Anda di halaman 1dari 69

REFERAT

HALAMAN JUDUL
ASFIKSIA MEKANIK
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Pendidikan Profesi Dokter
Umum Stase Kedokteran Forensik

Disusun Oleh :
Bunga Fatimah G991905014
Cha Jin Hee G991905015
Nadya Rahma Indarti G99182002
Umu Fadhilah Isnaini G99181063
Mutia Keumalahayati, S.Ked J510195006
Dian Ayu Suci D.K, S.Ked J510195007
Indah Triana Putri, S.Ked J510195049
Tiara Alfitriana, S.Ked J510195054
Maulida Sekar Andini, S.Ked J510195064
Yoga Oktavian Nugraha, S.Ked J510195063
Ichsan Rafsanjani, S.Ked J510195084
Anita Akhyarini, S.Ked J510195094
La Ode Abdur Rauf Ichram, S.Ked J510195099
Ahmad Aidil Huda, S.Ked J5101950113

Pembimbing :
Dr. Wahyu Dwi Atmoko, Sp.F

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK &


MEDIKOLEGAL FAKULTAS KEDOKTERAN UNS & UMS
RSUD.Dr. MOEWARDI SURAKARTA
2019
REFERAT

ASFIKSIA MEKANIK
Yang diajukan oleh :

Bunga Fatimah G991905014


Cha Jin Hee G991905015
Nadya Rahma Indarti G99182002
Umu Fadhilah Isnaini G99181063
Mutia Keumalahayati, S.Ked J510195006
Dian Ayu Suci D.K, S.Ked J510195007
Indah Triana Putri, S.Ked J510195049
Tiara Alfitriana, S.Ked J510195054
Maulida Sekar Andini, S.Ked J510195064
Yoga Oktavian Nugraha, S.Ked J510195063
Ichsan Rafsanjani, S.Ked J510195084
Anita Akhyarini, S.Ked J510195094
La Ode Abdur Rauf Ichram, S.Ked J510195099
Ahmad Aidil Huda, S.Ked J5101950113

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Fakultas


Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Universitas Negri
surakarta.
Pembimbing:

HALAMAN PENGESAHAN
(................................................)
Dr. Wahyu Dwi Atmoko, Sp.F
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK &
MEDIKOLEGAL FAKULTAS KEDOKTERAN UNS & UMS
RSUD.Dr. MOEWARDI SURAKARTA
2019

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 3
1. SMOOTHERING .............................................................................................. 3
2. Tersedak (Aspirasi benda asing, “Café Coronary”, “Creche Coronary” 6
3. STRANGULATION ....................................................................................... 12
4. POSITIONAL ASFIXIA ................................................................................ 40
5. DROWNING.................................................................................................... 51
6. ASFIXIA TRAUMATIK ............................................................................... 56
7. WEDGING ....................................................................................................... 59
BAB III KESIMPULAN ..................................................................................... 61
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 62

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya


gangguan pertukaran udara dalam saluran pernapasan yang berakibat menurunnya
oksigen dalam darah berkurang disertai dengan meningkatnya karbon dioksida
(Robi & Siwu, 2016). Kata asfiksia berasal dari Bahasa Yunani yang berarti
“terhentinya denyut nadi” atau “tanpa denyut nadi” namun, definisi yang lebih
banyak diterima dan digunakan adalah “tanpa oksigen”. Hal ini merujuk kepada
kurangnya oksigenasi jaringan. Seluruh kematian secara alamiah bersifat asfiksial,
namun pada setting forensik asfiksia memilki makna gangguan pertukaran
oksigen dan karbon dioksida didalam tubuh (Prahlow, 2010).
Gangguan pertukaran oksigen dan karbondioksida dapat disebabkan oleh
sebab mekanik (asfiksia mekanik). Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang
terjadi bila udara pernapasan terhalang memasuki saluran pernapasan oleh
berbagai kekerasan (bersifat mekanik), yaitu pembekapan, penyumpalan, jeratan,
cekikan dan gantung. Asfiksia mekanik merupakan istilah luas yang melingkupi
berbagai keadaan asfiksia, namun pada kebanyakan kasus memerlukan kriteria
seperti tubuh yang berada pada posisi tertentu sehingga terjadi kompromi terhadap
pernapasan (asfiksia posisional) atau terdapat tekanan eksternal pada dada, leher,
atau area tubuh lainnya yang membuat usaha pernafasan hampir tidak mungkin
dilakukan. Pada beberapa kasus asfiksia mekanik merujuk kepada kompresi leher
yang menyebabkan terjadinya kompresi terhadap suplai darah menuju otak dan
atau terganggunya fungsi respirasi. (Robi & Siwu, 2016; Prahlow, 2010)
Dalam kasus-kasus di mana terdapat kompresi terhadap dada yang parah
(biasanya dari benda besar, berat), istilah asfiksia traumatis digunakan, meskipun
asfiksia mekanik juga akan sesuai. Tidak jarag beberapa mekanisme asfiksia yang
berbeda terjadi bersamaan dalam kasus yang sama. Seseorang harus
mempertimbangkan kemungkinan bahwa terdapat lebih dari satu kemungkinan
mekanisme asfiksial yang terlibat dalam kematian. Karena beberapa jenis asfiksia

1
mungkin tidak meninggalkan temuan yang dapat diobservasi pada otopsi,
penyelidikan adegan yang tepat bisa menjadi sangat penting. Dalam beberapa

2
2

kasus asfiksia, jika adegan telah diubah, dan cara asfiksia diproduksi dihilangkan,
seseorang mungkin tidak dapat menentukan penyebab kematian (Prahlow, 2010;
Dolinak et al., 2005).
Berdasarkan database berbagai penyebab kematian milik Centers for
Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 1999-2004, sertifikat kematian
penduduk Amerika Serikat, tedapat sekitar 20.000 kematian akibat kecelakaan dan
non kecelakaan pada periode tersebut yang (attributed) terhadap berbagai jenis
asfiksia mekanis, seperti drowning, hanging, strangulation, dan suffocation.
Penyebab kematian akibat asfiksia tersering berbeda-beda pada setiap kelompok
usia. Tenggelam merupakan penyebab kematian akibat asfiksia tersering pada
kelompok usia 1-4 tahun, sedangkan hanging, strangulation, dan drowning
merupakan penyebab tersering pada kelompok usia 35-44 tahun. Homicidal
asphyxia secara relatif jarang terjadi dan hanya berkontribusi pada < 5% kasus
pembunuhan secara nasional setelah cedera senjata api, luka benda tajam dan
cedera benda tumpul (Graham, 2016).
Sebuah penelitian retrospektif dilakukan di Bagian Forensik RSUP Prof.
Dr. R. D. Kandou periode tahun 2010-2015 untuk mengetahui gambaran kasus
asfiksia mekanik. Pada penelitian didapatkan 22 kasus kematian akibat asfiksia
mekanik. Kasus terbanyak pada tahun 2011 yaitu 8 kasus (36,5%). Kelompok usia
terbanyak ialah 17-25 tahun dengan 7 kasus (31,8%). Jenis kelamin laki-laki
sedikit lebih banyak yaitu 12 kasus (54,5%) dibandingkan perempuan yaitu 10
kasus (45,5%). Kasus asfiksia mekanik tersering ialah gantung dengan jumlah 15
kasus (68,2%). Tanda asfiksia yang sering ditemukan ialah pembendungan organ
dalam yaitu 19 kasus (86,4%) (Robi & Siwu).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. SMOOTHERING
Smoothering (pembekapan) adalah lubang luar jalan nafas yaitu
hidung dan mulut tertutup secara mekanis oleh benda padat atau partikel-
partikel kecil biasanya dilakukan dengan menutup hidung dan mulut
sekaligus,biasa dilakukan pada korban lemah & tidak berdaya (anak atau
lansia) dan dilakukan dgn telapak tangan atau benda lain (kain, handuk,
bantal, plester tebal, menekan ke kasur, dll). Smothering /Suffocation
melibatkan gangguan bernafas karena obstruksi hidung dan mulut,
Penentuan sebab dan cara kematian pada kasus kematian karena
smothering bergantung pada investigasi karena kurangnya tanda yang
khas. Kematian karena smothering bisa dicurigai untuk
homicide/pembunuhan

a. Overlaying
Overlaying merupakan bentuk smothering yang biasanya dilakukan
oleh individu dewasa yang badannya lebih besar yang biasanya
meniban diatas individu anak, biasanya bayi. Sebuah kasus
menunjukan range umur korban dari usia 6 sampai 11 bulan dan pada
kasus lain 70% yang paling muda usia korban ialah 3 bulan.
SIDS(Sudden infant Death Syndrome) dan penyebab selain
smothering harus dipertimbangkan

Investigasi untuk overlaying perlu mempertimbangkan beberapa dari


ini

- Korban berbagi tempat tidur dengan dewasa yang mungkin obes, atau
dengan saudara kandung yang lebih tua dan lebih dari 2 individu
terlibat

3
- Jika tidak ada pengakuan oleh yang berbagi tempat tidur, kasus ini
sulit ditentukan
- Anak biasanya ada di kasur orang dewasa

4
4

- Pakaian orang dewasa dan anak dan kasurnya perlu diperiksa


- Mabuk atau mungkin kondisi medis yang tidak diakui bisa menjadi
rangsangan faktor respon depresi dari orang yang lebih dewasa

b. Pemeriksaan luar overlaying


- Sedikit yang bisa ditemukan seperti kasus SIDS (Suden Infant Death
Syndrome)
- Tanda tekanan dari sprei/kain (namun hal ini juga terjadi pada
postmortem)
- Pola lebam (mengindikasikan posisi anak yang menunjukan daerah
yang pucat karena tekanan kain.)
- beberapa memar pada wajah dan kepala. Dan beberapa luka lecet pada
hidung dan pipi (bergatung pada kekuatan dari pembekap dan
permukaan kain yang digunakan.)
- Petechie pada mata dan wajah (biasanya jarang)
- Tidak ada cedera di mulut dan dalam mulut, terutama apabila gigi anak
belum tumbuh.
- Cedera kulit yang banyak dan cedera mulut atau dalam mulut
kemungkinan besar mengarah ke asfiksi homicide (pembunuhan)
- Pemeriksaan Dalam Overlaying
- Kebayakan kasus menunjukan petechi intrathoracal.
- Epidural hemorhage disekitar corda servical yang kemungkinan terjadi
karena sumbatan dari plexus perivertebral venous karena kompresi
dada, namun tidak terlalu spesifik untuk bayi yang sudah meninggal.
-
c. Plastic Bag Asphyxia
Asfiksi kantong plastik merupakan hasil dari kekurangan
konsentrasi oksigen yang ada dan adanya obstruksi fisik pada mulut
dan hidung. Mekanisme obstruksi terjadi ketika kantong plastik
menempel kepada wajah, yang dibantu dengan adanya embun. Sebab
5

lain karena kantong plastik yang menempel pada wajah sehingga


merangsang sistem saraf simpatik yang menyebabkan aritmia terminal.
d. Suicide
Kantung plastik sering dipakai untuk bunuh diri diantara lansia
(Mudah didapat dan digunakan), Asfiksi dengan plastik bisa
ditambahkan dengan gas (propane, ether, helium) sering digunakan,
dengan tabung gasnya biasanya terletak disebelah mayat. Ada kasus
kantung yang termodifikasi, dimana yang membantu korban bunuh diri
nanti bisa mengambil kantungnya dan menutupi kasus bunuh diri itu
sebagai kasus kematian alami.

Tanda Post Mortem

- Muka bengkak (kongesti)


- Tardeou’s spot pd bola dan kelopak mata
- Mata melotot
- Sianosis akral tubuh
- Luka lecet dan hematom di bibir, mulut serta hidung (jika memakai
tekanan lebih

Temuan eksternal

a. Kasus bunuh diri di Ontario, petekie konjungtiva atau wajah


terlihat pada 7,5% kasus. Ulasan Seattle mengungkapkan bahwa
petechiae ditemukan pada sekitar 10% kematian ketika tubuh itu
terpelihara dengan baik.
b. Sekitar 20% menunjukkan tanda eksternal pada leher yang terkait
dengan pengikat pengaman (setengahnya adalah karet gelang).

Temuan internal
a. Edem paru telah terlihat pada sekitar setengah dari
kematian.
6

b. Tidak ada perdarahan leher internal yang dijelaskan dalam seri


Ontario, tetapi satu kasus yang diamati dalam review Seattle
memiliki perdarahan fokal pada membran thyrohyoid.

Beberapa cara lain untuk melakukan smoothering

a. Masker gas (dari gas anastesi dan helium filter udara)


b. Kecelakaan (paling sering) misalnya tertimbun tanah

c. Helm sepeda motor (selotip yang dililitkan, handuk mandi yang melingkari
leher)

d. Pembunuhan, hidung dan mulut diplester, bantal ditekan ke wajah, serbet


dan dasi dimasukkan ke dalam mulut.

2. Tersedak (Aspirasi benda asing, “Café Coronary”, “Creche Coronary”

a. Reka adegan dan tempat kejadian (Kematian akibat tersedak yang tidak
disengaja)

Fase obstruksi akut fatal jalan nafas:

1. penetrasi benda asing ke dalam jalan nafas


2. Obstruksi jalan nafas
3. Kegagalan untuk mengeluarkan benda ketika obstruksi terjadi

Apabila terdapat saksi pada kejadian, mereka akan


mendeskripsikan kejadian dengan tanda-tanda dari obstruksi akut saluran
nafas atas (stridor, distress respirasi, batuk, tersedak) dan ketidakmampuan
korban untuk berbicara. Inhalasi yang dalam juga dapat menyebabkan
benda asing semakin terdorong e dalam. Stimulasi vagal dapat menjadi
penyebab kematian dalam hal ini, mengarah ke aritimia dan apnea.
Obstruksi inkomplit dapat menjadi obstruksi komplit ketika terdapata
edem mukosa, inflamasi, perdarahan, dan bronkospasme pada saluran
nafas.
7

Tersedak merupakan penyebab umum pada kematian mendadak


pada anak-anak kurang dari 1 tahun. 90% kematian karena tersedak terjadi
pada anak berumur kurang dari 5 tahun. Anak-anak usia 1 – 3 tahun rentan
mengalami tersedak (“creche coronary”). Hal ini disebabkan karena
meningkatnya mobilitas, belum mampu untuk menilai benda-benda yang
dapat diletakkan di mulut atau tidak, jalan nafas yang kecil, belum
adekuatnya kemampuan mengunyah, refleks batuk yang masih lama.

Tempat kejadian yang paling sering melibatkan anak tersedak


adalah rumah. Tersedak sering terjadi saat tanpa pengawasan. Tersedak
muncul ketika sedang makan atau bermain, seperti berlari. Anak-anak
kurang dari 1 tahun lebih sering tersedak makanan, dimana anak-anak
yang lebih tua cenderung tersedang oleh benda lain selain makanan.

Pada kasus tersedak pada orang dewasa, terjadi ambruk tiba-tiba


seperti serangan jantung ketika sedang makan (“café coronary”) atau
kematian yang tidak diketahui (tanpa saksi). Faktor predisposisi tersedak
pada orang dewasa adalah reflek jalur nafas yang melemah karena
penuaan, buruknya mastikasi dengan kecenderungan menelan makanan
secara utuh, konsumsi alcohol, dan buruknya proses menelan (refleks
muntah) karena adanya gangguan pada sistem saraf pusat.

Tersedak pada orang dewasa paling sering terjadi saat di rumah,


panti jompo, atau tempat psikiatri. Pasien yang dirawat dalam jangka
waktu lama dengan gangguan neurologis atau psikiatris dapat
menyebabkan menurunnya kemampuan refleks batuk atau disfagia.

Keadaan lain pada tersedak adalah: pada seseorang yang


mengalami bulimia dan memasukkan sesuatu objek ke mulutnya untuk
menimbulkan muntah, posisi abnormal saat makan, xerostomia (mulut
kering) karena ada gangguan pada kelenjar air liur dapat menyebabkan
susah menelan. Keadaan emosional juga dapat menimbulkan terjadinya
tersedak.
8

b. Peran Semprotan Merica pada “In-Custody Deaths”

Semprotan merica ketika terjadi kontak pada membran mukosa


dapat menyebabkan seseorang tersedak atau batuk. Seseorang dengan
asma dan penyakit paru lainnya dapat berisiko apabila mendapat paparan
ini. Swab pada muka, mulut, saluran pernafasan atas dapat mendeteksi
adanya semprotan merica.

c. Choking dan Cara lain Kematian

Meskipun penyebab terbesar kematian karena choking adalah


kecelakaan, tapi pembunuhan dan bunuh diri dapat terjadi. Kasus bunuh
diri dengan choking jarang terjadi, dan biasanya terjadi pada pasien
psikiatri dan pasien di dalam tahanan. Kasus pembunuhan dengan choking
biasanya terjadi pada pasien yang sudah lanjut usia, pasien dengan
penyakit kronis, individu yang ketergantungan alkohol atau obat-obatan,
dan bayi. Ketika benda dipaksa masuk ke mulut, tanda-tanda perlawanan
dapat ditemukan jika individu dalam keadaan sadar saat pembunuhan itu
terjadi. Tanda-tanda perlawanan dapat berupa cedera pada ekstremitas atas
dan bawah jika korban ditahan. Cedera konsisten pada kepala dapat terjadi
pada perioral, gigi, lidah, dan intraoral. Keberadaan benda asing di saluran
nafas dan saluran pencernaan menjadi bukti akurat bahwa korban
mengalami choking (tersedak). Penyakit komorbid juga dapat
menyebabkan obstruksi jalan nafas atas dan kematian mendadak. Salah
satu penyebab tersering adalah tumor. Tumor berdasarkan lokasi yang
dijelaskan dalam literatur antara lain adalah:
1. Hipofaring: lipoma
2. Esofagus bagian atas: fibrolipoma, polip
3. Laring: karsinoma sel squamosa invasif, papilomatosis juvenile
Peradangan dan proses reaktif dalam obstruksi jalan nafas adalah:
1. Epiglotitis akut
2. Edema lingual pada uvula, epiglotis, laring (sering terjadi pada syok
anafilaksis)
9

3. Pembesaran tonsil (oleh karena infeksi mononukleosis, tonsilitis


streptokokus, difteri)
4. Granuloma sel plasma glotis
Kondisi tertentu (misalnya deformitas septum hidung, hipertrofi tonsil
adenoid atau tonsil lingual, kista lingual atau laringeal) dapat menyebabkan
obstructive sleep apneau. Konsumsi alkohol dapat memperburuk kondisi ini.

d. Pemeriksaan Eksternal
Temuan eksternal pada chocking adalah perdarahan
subkonjungtiva tanpa diikuti dengan petekhie pada kulit. Keadaan gigi
perlu dinilai.
10

e. Pemeriksaan Internal
Benda asing biasanya dapat ditemukan saat otopsi. Jika benda
asing ditemukan, maka harus ditentukan apakah benda asing merupakan
penyebab kematian ataukah memang sengaja diletakkan pada tubuh korban
setelah kematian, seperti budaya pemakaman China yang meletakkan koin
pada mulut jenazah. Harus dipastikan juga apakah dilakukan resusitasi pada
pasien sebleum meninggal. Karena, jika dilakukan resusitasi maka benda
asing akan terdorong lebih jauh ke dalam saluran nafas ke dalam laring,
trakea, dan bronkus.
11

Tingkat obstruksi tergantung pada benda asing dan usia sehubungan


dengan ukuran jalan nafas korban. Beberapa benda asing yang ditemukan
selain makanan adalah peralatan medis gigi, sekresi nasal, bedak talcum,
benda keras, feses, obat-obatan, dan media diagnostik (cot: barium).
Benda asing dapat radioopaque jika dilihat melalui radiologi.
Anak-anak dapat tersedak dengan berbagai macam barang, yaitu:
balon, mainan kecil, benda keras, koin, dan sejenisnya. Anak-anak lebih
sering tersedak makanan. Bentuknya biasanya bulat dan kencang tapi
dapat mengembang sehingga dapat menyumbat saluran nafas seperti
kacang. Banyak makanan yang dapat menyebabkan tersedak, yaitu:
hotdog, roti, nasi, permen, kacang-kacangan, permen karet, buah-buahan,
dan sayur-sayuran. Pada orang dewasa, daging dan sayuran, tulang hewan
dan ikan utuh menjadi penyebab tersering dari tersedak.
12

Kongesti epiglotis, perdarahan mukosa laring, kongesti, dan


petekhie ditemukan pada kasus choking. Cairan panas dapat menyebabkan
edema pada epiglotis, laring, dan trakea serta denudasi mukosa. Benda
asing yang tajam dapat tertelan, biasnaya terjadi pad orang cacat mental,
individu dengan gangguan kejiawaan, narapidana, dan penjahat yang
menyelundupkan barang (contoh: perhiasan, narkoba, dll). Benda tajam
dapat menembus saluran pencernaan. Misalkan pada peniti terbuka di
esofagus menusuk jantung yang mengarah ke hemoperikardium, tusuk gigi
melalui usus halus menusuk ke dalam arteri iliaka yang umum, tulang
yang menembus esofagus ke aorta atau arteri karotis, sekrup kayu di
retroperitoneum dengan septikemia, koin berdampak pada esofagus
mengompresi trakea yang berdekatan. Manuever heimlich, metode
penekanan abdomen yang digunakan untuk mengurangi obstruksi dapat
berhubungan dengan berbagai komplikasi yang terjadi.

3. STRANGULATION
a. Gantung
Gantung didefinisikan sebagai penyempitan leher karena gaya
yang diberikan sebagai hasil suspensi dengan berat setidaknya bagian
tubuh . Kematian menggantung khas melibatkan pengencangan ligatur,
tetapi ini tidak perlu . Gantung yang tidak disengaja mungkin tidak
melibatkan ligatur. Meskipun gantung adalah bentuk strangulasi
ligatur, yang terakhir menyiratkan penyempitan leher dari ligatur yang
tidak diperketat oleh berat tubuh selama suspensi. Dalam kasus yang
jarang terjadi, ligatur leher diperketat oleh berat badan yang
ditangguhkan yang diterapkan oleh individu telentang . Tambahan
kekuatan luar kadang-kadang diterapkan untuk mengencangkan ligatur
(misalnya, kendaraan bermotor, lift ).
Dalam penelitian tentang kematian yang digantung di Australia dan
Irlandia Utara, kurang dari setengah mayat sepenuhnya ditangguhkan.
Sekitar 40% dari korban Australia berdiri. Gantung berbaring
13

berbaring di 1% kasus. Ini juga diamati dalam seri Irlandia Utara. Jika
titik suspensi tinggi, sarana peninggian (misalnya, bangku, kotak, atau
tangga) mungkin ada di dekatnya .
Studi laring manusia baru menunjukkan bahwa fraktur tulang
rawan tiroid dan krikoid terjadi dengan penerapan gaya statis rata-rata
15,8 dan 20,8 kg (34,8 dan 45,8 lb), masing-masing . Gaya dinamis
(kecepatan hingga 11 mph atau 18 km / jam) menyebabkan patah pada
gaya rata-rata 30% lebih banyak. Keruntuhan struktural yang akan
terjadi dan kompromi jalan nafas fatal yang parah terjadi ketika
kekuatan rata-rata 55 kg (121 lb).
 Gantung dalam Masyarakat Umum
Gantung adalah metode umum bunuh diri asfiksia di
banyak negara. Dalam berbagai penelitian, setidaknya 70% adalah
laki-laki .Rentang usia bervariasi dari remaja akhir hingga sangat
tua . Sejarah upaya sebelumnya mungkin ditimbulkan (hingga
setengah dari kematian dalam satu studi bahasa Inggris. Seri yang
sama mendokumentasikan catatan bunuh diri di sekitar sepertiga
dari kasus, konsisten dengan ulasan lain . Rumah korban adalah
situs yang paling sering, tetapi gantung juga terjadi di lokasi luar.
Beberapa hiasan bunuh diri menimbulkan kecurigaan pembunuhan
(misalnya, lokasi yang tidak biasa, seperti kendaraan bermotor.
Sebaliknya, gantung bunuh diri dapat dipentaskan sebagai
pembunuhan (mis. Gag in mouth). Dalam kasus-kasus ini, korban
dapat dimotivasi oleh pembatasan asuransi jiwa, balas dendam
terhadap keluarga dan rekanan, kemasyhuran, dan gairah simpati
dan rasa bersalah dari orang lain. Lebih dari satu korban dapat
ditemukan di sebuah adegan. Gantung dapat dipentaskan sebagai
bunuh diri untuk menyembunyikan pembunuhan (misalnya,
pencekikan). Kecuali korbannya adalah bayi atau orang dewasa
yang tidak mampu karena penyakit, tidur, mabuk, atau trauma yang
mengancam jiwa lainnya (misalnya, pencekikan sebelumnya dan
14

pemukulan karena tidak sadar), pembunuhan tergantung oleh


penyerang tunggal itu sulit. Seorang penyerang tunggal
menyiratkan perbedaan ukuran antara penyerang dan korban.
Pembunuhan berantai dari korban dewasa normal yang sadar
kemungkinan melibatkan beberapa penyerang (misalnya, hukuman
mati tanpa pengadilan). Otopsi psikologis untuk menilai faktor
risiko bunuh diri dapat membantu menentukan cara kematian yang
tepat. Investigasi adegan (misalnya, tidak adanya pemaksaan
masuk, tidak ada bukti pencurian atau perjuangan) sangat
membantu dalam mengesampingkan peristiwa mencurigakan yang
mengarah ke gantung. Kematian karena kecelakaan yang jarang
terjadi terjadi pada orang dewasa (misalnya, ditangguhkan oleh
sabuk pengaman dalam kendaraan bermotor, ditangguhkan dalam
lift. Menggantung Selama Penahanan Semua perilaku kematian
dimungkinkan saat korban berada di penjara. Narapidana penjara
memiliki tingkat bunuh diri yang lebih tinggi daripada populasi
umum. Di penjara, risiko bunuh diri meningkat karena sifat
sementara dari populasi dan fakta bahwa penjara adalah
pengalaman baru bagi banyak tahanan baru. Narapidana bisa
mabuk ketika dipenjara. Meskipun beberapa penelitian
menunjukkan bahwa korban bunuh diri di penjara telah dipenjara
karena kejahatan non-kekerasan, yang lain telah mengamati bahwa
penangkapan atas kejahatan terhadap orang-orang (misalnya,
perampokan bersenjata, pemerkosaan, pembunuhan) mendominasi,
dan mengantisipasi hukuman penjara yang panjang adalah
mungkin stressor. Kontradiksi ini dapat dikaitkan dengan jenis
fasilitas yang terlibat . Orang-orang yang mengaku terkunci
(fasilitas penahanan jangka pendek yang dijalankan oleh polisi)
biasanya ada untuk pelanggaran ringan dan kadang-kadang
menarik diri dari alkohol dan narkoba . Narapidana penjara
biasanya telah ditangkap karena tuduhan yang lebih serius . Satu
15

ulasan mengungkapkan bahwa setidaknya 75% korban memiliki


riwayat kejiwaan . Sebagian besar kasus bunuh diri di penjara
terjadi dalam 1 hingga 2 hari setelah penahanan. Cidera tajam yang
diakibatkan oleh diri sendiri sering terjadi, tetapi menggantung
lebih cenderung mematikan. Sprei biasanya digunakan sebagai
ligatur di penjara.

Narapidana penjara jangka panjang yang melakukan bunuh


diri memiliki frekuensi tinggi gangguan kejiwaan yang didiagnosis
baik sebelum atau selama penahanan. Prospek penahanan yang
panjang adalah motif untuk bunuh diri. Dalam sebuah penelitian di
Texas, setidaknya setengah dari korban bunuh diri yang dipenjara
telah melakukan upaya bunuh diri sebelumnya, sekitar dua pertiga
telah melakukan setidaknya satu upaya selama penjara mereka, dan
sekitar dua pertiga memiliki riwayat penyalahgunaan alkohol dan
zat. Studi lain telah menunjukkan insiden tinggi yang serupa dari
penyalahgunaan narkoba dan upaya bunuh diri. Kurangnya akses
ke alkohol dan obat-obatan dapat mengurangi kemampuan
narapidana untuk mengatasi tekanan kehidupan penjara. Mayoritas
(60%) tahanan dalam sebuah penelitian di Inggris bunuh diri dalam
3 bulan pertama penahanan. Penelitian telah menunjukkan bahwa
banyak kasus bunuh diri cenderung terjadi antara tengah malam
dan jam 8:00 pagi, ketika pengawasan dikurangi. Beberapa bunuh
diri terjadi pada siang hari dengan harapan oleh korban bahwa
resusitasi yang akan segera terjadi oleh staf dimungkinkan.
Seorang narapidana bisa melakukan hukuman gantung untuk
merangsang ketidaksadaran yang nyata. Konsekuensinya rawat
inap dapat menjadi sarana pelarian. Mayoritas korban adalah laki-
laki. Sebagian besar lebih muda dari 35 tahun, mencerminkan
populasi penjara umum. Berbagai cara (misalnya overdosis,
pemotongan, lompatan, pencekikan) digunakan, tetapi gantung
16

adalah yang paling sering. Dalam satu penelitian, 95% korban


bunuh diri di institusi psikiatris keamanan maksimum
menggantung diri.

Kematian di penjara dan penjara membutuhkan


penyelidikan adegan yang cermat dan otopsi menyeluruh, terutama
karena tuduhan publik atas pembunuhan terhadap pihak berwenang
atau kritik atas kegagalan mereka untuk mengenali potensi bunuh
diri.

 Institusi Psikiatri
Tingkat bunuh diri di institusi psikiatris, terutama yang
melibatkan skizofrenia, lebih tinggi daripada populasi umum.
Bunuh diri dilakukan saat absen yang disetujui dan tidak resmi dari
rumah sakit. Metode kekerasan (misalnya, melompat di depan
kereta atau turun dari gedung, menggantung) adalah cara yang
biasa. Bunuh diri tidak dapat diprediksi dalam pengaturan ini
karena pasien akan memberikan sedikit peringatan, dan mungkin
ada perbaikan klinis yang jelas.
 Rumah Perawatan dan Fasilitas Perawatan Kronis Lainnya
Warga rumah perawatan dan fasilitas perawatan kronis
lainnya dapat ditahan. Kriteria berikut telah diusulkan untuk
menghubungkan kematian dengan pengekangan: tidak ada
penyakit akut yang tampak pada saat kematian; menahan diri pada
saat kematian atau segera sebelum; penemuan dalam posisi
menahan diri yang abnormal sehingga pasien akan mengalami
kesulitan besar dalam pelepasan diri; dan pengecualian perubahan
postural postmortem.
Kematian mungkin tidak disaksikan. Dalam analisis
retrospektif kematian pengekangan fisik yang terjadi sebagian
besar di panti jompo, korban ditemukan diskors dari kursi atau
tempat tidur. Analisis terperinci dari kematian-kematian ini
17

menunjukkan bahwa semua orang gila, sebagian besar memiliki


gerakan impulsif atau tidak sukarela, dan banyak yang baru-baru
ini mencoba untuk melarikan diri dari pengekangan atau ditemukan
dalam posisi abnormal saat terkendali. Rompi yang menahan
pasien yang duduk mungkin diposisikan tidak benar pada awalnya
atau selanjutnya. Tali bawah mungkin tidak ada. Akibatnya,
meluncur di bawah rompi terjadi dengan tekanan pada leher, yang
menyebabkan asfiksia. Pasien-pasien ini, karena kemampuan fisik
dan mental yang berkurang, tidak dapat melepaskan diri. Ukuran
kecil korban juga merupakan faktor penyumbang. Kursi roda dapat
dilipat, menjebak individu dalam rompi yang menahan.

Jenis lain dari kematian suspensi telah dijelaskan dalam


pengaturan ini: kompresi leher dari kepala tempat tidur yang
ditinggikan secara elektrik dengan posisi yang tidak tepat
pengendalian; selip di antara palang samping tempat tidur dan
kasur dengan leher tersangkut di palang samping; dan jatuh dari
tempat tidur dengan kabel listrik dari lampu samping tempat tidur
di leher. Kompresi dada dapat berperan pada korban yang
ditemukan tergantung di ranjang. Upaya resusitasi mengubah
posisi pasien, dan catatan saksi mata yang didokumentasikan
dalam catatan medis penting untuk menentukan bagaimana
individu tersebut meninggal. Kemungkinan sesak napas mungkin
tidak dihargai, dan dokter yang menyatakan kematian mungkin
tidak secara intensif menyelidiki kematian di fasilitas perawatan
kronis. Staf dapat berusaha untuk menyembunyikan kematian yang
tidak wajar dengan perubahan adegan atau dengan gagal
melaporkan insiden tersebut karena takut akan proses pidana dan
perdata.
18

 Pemeriksaan Eksternal atas Kematian Gantung

Tergantung livor tergantung pada lengan dan kaki bagian bawah


tergantung pada durasi suspensi.

- LIGATURE ON LEHER
Tali, kabel listrik, dan ikat pinggang adalah umum. Ligatur
dapat diubah, yaitu, diurai atau dipotong oleh anggota keluarga
dan peneliti berikutnya. Ligatur dapat terluka beberapa kali.
Ligatur dapat dengan mudah dililitkan di sekitar leher atau bisa
ada simpul yang rumit. Sebuah penelitian di Australia
menunjukkan bahwa ketika sebuah simpul digunakan, simpul
tersebut diperbaiki pada 25% kasus dan merupakan slipknot
pada sisanya. Serangkaian dari Irlandia Utara menunjukkan
bahwa 69,5% menggunakan slipknot, 8,6% menggunakan
simpul tetap, dan 10,5% hanya melingkarkan ikatan di sekitar
leher. Analisis simpul dapat membantu dalam penentuan cara
kematian. Rambut yang tersangkut dalam simpul
mencurigakan, meskipun rambut dapat diselingi antara tali dan
kulit.
Leher dapat dilindungi dengan bantalan bunuh diri. Pakaian
dapat dilihat di bawah ligatur. Jaringan (epidermis, lemak dari
lecet yang pecah) dapat ditransfer dari situs yang dikompresi ke
ligatur atau bahan sela. Biasanya ligatur tunggal digunakan,
tetapi yang asli dapat rusak pada suspensi, menghasilkan
ligatur kedua yang digunakan.
- LIGATUR TENTANG SITUS TUBUH LAINNYA
Mengikat area tubuh lain tidak selalu mengindikasikan
pembunuhan atau kematian erotis otomatis . Ekstremitas dapat
diikat. Pergelangan tangan dapat diikat di belakang, dan bahkan
borgol telah digunakan . Ikatan seperti itu biasanya longgar,
19

telah mudah diterapkan atau dilewati, dan dapat dengan mudah


dilepaskan
- TANDA-TANDA KOMPRESI PADA SITUS LEHER DAN
TUBUH LAIN
Leher "alur", akibat kompresi dan penggosokan, terlihat
dalam banyak kasus. Suatu alur biasanya berwarna kuning atau
coklat dengan penampilan seperti perkamen dan dapat muncul
segera setelah penskorsan . Tanda leher merah atau merah
muda menunjukkan perdarahan antemortem, tetapi ini mungkin
hanya karena memeras postmortem darah . Abrasi dan kontusio
yang berdekatan dengan alur curiga terhadap pencekikan
ligatur pembunuhan . Lepuh postmortem telah diamati pada
kulit yang bersebelahan dengan alur Alur biasanya pada atau di
atas menonjol kartilago tiroid (takik, apel Adam) berbeda
dengan pencekikan ligatur, di mana alur biasanya pada atau di
bawah tulang rawan tiroid.Namun, beberapa kasus gantung
bunuh diri menunjukkan alur di tingkat kartilago tiroid . Lokasi
alur mungkin tergantung pada jenis ligatur. Satu studi
menunjukkan bahwa bulu-bulu, dalam kasus suspensi lengkap
dengan jemuran plastik keras, berada di atas tulang rawan
tiroid, tetapi kematian yang melibatkan kain katun dan suspensi
tidak lengkap di bawahnya . Pada beberapa anak kecil yang
digantung dari buaian karena pakaian, alur telah diamati pada
tingkat kartilago krikoid . Area yang terkelupas di bawah alur
dapat mengindikasikan selip ke atas dari ligatur, lebih mungkin
terlihat ketika suspensi selesai . Alur biasanya miring atau
miring ke titik suspensi, yaitu simpul . Titik suspensi biasanya
di sisi leher, tetapi suspensi memang terjadi dari depan, yang
menghasilkan alur horizontal di belakang leher . Ligatur
mungkin melingkari leher sepenuhnya dan kemudian dililitkan
ke anterior atau posterior, menghasilkan alur horizontal Sebuah
20

alur horisontal menimbulkan kecurigaan akan tercekiknya


pembunuhan . Individu yang terpenggal yang melompat dari
ketinggian dapat memiliki alur horizontal, jika digunakan
ligatur nonslip yang kuat Ini juga telah dijelaskan pada korban
yang menjadi horizontal relatif terhadap titik suspensi . Pola
ligatur dapat direproduksi di alur. Lebarnya kira-kira sama
dengan ligatur . Serat pengikat dapat ditransfer ke kulit alur dan
ditempel dari permukaan . Ligatur yang miring pada leher
memberikan tekanan yang konsisten di daerah antero- dan
posterolateral. Alur dan tanda kompresi lainnya mungkin tidak
lengkap, pingsan, atau tidak ada . Suatu alur tidak ada jika
seseorang segera “ditebang”, memiliki bahan yang diselingi
antara ligatur dan kulit, bertahan selama periode waktu yang
memungkinkan penyembuhan terjadi, menggunakan bahan
lunak, atau menggunakan ligatur yang luas Tanda-tanda
kompresi kurang jika kematian adalah dengan stimulasi vagal.
Tanda tekanan, awalnya ada, dapat menghilang dalam
beberapa jam setelah pengangkatan ligatur . Jika ada lividitas
leher, pucat terlokalisasi ke area kompresi . Kehati-hatian harus
diambil agar tidak keliru lipatan leher dan upaya resusitasi
untuk kerutan . Tanda-tanda kompresi dapat dilihat pada area
lain dari tubuh.
- WAJAH SIANOSIS
wajah dan leher disebabkan oleh kongesti vena dan oklusi
arteri karotis yang tidak lengkap (misalnya, penggunaan simpul
tetap, suspensi parsial). Sebaliknya, wajah pucat dicatat ketika
ada penyumbatan arteri total (misalnya, suspensi penuh).Ini
lebih sering Bisa ada kongesti dan edema konjungtiva. Lendir
yang ternoda darah kering dapat berasal dari lubang hidung,
sudut mulut, dan telinga . Lidah dapat menonjol .
21

- PETEKIA
Distribusi petekie biasanya pada mata dan kulit wajah dan
leher di atas tempat pengikatan . Petechiae kelopak mata
terlihat di 27% dan petechia konjungtiva / skleral di 33% dari
gantung dalam satu studi . Kedua situs terlibat dalam 18%.
Petechiae adalah indikasi bahwa korban masih hidup ketika
penskorsan terjadi . Kehadiran mereka bervariasi dalam
suspensi parsial dan penuh orang dewasa dan anak-anak .
Evolusi petekie tergantung pada sejumlah faktor, seperti
ketatnya dan lamanya aplikasi awal ligatur sebelum tekanan
karena berat badan penuh diberikan dan tidak adanya slipknot
dalam kasus suspensi parsial. Bagi mereka yang benar-benar
ditangguhkan, mengarahkan kepala dan leher menjauh dari
simpul dapat mengakibatkan hanya pengurangan sebagian
aliran darah arteri . Petechiae telah dideskripsikan pada
individu yang duduk yang mengalami asfiksia oleh rompi yang
menahan diri .
 Pemeriksaan Internal Gantung Kematian
Cidera internal tidak ada dalam banyak gantung, bahkan dengan
penskorsan lengkap, yang menggarisbawahi bahwa gantung adalah
bentuk asfiksia yang “lembut” , terutama ketika dilakukan sendiri
Kesadaran hilang dengan cepat, dengan sedikit waktu untuk kegiatan
yang bertujuan . Stimulasi vagina yang menyebabkan henti jantung
mendadak juga bisa menjadi faktor . Cedera leher internal terlihat pada
sekitar 60% kematian gantung dalam satu seri . Ada frekuensi trauma
yang lebih tinggi secara lengkap dibandingkan dengan suspensi yang
tidak lengkap (62 hingga 46%).
- HEMORRHASE
Perdarahan jaringan lunak atau otot terlihat pada sebagian
kecil kasus. Dalam berbagai seri, kisarannya dari sekitar 3%
hingga sekitar sepertiga . Perdarahan jaringan lunak di leher
22

menunjukkan bahwa individu itu hidup ketika cedera yang


ditimbulkan . Pendarahan yang berdekatan dengan situs fraktur
mendukung anggapan bahwa mereka terjadi antemortem.
Hemolisis dari dekomposisi mengurangi perdarahan yang
terlihat . Atau, asal postmortem dari fokus hemoragik tidak
dapat sepenuhnya dikecualikan, terutama ketika ada
dekomposisi . Tidak ada korelasi antara adanya perdarahan
jaringan lunak dan fraktur hyoid / lar-ynx yang telah dicatat .
Jumlah perdarahan biasanya tidak cukup untuk menyebabkan
kematian. Dalam situasi tertentu (misalnya, setelah pencabutan
gigi), pendarahan yang luas pada otot leher telah menyebabkan
asfiksia .
- SITUS-SITUS HEMORRASI
Tempat-tempat perdarahan dapat meliputi yang berikut: •
Otot-otot sternokleidomastoid yang mendasari lokasi kompresi
. • Tali otot . Perdarahan luas dikombinasikan dengan edema
glotis dan perdarahan dapat mengganggu pernapasan . •
membran tirohyoid. • Jaringan ikat dan otot yang berdekatan
dengan tulang rawan tiroid . • Jaringan lunak yang berdekatan
dengan tulang hyoid yang utuh dan tulang rawan tiroid . •
Jaringan lunak yang berdekatan dengan situs fraktur
(perdarahan tidak ada jika situs fraktur artifak setelah kematian
atau kompresi leher benar-benar mengganggu sirkulasi;). •
Periosteum, dengan atau tanpa keterlibatan otot, pada insersi
inferior otot sternocleido-mastoid sebagai akibat dari
hiperekstensi leher (kecenderungan perdarahan terlihat pada
sisi tanda ligatur tertinggi). Perdarahan mungkin tidak terlihat
terlalu parah tetapi dapat diamati dengan bagian mikroskopis. •
Perdarahan pada otot cricoarytenoid posterior merupakan
temuan spesifik dari berbagai penyebab ).
23

- PETECHIAE
Petechiae telah dideskripsikan pada mukosa bukal, pangkal
lidah, dan epiglotitis. Satu seri mencatat bahwa petechiae
epikardium terlihat di 19% dari menggantung dan petechia
pleura visceral di 6% . Kedua situs terlibat dalam 4%.
Petechiae internal diamati pada 10% kasus ketika gantung
selesai, 19% ketika tidak lengkap.
- Fraktur
Insidensi fraktur leher anterior pada gantung meningkat
seiring bertambahnya usia walaupun terjadi pada usia muda
dan tidak ada pada individu yang lebih tua (misalnya, anak
laki-laki berusia 14 tahun dengan fraktur tanduk superior
laring; tidak ada patah tulang pada 78 tahun). tua meskipun
osifikasi tulang rawan tiroid cukup besar. Frekuensi fraktur
tergantung pada metode uji tuntas dan diseksi yang digunakan .
Penilaian radiologis meningkatkan hasil . Pemeriksaan
stereomikroskopik telah mendokumentasikan cedera hyoid dan
laring di hampir tiga perempat dari gantung bunuh diri, hasil
yang lebih tinggi daripada yang diperoleh dengan
menggunakan metode konvensional palpasi, pencitraan
radiografi, dan diseksi pencekikan. Dalam ulasan oleh Betz dan
Eisenmenger tentang 109 gantung yang tidak disengaja dan
kematian, 37% memiliki dua tanduk superior retak; 15%
mengalami patah tanduk superior dan hyoid cornu (tanduk
besar); 10% memiliki tanduk superior dan cornu hyoid fraktur
(termasuk 28 tahun ). Dalam seri lain, fraktur hyoid biasanya
dikaitkan dengan fraktur tulang rawan tiroid. Pola cedera leher
eksternal, kerusakan kompleks hyoid-laring, dan perdarahan
terkait meningkatkan kemungkinan kompresi leher homicidal.
Tinjauan Ubelaker terhadap literatur menentukan frekuensi
fraktur berikut dalam ligatur pembunuhan dan pencekikan
24

manual: tulang rawan tiroid, 32% (ligatur) dan 34% (manual);


hyoid, 11% (ligatur) dan 34% (manual); dan krikoid, 9%
(ligatur) dan 1% (manual [149]). Tulang hyoid, struktur
bergerak, dilindungi secara anterior oleh jaringan rahang bawah
dan lunak, dan posterior oleh tulang belakang leher. Fraktur
hyoid jarang terjadi secara klinis . Sejumlah faktor menentukan
apakah patah tulang hyoid dalam pencekikan dan kematian
yang digantung. Bentuk, yaitu, kelengkungan, dari tanduk yang
lebih besar berarti bahwa fraktur biasanya terjadi di bagian
posterior dan tengah. Sebagian besar tulang hyoid simetris.
Meskipun berbagai dimensi dan bentuk — yaitu, hiperbolik
(luas = panjang) dan parabola (luas> panjang) —telah dikaitkan
dengan fraktur.
Pola, rasio lebar / panjang hyoid didistribusikan di seluruh
populasi dan tidak termasuk dalam kategori diskrit. Tingkat
osifikasi atau fusi dari sindrom cornual atau "sendi" merupakan
predisposisi fraktur . Insiden fusi dan fraktur meningkat dengan
bertambahnya usia . Anak-anak memiliki hyoid yang fleksibel
dan fraktur struktur hyoid-laring jarang terjadi. Fusion dimulai
pada individu berusia 21 hingga 30 tahun. Miller et al.
mengamati insiden keseluruhan 16,7% fusi bilateral pada
kelompok usia ini . Dataran fusi bilateral pada dekade keenam,
sehingga 60% wanita dan 70% dari synchrondroses pria
mengeras . Studi lain menunjukkan tidak ada perbedaan jenis
kelamin dalam tingkat fusi . Khususnya, persentase yang
signifikan dari orang tua masih memiliki cornua lebih besar
yang fleksibel; oleh karena itu, kompresi leher tidak dapat
dikecualikan pada individu yang lebih tua yang memiliki tulang
hyoid yang tidak mengalami fraktur. Mobilitas relatif yang
meningkat dari synchondrosis hyoid yang tidak berfusi atau
tidak sempurna tidak boleh disalahartikan sebagai fraktur .
25

Radiografi dari tulang hyoid yang dibedah dapat digunakan


untuk menilai tingkat fusi. Satu studi menunjukkan bahwa, dari
34 tulang hyoid orang berusia 21 hingga 30 tahun, 12,5%
memiliki fusi unilateral . Sekitar 30% individu yang lebih dari
70 tahun menunjukkan fusi atau nonfusi unilateral . Faktor-
faktor lain yang berperan dalam fraktur hyoid adalah sifat,
besarnya, dan distribusi kekuatan yang diterapkan pada leher
dan interval waktu antara pengaruh tekanan leher dan kematian
.Penempatan simpul di sisi leher dianggap meningkatkan
kemungkinan patah tulang . Kecenderungan lebih besar untuk
fraktur diamati ketika titik tertinggi dari ikatan ligatur ada di
belakang telinga . Yang lain telah ditemukan bahwa cedera
tulang hyoid tidak dapat diandalkan dalam menentukan lokasi
simpul . Fraktur hyoid dapat terjadi ketika suspensi tidak
lengkap (misalnya, hyoid fraktur pada orang tua yang duduk
dan mengenakan rompi yang menahan diri ). Satu studi
menunjukkan frekuensi fraktur yang lebih tinggi dalam
suspensi lengkap dibandingkan dengan suspensi tidak lengkap
(22 vs 10% ). Fraktur hyoid disebabkan oleh trauma tumpul
(misalnya, tabrakan kendaraan bermotor) dan biasanya
dikaitkan dengan fraktur lain (misalnya, mandibula, kartilago
tiroid / krikoid). Fraktur hyoid yang terisolasi mungkin terjadi
ketika ada hiperekstensi leher . Pecandu alkohol kronis
cenderung mengalami fraktur hyoid . Fraktur hyoid dan laring
ditemukan pada kematian alami, mungkin karena kontraksi otot
yang intens selama tahap agonal henti jantung atau setelah
batuk hebat . Fraktur hyoid dapat dikaitkan dengan laserasi
faring . Bahkan tanpa cedera mukosa, edema laring dapat
menyebabkan gangguan jalan nafas . Palpasi tulang hyoid in
situ dapat mengungkapkan liga stylohyoid yang dikalsifikasi
bervariasi yang melekat pada cornu yang lebih rendah, yang
26

terjadi bahkan pada anak-anak. Patah tulang di situs ini jarang


terjadi, dan ligamentum yang mengeras dengan sempurna tidak
boleh disamakan dengan fraktur.
Setiap pemeriksaan tanduk superior laring harus
mempertimbangkan variasi anatomi yang tidak boleh
dikacaukan dengan fraktur . Varian anatomis yang umum
adalah nodul kartilaginosa kartilaginosa yang dapat
dikalsifikasi dan bergerak (triticeous cartilage) dalam
ligamentum thyrohyoid di atas tanduk superior .
Insiden fraktur meningkat dengan bertambahnya usia saat
kalsifikasi berlangsung, tetapi ini bervariasi karena osifikasi
tidak berlangsung secara konstan. Kalsifikasi dapat terjadi pada
orang yang lebih tua . Fraktur tanduk superior terlihat dengan
suspensi parsial (dalam satu studi, 50% dari suspensi lengkap
dan 31% dari kasus suspensi tidak lengkap ). Fraktur laring
memang terjadi penempatan simpul yang berlawanan . Alur
sempit memiliki insiden fraktur laring yang lebih tinggi (62%)
dibandingkan tanda luas (15%) dalam satu penelitian .Fraktur
tanduk superior tidak unik untuk kompresi leher yang fatal.
Trauma tumpul langsung (misalnya, dampak kendaraan
bermotor, jatuh dari ketinggian), resusitasi, dan teknik otopsi
yang buruk dapat menyebabkan cedera ini . Fraktur lamina
memang terjadi dengan trauma tumpul. Cedera yang sembuh
dapat diidentifikasi pada tulang hyoid dan laring .Satu studi,
menggunakan spesimen otopsi skeletonized, menunjukkan
trauma sebelumnya di 17,3% dan keterlibatan dua elemen
dalam 3,2% kasus . Fraktur lama diidentifikasi dalam kartilago
tiroid (11,4%), krikoid (7,3%), hyoid (1,6%), dan trakea
(0,2%). Fraktur lamina kartilago tiroid dapat terjadi akibat
gantung yang panjang . Fraktur seperti itu dalam pengaturan
"biasa" menggantung menimbulkan kecurigaan dari pukulan
27

leher langsung pembunuhan diikuti oleh bunuh diri bertahap .


Fraktur krikoid akibat gantung bunuh diri jarang terjadi.
Fraktur tulang belakang leher biasanya dikaitkan dengan
"tetes panjang" dan menggantung pada orang yang lebih tua
dengan osteoporosis; Namun, satu laporan kasus
menggambarkan fraktur C-spine (C1-C2) pada anak laki-laki
berusia 12 tahun yang tidak jatuh jarak jauh . Seorang pria
berusia 23 tahun ditangguhkan 4,6 m (15 kaki), dan di
pinggangnya ada rantai 11-kg (25-lb) . Dia menderita patah
tulang belakang C3. Seorang anak laki-laki berusia 10 tahun
melompat di atas ranjang ketika dia digantung di tiang ranjang
oleh tali pengikat yang memegang kunci rumah . Dia
mengalami dislokasi C1 / C2. Trauma leher terkait yang luas
dapat diamati ketika tulang belakang leher retak . Dalam
gantung yudisial, panjang jatuhkan (dalam kisaran 8 kaki atau
2,44 m) dihitung berdasarkan berat subjek dengan tujuan
dislokasi leher dan hilangnya kesadaran sesaat yang
manusiawi. Meskipun “patah tulang hangman” klasik —yaitu,
fraktur-dislokasi C2 melalui pedikelnya — telah dijelaskan,
penelitian telah menunjukkan kerusakan variabel (yaitu, tidak
adanya fraktur lengkap, fraktur dari C1toC5 termasuk
keterlibatan elemen tulang lainnya). Fraktur tengkorak basal
telah diamati . Jarang, fraktur klasik terlihat pada pengguna
sabuk pengaman yang terlibat dalam tabrakan kendaraan
bermotor .
Pemenggalan kepala dideskripsikan pada individu besar,
dengan aplikasi kekuatan luar (misalnya, kendaraan bermotor)
dan dalam long drop . Kasus yang jarang dari suspensi
frontocranial, yaitu, titik suspensi dari pusat dahi dan tali di
belakang leher, telah dijelaskan . Berbeda dengan cedera yang
mengganggu pada laring-trakea dan tulang belakang leher,
28

fraktur tanduk hyoid dan superior laring biasanya bukan


merupakan penyebab langsung kematian. Mereka
mengindikasikan bahwa kekuatan signifikan telah diterapkan
pada leher, dan mekanisme asfiksial terlibat dalam kematian .

- TRAUMA DAN TEMUAN LAINNYA

Cidera lidah terlihat pada kompresi leher . Pada hiasan,


penonjolan lidah di antara gigi yang dikepalkan merupakan
temuan umum . Cedera termasuk bekas gigitan dengan atau
tanpa pendarahan kecil yang mendasarinya (perdarahan
"marginal") dan berbagai tingkat pendarahan otot "internal".
Dalam satu penelitian dari 178 strangulasi pembunuhan, 28%
strangulasi manual dan 16% strangulasi ligatur memiliki bekas
gigitan . Sebaliknya, dari 20 strangulasi bunuh diri dan 255
gantung, masing-masing 0 dan 1%, memiliki bekas gigitan.
Frekuensi pendarahan lidah yang lebih dalam adalah 53,42,50,
dan 4% dari manual pembunuhan, ligatur pembunuhan, dan
strangulasi ligatur bunuh diri, dan gantung, masing-masing.
Perdarahan ditemukan dengan sayatan lidah melintang atau
sagital. Perdarahan "sentral" merupakan indikasi dari
kemacetan parah dan lebih mungkin terjadi kematian akibat
pencekikan . Dalam satu rangkaian penggantungan, 2%
mengalami perdarahan terbatas pada ujung lidah. Beberapa
kasus gantung yang menunjukkan pendarahan lidah pada seri
ini tidak lazim, yaitu orang yang meninggal duduk atau
berlutut. Sebagian besar hiasan yang dipelajari memiliki bukti
kemacetan kranial, yaitu petechiae wajah. Mekanisme lain
yang menyebabkan perdarahan lidah adalah tekanan langsung
hyoid pada pangkal lidah . Air mata di saluran pernapasan atas
dapat diamati menyebabkan emfisema subkutan dan
29

mediastinum sekunder . Air mata intima karotid telah dikaitkan


dengan korban obesitas, tetesan panjang, dan simpul yang
ditempatkan di belakang . Robekan intima dari satu atau lebih
arteri karotis lebih sering terjadi pada suspensi lengkap (12%)
daripada suspensi tidak lengkap (2%) dalam satu seri . Cidera
karotis juga terlihat pada strangulasi pembunuhan . Sebuah
studi dari 36 gantung diri menunjukkan cedera arteri vertebralis
(ruptur, robekan intimal, perdarahan subintimal) pada
seperempat kasus . Perdarahan subintimal paling sering terjadi.
Traksi longitudinal dianggap sebagai mekanismenya, tetapi
pensiunan lengkap bukanlah prasyarat. Ada hubungan dengan
cedera tulang belakang leher. Trauma craniocerebral
memunculkan kemungkinan gantung pembunuhan; namun,
cedera timbul karena penanganan tubuh yang ceroboh . Cidera
genital apa pun bisa berarti pembunuhan seksual.

b. Pencekikan

Bunuh diri dengan pencekikan mencurigakan untuk


pembunuhan. Investigasi adegan biasanya tidak menunjukkan tanda-
tanda perjuangan. Catatan bunuh diri dapat ditemukan. Sejarah
psikiatrik masa lalu termasuk upaya bunuh diri dan ideasi dapat
diperoleh. Temuan eksternal dan internal membantu dalam
membedakan bunuh diri dari pembunuhan . Ikatan yang tidak biasa
telah digunakan (misalnya, karet gelang, kaus nilon, pakaian robek ).
Tangan almarhum bisa dekat atau terlibat dengan mengencangkan
ligatur. Strangulasi ligatur yang tidak disengaja terjadi dalam berbagai
keadaan . Sindrom "syal panjang" mengacu pada sebuah insiden di
mana sebuah artikel pakaian di sekitar leher korban menjadi terjerat,
biasanya di alat mekanis stasioner atau bergerak (misalnya, tali ski tali,
mesin mobil salju), dan pakaian menjadi semakin dibatasi karena
30

tindakan lanjutan dari mesin . Trauma tumpul juga bisa dibuktikan .


Kematian strangulasi ligatur terlihat pada asfiksia autoerotik.

c. Manual Strangulation

Penerapan fatal tekanan pada leher dengan menggunakan satu


atau kedua tangan adalah pembunuhan. Tekanan juga dapat diterapkan
oleh bagian lain dari ekstremitas (misalnya, choke hold ). Penerapan
sendiri tekanan manual untuk tujuan bunuh diri atau secara tidak
sengaja menghasilkan pelepasan cengkeraman begitu kesadaran
hilang. Petechiae cephalic diamati. Cedera eksternal pada leher bisa
terlihat jelas (luka memar, lecet termasuk goresan kuku) atau halus .
Kehadiran mereka tergantung pada sejumlah faktor: besarnya gaya
kompresi konsentrasi kekuatan pada area kecil; panjang, bentuk, dan
ketajaman kuku; elastisitas kulit; dan keberadaan bahan pelindung
leher. Tanda kuku dapat disebabkan oleh korban yang mencoba
melepaskan tekanan. Tekanan manual dapat diterapkan ke leher selama
ekstrikasi, yang mengakibatkan trauma.

Mikroskopi pada alur menunjukan epidermis dan dermis yang


terkelupas atau terkompresi. Vesikel atau lepuh yang berisis berisi
cairan serosa dan lemak terentuk. Peradangan yang berhubungan
dengan perdarahan biasanya diakibatkan reaksi vital . Adanya
peradangan biasanya konsisten dengan periode survival setelah
terjadinya kompresi leher dengan atau tanpa ada upaya resusitasi.
Reaksi peradangan terlihat di pendarahan lidah dalam kasus
pencekikan di mana penyerang mengakui korban selamat sekitar
setengah jam. Terdeteksinya granulosit yang paling awal ditemukan
pada 15 menit dalam trauma kulit terbuka dan tertutup, dan kehadiran
mereka menunjukan bahwa tidak ada episode trauma leher
sebelumnya. Studi tentang kulit atau luka tubuh lainnya mungkin tidak
berlaku untuk kasus kompresi leher karena variasi perfusi jaringan
31

yang berbeda. Deposisi fibrin pada antemortem, terjadi selama 10


hingga 30 menit setelah cedera. Reaksi "vital" lainnya, terjadi dalam
beberapa menit setelah kompresi dan jenis cedera lainnya, termasuk
terjadinya perubahan otot, seperti pada pita yang berkontraksi dan
perubahan pada hialin (degenerasi bergelombang Zenker).

Imunohistokimia telah diterapkan pada studi cedera jaringan


pada kasus strangulasi dan trauma leher tumpul. Bagian longitudinal
dari tanduk superior laring, dalam kasus kompresi leher, telah
menunjukkan perdarahan, retraksi, dan invaginasi perichondrium yang
ruptur dan tidak ruptur. Bahkan tanpa kerusakan laring, perdarahan
laryngeal dapat diamati dalam kasus strangulasi manual dan trauma
tumpul. Bagian parasaggital laring yang sudah dibentuk dengan
formalin dalam kasus strangulasi manual menunjukkan perdarahan
laring dalam tulang rawan, otot, dan epitel, temuan yang bisa berlaku
untuk jenis kompresi leher lainnya.

Biasanya 5 hingga 8 menit suspensi dapat menyebabkan


kematian, tetapi resusitasi dapat berhasil bahkan setelah 30 menit
suspensi. Kematian yang tertunda menunjukkan hipoksik-iskemik
ensefalopati dan edema serebral. Kasus langka pada ensefalopati yang
tertunda dikatakan terkait dengan lesi nekrotik pada ganglia basal .
Aspirasi dan pneumonia adalah komplikasi yang tertunda.

Toksikologi pada Kematian Kompresi Ligatur Leher

Analisis toksikologis tidak dilakukan pada semua kematian


gantung. Etanol biasanya ditemukan sebanyank seperempat hingga
setengah dari kasus bunuh diri “hanging” /digantung. Tingginya kadar
etanol perlu ditafsirkan dalam konteks apakah korban mampu
melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk bunuh diri dengan
cara “hanging”. Kehadiran pil dalam jumlah berlebihan di saluran
pencernaan bagian atas menandakan niat untuk bunuh diri . Tingkat
32

obat yang tinggi atau toksik di darah mendukung motif korban,


sehingga tidak memperlihatkan seperti obat diberikan pada korban
yang menunjukan bahwa korban meninggal akibat pembunuhan.

Cedera Artifaktual pada Wajah dan Leher Dari Resusitasi

Trauma eksternal dan internal yang berkelanjutan selama


resusitasi dapat meniru temuan yang terkait dengan kompresi leher dan
jenis asfiksia lainnya yang lebih halus (mis., dibekap). Meninggalkan
alat resusitasi di tempat dan memiliki akses ke item yang dibuang
sangat penting dalam menentukan peran mereka dalam penyebab dari
cedera. Tim penyelamat harus ditanyakan apakah ada cedera yang
terlihat sebelum mereka menjalani resusitasi atau cedera yang terjadi
ditimbulkan oleh mereka.

Temuan Eksternal (Resusitasi)

Dalam serangkaian individu yang diintubasi, 16 tahun dan


lebih tua, berikut ini yan biasa diamati dalam 24 jam:

• Luka kulit pada leher.

•Petekie wajah dan konjungtiva sebagai akibat kompresi dada.

• Trauma oral — lecet pada bibir dan mukosa bukal; memar; laserasi
(termasuk frenulum).

Studi lain tentang orang yang meninggal yang memiliki


resusitasi kardiopulmoner sebelum kematian menunjukkan bahwa
sekitar 4% dari kasus (21 dari 1677 tidak terputus otopsi medikolegal)
memiliki bukti cedera eksternal atau internal pada wajah dan leher.
Cedera eksternal terdiri dari memar dan lecet. Dapat terlihat di ujung
hidung dan lubang hidung (ventilasi mulut ke mulut), pipi (kompresi
dengan ujung jari untuk menghilangkan muntah dari mulut korban),
margin rahang bawah (rahang dorong), dan area karotis (palpasi nadi
33

karotis). Sebaliknya, dalam kasus strangulasi manual, abrasi


terdistribusi ke seluruh area leher anterior, terutama laring, dan juga
terlihat di bagian bawah wajah dan belakang leher. Luka pencekikan
cenderung berorientasi secara acak daripada sejajar satu sama lain.
Dalam studi ini, tidak ada petechiae di wajah dan konjungtiva.

Pada pediatrik (<1 tahun), berbagai trauma terlihat


menggunakan masker udara-bagvalve, resusitasi mulut ke mulut, atau
intubasi. Dikaitkan dengan masker, abrasi terlihat ecara simetris di atas
jembatan hidung, di bawah permukaan hidung, bibir, pipi, dan dagu
anterior. Memposisikan kepala dan leher pasien untuk
mempertahankan patensi jalan nafas dikaitkan dengan adanya lecet
kuku pada berbagai bagian kepala dan wajah. Resusitasi mulut ke
mulut biasanya dilakukan oleh responden pertama. Luka kuku yang
dikelompokkan secara ketat dalam distribusi perinasal yang ketat dapat
terlihat.

Potongan-potongan lebih longgar terdistribusi di pipi, dahi, dan


dagu. Intubasi menyebabkan cedera bibir (mis., kontusioasi), tetapi
lebih jarang terjadi pada anak-ana karena kurangnya gigi.Mencoba
untuk mengintubasi mulut yang tertutup dengan keras meningkatkan
kemungkinan terjadinya cedera.
34

Temuan Internal (Intubasi)

Dalam serangkaian individu yang diintubasi, cedera berikut diamati:

- Gigi yang pecah atau kendor.


- Kontusio atau laserasi pangkal lidah, epiglotis, reses piriform.
- Petekie mukosa epiglotis.
- Edema mukosa laring, kontusio, petekie (glotis dan subglotis).
- Laserasi epiglotis; laserasi lain (glotis, hipofaring )
- Stenosis glotis sebagai komplikasi jangka panjang akibat ulkus
iskemik karena tekanan; trakeostomi juga menyebabkan
stenosis subglotis.
- Laserasi atau ruptur trakeobronkial.
- Ruptur esofagus.
- Perdarahan otot leher superfisial dan dalam
- Fraktur tulang rawan hyoid dan tiroid jarang terjadi
- Pendarahan krikoid
35

Studi intubasi jangka pendek telah menunjukkan sekitar 6%


kejadian cedera laring. Sebagian besar dari cedera ini terdiri dari
hematoma submukosa. Laserasi mukosa jarang terjadi.
Perkembangan lesi ini tampaknya terkait dengan derajatnya
relaksasi pasien, adanya kesulitan dalam segi anatomi, dan
pengalaman tenaga medis dalam melakukan intubasi. Salah
penempatan tabung endotrakeal (bronkus bagian kanan, sinus
piriform, esofagus, otak melalui fraktur kranium).

Kematian autoerotic/ Autoerotic death

Paraphilia adalah gangguan mental nonpsikotik yang


menunjukan tindakan yang tidak biasa atau citra diperlukan untuk
kepuasan seksual. Kematian autoerotik terjadi ketika tindakan yang
dibuat oleh korban dengan tujuan pemuasan seksual yang langsung
menyebabkan kematian. Hazelwood et al. menyarankan lima
kriteria untuk menentukan kematian selama pada praktik
autoerotik: sebuah mekanisme fisiologis untuk memperoleh atau
meningkatkan gairah seksual yang bergantung pada mekanisme
penyelamatan diri atau penilaian korban untuk menghentikan
efeknya; aktivitas seksual solo; alat bantu fantasi seksual; praktik
autoerotik yang berbahaya sebelumnya; dan tidak terdapat
keinginan bunuh diri yang jelas.
36

Autoerotic Afiksia

Asfiksia autoerotik adalah paraphilia di mana gairah


seksual dan orgasme bergantung pada self-induced asfiksia, tetapi
tidak termasuk, dengan adanya hilangnya kesadaran. Hanging
adalah mekanisme yang paling umum digunakan. Kompresi leher
menyebabkan penurunan aliran darah otak. Akibatnya, terjadi
penghambatan kognitif yang berkurang, dan sensasi subyektif dari
sakit kepala ringan serta kegembiraan dikaitkan dengan hipoksia
dan hiperkapnia yang meningkatkan efek kepuasan dari
masturbasi. Ketika korban gagal melepaskan diri, maka berat
badan dari tubuhn mengencangkan ligature. Seperti pada kasus
hanging biasa, kesadaran cepat berkurang dan dapat menyebabkan
kematian. Stimulasi dari reflex vagal juga dapat terjadi dan
menyebabkan cardiac arrest.
37

Temuan pada tkp dan keadaan yang dikaitkan dengan kegiatan


autoerotic

Investigasi awal autoerotik hanging menunjukkan bunuh diri.


Catatan bunuh diri yang nyata dapat ditemukan. Atau, sifat adegan yang
tidak biasa dapat menyarankan pembunuhan sadis / ritualistik. Dugaan
pembunuhan juga berlaku jika korban adalah wanita, dan tidak terlalu
banyak temuan. Investigasi lebih lanjut dari tempat kejadian, keadaan
kematian dan latar belakang dari korban, dan pemeriksaan eksternal
korban membantu dalam penentuan bahwa jenis kecelakaan langka telah
terjadi. Autopsi psikologis mungkin diperlukan.

Bunuh diri secara autoerotik atau masokistik jarang terjadi.


Pembunuhan dapat disamarkan sebagai kematian autoerotik. Beberapa
hiasan fantasi tidak dilakukan untuk tujuan seksual (mis., Berpura-pura
menjadi seorang koboi. Keluarga terdekat dapat mengubah tempat
kejadian untuk menghilangkan bukti aktivitas autoerotik karena stigma
yang terkait dengan kematian tersebut. Tempat kejadian juga dapat
berubah karena ada upaya resusitasi.

Lokasi biasanya pada tempat yang aman atau terpencil (mis.,


Ruang terkunci di rumah, ruang bawah tanah atau loteng, bengkel, tempat
kerja setelah jam kerja, kendaraan bermotor, sel penjara, kamar motel /
hotel, tempat tinggal lainnya, lokasi outdoor terpencil. Tidak ada tanda-
tanda perjuangan atau pemaksaan masuk untuk menyarankan
pembunuhan. Jendela mungkin tertutup.

Korban berada dalam posisi yang memungkinkan untuk


pembebasan diri. Umumnya, tubuh korban sebagian ditopang dengan kaki
yang menyentuh tanah. Dalam sebuah penelitian di Denmark, tentang dua
pertiga dari korban digantung secara tidak lengkap, 28% sepenuhnya
digantung, 4% terbalik, dan 4% menggunakan strangulasi ligature.
Material pornografi, yang bisa bersifat homoseksual atau sadomasokis,
38

dapat ditemukan dan kaca dapat diposisikan untuk mempermudah korban


melihat tindakan. Satu laporan mengatkan terdapat foto-foto wanita yang
direkatkan ke tubuh korban. Cermin juga digunakan dalam bunuh diri,
barang-barang seksual lebih jarang ditemukan jika korbannya perempuan.
Barang yang membantu dalam aktivitas seksual dapat ditemukan di dekat
tubuh. Beberapa yang bersifat seksual (mis., Kondom, vibrator, dan objek
lainya). Barang lain yang mungkin tidak bersifat terlalu seksual (mis., kaki
meja kayu, sikat rambut, kateter kemih, penyedot debu). Pengaturan yang
lebih rumit terlihat ketika pria yang lebih tua terlibat, dan proporsi yang
menunjukkan ikatan, transvestisme, atau keduanya meningkat.

Korban dapat mempelajari perilaku autoerotik dari mulut ke mulut,


kontak dengan individu yang memiliki kecenderungan seksual yang
serupa, buku pedoman seks, buku medis, literatur pornografi, dan majalah
detektif, informasi dari media berita, film yang memperlihatkan hanging,
pengamatan suka sama suka terhadap orang lain, dan inisiatif mereka
sendiri.

Literatur yang menunjukkan metode autoerotik atau rekaman video


yang menunjukkan episode autoerotik juga dapat ditemukan. Informasi
tentang aktivitas autoerotik dapat diperoleh dari pasangan atau pacar,
kerabat, tetangga, dokter, pelacur, dan lainnya. Terdapat riwayat
paraphilias lainnya. Wawancara (mis., tidak ada riwayat depresi) dan
investigasi tkp (mis., tidak ada catatan bunuh diri) menunjukkan bahwa
korban tidak ingin bunuh diri. Temuan pada tkp dapat mendukung riwayat
kegiatan autoerotik (mis., bekas titik hanging pada balok dari hanging
sebelumnya. Kompleksitas metode dan perlengkapan yang digunakan
menunjukkan pengalaman sebelumnya.
39

Pemeriksaan Eksternal

Hanging adalah metode yang paling umum. Bahan lunak dapat


disisipkan antara ligatur dan kulit, tetapi lapisan pelindung tidak selalu
ada. Mekanisme penyelamatan diri digunakan oleh korban (mis., Pisau
untuk memotong ligatur). Dengan hanya berdiri dapat meredakan tekanan
leher saat menggantung. Pengaturan atau konfigurasi pengikatan pada
leher dan situs tubuh lainnya memungkinkan kompresi volunteer.
Pengikatan ini biasanya longgar. Bukti paraphilias lain telah diamati).
Seperti misalnya ada perbudakan, yaitu, penggunaan bahan atau perangkat
penahan fisik yang memiliki signifikansi seksual untuk pengguna (mis.
pakaian plastik, karet, atau kulit. Seorang pria mungkin terbungkus erat
dengan pakaian wanita atau barang-barang lainnya (Ekstremitas dan alat
kelamin dapat diikat). Hipertermia dapat terjadi pada ikatan yang erat.
Pengikatan membuat tanda pada bagian tubuh yang berbeda. Perangkat
dan perlengkapan seksual dapat ditemukan di atau di dalam tubuh. Benda
asing dapat hadir di rektum, vagina, atau penis. Bukti cedera yang
diakibatkan dari diri sendiri dan akibat gairah seksual dicatat di beberapa
kasus. Trauma (mis., Tindikan, luka bakar) pada alat kelamin, puting, dan
situs tubuh lainnya telah ditemukan. Rambut kemaluan mungkin dicukur.
Masokisme seksual jarang terjadi pada wanita.Bukti aktivitas seksual
dapat dilihat. Tangan korban mungkin berada di dekat area genital.
Tujuan dari tindakan autoerotik tidak selalu hanya masturbasi contohnya:
tangan tidak selalu digunakan untuk merangsang alat kelamin.

Genitalia dapat terpapar, ritsleting bisa terbuka, ditemukan semen


di dekat penis dan priapismus tidak selalu mengindikasikan masturbasi
tetapi mungkin merupakan peristiwa postmortem. Penis mungkin berada
di kondom atau bahan lain (mis., Kantong plastic yang mengandung tisu)
yang mungkin mengandung cairan mani. Cairan mani dapat ditemukan
pada pakaian atau di paha. Seringkali, pria mengenakan pakaian wanita
Pakaian itu mungkin dimiliki oleh putri istri almarhum, atau pacar.
40

Cisvestism (mis., Memperoleh kepuasan seksual dari berpakaian pakaian


khas jenis kelamin sendiri, mis., pakaian koboi, "kulit" pengendara motor)
dapat dipraktikkan. Laki-laki berpakaian silang lebih cenderung
menunjukkan bukti stimulasi diri anal dengan berbagai perangkat, cermin,
dan fotografi dari korban sendiri. Wanita jarang mengenakan pakaian yang
tidak biasa. Korban dapat sebagian atau seluruhnya telanjang.

4. POSITIONAL ASFIXIA
a. Definisi
Asfiksia posisional adalah kondisi fatal karena tubuh berorientasi
pada posisi yang tidak biasa, baik diinduksi atau didapat secara bebas yang
dapat mengganggu ventilasi paru dengan obstruksi jalan napas dan
gangguan pernapasan (Gbr. 62) (Ramsay & Shkrum, 2007).

Gambar. 62. Asfiksia posisional.

Asfiksia posisional terjadi ketika seseorang memperoleh posisi


tubuh tertentu di mana pernapasannya terganggu, seringkali karena leher
terpuntir dengan kinking atau kompresi trakea dan / atau peninggian lidah
ke hipofaring posterior. Meskipun asfiksia posisional dapat terjadi dalam
berbagai keadaan, asfiksia posisional klasik sering melibatkan individu
41

mabuk yang jatuh dalam ruang sempit sehingga leher mereka bengkok
atau terpuntir, sehingga mencegah respirasi yang memadai (Dolinak, et al.,
2005).

b. Etiologi

Kegagalan pompa ventilasi dapat disebabkan oleh penurunan


pengge rak pernapasan sentral (mis., Obat depresi), cacat dinding dada
(mis., Flail chest), dan kelelahan otot pernapasan. Seorang korban
mungkin tidak dapat melepaskan diri dari suatu posisi karena berbagai
faktor (mis., Alkohol atau obat-obatan lain, debilitasi, penyakit otak
degeneratif). Alkohol dan obat-obatan lain yang bertindak sebagai
pengendur otot depresan SSP, termasuk lidah, menyebabkan obstruksi
jalan napas. Tingkat racun dari obat-obatan ini juga menekan pusat
pernapasan pusat. Penggerak pernafasan SSP gagal merespons
meningkatnya tuntutan biokimiawi tubuh (Ramsay & Shkrum, 2007).

Terkait erat dengan asfiksia traumatis adalah apa yang disebut


'postural asfiksia', yang deskripsinya sebagai entitas terpisah cukup baru.
Ketika seseorang tetap dalam posisi tertentu untuk waktu yang lama, baik
karena terjebak, atau dalam keadaan mabuk atau kecanduan, mungkin ada
hambatan mekanis untuk gerakan pernapasan yang memadai. Selain itu,
aliran balik vena normal ke jantung mungkin terganggu.

Posisi seperti itu biasanya memerlukan inversi, baik dari seluruh


tubuh atau bagian atas; sindrom dan patofisiologi dijelaskan dengan baik
oleh Madea (1993), meskipun sebagian besar ahli patologi forensik akan
pernah mengalami situasi seperti itu dari waktu ke waktu.

Orang yang terperangkap terbalik atau bahkan hanya dalam posisi


'pisau jack', dengan bagian atas tubuh mereka ditekuk ke bawah dari
pinggang, mungkin mengalami gangguan pergerakan pernapasan sehingga
mereka menjadi hipoksia dan menderita gangguan yang signifikan akibat
sistem peredaran darah mereka, terutama aliran balik vena ke jantung.
42

c. Epidemiologi
Penulis (BK) telah melihat dua kasus di mana seorang korban
menjadi macet ketika mencoba memanjat melalui bagian atas jendela, satu
sebagai pencuri, yang lain dalam mencoba masuk ke rumah tanpa
kuncinya. Yang lain telah terlihat di mana, dalam keadaan mabuk atau
cacat lainnya mereka telah tergelincir dari tempat tidur, sehingga kepala
dan bahu mereka berada di lantai, dengan kaki dan panggul masih pada
tingkat yang lebih tinggi di tempat tidur. Ini juga dapat mengalami
gangguan yang sama dari gerakan pernapasan, yang bila berkepanjangan
dapat menyebabkan kematian.

Dalam kasus terbalik, seperti dalam kematian St Peter, itu akan


menjadi faktor utama, karena inspirasi akan terhambat oleh beratnya perut
di atas diafragma.

GAMBAR 14.14 Asfiksia postural pada pria mabuk yang mencoba


memanjat melalui jendela cahaya kipas. Kakinya tergelincir dari ambang
jendela dan ia tidak dapat melakukan gerakan pernapasan yang cukup
terhadap berat tubuhnya. Perhatikan perbedaan yang ditandai dalam
kemacetan dan ryanotic di antara kedua tangannya, wajah dan tangan
43

bagian bawah dihitamkan setidaknya pada pajangan; hipostasis ompost-


mortem.

Dalam kasus asfiksia posisional ini (Gambar 8.24), seorang pria


muda terperangkap di bawah kemudi dan di dalam roda truknya ketika
truk itu mundur setelah dibiarkan membawa gigi. Tidak ada cedera
internal yang signifikan. Dalam kasus lain dari asfiksia posisional, pemuda
yang mabuk ini jatuh ke area yang mirip lubang, merapatkan lehernya di
antara "V" batang pohon, menyumbat jalan napas dan / atau suplai darah
ke kepalanya (Gambar 8.25 dan 8.26).
44

d. Variasi dari asfiksia posisional telah dijelaskan:

- Posisi kepala turun (suspensi terbalik, "terbalik;" lihat Gambar. 63).


Berbeda dengan posisi tegak, di mana pernapasan thoraks
mendominasi, kepala seseorang yang jatuh terbatas alami gangguan
pernapasan. Dalam kasus pengantungan terbalik lengkap, viscera perut
menekan diafragma, memperpanjang fase inhalasi. Awalnya, frekuensi
pernapasan meningkat untuk mengimbangi.
45

Gambar. 63. Asfiksia posisional. Membalikkan penyangga


mengikuti rollover kendaraan. (Atas perkenan Dr. C. Rao, Unit Patologi
Forensik Regional, Hamilton, Ontario, Kanada.)

Akhirnya, hipoksia terjadi karena penurunan pergerakan dinding


dada karena kelelahan otot pernapasan. Menurunnya efektivitas otot-otot
pernapasan berarti kemampuan tekanan intra thoraks untuk
memungkinkan pengembalian vena yang efektif ke jantung berkurang.
Juga, volume darah berpindah ke kepala, di mana aliran balik vena ke
jantung tidak efisien. Aliran darah yang berkurang menyebabkan
kelelahan otot pernapasan dan akhirnya serangan jantung terjadi.

- Posisi kepala menunduk mengarah ke kematian kelinci dalam waktu


setengah hari. Denyut nadi yang menurun dan sering tidak teratur
diamati pada sukarelawan manusia. Perkiraan waktu hingga kematian
pada manusia (mis., Penerjun payung, korban dalam kendaraan yang
berguling) berkisar dari beberapa jam hingga sehari.
- Posisi Trendelenburg dalam pengaturan klinis memiliki efek pada
fungsi jantung dan paru.
- Hiperefleksi leher atau tubuh saat kepala turun atau duduk tegak (mis.,
Hiperefleks penutupan letak trakeostomi; gondok menutup jalan nafas)
menyebabkan penyumbatan saluran pernapasan.
- Badan melengkung di atas objek (mis., Tepi bak mandi) membatasi
diafragma dan gerakan dada.
- Kompresi dan suspensi perut rekreasi (mis., Gadis berusia 12 tahun
tergantung pada ayunan oleh anyaman sintetis).
- Kompresi leher atau dada (mis., Fleksi leher dari jebakan oleh tempat
tidur).
46

"Delirium gelisah", "Cegah pengendalian Asfiksia" dan penggunaan


"Tasers."

kematian selama pengendalian tengkurap (“Cegah pengendalian


Asfiksia”) timbul ketika seseorang menjadi sangat gelisah (“gelisah
delirium”), sebagai akibat dari psikosis atau keracunan obat stimulan
(misalnya kokain, halusinogen, metamfetamin), dan lemah. Kematian ini
terjadi di lembaga-lembaga dan dalam tahanan polisi; oleh karena itu,
mereka merupakan kasus yang bermasalah dan kontroversial. Selama
delirium, individu menjadi paranoid, tidak peka terhadap rasa sakit dan
gelisah. Mereka memiliki kekuatan "manusia super", dan sejumlah polisi
diharuskan menahan dan melemahkan mereka. Biasanya, para korban ini,
setelah masa perjuangan yang cukup lama, menjadi diam dan kemudian
menjadi henti jantung dan pernapasan. Berbagai bentuk pengendalian
digunakan, salah satu variasi di antaranya adalah "hog-tying" atau
"hobbling", yang telah terlibat sebagai penyebab utama kematian.

Peristiwa dan fenomena yang mengarah pada kematian yang terkait


dengan pengendalian rawan asfiksia adalah rumit dan penting terhadap
penyebab kematian lainnya, seperti penyakit dan trauma (mis. Cedera
kepala, kompresi leher, cedera visceral) dikecualikan. Ketika dihadapkan
dengan kasus rawan asfiksia yang jelas, beberapa faktor mungkin
berkontribusi pada kematian: tekanan mungkin telah diberikan pada leher;
pemberian beban berat pada dinding dada; kelelahan, hipoksia, asidosis
dan hiperpireksia dapat terjadi sebagai akibat dari perjuangan yang
panjang; perubahan fungsi reseptor otak pada orang-orang yang
merupakan penyalahguna kokain kronis membuat mereka rentan terhadap
delirium tereksitasi dan hipertermia yang terinduksi kokain; penggunaan
kokain kronis dapat menyebabkan fibrosis kardiomegali dan miokard,
yang merupakan faktor risiko aritmia, risiko yang diperkuat oleh keadaan
47

intoksikasi akut “hiper-adrenalin” dari keracunan akut. Selain itu, harus


diingat bahwa kematian dapat terjadi pada kasus delirium tereksitasi yang
tidak terkendali atau pada individu yang tertahan selain dari posisi “hog-
tied” (439a).

Kompleksitas berbagai fenomena pra-mortem dalam kasus fatal


rawan asfiksia yang ditahan mendorong serangkaian percobaan pada
sukarelawan manusia untuk menentukan sejauh mana posisi individu
normal dalam posisi tengkurap "terikat" setelah latihan mengganggu
proses. respirasi, yang bergantung pada tiga proses kritis: jalan napas
paten; mekanisme "bellows" di mana gas dipindahkan ke dalam dan keluar
dari saluran udara melalui aksi tulang rusuk, otot interkostal, diafragma,
dinding perut dan otot tambahan pernapasan; dan paru-paru di mana ada
aliran gas normal ke dan dari ruang udara dan melintasi dinding alveolar
ke dan dari pembuluh darah paru. Meskipun yang paling awal dari
penelitian ini menunjukkan bahwa posisi "terikat" meningkatkan waktu
pemulihan dari denyut jantung dan saturasi oksigen perifer setelah
berolahraga, pengamatan ini ditolak dalam penelitian berikutnya yang
menggunakan metode yang lebih canggih untuk menentukan oksigenasi
darah dan, di samping itu, yang menilai fungsi paru-paru. Studi terakhir
menunjukkan bahwa 'hot-tying' memang menghasilkan defisit paru
restriktif ringan, hingga tidak kurang dari 80% dari nilai prediksi normal,
tetapi defisiensi ini tidak terkait dengan hipoksia, hiperkapnia atau
keterlambatan restitusi paska latihan normal, denyut jantung juga tidak ada
perubahan ringan dalam fungsi paru yang berbeda dari yang terjadi pada
individu yang tidak terkendali yang berbaring terlentang atau rentan.
Penempatan hingga 50 lb berat di punggung tidak lebih lanjut
mengganggu fungsi pernapasan dalam studi tambahan pada sukarelawan
sehat "hog-tied".

Penelitian pada sukarelawan yang sehat menunjukkan bahwa


pengendalian yang di paksakan per se bukanlah satu-satunya penyebab
48

kematian dalam asfiksia yang cenderung terkendali, yang mengarah pada


komentar oleh Reay dan Howard bahwa, dalam penyebab seperti itu,
“penyebab kematian adalah masalah dugaan dan mencakup spektrum
aliran katekolamin, sindrom maligna neuroleptik, kematian psikogenik
(termasuk mania lengkap dan delirium tereksitasi), dan olahraga yang
diinduksi henti jantung ”atau, dengan kata lain, bahwa“ selama
penyelidikan [pengendalian rawan asfiksia] berbagai faktor muncul, yang
semuanya mungkin telah memainkan peran dalam kematian dan tidak ada
yang cukup meyakinkan untuk berdiri sendiri sebagai penyebab kematian
yang tidak perlu dipersoalkan. ”Dalam hal demikian, Howard dan Reay
merekomendasikan bahwa kematian disahkan“ dengan pernyataan
deskriptif yang mencakup identifikasi faktor-faktor dalam kematian”.
° Selain upaya fisik untuk pengendalian, penaklukan orang-orang yang
memperlihatkan delirium yang gelisah juga dapat melibatkan pemberian
semprotan merica dan kejutan listrik menggunakan sebuah “taser”,
kadang-kadang tanpa efek yang jelas.

“Taser” adalah senjata genggam (“perangkat ketidakmampuan


neuromuskuler”) yang menggunakan muatan mesiu untuk
memproyeksikan dua kait, yang tetap ditambatkan ke senjata dengan kabel
listrik. Ketika kait menembus atau berada di dekat pakaian, kulit, sengatan
listrik yang lumpuh yang durasinya dikendalikan oleh operator untuk
melumpuhkan korban dan memungkinkan pengendalian ditempatkan.
Beberapa model senjata taser, atau telah, tersedia, termasuk model Polisi
"asli", model "publik" yang kurang kuat dan model M26 canggih yang
lebih baru yang lebih efektif untuk melumpuhkan individu.

Taser menyebabkan cedera primer, dalam bentuk luka tusukan


kecil dan luka bakar di lokasi pengikatan kait atau cedera sekunder akibat
jatuh yang disebabkan oleh ketidakmampuan sengatan listrik.
Rhabdomyolysis juga dapat terjadi tetapi penyebabnya tidak pasti karena
49

faktor-faktor potensial myotoxic lainnya yang ada pada banyak pasien


yang mengalami taser.

Sebagian besar kematian yang dikaitkan dengan penggunaan taser


telah terjadi beberapa menit setelah sengatan listrik dan pada individu
yang juga mabuk oleh phencyclidine (phenyl-cyclohexyl-piperidine
[PCP]) dan / atau kokain, yang keduanya mampu menyebabkan kematian
mendadak, atau dalam kasus yang memiliki penyakit jantung yang sudah
ada sebelumnya. Sebuah studi kasus prospektif dari semua pasien dirawat
di Departemen Darurat selama periode lima setengah tahun yang telah
ditembak dengan taser mencatat 3 kematian pada 218 pasien; dua kasus
mengalami henti jantung 5 menit dan 15 menit setelah ditembak oleh taser,
dan satu kasus menunjukkan pernapasan kemudian henti jantung 25 menit
setelah sengatan listrik Taser — ketiga kasus memiliki kadar PCP serum
dan hati yang tinggi (439 jam). Selain itu, sebuah laporan kasus
menggambarkan seorang laki-laki berusia 16 tahun yang mengalami, dan
disadarkan kembali dari fibrilasi ventrikel setelah ia ditembak oleh taser,
memberikan beberapa bukti hubungan langsung antara sengatan listrik
Taser dan disritmia jantung yang berpotensi fatal; Namun, interval antara
penembakan Taser dan kolapsnya pasien tidak dicatat dan laporan tidak
menyatakan apakah korban mabuk oleh PCP, kokain atau zat lain.
Sebaliknya, analisis catatan kejadian defibrillator yang ditanamkan setelah
membentur Taser tidak menunjukkan bukti adanya fibrilasi ventrikel.

Studi eksperimental pada babi membuktikan bahwa muatan listrik


yang diperlukan untuk menginduksi fibrilasi ventrikuler berhubungan
langsung dengan massa tubuh dan 15 hingga 42 kali lebih besar dari
muatan yang dikirimkan oleh taser. Studi pada sukarelawan manusia yang
sehat tidak menunjukkan efek pelepasan taser pada aktivitas jantung pada
saat itu, atau 24 jam setelah sengatan listrik, sejalan dengan pengamatan
sebelumnya yang menunjukkan tidak ada kelainan EKG pada pasien yang
50

dirawat di Ruang Gawat Darurat setelah menjadi korban yang ditembak


oleh taser.

Pengamatan sebelumnya menunjukkan bahwa pemogokan Taser,


yang mengirimkan muatan listrik ke tubuh, dengan sendirinya, bukan
merupakan penyebab kematian karena kedekatan dengan keruntuhan fatal
yang diamati pada kematian akibat sengatan listrik yang khas. Namun
demikian, hampir tidak mungkin untuk membuktikan (atau menyangkal)
sejauh mana sengatan listrik, disampaikan oleh taser kepada seorang
individu dalam keadaan "delirium gelisah" fisiologis atau toksikologis,
adalah penyebab langsung kematian, masalah yang mengingatkan pada
kesulitan dalam menentukan faktor mana dari banyak faktor yang
menyebabkan kematian pada asfiksia yang cenderung terkendali, seperti
dibahas sebelumnya pada bagian ini. Oleh karena itu, ada beberapa
pembenaran untuk komentar bahwa "... sementara penggunaan tasers
umumnya aman pada orang dewasa yang sehat, penyakit jantung yang
sudah ada sebelumnya, psikosis dan penggunaan obat-obatan ... dapat
secara substansial meningkatkan risiko kematian."

e. Tanda Temuan Postmortem: Asfiksia Posisional


Kasus asfiksia posisional biasanya memiliki beberapa temuan fisik.
Karena jenazah telah dipindahkan, deskripsi akurat tentang posisi asli di
tempat kejadian sangat penting dalam menentukan penyebab kematian.
Penyebab kematian lainnya perlu dikecualikan.

Jika orang itu kepalanya menghadap ke bawah, maka memar


terlihat di bagian wajah, leher, dan dada bagian atas. Kongesti dan
pembengkakan kepala dicatat. Hubungan kulit kepala dan ptekie okular
dapat terjadi tetapi bisa juga tidak di temukan. Luka pada kulit pada
trauma tumpul, menunjukkan kesulitan, mungkin dapat ditemukan. Secara
internal, mungkin ada kongesti pada pangkal lidah, epiglotis, dan trakea.
Kongesti pada otak dan paru-paru juga diamati. Memar dinding dada,
51

diafragma, area peripankreatika, dan limpa konsisten dengan suspensi


perut.

5. DROWNING
a. DEFINISI
Drowning atau tenggelam merupakan suatu proses masuknya
cairan ke dalam saluran nafas atau paru-paru yang menyebabkan gangguan
pernafasan sampai kematian. WHO mencatat tenggelam menempati urutan
ketiga penyebab kematian di dunia akibat cedera yang tidak disengaja.
Pada tahun 2015, diperkirakan 360.000 orang meninggal karena
tenggelam, hal ini merupakan bukti bahwa tenggelam merupakan masalah
kesehatan yang perlu diperhatikan (WHO, 2018).
Menurut The Global report on drowning (2014) usia merupakan
faktor resiko utama terjadinya tenggelam. Insiden paling banyak terjadi
pada negara berkembang, terutama pada anak-anak berumur kurang dari 5
tahun. Selain umur, faktor resiko lain yang berkontribusi meningkatkan
terjadinya kasus tenggelam di antaranya jenis kelamin terutama laki-laki
yang memiliki angka kematian dua kali lipat terhadap perempuan,
penggunaan alkohol atau penyalahgunaan obat pada 50% kasus yang
melibatkan remaja maupun dewasa, anak-anak tanpa pengawasan saat
berada di air, perburukan dari kondisi medis sebelumnya (kejang, sakit
jantung, pingsan), dan percobaan bunuh diri (WHO, 2018).
b. KLASIFIKASI
Awalnya, kasus tenggelam (immersion) dan hampir tenggelam
(submersion) dianggap sama dengan keadaan tenggelam. Tenggelam
(drowning) adalah kematian akibat asfiksia yang terjadi dalam 24 jam
setelah peristiwa tenggelam di air, sedangkan hampir tenggelam (near
drowning) adalah korban masih dalam keadaan hidup lebih dari 24 jam
setelah setelah peristiwa tenggelam di air (Numa et al, 2006). Jadi,
tenggelam merupakan suatu keadaan fatal, sedangkan hampir tenggelam
mungkin dapat berakibat fatal (Kallas, 2008). Sedangkan WHO
52

mendefinisikan sebagai proses gangguan pernapasan akibat


tenggelam/hampir tenggelam dalam cairan. Luaran tenggelam
diklasifikasikan sebagai meninggal, morbiditas dan tidak ada morbiditas.
Berdasarkan temperatur air, klasifikasi tenggelam dibagi menjadi tiga
menurut Orlowski (1987), yaitu:
1. Tenggelam di air hangat (warm water drowning), bila temperatur air ≥
20°C
2. Tenggelam di air dingin (cold water drowning), bila temperatur air 5-
20°C
3. Tenggelam di air sangat dingin (very cold water drowning), bila
temperatur air <5°C
Berdasarkan osmolaritas air, klasifikasi tenggelam dibagi menjadi dua,
yaitu (Stevenson et al, 2003):
1. Tenggelam di air tawar
2. Tenggelam di air laut
Kejadian tenggelam atau submersed accident dapat memberikan dua hasil,
yaitu:
1. Immersion syndrome, yang merupakan kematian mendadak setelah
kontak dengan air dingin.
2. Submersed injury, yaitu dapat menyebabkan kematian 24 jam setelah
kejadian tenggelam, survival, atau pulihnya keadaan setelah kejadian
tenggelam.

c. PATOFISIOLOGI
Menurut Harle (2019) terdapat 4 tahapan tenggelam, diantaranya:
1. Korban menahan napas volunter hingga desakan untuk bernapas tidak
dapat ditahan lagi.
2. Terjadi aspirasi cairan ke dalam jalan napas atau tertelan ke dalam
traktus gastrointestinal.
3. Aspirasi cairan terhenti karena cedera otak anoksik, menyebabkan
konvulsi dan penurunan reflex.
53

4. Cedera otak anoksik menjadi irreversible yang berakhir pada


kematian.
Tenggelam dapat terjadi pada air asin dan air tawar, namun belum
terbukti adanya perbedaan dalam tingkat keparahan keduanya. Tenggelam
pada air tawar menyebabkan denaturasi surfaktan alveolar sehingga air
dapat dengan cepat masuk ke dalam peredaran darah dan menyebabkan
hemolisis. Pada kasus tenggelam di air asin, air mencairkan surfaktan
alveolar sehingga terjadi perpindahan plasma darah ke dalam alveoli
melalui proses osmosis sehingga terjadi hemokonsentrasi dan peningkatan
kadar elektrolit darah.
Harle (2019) juga menyebutkan adanya istilah near drowning,
yaitu individu yang tenggelan dapat bertahan lebih dari 24 jam setelah
penyelamatan. Dalam kasus ini dapat terjadi edema pulmonal,
hemoglobinuria, cardiac arrhythmia, pneumonitis, demam, sepsis, dan
sekuel dari hipoksia otak yang dapat menjadi edema otak hingga
menyebabkan kematian.

d. PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. Pemeriksaan Fisik
Penegakan diagnosis tenggelam masih tergolong sulit. Hal ini
disebabkan minimnya tanda-tanda spesifik yang dapat ditemukan pada
kasus tenggelam (Piette dan Letter, 2006). Pada pemeriksaan yang
dilakukan pada pasien yang diduga tenggelam akan ditemukan tanda-tanda
kematian akibat asfiksia seperti bercak perdarahan pada konjungtiva atau
pada pleura visceralis akibat rupturnya alveolus. Bercak ini disebut dengan
Paltauf’s spots (Farugia dan Ludes, 2011). Tanda-tanda lainnya dapat
berupa:
a) Terdapat buih yang keluar dari lubang hidung atau mulut dalam
jumlah yang banyak.
b) Muncul tanda pengeriputan kulit atau washer woman’s skins yang
dapat muncul pada ujung jari jemari, telapak tangan dan kaki.
54

c) Pada pasien yang telah tenggelam dalam waktu lama, akan


mengalami pengelupasan lapisan keratin pada tangan dan kaki
yang disebut dengan tanda sarung tangan.
d) Kuku dan rambut mudah terlepas dari tempatnya.
e) Laserasi pada beberapa bagian tubuh dikarenakan gesekan
terhadap permukaan dasar air atau aktivitas hewan.
Tanda-tanda dari pemeriksaan dalam:
a) Bertambahnya berat paru-paru dan hiperekspansi paru yang terisi
dengan air atau disebut dengan emphysema aquosum.
b) Ditemukan pasir, bebatuan kecil dan serpihan dedaunan atau
rumput laut pada jalan udara, lambung, dan duodenum.
c) Wydler’s sign atau ditemukannya air dalam lambung dalam
jumlah yang banyak.
f) Ditemukannya cairan dalam sinus spenoidalis atau disbut
Svechnikov’s Sign.

2. Pemeriksaan Penunjang
Selain pemeriksaan fisik, untuk menegakkan diagnosis tenggelam
dapat dibantu dengan peemeriksaan penunjang. Pemeriksaan diatom masih
merupakan baku emas dalam penegakan diagnosis tenggelam (Piette dan
Letter, 2006). Diatom (Bacillariophycaea) merupakan suatu organisme
uniseluler yang kebanykan ditemukan pada perairan bebas. Organisme ini
memiliki zat klorofil yang mampu membantu dalam melakukan
fotosintesis untuk menghasilkan energi untuk dirinya. Diatom dapat
ditemukan dalam sebuah koloni dan makhluk ini memiliki dinding sel
yang berlapiskan silika. Pada korban tenggelam, diatom dapat masuk
melalui saluran pernapasan menuju ke paru yang disebabkan oleh
pernapasan paksa. Selanjutnya, dapat terjadi penyebaran melalui aliran
darah menuju ke beberapa organ dalam seperti ginjal, hati dan otak (Rana
dan Manhas, 2018). Pemeriksaan diatom diambil dari sampel yang berasal
dari jaringan ginjal, hati, paru dan otak korban. Pemeriksaan dilakukan
55

secara kualitatif dan kuantitatif. Hasil dikatakan positif jika ditemukan


sebanyak 20 diatom per 100 mikrogram sedimen yang diekstraksi dari 2
gram sampel paru dan sebanyak lebih dari 5 diatom komplit (tanpa
fragmen) per 100 mikrogram sedimen yang diekstraksi dari organ ginjal,
hati, otak dan sumsum tulang. Sumsum tulang merupakan organ yang
penting, dikarenakan jika ditemukan diatom pada organ ini, diagnosis
tenggelam sangat mungkin ditegakkan. Pada pemeriksaan juga dibutuhkan
100 mL sampel air pada lokasi tenggelam sebanyak dua sampel sebagai
pembanding (Farrugia dan Ludes, 2011). Hanya pemeriksaan diatom yang
dapat membedakan kematian murni akibat tenggelam atau dibunuh
sebelum ditenggelamkan (Rana dan Manhas, 2018).
Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan untuk membedakan antara
tenggelam dalam air tawar atau air laut. Pada kasus tenggelam di air tawar,
akan terjadi hemodilusi, hiponatremia, hiperkalemia, hemolisis dan
hipervolemia. Hal ini disebabkan air tawar bersifat hipokonsentrasi
(hypotonic solution) sehingga air bergerak relatif dari alveolus menuju ke
darah dan ion natrium akan bergerak dari darah ke alveolus. Sebaliknya,
air laut bersifat hiperkonsentrasi (hypertonic solution) sehingga air
bergerak dari darah menuju ke alveolus dan elektrolit bergerak dari
alveolus ke darah. Hal ini akan menyebabkan terjadinya hemokonsentrasi,
hipovolemia, dan hipernatremia (Farrugia dan Ludes, 2011).
Pemeriksaan cairan pada sinus spenoidalis merupakan alternatif
pemeriksaan lainnya yang mungkin dapat dipertimbangkan. Baru-baru ini
terdapat sebuah penelitian yang menjelaskan bahwa kadar elektrolit dan
protein total pada cairan sinus spenoidalis dapat menjadi indikator yang
berguna dalam membedakan kasus tenggelam terutama dalam
membedakan kasus tenggelam pada air tawar atau air laut. Disimpulkan
bahwa pada cairan yang terdapat di rongga sinus yang diambil dan
diperiksa, didapatkan kadar eletrolit dan protein total lebih tinggi pada
kasus tenggelam di air laut dibandingkan terhadap air tawar (Hayakawa et
al, 2017).
56

Berdasarkan studi klinis yang dilakukan pada pasien yang selamat


dari kejadian tenggelam, derajat hipoksemia pada kasus tenggelam di air
tawar lebih tinggi dibandingkan pada air laut, namun tidak ditemukan
perbedaan luaran antara pasien tenggelam dalam air tawar maupun air laut.
Dalam hal ini, keduanya memiliki angka mortalitas, durasi rawat intensif,
dan durasi rawat dengan ventilator yang sama (Michelet et al, 2018).

e. PENANGANAN TENGGELAM
Pastikan mengangkat korban dari air dalam posisi horizontal,
karena posisi tegak akan menyebabkan presipitasi aspirasi air menuju
alveolus, menyebabkan hipotensi dan kematian. Lakukan pertolongan
pertama dengan prinsip ‘DRABC’: Danger (asesmen keamanan penolong,
lingkungan dan korban), Response (periksa respon korban dan minta
pertolongan pada lingkungan sekitar), kemudian lakukan resusitasi jantung
paru (RJP) dengan memastikan Airway (pastikan jalan udara tidak ada
hambatan), Breathing (berikan napas buatan, kecuali orang awam yang
tidak terlatih), dan Circulation (periksa sirkulasi darah pasien secara
berkala). Segera bawa korban ke rumah sakit untuk perawatan lebih lanjut
(Moon dan Long, 2002).

6. ASFIXIA TRAUMATIK
a. Definisi
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya
gangguan pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah
berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan karbondioksida
(hiperkapnea).Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan
oksigen (hipoksia hipokasik) dan terjadi kematian.
Sementara itu asfiksia traumatic diartikan sebagai keadaan asfiksia
yang terjadi sebagai akibat dari kompresi (penekanan) yang berat atau
tiba-tiba pada thoraks maupun abdomen bagian atas ataupun keduanya.
57

b. Mekanisme Kejadian
- Keadaan asfiksia traumatik merupakan hasil dari penekanan yang
terus-menerus pada dada dan abdomen oleh kejatuhan sesuatu,
kendaraan yang berat, tekanan kerumunan orang dan sebagainya.
- Asfiksia kompresif (juga disebut dengan kompresi dada) mengarah
pada suatu pembatasan mekanik dari ekspansi paru oleh kompresi pada
sumbu tubuh, yang mengakibatkan gerakan berlawanan dengan
pergerakan nafas sebenarnya. Asfiksia kompresif terjadi ketika dada
atau abdomen mengalami penekanan (terutama dari posterior).
- Pada kecelakaan, istilah asfiksia traumatik atau crush asphyxia
biasanya digunakan untuk menggambarkan asfiksia kompresif yang
dihasilkan dari keadaan tertekan atau terjepit dibawah beban maupun
gaya yang berat. Sebagai contohnya adalah kasus dimana seseorang
terjepit di kolong mobilnya ketika mencoba memperbaiki mobil dan
tubuhnya terhimpit oleh beban mobil tersebut.
- Asfiksia akibat dihimpit orang dapat terjadi ketika seseorang berada di
tempat orang yang berkerumun seperti dalam satu kumpulan dan tiba-
tiba terjadi kekacauan yang menyebabkan orang akan saling
mendorong karena mencoba melarikan diri. Dalam keadaan ini, ada
yang terjatuh terinjak-injak, dan ada pula yang terdorong serta
terhimpit beberapa lama sehingga akhirnya mati akibat asfiksia.
- Asfiksia traumatik terjadi apabila objek yang berat jatuh ke atas atau
menekan dada atau bagian abdomen atas, menyebabkan korban tidak
dapat bernafas. Terdapat juga kasus dimana korbannya mati akibat
asfiksia traumatik karena ditekan dengan lemari es atau pepohonan;
terjepit dalam kenderaan sewaktu kecelakaan atau terjepit diantara
kayu-kayu besar. Kompresi dada juga dapat terjadi pada berbagai oleh
raga gulat militer, yang kadang disebut dengan istilah “wringing”.
Berbagai teknik digunakan untuk mengunci lawan. Sebagai contohnya
adalah kompresi pada dada yang meliputi posisi yang disebut dengan
knee-on-stomach position, atau teknik seperti leg scissors (juga disebut
58

dengan body scissors, do-jime, dan trunk strangle) jika pelaku


melilitkan kaki di sekitar pertengahan tubuh lawan dan menekan nya
bersamaan.
c. Gambaran Klinis:
Temuan klinisnya adalah craniocervical cyanosis/cervicofacial
cyanosis dan edema, subconjunctival haemorrhage atau petechiae, serta
distensi dari vena leher. Sering dihubungkan dengan cedera yang meliputi
kontusio pulmoner dan hemothoraks.

(A) The knee-on-belly position yang menekan dada, membuat


orang di bawahnya kesulitan bernafas. (B) Asfiksia traumatik dengan
beban badan sendiri.
d. Pemeriksaan Jenazah
- Oedema paru adalah hal yang tersering terjadi pada kasus asfiksia. Hal
ini disebabkan dari efek hipoksia pada pusat vasomotor dengan
berbagai macam derajatnya, bila udem paru berat maka akan tampak
buih berwarna merah muda keluar dari hidung dan mulut dan bila
udem paru ringan maka pemeriksaan hanya dapat dilihat dengan
pemeriksaan histologi paru.
- Pada kasus traumatik asfiksia dimana dada tertekan, bronkus dan
trakea terdapat darah, hal ini biasanya terjadi pada koban kecelakaan
lalu lintas. Kondisi ini sering terjadi pada tulang dada yang lentur yaitu
pada anak-anak dimana dadanya tertekan tanpa menimbulkan patah
59

tulang iga yang kemudian kembali ke bentuk semula.Pada keadaan ini,


hemoragi terjadi akibat dari benturan dan laserasi internal paru-paru
dan sering menjadi hemoragi yang luas tanpa menyebabkan robekan
pleura. Yang perlu diperhatikan pada korban kecelakaan adalah
perdarahan asfiksia, dimana darah terhisap dari luka yang ada di
hidung, bibir dan rahang. korban bisa diselamatkan jika hal ini
diketahui dengan cepat. Dengan cara aliran udara dilancarkan dengan
penghisapan.
- Kongesti yang berat pada jaringan diatas area penekanan serta petekie
perdarahan yang banyak di kulit dan konjungtiva, juga edem dan
dipenuhi dengan darah.
- Terdapat kongesti berwarna biru keunguan di bagian kepala, leher dan
badan atas bersama bintik-bintik perdarahan di bahagian sklera,
konjunktiva dan kulit sekitar mata. Pemeriksaan mata selanjutnya
menunjukkan bagian konjungtiva yang sangat merah akibat kongesti
dan bagian retina menunjukkan tanda perdarahan.
- Pemeriksaan organ dalam biasanya tidak menunjukkan kecederaan
walaupun terdapat objek berat yang menghimpit dada korban. Kadang
kala terdapat patah tulang rusuk dan tulang dada.
7. WEDGING
a. Definisi
Wedging adalah bentuk asfiksia mekanik di mana wajah, leher,
atau rongga dada ditekan di antara dua struktur yang kuat. Orang dewasa
dapat terjepit di antara papan tempat tidur dengan kasur.
b. Angka Kejadian Wedging
Dalam sebuah tinjauan terhadap 2.178 bayi yang berusia kurang
dari 13 bulan yang meninggal karena asfiksia mekanik di Amerika Serikat
dari tahun 1980 hingga 1997, kasus paling sering adalah terjepit atau
wedging (40%), diikuti oleh obstruksi oronasal atau pencekikan (24%),
pembekapan atau overlaying (8%), terjerat dalam keadaan tergantung
(7%), dan hanging (5%).
60

Anak kecil, berusia 3 bulan hingga 2 tahun, biasanya ditemukan di


tempat tidur orang dewasa atau tempat tidur bayi sendiri. Satu studi
menunjukkan bahwa wedging terlihat terutama pada anak-anak berusia 3
hingga 6 bulan. Pada tahap ini, bayi memiliki kemampuan untuk bergerak
ke sudut ranjang dan ranjang bayi, tetapi mereka tidak memiliki
perkembangan otot untuk dapat mengeluarkan diri dari posisi terjepit.
Mereka menjadi terjepit di antara kasur dan dinding, bingkai tempat tidur,
perabot, jala, atau kasur lain. Orang tua mungkin percaya bahwa
mendorong ranjang ke dinding mencegah anak dari terjatuh saat tidur.
Mekanisme kematian dalam kasus-kasus ini bisa berupa aspirasi.
c. Tanda
Beberapa temuan eksternal terlihat; ini menekankan pentingnya
reka adegan di TKP dan wawancara. Beberapa kasus menunjukkan
kontusio atau lecet wajah. Tanda dan lekukan linear pada kulit kepala
dan leher sesuai dengan kontak dengan permukaan yang keras (misal:
Tepi ranjang). Petechiae wajah jarang terjadi, berbeda dengan kasus
asfiksia traumatis dewasa. Tidak ada luka pada mulut yang diamati.
Menemukan beberapa luka pada kulit dan mulut meningkatkan
kecurigaan asfiksia non-accidental. Sebagian kecil kasus memiliki
petechiae intrathoracic; biasanya hanya sedikit yang tampak.

Sumber: Shkrum, Michael. J & Ramsay, D.


A., 2007, Forensic Pathology of Trauma, New
Jersey: Humana Press
BAB III

KESIMPULAN

Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan


pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia)
disertai dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian
organ tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi
kematian.
Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan
terhalang memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat
mekanik). Asfiksia mekanik terdiri dari smothering, choking, strangulation,
positional asphyxia, drowning, traumatic asphyxia dan wedging.
Orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dibedakan
menjadi 4 fase, yaitu: fase dispneu, fase konvulsi, fase apneu dan fase akhir. Masa
dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya
berkisar antara 4-5 menit. Fase dispneu dan fase konvulsi berlangsung kurang
lebih 3-4 menit, tergantung dari tingkat penghalangan oksigen, bila tidak 100%
maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas.
Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan sianosis pada bibir, ujung-
ujung jari dan kuku. Perbendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi
jantung kanan, merupakan tanda klasik pada kematian akibat asfiksia. Warna
lebam mayat kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat, terdapat busa halus pada
hidung dan mulut, dan tampak pembendungan pada mata berupa pelebaran
pembuluh darah, konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase konvulsi.
Pada pemeriksaan dalam jenazah, kelainan yang mungkin ditemukan
adalah darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, busa halus dalam saluran
pernapasan, pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga
menjadi lebih berat dan berwarna lebih gelap, ptekie dapat ditemukan pada
mukosa usus halus, epicardium, subpleura viseralis, kulit kepala bagian dalam,
serta mukosa epiglottis, edema paru terurtama yang berhubungan dengan

61
hipoksia, adanya fraktur laring langsung dan tidak langsung, perdarahan faring
terutama yang berhubungan dengan kekerasan.

62
DAFTAR PUSTAKA

Dolinak D, Matshes EW, Lew EO. 2005. Forensic Pathology


Principles and Practice. Elsevier. London. pp: 201-202.

Graham MA. 2016. Pathology of Asphyxial Death.


https://emedicine.medscape.com/article/1988699-overview#a2. [
Diakses 29 Oktober 2019 ]

Farrugia, A., Ludes, B. 2011. Forensic Medicine. Europe: Intech.


Harle, L. 2019. Forensic Pathology Types of Injuries: Drowning. UW
Medicine Pathology. www.pathologyoutlines.com
Kallas, H. 2007. Drowning and near drowning. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi
ke-18. Philadelphia: Saunders. h. 321-30.
Michelet, et al. 2018. Drowning in Fresh or Salt Water: Respective
Influence on Respiratory Function in a Matched Cohort Study.
European Journal of Emergency Medicine. 00(00): 1-5.
Moon, R.E., Long, R.J. 2002. Drowning and Near Drowning.
Emergency Medicine. 14: 377-386.
Numa, A.H., Hammer, J., Newth, C. 2006. Near-drowning and
drowning. Dalam: Chernick V, Boat TF, Wilmott RW, Bush A,
penyunting. Kendig's disorders of the respiratory tract in children.
Edisi ke-7.Philadelphia: Saunders-Elsivier. hlm. 661-75.
Piette, M.H.A., Letter, E.A.D. 2006. Drowning: Still a Difficult
Autopsy Diagnosis. Forensic Science International. 163: 1-9.
Orlowski, J.P. 1987. Drowning, Near-drowning, and Ice-water
Submersions. Pediatr Clin North Am. 1987. 34(1):75-92.
[Medline].

62
63

Rana, A., Manhas, S. 2018. Significance of Diatoms in Diagnosis of


Drowning Deaths: a Review. Journal of Forensic & Genetic
Sciences. 1(5): 1-5.

Robi M, Siwu FL, Kristanto E. 2016. Gambaran kasus asfiksia mekanik


di Bagian Forensik RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou periode tahun
2010 -2015. Jurnal e-Clinic. 4(2): 1-5.

Shkrum MJ, Ramsay DA. 2007. Forensic Pathology of Trauma


Common Problems for the Pathologist. Elsevier. London. pp: 65-
67

Stevenson, M., Rimajova, M., Edgecombe, D., Vickery, K. 2003.


Childhood Drowning: Barriers Surrounding Private Swimming
Pools. Pediatrics. 111;e 115-9.

World Health Organization (WHO). 2018. Drowning from


https://www.who.int/en/news-room/fact-sheets/detail/drowning
[diakses pada tanggal 12 Oktober 2019]

Anda mungkin juga menyukai