Oleh:
Kelompok III
Pembimbing:
Dr. dr. Yoga Pamungkas Susani, M. Med. Ed
KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN MUATAN LOKAL DOKTER KEPULAUAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gejala yang ditimbulkan dari gigitan atau sengatan ini dapat berupa nyeri,
rasa terbakar, bengkak, kemerahan, atau perdarahan pada area di dekat tempat gigitan
atau sengatan. Gejala lainnya dapat mengenai seluruh tubuh, seperti kram, diare,
sesak napas, nyeri pada daerah inguinal atau aksila, demam, nausea atau vomitus,
paralisis, berkeringat, lemas, pusing, dan pingsan (Suling, 2011 & DAN, 2016).
Pertolongan pertama yang dapat dilakukan pada pasien yang terkena trauma
akibat hewan laut ialah menyingkirkan penyebab gigitan atau sengatan tersebut
dengan handuk, sebaiknya penolong menggunakan sarung tangan, cuci area yang
digigit atau disengat dengan air asin, rendam luka di air panas selama 30 – 90 menit
(Suling, 2011 & DAN, 2016).
1. 2. Tujuan
1. Mengevaluasi kasus dan penanganan kasus sengatan dan trauma hewan laut di
Puskesmas dan klinik di Lombok
2. Menganalisis studi laporan kasus tentang trauma atau sengatan hewan laut
yang terpublikasi (kasus dari Indonesia atau di luar negeri)
3. Membuat kajian literatur dari kasus-kasus yang disampaikan
BAB II
ISI
b) Kasus Jurnal
Pasien seorang laki-laki berusia 45 tahun yang tinggal di Dhofar, adalah
penyelam yang hebat dan memiki ketertarikan dalam panen Haliotis mariae (spesies
siput laut) selama musim penangkapan ikan tradisional. Kadang kala ketika
melakukan penyelaman, tangannya tertusuk spine bulu babi dengan luka yang
biasanya sembuh dalam beberapa jam atau hari. Dua bulan setelah cedera terakhir,
pasien datang ke klinik dermatologi dengan keluhan banyak pembengkakan (multiple
swelling) pada dorsal kedua tangan. Beberapa pembengkakan terjadi di atas
persendian, tetapi tidak ada nyeri persendian atau gangguan mobilitas sendi. Menurut
pasien, pada lokasi cedera awalnya berwarna merah dan nyeri serta terinfeksi
beberapa hari kemudian. Namun mereda setelah pengobatan dengan antibiotak oral
yang didapatkan dari puskesmas setempat.
Keadaan umum pasien tampak baik. Hasil pemeriksaan Dermatologis pada
punggung tangan menunjukkan adanya 11 nodular yang mengalami pembengkakan.
Warnanya coklat, diameter 3–5 mm, konsistensi keras, dan sedikit hiperkeratotik
dengan hipopigmentasi sentral. Pemeriksaan kedua sendi tangan menunjukkan tidak
adanya nyeri dan gerak aktif dan pasif sendi dalam batas normal. Pada Pemeriksaan
X-Ray tidak ditemukan adanya gambaran radiopak pada fragmen spine. Kemudia
dilakukan pemeriksaan biopsi kulit yang diambil dari dua granuloma. Pada
pewarnaan Hematoxylin dan eosin pada salah spimen biopsi menunjukkan adanya
inflamasi kronik non spesifik. peradangan dengan supurasi fokal dan adanya benda
asing. Spesimen lainnya menunjukkan granuloma tipe sarkoid epiteloid.
Pasien ditatalaksan dengan injeksi steroid intralesi (triamcinolone) setiap
bulan, sebagian besar nodul sembuh setelah dua bulan. Namun, tiga nodul
membutuhkan waktu dua bulan tambahan untuk sembuh. Pasien mengalami
pemulihan lengkap setelah lima bulan.
c) Telaah Kasus Jurnal
Bulu babi adalah salah satu spesies filum Echinodermata, kelas Echinoidea.
Sekitar 80 spesies diketahui beracun bagi manusia. Bulu babi adalah hewan laut
bercangkang kaku yang hidup di atas batu pada dasar laut dan di air dalam. Bulu babi
memiliki struktur tulang luar yang keras dari kalsium karbonat dengan lapisan epitel
yang tipis pada cangkang dan spine. Lapisan epitel mengandung zat beracun
termasuk serotonin, histamin, steroid, zat kolinergik, glikosida, dan zat mirip
bradikinin (Hsieh, Aronson dan Luzuriaga, 2016; Kathiri, Najjar dan Sulaiman,
2019).
Daerah yang paling sering mengalami trauma akibat bulu babi adalah kaki,
pergelangan kaki, dan tangan. Reaksi terkait cedera bulu babi dapat diklasifikasikan
menjadi reaksi awal (granulomatosa primer) dan reaksi tertunda (granulomatosa
skunder). Reaksi awal disebabkan oleh penetrasi spine buli babi, yang menyebabkan
nyeri tajam yang terlokalisir dan memberat dengan tekanan, eritema, edema,
perdarahan, dan mialgia lokal. Gejala-gelaja ini biasanya mereda beberapa jam
setelah pengankatan spine dari kulit. Jika beberapa spine tetap berada di kulit, reaksi
tertunda / granulomatosa sekunder dapat terjadi, yang dapat menyebabkan
pembentukan granuloma yang berkembang dalam dua hingga 12 bulan dan dapat
bermanifestasi sebagai nodul atau papula dan dapat menyebar. Manifestasi sistemik
dapat berupa pusing, paresthesia menjadi aphonia, paralysis, koma, dan bahkan dapat
menyebabkan kematian (Hsieh, Aronson dan Luzuriaga, 2016; Kathiri, Najjar dan
Sulaiman, 2019).
Reaksi sekunder tusukan bulu babi bergantung pada jenis, jumlah dan lokasi
tusukan bulu babi. terlepas dari jenis spesiesnya, potensi infeksi sekunder yang terkait
dengan penetrasi spine atau implantasi ke dalam kulit. Infeksi Mycobacterium
marinum telah dilaporkan pada beberapa granuloma bulu babi, serta infeksi jamur,
infeksi bakteri, dan tetanus. Reaksi ekstrakutan yang lebih serius dan gejala kronis
juga dapat terjadi. Beberapa kasus tusukan bulu babi berkembang menjadi artritis dan
sinovitis, tenosinovitis dari implantasi spine ke dalam sendi dan tendon. Komplikasi
ekstrakutan lain termasuk neuropati dan paresthesia, kerusakan tulang lokal, nyeri
yang menyebar, kelemahan otot, dan hipotensi (Hsieh, Aronson dan Luzuriaga, 2016;
Kathiri, Najjar dan Sulaiman, 2019).
Dalam kasus ini, granuloma berkembang dua bulan setelah penetrasi dari
spine bulu babi pada punggung tangan pasien. Secara klinis, nodul berbentuk padat,
papula berwarna daging dan nodul yang berada di pusat umbilikasi dengan
permukaan hiperkeratotik.
Diagnosis cedera akibat spine bulu babi dilakukan melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Riwayat kontak dengan bulu babi menunjukkan diagnosis. Pada
pasien dengan riwayat tusukan spine bulu babi, ditemukan adanya granuloma pada
sendi dan gangguan fungsi sendi, dindikasikan dilakukan eksplorasi bedah.
Ultrasonografi atau MRI mungkin membantu dalam kasus yang meragukan untuk
menemukan lokasi tusukan spine, terutama jika tidak ada nodul yang terlihat pada
kulit. Namun, fragmen spine yang kecil mungkin tidak dapat diamati sepenuhnya
pada pemeriksaan radiografi. Biopsi kulit dapat membantu untuk konfirmasi
diagnosis. Kasus yang dilaporkan telah menggambarkan reaksi granulomatosa di
sebagian besar spesimen histologis, dengan nekrosis sebagai temuan umum tambahan
(Hsieh, Aronson dan Luzuriaga, 2016; Kathiri, Najjar dan Sulaiman, 2019).
Tatalaksana trauma akibat spine bulu babi di sebagian besar kasus bersifat
konservatif. Segera direndam menggunakan air hangat dapat mengurangi rasa sakit
dan menonaktifkan toksin. Monitoring dan tatalaksana suportif untuk reaksi alergi,
kelumpuhan otot, dan gangguan pernapasan, yang mungkin terjadi terkait dengan
envenomasi, sangat penting. Profilaksis tetanus harus segera diberikan untuk
mengcegah terjadnya infeksi. Pemberian antibiotik local atau sistemik dianjurkan
untuk infeksi sekunder. Pencabutan spine yang terlihat dan atau fragmen spine yang
teraba segera menggunakan insisi elips terbatas dengan pembesaran akan
menyebabkan reaksi lokal mereda. Namun, dalam melakukan pencabutan spine
terkadang susah dilakukan dan spine tertinggal di tempatnya biasanya secara bertahap
akan larut atau diekstrusi dalam satu atau dua tahun. Granuloma pada jaringan lunak
umumnya tidak memerlukan intervensi bedah, tatalaksana yang dilakukan dapat
berupa injeksi kortikosteroid untuk membantu resolusi, jika lesi cukup kecil eksisi
mungkin lebih disukai (Hsieh, Aronson dan Luzuriaga, 2016; Kathiri, Najjar dan
Sulaiman, 2019).
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Bulu babi merupakan hewan laut yang tergolong dalam filum
Echinodermata. Bulu babi memiliki bentuk tubuh yang bulat yang tertutupi
oleh spine yang keras. Pada bagian ujung spine bulu babi berbentuk bulat dan
berlubang untuk melakukan envenomasi. Selain itu pada bulu babi juga
terdapat pediselaria yang mengandung racun (Gelman et al,2020).
3.2 Epidemiologi
Terdapat banyak spesies bulu babi di semua samudra. Sebagian besar
insiden envonomasi terjadi di perairan tropis dan subtropics. Kejadian ini pada
umumnya sering terjadi pada penyelam yang melakukan penyelaman di
perairan dangkal dekat pantai berbatu. Menurut The American Association of
Poison Control Centers terdapat sekitar 1800 paparan hewan laut setiap
tahunnya di Amerika Serikat pada tahun 2010 dan 2011, dan sekitar 500
paparan mendapatkan perawatan (Gelman et al,2020).
3.3 Patofisiologi
Envenomasi bulu babi terjadi ketika spine (melekat pada tuberkel)
menembus jaringan lunak. Spine apabila menusuk kedalam jaringan akan
patah didalam jaringan tersebut dan sulit untuk dikeluarkan. Racun yang
terkandung dalam bulu babi mengandung glikosida, hemolisin, protease, dan
dapat merupakan campuran dari protein dengan berat molekul tinggi dan
senyawa dengan berat molekul rendah seperti histamine, serotonin,dan
bradikinin. Dalam banyak kasus yang terjadi, envenomasi menyebabkan
degranulasi sel mast, gangguan metabolisme sel, gangguan transmisi saraf,
dan depresi miokard. Selain itu envenomasi juga dapat menyababkan nyeri
yang signifikan, dermatitis, kelumpuhan, kolaps kardiovaskular, dan gagal
nafas (DAN, 2016 ; Gelman et al,2020).
3.4 Manifestasi klinis
Gejala lokal: Nyeri terasa seperti terbakar yang dapat berlangsung dalam
beberapa jam, kerusakan jaringan atau spine yang menonjol dapat
ditemukan.
3.5 Tatalaksana
Mengangkat semua spine yang terlihat sesegera mungkin, karena dapat
menyebabkan envenomasi bahkan ketika telah terlepas dari tubuh bulu
babi.
Area yang terluka harus direndam air panas (40ºC- 46ºC) disesuaikan
berdasarkan suhu yang dapat ditoleransi oleh pasien, perendaman ini
dilakukan selama 30-90 menit atau sampai nyeri terasa berkurang.
Pemberian analgesia orang juga harus dipertimbangkan. Status vaksin
tetanus harus diketahui. Terkadang infiltrasi anestesi local atau blok saraf
dapat berguna untuk mehilangkan rasa sakit.
Luka harus dibersihkan, diirigasi, dieksplorasi untuk mencari spine yang
tertinggal. Jika spine masih dapat dilihat dan dijangkau, spine harus segera
disingkirkan.
Jika spine telah memasuki sendi atau dekat dengan struktur neurovascular,
biasanya memerlukan pembedahan.
Jika pasien mengalami neuropati reaktif, pasien mungkin berespon
terhadap kortikosteroid sistemik.
Sering terjadi infeksi sekunder. Jika terdapat spine yang tertinggal dapat
menyebabkan terbentuknya granuloma yang mungkin memerlukan eksisi.
Selain itu spine yang tertinggal juga dapat menyebabkan artritis yang
mungkin memerlukan sinovektomi.
Saat ini belum tersedia antivenom untuk spesies Echinodermata sehingga
tatalaksana yang dilakukan bersifat suportif.
Antibiotik profilaksis biasanya tidak diindikasikan, kecuali pada orang
dengan luka dalam, orang dengan morbiditas yang signifikan, atau orang
dengan immunocompromised. Setelah ditetapkan adanya infeksi, terapi
harus dilakukan, Organisme umum yang terkait dengan trauma laut
termasuk spesies Staphylococcus dan Streptococcus, Vibrio vulnificus, dan
Mycobacterium marinum
Jika antibiotik diperlukan, pengobatan harus dilakukan selama 7-14 hari.
Antibiotic yang dapat diberikan adalah Ciprofloxacin 500 mg PO BID,
Trimethoprim / sulfamethoxazole 160/800 mg PO BID, atau Doxycycline
100 mg PO BID. Selain itu, dapat juga digunakan Antibiotik parenteral
spektrum luas yang diindikasikan untuk infeksi luka parah atau sepsis
(DAN, 2016; Gelman et al, 2020).
3.6 Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi
Gejala sistemik seperti kolaps kardiovaskular dan selulitis adalah
komplikasi yang paling umum. Selain itu potensi infeksi sekunder yang
terkait dengan penetrasi tulang belakang atau implantasi ke dalam kulit
perlu diwaspadai. Infeksi Mycobacterium marinum telah dilaporkan pada
beberapa granuloma bulu babi, serta infeksi jamur, infeksi bakteri, dan
tetanus. Reaksi ekstrakutan yang lebih serius dan gejala kronis juga dapat
terjadi. Beberapa kasus tusukan bulu babi berkembang menjadi artritis dan
sinovitis, tenosinovitis dari implantasi spine ke dalam sendi dan tendon.
Komplikasi ekstrakutan lain termasuk neuropati dan paresthesia, kerusakan
tulang lokal, nyeri yang menyebar, paralysis, koma, dan bahkan dapat
menyebabkan kematian (Hsieh, Aronson dan Luzuriaga, 2016; Kathiri,
Najjar dan Sulaiman, 2019; Gelman et al, 2020).
Prognosis
Efek lokal dan sistemik keduanya mungkin terjadi setelah envenomasi
echinodermata. Namun, tidak ada hubungan yang jelas antara envenomasi
echinodermata dan kematian yang ditemukan dalam literatur saat ini.
(Gelman et al, 2020).
DAFTAR PUSTAKA