Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Dispepsia pada awalnya didefinisikan sebagai gejala yang mengacu pada


saluran gastrointestinal bagian atas. Komite Roma IV telah mengembangkan
definisi tentang dispepsia yang relevan secara klinis sebagai nyeri epigastrik yang
paling dominan selama paling sedikit 1 bulan. Hal ini mungkin berhubungan
dengan gejala gastrointestinal bagian atas lainnya, seperti kepenuhan epigastrium,
mual, muntah, mulas, nyeri epigastrium setiap kali keluhan utama pasien.
Dispepsia fungsional mengacu pada pasien dengan dispepsia dimana endoskopi
dan tes lain yang relevan telah mengesampingkan patologi organik yang
menjelaskan gejala pasien.1

Dispepsia merupakan Salah satu penyakit tidak menular yang mempunyai


angka kejadian tinggi di dunia dan sering ditemui pada praktek sehari-hari. Dari
data pustaka Negara Barat didapatkan angka prevalensinya berkisar 7-41%, tapi
hanya 10-20% yang mencari pertolongan.1 Penelitian tahun 2016 pada populasi
umum didapatkan bahwa 15%-40% orang dewasa pernah mengalami dispepsia
dalam beberapa hari. Sampai saat ini, belum ada data epidemiologis di Indonesia.2

Data tahun 2015 ,kasus dispepsia di dunia mencapai 13-40% dari total
populasi. Gangguan yang sering muncul pada penderita penyakit dispepsia
salah satunya adalah mual dan muntah. Penderita dispepsia yang
mengalami keluhan mual dan muntah lebih mendominasi dengan presentase
hingga 50%. Mual dan muntah terjadi karena adanya reaksi inflamasi pada
lambung. Mual dan muntah adalah gejala-gejala dari penyakit yang mendasarinya
dan bukan penyakit spesifik. Pada muntah yang terjadi hanya sesekali saja
pengaruhnya tidak ada. Akan tetapi pada muntah yang terus menerus bila tidak
segera ditangani maka akan berakibat fatal seperti kurangnya elektrolit, kesadaran
menurun hingga dapat menyebabkan koma. 3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk sindrom atau


kumpulan gejala/keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu
hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perut terasa
penuh/begah. Keluhan ini tidak perlu selalu semua ada pada tiap pasien, dan
bahkan pada satu pasienpun keluhan dapat berganti atau bervariasi baik dari
segi jenis keluhan maupun kualitasnya.4

Muntah adalah refleks neuromuskular gastrointestinal sebagai hasil


stimulasi terhadap chemoreseptor trigger zone (CTZ). CTZ terdapat di
ventrikel IV, vestibular dan korteks serebri. sedangkan mual lebih bersifat
subyektif dan merupakan sensasi tidak menyenangkan yang berhubungan
dengan kecenderungan untuk muntah. Muntah tidak sama dengan refluk
atau regurgitasi yang terjadi secara pasif akibat relaksasi sfingter esofagus
5
pada pasien koma atau pada infant.

2.2 Epidemiologi

Prevalensi pasien dispepsia di pelayanan kesehatan mencakup 30% dari


pelayanan dokter umum dan 50% dari pelayanan dokter spesialis
gastroenterologi. 6
Dari hasil endoskopi yang dilakukan pada 550 pasien dispepsia dalam
beberapa senter di Indonesia pada April 2016 sampai januari 2017,
didapatkan 44,7 % kasus kelainan minimal pada gastritis dan duodenitis;
6,5% kasus dengan ulkus gaster; dan normal pada 8,2% kasus. 6

Penderita dispepsia mengalami nyeri pada bagian perut dan ulu hati
disebabkan salah satunya keasaman pada lambung, juga bisa disebabkan
karena bakteri dan luka pada lambung. Penderita dispepsia yang mengalami
keluhan mual dan muntah lebih mendominasi dengan prosentase hingga 50%.
Mual dan muntah terjadi karena adanya reaksi inflamasi pada lambung.3

2.3 Etiologi
Dispepsia merupakan gangguan pencernaan yang ditandai dengan banyak
gejala. Penyebab dari sindrom dispepsia adalah :
a. Adanya gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna seperti tukak
gaster/duodenum, gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori.
b. Obat-obatan: seperti Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), aspirin,
beberapa jenis antibiotik, digitalis, teofilin dan sebagainya.
c. Penyakit pada hepar, pankreas, sistem billier: hepatitis, pankreatitis,
kolesistitis kronik.
d. Penyakit sistemik seperti: diabetes melitus, penyakit tiroid, dan penyakit
jantung koroner.
e. Bersifat fungsional, yaitu: dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak
didapat adanya kelainan/gangguan organik yang dikenal sebagai
dispepsia funsional atau dispepsia non ulkus. 6

2.4 Patofisiologi

2.4.1 Mual dan Muntah


Mual dan muntah juga dapat terjadi karena adanya reaksi
inflamasi pada lambung yang merangsang pusat muntah di medulla
oblongata. Apabila terjadi rangsangan pada pusat muntah maka akan
terjadi mekanisme muntah seperti pada umumnya.4

Muntah terutama berfungsi sebagai refleks pelindung, namun juga


merupakan gejala klinis yang penting dari kondisi seperti pendarahan
intrakranial dan tumor. Tindakan muntah di mulai dari mual,
peningkatan air liur dan muntah. Pusat muntah terletak di medula
oblongata. Dikendalikan oleh chemosensors dari daerah postrema, yang
terletak di lantai ventrikel keempat; Ini disebut zona pemicu
chemosensori (CTZ). CTZ diaktifkan oleh nikotin, toksin lainnya, dan
agonis dopamin seperti apomorphine (digunakan sebagai emetik). Sel
CTZ memiliki reseptor untuk neurotransmitter yang bertanggung jawab
atas kontrol neuronalnya. Pusat muntah juga dapat diaktifkan dari CTZ,
karena rangsangan abnormal organ keseimbangan (kinesis, gerakan,
penyakit), ekstensi berlebihan pada perut atau usus, pengosongan
lambung dan radang perut yang tertunda pada organ perut.7

Rangsangan sentral yang berasal dari kortek cerebri, pusat kortek


dan batang otak yang lebih tinggi, nukleus traktus solitarius, CTZ,
sistem vestibular di telinga tengah dan pusat penglihatan juga
mempengaruhi pusat muntah karena area postrema tidak memiliki
sawar darah otak yang efektif, obat maupun bahan kimia yang
terdapat dalam darah atau cairan serebrospinal dapat secara
langsung mempengaruhi CTZ. Reseptor 5-hydroxytryptamine type 3 (5-
HT3), dopamin type 2 (D2), opioid dan neurokinin-1 (NK-1)
ditemukan di CTZ. Nukleus traktus solitarius memiliki banyak reseptor
enkefalin, histaminergik (H1) dan muskarinik kolinergik (M).
Reseptor-reseptor ini menyampaikan pesan ke pusat muntah apabila
terangsang, seperti serotonin yang di keluarkan dari sel enterokromafin
dalam usus halus memicu muntah. Pusat muntah mengatur impuls
aferen melalui nervus vagus, nervus phrenicus dan nervus spinalis pada
otot-otot nafas dan abdominal untuk memulai reflek muntah.8
Gambar 5. Reseptor-Reseptor Muntah.7,8

Area postrema memiliki dua fungsi utama pada proses muntah


yaitu memberi respon pada aferen vagal baik secara langsung maupun
tidak langsung dan mendeteksi bahan kimia yang dapat menstimuli
muntah di sirkulasi atau cairan serebro spinalis. Muntah yang dipicu
oleh stress mungkin berhubungan dengan pengeluaran epinefrin yang
berlebih pada cerebro spinal fluid (CSF), kemudian mengaktivasi area
postrema untuk merangsang muntah.8
Gambar 4. Alur Diagnosis Dispepsia.1

Selama aksi muntah, diafragma tetap berada dalam posisi


inspirasi dan otot perut dengan cepat berkontraksi memberi tekanan
yang tinggi pada bagian perut. Secara bersamaan terjadi kontraksi
duodenum sehingga menghalangi jalan menuju usus. Sfingter esofagus
bagian bawah kemudian rileks, mengakibatkan dikeluarkannya isi perut
melalui kerongkongan.1

2.4.2 Dispepsia
Patofisiologi Dispepsia Organik yang disebabkan oleh Hp dan
obat-obatan anti-inflamasi non-steroid (OAINS) telah banyak diketahui.
Dispepsia fungsional disebabkan oleh beberapa faktor utama, antara
lain gangguan motilitas gastroduodenal, infeksi Hp, asam lambung,
hipersensitivitas viseral, dan faktor psikologis.
a) Sekresi Asam Lambung
Sel kelenjar lambung mensekresikan sekitar 2500 ml getah lambung
setiap hari. Getah lambung ini mengandung berbagai macam zat.
Asam hidroklorida (HCl) dan pepsinogen merupakan kandungan
dalam getah lambung tersebut. Konsentrasi asam dalam getah
lambung sangat pekat sehingga dapat menyebabkan kerusakan
jaringan, tetapi pada orang normal mukosa lambung tidak
mengalami iritasi karena sebagian cairan lambung mengandung
mukus, yang merupakan factor pelindung lambung.9 Peningkatan
sensitivitas mukosa lambung dapat terjadi akibat pola makan yang
tidak teratur. Pola makan yang tidak teratur akan membuat lambung
sulit untuk beradaptasi dalam pengeluaran sekresi asam lambung.
Jika hal ini berlangsung dalam waktu yang lama, produksi asam
lambung akan berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa
pada lambung.4
b) Hipersensitivitas visceral
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor
kimiawi, reseptor mekanik, dan nociceptor. Terdapat peningkatan
sensitifitas viseral dimana terjadi asupan sensorik yang meninggi
pada lambung. Hipersensitif terhadap rangsangan ini dapat timbul
sebagai respon terhadap poses mekanis, kimia atau rangsangan
nutrisi, asam lambung atau hormon, seperti kolesitokinin dan
glucagon-like peptide. Penelitian dengan menggunakan balon
intragastrik menunjukkan bahwa 50% populasi dispepsia fungsional
sudah timbul rasa nyeri atau rasa tidak nyaman di perut pada inflasi
balon dengan volume yang lebih rendah dibandingkan volume yang
menimbulkan rasa nyeri pada populasi control.4
c) Gangguan akomodasi lambung
Dalam keadaan normal, waktu makanan masuk lambung terjadi
relaksasi fundus dan korpus gaster tanpa meningkatkan tekanan
dalam lambung. Akomodasi lambung ini dimediasi oleh serotonin
dan nitric oxide melalui saraf vagus dari sistem saraf enterik.
Dilaporkan bahwa pada penderita dispepsia fungsional terjadi
penurunan kemampuan relaksasi fundus postprandial pada 40%
kasus dengan pemeriksaan gastricscintigraphy dan ultrasound
(USG).4
d) Helicobacter pylori
Bila terjadi infeksi HP, maka bakteri ini akan melekat pada
permukaan epitel dengan bantuan adhesin sehingga dapat lebih
efektif merusak mukosa. Apabila terjadi infeksi HP, host akan
memberi respons untuk mengeliminasi/ memusnahkan bakteri ini
melalui mobilisasi sel-sel PMN/ limfosit yang menginfiltrasi mukosa
secara intensif dengan mengeluarkan bermacam macam mediator
inflamasi atau sitokin, seperti interleukin 8, gamma interferon alfa,
tumor nekrosis faktor dan lain-lain, yang bersama-sama dengan
reaksi imun yang timbul justru akan menyebabkan kerusakan sel-sel
epitel gastro duodenal yang lebih parah namun tidak berhasil
mengeliminasi bakteri dan infeksi menjadi kronik. 4
Asam lambung yang tinggi dalam duodenum menimbulkan gastrik
metaplasia yang dapat merupakan tempat hidup H.pylori dan
sekaligus dapat memproduksi asam sehingga lebih menambah
keasaman dalam duodenum. Keasaman yang tinggi akan menekan
produksi mukus dan bikarbonat, menyebabkan daya tahan mukosa
lebih menurun dan mempermudah terbentuknya tukak duodenum.
Defek/inflamasi pada mukosa yang terjadi pada infeksi HP atau
akibat OAINS akan memudahkan difusi balik asam/pepsin ke dalam
mukosa/jaringan sehingga memperberat kerusakan jaringan. 4
e) Disfungsional epitelium intestinal
Disfungsional epitelium intestinal dapat dipertimbangkan dalam
patofisiologi dispepsia. Para peneliti mengatakan bahwa makanan
tertentu, toksin, infeksi, dan stres bisa menyebabkan perubahan
dalam struktur dan fungsi, mengakibatkan peningkatan permeabilitas
usus. Hal ini, memungkinkan pelepasan antigen melalui epitel yang
bocor dan untuk merangsang respon imun. proses ini yang mungkin
berperan dalam peningkatan peradangan gastrointestinal atau
hipersensitivitas yang terkait dengan dyspepsia.10
f) Faktor psikologis
Adanya stres akut dapat mempengaruhi kejadian sindrom dispepsia
sehingga faktor kognitif dan faktor psikosomatik juga harus dinilai
pada pasien kasus sindrom dispepsia. Penjelasan antara hubungan
faktor psikologik stres, fungsi otonom, dan motilitas tetap masih
kontroversial namun dilaporkan bahwa terdapat penurunan
kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah
stimulus stres sentral.4

2.5 Klasifikasi Dispepsia


Dispepsia yang telah diinvestigasi terdiri dari dispepsia organik dan
fungsional. Dispepsia organik terdiri dari ulkus gaster, ulkus duodenum,
gastritis erosi, gastritis, duodenitis dan proses keganasan. Dispepsia
fungsional mengacu kepada kriteria Roma III.
Dispepsia organik baru bisa dipastikan bila penyebabnya sudah jelas.
Yang dapat digolongkan dispepsia organik, yaitu :
a) Dispepsia tukak (ulcer-like dispepsia)
Keluhan yang sering dirasakan ialah rasa nyeri pada ulu hati. Berkurang
atau bertambahnya nyeri ada hubungannya dengan makanan, sering
terbangun saat tengah malam karena nyeri pada ulu hati. Hanya dengan
endoskopi dan radiologi baru bisa dipastikan tukak di lambung atau
duodenum.
b) Dispepsia bukan tukak
Keluhannya mirip dengan dispepsia tukak, biasa ditemukan pada gastritis
dan duodenitis, tetapi pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan
tanda-tanda tukak. 11
Kriteria Rome III menetapkan dispepsia fungsional dibagi menjadi 2
kelompok yaitu :
a) Postprandial distress syndrom Gejala yang dirasakan pada tahap ini yaitu:
1) Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan
dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu.
2) Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan
porsi makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu.

Kriteria penunjang sindrom dispepsia jenis ini adalah adanya rasa


kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan atau
bersendawa yang berlebihan dan dapat timbul bersamaan dengan sindrom
nyeri epigastrum.12
b) Epigastric pain syndrome Gejala yang dirasakan pada tahap ini yaitu:
1) nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrum dengan
tingkat keparahan moderat/sedang, paling sedikit terjadi sekali dalam
seminggu.
2) Nyeri timbul berulang.
3) Tidak menjalar atau terlokalisasi ke area lain abdomen.
4) Tidak membaik setelah defekasi atau buang angin
5) Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan
kandung empedu dan sfinger oddi.
Kriteria penunjang sindrom dispepsia jenis ini adalah
(1) Nyeri epigastrum dapat berupa rasa terbakar, tetapi tanpa menjalar ke
daerah retrosternal.
(2) Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, tetapi
mungkin timbul saat puasa.
(3) Dapat terjadi bersamaan dengan sindrom distress setelah makan.12

2.6 Diagnosis Dispepsia

Anamnesis akurat untuk memperoleh gambaran keluhan yang terjadi,


karakteristik keterkaitan dengan penyakit tertentu, keluhan bersifat lokal atau
manifestasi dari gangguan sistemik. Tahapan anamnesis harus dilakukan
dengan baik dan teliti. Misalnya, keluhan nyeri epigastrik dapat berkembang
kearah kemungkinan pankreatitis bila rasa nyeri itu menjalar kebelakang, atau
menjalar kekanan belakang pada kolik bilier dan sebagainya. Pemeriksaan
fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra abdomen atau intra lumen yang
padat (misalnya tumor), organomega atau nyeri tekan yang sesuai dengan
adanya rangsang peritoneal peritonitis.4
Dispepsia menurut kriteria Roma III adalah suatu penyakit dengan satu
atau lebih gejala yang berhubungan dengan gangguan di gastroduodenal:
• Nyeri epigastrium
• Rasa terbakar di epigastrium
• Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan
• Rasa cepat kenyang
Gejala yang dirasakan harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan
terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan.6

Pada pemeriksaan laboratorium sendiri untuk mengidentifikasi adanya


faktor infeksi (lekositosis), pankreatitis (amilase, lipase), keganasan saluran
cerna (CEA, CA 19.9, AFP dan sebagainya), Urea Breath Test untuk HP.
Pemeriksaan ultrasonografi untuk mengidentifikasi kelainan organ padat intra
abdomen, misalnya ada batu kandung empedu, kolesistitis, sirosis hati dan
sebagainya. Pemeriksaan Radiologi (dalam hal ini pemeriksaan Barium Meal:
pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi kelainan struktural dinding/ mukosa
saluran cerna bagian atas seperti adanya tukak atau gambaran kearah
keganasan. Pemeriksaan ini terutama bermanfaat pada kelainan yang bersifat
penyempitan/stenosis/obstruktif dimana skop endoskopi tidak dapat
melewatinya.4

Pemeriksaan Endoskopi (esofagogastroduodenoskopi), pemeriksaan ini


dapat dikerjakan bila dispepsia tersebut disertai oleh keadaan yang disebut
sebagai alarm symptoms, yaitu adanya penurunan berat badan, adanya
anemia, muntah hebat dengan dugaan adanya obstruksi, muntah darah,
melena, atau keluhan sudah berlangsung lama dan terjadi pada usia >45
tahun. Keadaan ini sangat mengarah telah terjadinya gangguan organik
terutama keganasan, sehingga memerlukan eksplorasi diagnosis secepatnya.
Teknik pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi dengan akurat adanya
kelainan struktural/organik intra lumen seluran cerna bagian atas seperti
adanya tukak/ulkus, tumor dan sebagainya, serta dapat disertai pengambilan
sampel jaringan (biopsi) dari jaringan yang dicurigai untuk memperoleh
gambaran histopatologik atau untuk keperluan lain seperti untuk
mengidentifikasi adanya kuman HP.4

Gambar 1. Alur Diagnosis Dispepsia.6

Evaluasi tanda bahaya harus selalu menjadi bagian dari evaluasi


pasienpasien yang datang dengan keluhan dispepsia. Tanda bahaya pada
dispepsia yaitu:

• Penurunan berat badan (unintended)

• Disfagia progresif

• Muntah rekuren atau persisten

• Perdarahan saluran cerna

• Anemia

• Demam

• Massa daerah abdomen bagian atas

• Riwayat keluarga kanker lambung


• Dispepsia awitan baru pada pasien di atas 45 tahun

Pasien-pasien dengan keluhan seperti di atas harus dilakukan investigasi


terlebih dahulu dengan endoskopi. 6

2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Dispepsia
Penatalaksanaan dyspepsia secara komprehensif harus diperhatikan,
karena prinsip utama adalah menyeimbangkan faktor-faktor defensif dan
offensif. Sehingga jenis terapi lama terapi harus disesuaikan dengan gejala-
gejala, ada tidaknya infeksi H.pylori, jenis lesi pada lambung serta ada
tidaknya stres psikologik dan intolerasi makanan. Obat-obat yang lazim
digunakan adalah: antasida, penghambat Histamin2 (H2-Blocker),
penghambat Pompa Proton, kombinasi antibiotik (eradikasi H.pylori).
Kombinasi dengan obat: proteksi mucosa (sucralfat, rebamipide, fucoidan),
prokinetik, antispasmodik serta anti-cemas dan psikoterapi digunakan dan
bersifat individual.4

a) Antasida
Antasida merupakan obat yang paling umum di konsumsi oleh penderita
dispepsia. Obat ini sebagai buffer terhadapp HCL. Kelemahan pada obat
ini dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium
serta konstipasi terutama antasid yang mengandung alumunium.4
b) Penyekat H2 Reseptor
Golongan obat ini adalah simetidin, ranitidin, famotidin, dan nizatidin.
Sebagai penekan sekresi asam. Efeknya menghilangkan rasa nyeri di ulu
hati dan tidak memperbaiki keluhan umum lainnya.4
c) Penghambat Pompa Proton
Golongan obat ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal
dengan mempengaruhi enzim H, K ATP ase yang dianggap sebagai tahap
akhir pembentukan asam lambung. Obat ini efektif dalam menghilangkan
keluhan serta penyembuhan lesi. Obat golongan ini adalah omeprazole,
lansoprazole, pantoprazole, rabeprazole, esomeprazole.4
d) Obat Golongan Prokinetik
Obat prokinetik atau promotiliti adalah obat yang akan meningkatkan
peristaltik melalui jalur rangsangan reseptor serotonin, asetilkolon,
dopamin dan motilin. Dalam golongan ini termasuk metoklopramid,
cisaprid dan domperidon. Penggunaan obat golongan ini dalam berbagai
penelitian, memperlihatkan ketidaksesuaian antara perbaikan tingkat
motilitas dengan perbaikan simptom pasien. Misalnya, terdapat perbaikan
tingkat motilitas tapi tidak disertai dengan adanya perbaikan keluhan
yang bermakna atau sebaliknya.4
e) Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa esofagus,
sebagi buffer terhadap HCL serta dapat mengikat pepsin dan garam
empedu. Obat ini aman diberikan karena bekerja secara topikal
(sitoproteksi).4
Strategi tata laksana optimal pada fase ini adalah memberikan terapi
empirik selama 1-4 minggu sebelum hasil investigasi awal, yaitu pemeriksaan
adanya Hp. Untuk daerah dan etnis tertentu serta pasien dengan faktor risiko
tinggi, pemeriksaan Hp harus dilakukan lebih awal. Obat yang dipergunakan
dapat berupa antasida, antisekresi asam lambung (PPI misalnya omeprazole,
rabeprazole dan lansoprazole dan/atau H2-Receptor Antagonist [H2RA]),
prokinetik, dan sitoprotektor (misalnya rebamipide), di mana pilihan
ditentukan berdasarkan dominasi keluhan dan riwayat pengobatan pasien
sebelumnya. Masih ditunggu pengembangan obat baru yang bekerja melalui
down-regulation proton pump yang diharapkan memiliki mekanisme kerja
yang lebih baik dari PPI, yaitu DLBS 2411. 6
Apabila ditemukan lesi mukosa (mucosal damage) sesuai hasil
endoskopi, terapi dilakukan berdasarkan kelainan yang ditemukan.
Kelainan yang termasuk ke dalam kelompok dispepsia organik antara lain
gastritis, gastritis hemoragik, duodenitis, ulkus gaster, ulkus duodenum, atau
proses keganasan. Pada ulkus peptikum (ulkus gaster dan/ atau ulkus
duodenum), obat yang diberikan antara lain kombinasi PPI, misal
rabeprazole 2x20 mg/ lanzoprazole 2x30 mg dengan mukoprotektor, misalnya
rebamipide 3x100 mg.6
Apabila setelah investigasi dilakukan tidak ditemukan kerusakan
mukosa, terapi dapat diberikan sesuai dengan gangguan fungsional yang ada.
Penggunaan prokinetik seperti metoklopramid, domperidon, cisaprid,
itoprid dan lain sebagainya dapat memberikan perbaikan gejala pada beberapa
pasien dengan dispepsia fungsional. Hal ini terkait dengan perlambatan
pengosongan lambung sebagai salah satu patofisiologi dispepsia fungsional.
Kewaspadaan harus diterapkan pada penggunaan cisaprid oleh karena potensi
komplikasi kardiovaskular.6

Gambar 2. Alogaritma tatalaksana Dispepsia di berbagai tingkat layanan


*Tanda bahaya: penurunan berat badan (unintended), disfagia progresif,
muntah rekuren/persisten, perdarahan saluran cerna, anemia, demam, massa
daerah abdomen bagian atas, riwayat keluarga kanker lambung, dispepsia
awitan baru pada pasien >45 tahun.

PF: pemeriksaan fisik, SCBA: saluran cerna bagian atas, PPK-1: Pemberi
Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama, PPK-2-3: Pemberi Pelayanan
Kesehatan Tingkat Kedua dan Ketiga.

2.7.2 Terapi Mual pada pasien


Antiemetika pada penderita dispepsia adalah zat-zat yang
berkhasiat menekan rasa mual dan muntah yang diresepkan untuk
pasien yang mendapat diagnosa dispepsia. Antiemetika yang paling
banyak digunakan pada penderita dispepsia adalah golongan antagonis
serotonin. 3
Tabel Terapi Mual dan Muntah 5
Stimulasi Treatmen
GI tract-Vagal D2 Antagonist Gastrokinetik
- Metoclopramide
- Domperidon
Phenothiazine
Methotrimeprazine

5HT3 Antagonist Ondansentron


Metoclopramide

CTZ D2 Antagonist Phenothiazine


- Haloperidol
- Prochlorperazine
- Methotrimeprazine
- Chlorperazine
Gastrokinetik
- Metoclopramide
- Domperidon

5HT3 Antagonist Ondansentron


Metoclopramide

NK1 Antagonist Aprepitant


Vestibular H1 Antagonis Dimenhydrinate
Methotrimeprazine
Anticholinergic Scopalamine
Atropin
ICP Kortikosteroid Desamethason

2.8 Prognosis
Dispepsia yang di tegakkan setelah pemeriksaan klinik dan penunjang
yang akurat, mempunyai prognosis yang baik.
BAB III

LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS
Nama : Ny. MH
Umur : 35 thn
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Desa Lero
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 18/05/2018
Ruangan : Pav. Kemuning RSUD Undata Palu

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri ulu hati
Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien perempuan (35thn) masuk rumah sakit
dengan keluhan nyeri ulu hati yang dirasakan seperti di iris-iris sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit,pasien mengaku jika makan rasa cepat kenyang
walau hanya makan sedikit,lambung terasa penuh, pasien juga mengaku
sering lambat makan/tidak teratur, mual (+),muntah (-), BAK lancar (+), BAB
cair berwarna kuning 3 kali (+).
Riwayat Penyakit Dahulu : pasien merasakan nyeri ulu hati 2 minggu
yang lalu SMRS.
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga : tidak ada

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum:
SP:CM/SS/GB BB: 45 Kg TB: 157 cm IMT: 18,2 Kg/m2

Vital Sign
TD: 120/80 mmHg N: 82x/menit R: 20x/menit S:36,6°C
Kepala
Wajah : Simetris
Deformitas : Tidak ada
Bentuk : Normochepal
Mata
Konjungtiva : Anemis -/-
Sklera : Ikterus -/-
Pupil : bulat, isokor +/+, diameter 2,5mm/2,5mm
Mulut : sianosis (-), bibir tampak kering(-), Selaput putih pada
tengah lidah(-),
Leher
KGB : pembesaran (-)
Tiroid : pembesaran (-)
JVP : peningkatan (-)
Massa Lain : Tidak ada
Dada
Paru-Paru
Inspeksi : Simetris bilateral
Palpasi : Massa (-), Vocal Fremitus simetris bilateral
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Bunyi nafas vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/-
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi :
Batas atas : SIC II linea parasternalis dextra et sinistra
Batas Kanan : SIC IV linea parasternalis dextra
Batas Kiri : SIC IV linea parasternalis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni reguler, murmur (-)
Perut
Inspeksi : Tampak cembung, kesan normal
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal seluruh abdomen
Perkusi : Timpany (+) seluruh abdomen
Palpasi :Massa (-), Nyeri tekan abdomen (+) bagian epigastrium
Anggota Gerak
Atas : Akral hangat +/+, edema -/-
Bawah : Akral hangat +/+, edema -/-

D. RESUME
Pasien perempuan (35thn) masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri ulu hati
yang dirasakan seperti di iris-iris sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit,pasien
mengaku jika makan rasa cepat kenyang walau hanya makan sedikit,lambung
terasa penuh, pasien juga mengaku sering lambat makan/tidak teratur, mual
(+),muntah (-), BAK lancar (+), BAB mencret-mencret warna biasa (+). Riwayat
penyakit sebelimnya pasien pernah merasakan nyeri ulu hati 2 minggu yang lalu
SMRS.

Pada pemeriksaan di dapatkan pasien dalam keadaan composmentis, sakit


sedang , TD: 120/80 mmHg, Nadi: 82x/menit, pernapasan: 20x/menit dan suhu
36,6°C. Pada palpasi Abdomen bagian epigrastik di dapatkan nyeri tekan.

E. DIAGNOSIS AKHIR : Dispepsia

F. DIAGNOSIS BANDING : - Dispepsia organik


- Gastritis
- Colelitiasis
G. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG:
Endoskopi
USG Abdomen
Pemeriksaan fungsi hati ( SGOT,SGPT)
H. PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa :
- Tirah Baring (Bed Rest)
- Mengatur pola Makan
Medikamentosa :
- IVFD RL 20 Tpm
- Ranitidine 25 mg / 12 jam/ IV
- Sucralfat syr 3x1
- Ondancentron 4 mg / 12 jam /IV

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Lab Darah:
- WBC : 8,9 x 103/mm3
- RBC : 4,92 x 106/mm3
- Hb : 13,5 g/dL
- HCT : 40,5 %
- PLT : 224 x 103/ mm3
- GDS : 89,7 mg/dL

J. DIAGNOSIS AKHIR : Dispepsia Fungsional

K. PROGNOSIS : - Qua ad Vitam : Dubia ad bonam


- Qua ad Sanationam : Dubia ad bonam
- Qua ad Fungsional : Dubia ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN

Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah


adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Apabila kelainan
organik ditemukan, dipikirkan kemungkinan diagnosis banding dispepsia organik,
sedangkan bila tidak ditemukan kelainan organik apa pun, dipikirkan kecurigaan
ke arah dyspepsia fungsional. Penting diingat bahwa dyspepsia fungsional
merupakan diagnosis by exclusion, sehingga idealnya terlebih dahulu harus benar-
benar dipastikan tidak ada kelainan yang bersifat organik. Dalam salah satu sistem
penggolongan, dispepsia fungsional diklasifi kasikan ke dalam ulcer-like
dyspepsia dan dysmotility-like dyspepsia; apabila tidak dapat masuk ke dalam 2
subklasifikasi diatas, didiagnosis sebagai dyspepsia nonspesifik. Esofago gastro
duodenoskopi dapat dilakukan bila sulit membedakan antara dispepsia fungsional
dan organik, terutama bila gejala yang timbul tidak khas, dan menjadi indikasi
mutlak bila pasien berusia lebih dari 55 tahun dan didapatkan tanda-tanda
bahaya.13
Terdapat beberapa kriteria untuk dispepsia fungsional diantaranya adalah
kriteria Roma II dan III. Kriteria dispepsia fungsional kronik adalah nyeri atau
rasa tak nyaman lokasi di perut bagian atas yang dikeluhkan paling sedikit 12
minggu, kumat-kumatan dalam 12 bulan terakhir. Tidak ada kelainan organik
terbukti secara biokimiawi, metabolik dan endoskopik. Keluhan biasanya berupa:
mual sesaat sesudah makan, epigastrik terasa penuh, kembung, sendawa, kadang
muntah. Keluhan dada panas (heart burn, pyrosis, water brash) dan regurgutasi,
nyeri perut yang membaik dengan defekasi.14
Pada pasien ini di diagnosis dengan sindrom Dispepsia karena dari
anamnesis, pemeriksaan fisik hasilnya menunjang untuk diagnosis sindrom
Dispepsia. Dari anamnesis di dapatkan pasien mengeluhkan sakit ulu hati seperti
di iris-iris sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, BAB cair berwarna kuning
sebnyak 3 kali, mual dan rasa tidak nyaman di perut, hal ini dapat terjadi akibat
konsentrasi asam dalam lambung sangat pekat sehingga dapat menyebabkan
kerusakan jaringan serta peningkatan sensitivitas mukosa lambung dapat terjadi
akibat pola makan yang tidak teratur, membuat lambung sulit untuk beradaptasi
dalam pengeluaran sekresi asam lambung. Jika hal ini berlangsung dalam waktu
yang lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga dapat mengiritasi
dinding mukosa pada lambung dan merangsang untuk terjadinya Mual dan
muntah. Pada pasien ini muntah dapat di picu karna adanya iritasi pada mukosa
traktus gastrointestinal bagian atas dimana impluls di teruskan dari mukosa ke
medula oblongata kemudian melalui jalur aferen pada saraf simpatis dan vagus
akan munculnya refleks muntah.

Pada pemeriksaan fisik di dapatkan nyeri tekan abdomen pada bagian


epigastrik, hal ini merupakan gejala pada sindrome dispepsia yang terjadi bila
kandungan asam lambung dan duodenum meningkat menimbulkan erosi dan
merangsang ujung saraf yang terpajan. Teori lain menunjukkan bahwa kontak lesi
dengan asam merangsang mekanisme refleks local yang memulai kontraksi otot
halus sekitarnya.4
Pemeriksaan penunjang yang sebaiknya di lakukan adalah endoskopi,
Pemeriksaan endoskopi dapat mengidentifikasi kelainan struktural dan mukosa,
seperti gastritis, ulkus ataupun keganasan, sekaligus dapat di lakukan biopsi untuk
pemeriksaan H.pylori.11
Dari semua hasil pemeriksaan pasien dapat didiagnosis sindrom dispepsia
yang dimana gejala untuk diagnosisnya yaitu Gejala utama biasanya rasa nyeri
atau ketidak nyamanan pada perut bagian atas. Gejala lain yang menyertai antara
lain kembung, sendawa, merasa cepat kenyang setelah makan, mual, dan muntah.
Gejala tersebut sering kali dihubungkan dengan makan. Rasa terbakar pada dada
(heartburn) dan cairan yang terasa pahit pada kerongkonan (waterbrash) juga
termasuk gejala dispepsia. Gejala dispepsia terjadi seperti datang dan pergi atau
tidak berlangsung terus menerus sepanjang waktu.
Pada pasien ini diterapi dengan non medikamentosa berupa - Tirah Baring
(Bed Rest). Sedangkan medikamentosanya Ranitidin merupakan obat H2-receptor
antagonist, Obat ini bekerja dengan cara yang berbeda untuk menghalangi sel-sel
pada lambung mempoduksi asam. Kemudian Sucralfat syr, obat ini tidak
mensupresi asam, namun bekerja membentuk barier pelindung untuk mukosa.
meningkatkan produksi prostaglandin dan bikarbonat dan memberi kesempatan
mukosa untuk menyembuh.. Ondansetron dipilih sebagai obat untuk mengurangi
mual dan muntah pada penderita dispepsia dikarenakan efek samping yang
ditimbulkan lebih ringan dibanding antiemetika yang lain diantaranya adalah tidak
menimbulkan efek samping ekstrapiramidal. Selain itu aksi ondansetron sebagai
anti emetika relatif lebih cepat dibanding obat lain.15
BAB V
KESIMPULAN

Dispepsia merupakan Salah satu penyakit tidak menular yang mempunyai


angka kejadian tinggi di dunia dan sering ditemui pada praktek sehari-hari.
Terdapat banyak penyebab dispepsia diantaranya sekresi asam lambung,
dismotilitas gastrointestinal, hipersensitivitas viseral, dan faktor psikologis.
Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk sindrom atau kumpulan
gejala/keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung,
mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perut terasa penuh/begah. Dispepsia
secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu dispepsia fungsional dan dispepsia
organik. Sangat pentingmencari petanda akan gejala dan keluhan yang merupakan
etiologi yang bisa ditemukan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan endoskopi dianjurkan pada pasien. Penatalaksanaan dispepsia
meliputi pola hidup sehat, berpikiranpositif dan makan makanan yang sehat
dan seimbang selain daripada pengobatan. Pengobatan dispepsia antaranya
seperti antasida, antikolinergik, antagonis reseptor histamin2, Proton Pump
Inhibitor, sitoprotektif, golongan prokinetik, antibiotik untuk infeksi Helicobacter
pylori dan kadang-kadang diperlukan psikoterapi serta antiemetika untuk gejala
mual pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. Moayyedi PM, Lacy BE, Andrews CN. ACG and CAG Clinical
Guideline: Management of Dyspepsia. TheAmerican Journal of
GASTROENTEROLOGY.2017; [cited 2017 Aug 20].
2. Agoestono H. Profil Penderita Dispepsia Di Instalasi Endoskopi RSUD
Banyumas. Continuing medical education. 2014; 27(2). [cited 2017 Aug
11].
3. Wijayanti A, Nuraeni. Antiemetika prescribing patterns in patients With
dyspepsia adult and elderly patient Hospitalization in pku muhammadiyah
Yogyakarta. Jurnal Media Farmasi. 2012;11 (2).[cited 2017 Aug 11].
4. Djojoningrat D. Buku Ajar Penyakit Dalam. Gastroenterologi. Edisi VI.
Jilid II. Jakarta: InternaPublishing;2014
5. Marbun MB. Kegawatdaruratan Penyakit Dalam. Jakarta:Eimed
PAPDI;2012
6. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI) dan Kelompok Studi
Helicobacter pylori Indonesia (KSHPI). Konsensus Penatalaksanaan
Dispepsia dan Infeksi Helicobacter pylori. 2014; [cited 2017 Spt 28].
7. Despopoulos, Silbernagl. Color Atlas Of Physiology Chapter 9.
Philadelpia:Elsevier; 2003
8. Pratiwi KAK. Efektivitas pemberian kombinasi deksametason 2,5 mg dan
ondansetron 4 mg intravena dalam mencegah kejadian mual dan muntah
pascaoperasi dengan anestesi umum. Universitas Udayana. 2015; [cited
2017 Spt 08].
9. Ganong WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-22. Jakarta:
EGC;2008
10. Malone M. Managing dyspepsia. The J ournal of family PracTice.
2015;64(6). [cited 2017 Aug 20].
11. Hadi S. Gastroenterologi. Bandung: P.T. Alumni;2013
12. Tanto C. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Media
Aesculapius;2014.
13. Abdullah M, Gunawan J. Dispepsia. Continuing medical education.
2012;39 (9).[cited 2017 Aug 10].
14. Ratnasari, N. Dispepsia Kronik. Mediaefkagama. 2012;11 (29).[cited 2017
Aug 11].
15. Lacy BE. Gastroparesis, Nausea & Vomiting, and Dyspepsia. The
American Journal of GASTROENTEROLOGY.2017;[cited 2017 Aug 20].
REFERAT JULI 2018

“DISPEPSIA”

Nama : Muhammad Aqsha Mahmud

No. Stambuk : N 111 17 157

Pembimbing : dr. Sarniwaty Kamissy, Sp.PD

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA

PALU
2018

HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Muhammad Aqsha Mahmud

NIM : N 111 17 157

Judul Referat : DISPEPSIA

Telah Menyelesaikan Tugas Dalam Rangka Kepaniteraan


Klinik Pada Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran
Universitas Tadulako.

Palu, juli 2018

Pembimbing Klinik Mahasiswa


(dr. Sarniwaty kamissy, Sp.PD) (Muh Aqsha Mahmud)

Anda mungkin juga menyukai