Anda di halaman 1dari 3

Glositis dan Sjorgen syndrome

Sindrom Sjögren atau autoimmune exocrinopathy adalah penyakit autoimun


dan inflamasi kronik yang ditandai dengan hipofungsi kelenjar endokrin akibat
infiltrasi limfosit pada glandula sekretori dan pembentukan autoantibodi.
Prevalensinya kurang lebih 0.5 – 1% dari populasi dan lebih sering terjadi pada
wanita daripada pria dengan perbandingan 9:1, pada usia 20 – 30 tahun (Carr et al,
2012).
Sindrom Sjögren dibagi menjadi dua, yaitu primary Sjögren Syndrome, apabila
berdiri sendiri, dan secondary Sjögren Syndrome, apabila co-exist dengan penyakit
autoimun yang lain seperti systemic lupus erythematosus (SLE) dan rheumatoid
arthritis. Manifestasi klinis yang khas dari sindrom Sjögren adalah sicca syndrome
yand ditandai dengan kekeringan pada mata, rongga mulut (xerostomia), faring,
laring, dan juga vagina. Manifestasi klinis ekstraglandular dapat ditemukan,
tergantung apa penyakit co-exist nya (Hernanández-Molina et al, 2009).
Manifestasi klinis oral dari penyakit ini, yaitu xerostomia, merupakan salah satu
tanda yang paling mengganggu. Adanya infiltrasi limfosit dan autoantibodi pada
glandula saliva menyebabkan hipofungsi kelenjar tersebut, sehingga terjadi
hiposalivasi. Padahal, fungsi dari saliva itu sendiri adalah sebagai pelumas alami
dan proteksi terhadap bakteri dan jamur (Both et al, 2017; Mathews et al, 2008;
Mays et al, 2012).
Saliva sangat berperan dalam mencegah terjadinya infeksi oportunistik
C.albicans. Protein pada saliva akan membentuk salivary-derived pellicle yang
terdapat pada enamel dan epitel oral. Salah satu komponen terbesar dari pellicle
adalah mucin, suatu glikoprotein yang berperan sebagai proteksi epitel terhadap
enzim mikroba. Selain itu, pellicle juga terdiri dari sIgA, cystatin S, basic proline-
rich proteins (PRPs), statherins, dan carbonic anhydrase yang berperan dalam
pencegahan pertumbuhan C. albicans (Salvatori et al, 2016).
Hiposalivasi dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi oportunistik C.
albicans sehingga terjadi candidiasis oral. Candidiasis oral sendiri dapat
menyebabkan glossitis; median-rhomboid glossitis atau atrophic glossitis. Faktor
virulensi dari candida adalah adherence, evasion, invasion, dan destruction dari sel
inang. Hifa candida akan berpenetrasi secara perpendicular hingga ke lapisan
spinosu oleh bantuan enzim proteinase, lipase, dan enzim lainnya. Ketika C.
albicans berhasil menginvasi lapisan epitel, langkah terakhir dalam proses infeksi
adalah kerusakan, yang ditandai dengan hilangnya epitel superfisial (Tang et al,
2016). C. albicans menginduksi apoptosis dan nekrosis pada sel epitel oral (Villar
dan Zhao, 2010). Komponen hifa akan menyebabkan disorganisasi dari epitel.
Karena hiposalivasi juga, proses dinamik seperti pergerakan lidah dan otot dalam
rongga mulut dapat menyebabkan lepasnya lapisan keratin (Silva et al, 2011).

Gambar 11. Mekanisme komponen saliva sebagai protektor


rongga mulut.
Tatalaksana
Karena pasien cenderung hiposalivasi, harus diedukasi untuk menjaga
kebersihan oral untuk mencegah infeksi. Tatalaksana dari glossitis yang
diakibatkan oleh xerostoma pada sindrom Sjögren yaitu dapat diberikan saliva
buatan atau obat antikolinergik. Untuk candidiasisnya dapat diberikan antifungal
seperti nystatin atau flukonazol. Konsultasikan terlebih dahulu kepada dokter gigi
(Villa, Christopher, dan Silvio, 2015).
Untuk penyakit dasarnya sendiri, yaitu Sindrom Sjögren, bisa diberikan steroid
tetapi harus dilakukan pemantauan ketat terhadap efek sampingnya, mengingat
bahwa steroid sendiri memiliki efek immunosupresan. Konsultasikan pasien
dengan ahli reumatologi untuk diagnosis dan penatalaksanaan (Both et al, 2017).

Anda mungkin juga menyukai