DATE SIGNATURE
ASFIKSIA MEKANIK
OLEH:
Supervisor Pembimbing
dr. Gunawan Arsyadi, Sp. PA(K), Sp.F
Mengetahui,
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya
oleh tuntunan, kemurahan serta berkat-Nya kami mampu merampungkan penulisan
tugas akhir ilmiah pada bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin dengan judul referat “Asfiksia Mekanik”.
Penulisan makalah tentang Asfiksia Mekanik ini dapat menjadi bacaan yang
memberikan pengetahuan tentang bagaimana prosedur yang dilakukan untuk
mengidentifikasi korban meninggal dengan asfiksia mekanik. Dengan membahas
mengenai asfiksia mekanik maka diharapkan dapat memberikan gambaran mengenani
definisi, gejala dan tanda, dan klasifikasi asfiksia mekanik.
Ungkapan terima kasih kami ucapkan bagi dr. Gunawan Arsyadi, Sp. PA(K),
Sp.F, selaku pembimbng referat serta konsulen baca (presentasi), yang meski diliputi
segala kesibukannya telah dengan tulus menyempatkan waktu untuk berbagi ilmu
pengetahuan dalam bidang Forensik dan Medikolegal bersama kami, serta seluruh rekan
sejawat yang tengah menjalani Kepaniteraan Klinik di Bagian Kedokteran Forensik dan
Medikolegal.
Kami sungguh menyadari keterbatasan yang kami miliki sebagai manusia,
menjadikan referat ini masih jauh dari sempurna, namun terselip sebuah harapan agar
setidaknya dapat menambah pengetahuan pembaca mengenai asfiksia mekanik akibat
penutupan saluran pernapasan bagian atas. Sebab itu, kami menerima segala masukan
baik kritik maupun saran yang dapat membantu penyempurnaan tulisan ilmiah ini.
Akhirnya, penulisan referat ini kami dedikasikan bagi setia guru pada Bagian
Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin Makassar.
Penulis
iii
iv
Definisi Etiologi Anatomi dan Fisiologi Patomekanisme Gejala dan
Asfiksia Asfiksia Saluran Pernapasan Asfiksia Tanda Asfiksia
Asfiksia Mekanik
KERANGKA KONSEP
Referat ini kami buat dengan mengambil dan menambahkan pembahasan dari Referat
yang dibuat oleh:
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................. ii
KATA PENGANTAR........................................................................................ iii
KERANGKA KONSEP...................................................................................... iv
DISCLAIMER.................................................................................................... v
DAFTAR ISI....................................................................................................... vi
SKDI................................................................................................................... vii
BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................. 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 2
DEFINISI ASFIKSIA........................................................................... 2
ETIOLOGI ASFIKSIA......................................................................... 3
ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM PERNAPASAN................... 4
PATOFISIOLOGI ASFIKSIA.............................................................. 7
GEJALA DAN TANDA ASFIKSIA.................................................... 9
KLASIFIKASI ASFIKSIA MEKANIK............................................... 13
1) HANGING (PENJERATAN) .......................................................... 13
2) MANUAL STRANGULATION (PENCEKIKAN) ........................ 20
3) LIGATURE STRANGULATION (PENJERATAN) ..................... 23
4) SMOTHERING (PEMBEKAPAN) ................................................ 25
5) CHOCKING (PENYUMBATAN) .................................................. 27
6) ASFIKSIA POSISIONAL ............................................................... 29
7) ASFIKSIA TRAUMATIK .............................................................. 30
BAB III. KESIMPULAN.................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 33
vi
SKDI ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
Praktik kedokteran bukanlah suatu pekerjaan yang dapat dilakukan oleh siapa
saja, melainkan hanya boleh dilakukan oleh kelompok profesional kedokteran tertentu
yang memiliki kompetensi yang memenuhi standar tertentu, diberi kewenangan oleh
institusi yang berwenang di bidang itu dan bekerja sesuai dengan standar dan
profesionalisme yang ditetapkan oleh organisasi profesinya. Secara teoritis-konseptual,
antara masyarakat profesi dengan masyarakat umum terjadi suatu kontrak (mengacu
kepada doktrin social-contract), yang memberi masyarakat profesi hak untuk
melakukan self-regulating (otonomi profesi) dengan kewajiban memberikan jaminan
bahwa profesional yang berpraktek hanyalah profesional yang kompeten dan yang
melaksanakan praktek profesinya sesuai dengan standar. Sikap profesionalisme adalah
sikap yang bertanggungjawab, dalam arti sikap dan perilaku yang akuntabel kepada
masyarakat, baik masyarakat profesi maupun masyarakat luas (termasuk klien).
Beberapa ciri profesionalisme tersebut merupakan ciri profesi itu sendiri, seperti
kompetensi dan kewenangan yang selalu “sesuai dengan tempat dan waktu”, sikap yang
etis sesuai dengan etika profesinya, bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh
profesinya, dan khusus untuk profesi kesehatan ditambah dengan sikap altruis (rela
berkorban).
vii
Daftar SKDI (2019) Forensik dan Medikolegal
viii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
pencekikan), kompresi berlebihan pada dada dan dinding perut, terhentinya
gerakan respirasi secara primer yang menyebabkan kegagalan pernapasan
(keracunan narkotik, luka listrik), serta inhalasi karbon dioksida dan karbon
monoksida.5
2. Anaemic anoxia, disebabkan oleh karena menurunnya kemampuan darah
membawa oksigen, misalnya pada kasus keracunan akut akibat karbon
monoksida, klorat, dan nitrit.5
3. Histotoxic anoxia, terjadi karena adanya depresi pada proses oksidatif di
jaringan, misalnya pada kasus keracunan hydrocyanid acid.4
4. Stagnant anoxia, terjadi akibat insuffisiensi dari sirkulasi darah pada jaringan,
misalnya pada kasus syok traumatik, heat stroke, keracunan iritan dan korosif
akut.5
3
2.3 ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM PERNAPASAN
Secara anatomi, sistem pernapasan pada manusia dapat dibagi menjadi dua:6
a. Saluran napas bagian atas, yang terdiri atas hidung, faring, laring, dan trakea.
b. Saluran pernapasan bagian bawah yang terdiri atas bagian bawah trakea, dua
bronkus primer, dan paru-paru. Struktur ini terletak di rongga toraks.
Sistem respirasi mencakup saluran napas yang menuju paru, paru itu sendiri,
dan struktur-struktur thorax (dada) yang berperan menyebabkan aliran udara
masuk dan keluar paru melalui saluran napas. Saluran napas berbentuk tabung atau
pipa yang mengangkut udara antara atmosfer dan kantung udara (alveolus). Saluran
napas berawal dari saluran nasal (hidung) kemudian faring (tenggorokan) yang
berfungsi sebagai saluran bersama untuk sistem pernapasan dan pencernaan.7
Udara mengalir dari faring menuju laring atau kotak suara. Laring terdiri dari
rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot-otot dan mengandung
pita suara. Struktur trakea dan bronkus dianalogikan seperti sebuah pohon dan oleh
karena itu dinamakan pohon trakeobroncial. Tempat trakea bercabang menjadi
bronkus utama kiri dan kanan dikenal sebagai karina. Karina memiliki banyak saraf
dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk berat jika dirangsang. Bronkus
utama kiri dan kanan tidak simetris dimana bronkus utama kanan lebih pendek dan
lebih lebar dibandingkan yang kiri dan merupakan kelanjutan dari trakea yang
4
arahnya hampir vertikal. Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi
menjadi bronkus lobaris dan kemudian bronkus segmentalis. Percabangan ini
berlanjut terus menjadi bronkus yang ukurannya semakin kecil dan menjadi
bronkiolus terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli
(kantung udara). Seluruh saluran udara ke bawah sampai tingkat bronkiolus
terminalis disebut saluran penghantar udara karena fungsi utamanya adalah
menghantar udara ke tempat pertukaran gas di paru-paru.8
Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional
paru, yaitu tempat pertukaran gas. Alveolus (dalam kelompok sakus alveolaris
menyerupai anggur) yang dipisahkan dari alveolus sekitarnya oleh dinding tipis
yang disebut septum. Lubang kecil pada dinidng ini dinamakan pori-pori kohn.
Alveolus dilapisi oleh zat lipoprotein yang disebut surfaktan sehingga dapat
mengurangi tegangan permukaan dan mengurangi resistensi terhadapt
pengembangan saat inspirasi dan mencegah alveolus kolaps saat ekspirasi.8
Proses fisiologi pernapasan yaitu proses oksigen dipindahkan dari udara ke
dalam jaringan dan karbon dioksida dikeluarkan ke udara ekspirasi, dapat dibagi
menjadi tiga stadium, yaitu ventilasi, transportasi, dan respirasi sel atau respirasi
interna.8
a. Ventilasi
Udara bergerak masuk dan keluar paru karena adanya selisih tekanan yang
terdapat antara atmofer dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot pernapasan.
Selisih tekanan antara jalan napas dan atmosfer menyebabkan udara mengalir
kedalam paru sampai tekanan jalan napas pada akhir inspirasi sama dengan
tekanan atmosfer. Udara akan bergerak kedalam paru selama inspirasi bila
tekanan alveoli lebih rendah daripada tekanan atmosfer, dan udara keluar dari
paru selama ekspirasi bila tekanan alveolar lebih besar daripada tekanan
atmosfer.8
b. Transportasi
Stadium ini terdiri dari (1) difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru
(respirasi eksterna) dan antara darah sistemik dan sel-sel jaringan; (2) distribusi
darah dalam sirkulasi pulmonar dan distribusi udara dalam alveolus; (3) reaksi
kimia dan fisik dari oksigen dan karbon dioksida dengan darah.8
5
Difusi gas-gas melintasi membran kapiler yang tipis. Penggerak kekuatan
difusi gas melewati membrane alveolokapiler terdiri dari perbedaan tekanan
parsial antara darah dan rongga alveolar. Perbedaan tekanan parsial untuk difusi
oksigen relatif besar. Difusi karbon dioksida dari darah ke alveolus
membutuhkan perbedaan tekanan parsial yang lebih kecil daripada oksigen
karena karbon dioksida lebih dapat larut dalam lipid.8
Oksigen dapat diangkut dari paru-paru ke jaringan melalui dua cara, yaitu
secara fisik larut dalam plasma atau secara kimia berikatan dengan hemoglobin
(Hb) sebagai oksihemoglobin (oksiHb). Ikatan kimia oksigen dengan
hemoglobin ini bersifat reversibel dan jumlah sesungguhnya yang diangkut
dalam bentuk ini mempunyai hubungan non-linier dengan tekanan parsial
oksigen dalam darah arteri, yang ditentukan oleh jumlah oksigen yang secara
fisik larut dalam plasma darah. Selanjutnya jumlah oksigen mempunyai
hubungan langsung dengan tekanan parsial oksigen dalam alveolus. Jumlah
oksigen tergantung pada daya larut oksigen dalam plasma. Hanya sekitar 1%
dari jumlah oksigen total yang diangkut ke jaringan secara transport dengan cara
ini. Cara transport seperti ini tidak memadai untuk mempertahankan hidup
walaupun dalam keadaan istirahat sekalipun. Dalam keadaan tertentu (keracunan
karbon monoksida atau hemolisis massif dengan isufisiensi Hb) oksigen yang
cukup untuk mempertahankan hidup dapat diangkut dalam bentuk larutan fisik
dengan memberikan pasien oksigen bertekanan tinggi dari tekanan atmosfer.
Pada tingkat jaringan, oksigen akan melepaskan diri dari hemoglobin ke dalam
plasma dan berdifusi dari plasma ke sel-sel jaringan tubuh untuk memenuhi
kebutuhan jaringan yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan jaringan bervariasi,
namun sekitar 75% Hb masih berikatan dengan oksigen pada waktu Hb kembali
ke paru dalam bentuk darah vena campuran. Jadi hanya sekitar 25% oksigen
dalam darah arteri yang digunakan untuk keperluan jaringan. Hemoglobin yang
telah melepaskan oksigen pada tingkat jaringan disebut Hb tereduksi. Hb
tereduksi berwarna ungu dan menyebabkan warna kebiruan pada darah vena.8
Transport karbon dioksida dari jaringan ke paru untuk dibuang dilakukan
dengan tiga cara. Sekitar 10% karbon dioksida secara fisik larut dalam plasma,
karena tidak seperti oksigen, karbon dioksida mudah larut dalam plasma. Sekitar
6
20% karbon dioksida berikatan dengan gugusan amino pada Hb
(karbaminohemoglobin) dalam eritrosit, dan sekitar 70% diangkut dalam bentuk
bikarbonat plasma.8
7
akan digantikan oleh jaringan glial. Akson yang rusak akan mengalami
pertumbuhan (sprouting) pada kedua ujung yang terputus oleh jaringan parut
tersebut. Namun hal ini tidak mengakibatkan tersambungnya kembali akson
yang terputus karena terhalang oleh jaringan parut yang terdiri dari sel glia.
Sedangkan pada organ tubuh yang lain seperti jantung, paru-paru, hati, ginjal
dan yang lainnya, perubahan akibat kekurangan oksigen langsung atau primer
tidak jelas.11
b. Kematian pada mekanisme sekunder
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah
dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena
meningkat. Karena oksigen dalam darah terus berkurang dan tidak cukup
untuk kerja jantung maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung
dengan cepat. mekanisme ini bisa terjadi pada keadaan, seperti:11
- Penutupan mulut dan hidung (pembekapan)
- Obstruksi jalan nafas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan
dan korpus alienum dalam saluran nafas atau pada kasus tenggelam
karena cairan menghalangi udara masuk ke paru–paru
- Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan
(traumatic asphyxia)
- Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat
pernafasan, misalnya pada keracunan
8
2.5 GEJALA DAN TANDA ASFIKSIA
a. Gejala Asfiksia
Pada orang yang mengalami asfiksia, gejala yang ditemukan dapat
dibedakan dalam empat fase, yaitu dispnea, konvulsi, apnea dan final.
Pembagian ini penting secara prinsip karena dapat memberikan keterangan
yang jelas pada patofisiologi dari proses asfiksia. Mulai dari awal asfiksia
timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar
antara 3-5 menit.9,12
1. Fase Dispnea
Pada fase ini terjadi penurunan kadar oksigen pada sel darah merah
dan penimbunan karbon dioksida dalam plasma yang akan merangsang
pusat pernapasan di medula oblongata, sehingga aktivitas respiratori
meningkat, takikardi, tekanan darah meningkat dan mulai tampak tanda-
tanda sianosis terutama pada wajah dan tangan. Wajah cemas, bibir mulai
kebiruan dan mata menonjol.
2. Fase Konvulsi
Kadar karbon dioksida yang meningkat, menyebabkan perangsangan
terhadap susunan saraf pusat sehingga terjadi konvulsi (kejang), yang
awalnya berupa kejang klonik, lalu menjadi kejang tonik, dan akhirnya
menimbulkan kejang epistotonik. Pupil mengalami dilatasi, bradikardi
dan tekanan darah menurun. Efek ini berkaitan dengan paralisis pada
pusat saraf yang letaknya lebih tinggi. Peningkatan pelepasan
katekolamin dari medulla adrenal (biasanya pada kekurangan napas
dengan hiperkapnea), kesadaraan (blacking out) .
3. Fase Apnea
Pada fase apnea, pusat pernafasan mengalami depresi yang berlebihan,
sehingga pernapasan menjadi dangkal dan semakin memanjang, akhirnya
berhenti bersamaan dengan lumpuhnya organ vital, otot menjadi lemah,
hilangnya refleks, dilatasi pupil, tekanan darah menurun, relaksasi
sfingter dapat menyebabkan terjadi pengeluaran feses, urin dan sperma.
4. Fase Terminal
9
Pada fase terminal terjadi paralisis pusat pernapasan total. Pernafasan
berhenti setelah kontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher.
Jantung masih dapat memopa beberapa saat setelah apnea.
b. Tanda Kardinal Asfiksia
Pada kematian yang terjadi karena adanya penekanan pada daerah leher
dan pada obstruksi saluran pernapasan, dapat ditemukan tanda utama seperti:
sianosis, kongesti dan edema, darah yang lebih encer, dan Tardiu’s Spot
(Petechial Haemorrhage).3
c. Pemeriksaan Jenazah
Tanda-tanda asfiksia yang dapat ditemukan pada pemeriksaan luar
jenazah, yaitu:3,9,12
1. Sianosis
Sianosis berwarna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput
lendir yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut hemoglobin
tereduksi (Hb yang tidak berikatan dengan oksigen). Sianosis dapat
dengan mudah terlihat pada daerah ujung jari dan bibir di mana terdapat
pembuluh darah kapiler. Sianosis ini berarti keadaan mayat masih baru.
Sianosis merupakan perubahan postmortal sehingga tidak mempunyai
arti diagnostik jika pemeriksaan dilakukan setelah 24 jam postmortem.
2. Kongesti
Kongesti atau pembendungan yang sistemik dan kongesti pada paru
yang disertai dilatasi jantung kanan ialah ciri klasik pada kematian
karena asfiksia. Gambaran perbendungan pada mata berupa pelebaran
pembuluh darah konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase
dua. Akibatnya tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat
terutama dalam vena, venula dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat
merusak endotel kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis
sel akan pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan yang dinamakan
sebagai Tardieu’s spot. Keadaan ini mudah dilihat pada tempat yang
struktur jaringannya longgar (konjungtiva dan palpebra, epiglottis dan
jaringan di sekitarnya).
10
Gambar 2.4. Tardieu’s Spot9
3. Buih Halus
Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat
peningkatan aktivitas pernapasan pada fase satu yang disertai sekresi
selaput lendir saluran napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang
cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang kadang-kadang
bercampur darah akibat pecahnya kapiler. Kapiler yang lebih mudah
pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar, misalnya pada
konjungtiva bulbi, palpebral dan subserosa lain.
11
4. Warna Lebam Mayat Merah-Kebiruan Gelap
Warna lebam mayat merah kebiruan gelap ini terbentuk lebih cepat.
Distribusi lebam lebih luas akibat kadar karbon dioksida yang tinggi dan
akitivitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku dan
mudah mengalir.
12
6. Edema pulmonum atau pembengkakan paru-paru, tidak banyak berarti di
dalam kaitannya dengan kematian karena obstruksi saluran pernapasan.
Keadaan ini dapat terjadi pada berbagai macam keadaan, jadi tidak khas.
7. Kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti patahnya tulang
lidah secara langsung atau tidak langsung dan pendarahan faring
terutama pada bagian dorsal dari krikoid.
- Patahnya tulang lidah dapat terjadi melalui dua mekanisme. Pertama,
tekanan atau kompresi langsung dari arah lateral pada tulang lidah,
seperti halnya pada kasus pencekikan. Kedua melalui tekanan yang
tidak langsung, yaitu kearah bawah atau ke arah samping pada rawan
gondok, atau tekanan pada daerah antara tulang lidah dan rawan
gondok, hal ini yaitu patahnya tulang lidah secara tidak langsung
kemungkinan karena tulang lidah terfiksasi dengan kuat pada otot di
permukaan atas dan depan.
- Perdarahan faring pula merupakan trauma langsung bagian tersebut
dengan bagian depan dari tulang servikal. Perdarahan tersebut
dimungkinkan karena pleksus vena di daerah ini berdinding tipis,
sehingga bila terjadi kongesti hebat, pembuluh darah tersebut pecah
dan terjadi perdarahan.
13
sianosis, kongesti, dan edema, tetap cairnya darah dan perdarahan berbintik
(petechial heamorraghes).15
Berdasarkan aspek medikolegalnya, penggantungan dibagi menjadi:13
1. Suicide hanging, dapat dilakukan oleh wanita atau pria sama banyaknya dan
dapat terjadi pada seluruh lapisan usia. Biasanya kondisi di tempat kejadian
perkara, korban ditemukan dalam keadaan tenang di dalam ruang atau tempat
yang tersembunyi.
2. Homicide hanging, termasuk yang jarang dijumpai, hal ini baru dapat
dilakukan jika korbannya anak-anak ataupun dewasa yang kondisinya lebih
lemah, baik lemah atau menderita penyakit, dibawah pengaruh alcohol, obat
bius, atau korban sedang tidur.
3. Accidental hanging, pada kasus ini kejadiannya sangat jarang, biasanya
berhubungan dengan pekerjaan yang sering mempergunakan tali atau pada
anak-anak. Penggantungan yang tidak sengaja ini diklasifikasikan dalam dua
kelompok: yang terjadi sesewaktu bermain atau bekerja dan sewaktu
melampiaskan nafsu seksual yang menyimpang ”auto-erotic hanging”.
Kematian akibat tergantung sewaktu bermain umumnya pada anak-anak dan
tidak membutuhkan penyidikan yang sulit karena kasusnya yang sangat jelas.
Kematian yang terjadi sewaktu pelampiasan nafsu seksual yang menyimpang
memerlukan pemeriksaan yang teliti dan dalam sehingga dapat menguraikan
tali-tali yang dipakai, yang sering kali diikatkan pada banyak tempat, seperti
ikatan pada daerah genitalia, lengan, tungkai, leher dan mulut. Kematian
terjadi karena ikatan yang terlalu keras atau hentakkannya terlalu kuat
sehingga leher dapat terjerat.
Berdasarkan kekuatan konstriksi, penggantungan dapat dibagi menjadi
dua, yaitu:
1. Tergantung total (complete hanging), dimana kedua kaki tidak menyentuh
tanah dan seluruhnya dipengaruhi oleh berat badan korban.13
14
Gambar 2.7. Complete Hanging11
11
Gambar 2.8. Partial
Fig ure 23.2: Partial Hanging
hanging
16
2. Gangguan Sirkulasi Darah Otak9,19
Penekanan yang lebih kuat dan dalam merupakan penyebab obstruksi
arteri karotis. Secara anatomis, arteri karotis berada lebih profunda daripada
vena jugularis. Oleh karenanya, obstruksi arteri karotis akan jarang
ditemukan pada kasus bunuh diri dengan penggantungan. Biasanya korban
mati karena tekanan yang lebih besar, seperti dicekik ataupun pada kasus
penjeratan. Pada pemeriksaan dalam, juga ditemukan jejas pada jaringan
lunak di sekitar arteri carotis akibat tekanan yang besar tersebut. Tekanan ini
menyebabkan aliran darah yang menuju otak tersumbat. Suplai darah ke
otak yang sedikit akan menyebabkan korban tidak sadarkan diri dan
menyebabkan depresi pusat napas sehingga kematian dapat terjadi. Pada
mekanisme ini, hanya ditemukan wajah yang pucat dan sianosis tetapi tidak
ada peteki.
3. Refleks Vagal9,11,20
Refleks vagal (Carotid body reflex) dapat terjadi karena penekanan
pada ganglion saraf arteri carotis yang disesbabkan oleh tali yang
melingkari leher korban. Hal ini dapat memicu perlambatan denyut jantung.
Perlahan-perlahan terjadi aritmia jantung sehingga korban mati dengan
cardiac arrest. Namun mekanisme kematian seperti ini jarang didapatkan
karena untuk menimbulkan refleks karotis, tekanan langsung yang kuat
harus diberikan pada area khusus tempat carotid body berada. Hal ini sukar
dipastikan. Sebagai tambahan refleks karotis juga dapat dimunculkan
sekalipun tanpa adanya penggantungan.
4. Kerusakan Medulla Spinalis9,19,20
Fraktur vertebra servikal dapat menimbulkan kematian pada
penggantungan dengan mekanisme asfiksia atau dekapitasi. Hal ini biasa
terjadi pada hukuman gantung atau korban penggantungan yang dilepaskan
dari tempat yang tinggi. Sering terjadi fraktur atau cedera pada vertebra
cervical 1 dan cerical 2 (aksis dan atlas) atau lebih dikenal dengan sebutan
“hangman fracture”. Fraktur atau dislokasi vertebra cervical dapat menekan
medulla oblongata sehingga terjadi depresi pusat napas dan korban
meninggal karena henti napas.
17
Pemeriksaan Luar13
1. Tanda Penjeratan pada leher
18
Gambar 2.10. Saliva yang mengering di daerah pertengahan tubuh, salah
satu tanda penggantungan antemortem21
7. Lebam mayat, bila korban lama diturunkan dari gantungan, lebam mayat
didapati di kaki dan tangan bagian bawah utamanya pada ujung-ujung jari
tangan dan kaki. Namun jika mayat segera diturunkan, lebam mayat bisa
didapati di bagian depan atau belakang tubuh sesuai dengan letak tubuh
setelah diturunkan.
8. Posisi tangan biasanya dalam keadaan tergenggam.
9. Urin dan feses bisa keluar.
10. Pada pria, kadang penis tampak ereksi akibat terkumpulnya darah.
Pemeriksaan Dalam13
1. Jaringan yang berada di bawah jeratan berwarna putih, mengkilat dan
perabaan seperti perkamen akibat kekurangan darah, terutama jika mayat
tergantung lumayan lama. Pada jaringan di bawahnya mungkin tidak
terdapat cedera lainnya.
2. Platisma atau otot lain di sekitarnya mungkin memar atau ruptur pada
beberapa keadaan. Kerusakan otot ini akan lebih banyak tejadi pada kasus-
kasus penggantungan yang disertai tindakan kekerasan.
3. Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi
ataupun ruptur. Pada arteri carotis communis dapat dijumpai garis berwarna
merah (red line) pada tunica intima.
4. Fraktur tulang hyoid sering terjadi. Fraktur ini biasanya terdapat pada
penggantungan dimana korban dijatuhkan dengan tali pengantung yang
panjang sehingga tulang hyoid mengalami benturan dengan tulang vertebra.
19
Adanya efusi darah disekitar fraktur menunjukkan bahwa penggantungan
merupakan tindakan antemortem.
5. Fraktur kartilago tiroid merupakan kasus yang jarang terjadi.
6. Fraktur dua tulang vertebra cervicalis bagian superior. Fraktur ini sering
terjadi pada korban hukuman gantung.
7. Paru-paru mengalami edema dan kongesti serta dijumpai tanda Tardeou's
spot pada permukaan paru, jantung, dan otak.
8. Penumpukan darah terjadi pada bilik kanan jantung sedangkan bilik kiri
jantung kosong.
20
minimum 10 detik dari kompresi vena yang tidak terputus, harus dianggap
sebagai indikator kuat untuk serangan yang lama dan sengit. Nilai bukti yang
tinggi untuk tingkat keparahan kompresi leher harus dikaitkan dengan petekie
pada konjungtiva, permukaan mukosa, dan kulit wajah. Ini didukung oleh fakta,
bahwa petekie hampir selalu hadir dalam kasus-kasus fatal pencekikan manual.22
Selain pemeriksaan forensik, pemeriksaan klinis dan pencitraan radiologis
korban harus dipertimbangkan dan direkomendasikan dalam setiap kasus
intensitas pencekikan yang serius dan bukti traumatisme yang relevan pada leher
atau cedera terkait lainnya.22
Pada korban menininggal, mekanisme kematiannya yaitu tertutupnya jalan
napas dengan satu atau dua tangan menekan leher sehingga dapat menekan sisi-
sisi laring dan penutupan glotis. Bila tangan ditekan pada bagian depan laring,
maka lumen bisa tertutup akibat menyempitnya diameter anteroposterior, hal ini
dapat menyebabkan terjadinya asfiksia. Selain itu, mekanisme yang lain adalah
refleks vagal, terjadi sebagai akibat dari rangsangan pada reseptor nervus vagus
pada corpus caroticus (carotid body) yang dipercabangan arteri carotis interna
dan externa yang akan menimbulkan bradikardi juga hipotensi. Pencekikan
merupakan cara membunuh yang dipakai apabila korban dianggap lebih lemah
daripada pelaku, bias juga pada anak-anak atau lanjut usia. Ciri khas pada
pemeriksaan kasus pencekikan adalah ditemukannya tanda-tanda kekerasan pada
leher berupa luka lecet kecil, dangkal, berbentuk bulan sabit akibat penekanan
kuku jari pencekik. Distribusi luka tersebut dapat diketahui apakah korban
dicekik dengan tangan kanan atau dengan tangan kiri, atau pun keduanya.18,20
Patahnya os hyoid dan cornu superior cartilago thyroid yang unilateral lebih
sering terjadi pada kasus pencekikan, namun semua tergantung pada besarnya
tenaga yang dipergunakan saat pencekikan. Patah tulang lidah disertai resapan
darah pada jaringan ikat dan otot di sekitarnya, merupakan petunjuk yang
hampir pasti korban mati dicekik. Luka-luka memar di kulit bekas tekanan jari
juga bisa menjadi informasi penting untuk menentukan posisi tangan pada saat
mencekik. Memar atau perdarahan otot-otot dalam leher dapat terjadi karena
kekerasan langsung. Misalnya perdarahan pada otot sternokleidomastoideus
dapat disebabkan oleh kontraksiyang kuat otot tersebut saat korban melawan.11,18
21
Dalam kasus-kasus pencekikan manual yang parah dan mengancam jiwa,
didapatkan dua tanda utama yaitu perdarahan subkutan dan intramuskuler.
Secara umum, karena peristiwa dinamis yang terjadi antara korban dan pelaku,
cedera lebih parah daripada yang bunuh diri, yang menghasilkan temuan yang
lebih terlihat pada pencitraan dan saat otopsi. Perdarahan subkutan diungkapkan
oleh MSCT dan MRI secara keseluruhan dari kasus strangulasi manual kami,
sementara dalam satu kasus perdarahan kecil otot sternohyoid intramuskuler
tidak terdeteksi oleh pencitraan. Kongesti dan perdarahan dapat ditemukan pada
kelenjar saliva. Fraktur (tulang/kartilago) juga ditemukan pada laring.
Pendarahan makroskopis dan mikroskopis kelenjar getah bening leher hadir di
semua kasus strangulasi manual. Tanda ini hampir tidak dikenal dalam
kedokteran forensik, namun kehadirannya dalam semua kasus strangulasi
manual kami dapat mengindikasikan bahwa perdarahan kelenjar getah bening
adalah tanda diagnostik spesifik yang menunjukkan strangulasi manual sebagai
patomekanisme.23
Bila kematian disebabkan oleh asfiksia, maka akan ditemukan tanda-tanda
asfiksia. Tetapi bila mekanisme kematian karena inhibisi vagal (sudden cardiac
arrest), kelainan hanya terbatas pada daerah leher tanpa disertai tanda-tanda
asfiksia, sehingga tidak ada tekanan intravaskuler yang dapat menimbulkan
bendungan, tidak ada perdarahan petechial, tidak ada edema pulmoner dan pada
otot-otot leher bagian dalam hampir tidak ditemukan perdarahan. Diagnosis
kematian akibat refleks vagal hanya dapat dibuat per-eksklusionam.18,20,24
Pada pemeriksaan jenazah ditemukan perbendungan pada muka dan kepala
karena turut tertekan oleh pembuluh darah vena dan arteri yang superfisial,
sedangkan arteri vertebralis tidak terganggu. Tanda-tanda kekerasan pada leher
ditemukan dengan distribusi berbeda-beda, tergantung dengan cara mencekik.
Luka-luka lecet pada kulit berupa luka lecet kecil dan dangkal, berbentuk bulan
sabit karena penekanan oleh kuku jari.19
22
Gambar 2.11. Tanda Penekanan di Leher pada Kasus Pencekikan9
23
Mekanisme kematian akibat asfiksia atau reflex vasovagal (perangsangan
reseptor pada carotid body). Pada penjeratan, tekanan pada leher menggunakan
benda lain dengan memberi kekuatan selain dari pada berat badan. Penjeratan
dapat merupakan akibat dari pembunuhan, bunuh diri, namun pada kecelakaan
jarang didapatkan. Korban perempuan lebih dominan dari laki-laki pada kasus
penjeratan.9,11
Kematian pada asfiksia merupakan akibat dari anoksia serebral, vagal
inhibisi dan fraktur dislokasi dari vertebra servikalis. Sejauh ini, penyebab
tersering dari asfiksia adalah adalah terjadinya elevasi pada laring dan lidah,
yang akan menutup jalan nafas. Apabila penekanan sangat kuat dari penyerang,
maka trakea dan laring akan mungkin terjadi sumbatan sehingga mengakibatkan
asfiksia. Anoksia serebral akibat kompresi vaskular leher dan jika penekanan
yang diberikan moderate akan menyebabkan kompresi vaskular yang berakibat
pada kongesti. Reflex vagal bisa menyebabkan stimulasi dan depresi pada
jantung yang dapat menyebabkan kematian. Fraktur dan dislokasi pada vertebra
di leher sangat jarang ditemukan, tetapi mungkin terjadi pada kasus dengan
penyerangan yang kuat namun perlawanan yang lemah dari korban.9,11,25
Ketika tekanan pada leher berkelanjutan, tambahan fitur pencekikan dapat
mencakup 'tanda klasik asfiksia', dimana pada wajah didapatkan peteki. Pada
korban hidup, evaluasi klinis dapat mengungkapkan adanya nyeri saat menelan,
perunahan suara menjadi serak, stridor, nyeri leher, kepala, atau punggung.
Meskipun petekie konjungtiva dan wajah dapat terlihat pada penggantungan dan
strangulasi, hal tersebut lebih umum dan menonjol dalam penjeratan. Ketika
vena jugularis mengalami obstruksi namun arteri karotis tetap paten, tekanan
akan menumpuk di venula cephalic dan kapiler (obstruksi vena jugularis
proksimal), sehingga peteki dapat ditemukan.9,11,25
Post Mortem
Pemeriksaan Luar
Tanda pengikat terlihat jelas menekan pada bagian tengah atau bawah dari
bagian leher. Tanda pengikat kemungkinan mengelilingi leher sepenuhnya
namun yang paling nampak adalah bagian depan dan samping dari leher.
24
Pengikat tersebut bisa melintang dan juga bisa miring jika korban telah di jerat
oleh pelaku dalam beberapa jarak.9,11
Pemeriksaan Dalam
Perdarahan dapat kita dilihat pada otot dan jaringan dibawah tanda
pengikat. Apabila kekuatan penyerang lebih kuat, maka air mata akan kita
temukan. Fraktur hyoid dan tulang rawan tiroid juga mungkin ditemukan. Hyoid
fraktur bisa terlihat kedalam sebagai fraktur kompresi yang nampak bilateral jika
kompresi dari luar seperti penggantungan yang memberikan fraktur kompresi
pada bagian anteroposterior bagian atas yang makin besar pada tanduk
persimpangan tubuh. Fraktur avulsi dapat didapatkan karena otot yang sangat
aktif tanpa ada cedera langsung pada tulang hyoid yang disebut “tug fraktur”.9,11
4) Smothering (Pembekapan)
Smothering adalah kematian yang disebabkan oleh adanya obstruksi
mekanis pada mulut dan hidung sehingga bisa mencegah proses pernapasan.
Biasanya pembekapan dilakukan dengan menggunakan tangan (tangan sendiri
maupun orang lain), kain, lembaran kedap air atau namun terkadang zat seperti
25
pasir, lumpur, biji-bijian atau tepung juga digunkan untuk menutup jalan napas.
Dalam pembekapan, kematian dapat terjadi baik oleh bahan oklusi yang
menekan lubang wajah, atau dengan berat pasif kepala yang menekan hidung
dan mulut hingga mengalami oklusi.9,26
26
oleh tekanan pasif kepala setelah kematian, yang mencegah hipostasis
gravitasi memasuki area ini. Bahkan ketika kepala ditemukan pada posisi
supine, variasi warna masih umum ditemukan pada wajah, dengan bercak
putih dan merah muda yang kontras, yang biasanya berubah seiring
memanjangnya interval postmortem.
5. Jika jika ditemukan memar atau lecet di pipi, sekitar mulut, bibir atau lesi di
dalam bibir atau mulut, cukup rawan jika menafsirkan variasi warna saja,
dari perubahan darah di kapiler wajah, yang biasanya merupakan fenomena
postmortem.
Gambar 2.14. Luka laserasi yang mengalami kontusi pada sisi dalam bibir
pada kasus pembekapan12
5) Chocking (Penyumbatan)
Salah satu penyebab tersering pada kasus choking (tersedak) adalah
masuknya makanan pada saluran napas. Gejala choking yang berat seperti batuk,
gangguan pernapasan serta sianosis bisa terjadi apabila makanan masuk ke
laring pada saat menelan. Gejala ini bersifat fatal dan dapat menyebabkan
kematian kecuali jika obstruksi segera tertangani dengan batuk atau dengan
penanganan tertentu yang cepat. Namun jika makanan yang tertelan ke laring
tersebut cukup besar untuk menyumbat laring sepenuhnya, maka bukan hanya
pernapasan yang terganggu tetapi juga kemampuan bicara dan batuk. Kematian
bisa terjadi dengan cepat dan dan dengan proses yang cepat, dan penyebab
kematian hanya bisa terungkap pada autopsi. Inilah yang disebut dengan café-
coronary.5,9
27
Gambar 2.15. Impaksi Makanan pada Laring (Cafe coronary)2
28
Temuan Pemeriksaan Jenazah12
1. Tampakan antemortem: terkadang pada pemeriksaan fisik didapatkan
sumbatan benda asing atau makanan yang te-regurgitasi pada jalan napas.
2. Semua organ dapat mengalami kongesti.
3. Perdaharahan peteki yang disebut tardieu spot.
6) Asfiksia Posisional
Asfiksia posisional adalah suatu kondisi fatal yang disebabkan oleh posisi
dari seseorang individu sehingga menyebbkan proses pernafasan dan ventilasi
terganggu. Asfiksia posisional sering berhubungan dengan kasus kecelakaan,
konsumsi alkohol atau intoksikasi obat. Pada kasus asfiksia positional, biasanya
individu berada dalam ruang sempit sehingga menyulitkan individu bernafas dan
seterusnya bisa menyebabkan kematian.20,27
Terdapat beberapa mekanisme asfiksia posisional. Posisi inversi seluruh
tubuh atau tubuh bagian atas bisa meningkatkan tekanan intratoraks and
kompresi vena kava inferior. Hal ini akhirnya menyebabkan proses respirasi dan
sirkulasi normal terganggu. Proses respirasi yang normal tergantung pada
beberapa komponen penting yaitu jalan napas yang paten, permukaan untuk
pertukaran gas yang intak dan kerja normal dari aparatus ventilator. Kegagalan
pernapasan terjadi ketika satu dari semua komponen di atas terganggu.
Diagnosis asfiksia posisional ditegakkan berdasarkan 3 kriteria: 28
a. Posisi tubuh harus menghalangi pertukaran gas yang normal.
b. Posisi tubuh tersebut menjadi mustahil untuk bergerak ke posisi lain.
c. Penyebab lain dari kematian alami atau kekerasan harus disingkirkan.
29
7) Asfiksia Traumatik
Asifiksia traumatik terjadi sebagai akibat adanya kompresi langsung yang
cukup kuat pada dinding dada atau abdomen sehingga mengganggu proses
pernafasan. Beban yang mengompresi dinding dada biasanya lebih berat dari
berat pasien. Kebiasaannya asfiksia traumatika terjadi akibat kecelakaan.10,12,24
Penyebab Kematian pada Kasus Asfiksia Traumatik
Mekanisme asfiksia traumatik berupa kompresi berlebihan atau hancurnya
dinding dada, perut bagian atas, atau pungggung yang menghambat pergerakan
rongga pernapasan dan akhirnya mengganggu proses pernafasan. Biasanya
beban pada dada melebihi 1000 kg. Namun beberapa litelatur menyebutkan
kompresi dapat lebih dari 5 kali dari berat korban. Durasi antara kompresi dada
sampai menyebabkan kematian biasanya tergantung dari berat beban. Seseorang
dapat mati dalam beberapa detik apabila bebannya sangat berat, namun biasanya
sekitar 2 sampai 5 menit sampai terjadi kematian. Beban yang mengompresi
dada menyebabkan gangguan pergerakan otot primer respirasi yaitu otot
intercostal dan diafragma.19,27
Kompresi berat yang tiba-tiba pada dinding dada dapat meningkatkan
tekanan intratoraks, menghalangi Aliran darah dari vena cava superior ke atrium
kanan. Drainase vena pada area kepala dan leher adalah melalui vena jugularis
interna dan vena jugularis eksterna. Vena jugularis eksterna merupakan vena
pada jaringan lunak superfisial kulit kepala dan leher. Meskipun Vena jugularis
eksterna memiliki katup, mereka tidak dapat menahan aliran balik lebih dari 45
mmHg (tekanan maksimal selama resusitasi 40 mmHg). Sebaliknya, vena
jugularis interna, yang mendrainase jalan napas dan otak bagian atas, lebih
resisten terhadap kenaikan tekanan di rongga kepala. Tulang kepala bersifat rigid
dan kapasitansi sistem sinus vena melindungi otak dari pendarahan
intraparenchymal. Kompresi dari dinding dada tidak cukup untuk menaikkan
tekanan vena di kepala dan leher untuk memberikan gejala khas. Respon rasa
takut contohnya saat pasien menarik nafas dan menahannya saat kejadiannya
menimpa pasien dapat dilihat dari penutupan glottis dan dan terjadi kenaikan
tekanan dinding dada.27
30
Hasil Temuan Pemeriksaan Luar
Masque Ecchymotique merupakan tanda klasik dimana terjadinya perubahan
warna wajah dan leher menjadi biru kemrahan atau biru gelap. Bisa juga terjadi
pada bagian dada, punggung atas maupun lengan dan disertai peteki atau
ekimosis lainnya. Perubahan warna ini tidak terjadi pada bagian yang tertindis
atau tertekan dengan beban. 25,27
Hasil Temuan Pemeriksaan Dalam25,27
Purtchers’s Retinopathy (perdarahan retina)
Petekia/ekimosis pada mulut hidung atau telinga
Edema pada saluran nafas atas
Fraktur klavikula, tulang dada atau tulang tengkorak (jarang)
Kontusio, laserasi, atau kongesti pada organ dalaman seperti paru, jantung
dan organ intraabdominal
Gambar 2.17. Asfiksia traumatika pada pekerja ladang yang terjepit mesin27
31
BAB III
KESIMPULAN
32
DAFTAR PUSTAKA
33
15. Nasution IS, Tanzila RA, Irfanuddin. Gambaran Tanda Kardinal Asfiksia Pada
Kasus Kematian Gantungn Diri di Departemen Forensik RSU Dr. Muhammad
Hoesin Palembang Periode Tahun 2011-2012. Syifa Medika. Palembang: 2014.
P. 63-68
16. Novita Ghita. Tanda Kardinal Asfiksia yang Ditemukan Pada Visum et
Repertum Kasus Gantung Diri di Departemen Forensik RSUP Dr. Muhammad
Hoesin Palembang Pada Tahun 2011-2012. Palembang: 2014
17. Purwanti T, Apuranto H. Kasus Hanging Dengan Posisi Duduk Bersandar di
Kursi Sofa. Jurnal Kedokteran Forensik Indonesia. 16(2);2014.
18. Aflani I, Nirmalasri N, dan Arizal A H, Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal. Hal 153. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. 2017.
19. Dolinak D, Matshes EW, Lew EO. Forensic Pathology - Principles and
Practice. Elsevier Academic Press; 2005. p. 201-34.
20. DiMaio VJ, DiMaio Dominick. Forensic Pathology. 2nd ed. USA: CRC Press;
2001. p. 246-73, 416-23.
21. Shetty SK, Rastogi P, Kanchan T, Padubidri J, Babu YPR. Atlas Forensic
Pathology. 1st Edition. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers. 2014.
22. Plattner T, Bolliger S, Zollinger U. Forensic Assessment of Survived
Strangulation. Elsevier. Swirzerland: 2004.
23. Yen Kathrin, Thali Michael, Aghayev Emin et al. Strangulation Signs: Initial
Correlation of MRI, MSCT, and Forensic Neck Finding. Journal of magnetic
Resonances Imaging. Switzerland. 2005. P. 501-10.
24. McEwen, BJ. Nondrowning Asphyxia in veterinary forensic pathology 53(5),
Veterinary Pathology. 2016. pg 1037-1048.
25. Richards, CE et al. A review trauma. Asphyxiation. 7(1), pg 37-45. 2005.
26. Cao Z et al. 2018. Forensic Investigation of Atypical Asphysia. China University
of Political Science and Law. Beijing, China.
27. Shkrum MJ, Ramsay DA. Forensic Pathology of Trauma. New Jersey: Humana
Press Inc.; 2007.
28. Chmieliauskas S, dkk. Sudden Death from Potitional Asphyxia: A Case Report.
Md Journal. 97(24). 2018.
34