Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENUGASAN STASE MUATAN LOKAL

“Penanganan Trauma Akibat Hewan Laut”

Oleh:

Kelompok III

Baiq Denda Putria Ningsih H1A016012


Baiq Regita Cahyami Surya H1A016016

Pembimbing:
Dr. dr. Yoga Pamungkas Susani, M. Med. Ed

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN MUATAN LOKAL DOKTER KEPULAUAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2020

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari sekitar 17.508


pulau dan hanya sekitar 6000 pulau yang berpenghuni. Wilayah Indonesia terdiri atas
daratan dan lautan dengan perbandingan luas wilayah daratan dengan lautan adalah
3:1. Hampir 70% wilayah Indonesia terdiri atas lautan, yaitu mencapai 5,8 juta km2
(Suling, 2011) . Bila kita berjalan-jalan di pantai atau daerah laut maka banyak sekali
jenis biota laut yang dapat dengan mudah kita temukan, misalnya ikan, krustasea,
moluska, ekhinodermata, koral (karang batu) dan tumbuhan laut (algae, lamun dan
tumbuhan bakau atau mangrove) (Pratiwi, 2006). Salah satu alasan banyak orang
belajar menyelam adalah untuk berinteraksi dan mengamati kehidupan laut. Namun,
ini adalah alasan yang sama beberapa orang takut untuk menyelam. Ketika seseorang
melakukan penyelaman, selalu ada resiko untuk tersengat, digigit atau ditusuk oleh
hewan laut (DAN, 2016).
Gigitan atau sengatan oleh binatang yang hidup di air adalah gigitan atau
sengatan yang beracun, disebabkan oleh segala bentuk kehidupan yang berasal dari
air. Kebanyakkan dari tipe sengatan ini terjadi di laut. Beberapa tipe gigitan atau
sengatan dapat menyebabkan kematian. Penyebab dari gigitan, sengatan ataupun
tusukan ini berasal dari berbagai tipe kehidupan yang ada di laut seperti bulu babi,
ubur – ubur, portuguese man-of-war, anemon laut, karang, cacing laut, kerang, dan
beberapa jenis ikan seperti ikan pari, ikan lele, scorpionfish, stonefish dan weeverfish,
ikan hiu, baracuda, dan belut morray (Suling, 2011).

Gejala yang ditimbulkan dari gigitan atau sengatan ini dapat berupa nyeri,
rasa terbakar, bengkak, kemerahan, atau perdarahan pada area di dekat tempat gigitan
atau sengatan. Gejala lainnya dapat mengenai seluruh tubuh, seperti kram, diare,
sesak napas, nyeri pada daerah inguinal atau aksila, demam, nausea atau vomitus,
paralisis, berkeringat, lemas, pusing, dan pingsan (Suling, 2011 & DAN, 2016).
Pertolongan pertama yang dapat dilakukan pada pasien yang terkena trauma
akibat hewan laut ialah menyingkirkan penyebab gigitan atau sengatan tersebut
dengan handuk, sebaiknya penolong menggunakan sarung tangan, cuci area yang
digigit atau disengat dengan air asin, rendam luka di air panas selama 30 – 90 menit
(Suling, 2011 & DAN, 2016).

1. 2. Tujuan

1. Mengevaluasi kasus dan penanganan kasus sengatan dan trauma hewan laut di
Puskesmas dan klinik di Lombok
2. Menganalisis studi laporan kasus tentang trauma atau sengatan hewan laut
yang terpublikasi (kasus dari Indonesia atau di luar negeri)
3. Membuat kajian literatur dari kasus-kasus yang disampaikan
BAB II

ISI

2.1 Pelayanan Primer Di Daerah Kepulauan, Evakulasi Dan Rujukan

2.1.1 Mengidentifikasi Kasus-Kasus yang Sering Didapatkan di Klinik Layanan


Primer Gili

Alat-alat kesehatan dan obat-obatan yang terdapat di pustu masih sangat


minimal untuk kasus yang memerlukan evakuasi medis. Pasien yang sering datang
yakni warga lokal, tetapi tidak sedikit juga warga asing datang untuk meminta
pengobatan. Kasus-kasus yang paling sering didapatkan seperti keracunan, diare,
mabuk, partus dan bulu babi. 1 tahun terakhir kasus tersering di Puskesmas Pembantu
ini yakni trauma akibat hewan laut (ubur-ubur, bulu babi) dan turis-turis yang
keracunan makanan. Kasus yang sering memerlukan evakuasi medis dan perujukan
adalah kasus tenggelam, tersengat ubur-ubur yang sudah parah, atau nelayan yang
terbawa arus dan terbentur batu karang serta kasus partus.

2.1.2 Fasilitas dan Kesiapan Klinik Layanan Primer Gili


a) Obat-obatan
Terdapat beberapa obat-obatan yang biasanya digunakan pada kasus kegawat
daruratan umum untuk resusitasi jantung paru dan perbaikan sirkulasi tidak tersedia
pustu ini. Namun, karena pada beberapa waktu sering terjadi serangan hewan laut
seperti bulu babi, telah disediakan juga beberapa sediaan anti inflamasi topikal dan
intravena sebagai penanganan awal, yaitu obat-obatan seperti Dexamethasone Ampul
1 ml (5 mg/ ml) dan Hydrocortisone cream 2,5 % Tube 10 gr.
Untuk penatalaksanaan kecelakaan di laut, telah disediakan obat-obatan untuk
mengobati luka-luka seperti infus NaCl 0,9%, povidone iodine, alkohol 70%, anestesi
lokal (Lidocaine 2% Ampul 2 ml). 
Obat-obatan lain yang tersedia adalah obat untuk kasus luka minor, dan obat-
obatan untuk penyakit-penyakit yang biasanya umum (seperti diare, gastritis, mual
dan muntah, demam, dll). Obat-obatan tersebut distok secara berkala setiap 1 bulan
sekali.
b) Peralatan
   Peralatan untuk memeriksa tanda vital
 Stetoskop: 1 buah
 Tensimeter: 1 buah (aneroid)
 Termometer: 1 buah (raksa)
 Peralatan Resusitasi
 Reservoir bag
 Penanganan Luka
 Handscoon: non steril dan steril
 Kassa  dan Plester
 Alat hecting: terdapat 1 paket alat hecting (disediakan benang non absorbable
dan jarum ukuran 6.0)
 Peralatan untuk transportasi pasien: belum tersedia
 Peralatan untuk pemeriksaan laboratorium sederhana: tidak tersedia
Gambar. Alat dan Beberapa jenis obat yang tersedia di Pustu Gili Trawangan

c) Alat Transportasi Khusus


Transportasi Di Darat
Pustu Gili Trawangan belum memiliki fasilitas transportasi darat sendiri.
Sebagai alat transportasi pasien di pustu digunakan cidomo milik warga. Cidomo
dapat digunakan untuk membawa pasien dari pustu ke speedboat atau public boat
untuk di rujuk ke Puskesmas atau RSUD KLU, atau untuk membawa pasien
menuju pustu. Cidomo tersebut dicari dan dibiayai sendiri oleh keluarga pasien.
Transportasi Di Laut
Begitu pula dengan alat transportasi laut, hingga saat ini Pustu Gili
Trawangan belum memiliki fasilitas tersebut. Jika terdapat pasien yang dengan
indikasi dirujuk maka di gunakan public boat atau speedboat dan untuk biaya
transportasi ditanggung sendiri oleh pasien. 
2.1.2 Prosedur Rujukan dari Layanan Primer ke Tempat Rujukan
a) Hal-hal yang Dipertimbangkan dalam Merujuk Pasien
Perujukan pasien dalam keadaan kritis mempunyai resiko pada pasien
sehingga merupakan tantangan yang sangat besar bagi para klinisi. Alasan untuk
melakukan perujukan pada pasien adalah untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
tambahan, diagnostik atau terapiutik lebih lebih lanjut. Pasien dalam keadaan kritis
memiliki sedikit atau tidak samasekali cadangan fisiologis tubuhnya. Memindahkan
pasien seperti tersebut menimbulkan suatu masalah tersendiri dan dapat menimbulkan
suatu perubahan fisiologis yang merugikan dan dapat mengancam keselamatan pasien
saat dilakukan perujukan. Sehingga perujukan pasien kritis harus dilakukan dengan
persiapan yang matang dan perhatian yang seksama dan detail pada hal-hal yang
harus diperhatikan (Senapathi, 2018).
Guideline atau pedoman sudah tersedia dan prinsip-prinsip utama dalam
melakukan perujukan pasien meliputi 5P :
1. Planning (perencanaan)
2. Personnel (jumlah yang cukup disertai dengan kemampuan yang sudah
terstandarisir dalam evakuasi pasien kritis).
3. Properties (alat yang dipakai dalam transportasi)
4. Procedures (alat yang dipakai mengukur kestabilan keadaan pasien sebelum
dan saat diberangkatkan)
5. Passage (pilihan rute dan tehnik transport).
Dalam melakukan perujukan terdapat beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan. Beberapa hal tersebut meliputi kondisi pasien, indikasi perujukan,
dokumen yang dipersiapkan dalam perujukan, pendampingan alat transportasi dan
penentuan tempat perujukan pasien. Kondisi pasien merupakan hal penting yang
harus diperhatikan dalam merujuk pasien. Kondisi pasien harus diperhatikan terlebih
dahulu untuk menentukan perlu atau tidaknya dilakukan perujukan. Apabila kondisi
pasien masuk dalam kategori perlu dirujuk, maka yang dirujuk harus sudah dalam
keadaan stabil. Sebaiknya pada saat merujuk, pasien sebelumnya telah dipasangkan
i.v. line, serta diberikan obat-obatan untuk penanganan awal atau tindakan
pencegahan yang diperlukan sesuai kondisi pasien. 
Selain itu, pada saat melakukan perujukan pada pasien segala dokumen pasien
juga harus dipersiapkan dengan baik dengan dipastikan segala dokumen yang
butukan untuk keperluan perujukan lengkap dan tepat. Dokumen tersebut harus
berisikan informasi lengkap tentang masalah kesehatan yang dialami pasien, mulai
dari anamnesis, pemeriksaan fisik yang dilakukan, pemeriksaan penunjang yang
sudah dilakukan serta tatalaksana awal yang telah diberikan kepada pasien.
Selanjutnya indikasi pasien merupakan hal yang harus diperhatikan, yakni indikasi
yang menentukan pasien perlu dilakukan perujukan dan nantinya akan menentukan
lokasi perujukan yang dibutuhkan. Dalam keadaan darurat, pasien sebaiknya
didampingi dokter dalam menuju tempat rujukan. Selain itu juga perlu diperhatikan
alat transportasi yang digunakan dalam merujuk. Penentuan tempat rujukan
ditetapkan atas pertimbangan jarak dan medan yang ditempuh (mudah dijangkau)
serta tersedianya fasilitas dan tenaga yang dapat menangani permasalahan pasien.
Pasien yang berobat ke Puskesmas Gili Indah mayoritas merupakan penduduk
lokal yang tinggal di daerah gili serta wisatawan yang sedang melakukan rekreasi di
gili. Untuk pasien yang berobat ada yang menggunakan kartu BPJS namun ada juga
yang biasanya menggunakan umum. Dan untuk transportasi perujukan dari gili
biasanya menggunakan kapal warga sekitar yang sudah bekerjasama dengan pihak
puskesmas.
b) Alur Rujukan

c) Aspek Administratif dalam Merujuk Pasien


Berikut di bawah ini adalah prosedur administratif yang sesuai dengan
prosedur standar merujuk pasien, yaitu:
1. Penanganan awal pasien (tindakan pra-rujukan)
2. Memberikan informasi atau informed consent (persetujuan/penolakan
rujukan) kepada pasien dan keluarga mengenai keadaan pasien, alasan dirujuk,
resiko bila tidak dirujuk, teknik evakuasi serta estimasi biaya. 
3. Membuat surat rujukan (Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, Pemeriksaaan
Penunjang dan Tatalaksana awal) dan menyiapkan transportasi 
4. Koordinasi dengan pihak-pihak terkait yaitu ambulance penjemputan dan
dokter yang mendampingi pasien
5. Menghubungi dokter puskesmas untuk memberitahukan kondisi pasien dan
apa saja kebutuhan tindakan pasien, serta memastikan ketersediaan sarana dan
prasarana, alat, dan tenaga kesehatan yang berkompeten.
6. Membuat surat rujukan pasien rangkap dua; lembar pertama dikirim ke tempat
rujukan bersama pasien yang bersangkutan dan lembar kedua disimpan sebagai
arsip.
7. Pengiriman pasien ini sebaiknya dilaksanakan setelah urusan administrasi
pasien diselesaikan. 

2.2 Kasus Trauma Hewan Laut yang Pernah di Tangani di Pustu


a) Kasus
Seorang laki-laki berusia 25 tahun dilaporkan tertusuk bulu babi saat sedang
bermain sekitar pantai. Kejadian ini terjadi pada bulan Oktober 2019. Lokasi tertusuk
bulu babi berada di telapak kaki kanan, berupa spine yang tertusuk pada kaki pasien.
Namun pasien tidak sampai dilakukan perujukan ke puskesmas nipah karena dapat
ditangani di pustu gili trawangan.
b) Tindakan penanganan yang dilakukan pada kasus
 Melakukan primary survey dari ABCDE
 Membilas luka dengan NaCl 0,9%
 Mencabut secara perlahan bulu babi yang tertusuk
 Selain mencabut bulu babi tersebut, area yang tertusuk dipukul agar bulu babi
hancur didalam kulit
 Observasi
c) Indikasi pasien bila dirujuk
Bila pasien akan dirujuk, umumnya dengan indikasi yaitu jika tertusuk bulu
babi tersebut menyebabkan reaksi sistemik seperti syok anafilaktik. Namun pada
kasus ini kondisi pasien tergolong stabil. 
Bila ada indikasi, pasien dapat dirujuk ke puskesmas nipah atau ke faskes
yang lebih tinggi tergantung dari jenis pembiayaan yang dimiliki oleh pasien. Apabila
pasien merupakan anggota jamkesmas pasien akan dirujuk ke puskesmas nipah untuk
penanganan lebih lanjut, dan apabila tidak bisa ditangani di puskesmas akan dirujuk
ke faskes yang lebih tinggi. Apabila pasien merupakan wisatawan asing yang
menggunakan asuransi dapat dirujuk sesuai dengan rumah sakit yang bekerjasama
dengan asuransinya.
d) Prosedur rujukan
Perujukan dilakukan dengan mempertimbangkan alat atau sarana yang tersedia
ditempat tujuan. Adapun alur perujukan pasien adalah sebagai bebrikut :
 Dari Pustu Gili Trawangan atau Klinik di Gili, akan dirujuk ke Puskesmas
Nipah, kemudian ke RSUD Tanjung, apabila di butuhkan penanganan lebih
lanjut dapat dirujuk ke RSUD PROVINSI NTB.
 Apabila dalam keadaan gawat darurat pasien dapat langsung dirujuk ke rumah
sakit yang memiliki fasilitas yang lebih lengkap secara langsung tanpa bertahap.
Dapat langsung ke RSUD Tanjung atau RSUD Provinsi NTB.
e) Hal yang dipersiapkan untuk merujuk
 Aspek administrasi : kartu BPJS dan KIS, surat rujukan
 Aspek sosial ekonomi : Memperhatikan jarak tempat tinggal dengan jarak rumah
sakit rujukan yang akan dituju dan kondisi pasien, menjelaskan tentang dana dan
bagaimana kegunaan kartu jaminan kesehatan dalam pengobatan.
 Persiapan perujukan
 Menstabilkan kondisi pasien dan memberikan tatalaksana awal pasien yang akan
dirujuk.
 Memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang keadaan pasien,
alasan untuk dilakukan perujukan, mekanisme perujukan dan resiko bila tidak
dilakukan perujukan dan resiko selama dalam perjalanan.
 Menyiapkan dokumen yang diperlukan untuk perujukan.
 Persiapan alat transportasi dan obat obatan emergensi bila diperlukan di dalam
alat transportasi tersebut yang digunakan untuk memantau pasien dengan kondisi
gawat darurat oleh pihak dokter dan tenaga medis yang ikut mengantarkan ke
tempat rujukan.
f) Sarana/fasilitas transportasi yang dipergunakan
Sarana transportasi yang tersedia saat ini di puskesmas pembantu gili
trawangan hanya transportasi darat yaitu cidomo dan itupun merupakan transportasi
umum di gili trawangan. Untuk transportasi laut apabila akan dilakukan perujukan
tenaga medis disana menggunakan public/speed boat yang disewakan. Sebelum
dilakukan perujukan tenaga kesehatan di pustu akan berkoordinasi dengan
puskesmas nipah terlebih dahulu. Agar puskesmas nipah dapat mempersiapkan
ambulance di dermaga Bangsal/Teluk nare

2.3 Telaah Kasus Jurnal


a) Identitas Artikel
1. Judul : Sea Urchin Granuloma of the Hands: A Case Report
2. Penulis : Lutfi Al-Kathiri, Tasneem Al-Najjar and Ibrahim Sulaiman
3. Nama Jurnal : Oman Medical Journal
4. Vol/No : 34/4
5. Halaman : 350-353
6. Tahun Terbit : 2019

b) Kasus Jurnal
Pasien seorang laki-laki berusia 45 tahun yang tinggal di Dhofar, adalah
penyelam yang hebat dan memiki ketertarikan dalam panen Haliotis mariae (spesies
siput laut) selama musim penangkapan ikan tradisional. Kadang kala ketika
melakukan penyelaman, tangannya tertusuk spine bulu babi dengan luka yang
biasanya sembuh dalam beberapa jam atau hari. Dua bulan setelah cedera terakhir,
pasien datang ke klinik dermatologi dengan keluhan banyak pembengkakan (multiple
swelling) pada dorsal kedua tangan. Beberapa pembengkakan terjadi di atas
persendian, tetapi tidak ada nyeri persendian atau gangguan mobilitas sendi. Menurut
pasien, pada lokasi cedera awalnya berwarna merah dan nyeri serta terinfeksi
beberapa hari kemudian. Namun mereda setelah pengobatan dengan antibiotak oral
yang didapatkan dari puskesmas setempat.
Keadaan umum pasien tampak baik. Hasil pemeriksaan Dermatologis pada
punggung tangan menunjukkan adanya 11 nodular yang mengalami pembengkakan.
Warnanya coklat, diameter 3–5 mm, konsistensi keras, dan sedikit hiperkeratotik
dengan hipopigmentasi sentral. Pemeriksaan kedua sendi tangan menunjukkan tidak
adanya nyeri dan gerak aktif dan pasif sendi dalam batas normal. Pada Pemeriksaan
X-Ray tidak ditemukan adanya gambaran radiopak pada fragmen spine. Kemudia
dilakukan pemeriksaan biopsi kulit yang diambil dari dua granuloma. Pada
pewarnaan Hematoxylin dan eosin pada salah spimen biopsi menunjukkan adanya
inflamasi kronik non spesifik. peradangan dengan supurasi fokal dan adanya benda
asing. Spesimen lainnya menunjukkan granuloma tipe sarkoid epiteloid.
Pasien ditatalaksan dengan injeksi steroid intralesi (triamcinolone) setiap
bulan, sebagian besar nodul sembuh setelah dua bulan. Namun, tiga nodul
membutuhkan waktu dua bulan tambahan untuk sembuh. Pasien mengalami
pemulihan lengkap setelah lima bulan.
c) Telaah Kasus Jurnal
Bulu babi adalah salah satu spesies filum Echinodermata, kelas Echinoidea.
Sekitar 80 spesies diketahui beracun bagi manusia. Bulu babi adalah hewan laut
bercangkang kaku yang hidup di atas batu pada dasar laut dan di air dalam. Bulu babi
memiliki struktur tulang luar yang keras dari kalsium karbonat dengan lapisan epitel
yang tipis pada cangkang dan spine. Lapisan epitel mengandung zat beracun
termasuk serotonin, histamin, steroid, zat kolinergik, glikosida, dan zat mirip
bradikinin (Hsieh, Aronson dan Luzuriaga, 2016; Kathiri, Najjar dan Sulaiman,
2019).
Daerah yang paling sering mengalami trauma akibat bulu babi adalah kaki,
pergelangan kaki, dan tangan. Reaksi terkait cedera bulu babi dapat diklasifikasikan
menjadi reaksi awal (granulomatosa primer) dan reaksi tertunda (granulomatosa
skunder). Reaksi awal disebabkan oleh penetrasi spine buli babi, yang menyebabkan
nyeri tajam yang terlokalisir dan memberat dengan tekanan, eritema, edema,
perdarahan, dan mialgia lokal. Gejala-gelaja ini biasanya mereda beberapa jam
setelah pengankatan spine dari kulit. Jika beberapa spine tetap berada di kulit, reaksi
tertunda / granulomatosa sekunder dapat terjadi, yang dapat menyebabkan
pembentukan granuloma yang berkembang dalam dua hingga 12 bulan dan dapat
bermanifestasi sebagai nodul atau papula dan dapat menyebar. Manifestasi sistemik
dapat berupa pusing, paresthesia menjadi aphonia, paralysis, koma, dan bahkan dapat
menyebabkan kematian (Hsieh, Aronson dan Luzuriaga, 2016; Kathiri, Najjar dan
Sulaiman, 2019).
Reaksi sekunder tusukan bulu babi bergantung pada jenis, jumlah dan lokasi
tusukan bulu babi. terlepas dari jenis spesiesnya, potensi infeksi sekunder yang terkait
dengan penetrasi spine atau implantasi ke dalam kulit. Infeksi Mycobacterium
marinum telah dilaporkan pada beberapa granuloma bulu babi, serta infeksi jamur,
infeksi bakteri, dan tetanus. Reaksi ekstrakutan yang lebih serius dan gejala kronis
juga dapat terjadi. Beberapa kasus tusukan bulu babi berkembang menjadi artritis dan
sinovitis, tenosinovitis dari implantasi spine ke dalam sendi dan tendon. Komplikasi
ekstrakutan lain termasuk neuropati dan paresthesia, kerusakan tulang lokal, nyeri
yang menyebar, kelemahan otot, dan hipotensi (Hsieh, Aronson dan Luzuriaga, 2016;
Kathiri, Najjar dan Sulaiman, 2019).
Dalam kasus ini, granuloma berkembang dua bulan setelah penetrasi dari
spine bulu babi pada punggung tangan pasien. Secara klinis, nodul berbentuk padat,
papula berwarna daging dan nodul yang berada di pusat umbilikasi dengan
permukaan hiperkeratotik.
Diagnosis cedera akibat spine bulu babi dilakukan melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Riwayat kontak dengan bulu babi menunjukkan diagnosis. Pada
pasien dengan riwayat tusukan spine bulu babi, ditemukan adanya granuloma pada
sendi dan gangguan fungsi sendi, dindikasikan dilakukan eksplorasi bedah.
Ultrasonografi atau MRI mungkin membantu dalam kasus yang meragukan untuk
menemukan lokasi tusukan spine, terutama jika tidak ada nodul yang terlihat pada
kulit. Namun, fragmen spine yang kecil mungkin tidak dapat diamati sepenuhnya
pada pemeriksaan radiografi. Biopsi kulit dapat membantu untuk konfirmasi
diagnosis. Kasus yang dilaporkan telah menggambarkan reaksi granulomatosa di
sebagian besar spesimen histologis, dengan nekrosis sebagai temuan umum tambahan
(Hsieh, Aronson dan Luzuriaga, 2016; Kathiri, Najjar dan Sulaiman, 2019).
Tatalaksana trauma akibat spine bulu babi di sebagian besar kasus bersifat
konservatif. Segera direndam menggunakan air hangat dapat mengurangi rasa sakit
dan menonaktifkan toksin. Monitoring dan tatalaksana suportif untuk reaksi alergi,
kelumpuhan otot, dan gangguan pernapasan, yang mungkin terjadi terkait dengan
envenomasi, sangat penting. Profilaksis tetanus harus segera diberikan untuk
mengcegah terjadnya infeksi. Pemberian antibiotik local atau sistemik dianjurkan
untuk infeksi sekunder. Pencabutan spine yang terlihat dan atau fragmen spine yang
teraba segera menggunakan insisi elips terbatas dengan pembesaran akan
menyebabkan reaksi lokal mereda. Namun, dalam melakukan pencabutan spine
terkadang susah dilakukan dan spine tertinggal di tempatnya biasanya secara bertahap
akan larut atau diekstrusi dalam satu atau dua tahun. Granuloma pada jaringan lunak
umumnya tidak memerlukan intervensi bedah, tatalaksana yang dilakukan dapat
berupa injeksi kortikosteroid untuk membantu resolusi, jika lesi cukup kecil eksisi
mungkin lebih disukai (Hsieh, Aronson dan Luzuriaga, 2016; Kathiri, Najjar dan
Sulaiman, 2019).
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Bulu babi merupakan hewan laut yang tergolong dalam filum
Echinodermata. Bulu babi memiliki bentuk tubuh yang bulat yang tertutupi
oleh spine yang keras. Pada bagian ujung spine bulu babi berbentuk bulat dan
berlubang untuk melakukan envenomasi. Selain itu pada bulu babi juga
terdapat pediselaria yang mengandung racun (Gelman et al,2020).
3.2 Epidemiologi
Terdapat banyak spesies bulu babi di semua samudra. Sebagian besar
insiden envonomasi terjadi di perairan tropis dan subtropics. Kejadian ini pada
umumnya sering terjadi pada penyelam yang melakukan penyelaman di
perairan dangkal dekat pantai berbatu. Menurut The American Association of
Poison Control Centers terdapat sekitar 1800 paparan hewan laut setiap
tahunnya di Amerika Serikat pada tahun 2010 dan 2011, dan sekitar 500
paparan mendapatkan perawatan (Gelman et al,2020).
3.3 Patofisiologi
Envenomasi bulu babi terjadi ketika spine (melekat pada tuberkel)
menembus jaringan lunak. Spine apabila menusuk kedalam jaringan akan
patah didalam jaringan tersebut dan sulit untuk dikeluarkan. Racun yang
terkandung dalam bulu babi mengandung glikosida, hemolisin, protease, dan
dapat merupakan campuran dari protein dengan berat molekul tinggi dan
senyawa dengan berat molekul rendah seperti histamine, serotonin,dan
bradikinin. Dalam banyak kasus yang terjadi, envenomasi menyebabkan
degranulasi sel mast, gangguan metabolisme sel, gangguan transmisi saraf,
dan depresi miokard. Selain itu envenomasi juga dapat menyababkan nyeri
yang signifikan, dermatitis, kelumpuhan, kolaps kardiovaskular, dan gagal
nafas (DAN, 2016 ; Gelman et al,2020).
3.4 Manifestasi klinis

 Gejala lokal: Nyeri terasa seperti terbakar yang dapat berlangsung dalam
beberapa jam, kerusakan jaringan atau spine yang menonjol dapat
ditemukan.

 Gejala sistemik: Mual dan muntah, parestesia, kelumpuhan otot, nyeri


perut, sinkop, hipotensi, dan gangguan pernapasan. Pada pemeriksaan fisik,
mungkin ada perdarahan, edema lokal, eritema, dan rasa hangat di sekitar
lokasi tusukan. Sebuah tulang belakang mungkin terlihat atau mungkin
tidak. Dalam beberapa kasus, mungkin ada pigmentasi biru tua atau hitam
(tato sementara) ke jaringan di sekitarnya dari spine berwarna gelap,
sinovitis, infeksi luka sekunder, atau pembentukan granuloma jika ada
retensi benda asing (DAN, 2016; Gelman et al, 2020).

3.5 Tatalaksana
 Mengangkat semua spine yang terlihat sesegera mungkin, karena dapat
menyebabkan envenomasi bahkan ketika telah terlepas dari tubuh bulu
babi.
 Area yang terluka harus direndam air panas (40ºC- 46ºC) disesuaikan
berdasarkan suhu yang dapat ditoleransi oleh pasien, perendaman ini
dilakukan selama 30-90 menit atau sampai nyeri terasa berkurang.
 Pemberian analgesia orang juga harus dipertimbangkan. Status vaksin
tetanus harus diketahui. Terkadang infiltrasi anestesi local atau blok saraf
dapat berguna untuk mehilangkan rasa sakit.
 Luka harus dibersihkan, diirigasi, dieksplorasi untuk mencari spine yang
tertinggal. Jika spine masih dapat dilihat dan dijangkau, spine harus segera
disingkirkan.
 Jika spine telah memasuki sendi atau dekat dengan struktur neurovascular,
biasanya memerlukan pembedahan.
 Jika pasien mengalami neuropati reaktif, pasien mungkin berespon
terhadap kortikosteroid sistemik.
 Sering terjadi infeksi sekunder. Jika terdapat spine yang tertinggal dapat
menyebabkan terbentuknya granuloma yang mungkin memerlukan eksisi.
Selain itu spine yang tertinggal juga dapat menyebabkan artritis yang
mungkin memerlukan sinovektomi.
 Saat ini belum tersedia antivenom untuk spesies Echinodermata sehingga
tatalaksana yang dilakukan bersifat suportif.
 Antibiotik profilaksis biasanya tidak diindikasikan, kecuali pada orang
dengan luka dalam, orang dengan morbiditas yang signifikan, atau orang
dengan immunocompromised. Setelah ditetapkan adanya infeksi, terapi
harus dilakukan, Organisme umum yang terkait dengan trauma laut
termasuk spesies Staphylococcus dan Streptococcus, Vibrio vulnificus, dan
Mycobacterium marinum
 Jika antibiotik diperlukan, pengobatan harus dilakukan selama 7-14 hari.
Antibiotic yang dapat diberikan adalah Ciprofloxacin 500 mg PO BID,
Trimethoprim / sulfamethoxazole 160/800 mg PO BID, atau Doxycycline
100 mg PO BID. Selain itu, dapat juga digunakan Antibiotik parenteral
spektrum luas yang diindikasikan untuk infeksi luka parah atau sepsis
(DAN, 2016; Gelman et al, 2020).
3.6 Komplikasi dan Prognosis
 Komplikasi
Gejala sistemik seperti kolaps kardiovaskular dan selulitis adalah
komplikasi yang paling umum. Selain itu potensi infeksi sekunder yang
terkait dengan penetrasi tulang belakang atau implantasi ke dalam kulit
perlu diwaspadai. Infeksi Mycobacterium marinum telah dilaporkan pada
beberapa granuloma bulu babi, serta infeksi jamur, infeksi bakteri, dan
tetanus. Reaksi ekstrakutan yang lebih serius dan gejala kronis juga dapat
terjadi. Beberapa kasus tusukan bulu babi berkembang menjadi artritis dan
sinovitis, tenosinovitis dari implantasi spine ke dalam sendi dan tendon.
Komplikasi ekstrakutan lain termasuk neuropati dan paresthesia, kerusakan
tulang lokal, nyeri yang menyebar, paralysis, koma, dan bahkan dapat
menyebabkan kematian (Hsieh, Aronson dan Luzuriaga, 2016; Kathiri,
Najjar dan Sulaiman, 2019; Gelman et al, 2020).
 Prognosis
Efek lokal dan sistemik keduanya mungkin terjadi setelah envenomasi
echinodermata. Namun, tidak ada hubungan yang jelas antara envenomasi
echinodermata dan kematian yang ditemukan dalam literatur saat ini.
(Gelman et al, 2020).
DAFTAR PUSTAKA

Al-Kathiri L ,Najjar TA And Sulaiman I. 2019. Sea Urchin Granuloma Of The


Hands: A Case Report. Oman Medical Journal. 34 (4), Pp. 350-353.
DAN. -. First Aid For Hazardous Marine Life Injuries. 2016. Available At:
Https://Www.Research.Usf.Ed/.../Hmli-Firstaid
Gelman Y, Kong EL, Murphy-Lavoie HM. 2020. Sea Urchin Toxicity. Available At:
Https://Www.Ncbi.Nlm.Nih.Gov/Books/NBK536934/.
Hsieh C; Aronson ER, Luzuriaga, AMRD. 2016. Aquatic Antagonists: Cutaneous Sea
Urchin Spine Injury. Close Encounters With The Environment. Vol 98, Pp. 303-
305.
Senapathi TGA, Widnyana MG, Suardjaya PP, Wiryana IM, Aribawa IGNM. 2018.
Medical Evacuation (Medivac). FK UNUD. Available At:
Https://Fk.Unud.Ac.Id/Wpcontent/Uploads/2015/10/Medicalevacuation-
2015.Pdf

Anda mungkin juga menyukai