Di dunia era modern sekarang ini, sudah semakin banyak penyebaran luas pemakaian
dan pengedaran NAPZA secara ilegal. Para penggunanya bukan lagi hanya di kalangan
orang-orang dewasa saja melainkan sudah ada pula pada remaja dan anak-anak. NAPZA
merupakan singkatan dari narkotik, alkohol, psikotropika dan zat aditif lainnya. Pemakaian
NAPZA ini tidak mengenal berdasarkan usia, status derajat sosial, status ekonomi miskin atau
kaya, status pekerjaan, status agama ataupun RAS. Semua orang bisa terjerumus dan bisa
menjadi pengedar barang-barang NAPZA. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang
terjerumus dalam dunia NAPZA yang pada akhirnya membuat orang tersebut kecanduan dan
ketergantungan ataupun menjadi pengedar.1 Di Indonesia, ketergantungan dan
penyalahgunaan zat bukan menjadi masalah baru, sudah sejak 300 tahun yang lalu, bahan
opioid telah diperdagangkan dan disalahgunakan oleh sekelompok masyarakat di Jawa dan
Sumatera. Kemudian peredaran morfin di tahun 1970an menyebar di berbagai kota besar di
Indonesia, disusul penyalahgunaann dari turunan opiod yaitu petidin, kemudian diikuti
dengan golongan stimulant seperti amfetamin, ectasy, shabu-shabu. Pada dahulu kala,
masyarakat sudah mengenal beberapa tanaman yang merupakan zat psikoaktif serta obat-obat
golongan sedative-hipnotik yang sering dipakai sebagai penghilang nyeri dan obat untuk
menangani cemas serta agar bisa tidur. Namun sekarang ini sudah banyak penyelewengan
dalam penggunaan NAPXA. Di Indonesia ini, diperkiran terdapat lebih dari 3,5 juta
pengguna zat aktif (Badan Narkotika Nasional 2006). Dalam jumlah tersebut, hanya kurang
dari 10 ribu orang yang tersentuh layanan terapi dan rehabilitasi. 2
1
PENGGOLONGAN NARKOTIKA
a. Narkotika golongan I : hanya digunakan untuk ilmu pengetahuan, tidak untuk terapi,
potensi sangat tinggi untuk menyebabkan ketergantungan (contohnya : heroin, kokain, ganja)
b. Narkotika golongan II : digunakan untuk terapi pilihan terakhir dan IPTEK, berpotensi
tinggi untuk menyebabkan ketergantungan (contohnya: morfin, petidin)
c. Narkotika golongan III : digunakan untuk terapi dan IPTEK, berpotensi ringan untuk
menyebabkan ketergantungan (kodein)
Berdasarkan dari efeknya terhadap susunan saraf pusat (SSP), maka terbagi menjadi 3
penggolongan, yaitu : 2
b. Depresan menekan atau menurunkan kegiatan SSP dan memperlambat proses mental
sehingga pengguna menjadi rileks. Efeknya : rasa tenang, rasa gembira, hilangnya gelisah,
bicara lambat, menurunnya koordinasi, nafsu makan meningkat, dan denyut jantung
menurun. Contoh :
2
- alkohol, opiat (heroin, morfin), cannabis/ganja, barbiturat (phenobarbital),
tranquilliser (diazepam) dan inhalan/solven.
2. Adiksi atau ketergantungan, yaitu yang mengalami toleransi, putus zat, tidak mampu
menghentikan kebiasaan menggunakan, menggunakan dosis NAPZA lebih dari yang
diinginkan.
3
pasal 37 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)tahun dan/atau pidana denda
paling banyak 20 juta rupiah.
c)TindakPidanaPsikotropika
e)Produsen
•Tidak terorganisir pasal 59 ayat 1) penjara minimal 4 tahun, Maksimal 15tahun + denda
•terorganisir (pasal 59 ayat 2) Pidana mati, penjara seumur hidup, penjara 20tahun + denda.
I. GANJA/MARIHUANA (Gelek/cimenk/hashish/grass/cimeng/bhang)
Cara pakai : Dihisap dengan cara dipadatkan menyerupai rokok atau dengan menggunakan
pipa rokok. 3
Efek : 3
4
- Nafsu makan bertambah
- Berhalusinasi
- Paranoid (curigaan)
1. Problem fisik
▪ gangguan kardiovaskuler
▪ gangguan imunitas
2. Problem psikiatri
▪ sindrom amotivasional
5
▪ apatis, perilaku antisosial
3. Problem sosial
▪ kenakalan remaja
4. Sebab kematian
▪ suicide
▪ infeksi berat
II. OPIOID
Bentuk : Heroin murni berbentuk bubuk putih sedangkan heroin yang tidak murni berbentuk
bubuk berwarna putih keabuan.
6
• Opioida sintetik: meperidin, propoksipen, metadon
Heroin
Efek :
- Gejala putus zat : mual, muntah, nyeri otot dan sendi, lakrimasi, rinore,
dilatasi pupil, piloreksi, berkeringat, diare, menguap, gelisah, perubahan suhu
(seperti menjadi demam), ada peningkatan detak jantung, dan nyeri perut seperti
kram. 1
Morfin
1. Problem fisik
7
▪ abses pada kulit sampai septickemia
▪ endokarditis
▪ hepatitis (B dan C)
▪ HIV/AIDS
2. Problem psikiatri
▪ suicide
3. Problem sosial
▪ traffic accidents
4. Sebab-sebab kematian
8
▪ overdose, karena heroin menekan SSP sehingga menimbulkan sukar
bernapas dan menyebabkan kematian
▪ tindak kekerasan
III. KOKAIN
Golongan : Stimulan
Cara pakai : cara menghirup bubuk dengan penyedot atau gulungan kertas, di bakar bersama
tembakau yang sering disebut cocopuff, atau dihirup asapnya (freebasing). Penggunaan
dengan menghirup akan berisiko luka pada sekitar lubang hidung bagian dalam.
Efek : 1
1. Problem fisik
9
▪ dengan suntikan dapat menyebabkan infeksi lokal pada kulit sampai
sistemik (virus, bakteri, parasit, atau jamur), abses daerah kulit, endokarditis
bakteri, hepatitis (B dan C), dan HIV AIDS
2. Problem psikiatri
▪ sifat toleransi tubuh sangat cepat, kendati pengguna tidak menyadari dosis
yang ia gunakan kian meningkat. Akibatnya, ia tidak mampu mengendalikan
diri, dan untuk mencukupi kebutuhannya ia mengkonsumsi kokain dnegan
mencampurinya denga zat adiktif lainnya untuk mendapatkan efek yang
diinginkan.
▪ gejala fisik putus zat kurang dikenal. Namun secara mental sangat
merugikan berupa agitasi, depresi, fatigue, cemas, marah, meledak-ledak,
gangguan tidur, mimpi aneh, makan berlebihan, mudah tersinggung, mual,
otot-otot pegal hingga letargi.
3. Problem sosial
10
▪ problem legal dimana dapat ditahan, dihukum hingga dipidana.
4. Sebab-sebab kematian
PSIKOTROPIKA
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetik, bukan narkotika dan
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan
perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Golongan psikotropika
11
1. Psikotropika golongan I : hanya untuk iptek, tidak digunakan untuk tujuan
pengobatan dengan potensi ketergantungan yang sangat kuat (MDMA / ekstasi, LSD)
Psikotropika golongan I
Cathinone ((x)-(S)-2-aminopropiophenone)
Parahexyl (3-hexyl-7,8,9,10-tetrahydro-6,6,9-trimethyl-6H-dibenzo[b,d]pyran-1-ol)
Tetrahydrocannabinol
12
Psikotropika golongan II
Amphetamine ((±)-alpha-methylphenethylamine)
Dexamphetamine ((+)-alpha-methylphenethylamine)
Levamphetamine ((x)-(R)-alpha-methylphenethylamine)
Levomethampheta-mine ((x)-N,alpha-dimethylphenethylamine)
Methamphetamine ((+)-(S)-N,alpha-dimethylphenethylamine)
Methamphetamineracemate ((±)-N,alpha-dimethylphenethylamine)
Methaqualone (2-methyl-3-o-tolyl-4(3H)-quinazolinone)
Phenmetrazine (3-methyl-2-phenylmorpholine)
Zipeprol (alpha-(alpha-methoxybenzyl)-4-(beta-methoxyphenethyl)-1-
piperazineethanol)
13
Buprenorphine (2l-cyclopropyl-7-alpha-[(S)-1-hydroxy-1,2,2-trimethylpropyl]-6,14-
endo-ethano-6,7,8,14-tetrahydrooripavine)
Flunitrazepam (5-(o-fluorophenyl)-1,3-dihydro-1-methyl-7-nitro-2H-1,4-
benzodiazepin-2-one)
Glutethimide (2-ethyl-2-phenylglutarimide)
Pentazocine ((2R*,6R*,11R*)-1,2,3,4,5,6-hexahydro-6,11-dimethyl-3-(3-methyl-2-
butenyl)-2,6-methano-3-benzazocin-8-ol)
Pentobarbital (5-ethyl-5-(1-methylbutyl)barbitur
ic acid)
Psikotropika golongan IV
Alprazolam (8-chloro-1-methyl-6-phenyl-4H-s-triazolo[4,3-a][1,4]benzodiazepine)
Aminorex (2-amino-5-phenyl-2-oxazoline)
Benzfetamine (N-benzyl-N,alpha-dimethylphenethylamine)
Bromazepam (7-bromo-1,3-dihydro-5-(2-pyridyl)-2H-1,4-benzodiazepin-2-one)
14
Butobarbital (5-butyl-5-ethylbarbituric acid)
Camazepam (7-chloro-1,3-dihydro-3-hydroxy-1-methyl-5-phenyl-2H-1,4
benzodiazepin-2-one dimethylcarbamate (ester))
Chlordiazepoxide (7-chloro-2-(methylamino)-5-phenyl-3H-1,4-benzodiazepine-4-
oxide)
Clobazam (7-chloro-1-methyl-5-phenyl-1H-1,5-benzodiazepine-2,4(3H,5H)-dione)
Clonazepam (5-(o-chlorophenyl)-1,3-dihydro-7-nitro-2H-1,4-benzodiazepin-2-one)
Clorazepate (7-chloro-2,3-dihydro-2-oxo-5-phenyl-1H-1,4-benzodiazepine-3-
carboxylic acid)
Delorazepam (7-chloro-5-(o-chlorophenyl)-1,3-dihydro-2H-1,4-benzodiazepin-2-one)
Diazepam (7-chloro-1,3-dihydro-1-methyl-5-phenyl-2H-1,4-benzodiazepin-2-one)
Estazolam (8-chloro-6-phenyl-4H-s-triazolo[4,3-a][1,4]benzodiazepine)
Ethchlorvynol (1-chloro-3-ethyl-1-penten-4-yn-3-ol)
Ethinamate (1-ethynylcyclohexanolcarbamate)
Fenproporex ((±)-3-[(alpha-methylphenylethyl)amino]propionitrile)
Fludiazepam (7-chloro-5-(o-fluorophenyl)-1,3-dihydro-1-methyl-2H-1,4-
benzodiazepin-2-one)
15
Flurazepam (7-chloro-1-[2-(diethylamino)ethyl]-5-(o-fluorophenyl)-1,3-dihydro-2H-
1,4-benzodiazepin-2-one)
Halazepam (7-chloro-1,3-dihydro-5-phenyl-1-(2,2,2-trifluoroethyl)-2H-1,4-
benzodiazepin-2-one)
Ketazolam (11-chloro-8,12b-dihydro-2,8-dimethyl-12b-phenyl-4H-[1,3]oxazino[3,2-
d][1,4]benzodiazepine-4,7(6H)-dione)
tetapi tidak semua psikotropika menimbulkan ketergantungan. Berikut ini termasuk ke dalam
golongan psikotropika yang tidak membuat kecanduan, yaitu LSD (Lysergic Acid
Diethylamide) dan amfetamin. Penyalahgunaan kedua golongan psikotropika ini sudah
meluas di dunia.
LSD merupakan zat psikotropika yang dapat menimbulkan halusinasi (persepsi semu
mengenai sesuatu benda yang sebenarnya tidak ada). Zat ini dipakai untuk membantu
pengobatan bagi orang-orang yang mengalami gangguan jiwa atau sakit ingatan. Zat ini
bekerja dengan cara membuat otot-otot yang semula tegang menjadi rileks. Penyalahgunaan
zat ini biasanya dilakukan oleh orang-orang yang menderita frustasi dan ketegangan jiwa.
b. Amfetamin
16
Jika overdosis akan menimbulkan gejala-gejala: jantung berdebar-debar, panik, mengamuk,
paranoid (curiga berlebihan), tekanan darah naik, pendarahan otak, suhu tubuh tinggi, kejang,
kerusakan pada ujung-ujung saraf, dan dapat mengakibatkan kematian. Jika sudah
kecanduan, kemudian dihentikan akan menimbulkan gejala putus obat sebagai berikut: lesu,
apatis, tidur berlebihan, depresi, dan mudah tersinggung.
Ectasy
Shabu-shabu
Shabu-shabu berbentuk kristal, biasanya berwarna putih, dan dikonsumsi dengan cara
membakarnya di atas aluminium foil sehingga mengalir dari ujung satu ke arah ujung yang
lain. Kemudian asap yang ditimbulkannya dihirup dengan sebuah Bong (sejenis pipa yang
didalamnya berisi air). Air Bong tersebut berfungsi sebagai filter karena asap tersaring pada
waktu melewati air tersebut. Ada sebagian pemakai yang memilih membakar Sabu dengan
pipa kaca karena takut efek jangka panjang yang mungkin ditimbulkan aluminium foil yang
17
terhirup.
Sabu sering dikeluhkan sebagai penyebab paranoid (rasa takut yang berlebihan), menjadi
sangat sensitif (mudah tersinggung), terlebih bagi mereka yang sering tidak berpikir positif,
dan halusinasi visual. Masing-masing pemakai mengalami efek tersebut dalam kadar yang
berbeda. Jika sedang banyak mempunyai persoalan / masalah dalam kehidupan, sebaiknya
narkotika jenis ini tidak dikonsumsi. Hal ini mungkin dapat dirumuskan sebagai berikut:
MASALAH + SABU = SANGAT BERBAHAYA. Selain itu, pengguna Sabu sering
mempunyai kecenderungan untuk memakai dalam jumlah banyak dalam satu sesi dan sukar
berhenti kecuali jika Sabu yang dimilikinya habis. Hal itu juga merupakan suatu tindakan
bodoh dan sia-sia mengingat efek yang diinginkan tidak lagi bertambah (The Law Of
Diminishing Return). Beberapa pemakai mengatakan Sabu tidak mempengaruhi nafsu
makan. Namun sebagian besar mengatakan nafsu makan berkurang jika sedang
mengkonsumsi Sabu. Bahkan banyak yang mengatakan berat badannya berkurang drastis
selama memakai Sabu.
Apabila dilihat dari pengaruh penggunaannya terhadap susunan saraf pusat manusia,
Psikotropika dapat dikelompokkan menjadi :
a. Depresant yaitu yang bekerja mengendorkan atau mengurangi aktifitas susunan saraf pusat
contohnya antara lain :
• Sedatif (penenang),
b. Stimulant yaitu yang bekerja mengaktif kerja susan saraf pusat, contohnya: Kokain,
Amfetamin (shabu, ekstasi), Kafein, MDMA, N-etil MDA & MMDA. Ketiganya ini terdapat
dalam kandungan Ecstasi.
18
c. Hallusinogen yaitu yang bekerja menimbulkan rasa perasaan halusinasi atau khayalan
contohnya licercik acid dhietilamide (LSD), psylocibine, micraline. Disamping itu
Psikotropika dipergunakan karena sulitnya mencari Narkotika dan mahal harganya.
Penggunaan Psikotropika biasanya dicampur dengan alkohol atau minuman lain seperti air
mineral, sehingga menimbulkan efek yang sama dengan Narkotika.
ZAT ADIKTIF
Berdasarkan Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992, Bab 1, Pasal 1, Zat
Adiktif adalah bahan yang penggunaannya dapat menimbulkan ketergantungan psikis. Zat
adiktif merupakan zat psikoaktif yang dikosumsi secara terus menerus, dapat terjadi efek
toleransi dan ketergantungan. Adapun yang termasuk zat adiktif adalah;
I. ALKOHOL
Alkohol adalah zat poten yang menyebabkan perubahan akut dan kronis di hampir
semua sistem neurokimia, dengan akibat jika peminum berat dapat menimbulkan gejala
serius psikologis termasuk depresi, anxietas, dan psikosis.4 Alkohol adalah zat yang
memproduksi efek ganda pada tubuh; pertama efek depresan yang singkat dan kedua, efek
agitasi pada susunan saraf pusat yang berlangsung enam kali lebih lama dari efek
depresannya.5 Minuman beralkohol lazim disebut ‘minuman keras’ dan berdasarkan
19
Peraturan Menteri Kesehatan tentang Minuman Keras No.86/Men.Kes/Per/IV/77,
digolongkan sebagai berikut6:-
Intoksikasi Alkohol6
Intoksikasi legal diberi batasan sebagai konsentrasi alcohol dalam darah sejumlah 100 mg/dL.
Kriteria diagnostic untuk intoksikasi alcohol adalah; baru saja minum alcohol, perubahan perilaku
maladaptive, satu dari tanda (disartria, inkoordinasi, cara jalan yang tidak stabil, nistagmus dan
wajah merah) serta tidak disebabkan oleh gangguan fisik atau mental lain. Bila terdapat kondisi
hipoglikemia injeksi 50 mL Dextrose 40%. Pada kondisi koma, posisi menunduk untuk cegah
aspirasi, observasi ketat tanda vital setiap 15 menit, injeksi Thiamine 100mg iv untuk profilaksis
terjadinya Wernickle Encophalopathy. Lalu 50ml Dextrose 40%
iv. Jika problem gaduh gelisah, buat suasana tenang, beri dosis rendah sedative; Lorazepam
1-2mg atau Haloperidol 5mg oral atau bisa secara im.
Gejala biasanya timbul setelah 6 hingga 24 jam konsumsi alcohol yang terakhir. Gejala putus
zat ringan antaranya ; tremor, khawatir, agitasi, berkeringat, mual, muntah, sakit kepala,
takikardia, hipertensi, gangguan tidur dan suhu tubuh meningkat. Antara gejala putus zat
berat adalah; muntah, agitasi berat, disorientasi, kebingungan, paranoia, hiperventilasi dan
demensia tremens. Indikator untuk kecurigaan putus zat alcohol ≥80g/hari untuk pria,
≥60g/hari untuk wanita, riwayat peminum berat untuk jangka lama, episode putus zat
sebelumnya dan penggunaan depresan CNS. Terapi kondisi putus alcohol adalah;
Pemberian cairan atas dasar hasil pemeriksaan elktrolit dan keadaan umum.
20
Atasi kondisi gelisah dana gitasinya dengan golongan Benzodiazepine atau Barbiturat.
Pemberian vitamin B dosis besar, dilanjutkan dengan B1, multivitamin dan Asam Folat
1mg oral.
Bila ada riwayat kejang putus zat atasi dengan benzodiazepine (Diazepam 10mg iv
perlahan).
Dapat juga diberi Thiamine 100 mg ditambah Magnesium Sulfat dalam 1 liter dari 5%
Dextrose/ normal saline selama 1-2 jam.
Bila terjadi delirium tremens, harus sering diawasi.
Komplikasi7
Komplikasi medis
Komplikasi psikiatris
Komplikasi social
21
Tanda dan gejala klinis
Reaksi panic : sering terjadi pada perokok yang sebelumnya telah memiliki factor
predisposisi. Serangan panic dapat dipicu oleh kenaikan tekanan darah dan perubahan
denyut jantung akibat merokok.
Intoksikasi nikotin : Pada intoksikasi ringan sampai sedang akan timbul gejala mual,
salivasi, nyeri abdomen, diare, mintah, nyeri kepala, pusing, menurunnya denyut jantung
dan kelemahan. Pemakaian dosis yang lebih tinggi akan menyebabkan pusing yang
menimbulkan kejang dan meninggal karena kegagalan pernafasan.
Sindrom putus nikotin : muncul beberapa jam setelah berhenti merokok. Keluhan yang
paling sering dikemukan adalah ‘craving’, iritabel, anxietas, sulit konsentrasi dan gelisah.
Penanganan secara tapering off akan menimbulkan craving yang lebih intens disbanding
dengan putus secara mendadak.
Sindrom ketergantungan nikotin : Ketergantungan nikotin dapat terjadi pada pemakaian
lama. Akan terlihat sebagai tiga gambaran; a) penghentian pemakaian nikotin
menimbulkan gejala putus zat yang mencapai puncaknya dalam 24-48 jam, b) merokok
merupakan kebiasaan perilaku sebagai respons terhadap stress atau rasa bosan, c)
perubahan kadar nikotin yang cepat di dalam otak akibat merokok menimbulkan
‘pengalaman menyenangkan’.7
Komplikasi
Meningkatkan kemungkinan timbulnya kanker, terutama pada paru, mulut, faring dan
laring.
Masalah serebrovaskuler dan kardiovaskuler; stroke dan penyakit jantung coroner.
Meningkatkan kemungkinan timbulnya cacat bawaan dan abortus spontan.
Sistem respiratorius, meliputi bronchitis dan infeksi lainnya.
Meningkatkan risiko ulkus pada system gastrointestinalis.
Mengakibatkan menopause dini dan meningkatnya risiko osteoporosis.
Pada perokok pasif, dewasa; iritasi mata, batuk, pusing kepala dan alergi, kanak-kanak;
bronchitis, pneumonia, radang telinga dan memperburuk kondisi asma.7
Terapi
22
Terapi Untuk Perokok Yang Terbukti Secara Saintifik.4
- Terapi psikososial
- Behaviour therapy
- Dokongan social
- Terapi fakmakologi : Bupropion (Zyban), Nicotine gum, Nicotine inhaler (Nicorette),
Nicotine lozenge (Commit), Nicotine nasal spray (Nicorette), Nicotine patch,
Varenicline (Chantix).
III. KAFEIN
Kafein sebagai stimulansia dikosumsi paling luas di seluruh dunia, termasuk zat
adiktif yang terdapat di dalam kopi, teh, kakao, beberapa obat bebas dan beberapa jenis
minuman. Kafein mempunyai efek stimulasi dan meningkatkan suasana perasaan serta
meningkatkan ketahana bekerja. Kafein bersifat antagonis terhadap adenosine. Adenosine
berefek menimbulkan vasokontriksi bronchus, menghambat agregasi trombosit, melebarkan
pembuluh darah coroner dan pembuluh darah lain. Kafein diabsorpsi dengan cepat. Kadar
tertinggi dalam darah tercapai 30 menit setelah pemakaian oral, dengan waktu paruh 3-3,5
jam. Kafein dimetabolisir di hepar dan 1% dikeluarkan melalui urine masih dalam bentuk
kafein. Kafen menimbulkan toleransi, tetapi cepat hilang.
Reaksi panic : timbul bila jumlah kafein yang diminum melebihi 500-600 mg.
Intoksikasi kafein : Overdosis kafein gejalanya ringan dan jarang menimbulkan kematian.
Dosis letal akut pada orang dewasa antara 5-10 gram. Antara gejala nya adalah; gelisah,
aksitasi, sulit tidur, muka merah, polyuria, mual, banyak bicara, takikardia dan aritimia
serta agitatif. Pengobatan bersifat simptomatis, diperhatikan pernafasan, suhu tubuh,
kemungkinan kejang dan hipertensi.
Gangguan psikotik akibat penggunaan kafein, dianjurkan untuk berhenti minum kopi,
diharapkan timbul perbaikan.
Sindrom otak organic : bila gejala disebabkan minum kopi, cukup dihentikan saja minum
kopi.
Keadaan putus kafein.
Komplikasi
Minum kopi 5 cangkir atau lebih per hari meningkatkan kemungkinan terjadinya infark
miokard, angina dan kematian mendadak.
23
Gangguan pencernaan
Tremor
Insomnia
Efek teratogenik, palatoskisis, kelainan jantung atau anomaly.
Kafein menembus plasenta dan diekskresi melalui ASI, mempengaruhi faal dan perilaku
bayi.
III. INHALAN
Inhalan merupakan zat kimiawi yang mudah menguap dan berefek psikoaktif. Jika
dihirup dalam satu waktu pendek, bisa mengganggu irama jantung dan menurunkan kadar
oksigen. Terdapat 4 kategori inhalan yaitu:
Volatile solvents, adalah cairan yang menguap pada suhu kamar. Biasanya terkandung
dalam produk yang sering digunakan dalam rumah tangga atau industri seperti pengencer
cat, cairan yang digunakan untuk mencuci kering (dry cleaning fluids), lem, correction
fluids dan spidol.
Aerosol, adalah produk semprot yang mengandung gas dan cairan. Termasuk didalamnya
adalah cat semprot, deodorant dan hair spray.
Gas, termasuk anastetik seperti eter, kloroform, halotan dan nitrogen oksida yang sering
disebut "gas ketawa". Nitrogen oksida adalah gas yang paling sering disalahgunakan dan
biasanya terdapat pada kemasan whipped cream dan produk untuk menaikkan tingkat
oktan pada mobil balap.
Nitrit, yang sering dimasukkan sebagai golongan khusus dari inhalan, karena tidak seperti
golongan inhalan lain yang kerjanya langsung mempengaruhi sistem saraf pusat, nitrit
terutama bekerja dengan memperlebar pembuluh darah dan melemaskan otot. Bila inhalan
lain biasanya digunakan untuk mengubah mood, maka nitrit sering digunakan untuk
memperbaiki aktifitas seksual. Yang termasuk nitrit adalah sikloheksit, isoamil nitrit dan
isobutil nitrit.
Tuli
Peripheral neuropathi atau spasme tungkai
Kerusakan susunan saraf pusat
Kerusakan sumsum tulang.
Intoksikasi Inhalan
24
Efek volatile pada dosis tinggi adalah berbicara tidak jelas, koordinasi lemah,
disorientasi, kebingungan, tremor, sakit kepala, delusi, gangguan penglihatan atau halusinasi,
ataxia, stupor, seizures, coma, gangguan pernafasan dan cardiac arrhythmia. Terapinya,
pertahankan oksigenasi, dan terapi simptomatik. Pasien dengan gangguan neurologic
bermakna, misalnya neuropati harus mendapatkan evaluasi.5
Sifat dari gejala putus zat yang memungkinkan dapat terjadi pada 24-48 jam sesudah
penggunaan berakhir. Antara gejala putus zat adalah gangguan tidur, tremor, mudah
tersinggung, depresi, mual, diaphoresis dan ilusi hilang dengan cepat.5
Upaya-upaya pencegahan
Indonesia dalam menanggulangi penyalahgunaan dan peredaran gelap, psikotropika, dan zat
adiktif lain, pada dasarnya mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
- langkah pencegahan untuk mengurangi jumlah permintaan
- langkah pengendalian dan pengawasan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya yang
dimanfaatkan untuk pengobatan dan atau bagi kepentingan ilmu pengetahuan
- langkah represif pemberantasan jalur perdagangan gelap
25
Dalam pengobatan untuk penyalahgunaan zat, pendekatannya harus berdasarkan dari
variasi zat yang disalahgunakan, tersedianya fasilitas sistem pendukung dan ciri-ciri dari
masing-masing individual pasien. Pada umumnya, ada dua tujuan utama pengobatan
penyalahgunaan zat, yaitu tujuan pertama adalah abstinensi dari zat (bebas NAPZA). Pada
beberapa pasien yang adiksi NAPZA, abstinensia ini tidak mudah tercapai, beberapa berhasil
setelah berkali-kali mengalami episode terapi dan rehabilitasi, bahkan yang sudah berhasil
mencapai abstinensi bisa ‘jatuh relaps’ dan akhirnya menggunakan NAPZA lagi. Tujuan
kedua adalah kesehatan fisik, psikiatrik dan psikososial dari pasien. 3
Ada proses tahapan terapi umum bagi pasien penyalahgunaan zat yang terbagi
menjadi beberapa fase, yakni :
1. Fase penilaian disebut juga initial take, pada fase ini diperoleh tentang gambaran informasi
pasien yang dicurigai menggunakan zat, sehingga perlu dilakukan evaluasi psikiatrik yang
komprehensif yaitu mencari informasi dan persetujuan dari pasien, serta mencari informasi
dari pihak keluarga atau orang terdekat pasien, menilai sejauh apa intoksikasi, adakah gejala
putus zat, dosisnya, lama penggunaannya, riwayat medis sebelum dan sekarang baik
pemeriksaan fisik maupun mentalnya, adakah riwayat terapi penggunaan zat sebelumnya,
riwayat keluarga, riwayat ekonomi-sosial, dan dilakukan skrinin urin dan darah secara
kualitatif dan kuantitatif untuk mendeteksi jenis NAPZA yang disalahgunakan oleh pasien
serta skrining penyakit lainnya yang sering ditemukan pada pasien yang ketergantungan zat
seperti HIV, hepatitis, TBC, dan sebagainya. 2
2. Fase terapi detoksifikasi, sering disebut fase terapi withdrawal/intoksikasi, dimana pada
fase ini memiliki variasi cara sebagai berikut ini :
26
-Detoxifikasi dengan menggunakan : kodein dan ibuprofen; klontrex (klonidin dan
naltrekson); buprenorfin; dan metadon.
(bila program, terapi selanjutnya adalah terapi subsitusi maka tidak perlu dilakukan
terapi detoxifikasi, tetapi lakukan terapi withdrawal. Namun bila program terapi
lanjutnya adalah terapi berorientasi pada abstinensia maka mutlak dilakukan terapi
detoxifikasi). 2
3. Fase terapi lanjutan, dimana pada fase ini perlu dikembangkan terapinya dan disesuaikan
dengan individual agar tetap dalam kondisi bebas drug atau menggunakan terapi subsitusi.
Ada variasi berikut ini : 2
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Puri BK, Laking PJ, Treasaden IH. Gangguan penggunaan zat psikoaktif. Dalam : Roan
WM, Hartanto H, Muttaqin H, Dany F. Buku ajar psikiatri. Edisi 2. Jakarta : EGC; 2011.
h.129-45.
2. Husain AB. Gangguan penggunaan zat. Dalam : Elvira SD, Hadisukanto G. Buku ajar
psikiatri. Jakarta : Badan Penerbit FKUI; 2010. h.138-69.
3. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Gangguan berhubungan dengan zat. Dalam : Wiguna
IM, Kusuma W. Kaplan dan Sadock synopsis psikiatri. Edisi 7. Jakarta : Binarupa aksara;
2010. h.585-646.
4. Sadock BJ., Sadock VA, Pedro R.(eds) Substances Related Disorders. In Kaplan &
Sadock's Comprehensive Textbook of Psychiatry. Edisi 9. New York; Lippincott Williams &
Wilkins; 2009.
6. Kaplan HI, Saddock BJ. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Trans Roan WM. Intoksikasi
Alkohol. Masalah Klinis pada Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Jakarta; Widya Medika; 1998.
7. Direktorat Kesehatan Jiwa. Departemen Kesehatan RI. Penyusunan Buku Pedoman
Terapi Pasien Narkotika Di Rumah Sakit. 1998.
28