Anda di halaman 1dari 42

LIBRARY MANAGER

DATE SIGNATURE

BAGIAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL REFERAT


FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2020
UNIVERSITAS HASANUDDIN

ASFIKSIA MEKANIK

OLEH:

Lia Wulandari Nadir C014181095


Hasri Ainun Syawal C014172147
Ummy Auliah Miftahul Jannah C014172118
Aisyah Binti Mohd Lotfi C014181037

Supervisor Pembimbing
dr. Gunawan Arsyadi, Sp. PA(K), Sp.F

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :


1. Lia Wulandari Nadir C 014 181 095
2. Hasri Ainun Syawal C 014 172 147
3. Ummy Auliah Miftahul Jannah C 014 172 118
4. Aisyah Binti Mohd Lotfi C 014 181 037

Judul Referat : Asfiksia Mekanik


Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Kedokteran
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Februari 2020

Mengetahui,

Residen Pembimbing, Supervisor Pembimbing,

dr.Natalia Widjaya dr.Gunawan Arsyadi, Sp. PA(K) Sp.F.

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya
oleh tuntunan, kemurahan serta berkat-Nya kami mampu merampungkan penulisan
tugas akhir ilmiah pada bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin dengan judul referat “Asfiksia Mekanik”.
Penulisan makalah tentang Asfiksia Mekanik ini dapat menjadi bacaan yang
memberikan pengetahuan tentang bagaimana prosedur yang dilakukan untuk
mengidentifikasi korban meninggal dengan asfiksia mekanik. Dengan membahas
mengenai asfiksia mekanik maka diharapkan dapat memberikan gambaran mengenani
definisi, gejala dan tanda, dan klasifikasi asfiksia mekanik.
Ungkapan terima kasih kami ucapkan bagi dr. Gunawan Arsyadi, Sp. PA(K),
Sp.F, selaku pembimbng referat serta konsulen baca (presentasi), yang meski diliputi
segala kesibukannya telah dengan tulus menyempatkan waktu untuk berbagi ilmu
pengetahuan dalam bidang Forensik dan Medikolegal bersama kami, serta seluruh rekan
sejawat yang tengah menjalani Kepaniteraan Klinik di Bagian Kedokteran Forensik dan
Medikolegal.
Kami sungguh menyadari keterbatasan yang kami miliki sebagai manusia,
menjadikan referat ini masih jauh dari sempurna, namun terselip sebuah harapan agar
setidaknya dapat menambah pengetahuan pembaca mengenai asfiksia mekanik akibat
penutupan saluran pernapasan bagian atas. Sebab itu, kami menerima segala masukan
baik kritik maupun saran yang dapat membantu penyempurnaan tulisan ilmiah ini.
Akhirnya, penulisan referat ini kami dedikasikan bagi setia guru pada Bagian
Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin Makassar.

Penulis

iii
iv
Definisi Etiologi Anatomi dan Fisiologi Patomekanisme Gejala dan
Asfiksia Asfiksia Saluran Pernapasan Asfiksia Tanda Asfiksia
Asfiksia Mekanik
KERANGKA KONSEP

Penekanan Penutupan Saluran Penekanan


Pada Leher Pernapasan Bagian Atas Dinding Dada
Hanging Smothering Traumatic
(pembekapan) Asphyxia
Strangulasi
Manual
Chocking
Penjeratan (Penyumbatan)
Postural
Asfiksia
DISCLAIMER

Referat ini kami buat dengan mengambil dan menambahkan pembahasan dari Referat
yang dibuat oleh:

1) Judul : Asfiksia Mekanik

Penyusun :1. Norhidayu Binti Jalal C 014 172 168

2. Ahmad Marwan Bin Mohd Mahali C 014 172 169

3. Tsabitha Hauro Narundana C 014 172 170

4. Nurul Rahmitha C 014 172 173

Pembimbing : dr. Indrayaty AR


Supervisor : Dr. dr. Hj. Annisa Anwar Muthaher, SH, M.Kes., Sp.F.
Tahun : FK UNHAS, 2020

v
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................. ii
KATA PENGANTAR........................................................................................ iii
KERANGKA KONSEP...................................................................................... iv
DISCLAIMER.................................................................................................... v
DAFTAR ISI....................................................................................................... vi
SKDI................................................................................................................... vii
BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................. 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 2
DEFINISI ASFIKSIA........................................................................... 2
ETIOLOGI ASFIKSIA......................................................................... 3
ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM PERNAPASAN................... 4
PATOFISIOLOGI ASFIKSIA.............................................................. 7
GEJALA DAN TANDA ASFIKSIA.................................................... 9
KLASIFIKASI ASFIKSIA MEKANIK............................................... 13
1) HANGING (PENJERATAN) .......................................................... 13
2) MANUAL STRANGULATION (PENCEKIKAN) ........................ 20
3) LIGATURE STRANGULATION (PENJERATAN) ..................... 23
4) SMOTHERING (PEMBEKAPAN) ................................................ 25
5) CHOCKING (PENYUMBATAN) .................................................. 27
6) ASFIKSIA POSISIONAL ............................................................... 29
7) ASFIKSIA TRAUMATIK .............................................................. 30
BAB III. KESIMPULAN.................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 33

vi
SKDI ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

Praktik kedokteran bukanlah suatu pekerjaan yang dapat dilakukan oleh siapa
saja, melainkan hanya boleh dilakukan oleh kelompok profesional kedokteran tertentu
yang memiliki kompetensi yang memenuhi standar tertentu, diberi kewenangan oleh
institusi yang berwenang di bidang itu dan bekerja sesuai dengan standar dan
profesionalisme yang ditetapkan oleh organisasi profesinya. Secara teoritis-konseptual,
antara masyarakat profesi dengan masyarakat umum terjadi suatu kontrak (mengacu
kepada doktrin social-contract), yang memberi masyarakat profesi hak untuk
melakukan self-regulating (otonomi profesi) dengan kewajiban memberikan jaminan
bahwa profesional yang berpraktek hanyalah profesional yang kompeten dan yang
melaksanakan praktek profesinya sesuai dengan standar. Sikap profesionalisme adalah
sikap yang bertanggungjawab, dalam arti sikap dan perilaku yang akuntabel kepada
masyarakat, baik masyarakat profesi maupun masyarakat luas (termasuk klien). 
Beberapa ciri profesionalisme tersebut merupakan ciri profesi itu sendiri, seperti
kompetensi dan kewenangan yang selalu “sesuai dengan tempat dan waktu”, sikap yang
etis sesuai dengan etika profesinya, bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh
profesinya, dan khusus untuk profesi kesehatan ditambah dengan sikap altruis (rela
berkorban).

vii
Daftar SKDI (2019) Forensik dan Medikolegal

Kasus asfiksia mekanik (termasuk tenggelam) merupakan tingkat kemampuan dua


A dalam daftar SKDI. Lulusan dokter harus menguasai pengetahuan teori keterampilan
ini termasuk latar belakang biomedik dan dampak psikososial keterampilan tersebut,
berkesempatan untuk melihat dan mengamati keterampilan tersebut dalam bentuk
demonstrasi atau pelaksanaan langsung pada pasien/masyarakat, serta berlatih
keterampilan tersebut pada alat peraga dan/atau standardized patient. Pengujian
keterampilan tingkat kemampuan 2 dengan menggunakan Objective Structured Clinical
Examination (OSCE) atau Objective Structured Assessment of Technical Skills
(OSATS).

viii
BAB I
PENDAHULUAN

Asfiksia menurpakan salah satu penyebab kematian dalam dalam kasus


kedokteran forensik. Dalam sebuah Studi oleh Azmak yang dijalankan selama 21 tahun,
kematian ini mewakili 15.7% dari autopsi forensik. Secara etimologi, istilah asfiksia
diambil dari bahasa Yunani yang berarti “absence of pulse” (tidak berdenyut). Saat ini,
istilah asfiksia digunakan sangat meluas untuk meggambarkan semua keadaan yang
menyebabkan kegagalan sel untuk menerima dan menggunakan oksigen. Kondisi ini
dapat terjadi secara parsial (hipoksia) atau total (anoksia). Otak merupakan salah satu
organ yang paling sensitif terhadap penurunan oksigen.1
Asfiksia yang diakibatkan karena adanya obstruksi pada saluran pernapasan yang
dikenal dengan istilah asfiksia mekanik. Asfiksia mekanik terjadi karena adanya
penekanan pada daerah leher (penggantungan diri dan pencekikan), penyumbatan
saluran nafas (suffokasi dan tersedak), serta kompresi dada dan leher atau wajah
(asfiksia postural atau posisional), asfiksia akibat kekurangan udara pada atmosfer atau
akibat bahan kimia serta asfiksia akibat tenggelam..2,3
Mengetahui gambaran asfiksia, (postmortem) serta keadaan apa saja yang dapat
menyebabkan asfiksia, khususnya asfiksia mekanik mempunyai arti penting terutama
dalam proses penyidikan. Dalam penyidikan untuk kepentingan peradilan menangani
seorang korban yang diduga karena peristiwa tindak pidana, seorang penyidik
berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman
atau dokter dan atau ahli lainnya. Seorang dokter sebagaimana pasal 179 KUHAP wajib
memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut
pengetahuan di bidang keahliannya untuk kepentingan peradilan. Untuk itu, sudah
selayaknya seorang dokter umum perlu mengetahui asfiksia mekanik agar dapat
mendiagnosa dan merujuk dengan tepat .

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI ASFIKSIA


Secara etimologi, asfiksia diambil dari bahasa yaitu terdiri dari “a” yang
berarti “tidak”, dan “sphinx” yang artinya “nadi” yang berarti “absence of pulse”
(tidak berdenyut). Saat ini, istilah asfiksia digunakan sangat meluas untuk
meggambarkan semua keadaan yang menyebabkan kegagalan sel untuk menerima
dan menggunakan oksigen. Kondisi ini dapat terjadi secara parsial (hipoksia) atau
total (anoksia). Otak adalah salah satu organ yang paling sensitif terhadap
penurunan oksigen.1
Dalam kedokteran forensik, asfiksia dapat menjelaskan mengenai lokasi
terjadinya obstruksi diantara mulut dan hidung, selain itu asfiksai juga merupakan
keadaan dimana berkurangnya kadar oksigen (O2) dan berlebihnya kadar karbon
dioksida (CO2) sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveolus. Asfiksia
yang diakibatkan oleh karena adanya obstruksi pada saluran pernapasan disebut
asfiksia mekanik . Asfiksia mekanik terjadi karena adanya penekanan pada daerah
leher (penggantungan diri dan pencekikan), penyumbatan saluran nafas (suffokasi
dan tersedak), serta kompresi dada dan leher atau wajah (asfiksia postural atau
posisional).2,3
Asfiksia merupakan keadaan yang ditandai dengan adanya gangguan
pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia)
disertai dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian
organ tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) bahkan kematian.
Pada beberapa kasus kematian karena asfiksia, nadi sebenarnya masih berdenyut
untuk beberapa menit setelah pernapasan berhenti, keadaan ini disebut anoksia atau
hipoksia. Secara fisiologis makna anoksia ialah kegagalan oksigen mencapai sel-sel
tubuh. 2,4 Pembagian anoksia sebagai berikut:
1. Anoxic anoxia, oksigenasi yang tidak sempurna pada darah yang berada dalam
paru-paru. Beberapa hal yang dapat menyebabkannya adalah adanya obstruksi
pada aliran udara (suffokasi, pembekapan), obstruksi pada aliran udara yang
menuju ke traktus respiratorius (tenggelam, tersedak, penggatungan,

2
pencekikan), kompresi berlebihan pada dada dan dinding perut, terhentinya
gerakan respirasi secara primer yang menyebabkan kegagalan pernapasan
(keracunan narkotik, luka listrik), serta inhalasi karbon dioksida dan karbon
monoksida.5
2. Anaemic anoxia, disebabkan oleh karena menurunnya kemampuan darah
membawa oksigen, misalnya pada kasus keracunan akut akibat karbon
monoksida, klorat, dan nitrit.5
3. Histotoxic anoxia, terjadi karena adanya depresi pada proses oksidatif di
jaringan, misalnya pada kasus keracunan hydrocyanid acid.4
4. Stagnant anoxia, terjadi akibat insuffisiensi dari sirkulasi darah pada jaringan,
misalnya pada kasus syok traumatik, heat stroke, keracunan iritan dan korosif
akut.5

2.2 ETIOLOGI ASFIKSIA


Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut:2,5
1. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan
seperti laringitis difteri atau yang menimbulkan gangguan pergerakan paru
seperti fibrosis paru, pankreatitis akut hemoragik, sepsis gram-negatif, sepsis
tanpa syok, sepsis dengan atau tanpa koagulasi intravascular diseminata
(DIC), dan pneumonia virus yang berat.
2. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang
mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral,
sumbatan atau halangan pada saluran napas, penekanan leher atau dada, dan
sebagainya. Seperti cedera kepala, cedera dada, trauma pada berbagai organ,
fraktur majemuk yang menyebabkan emboli lemak seperti farktur tulang
panjang (femur).
3. Keracunan bahan kimiawi yang menimbulkan depresi pusat pernapasan,
misalnya karbon monoksida (CO) dan sianida (CN) yang bekerja pada tingkat
molekuler dan seluler dengan menghalangi penghantaran oksigen ke jaringan.
Contoh lain seperti inhalasi asap, inhalasi gas iritan, pemberian inhalasi
oksigen konsentrasi tinggi, overdosis narkotik, dan aspirasi isi lambung.

3
2.3 ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM PERNAPASAN
Secara anatomi, sistem pernapasan pada manusia dapat dibagi menjadi dua:6
a. Saluran napas bagian atas, yang terdiri atas hidung, faring, laring, dan trakea.
b. Saluran pernapasan bagian bawah yang terdiri atas bagian bawah trakea, dua
bronkus primer, dan paru-paru. Struktur ini terletak di rongga toraks.

Gambar 2.1. Traktus respiratorius.6

Sistem respirasi mencakup saluran napas yang menuju paru, paru itu sendiri,
dan struktur-struktur thorax (dada) yang berperan menyebabkan aliran udara
masuk dan keluar paru melalui saluran napas. Saluran napas berbentuk tabung atau
pipa yang mengangkut udara antara atmosfer dan kantung udara (alveolus). Saluran
napas berawal dari saluran nasal (hidung) kemudian faring (tenggorokan) yang
berfungsi sebagai saluran bersama untuk sistem pernapasan dan pencernaan.7
Udara mengalir dari faring menuju laring atau kotak suara. Laring terdiri dari
rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot-otot dan mengandung
pita suara. Struktur trakea dan bronkus dianalogikan seperti sebuah pohon dan oleh
karena itu dinamakan pohon trakeobroncial. Tempat trakea bercabang menjadi
bronkus utama kiri dan kanan dikenal sebagai karina. Karina memiliki banyak saraf
dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk berat jika dirangsang. Bronkus
utama kiri dan kanan tidak simetris dimana bronkus utama kanan lebih pendek dan
lebih lebar dibandingkan yang kiri dan merupakan kelanjutan dari trakea yang

4
arahnya hampir vertikal. Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi
menjadi bronkus lobaris dan kemudian bronkus segmentalis. Percabangan ini
berlanjut terus menjadi bronkus yang ukurannya semakin kecil dan menjadi
bronkiolus terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli
(kantung udara). Seluruh saluran udara ke bawah sampai tingkat bronkiolus
terminalis disebut saluran penghantar udara karena fungsi utamanya adalah
menghantar udara ke tempat pertukaran gas di paru-paru.8
Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional
paru, yaitu tempat pertukaran gas. Alveolus (dalam kelompok sakus alveolaris
menyerupai anggur) yang dipisahkan dari alveolus sekitarnya oleh dinding tipis
yang disebut septum. Lubang kecil pada dinidng ini dinamakan pori-pori kohn.
Alveolus dilapisi oleh zat lipoprotein yang disebut surfaktan sehingga dapat
mengurangi tegangan permukaan dan mengurangi resistensi terhadapt
pengembangan saat inspirasi dan mencegah alveolus kolaps saat ekspirasi.8
Proses fisiologi pernapasan yaitu proses oksigen dipindahkan dari udara ke
dalam jaringan dan karbon dioksida dikeluarkan ke udara ekspirasi, dapat dibagi
menjadi tiga stadium, yaitu ventilasi, transportasi, dan respirasi sel atau respirasi
interna.8
a. Ventilasi
Udara bergerak masuk dan keluar paru karena adanya selisih tekanan yang
terdapat antara atmofer dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot pernapasan.
Selisih tekanan antara jalan napas dan atmosfer menyebabkan udara mengalir
kedalam paru sampai tekanan jalan napas pada akhir inspirasi sama dengan
tekanan atmosfer. Udara akan bergerak kedalam paru selama inspirasi bila
tekanan alveoli lebih rendah daripada tekanan atmosfer, dan udara keluar dari
paru selama ekspirasi bila tekanan alveolar lebih besar daripada tekanan
atmosfer.8
b. Transportasi
Stadium ini terdiri dari (1) difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru
(respirasi eksterna) dan antara darah sistemik dan sel-sel jaringan; (2) distribusi
darah dalam sirkulasi pulmonar dan distribusi udara dalam alveolus; (3) reaksi
kimia dan fisik dari oksigen dan karbon dioksida dengan darah.8

5
Difusi gas-gas melintasi membran kapiler yang tipis. Penggerak kekuatan
difusi gas melewati membrane alveolokapiler terdiri dari perbedaan tekanan
parsial antara darah dan rongga alveolar. Perbedaan tekanan parsial untuk difusi
oksigen relatif besar. Difusi karbon dioksida dari darah ke alveolus
membutuhkan perbedaan tekanan parsial yang lebih kecil daripada oksigen
karena karbon dioksida lebih dapat larut dalam lipid.8
Oksigen dapat diangkut dari paru-paru ke jaringan melalui dua cara, yaitu
secara fisik larut dalam plasma atau secara kimia berikatan dengan hemoglobin
(Hb) sebagai oksihemoglobin (oksiHb). Ikatan kimia oksigen dengan
hemoglobin ini bersifat reversibel dan jumlah sesungguhnya yang diangkut
dalam bentuk ini mempunyai hubungan non-linier dengan tekanan parsial
oksigen dalam darah arteri, yang ditentukan oleh jumlah oksigen yang secara
fisik larut dalam plasma darah. Selanjutnya jumlah oksigen mempunyai
hubungan langsung dengan tekanan parsial oksigen dalam alveolus. Jumlah
oksigen tergantung pada daya larut oksigen dalam plasma. Hanya sekitar 1%
dari jumlah oksigen total yang diangkut ke jaringan secara transport dengan cara
ini. Cara transport seperti ini tidak memadai untuk mempertahankan hidup
walaupun dalam keadaan istirahat sekalipun. Dalam keadaan tertentu (keracunan
karbon monoksida atau hemolisis massif dengan isufisiensi Hb) oksigen yang
cukup untuk mempertahankan hidup dapat diangkut dalam bentuk larutan fisik
dengan memberikan pasien oksigen bertekanan tinggi dari tekanan atmosfer.
Pada tingkat jaringan, oksigen akan melepaskan diri dari hemoglobin ke dalam
plasma dan berdifusi dari plasma ke sel-sel jaringan tubuh untuk memenuhi
kebutuhan jaringan yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan jaringan bervariasi,
namun sekitar 75% Hb masih berikatan dengan oksigen pada waktu Hb kembali
ke paru dalam bentuk darah vena campuran. Jadi hanya sekitar 25% oksigen
dalam darah arteri yang digunakan untuk keperluan jaringan. Hemoglobin yang
telah melepaskan oksigen pada tingkat jaringan disebut Hb tereduksi. Hb
tereduksi berwarna ungu dan menyebabkan warna kebiruan pada darah vena.8
Transport karbon dioksida dari jaringan ke paru untuk dibuang dilakukan
dengan tiga cara. Sekitar 10% karbon dioksida secara fisik larut dalam plasma,
karena tidak seperti oksigen, karbon dioksida mudah larut dalam plasma. Sekitar

6
20% karbon dioksida berikatan dengan gugusan amino pada Hb
(karbaminohemoglobin) dalam eritrosit, dan sekitar 70% diangkut dalam bentuk
bikarbonat plasma.8

Gambar 2.2. Fisiologi sistem pernapasan9

2.4 PATOFISIOLOGI ASFIKSIA


Asfiksia merupakan kumpulan berbagai keadaan dimana terjadi gangguan
pertukaran udara pernapasan. Gangguan tersebut bisa disebabkan karena adanya
obstruksi pada saluran pernapasan dan gangguan akibat terhentinya sirkulasi.
Kedua gangguan tersebut akan menimbulkan keadaan dimana oksigen dalam darah
berkurang disertai dengan peningkatan kadar karbon dioksida. Kegagalan ini
diawali dengan hipoksemia. Hipoksemia merupakan penurunan kadar oksigen
dalam darah. Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia terbagi dua yaitu
hipoksia jaringan (primer) dan mekanisme kompensasi tubuh (sekunder).10
a. Kematian pada mekanisme primer
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada
tipe dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen.
Pada bagian tertentu otak yang membutuhkan lebih banyak oksigen, bagian
tersebut lebih rentan terhadap kekurangan oksigen. Sel-sel otak yang mati

7
akan digantikan oleh jaringan glial. Akson yang rusak akan mengalami
pertumbuhan (sprouting) pada kedua ujung yang terputus oleh jaringan parut
tersebut. Namun hal ini tidak mengakibatkan tersambungnya kembali akson
yang terputus karena terhalang oleh jaringan parut yang terdiri dari sel glia.
Sedangkan pada organ tubuh yang lain seperti jantung, paru-paru, hati, ginjal
dan yang lainnya, perubahan akibat kekurangan oksigen langsung atau primer
tidak jelas.11
b. Kematian pada mekanisme sekunder
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah
dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena
meningkat. Karena oksigen dalam darah terus berkurang dan tidak cukup
untuk kerja jantung maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung
dengan cepat. mekanisme ini bisa terjadi pada keadaan, seperti:11
- Penutupan mulut dan hidung (pembekapan)
- Obstruksi jalan nafas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan
dan korpus alienum dalam saluran nafas atau pada kasus tenggelam
karena cairan menghalangi udara masuk ke paru–paru
- Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan
(traumatic asphyxia)
- Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat
pernafasan, misalnya pada keracunan

Gambar 2.3. Patologi asfiksia.11

8
2.5 GEJALA DAN TANDA ASFIKSIA
a. Gejala Asfiksia
Pada orang yang mengalami asfiksia, gejala yang ditemukan dapat
dibedakan dalam empat fase, yaitu dispnea, konvulsi, apnea dan final.
Pembagian ini penting secara prinsip karena dapat memberikan keterangan
yang jelas pada patofisiologi dari proses asfiksia. Mulai dari awal asfiksia
timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar
antara 3-5 menit.9,12
1. Fase Dispnea
Pada fase ini terjadi penurunan kadar oksigen pada sel darah merah
dan penimbunan karbon dioksida dalam plasma yang akan merangsang
pusat pernapasan di medula oblongata, sehingga aktivitas respiratori
meningkat, takikardi, tekanan darah meningkat dan mulai tampak tanda-
tanda sianosis terutama pada wajah dan tangan. Wajah cemas, bibir mulai
kebiruan dan mata menonjol.
2. Fase Konvulsi
Kadar karbon dioksida yang meningkat, menyebabkan perangsangan
terhadap susunan saraf pusat sehingga terjadi konvulsi (kejang), yang
awalnya berupa kejang klonik, lalu menjadi kejang tonik, dan akhirnya
menimbulkan kejang epistotonik. Pupil mengalami dilatasi, bradikardi
dan tekanan darah menurun. Efek ini berkaitan dengan paralisis pada
pusat saraf yang letaknya lebih tinggi. Peningkatan pelepasan
katekolamin dari medulla adrenal (biasanya pada kekurangan napas
dengan hiperkapnea), kesadaraan (blacking out) .
3. Fase Apnea
Pada fase apnea, pusat pernafasan mengalami depresi yang berlebihan,
sehingga pernapasan menjadi dangkal dan semakin memanjang, akhirnya
berhenti bersamaan dengan lumpuhnya organ vital, otot menjadi lemah,
hilangnya refleks, dilatasi pupil, tekanan darah menurun, relaksasi
sfingter dapat menyebabkan terjadi pengeluaran feses, urin dan sperma.
4. Fase Terminal

9
Pada fase terminal terjadi paralisis pusat pernapasan total. Pernafasan
berhenti setelah kontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher.
Jantung masih dapat memopa beberapa saat setelah apnea.
b. Tanda Kardinal Asfiksia
Pada kematian yang terjadi karena adanya penekanan pada daerah leher
dan pada obstruksi saluran pernapasan, dapat ditemukan tanda utama seperti:
sianosis, kongesti dan edema, darah yang lebih encer, dan Tardiu’s Spot
(Petechial Haemorrhage).3
c. Pemeriksaan Jenazah
Tanda-tanda asfiksia yang dapat ditemukan pada pemeriksaan luar
jenazah, yaitu:3,9,12
1. Sianosis
Sianosis berwarna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput
lendir yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut hemoglobin
tereduksi (Hb yang tidak berikatan dengan oksigen). Sianosis dapat
dengan mudah terlihat pada daerah ujung jari dan bibir di mana terdapat
pembuluh darah kapiler. Sianosis ini berarti keadaan mayat masih baru.
Sianosis merupakan perubahan postmortal sehingga tidak mempunyai
arti diagnostik jika pemeriksaan dilakukan setelah 24 jam postmortem.
2. Kongesti
Kongesti atau pembendungan yang sistemik dan kongesti pada paru
yang disertai dilatasi jantung kanan ialah ciri klasik pada kematian
karena asfiksia. Gambaran perbendungan pada mata berupa pelebaran
pembuluh darah konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase
dua. Akibatnya tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat
terutama dalam vena, venula dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat
merusak endotel kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis
sel akan pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan yang dinamakan
sebagai Tardieu’s spot. Keadaan ini mudah dilihat pada tempat yang
struktur jaringannya longgar (konjungtiva dan palpebra, epiglottis dan
jaringan di sekitarnya).

10
Gambar 2.4. Tardieu’s Spot9

3. Buih Halus
Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat
peningkatan aktivitas pernapasan pada fase satu yang disertai sekresi
selaput lendir saluran napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang
cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang kadang-kadang
bercampur darah akibat pecahnya kapiler. Kapiler yang lebih mudah
pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar, misalnya pada
konjungtiva bulbi, palpebral dan subserosa lain.

Gambar 2.5. Buih Halus pada Mulut9

11
4. Warna Lebam Mayat Merah-Kebiruan Gelap
Warna lebam mayat merah kebiruan gelap ini terbentuk lebih cepat.
Distribusi lebam lebih luas akibat kadar karbon dioksida yang tinggi dan
akitivitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku dan
mudah mengalir.

Gambar 2.6. Lebam Mayat9,12

Pada pemeriksaan dalam jenazah, dapat ditemukan tanda asfiksia, antara


lain:3,9,12
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer akibat aktivitas fibrinolisin
darah yang meningkat pasca kematian.
2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga
menjadi lebih berat, berwarna lebih gelap, dan pada pengirisan banyak
mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada
bagian jantung daerah aurikuloventrikular posterior, subpleura viseralis
paru terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris,
kulit kepala sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa
epiglotis, dan daerah subglotis.
5. Pada setiap kematian yang cepat, darah akan tetap cair, salah satu
keadaan tersebut terdapat pada asfiksia. Walaupun nilainya masih
dipertentangkan, darah yang tetap cair ini sering dihubungkan dengan
aktivitas fibrinolisin. Pendapat lain dihubungkan dengan faktor
pembekuan yang ada di ekstravaskular dan tidak sempat masuk ke dalam
pembuluh darah karena cepatnya proses kematian.

12
6. Edema pulmonum atau pembengkakan paru-paru, tidak banyak berarti di
dalam kaitannya dengan kematian karena obstruksi saluran pernapasan.
Keadaan ini dapat terjadi pada berbagai macam keadaan, jadi tidak khas.
7. Kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti patahnya tulang
lidah secara langsung atau tidak langsung dan pendarahan faring
terutama pada bagian dorsal dari krikoid.
- Patahnya tulang lidah dapat terjadi melalui dua mekanisme. Pertama,
tekanan atau kompresi langsung dari arah lateral pada tulang lidah,
seperti halnya pada kasus pencekikan. Kedua melalui tekanan yang
tidak langsung, yaitu kearah bawah atau ke arah samping pada rawan
gondok, atau tekanan pada daerah antara tulang lidah dan rawan
gondok, hal ini yaitu patahnya tulang lidah secara tidak langsung
kemungkinan karena tulang lidah terfiksasi dengan kuat pada otot di
permukaan atas dan depan.
- Perdarahan faring pula merupakan trauma langsung bagian tersebut
dengan bagian depan dari tulang servikal. Perdarahan tersebut
dimungkinkan karena pleksus vena di daerah ini berdinding tipis,
sehingga bila terjadi kongesti hebat, pembuluh darah tersebut pecah
dan terjadi perdarahan.

2.6 KLASIFIKASI ASFIKSIA MEKANIK


Berdasarkan mekanisme terjadinya, asfiksia mekanik, dapat dibagi menjadi
beberapa tipe, antara lain:
1) Hanging (Penggantungan)
Hanging atau penggantungan adalah salah satu jenis penjeratan (ligature
strangulation) dimana terjadi penekanan atau konstriksi dari leher oleh berat
badan, baik sebagian maupun seluruhnya, oleh pengaruh gaya tarik atau
gravitasi dari berat badan sendiri.13,14 Penggantungan (hanging) merupakan
penyebab kematian akibat asfiksia yang paling sering ditemukan. Asfiksia
merupakan penyebab mortalitas terbanyak dalam kasus kedokteran forensic,
menduduki urutan ke-3 setelah kecelakaan lalu lintas dan trauma mekanik.
Tanda asfiksia yang paling sering ditemukan pada korban gantung diri adalah

13
sianosis, kongesti, dan edema, tetap cairnya darah dan perdarahan berbintik
(petechial heamorraghes).15
Berdasarkan aspek medikolegalnya, penggantungan dibagi menjadi:13
1. Suicide hanging, dapat dilakukan oleh wanita atau pria sama banyaknya dan
dapat terjadi pada seluruh lapisan usia. Biasanya kondisi di tempat kejadian
perkara, korban ditemukan dalam keadaan tenang di dalam ruang atau tempat
yang tersembunyi.
2. Homicide hanging, termasuk yang jarang dijumpai, hal ini baru dapat
dilakukan jika korbannya anak-anak ataupun dewasa yang kondisinya lebih
lemah, baik lemah atau menderita penyakit, dibawah pengaruh alcohol, obat
bius, atau korban sedang tidur.
3. Accidental hanging, pada kasus ini kejadiannya sangat jarang, biasanya
berhubungan dengan pekerjaan yang sering mempergunakan tali atau pada
anak-anak. Penggantungan yang tidak sengaja ini diklasifikasikan dalam dua
kelompok: yang terjadi sesewaktu bermain atau bekerja dan sewaktu
melampiaskan nafsu seksual yang menyimpang ”auto-erotic hanging”.
Kematian akibat tergantung sewaktu bermain umumnya pada anak-anak dan
tidak membutuhkan penyidikan yang sulit karena kasusnya yang sangat jelas.
Kematian yang terjadi sewaktu pelampiasan nafsu seksual yang menyimpang
memerlukan pemeriksaan yang teliti dan dalam sehingga dapat menguraikan
tali-tali yang dipakai, yang sering kali diikatkan pada banyak tempat, seperti
ikatan pada daerah genitalia, lengan, tungkai, leher dan mulut. Kematian
terjadi karena ikatan yang terlalu keras atau hentakkannya terlalu kuat
sehingga leher dapat terjerat.
Berdasarkan kekuatan konstriksi, penggantungan dapat dibagi menjadi
dua, yaitu:
1. Tergantung total (complete hanging), dimana kedua kaki tidak menyentuh
tanah dan seluruhnya dipengaruhi oleh berat badan korban.13

14
Gambar 2.7. Complete Hanging11

2. Setengah tergantung (partial hanging), jika posisi tubuh tidak seluruhnya


tergantung, dimana kedua kaki menyentuh tanah dan tidak sepenuhnya
dipengaruhi oleh berat badan korban, misalnya pada korban yang tergantung
dengan posisi bertumpu pada kedua lutut, dalam posisi telengkup, maupun
338 Te x tbo o k o f Fo re ns ic Me dicine and To x ico lo g y
13,16
posisi lainnya.
the deepest. Ecchymosis
the groove are rare. Ecch
significance but it is importa
it is antemortem or postm
haemorrhage are stro
suspension taking place d
Po s itio n o f lig ature
ligature mark is present abo
in 15% at the level and in
the thyroid cartilage (comm
The width of the groove is
than the width of the ligatu
pattern may be seen but w
mark is less clear. After d
marked (Figs 23.3 to 23.4)
visible mark due to bea
intervening between the lig
neck. Loop of soft materia

11
Gambar 2.8. Partial
Fig ure 23.2: Partial Hanging
hanging

Virtually all hangings are suicidal and in India,


it is quite popular method of suicide more common
amongst males. 15

Lig ature Mark


On the neck, it will be a furrow (ligature mark).
Berdasarkan letak jeratan, penggantungan dapat dibagi menjadi:9,11,16
1. Atypical hanging, bila titik penggantungan letaknya di samping, sehingga
posisi leher menjadi sangat miring (fleksi lateral), yang akan mengakibatkan
hambatan pada arteri carotis dan arteri vertebralis. Saat arteri terhambat,
korban segera tidak sadar.
2. Typical hanging, bila titik penggantungan ditemukan di daerah occipital dan
tekanan pada arteri carotis paling besar.
Penyebab Kematian pada Penggantungan /Hanging
Pada penggantungan, kematian dapat disebabkan oleh:17
1. Asfiksia9,11,12,18
Asfiksia dapat terjadi akibat tekanan pada vena jugularis sehingga
dapat menyebabkan kematian pada korban penggantungan. Mekanisme
kematian seperti ini kebanyakan dapat terjadi pada kasus-kasus
penggantungan bunuh diri. Tekanan yang diperlukan agar terjadinya
mekanisme ini tidak penting tetapi durasi lamanya tekanan yang diberikan
pada leher oleh tali yang menggantung korban yang menyebabkan
mekanisme tersebut penting.
Seperti yang diketahui, vena jugularis membawa darah dari otak
menuju jantung untuk sirkulasi. Pada penggantungan sering terjadi
penekanan di vena jugularis akibat tali yang menggantung korban. Tekanan
ini akan membuat sumbatan pada jalan yang dilewati darah dari otak untuk
kembali ke jantung. Obstruksi total maupun parsial secara perlahan dapat
menyebabkan kongesti pada pembuluh darah yang ada di otak. Darah akan
tetap mengalir dari jantung menuju otak namun darah dari otak tidak bisa
mengalir keluar. Akhirnya penumpukan terjadi pada pembuluh darah otak.
Keadaan ini menyebabkan ketersedian oksigen ke otak berkurang dan
korban selanjutnya tidak sadar. Akibatnya dapat terjadi depresi pada pusat
napas dan korban mati akibat asfiksia. Ketidak sadaran korban mengambil
waktu yang lama sebelum terjadinya depresi pusat napas. Pada mekanisme
ini, korban menunjukkan gejala sianosis. Wajah membiru dan bengkak.
Muncul bintik merah di wajah dan mata akibat dari pecahnya kapiler darah
dikarenakan tekanan yang lama.

16
2. Gangguan Sirkulasi Darah Otak9,19
Penekanan yang lebih kuat dan dalam merupakan penyebab obstruksi
arteri karotis. Secara anatomis, arteri karotis berada lebih profunda daripada
vena jugularis. Oleh karenanya, obstruksi arteri karotis akan jarang
ditemukan pada kasus bunuh diri dengan penggantungan. Biasanya korban
mati karena tekanan yang lebih besar, seperti dicekik ataupun pada kasus
penjeratan. Pada pemeriksaan dalam, juga ditemukan jejas pada jaringan
lunak di sekitar arteri carotis akibat tekanan yang besar tersebut. Tekanan ini
menyebabkan aliran darah yang menuju otak tersumbat. Suplai darah ke
otak yang sedikit akan menyebabkan korban tidak sadarkan diri dan
menyebabkan depresi pusat napas sehingga kematian dapat terjadi. Pada
mekanisme ini, hanya ditemukan wajah yang pucat dan sianosis tetapi tidak
ada peteki.
3. Refleks Vagal9,11,20
Refleks vagal (Carotid body reflex) dapat terjadi karena penekanan
pada ganglion saraf arteri carotis yang disesbabkan oleh tali yang
melingkari leher korban. Hal ini dapat memicu perlambatan denyut jantung.
Perlahan-perlahan terjadi aritmia jantung sehingga korban mati dengan
cardiac arrest. Namun mekanisme kematian seperti ini jarang didapatkan
karena untuk menimbulkan refleks karotis, tekanan langsung yang kuat
harus diberikan pada area khusus tempat carotid body berada. Hal ini sukar
dipastikan. Sebagai tambahan refleks karotis juga dapat dimunculkan
sekalipun tanpa adanya penggantungan.
4. Kerusakan Medulla Spinalis9,19,20
Fraktur vertebra servikal dapat menimbulkan kematian pada
penggantungan dengan mekanisme asfiksia atau dekapitasi. Hal ini biasa
terjadi pada hukuman gantung atau korban penggantungan yang dilepaskan
dari tempat yang tinggi. Sering terjadi fraktur atau cedera pada vertebra
cervical 1 dan cerical 2 (aksis dan atlas) atau lebih dikenal dengan sebutan
“hangman fracture”. Fraktur atau dislokasi vertebra cervical dapat menekan
medulla oblongata sehingga terjadi depresi pusat napas dan korban
meninggal karena henti napas.

17
Pemeriksaan Luar13
1. Tanda Penjeratan pada leher

Gambar 2.9. Tanda Jeratan pada Leher21

2. Kedalaman dari bekas penjeratan juga menunjukkan lamanya tubuh


tergantung, ketatnya jeratan, dan berat badan korban baik pada kasus
penggantungan komplit atau inkomplit.
3. Jika korban lama tergantung, ukuran leher menjadi semakin panjang.
4. Terdapat tanda- tanda asfiksia seperti muka pucat atau bisa bengkak, mata
menonjol keluar, perdarahan berupa peteki pada wajah dan pada
subkonjuntiva (Tardeou's spot pada conjuntiva bulbi dan palpebra).
5. Bila posisi tali di bawah cartilago thyroidea, maka lidah akan terlihat
menjulur ke luar dan berwarna lebih gelap sebagai akibat dari proses
pengeringan.
6. Air liur mengalir dari sudut bibir di bagian yang berlawanan dengan tempat
simpul tali. Keadaan ini merupakan cardinal sign penggantungan
antemortem.

18
Gambar 2.10. Saliva yang mengering di daerah pertengahan tubuh, salah
satu tanda penggantungan antemortem21

7. Lebam mayat, bila korban lama diturunkan dari gantungan, lebam mayat
didapati di kaki dan tangan bagian bawah utamanya pada ujung-ujung jari
tangan dan kaki. Namun jika mayat segera diturunkan, lebam mayat bisa
didapati di bagian depan atau belakang tubuh sesuai dengan letak tubuh
setelah diturunkan.
8. Posisi tangan biasanya dalam keadaan tergenggam.
9. Urin dan feses bisa keluar.
10. Pada pria, kadang penis tampak ereksi akibat terkumpulnya darah.
Pemeriksaan Dalam13
1. Jaringan yang berada di bawah jeratan berwarna putih, mengkilat dan
perabaan seperti perkamen akibat kekurangan darah, terutama jika mayat
tergantung lumayan lama. Pada jaringan di bawahnya mungkin tidak
terdapat cedera lainnya.
2. Platisma atau otot lain di sekitarnya mungkin memar atau ruptur pada
beberapa keadaan. Kerusakan otot ini akan lebih banyak tejadi pada kasus-
kasus penggantungan yang disertai tindakan kekerasan.
3. Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi
ataupun ruptur. Pada arteri carotis communis dapat dijumpai garis berwarna
merah (red line) pada tunica intima.
4. Fraktur tulang hyoid sering terjadi. Fraktur ini biasanya terdapat pada
penggantungan dimana korban dijatuhkan dengan tali pengantung yang
panjang sehingga tulang hyoid mengalami benturan dengan tulang vertebra.

19
Adanya efusi darah disekitar fraktur menunjukkan bahwa penggantungan
merupakan tindakan antemortem.
5. Fraktur kartilago tiroid merupakan kasus yang jarang terjadi.
6. Fraktur dua tulang vertebra cervicalis bagian superior. Fraktur ini sering
terjadi pada korban hukuman gantung.
7. Paru-paru mengalami edema dan kongesti serta dijumpai tanda Tardeou's
spot pada permukaan paru, jantung, dan otak.
8. Penumpukan darah terjadi pada bilik kanan jantung sedangkan bilik kiri
jantung kosong.

2) Manual Strangulation (Pencecikan)


Pencekikan adalah adanya tekanan pada leher dengan tangan sehingga
mengakibatkan dinding saluran napas bagian atas tertekan dan terjadi
penyempitan saluran napas akibatnya udara tidak dapat lewat. Pencekikan bisa
dilakukan menggunakan satu ataupun kedua tangan, bisa dilakukan dari arah
depan atau belakang. Tanda-tanda luar yang bisa ditemukan adalah abrasi dan
lebam di sekitar leher dan tepi leher, adanya luka pada setiap sisi daerah larynx
dan bawah rahang.18,20
Pada korban hidup dapat ditemukan tanda-tanda seperti lesi kulit superficial,
tanda-tanda traumatisme jaringan lunak, trauma laring, petekie kongestif pada
kulit wajah, konjungtiva, dan mukosa bucca, juga didapatkan tanda-tanda
hipoksia cerebral. Temuan superfisial pada kulit korban saja dapat terjadi pada
kasus trauma ringan di leher sementara cedera jaringan lunak, diwakili oleh
hematoma, pembengkakan dan bukti pada faring dan laring yang mencerminkan
traumatisasi yang lebih intens. Dalam strangulasi petekie pada kulit wajah dan
konjungtiva adalah hasil dari kongesti dengan persistensi arteri dan oklusi aliran
darah vena dan pecahnya kapiler di kulit.22
Harus dipertimbangkan, bahwa manual pencekikan adalah proses yang
sangat dinamis. Setiap korban dewasa yang sadar dan tidak cacat akan berjuang
dalam pembelaan yang akan memaksa pelaku untuk mengurangi
cengkeramannya dan untuk merebut korbannya berulang kali. Semua hal harus
dipertimbangkan. Kehadiran peteki yang menunjukkan kemungkinan periode

20
minimum 10 detik dari kompresi vena yang tidak terputus, harus dianggap
sebagai indikator kuat untuk serangan yang lama dan sengit. Nilai bukti yang
tinggi untuk tingkat keparahan kompresi leher harus dikaitkan dengan petekie
pada konjungtiva, permukaan mukosa, dan kulit wajah. Ini didukung oleh fakta,
bahwa petekie hampir selalu hadir dalam kasus-kasus fatal pencekikan manual.22
Selain pemeriksaan forensik, pemeriksaan klinis dan pencitraan radiologis
korban harus dipertimbangkan dan direkomendasikan dalam setiap kasus
intensitas pencekikan yang serius dan bukti traumatisme yang relevan pada leher
atau cedera terkait lainnya.22
Pada korban menininggal, mekanisme kematiannya yaitu tertutupnya jalan
napas dengan satu atau dua tangan menekan leher sehingga dapat menekan sisi-
sisi laring dan penutupan glotis. Bila tangan ditekan pada bagian depan laring,
maka lumen bisa tertutup akibat menyempitnya diameter anteroposterior, hal ini
dapat menyebabkan terjadinya asfiksia. Selain itu, mekanisme yang lain adalah
refleks vagal, terjadi sebagai akibat dari rangsangan pada reseptor nervus vagus
pada corpus caroticus (carotid body) yang dipercabangan arteri carotis interna
dan externa yang akan menimbulkan bradikardi juga hipotensi. Pencekikan
merupakan cara membunuh yang dipakai apabila korban dianggap lebih lemah
daripada pelaku, bias juga pada anak-anak atau lanjut usia. Ciri khas pada
pemeriksaan kasus pencekikan adalah ditemukannya tanda-tanda kekerasan pada
leher berupa luka lecet kecil, dangkal, berbentuk bulan sabit akibat penekanan
kuku jari pencekik. Distribusi luka tersebut dapat diketahui apakah korban
dicekik dengan tangan kanan atau dengan tangan kiri, atau pun keduanya.18,20
Patahnya os hyoid dan cornu superior cartilago thyroid yang unilateral lebih
sering terjadi pada kasus pencekikan, namun semua tergantung pada besarnya
tenaga yang dipergunakan saat pencekikan. Patah tulang lidah disertai resapan
darah pada jaringan ikat dan otot di sekitarnya, merupakan petunjuk yang
hampir pasti korban mati dicekik. Luka-luka memar di kulit bekas tekanan jari
juga bisa menjadi informasi penting untuk menentukan posisi tangan pada saat
mencekik. Memar atau perdarahan otot-otot dalam leher dapat terjadi karena
kekerasan langsung. Misalnya perdarahan pada otot sternokleidomastoideus
dapat disebabkan oleh kontraksiyang kuat otot tersebut saat korban melawan.11,18

21
Dalam kasus-kasus pencekikan manual yang parah dan mengancam jiwa,
didapatkan dua tanda utama yaitu perdarahan subkutan dan intramuskuler.
Secara umum, karena peristiwa dinamis yang terjadi antara korban dan pelaku,
cedera lebih parah daripada yang bunuh diri, yang menghasilkan temuan yang
lebih terlihat pada pencitraan dan saat otopsi. Perdarahan subkutan diungkapkan
oleh MSCT dan MRI secara keseluruhan dari kasus strangulasi manual kami,
sementara dalam satu kasus perdarahan kecil otot sternohyoid intramuskuler
tidak terdeteksi oleh pencitraan. Kongesti dan perdarahan dapat ditemukan pada
kelenjar saliva. Fraktur (tulang/kartilago) juga ditemukan pada laring.
Pendarahan makroskopis dan mikroskopis kelenjar getah bening leher hadir di
semua kasus strangulasi manual. Tanda ini hampir tidak dikenal dalam
kedokteran forensik, namun kehadirannya dalam semua kasus strangulasi
manual kami dapat mengindikasikan bahwa perdarahan kelenjar getah bening
adalah tanda diagnostik spesifik yang menunjukkan strangulasi manual sebagai
patomekanisme.23
Bila kematian disebabkan oleh asfiksia, maka akan ditemukan tanda-tanda
asfiksia. Tetapi bila mekanisme kematian karena inhibisi vagal (sudden cardiac
arrest), kelainan hanya terbatas pada daerah leher tanpa disertai tanda-tanda
asfiksia, sehingga tidak ada tekanan intravaskuler yang dapat menimbulkan
bendungan, tidak ada perdarahan petechial, tidak ada edema pulmoner dan pada
otot-otot leher bagian dalam hampir tidak ditemukan perdarahan. Diagnosis
kematian akibat refleks vagal hanya dapat dibuat per-eksklusionam.18,20,24
Pada pemeriksaan jenazah ditemukan perbendungan pada muka dan kepala
karena turut tertekan oleh pembuluh darah vena dan arteri yang superfisial,
sedangkan arteri vertebralis tidak terganggu. Tanda-tanda kekerasan pada leher
ditemukan dengan distribusi berbeda-beda, tergantung dengan cara mencekik.
Luka-luka lecet pada kulit berupa luka lecet kecil dan dangkal, berbentuk bulan
sabit karena penekanan oleh kuku jari.19

22
Gambar 2.11. Tanda Penekanan di Leher pada Kasus Pencekikan9

Luka-luka memar pada kulit, bekas tekanan jari merupakan petunjuk


berharga untuk menentukan bagaimana posisi tangan saat mencekik. Akan
menyulitkan bila terdapat memar subkutan luas, sedangkan pada permukaan
kulit hanya tampak memar berbintik. Memar atau pendarahan pada otot-otot
bagian dalam leher dapat terjadi akibat kekerasan langsung.18,20

Gambar 2.12. Kongesti sklera pada kasus Pencekikan9

3) Ligature Strangulation (Penjeratan)


Penjeratan atau ligature strangulation adalah penekanan oleh benda asing
yang dapat berupa tali, kawat, kabel, stagen, ikat pinggang, rantai, kaos kaki, dan
sebagainya, yang melingkari atau mengikat leher yang makin lama makin kuat
sehingga saluran pernapasan akan tertutup. Berbeda dengan gantung diri yang
biasanya merupakan suicide (bunuh diri), penjeratan biasanya adalah
pembunuhan.11

23
Mekanisme kematian akibat asfiksia atau reflex vasovagal (perangsangan
reseptor pada carotid body). Pada penjeratan, tekanan pada leher menggunakan
benda lain dengan memberi kekuatan selain dari pada berat badan. Penjeratan
dapat merupakan akibat dari pembunuhan, bunuh diri, namun pada kecelakaan
jarang didapatkan. Korban perempuan lebih dominan dari laki-laki pada kasus
penjeratan.9,11
Kematian pada asfiksia merupakan akibat dari anoksia serebral, vagal
inhibisi dan fraktur dislokasi dari vertebra servikalis. Sejauh ini, penyebab
tersering dari asfiksia adalah adalah terjadinya elevasi pada laring dan lidah,
yang akan menutup jalan nafas. Apabila penekanan sangat kuat dari penyerang,
maka trakea dan laring akan mungkin terjadi sumbatan sehingga mengakibatkan
asfiksia. Anoksia serebral akibat kompresi vaskular leher dan jika penekanan
yang diberikan moderate akan menyebabkan kompresi vaskular yang berakibat
pada kongesti. Reflex vagal bisa menyebabkan stimulasi dan depresi pada
jantung yang dapat menyebabkan kematian. Fraktur dan dislokasi pada vertebra
di leher sangat jarang ditemukan, tetapi mungkin terjadi pada kasus dengan
penyerangan yang kuat namun perlawanan yang lemah dari korban.9,11,25
Ketika tekanan pada leher berkelanjutan, tambahan fitur pencekikan dapat
mencakup 'tanda klasik asfiksia', dimana pada wajah didapatkan peteki. Pada
korban hidup, evaluasi klinis dapat mengungkapkan adanya nyeri saat menelan,
perunahan suara menjadi serak, stridor, nyeri leher, kepala, atau punggung.
Meskipun petekie konjungtiva dan wajah dapat terlihat pada penggantungan dan
strangulasi, hal tersebut lebih umum dan menonjol dalam penjeratan. Ketika
vena jugularis mengalami obstruksi namun arteri karotis tetap paten, tekanan
akan menumpuk di venula cephalic dan kapiler (obstruksi vena jugularis
proksimal), sehingga peteki dapat ditemukan.9,11,25
Post Mortem
 Pemeriksaan Luar
Tanda pengikat terlihat jelas menekan pada bagian tengah atau bawah dari
bagian leher. Tanda pengikat kemungkinan mengelilingi leher sepenuhnya
namun yang paling nampak adalah bagian depan dan samping dari leher.

24
Pengikat tersebut bisa melintang dan juga bisa miring jika korban telah di jerat
oleh pelaku dalam beberapa jarak.9,11

Gambar 2.13. Tanda pengikat pada kasus penjeratan9

 Pemeriksaan Dalam
Perdarahan dapat kita dilihat pada otot dan jaringan dibawah tanda
pengikat. Apabila kekuatan penyerang lebih kuat, maka air mata akan kita
temukan. Fraktur hyoid dan tulang rawan tiroid juga mungkin ditemukan. Hyoid
fraktur bisa terlihat kedalam sebagai fraktur kompresi yang nampak bilateral jika
kompresi dari luar seperti penggantungan yang memberikan fraktur kompresi
pada bagian anteroposterior bagian atas yang makin besar pada tanduk
persimpangan tubuh. Fraktur avulsi dapat didapatkan karena otot yang sangat
aktif tanpa ada cedera langsung pada tulang hyoid yang disebut “tug fraktur”.9,11

4) Smothering (Pembekapan)
Smothering adalah kematian yang disebabkan oleh adanya obstruksi
mekanis pada mulut dan hidung sehingga bisa mencegah proses pernapasan.
Biasanya pembekapan dilakukan dengan menggunakan tangan (tangan sendiri
maupun orang lain), kain, lembaran kedap air atau namun terkadang zat seperti

25
pasir, lumpur, biji-bijian atau tepung juga digunkan untuk menutup jalan napas.
Dalam pembekapan, kematian dapat terjadi baik oleh bahan oklusi yang
menekan lubang wajah, atau dengan berat pasif kepala yang menekan hidung
dan mulut hingga mengalami oklusi.9,26

Pembekapan bisa ditemukan pada kasus bunuh diri atau pembunuhan.


Pembunuhan yang disengaja terlihat biasanya pada orang tua dan pada bayi,
dimana biasanya fizikal pelaku lebih kuat dari korban. Kasus bunuh diri dengan
cara ini sering terjadi pada pasien pskiatri. Pembekapan bisa juga terjadi dengan
tidak sengaja terutama pada bayi dengan posisi tidur menutupi jalan nafas
sehingga menyebabkan asfiksia dan akhirnya kematian.9,12,26
Antemortem
Pada umumnya, agak sulit untuk melakukan identifikasi karena tidak ada
temuan yang spesifik yang bisa membuktikan kasus pembekapan. Tampakan
antemortem, terkadang pada pemeriksaan fisik didapatkan luka lecet pada area
pipi, mulut, hidung dan dagu (terutama sekiranya pembekapan dilakukan dengan
tangan), luka intraoral (termasuk memar dan laserasi pada bagian dalam bibir
atau memar pada gusi pada pasien yang tidak memiliki atau hanya memiliki
sedikit gigi) dan diseksi jaringan lunak wajah dapat memperlihatkan memar
subkutan disekitar mulut dan hidung. Retensi dari objek yang digunakan untuk
membekap korban yang bertahan dapat memberikan nilai bukti. Saliva,
misalnya, dapat diidentifikasi pada bantal yang digunakan pada penyerangan,
dan dikuatkan dengan pencocokan DNA.9,12,26
Postmortem
Pemeriksaan Luar12
1. Tidak ada tanda-tanda eksternal apabila obstruksi tersebut terjadi karena
beberapa bahan yang lembut seperti pakaian tidur, bantal, payudara ibu atau
bahkan tangan pelaku yang digunakan dengan lembut.
2. Terdapat luka lecet goresan, bekas kuku jari, laserasi pada bagian lunak
wajah korban.
3. Bisa terdapat memar dan laserasi pada bibir, gusi dan lidah.
4. Bekas penekanan pada wajah jarang dapat dibedakan dari perubahan postural
postmortem, di mana pucat circumoral dan circumnasal hanya disebabkan

26
oleh tekanan pasif kepala setelah kematian, yang mencegah hipostasis
gravitasi memasuki area ini. Bahkan ketika kepala ditemukan pada posisi
supine, variasi warna masih umum ditemukan pada wajah, dengan bercak
putih dan merah muda yang kontras, yang biasanya berubah seiring
memanjangnya interval postmortem.
5. Jika jika ditemukan memar atau lecet di pipi, sekitar mulut, bibir atau lesi di
dalam bibir atau mulut, cukup rawan jika menafsirkan variasi warna saja,
dari perubahan darah di kapiler wajah, yang biasanya merupakan fenomena
postmortem.

Gambar 2.14. Luka laserasi yang mengalami kontusi pada sisi dalam bibir
pada kasus pembekapan12

5) Chocking (Penyumbatan)
Salah satu penyebab tersering pada kasus choking (tersedak) adalah
masuknya makanan pada saluran napas. Gejala choking yang berat seperti batuk,
gangguan pernapasan serta sianosis bisa terjadi apabila makanan masuk ke
laring pada saat menelan. Gejala ini bersifat fatal dan dapat menyebabkan
kematian kecuali jika obstruksi segera tertangani dengan batuk atau dengan
penanganan tertentu yang cepat. Namun jika makanan yang tertelan ke laring
tersebut cukup besar untuk menyumbat laring sepenuhnya, maka bukan hanya
pernapasan yang terganggu tetapi juga kemampuan bicara dan batuk. Kematian
bisa terjadi dengan cepat dan dan dengan proses yang cepat, dan penyebab
kematian hanya bisa terungkap pada autopsi. Inilah yang disebut dengan café-
coronary.5,9

27
Gambar 2.15. Impaksi Makanan pada Laring (Cafe coronary)2

Penyebab Kematian pada Kasus Chocking12


1. Asfiksia
Asfiksia merupakan penyebab kematian tersering pada choking. Hal ini
dapat dibuktikan dengan temuan bukti-bukti yang menunjukkan adanya
hypoxia akibat obstruksi jalan nafas yang terjadi.
2. Inhibisi vagal
Terdapat juga beberapa kasus di mana chocking menyebabkan kematian
mendadak akibat kegagalan dari reflex neurogenic kardiovaskular. Pada
kasus-kasus seperti ini, penyebab kematiannya adalah inhibisi vagal.
Diagnosis sulit ditetapkan karena tidak adanya tanda-tanda yang jelas
terutama pada bayi dengan jumlah kecil bahan asing di saluran pernapasan.
Diagnosis lebih mudah apabila benda asing penyebab obstruksi berukuran
besar, tetapi bahkan benda asing yang kecil dapat menjadi penyebab inhibisi
vagal.
3. Spasme laring
Spasme laring dapat terjadi karena masuknya benda asing yang
mengiritasi pada jalan napas. Hal ini dapat terjadi ketika asam lambung
secara tiba-tiba masuk ke jalan napas dan menyebabkan spasme laring.

28
Temuan Pemeriksaan Jenazah12
1. Tampakan antemortem: terkadang pada pemeriksaan fisik didapatkan
sumbatan benda asing atau makanan yang te-regurgitasi pada jalan napas.
2. Semua organ dapat mengalami kongesti.
3. Perdaharahan peteki yang disebut tardieu spot.

6) Asfiksia Posisional
Asfiksia posisional adalah suatu kondisi fatal yang disebabkan oleh posisi
dari seseorang individu sehingga menyebbkan proses pernafasan dan ventilasi
terganggu. Asfiksia posisional sering berhubungan dengan kasus kecelakaan,
konsumsi alkohol atau intoksikasi obat. Pada kasus asfiksia positional, biasanya
individu berada dalam ruang sempit sehingga menyulitkan individu bernafas dan
seterusnya bisa menyebabkan kematian.20,27
Terdapat beberapa mekanisme asfiksia posisional. Posisi inversi seluruh
tubuh atau tubuh bagian atas bisa meningkatkan tekanan intratoraks and
kompresi vena kava inferior. Hal ini akhirnya menyebabkan proses respirasi dan
sirkulasi normal terganggu. Proses respirasi yang normal tergantung pada
beberapa komponen penting yaitu jalan napas yang paten, permukaan untuk
pertukaran gas yang intak dan kerja normal dari aparatus ventilator. Kegagalan
pernapasan terjadi ketika satu dari semua komponen di atas terganggu.
Diagnosis asfiksia posisional ditegakkan berdasarkan 3 kriteria: 28
a. Posisi tubuh harus menghalangi pertukaran gas yang normal.
b. Posisi tubuh tersebut menjadi mustahil untuk bergerak ke posisi lain.
c. Penyebab lain dari kematian alami atau kekerasan harus disingkirkan.

Gambar 2.16. Asfiksia postural (posisional) pada kasus intoksikasi21

29
7) Asfiksia Traumatik
Asifiksia traumatik terjadi sebagai akibat adanya kompresi langsung yang
cukup kuat pada dinding dada atau abdomen sehingga mengganggu proses
pernafasan. Beban yang mengompresi dinding dada biasanya lebih berat dari
berat pasien. Kebiasaannya asfiksia traumatika terjadi akibat kecelakaan.10,12,24
Penyebab Kematian pada Kasus Asfiksia Traumatik
Mekanisme asfiksia traumatik berupa kompresi berlebihan atau hancurnya
dinding dada, perut bagian atas, atau pungggung yang menghambat pergerakan
rongga pernapasan dan akhirnya mengganggu proses pernafasan. Biasanya
beban pada dada melebihi 1000 kg. Namun beberapa litelatur menyebutkan
kompresi dapat lebih dari 5 kali dari berat korban. Durasi antara kompresi dada
sampai menyebabkan kematian biasanya tergantung dari berat beban. Seseorang
dapat mati dalam beberapa detik apabila bebannya sangat berat, namun biasanya
sekitar 2 sampai 5 menit sampai terjadi kematian. Beban yang mengompresi
dada menyebabkan gangguan pergerakan otot primer respirasi yaitu otot
intercostal dan diafragma.19,27
Kompresi berat yang tiba-tiba pada dinding dada dapat meningkatkan
tekanan intratoraks, menghalangi Aliran darah dari vena cava superior ke atrium
kanan. Drainase vena pada area kepala dan leher adalah melalui vena jugularis
interna dan vena jugularis eksterna. Vena jugularis eksterna merupakan vena
pada jaringan lunak superfisial kulit kepala dan leher. Meskipun Vena jugularis
eksterna memiliki katup, mereka tidak dapat menahan aliran balik lebih dari 45
mmHg (tekanan maksimal selama resusitasi 40 mmHg). Sebaliknya, vena
jugularis interna, yang mendrainase jalan napas dan otak bagian atas, lebih
resisten terhadap kenaikan tekanan di rongga kepala. Tulang kepala bersifat rigid
dan kapasitansi sistem sinus vena melindungi otak dari pendarahan
intraparenchymal. Kompresi dari dinding dada tidak cukup untuk menaikkan
tekanan vena di kepala dan leher untuk memberikan gejala khas. Respon rasa
takut contohnya saat pasien menarik nafas dan menahannya saat kejadiannya
menimpa pasien dapat dilihat dari penutupan glottis dan dan terjadi kenaikan
tekanan dinding dada.27

30
Hasil Temuan Pemeriksaan Luar
Masque Ecchymotique merupakan tanda klasik dimana terjadinya perubahan
warna wajah dan leher menjadi biru kemrahan atau biru gelap. Bisa juga terjadi
pada bagian dada, punggung atas maupun lengan dan disertai peteki atau
ekimosis lainnya. Perubahan warna ini tidak terjadi pada bagian yang tertindis
atau tertekan dengan beban. 25,27
Hasil Temuan Pemeriksaan Dalam25,27
 Purtchers’s Retinopathy (perdarahan retina)
 Petekia/ekimosis pada mulut hidung atau telinga
 Edema pada saluran nafas atas
 Fraktur klavikula, tulang dada atau tulang tengkorak (jarang)
 Kontusio, laserasi, atau kongesti pada organ dalaman seperti paru, jantung
dan organ intraabdominal

Gambar 2.17. Asfiksia traumatika pada pekerja ladang yang terjepit mesin27

31
BAB III
KESIMPULAN

1. Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan


pertukaran udara pernapasan yang mengakibatkan hipoksia dan hiperkapni.
2. Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dibedakan menjadi 4
fase, yaitu: fase dispneu, fase konvulsi, fase apneu dan fase akhir.
3. Mekanisme kematian pada asfiksia dapat terjadi akibat hipoksia jaringan dan
mekanisme kompensasi tubuh
4. Pada pemeriksaan luar jenazah, dapat ditemukan tanda asfiksia, yaitu sianosis,
konesti, nuih halus pada hidung dan mulut, dan warna lebam mayat berwarna
merah-kebiruan gelap
5. Pada pemeriksaan dalam jenazah, dapat ditemukan tanda asfiksia, antara lain
darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, busa halus di saluran pernapasan,
bendungan pada seluruh organ tubuh, peteki, edema pulmoner, dan kelainan yang
berhubungan dengan sebab kematian.
6. Klasifikasi asfiksia mekanik, yaitu penggantungan, penjeratan, pencekikan,
penyumbatan, pembekapan, asfiksia traumatik,dan asfiksia posisional
7. Mengetahui gambaran asfiksia, (postmortem) smempunyai arti penting yang
sangat terutama dalam proses penyidikan. Untuk itu, sudah selayaknya seorang
dokter umum perlu mengetahui asfiksia (mekanik) agar dapat mendiagnosa dan
merujuk dengan tepat .

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Sauvageau A, Boghossian E. Classification of Asphyxia: The need for


Standardization. Journal of Forensic Sciences. 2010.
2. Jones R. Manlove J. Simpson’s Forensic Medicine. 13th Edition. Hodder &
Stoughton Ltd. 2011. 174- 79
3. Knight B, Saukko P. Knight’s Forensic Pathology 4th Edition. CRC Press.
Taylor & Francis Group. 2016. 399-412
4. Murthy et al. Prospective Study of Mechanical Asphyxial Deaths. International
Journal of Contemporary Medical Research. 2018.
5. Vij K. Textbook of Forensic Medicine and Toxicology. Principles and Practice.
5th Edition. 2011
6. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi sebelas. Jakarta:
EGC. 2008. p. 495.
7. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Siste. Edisi enam. Jakarta:
EGC. 2011. 497-99
8. Price Sylvia A, Wilson Lorraine. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi ke-6. Jakarta: EGC, 2005. p. 737-49
9. Shepherd R. Simpson's Forensic Medicine. 12th ed. London: Arnold; 2003. p.
94-101.
10. Abdul M. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Binapura Aksara
Publisher. 2002.
11. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Mun'im TWA, Sidhi, Hertian S, et all.
Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi pertama. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997. p. 55-70.
12. Dikshit PC. Textbook of Forensic Medicine and Toxicology. New Delhi: Peepee
Publishers and Distributors. p. 334-65.
13. Lubis AK, Nasution GB, Ritonga M. Gantung Diri (Hanging). Majalah
Kedokteran Nusantara. 45(2): 2012
14. Haris MS, Rohmah IN, Miranti IP. Perbandingan Gambaran Histopatologi
Kulit Leher Tikus Wistar yang DigantungDengan Pembedaan Periode
Postmortem. Jurnal Kedokteran Diponegoro. Semarang. 313-18:2019

33
15. Nasution IS, Tanzila RA, Irfanuddin. Gambaran Tanda Kardinal Asfiksia Pada
Kasus Kematian Gantungn Diri di Departemen Forensik RSU Dr. Muhammad
Hoesin Palembang Periode Tahun 2011-2012. Syifa Medika. Palembang: 2014.
P. 63-68
16. Novita Ghita. Tanda Kardinal Asfiksia yang Ditemukan Pada Visum et
Repertum Kasus Gantung Diri di Departemen Forensik RSUP Dr. Muhammad
Hoesin Palembang Pada Tahun 2011-2012. Palembang: 2014
17. Purwanti T, Apuranto H. Kasus Hanging Dengan Posisi Duduk Bersandar di
Kursi Sofa. Jurnal Kedokteran Forensik Indonesia. 16(2);2014.
18. Aflani I, Nirmalasri N, dan Arizal A H, Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal. Hal 153. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. 2017.
19. Dolinak D, Matshes EW, Lew EO. Forensic Pathology - Principles and
Practice. Elsevier Academic Press; 2005. p. 201-34.
20. DiMaio VJ, DiMaio Dominick. Forensic Pathology. 2nd ed. USA: CRC Press;
2001. p. 246-73, 416-23.
21. Shetty SK, Rastogi P, Kanchan T, Padubidri J, Babu YPR. Atlas Forensic
Pathology. 1st Edition. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers. 2014.
22. Plattner T, Bolliger S, Zollinger U. Forensic Assessment of Survived
Strangulation. Elsevier. Swirzerland: 2004.
23. Yen Kathrin, Thali Michael, Aghayev Emin et al. Strangulation Signs: Initial
Correlation of MRI, MSCT, and Forensic Neck Finding. Journal of magnetic
Resonances Imaging. Switzerland. 2005. P. 501-10.
24. McEwen, BJ. Nondrowning Asphyxia in veterinary forensic pathology 53(5),
Veterinary Pathology. 2016. pg 1037-1048.
25. Richards, CE et al. A review trauma. Asphyxiation. 7(1), pg 37-45. 2005.
26. Cao Z et al. 2018. Forensic Investigation of Atypical Asphysia. China University
of Political Science and Law. Beijing, China.
27. Shkrum MJ, Ramsay DA. Forensic Pathology of Trauma. New Jersey: Humana
Press Inc.; 2007.
28. Chmieliauskas S, dkk. Sudden Death from Potitional Asphyxia: A Case Report.
Md Journal. 97(24). 2018.

34

Anda mungkin juga menyukai