Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH SWAMEDIKASI

NYERI KEPALA DAN MIGRAIN

OLEH :

KELOMPOK I

KELAS PSPA A

NAMA ANGGOTA :

DEWI ARIFYANA N014211004

RIZA RIZKYA AMALIA N014211006

FITRIA MOKODOMPIT N014211007

FIQRI ALGAFIQ ABDILLAH N014211009

YUNANDAR PUTRA PALILATI N014211010

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2021
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Nyeri kepala adalah rasa yang tidak enak yang terjadi di area kepala, biasanya
meliputi area wajah dan tengkuk. Nyeri kepala adalah keluhan yang umum
dialami oleh masyarakat di Indonesia. Sedangkan migraine adalah nyeri pada area
kepala yang terjadi berulang dan biasanya berlangsung 4 hingga 72 jam (Perdossi,
2016). Menurut Global Burden of Disease Survey pada tahun 2013, sakit kepala
dan migrain termasuk gangguan yang paling umum keenam dengan prevalensi
global mencapai 12%. Prevalensi terjadinya sakit kepala dan migrain di Indonesia
cukup sulit untuk ditentukan karena jarangnya pasien yang berobat ke dokter
untuk keluhan tersebut. Prevalensi sakit kepala dan migraine sangatlah bervariasi,
berdasarkan penelitian yang dilakukan (Riyadina & Turana, 2014) prevalensi
terjadinya sakit kepala dan migraine di Kota Bogor mencapi 22,43%.
Nyeri kepala dan migrain dianggap sebagai keluhan ringan sehingga
masyarakat tidak perlu melakukan pemeriksaan di dokter sehingga kebanyakan
masyarakat dengan keluhan terebut melakukan pengobatan sendiri atau
swamedikasi. Swamedikasi adalah pengobatan yang dilakukan secara mandiri
oleh masyarakat tanpa harus membeli obat dengan resep dokter. Obat-obat yang
dapat digunakan sebagai obat untuk swamedikasi hanya terbatas pada obat-obat
bebas dan obat bebas terbatas. Obat-obat ini tersedia di apotek sehingga
memudahkan pasien dalam membeli obat. Disinilah peran farmasis untuk
membantu pasien dalam pemilihan obat yang tepat dan aman sesuai dengan
penyakit yang dideritanya (Rikomah, 2018). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) pada tahun 2013, sekitar 35,2% rumah tangga menyimpan obat untuk
berswamedikasi. Diantaranya 35,7% menyimpan obat keras dan dari obat keras
tersebut 86,1% adalah antibiotik. Sedangkan untuk swamedikasi hanya terbatas
pada obat bebas dan obat bebas terbatas.
Swamedikasi seharusnya dijalankan dengan tepat dan aman. Swamedikasi
memiliki keuntungan diantaranya dapat menghemat waktu dan biaya dalam
berobat. Namun, tidak dapat dipungkiri swamedikasi juga memiliki kekurangan
yaitu minimnya pengetahuan tentang kesehatan sehingga dapat menyebabkan
resiko penggunaan obat yang tidak tepat (Sitindaon, 2020). Agar terciptanya
swamedikasi yang benar atau rasional, peran farmasis sangatlah dibutuhkan
khususnya pada proses dispensing dan konseling obat. Untuk dapat menjalankan
peran sebagai farmasis yang baik sehingga sangat perlu dibekali dengan
pengetahun – pengetahuan tentang swamedikasi sehingga dapat membantu dalam
memutuskan pengobatan yang benar sesuai dengan masalah kesehatan yang
dihadapi pasien (Rajiah, 2016).
Oleh karena itu, makalah ini dibuat untuk meningkatkan pengetahuan
mahasiswa farmasi dalam menangani swamedikasi khususnya menangani keluhan
sakit kepala atau migrain.
I.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini sebagai berikut.
1. Apa obat-obat yang digunakan dalam berswamedikasi untuk menangani
sakit kepala dan migrain?
2. Bagaimana cara swamedikasi untuk menangani sakit kepala dan migrain?
I.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui obat-obat yang digunakan dalam berwamedikasi untuk
menangani sakit kepala dan migraine
2. Untuk mengetahui cara swamedikasi untuk menangani sakit kepala dan
migraine
BAB II
TINJAUAN NYERI KEPALA DAN MIGRAIN
II.1 Nyeri Kepala
II.1.1 Definisi nyeri kepala
Nyeri kepala adalah rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan di seluruh
daerah kepala dengan batas bawah dari dagu sampai ke belakang kepala.
Nyeri kepala merupakan gejala yang dapat disebabkan oleh banyak
gangguan. Misalnya, nyeri kepala dapat disebabkan oleh traksi, perpindahan,
atau peradangan pada struktur yang peka terhadap rasa sakit di dalam kepala,
atau dapat disebabkan oleh gangguan struktur ekstrakranial seperti seperti
mata, telinga, atau sinus. Untuk tujuan diagnostik dan terapeutik, sangat
berguna untuk mengkategorikan sakit kepala menjadi 2 jenis yaitu (primer
dan sekunder) berdasarkan etiologi yang mendasarinya. Gangguan sakit
kepala primer ditandai dengan kurangnya penyebab mendasar yang dapat
diidentifikasi dan diobati. Migrain, tension type, dan sakit kepala cluster
adalah contoh sakit kepala primer. Sedangkan sakit kepala sekunder adalah
yang berhubungan dengan berbagai penyebab organik seperti trauma,
malformasi serebrovaskular, dan tumor otak. Tergantung pada penyebabnya,
nyeri kepala dapat bermanifestasi dalam berbagai cara atau dapat disertai
dengan tanda atau gejala terkait lainnya (Koda Kimble 10th edition, 2013).
II.1.2 Patofisiologi nyeri kepala
Secara intrakranial, hanya sejumlah kecil struktur yang sensitive untuk
sakit. Struktur peka rasa sakit yang paling penting dalam tengkorak adalah
bagian proksimal dari arteri serebral, besar vena, dan sinus vena. Sakit kepala
dapat terjadi akibat dilatasi, distensi, atau traksi pembuluh darah besar
intracranial. Otak itu sendiri tidak peka terhadap rasa sakit. Nyeri alih dari
radang sinus frontal atau maksila atau kelainan refraksi mata juga merupakan
penyebab potensial sakit kepala. Arteri kulit kepala dan otot juga mampu
mencatat rasa sakit dan telah terlibat dalam patofisiologi migrain dan tipe
ketegangan sakit kepala. Secara ekstrakranial, sebagian besar struktur di luar
tengkorak (misalnya, periosteum, mata, telinga, gigi, kulit, jaringan yang
lebih dalam) mengalami nyeri aferen. Secara umum, nyeri dapat dihasilkan
oleh aktivasi reseptor nyeri perifer (nosiseptor), cedera pada SSP atau perifer
sistem saraf, atau perpindahan struktur yang peka terhadap rasa sakit
disebutkan sebelumnya.
Secara historis, gangguan sakit kepala primer telah dianggap terkait
baik dengan gangguan vaskular (migrain, dan sakit kepala cluster) atau
ketegangan otot (tension-type sakit kepala). Namun, bukti klinis dan
eksperimental sekarang menunjukkan bahwa sakit kepala ini berasal dari
gangguan mendasar pada fungsi otak. Bukti dalam hal ini adalah sangat kuat
untuk migrain dan sakit kepala cluster. Banyak penulis sekarang berpendapat
bahwa sindrom sakit kepala primer yang berbeda secara klinis ini mewakili
manifestasi variabel dari a fenomena patogenetik umum yang melibatkan
persarafan saraf dari sirkulasi kranial. Mekanisme spesifik yang
menyebabkan sakit kepala primer belum diidentifikasi. Namun, hipotesis
neurovaskular telah diusulkan di mana sakit kepala dipicu oleh gangguan
pada jalur pemrosesan nyeri sentral (kompleks trigeminoservikal), yang
menyebabkan pelepasan neuropeptida (peptida terkait gen kalsitonin
[CGRP], substansi P, dan neurokinin A) dan vasodilatasi berikutnya.
Serotonin, neurotransmitter vasoaktif yang dilepaskan oleh inti batang otak
dari sistem trigeminovaskular, telah dicurigai selama beberapa decade
memainkan peran penting dalam patogenesis migrain. Selanjutnya, obat yang
mengubah fungsi serotonergik sangat efektif untuk pengobatan gejala
migrain dan sakit kepala cluster (Koda Kimble 10th edition, 2013).
II.1.3 Klasifikasi nyeri kepala
Nyeri kepala harus dievaluasi dan diklasifikasikan secara akurat karena
gejala ini mungkin mencerminkan masalah yang tidak menyenangkan seperti
adanya tumor otak atau banyak penyakit lainnya. Selain itu, pegobatan yang
efektif tergantung pada diagnosis yang benar (Koda Kimble 10th edition,
2013). Berikut klasifikasi nyeri kepala: (International headache Society,
2018).
A. Nyeri kepala Primer
Nyeri kepala primer merupakan nyeri kepala yang tidak diasosiasikan
dengan patologi atau kelainan lain yang menyebabkannya. Nyeri kepala
ini masih dibagi berdasarkan profil gejalanya menjadi :
 Migrain
Migrain memiliki dua jenis tipe. Migrain tanpa aura dan migrain
dengan aura. Migrain tanpa aura yaitu nyeri kepala berulang dengan
manifestasi serangan selama 4-72 jam. Karakteristik nyeri kepala
unilateral, berdenyut, intensitas sedang atau berat, bertambah berat
dengan aktivitas fisik yang rutin dan diikuti dengan mual dan atau
fotofobia dan fonofobia. Sedangkan migrain aura adalah Serangan
berulang, bertahan dalam menit, sepenuhnya unilateral secara
reversibel baik itu visual, sensorik atau gejala sistem saraf pusat
lainnya yang biasanya berkembang secara bertahap dan diikuti dengan
nyeri kepala dan terkait gejala migrain.
 Tension Type Headache (TTH)
Tension-type headache (TTH) adalah nyeri kepala bilateral
yang menekan, mengikat, tidak berdenyut, tidak dipengaruhi dan
tidak diperburuk oleh aktivitas fisik, bersifat ringan hingga sedang,
tidak disertai mual dan/atau muntah , serta disertai fotofobia atau
fonofobia (Anurogo, 2014).
Klasifikasi TTH yaitu :
TTH episode jarang yaitu nyeri kepala yang jarang, bilateral,
menekan atau mengikat dan intensitas ringan sampai sedang,
berlangsung menit sampai hari. Rasa sakitnya tidak memburuk dengan
aktivitas fisik rutin dan tidak berkaitan dengan mual, tetapi fotofobia
atau fonofobia mungkin ada. TTH episode sering yaitu episode nyeri
kepala yang sering, bilateral, menekan atau mengikat dan intensitas
ringan sampai sedang, berlangsung menit sampai hari. Rasa sakitnya
tidak memburuk dengan aktivitas fisik rutin dan tidak berkaitan
dengan mual, tetapi fotofobia atau fonofobia mungkin ada.
TTH episode kronik yaitu sebuah gangguan berkembang dari nyeri
kepala tipe tegang episode sering, dengan episode nyeri kepala harian
atau sangat sering, bilateral, kualitas menekan atau mengikat dan
intensitas ringan sampai sedang, berlangsung jam sampai hari, atau
tidak ada hentinya. Rasa sakit tidak memburuk dengan aktivitas fisik
rutin, tetapi mungkin terkait dengan mual ringan, fotofobia atau
fonofobia.
Manifestasi klinik: Nyeri kepala tipe tegang atau Tension type
headache dirasakan bilateral (kedua sisi). Intensitasnya dari ringan
sampai sedang. Rasa nyeri yang dirasakan adalah tumpul seperti diikat
atau ditekan, tidak berdenyut, menyeluruh, nyeri lebih hebat pada
daerah kulit kepala, frontal, dan occipital. Terjadi secara spontan,
memburuk apabila stress, insomnia, kelelahan kronis, iritabilitas,
gangguan konsentrasi, kadang terjadi vertigo, dan rasa tidak nyaman
pada bagian leher, rahang, serta pada temporomandibular. Nyeri kepala
ini akan berlangsung hanya 30 menit akan tetapi dapat juga terjadi
secara terus-menerus hingga 7 hari dengan intensitas bervariasi mulai
dari ringan pada waktu bangun tidur, semakin lama semakain berat dan
membaik lagi ketika akan tidur (Ghazy, 2015).
Patofisiologi TTH:
Patofisiologi Tension type headache masih belum jelas diketahui.
Namun didapatkan dari beberapa literature bahwa ada beberapa
keadaan yang berhubungan dengan kejadiannya Tension type
headache, yaitu: (Ghazy, 2015).
a. Disfungsi sistem saraf pusat yang lebih berperean daripada sistem
saraf perifer dimana disfungsi sistem saraf periferlebih mengarah
pad ETTH sedangkan disfungsi sistem saraf pusat mengarah pada
CTTH.
b. Disfungsi saraf perifer meliputi kontraksi otot yang involunter dan
permanen tanpa disertaiiskemia otot.
c. Transmisi nyeri Tension type headache melalui
nukleustrigeminoservikalis pars kaudalis yang akan mensenitasi
second order neuron pada nucleus trigeminal dan kornu dorsalis
(aktivasi molekul no) sehingga meningkatkan input nosiseptif pada
jaringan perikranial dan miofasial lalu terjadilah regulasi
mekanisme perifer yang akan meningkatkan aktivitas otot
perikranial. Hal ini pada jaringan miofasial akan terjadi
peningkatan pelepasan neurotransmitter. Hiperfisibilitas neuron
sentral nosisseptif pada nucleus trigeminal, thalamus, dan korteks
serebri yang diikuti hipesensitifitas supraspinal (limbik) terhadap
nosisseptif.
d. Kelainan fungsi filter nyeri di batang otak sehingga menyebabkan
kesalahan interpretasi info pada otak yang diartikan sebagai nyeri.
e. Terdapat hubungan jalur serotogenik dan monoaminergic pada
batang otak dan hipotalamus dengan terjadinya Tension type
headache.
Etiologi TTH: (Ghaziy, 2015)
a) Stress
b) Depresi
c) Bekerja dalam posisi yang menetap dalam waktu lama
d) Kelelahan mata
e) Kontraksi otot yang berlebihan
f) Berkurangnya aliran darah
g) Ketidakseimbangan neurotransmitter
h) Tiredness (Kelelahan)
i) Ansietas (kecemasan)
j) Tekanan darah yang tinggi
k) Waktu tidur kurang
Epidimiologi TTH:
Sekitar 93% laki-laki dan 99% perempuan pernah mengalami nyeri
kepala. Tension-type headache dan nyeri kepala servikogenik adalah
dua tipe nyeri kepala yang sering dijumpai. TTH adalah bentuk paling
umum nyeri kepala primer yang mempengaruhi dua pertiga populasi
dunia. Sekitar 78% orang dewasa pernah mengalami TTH setidaknya
sekali dalam hidupnya (Ravishankar, 2011).
 Trigeminal autonomic cephalalgias (TACs)
Cluster Headache yaitu Serangan berat, nyeri yang ketat dan
unilateral pada orbital, supraorbital, temporal atau dalam bentuk
kombinasi, berlangsung 15 – 180 menit dan terjadi mulai dari
sekali setiap hari sampai delapan kali sehari. Rasa sakit terkait
dengan injeksi konjungtiva yang ipsilateral, lakrimasi, hidung
tersumbat, rhinorrhoea, dahi dan wajah berkeringat, miosis, ptosis
dan / atau edema kelopak mata, dan / atau dengan kegelisahan.
Paroxysmal hemicrania yaitu Serangan berat, nyeri yang ketat dan
unilateral pada orbital, supraorbital, temporal atau dalam bentuk
kombinasi, berlangsung 2 - 30 menit dan terjadi beberapa kali
setiap harinya. Serangan berkaitan dengan injeksi konjungtiva,
lakrimasi, hidung tersumbat, rhinorrhoea, dahi dan wajah
berkeringat, miosis, ptosis dan / atau edema kelopak mata yang
ipsilateral. Terapat respons yang pasti terhadap indomethacin.
Serangan sakit kepala neuralgiform unilateral yang
berlangsung singkat serangan sedang atau berat, nyeri kepala
unilateral yang berlangsung beberapa detik hingga menit, terjadi
setidaknya sekali sehari dan biasanya disertai dengan lakrimasi
yang menonjol dan kemerahan pada mata ipsilateral.
Manifestasi klinik Cluster Headche:
Serangan nyeri kepala tipe cluster secara tipikal berlangsung
pendek dan terjadi dengan periode yang jelas, khususnya selama
pasien tidur atau pada pagi hari, biasanya berkoresponedensi
dengan fase rapid eye movement pada saat tidur. Berbeda dengan
nyeri kepala migraine, nyeri kepala cluster tidak didahului dengan
aura dan biasanya tidak disertai dengan mual, muntah, fotofobia,
atau osmofobia. Pasien biasanya mengalami 1-2 kali periode
cluster dalam setahun, masing-masing bertahan selama 2 minggu
hingga 3 bulan.
Patofisiologi Cluster Headache:
Penyebab terjadinya nyeri pada CH dapat dikarenakan faktor
perifer atau sentral. Dalam kasus pertama, Serangan nyeri kepala
berasal dari pengaktifan serat trigeminal aferen yang disebabkan
oleh iritasi struktur wajah atau kepala. Pada kasus kedua serangan
tersebut dikarenakan aktivasi langsung posterior hipotalamus (PH),
Dalam keadaan tersebut, terjadi aktivasi dari nucleus salivatorius
superior oleh PH, atau melalui jalur trigeminal-otonom
(atrigeminovaskular) melalui jalur refleks (aktivasi tidak langsung)
yang menghasilkan peningkatan aktivitas serat parasimpatis
sehingga menimbulkan gejala secara ipsilateral (injeksi
konjungtiva, robek, hidung tersumbat dan Rhinorrhoea).
Peradangan neurogenik terjadi akibat pelepasan neurotransmiter di
terminal parasimpatis, dan iritasi saraf-saraf sensoris trigeminal
selanjutnya menghasilkan respons vaskular melalui pelepasan
CGRP antidromik. Gejala seperti miosis dan ptosis (sindrom
Horner yang tidak lengkap) timbul dari vasodilatasi vaskular arteri
karotis interna sebagai respon dari aktivitas parasimpatis . Impuls
nyeri akibat Iritasi serabut oculosympathetic akan mengalir melalui
sinus kavernosus. Rangsangan nyeri yang intens dibawa melalui
proyeksi terlebih dahulu ke kompleks serviks trigeminal dan
kemudian ke talamus, sampai ke daerah sensorik kortikal yang
terlibat dalam proses penyembuhan. PH secara fungsional
terhubung ke sistem trigeminal ipsilateral dan memiliki peran
penghambatan yang membuat terjadinya disfungsi proyeksi. Hal ni
dapat menyebabkan keadaan permisif tidak hanya memfasilitasi
terjadinya serangan, namun juga memengaruhi durasi serangan
tunggal. (Costa, et al., 2015)
Etiologi Cluster Headache:
Etiologi pasti dari cluster type headache atau nyeri kepala klaster
masih belum diketahui. Sekitar 5% kasus diturunkan secara
autosomal dominan.
Epidimiologi Cluster Headache:
Presentasi klinis pada wanita dapat berbeda dengan pada pria,
berdasarkan data dari United States Cluster Headache Survey yang
menunjukkan bagwa wanita lebih cenderung mengalami nyeri
kepala cluster pada usia yang lebih muda, serta lebih cenderung
mengalami insiden setelah usia 50 tahun. Hubungan antara factor
ras dan etnik belum diteliti dengan baik, namun nyeri kepala ini
ditemukan lebih prevalen pada ras Afrika-Amerika, dan kurang
terdiagnosis pada wanita dengan kulit gelap Blande M. Cluster
headache (Medscape, 2014)
 Gangguan sakit kepala primer lainnya
 Nyeri kepala karena batuk
 Nyeri kepala karena latihan
 Nyeri kepala karena aktivitas seks
 Nyeri kepala kerna petir
 Nyeri kepala karena dingin
 Nyeri kepala karena tekanan luar
 Nyeri kepala menusuk
 Nyeri kepala nummular
 Nyeri kepala hipnik
B. Nyeri kepala sekunder
Nyeri kepala sekunder merupakan nyeri kepala yang dikarenakan
penyakit lain sehingga terdapat peningkatan tekanan intrakranial atau
nyeri kepala yang jelas terdapat kelainan anatomi maupun struktur.
 Nyeri kepala karena trauma pada kepala dan / atau leher
 Nyeri kepala karena gangguan vaskular pada kranial atau servikal
 Nyeri kepala karena gangguan non vaskular pada intracranial
 Nyeri kepala karena suatu substansi atau with drawal
 Nyeri kepala karena infeksi
 Nyeri kepala karena gangguan homeostasis
 Nyeri kepala atau nyeri wajah karena gangguan pada kranial, leher,
mata, telinga, hidung, rongga sinus, gigi, mulut, atau struktur wajah
atau kranial lainnya
 Nyeri kepala karena gangguan psikiatri
C. Neuropati kranial yang menyakitkan, nyeri wajah lainnya, dan sakit
kepala lainnya
 Nyeri yang disebabkan oleh lesi atau penyakit pada saraf trigeminus
 Nyeri yang disebabkan oleh lesi atau penyakit pada saraf
glosofaringeal
 Nyeri yang disebabkan oleh lesi atau penyakit saraf intermedius
 Neuralgia oksipital
 Neck-tongue syndrome
 Neuritis optik yang menyakitkan
 Sakit kepala yang dikaitkan dengan iskemik ocular kelumpuhan saraf
motoric
 Tolosa–Hunt syndrome
 Paratrigeminal oculosympathetic (Raeder’s) syndrome
 Sakit berulang ophthalmoplegic neuropathy
 Burning mouth syndrome (BMS)
 Nyeri wajah idiopatik persisten (PIFP)
 Nyeri neuropatik sentral
II.2 MIGRAIN
II.2.1 Definisi Migrain
Kata migrain berasal dari bahasa Yunani hemicrania dan secara historis
digunakan untuk menggambarkan sakit kepala unilateral dengan gejala.
Baru-baru ini, migrain digambarkan sebagai "paroxysmal" serangan sakit
kepala berdenyut dari sedang hingga berat dengan gejala terkait yaitu
mual, muntah, dan fotofobia atau fonofobia. Sakit kepala migrain
diklasifikasikan berdasarkan ada tidaknya gejala aura. Kebanyakan orang
yang menderita migrain tidak mengalami gejala aura sedangkan untuk
pasien dengan gejala aura biasanya mengalami perubahan penglihatan atau
sensasi (Koda Kimble 10th edition, 2013).
Klasifikasi Migrain
 Migrain tanpa aura
Gangguan sakit kepala berulang yang bermanifestasi dalam
serangan berlangsung 4-72 jam Karakteristik khas dari sakit kepala
ini adalah lokasi unilateral, kualitas berdenyut, intensitas sedang
atau berat, diperparah oleh rutinitas aktivitas fisik dan
hubungannya dengan mual dan/atau fotofobia dan fonofobia.
Kriteria diagnostic:
 Setidaknya lima serangan memenuhi kriteria dibawah :
 Serangan sakit kepala yang berlangsung 4-72 jam (bila
tidak diobati atau tidak berhasil diobati)
 Sakit kepala memiliki setidaknya dua dari empat karakteristik:
1. lokasi sepihak
2. kualitas berdenyut
3. intensitas nyeri sedang atau berat
4. diperparah aktivitas fisik (misalnya berjalan atau memanjat
tangga)
 Selama sakit kepala setidaknya salah satu dari berikut ini:
1. mual dan/atau muntah
2. fotofobia dan fonofobia diagnosa.
 Migrain dengan aura
Serangan berulang yang berlangsung lama, gangguan penglihatan,
sensorik, atau pusat lainnya unilateral yang sepenuhnya reversible
gejala sistem saraf yang biasanya berkembang secara bertahap dan
biasanya diikuti oleh sakit kepala dan gejala migrain terkait.
Kriteria diasnogtic:
 Setidaknya dua serangan memenuhi kriteria dibawah:
 Satu atau lebih dari aura reversibel berikut ini gejala:
1. visual
2. sensorik
3. ucapan dan/atau bahasa
4. bermotor
5. batang otak
6. retinal
 Setidaknya tiga dari enam karakteristik berikut:
1. setidaknya satu gejala aura menyebar secara bertahap lebih dari
5 menit
2. dua atau lebih gejala aura terjadi secara berurutan
3. setiap gejala aura individu berlangsung 5–60 menit
4. setidaknya satu gejala aura unilateral
5. setidaknya satu gejala aura positif
6. aura disertai, atau diikuti di dalam 60 menit, sakit kepala
 Migrain Kronik
Sakit kepala terjadi pada 15 hari atau lebih/ selama kurang lebih tiga
bulan, yang setidaknya delapan hari/bulan, memiliki ciri-ciri sakit
kepala migrain.
Diagnostic kriteria:
 Sakit kepala migrain selama 15 hari/bulan selama >3 bulan, dan
memenuhi kriteria dibawah
 Terjadi pada pasien yang telah memiliki setidaknya lima serangan
yang memenuhi kriteria dibawah untuk migrain tanpa aura dan
kriteria dibawah untuk Migrain dengan aura
 Pada 8 hari/bulan selama >3 bulan, memenuhi setiap berikut ini :
1. kriteria untuk migrain tanpa aura
2. kriteria untuk migrain dengan aura
3. Diyakini oleh pasien sebagai onset saat migrain dan
dihilangkan dengan turunan triptan atau ergot
 Komplikasi migrain
Serangan migrain yang melemahkan yang berlangsung selama lebih
dari 72 jam.
Diagnostik kriteria:
 Serangan sakit kepala yang memenuhi kriteria dibawah:
 Terjadi pada pasien dengan Migrain tanpa aura dan/atau Migrain
dengan aura, dan tipikal dari serangan sebelumnya kecuali durasi
dan keparahannya
 Kedua ciri berikut:
1. tak henti-hentinya selama >72 jam1
2. rasa sakit dan/atau gejala yang terkait adalah melemahkan

Manifestasi klinik
Sakit kepala migrain biasanya dimulai selama beberapa menit hingga jam,
berkembang dari nyeri biasa ke denyut yang lebih intens dengan rasa sakit
yang memburuk setiap denyutnya. Migrain biasanya dimulai di daerah
frontotemporal dan dapat menyebar ke oksiput dan leher. Sakit kepala
migrain sering disertai mual dan muntah dan dapat berlangsung selama
hingga 72 jam. Sakit kepala ini biasanya diatasi dengan relaksasi di
ruangan gelap dan tidur. Migrain lebih sering terjadi pada wanita daripada
pria. Sakit kepala migrain dibagi menjadimigrain aura dan tanpa aura.
Istilah aura mengacu pada kompleks gejala neurologis fokal (misalnya,
perubahan penglihatan atau sensasi) yang memulai atau menyertai
serangan migrain. Migrain mungkin dipicu oleh berbagai diet,
farmakologis, hormonal, atau faktor lingkungan (Koda Kimble
10th edition, 2013).

Patofisiologi migrain
Aktivasi saraf sensorik trigeminal memicu pelepasan vasoaktif
neuropeptida, termasuk peptida terkait gen kalsitonin, neurokinin A, dan
substansi P dari akson perivaskular. Vasodilatasi pembuluh darah dural
dapat terjadi dengan ekstravasasi plasma dural yang mengakibatkan
peradangan. Studi kembar menunjukkan 50% heritabilitas migrain, dengan
poligenik multifactorial dasar. Pemicu migrain mungkin merupakan
modulator dari titik setel genetic yang menjadi predisposisi untuk sakit
kepala migrain. Populasi spesifik reseptor serotonin (5-HT) tampaknya
terlibat dalam patofisiologi dan pengobatan sakit kepala migrain. Alkaloid
ergot dan triptan turunannya adalah agonis reseptor 5-HT1 vaskular dan
neuronal, menghasilkan vasokonstriksi dan penghambatan pelepasan
neuropeptida vasoaktif (Dipiro, 2017)

Etiologi :
Beberapa faktor atau pemicu yang dapat menyebabkan terjadinya migraine
(Price, 2005)
1. Riwayat penyakit migren dalam keluarga. 70-80% penderita migraine
memiliki anggota keluarga dekat dengan riwayat migraine juga.
2. Perubahan hormone (esterogen dan progesterone) pada wanita,
khususnya pada fase luteal siklus menstruasi.
3. Makanan yang bersifat vasodilator (anggur merah, natrium nitrat)
vasokonstriktor (keju, coklat) serta zat tambahan pada makanan.
4. Stres
5. Faktor fisik, tidur tidak teratur
6. Rangsang sensorik (cahaya silau dan bau menyengat)
7. Alkohol dan Merokok

Epidimiologi :

Nyeri kepala migrain diperkirakan dua sampai tiga kali lebih sering pada
perempuan daripada laki-laki, cenderung dijumpai dalam satu keluarga,
diperkirakan memiliki dasar genetik, dan biasanya dijumpai pada
perempuan muda yang sehat. Pengidap migrain yang memiliki keluarga
dekat yang juga mengidap migrain memiliki persentase 75-80%. Migrain
paling sering terjadi pada perempuan berusia kurang dari 40 tahun,
walaupun dapat juga dijumpai pada menopause akibat perubahan produksi
hormon (Price and Wilson, 2005).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa migrain menempati urutan kedua


terbanyak setelah nyeri kepala tipe tegang, yaitu sebanyak 29,5% dari
populasi. Migrain menjadi penyebab pasien datang untuk berobat dan
menempati urutan ke-19 dari semua penyakit yang menyebabkan
disabilitas di dunia (Abadi, 2012).

Prevalensi migrain pada orang dewasa adalah 10-12% setahun, dimana


prevalensi untuk laki-laki adalah 6% dan untuk perempuan adalah 15-18%,
sedangkan perbandingan antara migrain tanpa aura dengan migrain dengan
aura adalah 5:1 (Abadi, 2012).

Data populasi lain melaporkan bahwa gangguan sakit kepala paling sering
pada orang dewasa di dunia adalah nyeri kepala umum sebanyak 46%,
migrain sebanyak 11%, dan nyeri kepala tipe tegang sebanyak 42%
(Fransiska et al., 2007).
Penelitian yang dilakukan di Jakarta terhadap penderita migrain kelompok
usia 16 sampai 30 tahun mencatat prevalensi migrain sebanyak 43,5%,
dimana prevalensi wanita sebesar 53,5% dan pria sebesar 35,8%
(Fransiska et al., 2007).

Prevalensi migrain dapat menurun seiring dengan bertambahnya usia,


namun penyakit ini masih signifikan setelah dekade keenam kehidupan,
karena masih dua kali lebih banyak pada perempuan dibandingkan dengan
pada laki-laki, dan mungkin memburuk selama menopause (Price and
Wilson, 2005)

II.2.2 Pelaksanaan Terapi


1. Tension Type Headache
Terapi Non farmakologi :
Ada beberapa macam pilihan non farakologi pada TTH seperti : edukasi,
psikoterapi, kompres hangat atau dingin pada dahi, mandi air hangat , tidur
dan istirahat. dan relaksasi.
Terapi Farmakologi :
Kebanyakan pasien TTH episodic dengan nyeri ringan sampai sedang bisa
diobati dengan analgesic sederhana (paracetamol/aspirin) atau NSAIDs.
Sedangkan pada pasien dengan TTH kronik, nyeri kepalanya dapat
berhubungan dengan stress, kecemasan dan depresi dan analgesic
sederhana biasanya tidak akan efektif lagi. Keberhasilan pengobatan
analgesic sederhana dan NSAIDs akan meningkat apabila ditambahkan
dengan kafein 64-200 mg (Bendtsen, et al., 2010)
Ibuprofen 800 mg, 400 mg dan 200 mg efektivitasnya sama seperti
ketoprofen 50 mg, 25 mg dan 12,5 mg. diklofenak 25 mg dan 12,5 mg
dilaporkan efektif. Naproxen 375 mg dan 550 mg dan metimazole 500-
1000 mg juga telah dilaporkan efektif. Terapi ketorolac 60 mg dengan
injeksi im diruang emergensi juga telah dilaporkan efektif (Bendtsen, et
al., 2010).
Sedangkan terapi preventif antara lain : Amitriptilin (dosis 10- 50mg
sebelum tidur) dan nortriptilin (dosis 25-75mg sebelum tidur) yang
merupakan antidepresan golongan trisiklik yang paling sering dipakai.
selain itu juga, selective serotonin uptake inhibitor (SSRI) sering
digunakan seperti fluoksetin, paroksetin, sertraline (Budiman, 2013).
2. Cluster Headache
Terapi non farmakologi
Melakukan terapi pernapasan, mengonsumsi makanan tinggi
magnesium, mengoleskan minyak esensial kepelipis dahi, tidur dan
istirahat.
Terapi farmakologi (Arifputera & Anindhita, 2014)
Terapi abortif
 Oksigen 7 liter per menit selama 15 menit merupakan pilihan
utama untuk mengatasi cluster headache jika diberikan pada awal
serangan.
 Sumatriptan nasal 20mg atau injeksi subkutan 6mg akan
mengurangi nyeri dalam 10 menit, dapat diulang dalam 24 jam.
Tidak boleh diberikan pada pasien dengan hipertensi tidak
terkontrol atau penyakit jantung iskemik.
 Dihidroergotamin 0, 5-1, 5mg intravena dapat mengurangi nyeri
dalam 10 menit.
 Lidokain 1ml dari pelarut 4% diteteskan pada kapas pada
tiaplubang hidung untuk mengurangi nyeri.
Profilaksis
 Verapamil sebagai obat pilihan utama 120-160mg per oral 3-4 kali
per hari atau nifedipin 40-120mg per hari.
 Lithium 300-1500mg per hari per oral.
 Metilsergid 4-10mg per hari per oral.
 Prednisolon 50-75mg per hari, tidak boleh diberikan dalam jangka
waktu lama.
3. Migrain Headache
Terapi non farmakologi Migrain
Oleskan es ke kepala dan anjurkan pasien untuk istirahat atau tidur,
biasanya dalam gelap dan lingkungan yang tenang. Kenali dan hindari
pemicu serangan migrain

Pemicu Migrain yang Biasa Dilaporkan


Pemicu makanan :
- Alkohol
- Cokelat
- Makanan fermentasi dan acar
- Monosodium glutamat (misalnya, dalam makanan Cina, garam, dan makanan instan)
- Makanan yang mengandung nitrat (mis., Daging olahan)
- Sakarin / aspartam (mis., Makanan diet atau diet soda)
- Makanan yang mengandung tyramine
Pemicu lingkungan :
- Dataran tinggi
- Lampu silau atau berkedip
- Suara keras
- Bau dan asap yang kuat
- Asap tembakau
- Perubahan cuaca
Pemicu perilaku-fisiologis :
- Kelelahan
- Kelebihan atau kurang tidur
- Menstruasi, menopause
- Aktivitas seksual
- Tidak makan
- Aktifitas fisik yang berat ( Kelelahan yang terlalu lama)
- Stres atau pasca stres
Intervensi perilaku (terapi relaksasi, biofeedback, dan terapi kognitif) dapat
membantu pasien yang lebih memilih terapi non-obat atau ketika terapi obat
tidak efektif atau tidak ditoleransi (Dipiro, 2017)
Terapi farmakologi Migrain (Arifputera & Anindhita, 2014)
Pada serangan ringan sampai sedang, dapat diberikan obat-obatan over
the counter seperti NSAID. Antara lain:
 Parasetamol 100-600mg tiap 6-8 jam
 Aspirin 500-1000mg tiap 4-6 jam, dosis maksimal 4g/hari
 Ibuprofen 400-800mg tiap 6 jam, dosis maksimal 2, 4g/hari
 Sodium naproxen 27, 5-550mg tiap 2-6 jam, dosis maksimal 1,
5g/hari
 Steroid seperti deksametason atau metilprednisolon ialah obat yang
digunakan untuk status migraineosus .
Pada serangan yang berat, dapat diberikan obat spesifik untuk
meredakan nyeri kepala. Antara lain:
 Golongan agonis 5HT seperti Sumtriptan 6mg subkutan atau 50-
100mg per oral
 Ergotamin 1-2mg yang dapat diberikan secara per oral, subkutan
maupun per rektal Untuk mencegah terjadinya serangan, dapat
diberikan obat-obatan dengan mempertimbangkan jika terjadi dua
atau lebih serangan setiap bulan dengan disabilitas yang signifikan
dan berlangsung selama 3 hari atau lebih, penggunaan obat yang
gagal lebih dari dua kali seminggu serta adanya kontraindikasi
dengan obatobatan simptomatik. Obat yang dapat diberikan antara
lain:
Sodium valproat 400-1000mg/hari per oral
Metoprolol 47, 5-200mg/hari per oral
Propanolol 120-240mg/hari per oral
Timolol 10-15ml 2 kali/hari per oral
BAB III

SWAMEDIKASI

III.1 Obat-obat Sintesis


 Obat bebas
1. Panadol ® ( PT. Sterling Indonesia)
Bentuk sediaan : Kaplet
Komposisi : Paracetamol 500mg dan Caffein 65mg
Dosis : 3-4 kali sehari 1 kaplet
Aturan Pakai : Dikonsumsi sesudah makan
Efek samping : Hepatotoksik, Hipersensitivitas seperti gatal dan
kemerahan pada kulit
Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap paracetamol dan bahan
lain dalam obat ini, penderita gangguan fungsi hati

2. Bodrex ® (PT. Tempo Scan Pacific)


Bentuk sediaan : Tablet
Komposisi : Paracetamol 600 mg dan caffein 50 mg.
Dosis : 3-4 kali sehari 1 tablet
Aturan pakai : Dikonsumsi sesudah makan
Efek samping : Gangguan fungsi hati (pada dosis besar dan
penggunaan jangka panjang)
Kontraindikasi : Gangguan fungsi hati berat

3. Oskadon ® ( PT. Super Ferbindo Farma)


Bentuk sediaan : Tablet
Komposisi : Paracetamol 500 mg dan caffein 35 mg.
Dosis : 3 kali sehari 1 tablet
Aturan pakai : Dikonsumsi sesudah makan
Efek samping : Mual, muntah, nyeri lambung, diare, ruam kulit,
pusing, penyempitan bronkhus, gangguan hati dan
ginjal
Kontraindikasi : Gangguan fungsi hati berat

4. Poldanmig ® (PT. Sanbe)


Bentuk sediaan : Kaplet
Komposisi : Paracetamol 400 mg, Acetylsalicylic Acid 250 mg
dan caffein 65 mg.
Dosis : 3-4 kali sehari 1 kaplet
Aturan pakai : Dikonsumsi sesudah makan
Efek samping : Dosis besar dapat menyebabkan kerusakan hati
Kontraindikasi : Penderita yang hipersensitif terhadap paracetamol,
acetosal atau obat AINS lainnya, pasien yang telah
menjalani operasi jantung, pasien dengan
gangguan ginjal, gangguan hati, asma, urtikaria,
tukak saluran cerna, pasien asam urat

 Obat Bebas Terbatas

1. Bodrex Ekstra ® ( PT. Tempo Scan Pacific)

Bentuk sediaan : Kaplet


Komposisi : Paracetamol 350 mg, Ibuprofen 200 mg, Caffeine
50 mg
Dosis : 3-4 kali sehari 1 kaplet
Aturan pakai : Sesudah makan
Efek samping : Mual, muntah, nyeri ulu hati, kemerahan pada
kulit dan gangguan darah (tromboistopenia,
limfopenia), reaksi hipersensitivitas pada penderita
asma atau reaksi alergi lain terhadap golongan
OAINS
Kontraindikasi: Tukak lambung atau duodenum berat dan aktif
2. Bodrex Migra ® (PT. Tempo Scan Pacific)
Bentuk sediaan : Kaplet
Komposisi : Paracetamol 350 mg, Propyphenazone 150 mg,
Caffeine 50 mg
Dosis : 3 kali sehari 1 kaplet
Aturan pakai : Sesudah makan
Efek samping : Penggunaan jangka lama dan dosis besar dapat
menyebabkan kerusakan fungsi ginjal, reaksi
hipersentivitas
Kontraindikasi: Gangguan fungsi hati berat

3. Paramex ® (PT. Konimex)


Bentuk sediaan : Tablet
Komposisi : Paracetamol 250 mg, Prophyphenazone 150 mg,
caffeine 50 mg, Dexchorpheniramine maleate 1 mg

Dosis : Dewasa dan anak-anak diatas 12 tahun : 2-3 kali

sehari 1 tablet.

Aturan pakai : Sesudah makan

Efek samping : Dosis besar atau terapi jangka panjang dapat

menyebabkan kerusakan hati.

Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap parasetamol. Pasien dengan

disfungsi hati dan ginjal.

4. Proris ® (PT. Pharos)

Bentuk sediaan : Kaplet

Komposisi : Ibuprofen 200 mg

Dosis : 3-4 kali sehari 1 kaplet

Aturan pakai : Sesudah makan

Efek samping : Mual, muntah, diare, konstipasi, nyeri lambung,


ruam kulit, sakit kepala, pusing

Kontraindikasi : Tukak lambung, asma, rhinitis atau urtikaria

 Obat Wajib Apotek

1. Mefinal, Obat keras (PT. Sanbe)


Bentuk sediaan : Kaplet
Komposisi : Asam mefenamat 500 mg
Dosis/ : 3-4 kali sehari sesuai dengan kebutuhan
Aturan Pakai : Sesudah makan.
Efek samping : Mual, muntah, diare, nyeri abdominal, rasa
ngantuk, penglihatan kabut, tukak lambung.
Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap asam mefena-
mat, gangguan ginjal, dan tukak lambung.

III.2 Obat-obat Herbal


 Jamu
1. Obamig (CV. Al-Afiat Sehat Alami)

Bentuk sediaan : Kapsul

Komposisi : Gynura duvaricata Folium (daun dewa)


200 mg, Morinda citrifolia Fructus
(mengkudu) 150 mg,  Centella asiatica
Herba (pegagan) 150 mg.
Dosis : 2-3 kapsul, diminum 3 kali sehari.

2. Vermifit (PT. Naturindo Fresh)

Bentuk sediaan : Kapsul


Kandungan : Ekstrak herba ceplukan 40 mg,
daun kemangi 40 mg, jahe merah
40 mg, umbi teki 40 mg, daun
pegagan 80 mg
Dosis : 3 kali sehari 2 kapsul.
 Obat Herbal Terstandar

1. Bodrex Herbal (PT. Tempo Scan Pacific)

Bentuk sediaan : Tablet


Komposisi : Tanacetum parthenium Herba Extract
(Fe-verfew Extract) 200 mg, Salix alba
Cortex Ekstrak (Willow Bark Extract)
50 mg, Paulllina cupana Fructus Ekstrak
(Guarana Extract) 136 mg.
Dosis : Diminum 3 kali sehari 1 tablet.

2. Herbapain (PT. Dexa Medica)

Bentuk sediaan: Tablet salut selaput


Komposisi : Ekstrak Phaleria macrocarpa (Fructus)
200 mg.
Dosis : Diminum 2 kali sehari 1 tablet salut
selaput.

 Tanaman (Formularium Ramuan Obat Tradisional Indonesia, 2017)

1. Inggu (Ruta angustifolia (L) Pers

Nama lain :
- Arunda (Sumatera)
- Inggu (Sunda)
- Anruda busu (Makassar)
Bagian yang digunakan :
- Herba segar
Dosis
- 1 x 5 g herba/hari.
Cara pembuatan/penggunaan :
- Bahan dihaluskan, ditempelkan pada pelipis,
biarkan sampai kering.

2. Bengle (Zingiber purpureum Roxb)

Nama lain :

- Mungle (Aceh)

- Bungle (Batak)

- Banlai (Minangkabau)

- Panglai (Sunda)

- Pandiang (Madura)

- Banggele (Bali)

- Bangulai (Bima)

- Banglas (Dayak)

- Kekundiren (Minahasa)

- Panini (Bugis)
- Unin makei (Ambon)

Bagian yang digunakan :

- Rimpang segar

Dosis :

- 2 x 5 g rimpang/hari

Cara pembuatan/penggunaan :

- Bahan dihaluskan, tambahkan sedikit air sampai menjadi


adonan seperti bubur, dipakai di pelipis dan biarkan
sampai kering.

3. Kencur (Kaempferia galanga L.)

Nama lain :

- Ceuku (Aceh)

- Kaciwer (Batak)

- Cakue (Minangkabau)

- Cikur (Sunda)

- Kencor (Madura)

- Cekur (Sasak)

- Soku (Bima)

- Hume pete (Gorontalo)


- Cakuru (Makassar)

- Ceku (Bugis)

- Asuli (Ambon)

- Bataka (Ternate)

Bagian yang digunakan :

- Daun segar

Dosis :

- 1 x 3 daun/hari

Cara pembuatan/penggunaan :

- Bahan dihaluskan, ditempelkan pada pelipis (sisi yang


sakit) biarkan sampai kering.
4. The (Camellia sinensis L.)

Nama lain :
- Teh (Jawa)
- Nteh (Sunda)
- Rembiga (Sasak)
- Kore (Bima)
- Krokoh (Flores)
- Kapauk (Roti)
- Rambega (Bugis).
Bagian yang digunakan :
- Pucuk daun
Dosis :
- 3 x 8 g pucuk daun/hari
Cara pembuatan/penggunaan :
- Bahan diseduh dengan 1 cangkir air mendidih, diamkan, saring
dan dapat ditambahkan dengan sedikit air jeruk nipis dan/atau
madu kemudian diaduk rata dan diminum sekaligus.
BAB IV

PEMBAHASAN

Swamedikasi merupakan perilaku upaya untuk mengobati diri sendiri


tanpa melalui resep dokter. Swamedikasi merupakan bagian dari “self-care” yang
merupakan usaha untuk mempertahankan Kesehatan atau mencegah penyakit dan
mengatasi penyakit. Menurut definisi WHO, swamedikasi adalah the selection
and use of medicines by individual to treat self recognized illness or symptomps.
Berdasarkan definisi tersebut dapat diambil pengertian bahwa swamedikasi
merupakan proses pengobatan yang dilakukan sendiri oleh seseorang mulai dari
pengenalan keluhan atau gejalanya sampai padapemilihan dan penggunaan obat.
Gejala penyakit yang dapat dikenali sendiri oleh orang awam adalah penyakit
ringan atau minor illnesses sedangkan obat yang dapat digunakan untuk
swamedikasi adalah obat-obat yang dapat dibeli tanpa resep dokter termasuk obat
herbal atau tradisional (Widyawati, 2013).
Swamedikasi sangat erat kaitannya dengan obat obatan “over the counter”
(OTC) yang biasanya digunakan untuk mengobati penyakit ringan seperti sakit
kepala, radang tenggorokan, flu dan demam, serta dismenore. Penggunaan obat
obat herbal atau tradisional dan obat-obatan yang diperoleh dengan menggunakan
kembali/mengirim kembali resep sebelumnya juga termasuk kedalam perilaku
swamedikasi (Helal & Abou-Elwafa, 2017).
Swamedikasi mempunyai beberapa keuntungan jika dilakukan dengan
benar, diantaranya adalah menghemat waktu dan biaya dalam berobat pada
fasilitas Kesehatan. Swamedikasi memiliki beberapa resiko terutama di negara
berkembang dengan populasi yang memiliki tingkat pengetahuan kesehatan yang
rendah memperbesar resiko penggunaan obat yang tidak tepat. Perilaku
swamedikasi pada masyarakat Indonesia tergolong tinggi. Pada tahun 2013,
terdata sekitar 91 % masyarakat Indonesia mempraktekkan swamedikasi (Ministry
of Health Republic of Indonesia, 2016). Pola swamedikasi sendiri bervariasi di
antara populasi berbeda dan dipengaruhi berbagai faktor seperti usia, jenis
kelamin, pendapatan dan pengeluaran, orientasi perawatan diri, tingkat
pendidikan, pengetahuan medis, kepuasan, dan keparahan penyakit. Tingginya
angka perilaku swamedikasi pada masyarakat Indonesia kemudian membentuk
pertanyaan mengenai perilaku apa saja yang disebut swamedikasi, manfaat dan
resiko perilaku swamedikasi, serta swamedikasi yang tepat (Sitindaon, 2020).
Pelaksanaan swamedikasi banyak terjadi kesalahan-kesalahan pengobatan.
Kesalahan pengobatan (medication error) disebabkan karena keterbatasan
pengetahuan masyarakat terhadap obat, penggunaan obat dan informasi obat.
Masyarakat pada umumnya tidak begitu mengetahui informasi yang lengkap
tentang obat yang akan mereka konsumsi. Dalam melakukan swamedikasi,
masyarakat berhak memperoleh informasi yang tepat, benar, lengkap, objektif dan
tidak menyesatkan agar masyarakat mampu melakukan pengobatan sendiri secara
aman dan efektif. Oleh karena itu, apoteker mempunyai peranan penting didalam
swamedikasi (Muharni et al, 2015).
Obat-obat yang dapat digunakan swamedikasi sakit kepala dan migrain
antara lain Panadol ®, Bodrex ®, Oskadon ®, Poldanmig ®, Bodrex Ekstra ®,
Bodrex Migra ®, Paramex ®, Proris ® untuk mengatasi nyri kepala ringan hingga
berat yang dirasakan dan tidak memberikan efek samping kantuk terdapat pula
obat yang Mefinal® merupakan obat keras wajib apotek sehingga apabila
mengalami nyeri kepala sedang hingga berat dapat disarankan mengonsumsi obat
ini.
Obat-obat yang dapat digunakan swamedikasi bahan alam untuk sakit
kepala dan migraine yaitu Obamig dan Vermifit yang merupakan jamu, Bodrex Herbal
dan Herbapain merupakan obat herbal terstandar dan yang berasal dari tanaman yaitu
Inggu (Ruta angustifolia (L) Pers, Bengle (Zingiber purpureum Roxb), Kencur
(Kaempferia galanga L.), The (Camellia sinensis L.).
Terapi non farmakologi yang dapat dilakukan untuk penanganan sakit
kepala dan migrain antara lain yaitu kompres es pada kepala dan dianjurkan
istirahat tidur pada tempat yang tidak terlalu terang dan tenang. Identifikasi dan
hindari pemicu serangan migrain. Pemicu ini dapat berasal dari makanan,
lingkungan dan kebiasaan (Dipiro et al, 2015).
BAB V
PENUTUP

Sakit kepala biasa terjadi akibat beberapa hal pemicu yang banyak orang
alami. Begitu pula dengan migrain yang akan kambuh pada waktu yang tidak
dapat ditentukan. Keadaan pasien yang sering mengalami sakit kepala seharusnya
melakukan pemeriksaan ke dokter terlebih dahulu, namun hal yang terjadi pada
masyarakat apabila mengalami sakit kepala atau mingrain mereka malas untuk
melakukan pemeriksaan ke dokter. Dengan adanya swamedikasi mempermudah
pasien dalam memperoleh obat yang sesuai dengan gejala yang dialami. Pasien
dapat langsung mendatangi apotek dan menceritaka gejala yang dirasakan
kemudian petugas apotek yakni apoteker akan menyarankan beberapa obat bebas
atau pun obat bebas terbatas ataupu obat keras OWA (obat wajib apotek) untuk
menangani gejala yang dirasakan pasien. Apabila pasien ingin mengonsumsi obat
herbal juga diberikan.
Obat-obat yang dapat digunakan swamedikasi bahan alam untuk sakit
kepala dan migraine yaitu Obamig dan Vermifit yang merupakan jamu, Bodrex Herbal
dan Herbapain merupakan obat herbal terstandar dan yang berasal dari tanaman yaitu
Inggu (Ruta angustifolia (L) Pers, Bengle (Zingiber purpureum Roxb), Kencur
(Kaempferia galanga L.), The (Camellia sinensis L.). Terapi non farmakologi yang
dapat dilakukan untuk penanganan sakit kepala dan migrain antara lain yaitu
kompres es pada kepala dan dianjurkan istirahat tidur pada tempat yang tidak
terlalu terang dan tenang. Identifikasi dan hindari pemicu serangan migrain.
Pemicu ini dapat berasal dari makanan, lingkungan dan kebiasaan (Dipiro et al,
2015).
DAFTAR PUSTAKA
Alldredge, B.K., Corelli, R.L., Ernst, M.E., Guglielmo, B.J., Jacobson,
P.A.,Kradjan, W.A., 2013, Koda-Kimble & Young’s Applied Therapeutics
The Clinical Use of Drugs, 10th ed., Lippincott Williams & Wilkins,
Pennsylvania, United States of America.

Anurogo, D. (2014). 45 Penyakit dan Gangguan Saraf Deteksi Dini & Atasi 45
Penyakit dan Gangguan Saraf-Ed.1. Yogyakarta: Rapha Publishing.

Arifputera, A. & Anindhita, T., 2014. Migren. Dalam: C. Tanto, F. Liwang, S.


Hanifati & E. Pradipta, penyunt. Kapita Selekta Kedokteran. 4th penyunt. Jakarta:
Media Aesculapius, pp. 343-345

Bendtsen, et al., 2010. EFNS guideline on the treatment of tension-type


headacheReport of an EFNS task force. Europan Journal of Neurology. Vol
17:1318- 1328

Budiman, Y., 2013. Pedoman Standar Pelayanan Medik dan Standar Prosedur
Operasional Neurologi. - ed. Jakarta: Refika Aditama

Charles & Brennan, 2011. harles, A. & Brennan, K., 2011. The neurobiology of
migraine. In: M. M. Nappi G, ed. Handbook of Clinical Neurology. Los Angeles:
Elsevier, pp. 99-108

Costa, A., Antonaci, F., Matteo, C. R. & Nappi, G., 2015. The
Neuropharmacology of Cluster Headache and other Trigeminal Autonomic
Cephalalgias. Health Science Center (HSC), 13(3), pp. 304- 323

Fransisca R. V. S., Sitorus F., Ali W. 2007. Prevalensi dan Faktor-Faktor yang
berhubungan dengan Migren pada populasi usia muda di Jakarta. Neurona
(24)4:9-17

IHS, Headache Classification Subcommite of the International Headache Society,


The International Headache Classification Disorder: third Edition,
Cephalgia 2018.
Katzung, B.G., 2007, Basic & Clinical Pharmacology, Tenth Edition, United
States : Lange Medical Publications

PERDOSSI. 2016. Panduan Praktik Klinik Neurologi. Jakarta : Balai FK UI


Price, S.A., dan Wilson, L. M., 2005, Patofisiologi: Konsep Klinis Prosesproses
Penyakit, Edisi 6, Vol. 2, diterjemahkan oleh Pendit, B. U., Hartanto, H.,
Wulansari, p., Mahanani, D. A.,Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Ravishankar K, Chakravarty A, Chowdhury D, Shukla R, Singh S. Guidelines on


the diagnosis and the current management of headache and related disorders. Ann
Indian Acad Neurol. 2011 July;14(Suppl1):S40–S59.

Rajiah, K., Maharajan, M.K & Nair, S. 2016. Pharmacy student’s knowledge and
Perceptions About Adverse Drug Reactions Reportig and
Pharmacovigilance. Saudi Pharmaceutical opurnal. 24 : p. 600-604
Riset Kesehatan Dasar. 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian RI.
Riyadina, W., & Turana, Y. (2014, Oktober). Faktor Risiko dan Komorbiditas
Migrain. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 17.

Sitindaon, L.A. 2020. Perilaku Swamedikasi. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi


Husada. 9(2) : p. 787-791

Anda mungkin juga menyukai