RHINOGENIC HEADACHE
Disusun oleh
Ester Kardianti Anin (01073180022)
Wiryani Sentosa (01073180115)
Pembimbing :
Dr. Niken Ageng Rizki, SpTHT-KL
DAFTAR ISI.................................................................................................................i
DAFTAR GAMBAR...................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................1
2.1. Definisi........................................................................................................1
2.2. Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal.........................................................1
2.3. Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasal.......................................................11
2.4. Epidemiologi.............................................................................................13
2.5. Etiologi......................................................................................................14
2.6. Patofisiologi...............................................................................................16
2.7. Manifestasi Klinis......................................................................................19
2.8. Diagnosis...................................................................................................19
2.9. Diagnosis banding.....................................................................................25
2.10. Tatalaksana................................................................................................28
2.11. Prognosis .................................................................................................30
BAB III KESIMPULAN............................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................33
DAFTAR GAMBAR
Nyeri kepala merupakan gejala yang paling sering ditemukan dan setiap
orang pasti pernah mengalaminya walaupun hanya sekali saja dalam hidupnya. Nyeri
kepala dapat disebabkan oleh berbagai hal yang berdasarkan etiologinya dibagi
menjadi nyeri kepala primer (migrain, nyeri kepala tipe tegang, nyeri kepala kluster)
dan nyeri kepala sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu. Definisi nyeri
kepala yang sangat luas ini menjadi sebuah kesulitan bagi para dokter untuk
menentukan diagnosis yang tepat.1
Nyeri kepala rhinogenik merupakan salah satu etiologi yang penting dan
yang sering ditemui dari nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala rhinogenik ini disebut
sebagai grup diagnostik untuk nyeri kepala yang disebabkan oleh rhinosinusitis akut,
rhinosinusitis kronik atau rekuren, atau patologis sinonasal lainnya yang dapat
menyebabkan nyeri kepala seperti mucosal contact point.2 Sebuah studi di Italia
menyatakan bahwa 69 dari 100 kelompok penderita nyeri kepala disebabkan oleh
nyeri kepala rhinogenik, sebagian besar penderita berusia 21-30 tahun (59,42%) dan
53,62% dari penderitanya berjenis kelamin laki-laki.3
Gejala nyeri kepala akibat rhinogenik ini sering salah terdiagnosa dengan
kondisi lainnya seperti migrain. Kesalahan diagnosis atau underdiagnosed dapat
terjadi akibat seringkali nyeri kepala yang dikeluhkan penderita dapat dijumpai
dengan pemeriksaan fisik yang normal. Berdasarkan sebuah studi yang dilakukan
pada orang dewasa didapatkan bahwa 80% dari sampel yang telah terdiagnosis nyeri
kepala rinogenik ini sebenarnya memiliki gejala yang masuk dalam kriteria migrain
pada International Headache Society (IHS).2
Identifikasi yang baik dan benar perlu dilakukan oleh seorang dokter untuk
menghindari kesalahan diagnosis atau underdiagnosed yang sering terjadi ini.
Evaluasi yang tepat akan menentukan dasar patofisiologinya dan penyebab utamanya.
Evaluasi ini tentunya akan menjadi dasar tatalaksana yang akan diberikan kepada
penderita. Nyeri kepala primer dan nyeri kepala sekunder dengan berbagai penyebab
tentunya memiliki perbedaan tatalaksana yang signifikan. Kesalahan diagnosis dapat
mengakibatkan kesalahan yang signifikan terhadap tatalaksana. Kesalahan
tatalaksana dapat mengakibatkan penderita terus mengalami nyeri kepala kronik dan
mendapatkan pengobatan dan penanganan yang tidak sesuai.3
Oleh karena itu, berdasarkan berbagai permasalahan tersebut tulisan ini
dibuat untuk membantu para medis dalam memahami mengenai nyeri kepala
rhinogenik, memberikan pengetahuan mengenai bagaimana mendiagnosis dan
tatalaksana yang tepat terhadap nyeri kepala rhinogenik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Nyeri kepala rhinogenik merupakan salah satu jenis etiologi nyeri kepala
sekunder. Nyeri kepala rhinogenik digunakan sebagai sebuah terminologi yang
menjelaskan nyeri kepala yang disebabkan oleh kelainan pada hidung dan rongga
hidung yang disebabkan oleh cedera eksternal atau penyakit penyerta pada hidung
yang dapat dilihat dari gambaran CT-scan.2
Nyeri kepala rhinogenik juga disebutkan sebagai sindrom nyeri yang
berhubungan dengan sinonasal mucosal contact point tanpa adanya tanda-tanda
inflamasi, hiperplasia mukosa, sekret purulen, polip sinonasal atau masa.4
Terdapat kesamaan definisi nyeri kepala rhinogenik dengan beberapa
terminologi lain, seperti rhinogenic migraine, sinus headache, rhinogenic contact
point headache, dan middle turbinate headache syndrome. Namun, terminologi yang
umum digunakan adalah nyeri kepala rhinogenik karena mencakup semua kelainan di
bagian hidung dan rongga hidung.1
International Classification of Headache Disorders 3rd Edition menyatakan
bahwa nyeri kepala rhinogenik merupakan nyeri kepala yang berkaitan dengan
gangguan pada hidung atau sinus paranasal dan diklasifikasikan menjadi dua
diagnosis yaitu nyeri kepala yang berhubungan dengan rhinosinusitis akut dan nyeri
kepala yang berhubungan dengan rhinosinusitis kronik atau berulang.5
2.2. Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal
Nyeri kepala rhinogenik sangat berkaitan erat dengan kelainan anatomi
hidung dan sinus paranasal. Oleh karena itu, berikut penjelasan mengenai anatomi
hidung dan sinus paranasal:
2.2.1. Anatomi Hidung6
A. Hidung eksternal
Bagian terluar dari hidung terdiri dari tulang dan tulang rawan, 1/3
bagian superior terdiri dari tulang dan 2/3 bagian inferior terdiri dari tulang
rawan. Pada bagian ujung hidung disebut radix nasi dan apabila ditelusuri
hingga ke atas akan terdapat daerah flattened bony yang disebut glabella dan
berada tepat di depan sinus frontal.
Pada bagian 1/3 atas hidung yang tediri dari tulang, berbatasan dengan
tulang maksila pada bagian leteral. Sedangkan pada 2/3 bagian bawah terdiri
dari tulang rawan dibatasi oleh tulang rawan alar yang ada di bagian inferior.
Alar terdiri dari crus medial dan crus lateral yang membentuk naris. Limen
nasi merupakan batas atas dari crus lateral dan tempat beradanya permulaan
dari konka inferior dan septum. Tulang rawan sesamoid berada pada bagian
atas dan bawah crus lateral.
Bagian luar terdiri dari otot dan kulit, m.frontalis berfungsi untuk
memendekkan hidung saat berkontraksi. Pada alar terdapat m.levator labii
superioris nasi berfungsi untuk mendilatasi lubang hidung.
Bagian dasar dari rongga hidung terdiri dari bagian palatal maksila dan
horizontal tulang palate. Bagian atap rongga hidung terdiri dari cribiform
plate. Dinding lateral terbentuk dari permukaan maksila dan tulang lakrimal
untuk menyokong tiga konka, konka inferior, media, dan superior. Konka
media dan superior merupakan perpanjangan dari tlang etmoid, sedangkan
konka inferior merupakan tulang yang terdapat pada bagian superior dinding
hidung. Konka inferior merupakan bagian yang terkena langsung pada udara
yang masuk dan dapat mengecilkan ukuran koana apabila bagian posteriornya
mengalami hipertrofi.
Perlekatan antara konka inferior dan septum yang deviasi dapat
menyebabkan obstruksi hidung unilateral dan nyeri wajah kronik. Hipertrofi
bagian anterior konka inferior dapat dijumpai pada pasien dengan rinitis
alergi. Ketiga konka ini membagi rongga hidung menjadi tiga meatus :
inferior, media, dan superior.
Meatus superior terletak diantara septu, konka media, dan tulang
ethmoid. Pada meatus medius terdapat lubang dari sinus frontal, anterior sel
etmoid dan sinus maksila, yang akan menuju hiatus semilunaris dan ke
infundibulum, sebuah celah pada dinding lateral meatus medius. Ductus
nasolakrimal akan mengalir menuju meatus inferior dibawah konka inferior.
a. Sinus maksila
Sinus maksila merupakan sinus terbesar yang terletak di bagian pipi,
bagian atap dari sinus maksila adalah bagian dasar dari orbit. Bagian dasar
dari sinus maksila terbentuk dari proses aleolar maksila dan hard palate.
Bagian anterior sinus maksila terdapat ttulang maksila, dan
pterygomaxilary fosa dan ruang infratemporal di bagian posteriornya.
Terdapat lubang yang akan menghubungkan sinus dengan rongga hidung
yang dilewati oleh pembuluh darah dan persarafan yang disebut fontanel
anterior atau posterior. Sinus maksilari atau dikenal juga dengan antrum
of highmore memiliki pertumbuhan bifasik, dimulai dari 3 tahun pertama
kehidupan dan di usia 7 dan 18 tahun.6
b. Sinus etmoid
Sinus ethmoid terletak pada basal anterior tengkorak dan terdiri dari
kompleks seperti labirin dengan dinding yang tipis. Dinding lateral
berhubungan dengan plate orbital atau lamina papyracea, bagian anterior
berhubungan dengan tulang frontal, posterior dengan tulang palatine serta
tulang sphenoid.6
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan berupa x-ray atau CT-scan yang akan
menunjukkan variasi anatomi dan/atau kelainan mukosa.16
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mencari kelainan pada
regio sinonasal adalah dengan x-ray proyeksi waters untuk melihat keadaan nasal
septum. Namun, gambaran x-ray waters ini hanya dapat melihat deviasi bagian tulang
pada nasal septum. Gambaran kartilago quadrangular tidak dapat terlihat. Sehingga
gambaran x-ray tidak disarankan lagi, lebih disarankan menggunakan CT-scan.14
Gambar 2.13. (A) X-Ray Kepala (B) CT Scan Kepala14
1. Dekongestan
Dekongestan diberikan dalam jangka pendek untuk memberikan efek cepat,
dekongestan oral akan bekerja dalam waktu 30 menit dan bertahan selama 6
jam. Dekongestan mengandung agen simpatomimetik yang menyerupai
norepinefrin sehingga dapat memberikan efek vasokonstriksi, ekstravasasi
plasma, dan kongesti mukosal.3
2. Anti kolinergik
Anti kolinergik merupakan zat yang akan menghambat atau mengurangi aksi
acetylcholine pada sistem saraf parasimpatetik. Anti kolinergik juga bekerja
dengan mengurangi sekresi nasal, reaksi alergi dan inflamasi.3,5
3. Anti histamin
Salah satu penyebab nyeri kepala rhinogenik adalah alergi, sehingga
pengobatan dapat menggunakan anti-histamin. Anti histamin yang digunakan
dapat berupa oral atau intranasal.20
4. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid intranasal merupakan terapi utama pada rhinitis
alergi, kortikosteroid intranasal bekerja dengan mengurangi sel inflmatori dan
menghambat pelepasan sitokin sehingga mengurangi inflamasi pada mukosa
nasal. Beberapa penelitian menunjukkan nasal kortikosteroid lebih efektif
dibanding anti histamin oral ataupun intranasal. Contoh kortikosteroid
intranasal adalah budesonide, fluticasone.20
5. Analgesik
Jenis analgesik yang digunakan pada nyeri kepala rinogenik adalah ibuprofen,
hal ini sesuai dengan tata laksana AAO-HNS (American Academy of
Otorhinolaryngology-Head and Neck Surgery) tahun 2015. Ibuprofen
merupakan non-selektif, reversibel inhibitor COX-1 dan COX-2, yang akan
mencegah pembentukan edema, meningkatkan permeabilitas vaskular dan
membantu infiltrasi leukosit, ibuprofen juga berperan dalam mengurangi
stimulasi sensor nosiseptor, dan menghambat pelepasan mediator inflamasi
seperti TNF-alpha dan IL1. Ibuprofen berperan sebagai anti-inflamatori dan
juga analgesik.3,5
Tatalaksana medikamentosa yang direkomendasikan untuk rinosinusitis
adalah kombinasi ibuprofen dengan pseudoephedrin. Kombinasi ini akan memberikan
efek anti inflamasi, analgesik, mengurangi edema, produksi mukus, dan kongesti.
Pseudoephedrin mengurangi kompresi pada terminal nosiseptif sehingga dapat
meningkatkan kerja analgesik ibuprofen.3
Apabila tatalaksana menggunakan medikamentosa tidak memberikan hasil
maksimal atau terdapat kelainan anatomi pada pasien maka dianjurkan untuk
melakukan tindakan operasi. Tata laksana operatif dapat berupa septoplasti atau
turbinoplasti tergantung pada titik kontak yang menyebabkan nyeri kepala.
Septoplasati merupakan tindakan meluruskan kembali septum yang terdeviasi,
sedangkan turbinoplasti merupakan tindakan yang dilakukan untuk mengurangi
edema dari konka.21
Tata laksana untuk deformitas septum adalah dengan septoplasti endoskopik.
Tatalaksana ini dapat dilakukan apabila pasien sudah menjalani 4 minggu terapi
menggunakan nasal steroid dengan atau tanpa kombinasi dengan anti histamin dan
tidak mengalami perbaikan.15
2.11. Prognosis
Salah satu tatalaksana dari nyeri kepala rinogenik adalah dengan septoplasty
dimana komplikasi dapat berupa hematoma septal dan infeksi, perforasi, dan
perubahan bentuk hidung. Namun, berdasarkan penelitian, operasi dengan teknik
endoskopik septoplasti secara umum memberikan prognosis baik, dengan
berkurangnya keluhan pasien dinilai dari kuisioner NOSE (Nasal Obstruction
Symptom Evaluation).15
Prognosis dari rhinogenic headache dapat dinilai dari tingkat kesuksesan
operasi. Beberapa penelitian telah menganalisis tingkat kesuksesan dari operasi
kontak mukosa yang menyebabkan nyeri kepala. Sebuah penelitian oleh Huang
dengan jumlah sampel 66 pasien yang dibagi menjadi 3 kelompok. Pada penelitian ini
ditemukan bahwa setelah dilakukan operasi 88,8% pasien mengalami penurunan
intensitas dan tingkat kejadian nyeri kepala. Penelitian yang dilakukan oleh Peric
mengatakan bahwa tingkat kesuksesan operasi lebih dari 88% dan pasien yang sudah
menjalani operasi tidak memerlukan terapi medikamentosa setelah operasi. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Kaur dan Singh di Ambala, India, pada tahun 2011,
ditemukan bahwa dari 25 pasien yang menjalani prosedur FESS, 20 orang mengalami
kesembuhan total dan 5 orang lainnya mengalami perbaikan yang signifikan.11
Beberapa data yang didapatkan dari berbagai jurnal yang direview oleh Kaur
dan Singh juga dijelaskan bahwa terdapat prognosis yang baik setelah dilakukan
intervensi beda, diantaranya11
1. 78,5% daro 299 penderita nyeri kepala rhinogenik mendapatkan keuntungan
yang maksimal (Novak & Makek, 1992)
2. 54% pasien sembuh total, 38,5% perbaikan dan hanya 1 dari 13 pasien yang
gagal (Sindwani & Wright, 2003)
3. 92% dari 21 penderita mengalami perbaikan (Behin et al, 2006)
4. 61,66% dari 120 penderita bebas gejala 19,2% tidak mengalami perbaikan
(Mokbel et al, 2010)
5. 57%d dari 36 penderita sembuh total, dan yang lainnya perbaikan (Bektas et
al, 2011)
6. 83% dari 36 penderita mengalami perbaikan, 11% sembuh total (Mohebbi et al,
2010)
7. Seluruh pasien bedah (38 pasien) mengalami perbaikan rasa nyeri kepala
berdasarkan visual analogue scale (Yazici et al, 2010)
8. 19% dari 42 pasien bebas dari nyeri kepala dan 62% pasien mengalami perbaikan
(Abu Samra et al, 2011)
9.
BAB III
KESIMPULAN
1. Yi HS, Kwak CY, Kim H Il, Kim HY, Han DS. Rhinogenic headache:
Standardization of terminologies used for headaches arising from problems in
the nose and nasal cavity. J Craniofac Surg. 2018;29(8):2206–10.
2. Smith BC, George LC, Svider PF, Nebor I, Folbe AJ, Sheyn A, et al.
Rhinogenic headache in pediatric and adolescent patients: an evidence-based
review. Int Forum Allergy Rhinol. 2019;9(5):443–51.
3. Chiarugi A, Camaioni A. Update on the pathophysiology and treatment of
rhinogenic headache: Focus on the ibuprofen/pseudoephedrine combination.
Acta Otorhinolaryngol Ital. 2019;39(1):22–7.
4. Sollini G, Mazzola F, Iandelli A, Carobbio A, Barbieri A, Mora R, et al. Sino-
nasal anatomical variations in rhinogenic headache pathogenesis. J Craniofac
Surg. 2019;30(5):1503–5.
5. Barinsky GL, Hanba C, Svider PF. Rhinogenic Headache in Children and
Adolescents. Curr Pain Headache Rep. 2020;24(3):3–7.
6. Van Cauwenberge P, Sys L, De Belder T, Watelet J. Anatomy and physiology
of the nose and the paranasal sinuses. Immunol Allergy Clin North Am.
2004;24(1):1–17.
7. Landis BN. Anatomy of the Nose and Paranasal Sinuses. In: Hopitaux
Universitaires Geneve. 2003. p. 1–66.
8. Tikanto J, Pirilä T. Effects of the Cottle’s Maneuver on the Nasal Valve as
Assessed by Acoustic Rhinometry. Am J Rhinol. 2007;21(4):456–9.
9. Mangunkusumo E. Ilmu THT-KL Telinga Hidung Tenggorok. In: 2nd Edition.
2019.
10. Hammad MS, Gomaa MA. Role of some anatomical nasal abnormalities in
rhinogenic headache. Egypt J Ear, Nose, Throat Allied Sci [Internet].
2012;13(1):31–5. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.ejenta.2012.01.006
11. Kaur A, Singh A. Clinical study of headache in relation to sinusitis and its
management. J Med Life. 2013;6(4):389–94.
12. Agius AM, Sama A. Rhinogenic and Non-rhinogenic Headache. Curr Opin
Otolaryngol Head Neck Surg. 2015;23(1):15–20.
13. Wang J, Yin J. Clinical Research on Relation between Nasal Mucosa Contact
Point and Headache. Otolaryngology. 2017;07(02):8–11.
14. Fokkens WJ, Lund VJ, Hopkins C, Hellings PW, Kern R, Reitsma S, et al.
European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2020. Vol. 58.
2020.
15. Dell’Aversana Orabona G, Romano A, Abbate V. Effectiveness of endoscopic
septoplasty in different types of nasal septal deformities. Acta
Otorhinolaryngol Ital. 2018;38(4):323–30.
16. Kadah S, Mokhemar S, Alkholy T, Salem T. Role of endoscopy in rhinogenic
contact headache not responding to medical treatment. Egypt J Otolaryngol.
2019;35(1):256–61.
17. K Maru Y, Gupta Y. Nasal Endoscopy Versus Other Diagnostic Tools in
Sinonasal Diseases. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg. 2016;68(2):202–6.
18. Rasic D, Grgurevic U, Peric A. Surgical Treatment of Rhinogenic Contact
Point Headache: An Experience from a Tertiary Care Hospital. Int Arch
Otorhinolaryngol. 2016;20(2):166–71.
19. Tepper S. International classification of headache disorders. In: 3rd Edition.
2013. p. 1381–2.
20. SUR DK, SCANDALE S. Treatment of Alergic Rhinitis. Am Fam Physician.
2010;81(12):1440–6.
21. Rai U, Devi P, Singh N, Lyngdoh N, Sudhiranjan, T Nongthombam N. Contact
point headache: Diagnosis and management in a tertiary care center in
Northeast India. J Med Soc. 2018;32(1):51–6.