Anda di halaman 1dari 33

EPILEPSI GRAND MAL

Oleh :

Putri Yanasari

Pembimbing :

Prof. Dr. dr. Darwin Amir, Sp.S (K)

dr. Syarif Indra, Sp.S

BAGIAN ILMU PENYAKIT SYARAF

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2013
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. PENDAHULUAN

Kata epilepsi berasal dari kata Yunani epilambanein yang berarti “serangan” dan
menunjukkan, bahwa “sesuatu dari luar badan seseorang menimpanay, sehingga ia jatuh”.
Epilepsi tidak dianggap sebagai suatu penyakit, akan tetapi sebabnya diduga sesuatu di luar
badan si penderita, biasanya dianggap sebagai kutukan roh jahat atau akibat kekuatan gaib
yang menimpa seseorang. Anggapan demikian masih ada dewasa ini, terutama dikalangan
masyarakat yang belum terjangkau oleh ilmu kedokteran dan pelayanan kesehatan.

Orang pertama yang mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit ialah Hipocrates. Ia
menduga, bahwa serangan epilepsi adalah akibat suatu penyakit otak yang disebabkan oleh
keadaan yang dapat difahami dan bukan akibat kekuatan gaib.

Penelitian-penelitian di seluruh dunia mengenai berbagai aspek epilepsi, termasuk


dasar neurobiologi, neurokimia dan neurofisiologi serangan epilepsi, gambaran klinik,
diagnosis, pengobatan, aspek psikososial dan lain-lain telah banyak memberi sumbangan
dalam meningkatkan pengertian tentang epilepsi dan penanggulangannya. Namun masih
banyak yang belum jelas mengenai dasar serangan epilepsi, terutama yang menyangkut
patofisiologi seluler dan molekuler.

Penanggulangan utama epilepsi ialah dengan obat-obat antiepilepsi. Namun


epilepsi merupakan salah satu keadaan yang dapat menimbulkan masalah paling sulit
dalam farmakoterapi. Kesukaran dalam penanggulangan epilepsi dengan obat-obat
antiepilepsi (OAE), diantaranya disebabkan oleh banyaknya jenis serangan epilepsi yang
memerlukan OAE tertentu, sifat individual pengobatan, prognosis mengecewakan pada
sebagian kasus, lamanya pengobatan, sering dengan lebih dari satu obat, interaksi obat-
obat, efek samping, toksisitas menahun, berbagai faktor yang dapat mempengaruhi
pengobatan dan lain-lain.

Hasil penelitian-penelitian tentang mekanisme dasar serangan epilepsi di tingkat sel


dan molekul telah memungkinkan penemuan obat-obat yang dapat mencegah serangan.
Walaupun dewasa ini telah banyak jenis OAE tersedia, namun dalam 25% penderita
terdapat “intractable epilepsy” atau “refractory epilepsy”, yakni epilepsi yang tidak dapat
atau sukar diobati dengan OAE.

Kemajuan dalam penelitian tentang mekanisme dasar serangan epilepsi


memungkinkan, bahwa sebagian kasus “intractable epilepsy” dapat ditanggulangi dengan
jalan operasi (lobektomi,komisurotomi).

1.2. DEFINISI

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure)
berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten yang
disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara
paroksismal, didasari oleh berbagai faktor etiologi.

Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinik dari bangkitan


serupa (stereotipik), berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa
perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak ,
bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).

Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsi yang terjadi
secara bersama-sama yang berhubungan dengan etiologi, umur, awitan (onset), jenis
bangkitan, faktor pencetus, dan kronisitas.

1.3. EPIDEMIOLOGI

Epilepsi dijumpai pada semua ras di dunia dengan insidensi dan prevalensi yang
hampir sama, walaupun beberapa peneliti menemukan angka yang lebih tinggi di negara
berkembang. Di Indonesia diperkirakan ada 1-1,8 juta penderita. Laki-laki lebih sering
dari pada perempuan. Serangan pertama pada anak dibawah 4 tahun: + 33% diatas 4-10
tahun: 52%. Usia 20 tahun kebawah + 80%, usia 21 tahun sampai 55 tahun + 15%, usia
diatas 55 tahun + 1-2%.

Dari banyak studi menunjukkan bahwa rata-rata prevalensi epilepsi aktif 8,2 per
1000 penduduk, sedangkan angka insidensi epilepsi mencapai 50 per 100.000 penduduk.
Bila jumlah penduduk Indonesia berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah pasien
epilepsi yang masih mengalami bangkitan atau membutuhkan pengobatan sekitar 1,8 juta.
Berkaitan dengan umur, grafik prevalensi epilepsi menunjukkan pola bimodal. Prevalensi
epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada dewasa muda dan
pertengahan, kemudian meningkat lagi pada kelompok usia lanjut.

1.4. ETIOLOGI

Tiap kelainan yang mengganggu fungsi otak dapat membangkitkan bangkitan


epilepsi atau bangkitan kejang, tetapi untuk terjadi bangkitan epilepsi dibutuhkan beberapa
faktor yang berperan bersama-sama. Beberapa faktor bertindak serempak dalam
mencetuskan bangkitan epilepsi pada individu yang peka.

Etiologi epilepsi dibagi menjadi tiga, yaitu idiopatik, kriptogenik dan simptomatik.
Idiopatik, penyebabnya tidak diketahui dan biasanya pasien tidak menunjukkan manifestasi
cacat otak dan juga tidak bodoh. Sebagian dari jenis idiopatik disebabkan oleh
abnormalitas konstitusional dari fisiologi serebral yang disebabkan oleh interaksi beberapa
faktor genetik. Gangguan fisiologis ini melibatkan stabilitas sistim talamik-intralaminar
dari substansia kelabu basal dan mencakup Reticular Activating System dalam sinkronisasi
lepas muatan sebagai akibatnya dapat terjadi gangguan kesadaran yang berlangsung
singkat atau lebih lama dan disertai kontraksi otot tonik klonik. Umumnya faktor genetik
lebih berperan pada epilepsi idiopatik.

Kriptogenik, dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui.


Termasuk disini adalah sindroma West, sindroma Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik.
Gambaran klinik sesuia dengan ensefalopati difus.
Simptomatik dapat terjadi bila fungsi otak terganggu oleh berbagai kelainan
intrakranial atau ekstrakranial. Penyebab intrakranial misalnya anomali kongenital, trauma
otak, neoplasma otak, lesi iskemia, ensefalopati, abses otak, jaringan parut. Penyebab
ekstrakranial misalnya gagal jantung, gangguan pernafasan, gangguan metabolisme
(hipoglikemia, hiperglikemia, uremia), gangguan keseimbangan elektrolit, intoksikasi obat,
gangguan hidrasi (dehidrasi). Jaringan patologis seperti jaringan tumor bukanlah
epileptogenik namun sel neuron disekitarnya yang menjadi terganggu fungsi dan
metabolismenya dapat merupakan fokus epileptik, jejas otak oleh trauma lahir dan defek
perkembangan dapat disertai epilepsi, pada usia lanjut tumor otak, penyakit degeneratif,
dan kelainan pembuluh darah merupakan penyebab tersering.

1.5. FAKTOR PENCETUS

Ada berbagai pencetus terjadinya serangan pada penyandang epilepsi. Pada


penyandang epilepsi ambang rangsang serangan/kejang menurun pada berbagai keadaan
sehingga timbul serangan.

Fotosensitif

Ada sebagian kecil penyandang epilepsi yang sensitif terhadap kerlipan/kilatan


sinar (flashing lights) pada kisaran antara 10-15 Hz, seperti diskotik, pada pesawat TV
yang dapat merupakan pencetus serangan. Dalam hal ini hindarilah pergi ke diskotik dan
bila menonton pesawat TV harus ada jarak yang cukup jauh, pada sudut tertentu dari
pesawat dan ruangan yang cukup terang.

Infeksi

Infeksi biasanya disertai dengan demam. Dan demam inilah yang merupakan
pencetus serangan karena demam dapat mencetuskan terjadinya perubahan kimiawi dalam
otak, sehingga mengaktifkan sel-sel otak yang menimbulkan serangan. Faktor pencetus ini
nyata pada anak-anak.
Obat-obatan Tertentu

Beberapa obat dapat menimbulkan serangan seperti penggunaan obat-obat


antidepresan trisiklik, obat tidur (sedatif) atau fenotiazin. Menghentikan obat-obat
penenang/sedatif secara mendadak seperti barbiturat dan valium dapat mencetuskan
kejang.

Alkohol

Alkohol dapat menghilangkan faktor penghambat terjadinya serangan. Biasanya


peminum alkohol mengalami pula kurang tidur sehingga memperburuk keadaannya.
Penghentian minum alkohol secara mendadak dapat menimbulkan serangan.

Perubahan Hormonal

Pada masa haid dapat terjadi perubahan siklus hormon (berupa peningkatan kadar
estrogen) dan stress, dan hal ini diduga merupakan pencetus terjadinya serangan. Demikian
pula pada kehamilan terjadi perubahan siklus hormonal yang dapat mencetuskan serangan.

Kurang Tidur

Kurang tidur dapat mengganggu aktivitas dari sel-sel otak sehingga dapat
mencetuskan serangan.

Stress Emosional

Stress dapat meningkatkan frekuensi serangan. Peningkatan dosis obat bukanlah


merupakan pemecahan masalah, karena dapat menimbulkan efek samping obat.
Penyandang epilepsi perlu belajar menghadapi stress. Stress fisik yang berat juga dapat
menimbulkan serangan.

Setiap orang mempunyai ambang rangsang tertentu, yang sebagian besar ditentukan
oleh faktor keturunan. Artinya ialah bila ada sejumlah orang diberikan rangsang kejang
yang sama,hanya satu dua orang mengalami rangsangan, sedangkan sebagian lain tidak.
Mereka yang tidak mengalami serangan karena mempunyai ambang rangsang serangan
yang cukup tinggi. Ambang rangsang serangan ini juga dipengaruhi oleh berbagai faktor
non-spesifik seperti tidak tidur untuk jangka waktu yang lama, atau terlalu letih.

Stress Fisik

Stress fisik dapat menimbulkan hiperventilasi dimana terjadi peningkatan kadar


CO2 dalam darah yang mengakibatkan terjadinya penciutan pembuluh darah otak yang
dapat merangsang terjadinya serangan epilepsi.

1.6. PATOFISIOLOGI

Sistem saraf merupakan communication network (jaringan komunikasi). Otak


berkomunikasi dengan organ-organ tubuh yang lain melalui sel-sel saraf (neuron). Pada
kondisi normal, impuls saraf dari otak secara elektrik akan dibawa neurotransmitter seperti
GABA (gamma- aminobutiric acid) dan glutamat melalui sel-sel saraf (neuron) ke organ-
organ tubuh yang lain. Faktor-faktor penyebab epilepsi di atas menggangu sistem ini,
sehingga menyebabkan ketidakseimbangan aliran listrik pada sel saraf dan menimbulkan
kejang yang merupakan salah satu ciri epilepsi.

1.7 KLASIFIKASI

Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsy (ILAE)


1981 terdiri dari:

1. Bangkitan Parsial

1.1 Bangkitan parsial sederhana

a) Motorik

b) Sensorik

c) Otonom
d) Psikis

1.2 Bangkitan parsial kompleks

a) Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran

b) Bangkitan parsial yang disertai gangguan kesadaran saat awal bangkitan

1.3 Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder

a) Parsial sederhana yang menjadi umum tonik klonik

b) Parsial komplek menjadi umum tonik klonik

c) Parsial sederhana menjadi parsial kompleks kemudian menjadi umum tonik klonik

2. Bangkitan Umum

1. Lena (absence)

2. Mioklonik

3. Klonik

4. Tonik

5. Tonik-klonik

6. Atonik

3. Tak Tergolongkan
1.8 MANIFESTASI KLINIS

I. Epilepsi Parsial (Fokal)

Epilepsi parsial adalah serangan epilepsi yang bangkit akibat lepas muatan listrik
di suatu daerah dikorteks serebri (terdapat suatu fokus di korteks serebri).

Dibagi menjadi 3 macam :

 Epilepsi parsial sederhana (simpel)


 Epilepsi parsial kompleks
 Bangkitan umum sekunder

 Epilepsi Parsial Sederhana (Simpel)

Manifestasinya bervariasi tergantung dari susunan saraf pusat yang terkena, bisa
dengan gejala motorik, sensorik, autonom ataupunpsikis, dapat memprediksi
kemungkinan lokasi anatomik tetapi yang sering pada lobus frontalis dan temporalis,
merupakan penyakit serebral fokal, dapat mengenai berbagai umur, tidak terjadi
penurunan kesadaran.

 Epilepsi parsial sederhana dengan gejala motorik

Fokus epileptik biasanya terdapat di girus presentralis lobus frontalis (pusat motorik).
Kejang mulai di daerah yang mempunyai reprensetasi yang luas di daerah ini. Dimulai
dari ibu jari, meluas ke seluruh tangan, lengan, muka, dan tungkai. Kadang-kadang
berhenti pada satu sisi. Tetapi bila rangsangan sangat kuat, dapat meluas ke lengan atau
tungkai yang lain, sehingga menjadi kejang umum. Disebut sebagai jackson motorik
epilepsi.

 Epilepsi parsial sederhana dengan gejala sensorik


Fokus epileptik terdapat digirus postsentralis lobus parietalis. Penderita merasa
kesemutan di daerah ibu jari, lengan, muka dan tungkai, tanpa kejang motoris, yang dapat
meluas ke sisi lain. Disebut sebagai jackson sensoric epilepsy.

 Epilepsi parsial sederhana dengan gejala autonom

Sering sebagai komponen generalized seizures atau partial complex seizures yang berasal
dari lobus Frontalis atau lobus Temporalis. Manifestasi klinisnya dapat berupa :
perubahan warna kulit, perubahan tensi darah, perubahan denyut nadi, perubahan ukuran
pupil, berdirinya bulu roma.

 Epilepsi parsial kompleks

Fokus di lobus temporalis ± 60% dan di lobus frontalis ± 30%. Pada epilepsi
parsial kompleks terdapat3 komponen, yaitu : aura, penurunan kesadaran dan
automatisms. Epilepsi parsial kompleks disebut juga sebagai epilepsi psikomotor. Pada
epilepsijenis ini, meskipun terdapat gangguan kesadaran, penderita masih dapat
melakukan gerakan-gerakan otomatis. Penderita ini bila ditegur tidak menjawab.
Umumnya penderita tidak melakukan tindak kriminal atau menyerang orang lain, tetapi
dapat agresif bila dihalangi kemauanya. Setelah serangan berakhir penderita lupaapa
yang telah dilakukanya (amnesia). Bila epilepsi ini sudah lama timbul, maka dapat timbul
afasia sensorik dan hemianopsia oleh karena kelainan di lobus temporalis. Pada rekaman
EEG, akan terdapat gambaran spike, kadang-kadang slow-wave di daerah temporal.

 Bangkitan umum sekunder

Partial seizures sering sebagai aura yang terjadi beberapa detik, sebelum generalized
seizures. Biasanya dalam bentuk :

 Parsial sederhana tonik-klonik umum.


 Parsial kompleks tonik-klonik umum.
 Parsial sederhana parsial komplek tonik-klonik umum.

II. Epilepsi Umum (Generalized)


Pada kelompok ini, gambaran klinik dan atau perubahan EEG menunjukan bahwa dari
awalnya cetusan epileptik melibatkan kedua hemisfer dengan serentak dan tidak ada
petunjuk adanya suatu fokus epilepik di korteks serebri.

A. Epilepsi Grandmal (Tonic – Clonic Seizures)

Merupakan bentuk yang paling sering dijumpai. Sebagian penderita beberapa hari
sebelum serangan grandmal merasa tegang, cepat tersinggung, perubahan emosi, dll,
sebagai gejala-gejala prodormal. Aura tidak terdapat pada grandmal dan bila ada aura
berarti bukan grandmal murni, tetapi ada suatu focus. Jadi adanya aura menunjukan suatu
tanda fokal (fokal sign).

Serangan dimulai dengan fase tonik selama ± 30 detik, dilanjutkan dengan fase
klonik selama ± 60 detik, kemudian terjadi fase post iktal selama 15-30 menit.

o Fase Tonik

Semua lengan dan tungkai ekstensi, penderita tampak mengejan sehingga


wajahnya merah. Kemudian penderita menahan nafas (apnea) selama ± 30 detik, pada
akhir fase ini terjadi sianosis, tekanan darah meningkat, pupil melebar, refleks cahaya
negatif, refleks patologis positif. Kadang-kadang ngompol karena kontraksi tonik
involunter. Inkontinensia ini bias sebagai diagnosis banding organik atau histerik.

o Fase Klonik

Terjadi kejang ritmik, penderita bernafas kembali, kadang-kadang lidah tergigit,


sehingga ludah bercampur darah (buih kemerahan). Pada fase ini wajah kembali menjadi
normal, tekanan darah menurun, tanda-tanda vital normal.

o Fase Post-ictal

Setelah kejang penderita tertidur. Waktu penderita bangun mula-mula terjadi


disorientasi, tetapi beberapa menit setelah fase ini penderita menjadi normal kembali, dan
dapat berjalan seperti biasa.
Serangan grandmal kadang-kadang terjadi berturut-turut sehingga penderita tidak
sadar untuk waktu yang lama. Bila antara kedua kejang penderita tidak sadar disebut
sebagai status epileptikus. Bila penderita sering kejang dan diantara kedua kejang
penderita sadar, disebut sebagai serial epileptikus.

B. Absence Seizure (Petit Mal / LENA)

Pada epilepsi jenis ini tidak terdapat kejang. Epilepsi ini ditandai oleh terjadinya
gangguan kesadaran dalam waktu singkat (6-10 detik), tiba-tiba kehilangan kesadaran
danaktivitas motorik, sehingga penderita tidak sampai jatuh (tonus otot normal). Penderita
berhenti dari aktifitas yang dilakukan, seakan-akan melamun, kemudian melakukan
aktivitas kembali. Gejala lain (pada serangan yang lama): berkedip, gerakan klonik ringan,
automatisme yang singkat. Serangan kadang-kadang dapat 10-20 kali dalam sehari (dapat
berulang-ulang 100X/hari). Karena singkat, biasanya tidak diketahui orang sekitarnya.
Serangan bersifat mengelompok, memburuk bila terbangun, dapat dicetuskan oleh:
kelelahan, rileks, stimulasi fotik atau hiperventilasi. Serangan sangat banyak pada
idiopathik generalized epileptic

EEG menunjukan gambaran yang sangat khas, yaitu dalam 1 detik terdapat 3
kompleks gelombang tumpul dan runcing, disebut 3/sec spike slow wave (3/sec S-W). Baik
klinis maupun EEG dapat diprovokasi dengan hiperventilasi.

Epilepsi petit mal dapat tejadi pada masa anak-anak atau dewasa, akan tetapi
banyak terdapat pada anak-anak awal usia sekolah. Penderita sering dimarahi gurunya
karena melamun.

Perbedaan petit mal dengan epilepsi temporal lobe

Petit mal Temporal lobe


Etiologi Epilepsi umum Semua kelainan fokal
sekunder idiopatik

Lama Singkat (biasanya Lebih lama. Biasanya


serangan <30dtk) beberapa detik. Fenomena
motorik lain temasuk
automatism.

Manifetasi Feomena motorik Biasanya perlahan


klinik lain

Pemulihan Cepat Gangguan temporal fokal

EEG Paku dan gelombag


3 spd

C. Mioklonik

Kontraksi otot sesaat, oleh karena lepas muatan listrik kortical. Dapat single atau
berulang, sangat ringan (twitch) sampai jerking, paling berat (the Flying Saucer
Syndrom). Dapat dicetuskan oleh : suara, kejutan, photic stimulation, perkusi. Dapat
terjadi pada semua umur, akan tetapi banyak terdapat pada anak-anak. Saat serangan
terjadi gangguan kesadaran sebentar, disertai gerakan involunter yang aneh dari
sekelompok otot, terutama pada tubuh bagian atas (bahu dan lengan) yang disebut
myoclonic jerking.

D. Klonik

Epilepsi klonik jarang terjadi. Bangkitan ini selalu simtomatik. Bangkitan berupa
gerakan jerking ritmik (klonik jercking) pd kedua tangan dan kaki, asimetris (sering),
irreguler. Epilepsi klonik sering pada neonatus, bayi.

E. Tonik
Kontraksi otot tonik mendadak, terjadi penurunan kesadaran tanpa klonik ( 20- 30
dtk), sering terjadi saat tidur, dapat terjadi pada semua umur. Terjadi kontraksi otot-otot
wajah; mata terbuka lebar; bola mata menarik keatas; extensi leher; spasme otot-otot
extremitas bagian proximal sampai ke distal lengan diangkat keatas seperti menahan
pukulan kepala; menangis sampai apneu (mungkin), kepala mengangguk-angguk dan
perubahan posture yang ringan.

F. Epilepsi Atonik

Pada epilepsi atonik, secara mendadak penderita kehilangan tonus otot. Hal ini
dapat mengenai beberapa bagian tubuh ataupun pada otot seluruh badan, misalnya tiba-
tiba kepalanya terkulai karena kehilangan tonus otot leher, atau secara tiba-tiba penderita
terjatuh karena hilangnya tonus otot tubuh. Serangan ini berlangsung singkat, disebut
sebagai drop attact. Serangan berlangsung hanya sebentar dan segera recovery.

III. Unclasified Epileptic Seizures

Jenis ini, tidak termasuk semua yang diatas, data tidak komplit, gejala-gejala yang
timbul tidak sesuai : gerakan bola mata ritmik, mengunyah-ngunyah., gerakan seperti
berenang, pernafasan berhenti. Banyak terjadi pada bayi

a. Benign childhood epilepsy


b. Infantile spasms - Serangan fleksi atau ekstensi kelompok otot secara mendadak dapat
terjadi berurutan, disertai teriakan, umumnya pada bayi usia 3-12 bulan, kepala, badan,
tangan dan tungkai kiri kanan serentak terfleksi ( seolah-olah seperti sakit perut),
biasanya serangan waktu ngantuk. Berulang banyak kali sehari, disertai gejala sklerosis
tuberosa, kelainan metabolik, dll. Mortalitas lebih dari 50% sisanya 50% diikuti dengan
mental retardasi, speech gejala sisa neurologi, 50% lagi menjadi epilepsi kronik. Yang
khas: gambaran EEG hipsaritmia.

c. Kejang demam - Epilepsi timbul waktu anak demam > 390C pada umur 4 bulan sampai 5
tahun
Kejang singkat

Kejang < 15 menit Kejang demam sederhana

Tidak berulang

Tanpa defisit neurologi

EEG normal

Bila diluar tanda-tanda diatas berarti gejala demam maligna, bisa menjadi epilepsi (5%
kejang demam akan menjadi epilepsi).

d. Epilepsy reflex
e. Epilepsia partialis continue

f. Kejang histerikal

1.9 DIAGNOSIS

I. Diagnosis

Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu :

 Langkah pertama : memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal


menunjukan bangkitan epilepsi atau bukan epilepsi
 Langkah kedua : apabila benar-benar terdapat bangkitan epilepsi, maka
tentukanlah bangkian yang ada termasuk bangkitan apa (lihat klasifikasi)

 Langkah ketiga : pastikan sindrom epilepsi apa yang ditunjukan oleh bangkitan
tadi, atau epilepsi apa yang diderita oleh pasien, dan tentukan etiologinya.

Diagnosis epilepsi ditegakan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik dalam bentuk
bangkitan epilepsi berulang (minimal 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform pada
EEG. Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah sebagai berikut :
1. Anamnesis (auto dan allo-anamnesis)

 Pola / bentuk bangkitan

 Lama bangkitan

 Gejala sebelum, selama dan pasca bangkitan

 Frekuensi bangkitan

 Faktor pencetus

 Ada atau tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang

 Usia pada saat terjadinya bangkitan pertama

 Riwayat pada saat dalam kandungan, persalinan atau kelahiran dan perkembangan
bayi atau anak

 Riwayat terapi epilepsi sebelumnya

 Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologi

Hal-hal yang perlu diperiksa antara lain adanya tanda-tanda dari gangguan yang
berhubungan dengan epilepsi, misalnya trauma kepala, infeksi telinga atau sinus,
gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, kecanduan obat terlarang
atau alkohol, dan kanker.

3. Pemerikasaan penunjang dilakukan sesuai dengan bukti-bukti klinik dan indikasi, serta
bila keadaan memungkinkan untuk pemeriksaan penunjang.

a) Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)


Rekaman EEG sebaiknya dilakukan pada saat bangun tidur, dengan stimulasi fotik,
hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai dengan pencetus bangkitan (pada epilepsi refleks).
Kelainan epileptiform EEG interiktal (diluar bangkitan) pada orang dewasa dapat
ditemukan sebesar 29-38%, pada pemeriksaan ulang gambaran epileptiform dapat
meningkat menjadi 59-77%. Bila EEG pertama menunjukan hasil normal sedangkan
persangkaan epilepsi sangat tinggi, maka dapat dilakukan EEG ulangan minimal 24-48 jam
setelah bangkitan atau dilakukan dengan persyaratan khusus, misalnya dengan mengurangi
tidur (sleep deprivation) atau dengan menghentikan obat anti epilepsi (OAE).

Indikasi pemeriksaan EEG :

 Membantu menegakan diagnosis epilepsi


 Menentukan prognosis pada kasus tertentu
 Pertimbangan dalam kasus penghentian OAE
 Membantu dalam menetukan letak fokus
 Bila ada perubahan bentuk bangkitan (berbeda dengan bangkitan sebelumnya)

b) Pemeriksaan pencitraan otak (Brain Imaging)

Indikasi :

 Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan struktural


 Adanya perubahan bentuk bangkitan
 Terdapat defisit neurologik fokal
 Epilepsi dengan bangkitan parsial
 Bangkitan pertama diatas usia 25 tahun
 Untuk persiapan tindakan pembedahan

Magnetic Resonance Imaging (MRI): merupakan prosedur pencitraan pilihan untuk


epilepsi dengan sensitivitas yang tinggi dan lebih spesifik dibandingkan dengan Computed
Tomografi Scan (CT scan). MRI dapat mendeteksi sclerosis hipokampus, disgenesis
kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa. Pemeriksaan MRI di indikasikan untuk
epilepsi yang sangat mungkin memerlukan terapi pembedahan.

c. Pemeriksaan Laboratorium
 Pemeriksaan darah meliputi, hemoglobin, leukosit, trombosit, hapusan darah tepi,
elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium) kadar gula darah, fungsi hati (SGOT,
SGPT, Gamma GT, Alkali Fosfatase), ureum, kreatinin dan lain-lain atas indikasi.
 Pemeriksaan cairan serebrospinal,biladicurigai adanya infeksi SSP
 Pemeriksaan-pemeriksaan lain dilakukan bila ada indikasi misalnya adanya kelainan
metabolik bawaan.

II. Diagnosis Banding

1. Sinkop

Perbedaan bangkitan epilepsi dengan sinkop

Epilepsi Sinkop

Pencetus Tidak biasa Biasa (misal emosi)

Suasana Apapun Posissi tegak, kondisi padat, panas, stres emosi

Awal Mendadak, aura +/- Berangsur, merasa gelap/mual, penglihatan


buram, berkeringat

Warna kulit Pucat/merah (flushed) Biasanya pucat

Inkontinensia Sering terjadi Jarang

Lidah tergigit sering terjadi Sangat jarang

Muntah Jarang Sering terjadi

Fenomena Tonik/tonik-klonik,klonik Lemas tanpa gerakan, mungkin ada sentakan


motorik menonjol dgn amplitudo &klonik kecil singkat, inkoordinasi atau tonik
frekuensi khas

Pernafasan Mendekur, mulut berbusa Dangkal lambat

Cedera Sering terjadi Jarang

Pasca Bingung mengantuk, tidur Cepat siuman tanpa rasa bingung


serangan
Lama Beberapa menit ± 10 detik

2. Drop Attack

Penderita tiba-tiba jatuh karena ekstremitas inferior lemah akibat insufisiensi A.


Basilaris. Sering disertai vertigo dan bicara sulit. Berlangsung sementara dan dapat
sembuh sendiri.

3. Narcolepsi

Narcolepsi merupakan keinginan tidur yang tidak terkendali dan berulang dan
kehilangan tonus otot ekstremitas. Bersifat familial dan penyebabnya tidak diketahui.

4. Kelainan psikiatrik

Perbedaan epilepsi dengan kejang psikogenik

Epilepsi Kejang Psikogenik

Pencetus Tidak biasa Biasanya emosi

Suasana Saat tidur / sendirian Biasanya ketika bersama banyak orang,


jarang waktu tidur

Prodroma Jarang Sering

Awal Mendadak, aura +/- Berangsur dengan meningkatnya emosi

Jeritan pada awal Sering Jarang

Inkontinansia Sering Tidak terjadi

Lidah tergigit Sering Jarang

Cedera Sering Jarang

Vokalisasi Hanya saat automatisme Biasa selama serangan


Fenomena motorik Stereotip Bervariasi

Kesadaran Menurun Normal

Pengekangan Tidak berpengaruh Melawan, kadang-kadang


menghentikan serangan

Durasi Pendek Dapat memanjang

Henti serangan Pendek (automatismeBerangsur, seringkali dengan emosi,


memanjang) Bingungseringkali siuman tanpa rasa bingung
mengantuk, tidur

5. Breath Holding Spells (Serangan Nafas Terhenti Sejenak)

Serangan nafas terhenti sejenak sering terjadi pada anak, yaitu 4% anak-anak
berusia kurang dari 5 tahun. Mereka membagi Serangan nafas terhenti sejenak menjadi 2
jenis, yaitu jenis sianotik (cyanotic breath-holding spell) dan jenis pucat (pallid breath-
holding spell atau white breath-holding spell).

Serangan nafas terhenti sejenak jenis sianotik timbul karena adanya faktor
pencetus berupa marah, takut, sakit atau frustasi. Biasanya anak menangis kuat sebentar
kemudian menahan nafas panjang dalam ekspirasi, menjadi sianosis, lemas dan tidak
sadar. Pada waktu sianosis kadang-kadang diikuti kekakuan seluruh tubuh sebentar,
kadang-kadang diikuti oleh 2-3 sentakan (jerks), kemudian anak bernafas kembali dan
menjadi sadar. Serangan nafas terhenti sejenak jenis sianotik dengan kekakuan badan dan
sentakan ini juga disebut juga jenis kejang dan kadang-kadang disalah diagnosis sebagai
epilepsi. Terjadinya serangan nafas terhenti sejenak jenis sianotik diduga disebabkan
berkurangnya aliran darah ke otak karena peninggian tekanan dalam rongga dada.
Serangan nafas terhenti sejenak jenis pucat sangat berbeda dengan serangan nafas
terhenti sejenak jenis sianotik. Serangan biasanya timbul karena trauma ringan terutama
benturan pada kepala, anak menjadi frustasi dan marah, kemudian menjadi tidak sadar,
pucat, kaku dan atau opistotonus. Kadang-kadang tidak didahului oleh menangis atau
menangis singkat. Tidak terdapat sianosis, kadang-kadang disertai mata melirik ke bawah
dan sentakan-sentakan anggota gerak (jerking). Hal ini menyebabkan disalah
diagnosissebagai epilepsi. Mekanismenya berbeda dengan serangan nafas terhenti sejenak
sianotik. Terjadinya karena kegagalan sirkulasi yang disebabkan oleh karena asistole.
Asistole disebabkan oleh terangsangnya refleks vagal. Hal ini dapat dibuktikan dengan
melakukan penekanan pada biji mata, maka akan terjadi asistole dan timbullah serangan
serangan nafas terhenti sejenak sianotik. 75% serangan nafas terhenti sejenak timbul pada
umur 6-18 tahun. Serangan pada umur yang lebih muda dapat terjadi, tetapi jarang.
Serangan ini tidak berbahaya, tidak menyebabkan retardasi mental, tidak menyebabkan
epilepsi, dan tidak perlu pengobatan.

6. Tics

Tics berupa gerakan kepala, kadang-kadang disertai dengan gerakan mata


berkedip-kedip, kadang-kadang ada gerakan tangan dan pasien tetap sadar. Hal ini mudah
dibedakan dengan serangan epilepsi, karena gerakan-gerakan dapat dihentikan dengan
memanggil pasien.

7. Sindrom neurologis periodik tanpa gangguan kesadaran

Misalnya: TIA, migren, tetani, dan hiperventilasi.

1.10. TERAPI

Tujuan Terapi

Tujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien,
sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental yang
dimilikinya. Untuk tercapainya tujuan tadi diperlukan beberapa upaya, antara lain :
menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan, mencegah timbulnya efek
samping, menurunkan angka kesakitan dan kematian, mencegah timbulnya efek samping
OAE.

Prinsip terapi farmakologi :

1. OAE mulai diberikan bila :

 Diagnosis epilepsy telah dipastikan (confirmed)

 Setelah pasiendan keluarganya menerima penjelasan tentang tujuan pengobatan

 Pasien dan atau keluargannya telah diberitahu tentang kemungkinan efek samping
OAE yang akan timbul.

2. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis
bangkitan dan jenis sindrom epilepsy

3. Pemberian obat dimulai dengan dosis rendah dan dinaikan bertahap sampai dosis
efektif tercapai atau timbul efek samping. Kadar obat dalam plasma ditentukan bila
bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.

4. Bila dengan penggunaan dosis maksimum obat pertama tidak dapat megontrol
bangkitan,makaperlu ditambah OAE kedua. Bila OAE telah mencapai kadar tarapi,
maka OAE pertama diturunkan bertahap (tapering off), perlahan-lahan.

5. Penambahan obat ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi
dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.

6. Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk diberi terapi bila :

 Dijumpai focus epilepsy yang jelas pada EEG

 Pada pemeriksan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi dengan
bangkitan, misalnya neoplasma otak, AVM, abses otak, ensefalitis herpes
 Pada pemeriksaan neurologik dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya kerusakan
otak

 Terdapat riwayat epilepsy pada saudara sekandung (bukan orang tua)

 Riwayat bangkitan simtomatik

 Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran, stroke, infeksi SSP.

 Bangkitan pertama berupa status epileptikus.

Jenis obat anti epilepsi

Data Farmakologik OAE yang biasa dipergunakan di klinik

Nama Obat Jenis Dosis Kadar Waktu Efek Samping


Serangan mg/kg/hari dalam paruh
serum: (jam)
ug/mL

Fenobarbital P & KU 2-4 15-40 96 Mengantuk, hiperaktifitas,


bingung, perubahan perasaan hati

Fenitoin P & KU 3-8 10-30 24 Ataksia, ruam kulit, perubahan


kosmetika, hyperplasia gingival,
osteomalasia

Karbamazepin P & KU 15-25 8-12 12 Ataksia, gangguan GIT,


pandangan kabur, gangguan
fungsi hepar, perubahan darah

Valproat Semua 15-60 50-100 14 Gangguan GIT, hepatitis, diskrasia


darah, ataksia, allopesia,
mengantuk

Klonazepam A&M 0,03-0,30 0,01- 30 Mengantuk, gangguan GIT,


0,05 diskrasia darah, ruam kulit,
pengeluaran air liur

Primidon P & KU 10-20 5-15 12 Mengantuk, hiperaktivitas,


perubahan perasaan

P = Parsial, KU = Kejang Umum, A = Absence, M = Mioklonik

1.11. PROGNOSIS

Pada sekitar 70 % kasus epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat anti epilepsi,
sedangkan pada 30-50 % pada suatu saat pengobatan dapat dihentikan. Namun prognosis
tergantung dari jenis serangan, usia waktu serangan pertama terjadi, saat dimulai
pengobatan, ada tidaknya kelainan neurologik atau mental dan faktor etiologik. Prognosis
terbaik adalah untuk serangan umum primer seperti kejang tonik klonik dan serangan petit
mal, sedangkan serangan parsial dengan simtomatologi kompleks kurang baik
prognosisnya. Juga serangan epilepsi yang mulai pada waktu bayi dan usia dibawah tiga
tahun prognosisnya relatif buruk.

BAB II

ILUSTRASI KASUS

Seorang pasien perempuan berumur 26 tahun masuk ke bangsal Neurologi RS Dr. M.


Djamil Padang dengan :

ANAMNESIS
Keluhan Utama : Kejang berulang .

Riwayat Penyakit Sekarang :

 Kejang berulang sejak 1 hari yang lalu, kejang diawali kaku ± 5 detik diikuti kejang
diseluruh tubuh selama ± 1 menit, frekuensi kejang 5x. Jarak antara kejang +3menit. Di
antara kejang pasien sadar.
 Pada saat kejang, kedua mata pasien mengarah ke kanan atas, pasien mengompol dan
mulut pasien pasien mengeluarkan buih.
 Pasien tidak sadar saat kejang dan sadar setelah kejang. Setelah kejang pasien merasa
mengantuk dan akan ketiduran.
 Nyeri kepala ada.
 Kejang dipengaruhi menstruasi dan stress emosional disangkal
 Sebelum kejang pasien menyangkal pernah mencium bau-bauan atau mendengar suara-
suara aneh.
 Mual (-) Muntah (-)
 Demam (-), Kelemahan anggota gerak (-)
 BAK dan BAB baik (tidak ada relevansi langsung0
 Riwayat trauma kepala sebelumnya di sangkal

Riwayat Penyakit Dahulu:

 Pasien sudah dikenal menderita epilepsi sejak berusia 9 tahun. Control teratur ke Dokter
Spesialis Saraf dan mendapat pengobatan fenitoin, luminal dan clobazam.
 Pasien sudah pernah kejang sebelumnya dengan ciri yang sama sejak 19 tahun yang lalu.
Pasien telah mengalami kejang hampir setiap bulan, frekuensi 1-2x/bulan selama 1-2
menit.

Riwayat Penyakit Keluarga

 Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini.

Riwayat kebiasaan, sosial, dan ekonomi


 Riwayat Kelahiran : Lahir spontan dengan cukup bulan, di bantu bidan. Tidak langsung
menangis, air ketuban kehijauan.
 Riwayat Pertumbuhan dan perkembangan : perkembangan lambat, bias bicara dan
berjalan pada usia 2 tahun. Sering tidak naik kelas. Tidak tamat SD
 Riwayat ekonomi dan social : sekarang tidak bekerja dan Pasien belum menikah

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis :

Keadaan umum : CMC

Kesadaran : GCS 15 (E4M6V5)

Tekanan darah : 110/70 mmHg

Nadi : 78 x /menit

Nafas : 18 x /menit

Suhu : 36,5 °C

Status Internus :

Mata : Kanan : konjunctiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Kiri : konjunctiva tidak anemis, sklera tidak ikterik.

Leher : Pembesaran kelenjar getah bening tidak ada

JVP 5-2 cmH2O.

Thorak :

Paru : Inspeksi : Simetris kiri dan kanan


Palpasi : Fremitus kiri = kanan

Perkusi : Sonor

Auskultasi : Vesikuler, ronchi (-/-), wheezing (-/-).

Jantung: Inspeksi : Iktus tidak terlihat.

Palpasi : Iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi : batas jantung atas RIC II, kanan LSD, kiri 1 jari medial LMCS RIC V.

Auskultasi: Bunyi jantung murni, irama tidak teratur, bising (-).

Abdomen : Inspeksi : Tidak membuncit

Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, defans muscular (-), nyeri tekan (-), nyeri
lepas (-).

Perkusi : Timpani

Auskultasi: Bising usus (+) normal.

Punggung : Tidak ada kelainan

Ekstremitas : Oedem tidak ada

Jejas :?

Status Neurologis :

1. GCS 15 (E4 M6 V5)


2. Tanda Rangsangan Meningeal :
a. Kaku kuduk (-).
b. Brudzinky I (-).
c. Brudzinky II (-).
d. Kernig (-).
3. Tanda peningkatan tekanan intrakranial:
a. Muntah proyektil tidak ada.
b. Sakit kepala tidak ada.
4. Nn. Kranialis :

o NI : penciuman baik
o N II : Kanan : penglihatan baik

Kiri : penglihatan baik,

reflek cahaya +/+

o N III,IV,VI : pupil isokor, bentuk bulat, Ø 3mm / 3mm, gerakan bola mata

bebas ke segala arah

o NV : bisa membuka mulut, menggerakkan rahang ke kiri dan ke


kanan
o N VII : bisa menutup mata, bisa mengangkat kedua alis mata, plica

nasolabialis kiri sama dengan kanan.

o N VIII : fungsi pendengaran baik, nistagmus tidak ada


o N IX,X : arcus faring simetris, uvula di tengah, reflek muntah (+)
o N XI : bisa mengangkat kedua bahu, bisa melihat ke kiri dan ke

kanan

o N XII : tidak terdapat deviasi lidah saat dijulurkan.


5. Motorik
Ekstremitas Superior :

Kanan Kiri

Gerakan Aktif Aktif

Kekuatan 555 555


Tonus Eutonus Eutonus

Tropi Eutropi Eutropi

Ekstremitas Inferior

Kanan Kiri

Gerakan Aktif Aktif

Kekuatan 555 555

Tonus Eutonus Eutonus

Tropi Eutropi Eutropi

6. Sensorik
a. Eksteroseptif : baik
b. Proprioseptif : baik
7. Fungsi Otonom
BAK : Normal
BAB : Normal
Sekresi Keringat : Normal
8. Refleks
a. Refleks fisiologis : Refleks biceps ++/++
Refleks triceps ++/++
Refleks KPR ++/++
Refleks APR ++/++
b. Refleks patologis : Refleks Hoffman Trommer -/-
Refleks Babinsky -/-

DIAGNOSA KERJA :

 Diagnosis Klinis : Kejang tipe tonik klonik (Grand Mal)


 Diagnosis Topik : Intracranial
 Diagnosis Etiologi : Idiopatik
 Diagnosis Sekunder : Tidak ada

PEMERIKSAAN ANJURAN
 Laboratorium darah rutin
 EEG
 Brain CT Scan

TERAPI :

Umum :

 Menghindari benda-benda tajam saat akan tiba serangan epilepsy


 Diet TKTP

Khusus :

 Fenitoin 2x 100g (peroral)


 Clobazam 2 x 1 tab
 Luminal 2 x 2 tab

PROGNOSIS

o Quo ad sanam : Dubia ad bonam


o Quo ad vitam : Dubia ad bonam
o Quo ad functionam : Dubia ad bonam

BAB III

DISKUSI

Telah dilaporkan seorang pasien wanita berumur 26 tahun dengan diagnosis klinis
Epilepsi grand mal, diagnosis topik intrakranial, dan diagnosis etiologi idiopatik. Diagnosis
ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Dari anamnesis didapatkan keluhan utama Kejang berulang sejak 1 hari yang lalu,. Pasien
tidak sadar saat kejang dan sadar setelah kejang .Setelah kejang pasien merasa mengantuk dan
akan ketiduran. Pasien su dah pernah kejang sebelumnya dengan ciri yang sama sejak 19 tahun
yang lalu. Pasien telah mengalami kejang hampir setiap bulan, frekuensi 1-2x/ bulan selama 1-2
menit.
Dari anamnesa dapat dilihat pola/bentuk bangkitan kejang, lama bangkitan, frekuensi
bangkitan dan factor pencetus. Disini ditegakkan Epilepsi Grandmal karena dari teori serangan
ini dimulai dengan fase tonik selama ±30 detik dan dilanjutkan dengan fase klonik selama ±60
detik, kemudian terjadi fase post iktal selama 15-30 menit. Dan pada epilepsy grand mal tidak
terdapat aura sebelum terjadi kejang, dari diagnosis topic di katakan intrakaranial karena ada
kelainan pada neuron di otak akibat berbagai penyebab. Dan untuk etiologinya didapatkan
simptomatik karena dari anamnesa dikatakan riwayat kelahirannya tidak langsung menangis dan
air ketuban hijau. Ini mendukung kepada teori yang mengatakan gejala timbul akibat dari adanya
kelainan pada jaringan otak yang dapat disebabkan oleh kerusakan otak pada waktu lahir.

Dari anamnesis ditemukan pasien tidak sadar saat kejang karena terputusnya pengiriman
impuls aspesifik ke seluruh korteks serebri akibat perlepasan muatan listrik berlebihan dan
tidakterkendali neuron-neuron di thalamus. Pada pemeriksaan fisik keadaan umum pasien
dengan sadar dan tekanan darah 110/70 mmHg. Pada pemeriksaan status internus dalam batas
normal.

Pada pemeriksaan neurologis didapatkan E4M6V5, tanda ransangan meningeal tidak ada,
peningkatan TIK tidak ada. Pada pemeriksaan Nn Kranialis tidak ditemukan kelainan. Sensorik
baik dan otonom baik. Pada sistem reflek, reflek fisiologis baik dan reflek patologis tidak ada.

Pasien ini dianjurkan untuk pemeriksaan laboratorium darah rutin, EEG, Brain CT-Scan
untuk mendukung penegakkan diagnosis.Tujuan pemeriksaan laboratorium darah rutin adalah
untuk periksa glukosa, kalsium, magnesium, natrium, bilirubin dan ureum dalam darah. Karena
hipoglikemi, hiponatremi, hipomagnesium, hipokalsemi, hipernatremia dan hiperbilirubinemia
ureum memudahkan timbulnya kejang. EEG dilakukan sebagai pemeriksaan penunjang yang
informative bertujuan untuk memastikan diagnosis epilepsy. CT scan bertujuan untuk
menunjukkan kelaianan pada tengkorak dan rongga intrakranium.

Terapi umum yang diberikan pada pasien saat ini adalah dapat menghindari benda-benda
tajam saat akan tiba serangan epilepsi. Terapi khusus antara lain IVFD, Fenitoin 2x 100g
(peroral), Clobazam 2 x 1 tab, Luminal 2 x 2 tab. Fenitoin merupakan golongan hidantoin yang
sering dipakai, berkerja dengan menghambat penjalaran rangsang dari focus kebagian lain otak.
Clobazam adalah golongan benzodiazepine yang bekerja berdasarkan potensiasi inhibisi neuron
dengan asam gamma aminobutirat (GABA) sebagai mediator. Tujuaan nya adalah untuk
mengatasi keadaan asietas dan psikoneurotik yang disertai ansietas. Luminal merupakan
golongan fenobarbital dan bekerja sebagai menghambat kejang dengan meningkatakn respon
terhadap GABA. Toksisitasnya yang relative rendah, murah dan efektif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono. Epilepsi. Dalam: Kapita Selekta Neurologi. Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, 2003:117-148.

2. Harsono. Buku Ajar Neurologi klinik. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf, Indonesia.
Gajah Mada University Press. Yogyakarta, 2008, hal: 119-150.

3. Marjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. Jakarta, 2004, hal 439-450.

4. Epilepsi. Diakses dari www.medicastore.com pada tanggal 2 September 2009.

Anda mungkin juga menyukai