Anda di halaman 1dari 40

REFERAT ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG,

TENGGOROK, BEDAH KEPALA DAN LEHER

RHINOGENIC HEADACHE

Disusun oleh
Ester Kardianti Anin (01073180022)
Wiryani Sentosa (01073180115)

Pembimbing :
Dr. Niken Ageng Rizki, SpTHT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG,


TENGGOROK, BEDAH KEPALA DAN LEHER
RUMAH SAKIT SILOAM LIPPO VILLAGE
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE 4-16 MEI 2020
TANGERANG
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................................i
DAFTAR GAMBAR...................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................1
2.1. Definisi........................................................................................................1
2.2. Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal.........................................................1
2.3. Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasal.......................................................11
2.4. Epidemiologi.............................................................................................13
2.5. Etiologi......................................................................................................14
2.6. Patofisiologi...............................................................................................16
2.7. Manifestasi Klinis......................................................................................19
2.8. Diagnosis...................................................................................................19
2.9. Diagnosis banding.....................................................................................25
2.10. Tatalaksana................................................................................................28
2.11. Prognosis .................................................................................................30
BAB III KESIMPULAN............................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................33
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Anatomi Hidung Eksternal......................................................................2


Gambar 2.2. Nasal Septum..........................................................................................3
Gambar 2.3. Sistem Perdarahan Nasal Septum............................................................4
Gambar 2.4. Rongga Hidung.......................................................................................5
Gambar 2.5. Anatomi Rongga Hidung........................................................................6
Gambar 2.6. Kompleks Osteomeatal (KOM)..............................................................7
Gambar 2.7. Sistem Perdarahan Dinding Lateral Septum Nasal.................................8
Gambar 2.8. Sinus Paranasal........................................................................................9
Gambar 2.9. Anatomi Sinus Paranasal.......................................................................10
Gambar 2.10. Histologi Mukosa Nasal......................................................................12
Gambar 2.11. Kelainan Septum Berdasarkan Klasifikasi Mladina...........................15
Gambar 2.12. Gambaran Nasal Endoskopi................................................................22
Gambar 2.13. (A) X-Ray Kepala (B) CT Scan Kepala..............................................22
Gambar 2.14. CT-scan potongan koronal di atas menunjukkan adanya kontak
mukosan dengan septal spur dan bagian atas konka inferior kanan............................23
Gambar 2.15. Deviasi Septum Bentuk C atau S........................................................24
Gambar 2.16. Hipertrofi konka kontralateral dan bula ethmoid................................24
BAB I
PENDAHULUAN

Nyeri kepala merupakan gejala yang paling sering ditemukan dan setiap
orang pasti pernah mengalaminya walaupun hanya sekali saja dalam hidupnya. Nyeri
kepala dapat disebabkan oleh berbagai hal yang berdasarkan etiologinya dibagi
menjadi nyeri kepala primer (migrain, nyeri kepala tipe tegang, nyeri kepala kluster)
dan nyeri kepala sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu. Definisi nyeri
kepala yang sangat luas ini menjadi sebuah kesulitan bagi para dokter untuk
menentukan diagnosis yang tepat.1
Nyeri kepala rhinogenik merupakan salah satu etiologi yang penting dan
yang sering ditemui dari nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala rhinogenik ini disebut
sebagai grup diagnostik untuk nyeri kepala yang disebabkan oleh rhinosinusitis akut,
rhinosinusitis kronik atau rekuren, atau patologis sinonasal lainnya yang dapat
menyebabkan nyeri kepala seperti mucosal contact point.2 Sebuah studi di Italia
menyatakan bahwa 69 dari 100 kelompok penderita nyeri kepala disebabkan oleh
nyeri kepala rhinogenik, sebagian besar penderita berusia 21-30 tahun (59,42%) dan
53,62% dari penderitanya berjenis kelamin laki-laki.3
Gejala nyeri kepala akibat rhinogenik ini sering salah terdiagnosa dengan
kondisi lainnya seperti migrain. Kesalahan diagnosis atau underdiagnosed dapat
terjadi akibat seringkali nyeri kepala yang dikeluhkan penderita dapat dijumpai
dengan pemeriksaan fisik yang normal. Berdasarkan sebuah studi yang dilakukan
pada orang dewasa didapatkan bahwa 80% dari sampel yang telah terdiagnosis nyeri
kepala rinogenik ini sebenarnya memiliki gejala yang masuk dalam kriteria migrain
pada International Headache Society (IHS).2
Identifikasi yang baik dan benar perlu dilakukan oleh seorang dokter untuk
menghindari kesalahan diagnosis atau underdiagnosed yang sering terjadi ini.
Evaluasi yang tepat akan menentukan dasar patofisiologinya dan penyebab utamanya.
Evaluasi ini tentunya akan menjadi dasar tatalaksana yang akan diberikan kepada
penderita. Nyeri kepala primer dan nyeri kepala sekunder dengan berbagai penyebab
tentunya memiliki perbedaan tatalaksana yang signifikan. Kesalahan diagnosis dapat
mengakibatkan kesalahan yang signifikan terhadap tatalaksana. Kesalahan
tatalaksana dapat mengakibatkan penderita terus mengalami nyeri kepala kronik dan
mendapatkan pengobatan dan penanganan yang tidak sesuai.3
Oleh karena itu, berdasarkan berbagai permasalahan tersebut tulisan ini
dibuat untuk membantu para medis dalam memahami mengenai nyeri kepala
rhinogenik, memberikan pengetahuan mengenai bagaimana mendiagnosis dan
tatalaksana yang tepat terhadap nyeri kepala rhinogenik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Nyeri kepala rhinogenik merupakan salah satu jenis etiologi nyeri kepala
sekunder. Nyeri kepala rhinogenik digunakan sebagai sebuah terminologi yang
menjelaskan nyeri kepala yang disebabkan oleh kelainan pada hidung dan rongga
hidung yang disebabkan oleh cedera eksternal atau penyakit penyerta pada hidung
yang dapat dilihat dari gambaran CT-scan.2
Nyeri kepala rhinogenik juga disebutkan sebagai sindrom nyeri yang
berhubungan dengan sinonasal mucosal contact point tanpa adanya tanda-tanda
inflamasi, hiperplasia mukosa, sekret purulen, polip sinonasal atau masa.4
Terdapat kesamaan definisi nyeri kepala rhinogenik dengan beberapa
terminologi lain, seperti rhinogenic migraine, sinus headache, rhinogenic contact
point headache, dan middle turbinate headache syndrome. Namun, terminologi yang
umum digunakan adalah nyeri kepala rhinogenik karena mencakup semua kelainan di
bagian hidung dan rongga hidung.1
International Classification of Headache Disorders 3rd Edition menyatakan
bahwa nyeri kepala rhinogenik merupakan nyeri kepala yang berkaitan dengan
gangguan pada hidung atau sinus paranasal dan diklasifikasikan menjadi dua
diagnosis yaitu nyeri kepala yang berhubungan dengan rhinosinusitis akut dan nyeri
kepala yang berhubungan dengan rhinosinusitis kronik atau berulang.5
2.2. Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal
Nyeri kepala rhinogenik sangat berkaitan erat dengan kelainan anatomi
hidung dan sinus paranasal. Oleh karena itu, berikut penjelasan mengenai anatomi
hidung dan sinus paranasal:
2.2.1. Anatomi Hidung6
A. Hidung eksternal
Bagian terluar dari hidung terdiri dari tulang dan tulang rawan, 1/3
bagian superior terdiri dari tulang dan 2/3 bagian inferior terdiri dari tulang
rawan. Pada bagian ujung hidung disebut radix nasi dan apabila ditelusuri
hingga ke atas akan terdapat daerah flattened bony yang disebut glabella dan
berada tepat di depan sinus frontal.
Pada bagian 1/3 atas hidung yang tediri dari tulang, berbatasan dengan
tulang maksila pada bagian leteral. Sedangkan pada 2/3 bagian bawah terdiri
dari tulang rawan dibatasi oleh tulang rawan alar yang ada di bagian inferior.
Alar terdiri dari crus medial dan crus lateral yang membentuk naris. Limen
nasi merupakan batas atas dari crus lateral dan tempat beradanya permulaan
dari konka inferior dan septum. Tulang rawan sesamoid berada pada bagian
atas dan bawah crus lateral.
Bagian luar terdiri dari otot dan kulit, m.frontalis berfungsi untuk
memendekkan hidung saat berkontraksi. Pada alar terdapat m.levator labii
superioris nasi berfungsi untuk mendilatasi lubang hidung.

Gambar 2.1. Anatomi Hidung Eksternal7


Bagian eksternal diperdarahi oleh percabangan dari arteri fasial.
Dorsum dan lateral bagian eksternal hidung ini diperdarahi oleh arteri
optalmik dan maksilari. Aliran limfatik menuju bagian anterior menuju
submental dan nodus submandibular. Persarafan bagian hidung eksternal oleh
nervus kranialis VII, nervus I, dan nervus V2 (cabang maksilari).
B. Nasal septum
Bagian dasar terdapat dua lubang hidung dan diantaranya terdapat
septum atau disebut juga membranous columella yang memanjang dari apex
nasal hingga ke bibir bagian atas. Vestibulum, adalah dilatasi pada naris yang
menandai area masuk ke dalam hidung.
Nasal septum akan membagi rongga hidung menjadi dua dan terdiri dari
komponen tulang (vomer, perpendicular plate of ethmoid, maksila, dan
palatin) dan tulang rawan. Nasal septum ini akan berhubungan dengan tulang
nasal yang menopang septum. Nasal septum juga merupakan bagian dari
internal nasal sehingga apabila terjadi deviasi atau malposisi akan
mengecilkan rongganya dan menyebabkan obstruksi. Bagian posterior nasal
septum terdapat posterior nasal apertures atau koana.
Pada perbatasan antara epitel kulit pada bagian luar hidung dan epitel
saluran pernapasan terdapat sebuah celah yang paling sempit dilewati udara
yaitu nasal valve.7

Gambar 2.2. Nasal Septum7


Perdarahan pada bagian posteroingerior septum diperdarahi oleh
cabang spenopalatine arteri maksilari, sedangkan bagian anteroinferior
diperdarahi oleh arteri grater palatine. Pada bagian superior diperdarahi oleh
arteri anterior dan posterior etmoidal, yang keduanya merupakan cabang dari
arteri interna karotid. Semua pembuluh darah ini akan membentuk sebuah
kompleks yang disebuh Pleksus Kiesselbach, yang terletak pada septum
anterior.

Gambar 2.3. Sistem Perdarahan Nasal Septum7


Persarafan septum dan rongga hidung oleh cabang kedua saraf
trigeminal. N.nasopalatine akan mempersarafi rongga hidung melalui foramen
sphenopalatine, terutama bagian atas septum. Bagian anterosuperior septum
ada diinervasi oleh cabang anterior ethmoidal nervus nasociliary.
Aliran limfatik dari bagian anterior septum akan mengalir ke nodus
submental dan submandibular. Bagian posterior septum akan mengalir ke
nodus retropharyngeal dan nodus anterior cervical.
C. Rongga hidung
Rongga hidung terbuka pada bagian anterior (lubang hidung) dan
berbatasan dengan rhinofaring pada bagian posterior. Koana terbentuk dari
tulang palatin pada bagian inferior, vomer pada bagian medial, sphenoid pada
bagian superior, dan pterygoid plate pada bagian lateral.

Gambar 2.4. Rongga Hidung6

Bagian dasar dari rongga hidung terdiri dari bagian palatal maksila dan
horizontal tulang palate. Bagian atap rongga hidung terdiri dari cribiform
plate. Dinding lateral terbentuk dari permukaan maksila dan tulang lakrimal
untuk menyokong tiga konka, konka inferior, media, dan superior. Konka
media dan superior merupakan perpanjangan dari tlang etmoid, sedangkan
konka inferior merupakan tulang yang terdapat pada bagian superior dinding
hidung. Konka inferior merupakan bagian yang terkena langsung pada udara
yang masuk dan dapat mengecilkan ukuran koana apabila bagian posteriornya
mengalami hipertrofi.
Perlekatan antara konka inferior dan septum yang deviasi dapat
menyebabkan obstruksi hidung unilateral dan nyeri wajah kronik. Hipertrofi
bagian anterior konka inferior dapat dijumpai pada pasien dengan rinitis
alergi. Ketiga konka ini membagi rongga hidung menjadi tiga meatus :
inferior, media, dan superior.
Meatus superior terletak diantara septu, konka media, dan tulang
ethmoid. Pada meatus medius terdapat lubang dari sinus frontal, anterior sel
etmoid dan sinus maksila, yang akan menuju hiatus semilunaris dan ke
infundibulum, sebuah celah pada dinding lateral meatus medius. Ductus
nasolakrimal akan mengalir menuju meatus inferior dibawah konka inferior.

Gambar 2.5. Anatomi Rongga Hidung7

Daerah dibawah konka media, sinus maksilari, anterior ethmoidal air


cell, dan sinus frontal disebut komplek osteomeatal (KOM). KOM ini
merupakan struktur penting dalam fisiologi sinus paranasal. Sumbatan akibat
pembentukan krusta atau inflamasi dapat menyebabkan proses inflamasi pada
sinus yang menyebabkan pembengkakan mukosa, penumpukan sekret dan
superinfeksi.
Gambar 2.6. Kompleks Osteomeatal (KOM)6

Dinding lateral nasal diperdarahi oleh arteri ethmoidal anterior dan


posterior. Konka inferior dan media diperdarahi oleh arteri sphenopalatine.
Aliran darah arteri menuju ke anterior melawan arah udara dihirup, hal ini
untuk meningkatkan suhu dari udara yang masuk.
Sistem vena cavernosa pada mukosa nasal akan mengalir secara
anterior menuju vena facial dan secara posterior menuju pleksus pterygoid
hingga ke pembuluh darah sphenopalatine. Apabila terjadi infeksi bakteri
pada sinus venosus, maka akan diikuti dengan trombosis pada sinus
cavernosusm, dikarenakan adanya kontak langsung antara vena di orbital
dengan cribiform platre di lobus frontal dan foramen cecum di sinus sagital
superior.
Persarafan pada rongga hidung ini dipersarafi oleh cabang pertama dan
kedua nervus trigeminal. Cabang pertama yaitu nervus optalmikus akan
mempersarafi septum dan dinding lateral. Percabangan nervus maksilari akan
menuju nervus posterior superior dan masuk ke rongga hidung melalui
Gambar 2.7. Sistem Perdarahan Dinding Lateral Septum Nasal7

2.2.2. Anatomi Sinus paranasal


Sinus paranasal terdiri dari empat pasang ruangan yang terletak pada
daerah facial, terdiiri dari maksila, etmoid, sphenoid, dan frontal sesuai
dengan lokasi struktur facial masing-masing.6
Sinus paranasal terdiri dari epitel pseudostratified columnar. Sinus
paranasal berfungsi untuk mengalirkan mukus menuju kompleks osteomeatal
(KOM) yang merupakan pusat drainase sinus yang kemudian akan dialirkan
menuju orofaring.3
Gambar 2.8. Sinus Paranasal7

a. Sinus maksila
Sinus maksila merupakan sinus terbesar yang terletak di bagian pipi,
bagian atap dari sinus maksila adalah bagian dasar dari orbit. Bagian dasar
dari sinus maksila terbentuk dari proses aleolar maksila dan hard palate.
Bagian anterior sinus maksila terdapat ttulang maksila, dan
pterygomaxilary fosa dan ruang infratemporal di bagian posteriornya.
Terdapat lubang yang akan menghubungkan sinus dengan rongga hidung
yang dilewati oleh pembuluh darah dan persarafan yang disebut fontanel
anterior atau posterior. Sinus maksilari atau dikenal juga dengan antrum
of highmore memiliki pertumbuhan bifasik, dimulai dari 3 tahun pertama
kehidupan dan di usia 7 dan 18 tahun.6
b. Sinus etmoid
Sinus ethmoid terletak pada basal anterior tengkorak dan terdiri dari
kompleks seperti labirin dengan dinding yang tipis. Dinding lateral
berhubungan dengan plate orbital atau lamina papyracea, bagian anterior
berhubungan dengan tulang frontal, posterior dengan tulang palatine serta
tulang sphenoid.6

Gambar 2.9. Anatomi Sinus Paranasal 7

Sel-sel pada ethmoid ini terbagi menjadi anterior dan posterior


berdasarkan lokasinya pada kompleks etmoidal dan perlekatannya dengan
konka media. Anterior ethmoid akan mengalir ke infundibulum pada
meatus media, dan posterior ethmoid akan mengalit menuju meatus
superior.6
c. Sinus frontal
Sinus frontal adalah sinus paling bervariasi diantara sinus lain. Batas
posterior sinus frontal adalah dinding anterior dari anterior fosa kranii,
dasar sinus merupakan atap dari orbit. Sinus ini mengalir ke bagian
anterior meatus media melalui duktus frontonasal.6
d. Sinus sphenoid
Sinus sphenoid terletak pada dasar tengkorak di perbatasan antara anterior
dan fosa serebri media. Sinus sphenoid mengalir ke meatus superior.
Beberapa struktur yang terletak berdekatan dengan sinus sphenoid adalah
kelenjar pituitari, saraf optik, srteri karotid internal, dan sinus kavernosus.6
2.3. Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasal
2.3.1. Fisiologi Hidung
Hidung memiliki fungsi sebagai jalan napas, sebagai penyaring dan pembersih
udara atau yang disebut dengan alat pengatur kondisi udara (air condition), pelindung
saluran napas bawah, indra penghidu, dan membantu proses bicara dan sebagai
resonator box.9
a. Jalan napas
Udara pernapasan berjalan melalui bagian tengah hidung atau rongga hidung
yang terletak diantara konka dan septum. Pada saat inspirasi, udara masuk
melalui melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan
kemudian turun kearah nasofaring sehingga aliran udara ini berbentuk
lengkungan. Pada saat ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudia
mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian
depan aliran udara memecah, sebagian akan melalui nares anterior dan
sebagian lain kembali ke belakang dengan aliran nasofaring.
b. Alat pengatur kondisi udara
Hidung berfungsi untuk mempersiapkan kondisi udara yang akan masuk ke
alveolus paru dengan cara mengatur kelembaban udara dan suhunya. Filtrasi
partikel kasar dilakukan oleh bulu hidung yang terdapat di nares anterior
sedangkan untuk partikel halus akan melekat pada lendir yang terdapat pada
permukaan mukosa hidung. Pengaturan kelembaban dilakukan oleh mukosa
hidung. Udara dilembabkan oleh sekret yang dihasilkan oleh kelenjar mucus
dan kelenjar serosa. Pengaturan suhu juga dilakukan oleh mukosa hidung,
terutama pada konka inferior dan konka media serta septum yang berhadapan,
yang mengandung banyak pembuluh darah sehingga temperature udara
pernapasan menjadi seperti suhu tubuh.
c. Pelindung saluran napas bawah
Mukosa hidung mengandung banyak sel goblet, kelenjar mucus dan kelenjar
serosa yang menghasilkan sekret berupa lendir yang terus menerus
menyelimuti mukosa dan disebut mucous blanket. Mucous blanket terdiri dari
2 lapisan, lapisan di permukaan yang lebih kental (mucus) dan lapisan yang
lebih cair (serosa), berada diatas silia yang terus menerus bergerak secara
teratur, mengalirkan mucous blanket kearah nasofaring. Partikel debu, bakteri
dan virus yang tertangkap dan melekat pada lapisan lendir yang kental akan
dialirkan melalui nasofaring ke faring dan selanjutnya tertelan.

Gambar 2.10. Histologi Mukosa Nasal9

d. Pembantu proses bicara dan resonator box


Hidung merupakan ruang resonansi untuk beberapa huruf konsonan saat
berbicara. Ketika mengucapkan huruf konsonan M, N, Ng suara akan melalui
ismus nasofaring dan keluar dari hidung. Ketika ada sumbatan di hidung atau
nasofaring, pengucapan kata menjadi denasal (bindeng).
e. Organ penghidu
Dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior
dan sepertiga atas septum maka hidung menjadi organ penghindu. Odoran
yang masuk Bersama udara inspirasi saat mencapai regio olfaktorius akan
larut dalam lendir di permukaan mukosa dan merangsang reseptor nervus
olfaktorius, kemudia rangsangan tersebut dilajutkan melalui nervus
olfaktorius ke fila olfaktorius sampai ke bulbus olfaktoirus di korteks serebri.
2.3.2. Fisiologi Sinus Paranasal
Sinus paranasal berfungsi sebagai pengatur kondisi udara, melembabkan dan
menghangatkan udara pernapasan; membantu keseimbangan kepala, terutama pada
tengkorak bagian depan dan tulang wajah; membantu menguatkan resonansi udara;
peredam perubahan tekanan udara di dalam rongga hidung; membantu produksi
mukus untuk membersihkan rongga hidung; dan membantu sistem pertahanan
imunologis.9
2.4. Epidemiologi
Berdasarkan data pada tahun 2007, nyeri kepala rhinogenik merupakan salah
satu keluhan utama yang paling sering membawa pasien datang ke pelayanan
kesehatan untuk berobat.3 Angka kejadian nyeri kepala seumur hidup paling sedikit
mencapai angka 90%. Menurut salah satu studi di India pada tahun 2014, 69 dari 100
pasien yang datang ke departemen THT-KL dengan keluhan nyeri kepala disebabkan
oleh rhinogenik.10
Hasil studi yang dilakukan di India itu menyatakan bahwa angka kejadian
tertinggi nyeri kepala rhinogenik pada kelompok usia 21-30 tahun (59,42%), diikuti
oleh usia 11-20 tahun (36,23%).6 Data yang sama didapatkan dari sebuah penelitian
di Italia yang menyatakan bahwa sebagian besar pasien yang mengalami nyeri kepala
rhinogenik ini dalam rentang usia 10-30 tahun.3
Kedua studi ini juga menyatakan bahwa penderita nyeri kepala rhinogenik
lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan. Dari hasil penelitian di India
didapatkan 53,62% dari penderita nyeri kepala rhinogenik ini adalah laki-laki, dan
46,37% perempuan.3,10
2.5. Etiologi
Salah satu penyebab tersering dari nyeri kepala rhinogenik adalah rinosinusitis
akut. Hal-hal lain yang dapat memicu rinosinusitis adalah kelainan anatomis,
merokok, penyakit imun, rinitis alergi, dan polutan.3
Penyebab lain dari nyeri kepala rhinogenik adalah akibat adanya kelainan
anatomis. Nyeri kepala akibat kelainan anatomis ini merupakan nyeri kepala kronis
dan biasanya tidak memiliki kelainan pada pemeriksaan optalmologi ataupun
neurologi. Contoh kelainan anatomis yang dapat terjadi adalah deviasi septum nasal
dan septal spur, konka bullosum, dan haller cell.10
Deviasi septum merupakan salah satu kelainan anatomis yang paling sering
mengakibatkan nyeri kepala rhinogenik. Terdapat 7 jenis kelainan septum
berdasarkan klasifikasi Mladina.8
1. Tipe 1 : deviasi ringan pada bagian anterior yang tidak mempengaruhi fungsi
nasal
2. Tipe 2 : deviasi sedang pada bagian anterior yang disertai dengan vertical crest
unilateral di daerah nasal yang mempengaruhi aliran udara
3. Tipe 3 : deviasi septum yang terletak posterior dari rongga hidung dekat ujung
konka media, dapat terdapat konka bulosa pada kontralateral konka media
4. Tipe 4 : deviasi berbrntuk S dengan dua puncak, satu pada bagian kepala konka
media dan satu lagi pada sisi kontralateral area katup
5. Tipe 5 : penonjolan unilateral pada dasar septum yang mengenai dinding lateral
hidung, dengan sisi lain septum tetap lurus
6. Tipe 6 : menyerupai deviasi tipe 5 dengan sulkus horizontal pada sisi lainnya
7. Tipe 7 : kombinasi dari beberapa tipe sebelumnya
Gambar 2.11. Kelainan Septum Berdasarkan Klasifikasi Mladina8

Hasil studi salah satu penelitian di Mesir menyatakan bahwa ditemukan


anatomi sinonasal abnormal yang multipel pada penderita rhinogenik. Berbagai
gangguan anatomi tersebut antara lain deviasi septum (50%), konka bullosum
(37,5%) dan Haller cell (37,5%).12
Kelainan anatomis yang paling sering terjadi adalah deviasi septum nasal,
sebuah penelitian oleh Wolf dan Tosun menunjukkan bahwa nyeri kepala tanpa
adanya inflamasi mengindikasikan adanya deviasi septum dan septal spur. Variasi
dari konka media juga dapat menjadi salah satu kontributor terjadinya contact point
headache.10
Konka bullosum dapat menjadi besar dan memenuhi ruang antara nasal
septum dan dinding lateral, yang akan menyebabkan terbentuknya kontak antara
konka dan dinding lateral dan menstimulasi bagian sensori pada nervus trigeminal.
Tersumbatnya kompleks osteomeatal dan gangguan ventilasi pada sinus akan
menyebabkan kemungkinan terjadinya nyeri kepala vakum dan menjadi sinusitis.
Nyeri kepala vakum terjadi karena terdapatnya perubahan tekanan barometer yang
akan mempengaruhi jalur drainase sinus menjadi sempit.10
Sel haller adalah ethmoid air cell yang terletak pada dasar orbita media yang
memanjang hingga atap dari sinus maksilari hingga dinding lateral infundibulum.
Ditmukannya haller cell pada infundibulum akan menyebabkan nyeri kepala menjalar
atau reffered pain. Sel haller ini juga dapat terjadi bersamaan dengan kelainan
anatomis lainnya, seperti konka bullosum dan menyebabkan kemungkinan terjadinya
sinusitis. Tanpa adanya sinusitis, sel haller akan menghambat drainase sinus yang
menyebabkan malventilasi sinus, nyeri kepala vakum dan nyeri kepala tekan.10
2.6. Patofisiologi
Nyeri pada nyeri kepala rhinogenik ini berasal dari kelainan pada hidung yang
akan menyebabkan nyeri kepala atau nyeri pada bagian wajah akibat dari refleks
neurohumoral. Penyebab tersering dari nyeri rinogenik ini adalah rinosinusitis akut.
Akibat dari infeksi virus sebesar 98% dan 2% akibat infeksi bakteri. 3 Beberapa
mekanisme terjadinya nyeri kepala adalah sebagai berikut:
1. Rinosinusitis akut
Rhinosinusitis akan menyebabkan reaksi inflamasi yang menyebabkan
edema mukosa, penyumbatan kompleks osteomeatal, pembentukan tekanan
negatif pada ruang sinus, dan produksi mukus berlebihan. Hal ini akan
menyebabkan kerusakan fungsi atau perhambatan pergerakan silia sehingga
mukus menjadi statis dan menjadi sumber pertumbuhan organisme patogenik
lainnya.3
Inflamasi kemudian akan menyebabkan vasodilatasi pada rongga
hidung dan edema pada konka inferior dan anterior sehingga menyebabkan
sumbatan.3 Inflamasi pada mukosa ini menjadi mekanisme patofisiologi
utama yang paling spesifik dan berhubungan dengan kongesti, antara lain
pembengkakan vena, sekresi nasal dan edema/pembengkakan jaringan. Hal ini
akan mengakibatkan penyempitan rongga hidung melalui proses vasodilatasi
dan peningkatan aliran darah seiring dengan peningkatan permeabilitas
vaskular. Akhirnya terjadi pembengkakan dari venus sinusoid nasal,
pembengkakan konka anterior dan inferior serta obstruksi saluran udara nasal.
Kejadian-kejadian tersebutlah yang mengakibatkan terjadinya nasal kongesti.3
Proses inflamasi yang terjadi ini mengakibatkan peningkatan level
sitokin inflamasi interleukin-1 (IL-1), IL-6, IL-8, tumour necrosis factor
(TNF)-α di dalam cairan hidung. Selain itu, peningkatan level kinin juga
meningkat pada sekresi nasal yang dapat mengakibatkan kebocoran vaskular
dan/atau pembengkakan, dan juga mengstimulasi fiber saraf aferen yang
mengakitbatkan hiperresponsif dari mukosa.3
2. Tekanan negatif menyebabkan nyeri kepala
Sinus mukosa memiliki fungsi respiratori, pertukaran gas akan sulit
terjadi apabila terdapat stenosis, ventilasi, keterbatasan drainase di dalam
kavitas sinus. Abnormalitas pada area kontak nasal mukosal mengakibatkan
penyempitan saluran pada nasal sehingga mengganggu fungsi ventilasi dan
drainase dari sinus maksilaris, sinus frontalis dan sinus ethmoidalis. Pada
keadaan seperti ini konsentrasi O2 dalam sinus menurun dan terjadi akumulasi
CO2. Hal ini mengakibatkan tekanan pada kavitas sinus menjadi negatif dan
mengakibatkan nyeri kepala vakum (vacuum headache).
3. Rangsangan nyeri pada saraf trigeminal
Pada nasal mukosa terdapat saraf sensorik, parasimpatik dan simpatik.
Sensorik pada rongga nasal terutama oleh percabangan optalmikus dan
maksilaris dari saraf trigeminal. Saraf parasimpatis menginervasi
pengontrolan sekresi nasal dan produksi kelenjar mukus, serta meningkatkan
aliran darah ke rongga nasal melalui pelepasan NO. Sebaliknya, inervasi saraf
simpatik menurunkan aliran darah ke rongga dan mukosa nasal. 3
Peningkatan infiltrasi sel inflamatori termasuk neutrofil dan sel T pada
epitelium nasal dan lamina propria. Sel-sel ini menimbulkan respon
neurologik termasuk respon sistem neurotransmitter yang mengakibatkan
terjadinya reaksi inflamasi neurogenik. Inflamasi ini mengakibatkan
terjadinya disfungsi dari saraf parasimpatik dan simpatik yang berujung pada
perubahan fungsi vaskular dan glandular di dalam hidung.3
Nyeri disebabkan oleh rangsangan nyeri pada level nukleus trigeminal
dan aktivasi saraf parasimpatetik. Kedua hal ini akan menyebabkan
vasodilatasi dari mukosa dan persebaran inflamasi neurogenik. Rangsangan
nyeri akan disalurkan menuju nukleus salivatory superior, menuju serabut
preganglionik hingga ke ganglion sphenopalatine. Serabut postganglionik
tidak hanya menghantarkan sinyal dari nasal dan mukosa sinus namun juga
dari struktur intrakranial lainnya, seperti meninges. Oleh karena itu, inflamasi
pada mukosa nasal akan menyebabkan vasodilatasi meninges dan pembuluh
darah serebral yang mengsensitisasi nosiseptor trigeminal sehingga timbul
nyeri kepala rinogenik.3
4. Hipotesis reseptor polymodal (Teori neuropeptide)
Hipotesis reseptor polymodal pada nasal mukosa ini menyatakan bahwa
perbedaan rangsangan panas, kimia dan iritan mekanikan seperti tekanan pada
mukosa (hiperplasia mukosa nasal kronik, polip nasal, fungus ball dan
kelainan struktur lainnya) dapat mengakibatkan pelepasan antidromik
neuropeptidak termasuk subtansi P dan calcitonin gene-related peptide dari
terminal periferal fiber saraf sensori nosiseptif. Pelepasan neuro-
gasotransmiter vasoaktif seperti noradrenalin, asetilkolin, NO dan adenosin ini
yang akan berpengaruh terhadap terminal simpatik dan parasimpatik.3,8
Proses-proses di atas mengakibatkan inflamasi neurogenik dan periferal
neural sensitisasi, dan akan terjadi kompleks kaskade sinyal neurohumoral
yang diatur dengan mekanisme refleks. Selain itu, berbagai neurotransmiter
yang telah dilepaskan tadi mengakibatkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, ekstravasasi plasma dan edema jaringan. Hal-hal ini
mengaktifasi fiber sensori aferen trigeminal dan mengakibatkan pelepasan
antidromik molekul vasoaktif dan inflamatori secara terus menerus. Berbagai
proses yang terjadi inilah yang akan memunculkan gejala-gejala
neuroinflamasi seperti rhinorrhoea, kongesti nasal, nyeri sinus dan gejala
pernapasan atas.3
Pada saat ini diketahui bahwa nyeri kepala rhinogenik berasal dari
mekanisme klasik mengenai stimulus nyeri pada level nukleus trigeminal
(kompleks trigeminoservikal) dan aktivasi dari parasimpatik yang selain
berperan penting dalam vasodilatasi mukosa, juga dalam hal penyebaran
inflamasi neurogenik ke intrakranial.3
2.7. Manifestasi Klinis
Gejala yang biasa dikeluhkan oleh pasien dengan nyeri rhinogenik adalah
nyeri pada satu sisi (unilateral), karakteristik nyeri buruk, berhubungan dengan gejala
rhinogenik seperti rhinorrhea purulen pada sisi yang sama. Nyeri dapat diperburuk
dengan infeksi saluran napas atas, saat berada di altitude tinggi. Gejala akan
mengalami perbaikan dengan antibiotik. Pada pemeriksaan nasal endoskopi
kemungkinan akan terdapat kelainan.12
Nyeri kepala rhinogenik ini berkaitan erat dengan rhinosinusitis baik yang
bersifat akut, kronik atau rekuren. Penderita dapat mengalami gejala-gejala
rhinosinusistis sesuai dengan derajat keparahannya. Gejala-gejala yang dapat dialami,
seperti:14
 Hidung tersumbat, kongesti atau stuffiness
 Rhinorrea atau postnasal drip bahkan bisa berbentuk mukopurulent
 Nyeri wajah atau tekan, nyeri kepala, dan
 Penurunan atau hilangnya sensori penciuman
2.8. Diagnosis
Pasien dengan keluhan nyeri wajah sulit terdiagnosis karena seringnya nyeri
menjalar dan tumpang tindih karakteristik nyeri dengan kondisi lain. Nyeri akibat
penyakit sinonasal dapat berhubungan dengan gejala nasal dan sinus, seperti hidung
tersumbat, rhinorrhea purulen, posterior nasal drip, berbau dan hiposmia yang
mengarah kepada diagnosis sinusitis. Nyeri pada sinus dan hidung tanpa adanya tanda
inflamasi dapat mengarah ke masalah otorhinolaryngologi atau neurologi.2
Pada tahun 1948 Walff menunjukkan bahwa kelainan pada konka media dan
septum nasal menyebabkan nyeri pada daerah media canthus dan regio supraorbital.
Sedangkan Morgenstern dan Krieger menunjukkan bahwa middle turbinate headache
syndrome memiliki nyeri atipikal tanpa adanya gejala infeksi sinus. Tanpa adanya
gejala inflamasi maka diagnosis dapat dipikirkan ke arah kelainan anatomi septum
atau konka superior. Pada tahun 2004, mucosal contact headache dinyatakan sebagai
nyeri kepala sekunder oleh International Classification of headache Disorders.5
Kelainan pada septum dapat memberikan gejala seperti epistaksis, sinusitis,
Obstructive sleep apnea dan nyeri kepala sesuai dengan titik kontak struktur dinding
lateral hidung.15,16
Berdasarkan International Classification of Headache Disorders 3rd Edition
(ICHD-3), kriteria diagnosis nyeri kepala rhinogenik yang diklasifikasikan sebagai
berikut:5
2.7.1. Nyeri kepala yang berhubungan dengan rhinosinusitis akut
(A) Setiap nyeri kepala yang memenuhi kriteria C
(B) Penemuan secara klinis, endoskopi nasal dan/atau pencitraan rhinosinusitis
akut
(C) Kejadian atas penyebabnya paling sedikit dua kriteria di bawah ini:
1. Nyeri kepala terjadi di bagian temporal dan berhubungan dengan awitan
rhinosinusitis
2. Salah satu atau kedua gejala di bawah ini:
(a) Nyeri kepala memburuk secara signifikan bersama-sama dengan
memburuknya rhinosinusitis
(b) Nyeri kepala membaik secara signifikan atau perbaikan bersama-sama
dengan perbaikan atau proses penyembuhan rhinosinusitis
3. Nyeri kepala diperparah oleh tekanan pada sinus paranasal
4. Pada kasus rhinosinusitis unilateral, nyeri kepala bersifat lokal dan
ipsilateral terhadap rhinosinusitisnya.
(D) Tidak sesuai dengan kriteria diagnsosis nyeri kepala lain yang dijabarkan oleh
International Classification of Headache Disorder, edisi ketiga
2.7.2. Nyeri kepala yang berhubungan dengan rhinosinusitis kronik atau
berulang
(A) Setiap nyeri kepala yang memenuhi kriteria C
(B) Penemuan secara klinis, nasal endoskopi dan/atau pencitraan infeksi atau
proses inflamasi pada sinus paranasal baik saat ini atau waktu sebelumnya.
(C) Kejadian atas penyebabnya paling sedikit dua kriteria di bawah ini:
1. Nyeri kepala muncul pada bagian temporal berhubungan dengan awitan
rhinosinusitis kronik
2. Derajat keparahan nyeri kepala sejalan dengan derajat kongesti sinus dan
gejala lainnya dari rhinosinusitis kronik
3. Nyeri kepala diperberat oleh tekanan pada sinus paranasal
4. Pada kasus rhinosinusitis unilateral, nyeri kepala bersifat lokal dan
ipsilateral terhadap rhinosinusitisnya.
(D) Tidak sesuai dengan kriteria diagnsosis nyeri kepala lain yang dijabarkan oleh
International Classification of Headache Disorder, edisi ketiga
Pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan pada nyeri kepala rhinogenik
bervariasi berdasarkan penyebabnya. Apabila curiga terdapat sumbatan dapat
diperiksa dengan menggunakan cottle maneuver. Manuver cottle digunakan untuk
menilai insufisiensi nasal valve atau stenosis. Manuver cottle dikatakan positif bila
pasien merasa lebih lega saat bernafas jika pipi pasien ditarik.8
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah endoskopi nasal, pada
endoskopi ini dapat terlihat apabila terdapat hipertrofi konka, deviasi septum. Lebih
dianjurkan melakukan nasal endoskopi dibanding CT-scan karena pada CT-scan tidak
semua kelainan sinonasal dapat terdeteksi. Nasal endoskopi dipilih menjadi
pemeriksaan pertama untuk mendiagnosis secara cepat dan akurat penyakit
sinonasal.17

Gambar 2.12. Gambaran Nasal Endoskopi17

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan berupa x-ray atau CT-scan yang akan
menunjukkan variasi anatomi dan/atau kelainan mukosa.16
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mencari kelainan pada
regio sinonasal adalah dengan x-ray proyeksi waters untuk melihat keadaan nasal
septum. Namun, gambaran x-ray waters ini hanya dapat melihat deviasi bagian tulang
pada nasal septum. Gambaran kartilago quadrangular tidak dapat terlihat. Sehingga
gambaran x-ray tidak disarankan lagi, lebih disarankan menggunakan CT-scan.14
Gambar 2.13. (A) X-Ray Kepala (B) CT Scan Kepala14

Gambaran di atas ini menunjukkan perbedaan gambaran x-ray menggunakan


proyeksi waters (kiri) dan gambaran pada CT-scan (kanan). Gambaran 2D pada x-ray
mempersulit interpretasi karena terdapat struktur yang saling bertumpang tindih.
Sedangkan pada gambaran CT-scan (kanan) detail anatomi lebih terlihat, baik
gambaran tulang ataupun tulang rawan dari septum nasal.14
Gambaran CT-scan yang dapat dipilih adalah potongan multislice atau cone
beam CT. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah dengan MRI,
namun MRI bukan merupakan pemeriksaan pilihan untuk penilaian septum nasal,
karena MRI memerlukan waktu yang lebih lama, jarang tersedia, dan MRI lebih
dipilih untuk menilai jaringan lunak. 14
Gambar 2.14. CT-scan potongan koronal di atas menunjukkan adanya kontak mukosan dengan septal
spur dan bagian atas konka inferior kanan.18

Gambaran lain yang dapat ditemukan adalah ditemukannya spurs pada


pertemuan kartilago ethmoid dan tulang vomer. Deviasi septum juga dapat ditemukan
pada gambaran CT-scan dengan bentuk C atau S (Gambar 2.15). Gambaran ini
biasanya disertai dengan hipertrofi konka kontralateral dan bula ethmoid (Gambar
2.16). Gambaran yang sering ditemukan lagi adalah dislokasi pada kartilago
quadrangular.18
Gambar 2.15. Deviasi Septum Bentuk C atau S18

Gambar 2.16. Hipertrofi konka kontralateral dan bula ethmoid18

2.9. Diagnosis banding


Presentasi klinis pasien dengan nyeri kepala rhinogenik seringkali sulit
dibedakan dari beberapa diagnosis banding seperti nyeri kepala primer. Oleh karena
itu, berikut merupakan kriteria diagnosis dari beberapa diagnosis banding nyeri
kepala rhinogenik, antara lain:19
2.9.1. Migrain
Nyeri kepala migrain biasanya unilateral dan intensitas nyeri berat. Nyeri juga
dirasakan terus menerus sepanjang hari.3,7
ICHD III membagi migrain menjadi 2 tipe berdasarkan gejalanya: 19
i. Migrain dengan aura
(A) Setidaknya 2 serangan yang memenuhi kriteria B-C
(B) 1 dari aura reversibel :
1. Visual
2. Sensori
3. Bahasa
4. Motor
5. Batang otak
6. Retinal
(C) Setidaknya 3 dari 6 karakteristik ini
1. Setidaknya mengalami 1 aura selama lebih dari 5 menit
2. 2 atau lebih aura
3. Setiap aura menetap selama 5-60 menit
4. Setidaknya salah satu aura unilateral
5. Setidaknya satu aura positif
6. Aura diikuti nyeri kepala selama 60 menit
ii. Migrain tanpa aura
(A) Setidaknya 5 serangan yang memenuhi kriteria B-D
(B) Serangan selama 4-72 jam
(C) Setidaknya 2 dari gejala berikut :
1. Lokasi unilateral
2. Karakteristik berdenyut
3. Intensitas sedang atau berat
4. Diperbutuk dengan aktivitas sehari-hari
(D) Selama serangan mengalami setidaknya 1 dari :
1. Mual dan/atau muntah
2. Fotofobia dan fonofobia
2.9.2. Tension type headache
Nyeri kepala ini berintensitas berat, mempunyai titik trigger yang biasa
dinyatakan pasien seperti pembengkakan, dan nyeri tekan simetris merupakan
salah satu gejalanya.7 Berbeda dengan nyeri kepala migren, ciri khas nyeri
kepala ini berupa lokasi yang bilateral, non-pulsatile, intensitasnya ringan-
sedang, dan tidak dipengaruhi aktivitas fisik. Nyeri tidak disertai mual, namun
adanya fotofobia atau fonofobia tidak dapat menyingkirkan diagnosis. 19
Kriteria diagnosis yang perlu dipenuhi untuk membedakan dengan nyeri
kepala rhinogenik berupa:19
(A) Setidaknya ada 10 kali episode nyeri kepala yang terjadi rata-rata <1 hari/
bulan (<12 hari/tahun) dan memenuhi kriteria B-D
(B) Nyeri kepala berlangsung dari 30 menit sampai 7 hari
(C) Setidaknya ada minimal 2 dari 4 gejala berikut:
1. Lokasi bilateral
2. Terasa tertekan atau terikat (tidak berdenyut)
3. Intensitas ringan sampai sedang
4. Tidak diperparah dengan melakukan aktivitas sehari-hari seperti
berjalan atau menaiki tangga
(D) Ada keduanya:
1. Tidak ada mual atau muntah
2. Tidak lebih dari satu dari fonofobia atau fotofobia
(E) Tidak sesuai dengan kriteria diagnsosis nyeri kepala lain yang dijabarkan
oleh International Classification of Headache Disorder, edisi ketiga
2.9.3. Nyeri kepala klaster (Cluster headache)
Nyeri kepala tipe cluster ini merupakan nyeri kepala yang bersifat intermiten,
berdurasi pendek, dan intensitas nyeri berat, unilateral disertai disfungsi
autonom. Nyeri yang dirasakan seringkali dideskripsikan sebagai nyeri
menusuk, seperti disayat pisau dibandingkan dengan nyeri pada nyeri kepala
migren. Puncak nyeri kepala umumnya dirasakan dalam waktu 10-15 menit
namun nyeri akan bertahan untuk sekitar 15-180 menit. Saat nyeri muncul
pasien akan kesulitan untuk duduk diam dan menunjukan tanda-tanda agitasi
serta akan tampak gejala autonom.19
Kriteria diagnosis yang perlu dipenuhi untuk membedakan dengan rhinogenic
headache berupa:19
(A) Setidaknya ada 5 serangan, yang memenuhi kriteria B-D
(B) Nyeri unilateral terasa berat atau sangat berat pada orbital, supraorbital
dan atau temporal yang berlangsung selama 15 menit sampai 180 menit
(ketika tidak diobati)
(C) Salah satu atau keduanya:
1. Setidaknya minimal satu dari tanda dan gejala, ipsilateral dengan
nyeri kepala:
i. Injeksi konjungtiva dan atau lakrimasi
ii. Nasal kongesti atau hidung berair
iii. Edema kelopak mata
iv. Berkeringat di dahi atau wajah
v. Miosis dan atau ptosis
2. Adanya resah atau gelisah
(D) Terjadi dengan frekuensi antara dua hari sekali atau 8 kali serangan per
hari
(E) Tidak sesuai dengan kriteria diagnsosis nyeri kepala lain yang dijabarkan
oleh International Classification of Headache Disorder, edisi ketiga
2.10. Tatalaksana
Tatalaksana nyeri kepala rinogenik sesuai dengan patofisiologi penyebabnya
dan memfokuskan pada gejala yang muncul. Salah satunya adalah rinosinusitis,
tujuan dari pengobatan adalah kompresi edema mukosa, supresi inflamasi, analgesik
yang aman dan stimulasi saraf pusat untuk mengembalikan homeostasis
neurovegetatif. 3,5
Terapi medikamentosa terdiri dari dekongestan, anti kolinergik, anti histamin,
kortikosteroid, analgetik dan antibiotik sesuai dengan etiologi nyeri kepala
rhinogenik.3

1. Dekongestan
Dekongestan diberikan dalam jangka pendek untuk memberikan efek cepat,
dekongestan oral akan bekerja dalam waktu 30 menit dan bertahan selama 6
jam. Dekongestan mengandung agen simpatomimetik yang menyerupai
norepinefrin sehingga dapat memberikan efek vasokonstriksi, ekstravasasi
plasma, dan kongesti mukosal.3
2. Anti kolinergik
Anti kolinergik merupakan zat yang akan menghambat atau mengurangi aksi
acetylcholine pada sistem saraf parasimpatetik. Anti kolinergik juga bekerja
dengan mengurangi sekresi nasal, reaksi alergi dan inflamasi.3,5
3. Anti histamin
Salah satu penyebab nyeri kepala rhinogenik adalah alergi, sehingga
pengobatan dapat menggunakan anti-histamin. Anti histamin yang digunakan
dapat berupa oral atau intranasal.20
4. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid intranasal merupakan terapi utama pada rhinitis
alergi, kortikosteroid intranasal bekerja dengan mengurangi sel inflmatori dan
menghambat pelepasan sitokin sehingga mengurangi inflamasi pada mukosa
nasal. Beberapa penelitian menunjukkan nasal kortikosteroid lebih efektif
dibanding anti histamin oral ataupun intranasal. Contoh kortikosteroid
intranasal adalah budesonide, fluticasone.20
5. Analgesik
Jenis analgesik yang digunakan pada nyeri kepala rinogenik adalah ibuprofen,
hal ini sesuai dengan tata laksana AAO-HNS (American Academy of
Otorhinolaryngology-Head and Neck Surgery) tahun 2015. Ibuprofen
merupakan non-selektif, reversibel inhibitor COX-1 dan COX-2, yang akan
mencegah pembentukan edema, meningkatkan permeabilitas vaskular dan
membantu infiltrasi leukosit, ibuprofen juga berperan dalam mengurangi
stimulasi sensor nosiseptor, dan menghambat pelepasan mediator inflamasi
seperti TNF-alpha dan IL1. Ibuprofen berperan sebagai anti-inflamatori dan
juga analgesik.3,5
Tatalaksana medikamentosa yang direkomendasikan untuk rinosinusitis
adalah kombinasi ibuprofen dengan pseudoephedrin. Kombinasi ini akan memberikan
efek anti inflamasi, analgesik, mengurangi edema, produksi mukus, dan kongesti.
Pseudoephedrin mengurangi kompresi pada terminal nosiseptif sehingga dapat
meningkatkan kerja analgesik ibuprofen.3
Apabila tatalaksana menggunakan medikamentosa tidak memberikan hasil
maksimal atau terdapat kelainan anatomi pada pasien maka dianjurkan untuk
melakukan tindakan operasi. Tata laksana operatif dapat berupa septoplasti atau
turbinoplasti tergantung pada titik kontak yang menyebabkan nyeri kepala.
Septoplasati merupakan tindakan meluruskan kembali septum yang terdeviasi,
sedangkan turbinoplasti merupakan tindakan yang dilakukan untuk mengurangi
edema dari konka.21
Tata laksana untuk deformitas septum adalah dengan septoplasti endoskopik.
Tatalaksana ini dapat dilakukan apabila pasien sudah menjalani 4 minggu terapi
menggunakan nasal steroid dengan atau tanpa kombinasi dengan anti histamin dan
tidak mengalami perbaikan.15
2.11. Prognosis
Salah satu tatalaksana dari nyeri kepala rinogenik adalah dengan septoplasty
dimana komplikasi dapat berupa hematoma septal dan infeksi, perforasi, dan
perubahan bentuk hidung. Namun, berdasarkan penelitian, operasi dengan teknik
endoskopik septoplasti secara umum memberikan prognosis baik, dengan
berkurangnya keluhan pasien dinilai dari kuisioner NOSE (Nasal Obstruction
Symptom Evaluation).15
Prognosis dari rhinogenic headache dapat dinilai dari tingkat kesuksesan
operasi. Beberapa penelitian telah menganalisis tingkat kesuksesan dari operasi
kontak mukosa yang menyebabkan nyeri kepala. Sebuah penelitian oleh Huang
dengan jumlah sampel 66 pasien yang dibagi menjadi 3 kelompok. Pada penelitian ini
ditemukan bahwa setelah dilakukan operasi 88,8% pasien mengalami penurunan
intensitas dan tingkat kejadian nyeri kepala. Penelitian yang dilakukan oleh Peric
mengatakan bahwa tingkat kesuksesan operasi lebih dari 88% dan pasien yang sudah
menjalani operasi tidak memerlukan terapi medikamentosa setelah operasi. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Kaur dan Singh di Ambala, India, pada tahun 2011,
ditemukan bahwa dari 25 pasien yang menjalani prosedur FESS, 20 orang mengalami
kesembuhan total dan 5 orang lainnya mengalami perbaikan yang signifikan.11
Beberapa data yang didapatkan dari berbagai jurnal yang direview oleh Kaur
dan Singh juga dijelaskan bahwa terdapat prognosis yang baik setelah dilakukan
intervensi beda, diantaranya11
1. 78,5% daro 299 penderita nyeri kepala rhinogenik mendapatkan keuntungan
yang maksimal (Novak & Makek, 1992)
2. 54% pasien sembuh total, 38,5% perbaikan dan hanya 1 dari 13 pasien yang
gagal (Sindwani & Wright, 2003)
3. 92% dari 21 penderita mengalami perbaikan (Behin et al, 2006)
4. 61,66% dari 120 penderita bebas gejala 19,2% tidak mengalami perbaikan
(Mokbel et al, 2010)
5. 57%d dari 36 penderita sembuh total, dan yang lainnya perbaikan (Bektas et
al, 2011)
6. 83% dari 36 penderita mengalami perbaikan, 11% sembuh total (Mohebbi et al,
2010)
7. Seluruh pasien bedah (38 pasien) mengalami perbaikan rasa nyeri kepala
berdasarkan visual analogue scale (Yazici et al, 2010)
8. 19% dari 42 pasien bebas dari nyeri kepala dan 62% pasien mengalami perbaikan
(Abu Samra et al, 2011)
9.
BAB III
KESIMPULAN

Nyeri kepala rhinogenik merupakan sebuah terminologi yang menjelaskan


nyeri kepala yang disebabkan oleh kelainan pada hidung dan rongga hidung. Nyeri
kepala rhinogenik ini dapat kita rasakan karena terdapat nervus trigeminal cabang
optalmik dan cabang maksila yang berdekatan dengan hidung, sehingga apabila
terjadi gangguan pada struktur tersebut maka akan menyebabkan rangsangan nyeri.
Pada tahun 2014, 69 dari 100 pasien datang ke departemen tht-kl dengan
keluhan nyeri kepala rhinogenik yang dijelaskan oleh pasien sebagai nyeri di daerah
wajah yang terasa seperti tertekan. Usia tertinggi kejadian nyeri kepala rhinogenik
adalah pada usia 21-30 tahun dan lebih banyak pada laki-laki.
Salah satu etiologi nyeri kepala rhinogenik adalah rinosinusitis, dimana
terjadi perdangan atau proses inflamasi pada rongga sinus. Apabila pada pemeriksaan
tidak ditemukan adanya tanda inflamasi maka dapat dipikirkan ke arah kelainan
anatomis seperti deviasi septum nasal dan septal spur, konka bullosum, serta sel
haller.
Gejala yang biasa dikeluhkan pasien dengan nyeri kepala rinogenik adalah
hidung tesumbat, rinorea, nyeri wajah, penurunan sensori penciuman. Untuk
menegakkan diagnosis nyeri kepala rinogenik ini dapat dimulai dari anamnesis untuk
menyingkirkan kemungkinan lain seperti migrain, nyeri kepala kluster dan nyeri
kepala tipe tegang. Penegakan diagnosis dapat dibantu dengan endoskopi nasal dan
ct-scan untuk mencari kelainan anatomis, seperti deviasi septum.
Tatalaksana nyeri kepala rinogenik ini berdasarkan pada penyebab nyeri
kepala itu sendiri, apabila disebabkan oleh inflamasi karena rinitis alergi atau
rinosinusitis maka dapat diberikan steroid untuk mengurangi inflamasi. Apabila
dengan pengobatan medikamentosa tidak terdapat perbaikan, maka dapat dilakukan
tindakan septoplasti atau turbinoplasti.
DAFTAR PUSTAKA

1. Yi HS, Kwak CY, Kim H Il, Kim HY, Han DS. Rhinogenic headache:
Standardization of terminologies used for headaches arising from problems in
the nose and nasal cavity. J Craniofac Surg. 2018;29(8):2206–10.
2. Smith BC, George LC, Svider PF, Nebor I, Folbe AJ, Sheyn A, et al.
Rhinogenic headache in pediatric and adolescent patients: an evidence-based
review. Int Forum Allergy Rhinol. 2019;9(5):443–51.
3. Chiarugi A, Camaioni A. Update on the pathophysiology and treatment of
rhinogenic headache: Focus on the ibuprofen/pseudoephedrine combination.
Acta Otorhinolaryngol Ital. 2019;39(1):22–7.
4. Sollini G, Mazzola F, Iandelli A, Carobbio A, Barbieri A, Mora R, et al. Sino-
nasal anatomical variations in rhinogenic headache pathogenesis. J Craniofac
Surg. 2019;30(5):1503–5.
5. Barinsky GL, Hanba C, Svider PF. Rhinogenic Headache in Children and
Adolescents. Curr Pain Headache Rep. 2020;24(3):3–7.
6. Van Cauwenberge P, Sys L, De Belder T, Watelet J. Anatomy and physiology
of the nose and the paranasal sinuses. Immunol Allergy Clin North Am.
2004;24(1):1–17.
7. Landis BN. Anatomy of the Nose and Paranasal Sinuses. In: Hopitaux
Universitaires Geneve. 2003. p. 1–66.
8. Tikanto J, Pirilä T. Effects of the Cottle’s Maneuver on the Nasal Valve as
Assessed by Acoustic Rhinometry. Am J Rhinol. 2007;21(4):456–9.
9. Mangunkusumo E. Ilmu THT-KL Telinga Hidung Tenggorok. In: 2nd Edition.
2019.
10. Hammad MS, Gomaa MA. Role of some anatomical nasal abnormalities in
rhinogenic headache. Egypt J Ear, Nose, Throat Allied Sci [Internet].
2012;13(1):31–5. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.ejenta.2012.01.006
11. Kaur A, Singh A. Clinical study of headache in relation to sinusitis and its
management. J Med Life. 2013;6(4):389–94.
12. Agius AM, Sama A. Rhinogenic and Non-rhinogenic Headache. Curr Opin
Otolaryngol Head Neck Surg. 2015;23(1):15–20.
13. Wang J, Yin J. Clinical Research on Relation between Nasal Mucosa Contact
Point and Headache. Otolaryngology. 2017;07(02):8–11.
14. Fokkens WJ, Lund VJ, Hopkins C, Hellings PW, Kern R, Reitsma S, et al.
European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2020. Vol. 58.
2020.
15. Dell’Aversana Orabona G, Romano A, Abbate V. Effectiveness of endoscopic
septoplasty in different types of nasal septal deformities. Acta
Otorhinolaryngol Ital. 2018;38(4):323–30.
16. Kadah S, Mokhemar S, Alkholy T, Salem T. Role of endoscopy in rhinogenic
contact headache not responding to medical treatment. Egypt J Otolaryngol.
2019;35(1):256–61.
17. K Maru Y, Gupta Y. Nasal Endoscopy Versus Other Diagnostic Tools in
Sinonasal Diseases. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg. 2016;68(2):202–6.
18. Rasic D, Grgurevic U, Peric A. Surgical Treatment of Rhinogenic Contact
Point Headache: An Experience from a Tertiary Care Hospital. Int Arch
Otorhinolaryngol. 2016;20(2):166–71.
19. Tepper S. International classification of headache disorders. In: 3rd Edition.
2013. p. 1381–2.
20. SUR DK, SCANDALE S. Treatment of Alergic Rhinitis. Am Fam Physician.
2010;81(12):1440–6.
21. Rai U, Devi P, Singh N, Lyngdoh N, Sudhiranjan, T Nongthombam N. Contact
point headache: Diagnosis and management in a tertiary care center in
Northeast India. J Med Soc. 2018;32(1):51–6.

Anda mungkin juga menyukai