 Madarosis

atau trikiasis juga dapat menjadi salah satu komplikasi pada

blefarokeratokonjungtivitis apabila sudah lanjut dan berat13, serta terdapat pula

peningkatan resiko terhadap ulkus kornea karena infeksi yang berat yang juga dapat

mengarah ke hilangnya penglihatan pasien bila dibiarkan. 10,13


2.12 Prognosis

Prognosis pada pasien dengan blefarokeratokonjungtivitis dapat dibilang baik

apabila pasien menjaga kebersihan dari palpebranya karena penyakit ini rentan
2,12
berulang terutama apabila palpebranya tidak bersih. Selain itu, selama

keterlibatan ocular dan gangguan lapang pandang minimal dan dapat dikoreksi,

pasien dapat kembali memiliki visus yang sempurna.11,12,14


BAB III

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

- Nama : Ny. N

- No. RM :

- Jenis Kelamin : Perempuan

- Usia :

- Alamat :

- Pekerjaan :

- Tanggal Pemeriksaan :

Anamnesa

Keluhan Utama:

Riwayat Penyakit Sekarang:

Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat Penyakit Keluarga:

Pemeriksaan Fisik:

- Keadaan Umum :

- Tekanan darah :
- Frekuensi Nadi :

- Frekuensi Nafas :

- Suhu :

Status Generalisata :

Kulit :

Thorax :

Abdomen :

Ekstremitas :

Status Oftalmologis 09 April 2018:

STATUS OD OS
OFTALMIKUS
Visus tanpa
koreksi
Visus dengan
koreksi
Refleks fundus
Silia / supersilia
Palpebra
superior
Palpebra
inferior
Aparat
lakrimalis
Konjungtiva
Tarsalis
Konjungtiva
Forniks
Konjungtiva
Bulbii
Sklera
Kornea
Kamera Okuli
Anterior
Iris
Pupil
Lensa
Korpus vitreum
Fundus :
- Media
- Papil optikus
- Makula
- aa/vv retina
- Retina
Tekanan bulbus
okuli
Posisi bulbus
okuli
Gerakan bulbus
okuli
Gambar

Diagnosis Kerja :

● Blepharokeratokonjungtivitis

Diagnosis banding :


Anjuran Pemeriksaan :
1.

Terapi di RS:

1.

Terapi di Layanan Primer:

Prognosis:

Quo ad vitam :

Quo ad functionam :
Follow Up

S/

O/

STATUS OD OS
OFTALMIKUS
Visus tanpa
koreksi
Visus dengan
koreksi
Refleks fundus
Silia / supersilia
Palpebra superior
Palpebra inferior
Aparat lakrimalis
Konjungtiva
Tarsalis
Konjungtiva
Forniks
Konjungtiva
Bulbii
Sklera
Kornea
Kamera Okuli
Anterior
Iris
Pupil
Lensa
Korpus vitreum
Fundus :
- Media
- Papil optikus
- Makula
- aa/vv retina
- Retina
Tekanan bulbus
okuli
Posisi bulbus
okuli
Gerakan bulbus
okuli
Gambar

A/

P/
BAB IV

DISKUSI

DAFTAR PUSTAKA

1. Suzuki, T., Teramukai S., & Kinoshita, S. Meibomian glands and ocular surface

inflammation. Ocul Surf. 2015; 13(2): 133-49

2. Viswalingam, M., Rauz S., Morlet N., & Dart J.K. Blepharokeratoconjunctivitis

in children: diagnosis and treatment. Br J Ophthalmol. 2005; 89: 400-403

3. Rodriguez-Garcia, A., Gonzalez-Godinez, S., & Lopez-Rubio, S.

Blepharokeratoconjunctivitis in childhood: corneal involvement and visual

outcome. Eye. 2016; 30(3): 438-46.


4. O’Gallagher, M., Banteka, M., Bunce, C., Larkin, F., Tuft, S., Dahlmann-Noor,

A. Systemic treatment for blepharokeratoconjunctivitis in children. Cochrane

Database of Systematic. 2016; (5): 1-24

5. Riordan-Eva P, Whitcher JP, editors. Vaughan and Asbury's General

Ophthalmology, 17th ed. USA: McGraw Hill. 2008.

6. Paulsen F dan Waschke J. Sobotta: Atlas Anatomi Manusia Jilid 3: Kepala,

Leher, dan Neuroanatomi. Ed 23. Jakarta: EGC. 2012.

7. Yin Y dan Gong L. The evaluation of meibomian gland function, morphology

and related medical history in Asian adult blepharokeratoconjunctivitis patients.

Acta Opthalmol. 2016.

8. Zhang XY, Wang ZQ, Zhang Y, dan Sun G. Clinical manifestations of 172

patients with blepharokeratoconjunctivitis. 2016. Diakses secara online melalui

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26979113 (25 April 2018)

9. O’Gallagher M, Banteka M, Bunce C, Larkin F, Tuft S, Dahlmann-Noor A.

Systemic treatment for blepharokeratoconjunctivitis in children. Cochrane

Database of Systematic Reviews 2016; 5: CD011750

10. Lang GK. Ophthalmology A Pocket Textbook Atlas. 2nd edition. Stuttgart:
thieme. 2007.
11. Goyal RK. Keratoconjunctivitis and Blepharokeratokonjunctivitis. In: Topics in

Ocular Antiinfectives. Florida: Continuing Medical Education Publication. 2016.

12. Favetta JR. Blepharitis Management: A Clinical Approach. In: Zylet ® Technical

paper. Bausch and Lomb Incorporated. 2014.


13. Khurana A. Diseases of the Cornea. In: Comprehensive ophthalmology. New
Delhi: New Age International (P) Ltd., Publishers; 2007.
14. American academy of ophthalmology. Preferred practice pattern: Blepharitis.
2013.

15. Hong E, Fischer G. Childhood ocular rosacea: Considerations for diagnosis and

treatment. Australasian Journal of Dermatology. 2009;50(4):272-275.

16. De Marchi S, Cecchin E, De Marchi S. Ocular rosacea: an underdiagnosed cause

of relapsing conjunctivitis-blepharitis in the elderly. Case Reports. 2014;2014.

Anda mungkin juga menyukai