PENDAHULUAN
Data tahun 2015 ,kasus dispepsia di dunia mencapai 13-40% dari total
populasi. Gangguan yang sering muncul pada penderita penyakit dispepsia
salah satunya adalah mual dan muntah. Penderita dispepsia yang
mengalami keluhan mual dan muntah lebih mendominasi dengan presentase
hingga 50%. Mual dan muntah terjadi karena adanya reaksi inflamasi pada
lambung. Mual dan muntah adalah gejala-gejala dari penyakit yang mendasarinya
dan bukan penyakit spesifik. Pada muntah yang terjadi hanya sesekali saja
pengaruhnya tidak ada. Akan tetapi pada muntah yang terus menerus bila tidak
segera ditangani maka akan berakibat fatal seperti kurangnya elektrolit, kesadaran
menurun hingga dapat menyebabkan koma. 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
Penderita dispepsia mengalami nyeri pada bagian perut dan ulu hati
disebabkan salah satunya keasaman pada lambung, juga bisa disebabkan
karena bakteri dan luka pada lambung. Penderita dispepsia yang mengalami
keluhan mual dan muntah lebih mendominasi dengan prosentase hingga 50%.
Mual dan muntah terjadi karena adanya reaksi inflamasi pada lambung.3
2.3 Etiologi
Dispepsia merupakan gangguan pencernaan yang ditandai dengan banyak
gejala. Penyebab dari sindrom dispepsia adalah :
a. Adanya gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna seperti tukak
gaster/duodenum, gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori.
b. Obat-obatan: seperti Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), aspirin,
beberapa jenis antibiotik, digitalis, teofilin dan sebagainya.
c. Penyakit pada hepar, pankreas, sistem billier: hepatitis, pankreatitis,
kolesistitis kronik.
d. Penyakit sistemik seperti: diabetes melitus, penyakit tiroid, dan penyakit
jantung koroner.
e. Bersifat fungsional, yaitu: dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak
didapat adanya kelainan/gangguan organik yang dikenal sebagai
dispepsia funsional atau dispepsia non ulkus. 6
2.4 Patofisiologi
2.4.2 Dispepsia
Patofisiologi Dispepsia Organik yang disebabkan oleh Hp dan
obat-obatan anti-inflamasi non-steroid (OAINS) telah banyak diketahui.
Dispepsia fungsional disebabkan oleh beberapa faktor utama, antara
lain gangguan motilitas gastroduodenal, infeksi Hp, asam lambung,
hipersensitivitas viseral, dan faktor psikologis.
a) Sekresi Asam Lambung
Sel kelenjar lambung mensekresikan sekitar 2500 ml getah lambung
setiap hari. Getah lambung ini mengandung berbagai macam zat.
Asam hidroklorida (HCl) dan pepsinogen merupakan kandungan
dalam getah lambung tersebut. Konsentrasi asam dalam getah
lambung sangat pekat sehingga dapat menyebabkan kerusakan
jaringan, tetapi pada orang normal mukosa lambung tidak
mengalami iritasi karena sebagian cairan lambung mengandung
mukus, yang merupakan factor pelindung lambung.9 Peningkatan
sensitivitas mukosa lambung dapat terjadi akibat pola makan yang
tidak teratur. Pola makan yang tidak teratur akan membuat lambung
sulit untuk beradaptasi dalam pengeluaran sekresi asam lambung.
Jika hal ini berlangsung dalam waktu yang lama, produksi asam
lambung akan berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa
pada lambung.4
b) Hipersensitivitas visceral
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor
kimiawi, reseptor mekanik, dan nociceptor. Terdapat peningkatan
sensitifitas viseral dimana terjadi asupan sensorik yang meninggi
pada lambung. Hipersensitif terhadap rangsangan ini dapat timbul
sebagai respon terhadap poses mekanis, kimia atau rangsangan
nutrisi, asam lambung atau hormon, seperti kolesitokinin dan
glucagon-like peptide. Penelitian dengan menggunakan balon
intragastrik menunjukkan bahwa 50% populasi dispepsia fungsional
sudah timbul rasa nyeri atau rasa tidak nyaman di perut pada inflasi
balon dengan volume yang lebih rendah dibandingkan volume yang
menimbulkan rasa nyeri pada populasi control.4
c) Gangguan akomodasi lambung
Dalam keadaan normal, waktu makanan masuk lambung terjadi
relaksasi fundus dan korpus gaster tanpa meningkatkan tekanan
dalam lambung. Akomodasi lambung ini dimediasi oleh serotonin
dan nitric oxide melalui saraf vagus dari sistem saraf enterik.
Dilaporkan bahwa pada penderita dispepsia fungsional terjadi
penurunan kemampuan relaksasi fundus postprandial pada 40%
kasus dengan pemeriksaan gastricscintigraphy dan ultrasound
(USG).4
d) Helicobacter pylori
Bila terjadi infeksi HP, maka bakteri ini akan melekat pada
permukaan epitel dengan bantuan adhesin sehingga dapat lebih
efektif merusak mukosa. Apabila terjadi infeksi HP, host akan
memberi respons untuk mengeliminasi/ memusnahkan bakteri ini
melalui mobilisasi sel-sel PMN/ limfosit yang menginfiltrasi mukosa
secara intensif dengan mengeluarkan bermacam macam mediator
inflamasi atau sitokin, seperti interleukin 8, gamma interferon alfa,
tumor nekrosis faktor dan lain-lain, yang bersama-sama dengan
reaksi imun yang timbul justru akan menyebabkan kerusakan sel-sel
epitel gastro duodenal yang lebih parah namun tidak berhasil
mengeliminasi bakteri dan infeksi menjadi kronik. 4
Asam lambung yang tinggi dalam duodenum menimbulkan gastrik
metaplasia yang dapat merupakan tempat hidup H.pylori dan
sekaligus dapat memproduksi asam sehingga lebih menambah
keasaman dalam duodenum. Keasaman yang tinggi akan menekan
produksi mukus dan bikarbonat, menyebabkan daya tahan mukosa
lebih menurun dan mempermudah terbentuknya tukak duodenum.
Defek/inflamasi pada mukosa yang terjadi pada infeksi HP atau
akibat OAINS akan memudahkan difusi balik asam/pepsin ke dalam
mukosa/jaringan sehingga memperberat kerusakan jaringan. 4
e) Disfungsional epitelium intestinal
Disfungsional epitelium intestinal dapat dipertimbangkan dalam
patofisiologi dispepsia. Para peneliti mengatakan bahwa makanan
tertentu, toksin, infeksi, dan stres bisa menyebabkan perubahan
dalam struktur dan fungsi, mengakibatkan peningkatan permeabilitas
usus. Hal ini, memungkinkan pelepasan antigen melalui epitel yang
bocor dan untuk merangsang respon imun. proses ini yang mungkin
berperan dalam peningkatan peradangan gastrointestinal atau
hipersensitivitas yang terkait dengan dyspepsia.10
f) Faktor psikologis
Adanya stres akut dapat mempengaruhi kejadian sindrom dispepsia
sehingga faktor kognitif dan faktor psikosomatik juga harus dinilai
pada pasien kasus sindrom dispepsia. Penjelasan antara hubungan
faktor psikologik stres, fungsi otonom, dan motilitas tetap masih
kontroversial namun dilaporkan bahwa terdapat penurunan
kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah
stimulus stres sentral.4
• Disfagia progresif
• Anemia
• Demam
2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Dispepsia
Penatalaksanaan dyspepsia secara komprehensif harus diperhatikan,
karena prinsip utama adalah menyeimbangkan faktor-faktor defensif dan
offensif. Sehingga jenis terapi lama terapi harus disesuaikan dengan gejala-
gejala, ada tidaknya infeksi H.pylori, jenis lesi pada lambung serta ada
tidaknya stres psikologik dan intolerasi makanan. Obat-obat yang lazim
digunakan adalah: antasida, penghambat Histamin2 (H2-Blocker),
penghambat Pompa Proton, kombinasi antibiotik (eradikasi H.pylori).
Kombinasi dengan obat: proteksi mucosa (sucralfat, rebamipide, fucoidan),
prokinetik, antispasmodik serta anti-cemas dan psikoterapi digunakan dan
bersifat individual.4
a) Antasida
Antasida merupakan obat yang paling umum di konsumsi oleh penderita
dispepsia. Obat ini sebagai buffer terhadapp HCL. Kelemahan pada obat
ini dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium
serta konstipasi terutama antasid yang mengandung alumunium.4
b) Penyekat H2 Reseptor
Golongan obat ini adalah simetidin, ranitidin, famotidin, dan nizatidin.
Sebagai penekan sekresi asam. Efeknya menghilangkan rasa nyeri di ulu
hati dan tidak memperbaiki keluhan umum lainnya.4
c) Penghambat Pompa Proton
Golongan obat ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal
dengan mempengaruhi enzim H, K ATP ase yang dianggap sebagai tahap
akhir pembentukan asam lambung. Obat ini efektif dalam menghilangkan
keluhan serta penyembuhan lesi. Obat golongan ini adalah omeprazole,
lansoprazole, pantoprazole, rabeprazole, esomeprazole.4
d) Obat Golongan Prokinetik
Obat prokinetik atau promotiliti adalah obat yang akan meningkatkan
peristaltik melalui jalur rangsangan reseptor serotonin, asetilkolon,
dopamin dan motilin. Dalam golongan ini termasuk metoklopramid,
cisaprid dan domperidon. Penggunaan obat golongan ini dalam berbagai
penelitian, memperlihatkan ketidaksesuaian antara perbaikan tingkat
motilitas dengan perbaikan simptom pasien. Misalnya, terdapat perbaikan
tingkat motilitas tapi tidak disertai dengan adanya perbaikan keluhan
yang bermakna atau sebaliknya.4
e) Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa esofagus,
sebagi buffer terhadap HCL serta dapat mengikat pepsin dan garam
empedu. Obat ini aman diberikan karena bekerja secara topikal
(sitoproteksi).4
Strategi tata laksana optimal pada fase ini adalah memberikan terapi
empirik selama 1-4 minggu sebelum hasil investigasi awal, yaitu pemeriksaan
adanya Hp. Untuk daerah dan etnis tertentu serta pasien dengan faktor risiko
tinggi, pemeriksaan Hp harus dilakukan lebih awal. Obat yang dipergunakan
dapat berupa antasida, antisekresi asam lambung (PPI misalnya omeprazole,
rabeprazole dan lansoprazole dan/atau H2-Receptor Antagonist [H2RA]),
prokinetik, dan sitoprotektor (misalnya rebamipide), di mana pilihan
ditentukan berdasarkan dominasi keluhan dan riwayat pengobatan pasien
sebelumnya. Masih ditunggu pengembangan obat baru yang bekerja melalui
down-regulation proton pump yang diharapkan memiliki mekanisme kerja
yang lebih baik dari PPI, yaitu DLBS 2411. 6
Apabila ditemukan lesi mukosa (mucosal damage) sesuai hasil
endoskopi, terapi dilakukan berdasarkan kelainan yang ditemukan.
Kelainan yang termasuk ke dalam kelompok dispepsia organik antara lain
gastritis, gastritis hemoragik, duodenitis, ulkus gaster, ulkus duodenum, atau
proses keganasan. Pada ulkus peptikum (ulkus gaster dan/ atau ulkus
duodenum), obat yang diberikan antara lain kombinasi PPI, misal
rabeprazole 2x20 mg/ lanzoprazole 2x30 mg dengan mukoprotektor, misalnya
rebamipide 3x100 mg.6
Apabila setelah investigasi dilakukan tidak ditemukan kerusakan
mukosa, terapi dapat diberikan sesuai dengan gangguan fungsional yang ada.
Penggunaan prokinetik seperti metoklopramid, domperidon, cisaprid,
itoprid dan lain sebagainya dapat memberikan perbaikan gejala pada beberapa
pasien dengan dispepsia fungsional. Hal ini terkait dengan perlambatan
pengosongan lambung sebagai salah satu patofisiologi dispepsia fungsional.
Kewaspadaan harus diterapkan pada penggunaan cisaprid oleh karena potensi
komplikasi kardiovaskular.6
PF: pemeriksaan fisik, SCBA: saluran cerna bagian atas, PPK-1: Pemberi
Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama, PPK-2-3: Pemberi Pelayanan
Kesehatan Tingkat Kedua dan Ketiga.
2.8 Prognosis
Dispepsia yang di tegakkan setelah pemeriksaan klinik dan penunjang
yang akurat, mempunyai prognosis yang baik.
BAB III
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS
Nama : Ny. MH
Umur : 35 thn
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Desa Lero
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 18/05/2018
Ruangan : Pav. Kemuning RSUD Undata Palu
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri ulu hati
Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien perempuan (35thn) masuk rumah sakit
dengan keluhan nyeri ulu hati yang dirasakan seperti di iris-iris sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit,pasien mengaku jika makan rasa cepat kenyang
walau hanya makan sedikit,lambung terasa penuh, pasien juga mengaku
sering lambat makan/tidak teratur, mual (+),muntah (-), BAK lancar (+), BAB
cair berwarna kuning 3 kali (+).
Riwayat Penyakit Dahulu : pasien merasakan nyeri ulu hati 2 minggu
yang lalu SMRS.
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga : tidak ada
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum:
SP:CM/SS/GB BB: 45 Kg TB: 157 cm IMT: 18,2 Kg/m2
Vital Sign
TD: 120/80 mmHg N: 82x/menit R: 20x/menit S:36,6°C
Kepala
Wajah : Simetris
Deformitas : Tidak ada
Bentuk : Normochepal
Mata
Konjungtiva : Anemis -/-
Sklera : Ikterus -/-
Pupil : bulat, isokor +/+, diameter 2,5mm/2,5mm
Mulut : sianosis (-), bibir tampak kering(-), Selaput putih pada
tengah lidah(-),
Leher
KGB : pembesaran (-)
Tiroid : pembesaran (-)
JVP : peningkatan (-)
Massa Lain : Tidak ada
Dada
Paru-Paru
Inspeksi : Simetris bilateral
Palpasi : Massa (-), Vocal Fremitus simetris bilateral
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Bunyi nafas vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/-
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi :
Batas atas : SIC II linea parasternalis dextra et sinistra
Batas Kanan : SIC IV linea parasternalis dextra
Batas Kiri : SIC IV linea parasternalis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni reguler, murmur (-)
Perut
Inspeksi : Tampak cembung, kesan normal
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal seluruh abdomen
Perkusi : Timpany (+) seluruh abdomen
Palpasi :Massa (-), Nyeri tekan abdomen (+) bagian epigastrium
Anggota Gerak
Atas : Akral hangat +/+, edema -/-
Bawah : Akral hangat +/+, edema -/-
D. RESUME
Pasien perempuan (35thn) masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri ulu hati
yang dirasakan seperti di iris-iris sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit,pasien
mengaku jika makan rasa cepat kenyang walau hanya makan sedikit,lambung
terasa penuh, pasien juga mengaku sering lambat makan/tidak teratur, mual
(+),muntah (-), BAK lancar (+), BAB mencret-mencret warna biasa (+). Riwayat
penyakit sebelimnya pasien pernah merasakan nyeri ulu hati 2 minggu yang lalu
SMRS.
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Lab Darah:
- WBC : 8,9 x 103/mm3
- RBC : 4,92 x 106/mm3
- Hb : 13,5 g/dL
- HCT : 40,5 %
- PLT : 224 x 103/ mm3
- GDS : 89,7 mg/dL
1. Moayyedi PM, Lacy BE, Andrews CN. ACG and CAG Clinical
Guideline: Management of Dyspepsia. TheAmerican Journal of
GASTROENTEROLOGY.2017; [cited 2017 Aug 20].
2. Agoestono H. Profil Penderita Dispepsia Di Instalasi Endoskopi RSUD
Banyumas. Continuing medical education. 2014; 27(2). [cited 2017 Aug
11].
3. Wijayanti A, Nuraeni. Antiemetika prescribing patterns in patients With
dyspepsia adult and elderly patient Hospitalization in pku muhammadiyah
Yogyakarta. Jurnal Media Farmasi. 2012;11 (2).[cited 2017 Aug 11].
4. Djojoningrat D. Buku Ajar Penyakit Dalam. Gastroenterologi. Edisi VI.
Jilid II. Jakarta: InternaPublishing;2014
5. Marbun MB. Kegawatdaruratan Penyakit Dalam. Jakarta:Eimed
PAPDI;2012
6. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI) dan Kelompok Studi
Helicobacter pylori Indonesia (KSHPI). Konsensus Penatalaksanaan
Dispepsia dan Infeksi Helicobacter pylori. 2014; [cited 2017 Spt 28].
7. Despopoulos, Silbernagl. Color Atlas Of Physiology Chapter 9.
Philadelpia:Elsevier; 2003
8. Pratiwi KAK. Efektivitas pemberian kombinasi deksametason 2,5 mg dan
ondansetron 4 mg intravena dalam mencegah kejadian mual dan muntah
pascaoperasi dengan anestesi umum. Universitas Udayana. 2015; [cited
2017 Spt 08].
9. Ganong WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-22. Jakarta:
EGC;2008
10. Malone M. Managing dyspepsia. The J ournal of family PracTice.
2015;64(6). [cited 2017 Aug 20].
11. Hadi S. Gastroenterologi. Bandung: P.T. Alumni;2013
12. Tanto C. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Media
Aesculapius;2014.
13. Abdullah M, Gunawan J. Dispepsia. Continuing medical education.
2012;39 (9).[cited 2017 Aug 10].
14. Ratnasari, N. Dispepsia Kronik. Mediaefkagama. 2012;11 (29).[cited 2017
Aug 11].
15. Lacy BE. Gastroparesis, Nausea & Vomiting, and Dyspepsia. The
American Journal of GASTROENTEROLOGY.2017;[cited 2017 Aug 20].
REFERAT JULI 2018
“DISPEPSIA”
PALU
2018
HALAMAN PENGESAHAN