Anda di halaman 1dari 32

Tugas Kelompok

Epidemiologi Lanjut
Dosen : Prof. Dr. drg. A. Arsunan Arsin, M.Kes

MASALAH KESEHATAN MASYARAKAT DAN LINGKUNGAN DARI ASPEK BIOLOGIS


“EPDEMIOLOGI DAN GAMBARAN PENYAKIT MENULAR TUBERKULOSIS”

OLEH :

KELOMPOK 1

Nama NIM Kelas


Mar’atus Shadiqah K012211069 D
Linda Junne Toumahuw K012211074 D
Nuramalia K012211081 D
Liskha Ayuningrum K012202028 D
Sally Pobas K012202061 D
Alimudin K012202068 D
Hernianti K012202081 D
Annisa Citra Islami K012211044 F
Musdaliva Tri Riskiani Almin K012202001 F
Mia Riani K012202019 F
Nur Ulfiani K012202054 F
Nelisa Jily Pasulu K012202004 F
Amaliah Amriani. AS K012202037 F
Ayu Ardhiny Brilyana K012202030 F
Khumaira K012211071 G
Novi Aryanti K012202005 G
Mutmainnah K012202010 G
Sri Ainun Muhtia K012202021 G
Lidya Rumaketty K012202026 G
Besse Dahlia K012202034 G
Khansa Luthfiyyah K012202076 G
Eni Adriani Abidin K012202009 H
Andi Sitti Nurmagfirah K012202017 H
Muhammad Arinal Surgama Yusuf K012202023 H
Putri Zulaeka K012202039 H
Eszha Widnatusifah K012202046 H
Febiyanti Afitia Rohman K012202067 H
Ghea Fricilia Sambe K012202079 H

FAKULTAS ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM STUDI S2 KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatuulahi wabarakatuh


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak sanggup
untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada
baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan syafa’atnya di akhirat.
Tidak lupa, Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas akhir dari mata kuliah dengan judul “ EPIDEMIOLOGI
PENYAKIT MENULAR TUBERKULOSIS”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari
pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih lagi.
Demikian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, penulis mohon maaf yang sebesar-
besarnya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yaitu khususnya kepada dosen kami yang
telah membimbing dalam menulis makalah ini. Demikian, semoga makalah kami bisa memberikan
manfaat bagi setiap pihak terutama bagi mereka para pembaca.
Wassalamualaikum waramatullahi wabarakatuh

Makassar, 12 Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................................ii
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................................3
C. Tujuan....................................................................................................................................3
BAB II EPIDEMIOLOGI TUBERKULOSIS...............................................................................4
A. Sejarah Tuberkulosis.............................................................................................................4
B. Klasifikasi.............................................................................................................................5
C. Patogenesis...........................................................................................................................6
D. Situasi Tuberkulosis Di Dunia..............................................................................................7
E. Situasi Tuberkulosis Di Indonesia........................................................................................8
F. Triad Epidemiologi.............................................................................................................10
................................................................................................................................................
G. Dampak Tuberkulosis Bagi Negara....................................................................................16
BAB III PEMBAHASAN..............................................................................................................18
BAB IV PENUTUP........................................................................................................................25
A. Kesimpulan.........................................................................................................................25
B. Saran ..................................................................................................................................25

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit infeksi paru menular yang masih menjadi
masalah kesehatan di dunia terutama negara berkembang. Penyakit tuberkulosis sudah
dicanangkan oleh WHO (World Health Organization) sebagai Global Emergency sejak tahun
1992 (PDPI, 2011). Tuberkulosis merupakan pembunuh nomor satu diantara penyakit
menular dan penyebab ke-3 kematian setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut
di Indonesia (PDPI, 2006). Penyakit tuberkulosis (TBC) masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat secara global. Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini mengifeksi manusia sekitar tiga juta tahun
yang lalu dan terjadi di Afrika Timur. Secara signifikan penyakit ini dianggap sebagai
phthisis pulmonalis dan wabah putih yang mengacu pada penurunan berat badan yang
signifikan sehingga mengakibatkan wajah yang tampak pucat pada panderita sebagai dampak
penyakit Tuberkulosis (Turgut et al., 2017).
Secara global kasus baru tuberkulosis mencapai 6,4 juta jiwa yang setara dengan 64%
dari penderita keseluruhan yakni mencapai 10 juta penderita. Tuberkulosis merupakan
sepuluh besar penyakit yang menjadi penyebab kematian diseluruh dunia dengan prevalensi
kematian mencapai 1,3 juta pasien (Kementerian Kesehatan RI, 2019). World Health
Organization (2019) dalam Global Tuberculosis Report 2019 melaporkan bahwa dari total 10
juta penderita diseluruh dunia proporsi penderita laki- laki mencapai 57%, wanita 32%, anak-
anak mencapai 11% dan 8,6% hidup dengan penyerta HIV.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2019 (data per 1
Mei 2019), Estimasi jumlah kasus penyakit tuberculosis di Indonesia sebanyak 842.000
kasus, diperkirakan sebanyak 32% kasus yang belum terlapor dan 85% kasus telah berhasil
di obati. Tahun 2019, terdapat 543.874 kasus TBC yang ditemukan. Meskipun cukup tinggi,
namun angka tersebut mengalami penurunan dibandingkan tahun 2018 (22.749 kasus) berkat
upaya pengendalian penularan kasus TBC yang telah dilakukan. Jumlah kasus tertinggi
umumnya terjadi pada provinsi dengan jumlah penduduk terbesar yaitu Jawa Barat
(123.021), Jawa Timur (65.448), dan Jawa Tengah (54.640). jika dijumnlahkan, kasus
diketiga provinsi tersebut hampir mencapai setengah dari jumlah seluruh kasus tuberkulosis
di Indoensia (45%). Meskipun demikian, terdapat 22 provinsi yang angka kasusnya dibahas
10.000 kasus. Beberapa prvinsi dengan jumlah kasus terendah adalah Kalimantan Utara
(1.781), Kepulauan Bangka Belitiung (2.168) dan Maluku Utara (2.203) (Kemenkes, 2019).
Berdasarkan seluruh Kabupaten/Kota se-Sulawesi Selatan, Kota Makassar menduduki
peringkat pertama dengan jumlah penderita TB Paru BTA Positif sebanyak 1.951 kasus,
menyusul Kabupaten Wajo sebanyak 606 kasus dan Kabupaten Bone sebanyak 458 kasus
(Dinkes Provinsi Sulsel, 2018).
TBC juga merupakan salah satu indicator keberhasilan SDGs yang harus dicapai oleh
Indonesia, yaitu menurunkan angka kesakitan dan angka kematian menjadi setengahnya di
tahun 2030. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan penderita penyakit

1
Tuberkolosis (TBC) di Indonesia mencapai 1.020.00. Namun yang dilaporkan ke Kementrian
Kesehatan (Kemenkes) sekitar 450 ribu kasus, jadi sisanya masih tidak terlaporkan. Padahal
Kemenkes mengklaim sudah memberikan pelayanan kepada sekitar 730.000 orang penderita
atau sekitar 70 persennya. Kemnkes terus berupaya mengeliminasi TBC pada 2035 bisa
diwujudkan. Karena itu pemerintah terus berupaya meningkatkan penemuan kasus ini
sebanyak-banyaknya agar lansgung mengurangi sumber penularan (Kemenkes, 2016).
TBC paru mudah menginfeksi pengidap HIV/AIDS, orang dengan status gizi buruk dan
dipengaruhi oleh daya tahan tubuh seseorang. Penularan TBC paru terjadi ketika penderita
TBC paru BTA positif bicara, bersin atau batuk dan secara tidak langsung penderita
mengeluarkan percikan dahak di udara dan terdapat ±3000 percikan dahak yang mengandung
bakteri. Bakteri TBC paru menyebar kepada orang lain melalui transmisi atau aliran udara
(droplet dahak pasien TBC paru BTA positif) ketika penderita batuk atau bersin. TBC paru
dapat menyebabkan kematian apabila tidak mengkonsumsi obat secara teratur hingga 6
bulan. Selain berdampak pada individu juga berdampak pada keluarga penderita, yaitu
dampak psikologis berupa kecemasan, penurunan dukungan dan kepercayaan diri yang
rendah (Astuti S. dalam Kristini, 2019).
Seseorang yang terinfeksi TB paru akan menimbulkan berbagai dampak di
kehidupannya, baik secara fisik, mental, maupun sosial. Secara fisik, seseorang yang telah
terinfeksi TB paru akan sering batuk, sesak nafas, nyeri dada, berat badan dan nafsu makan
menurun, serta berkeringat di malam hari. Semua hal itu tentunya akan mengakibatkan
seseorang tersebut menjadi lemah. Secara mental, seseorang yang telah terinfeksi TB paru
umumnya akan merasakan berbagai ketakutan di dalam dirinya, seperti ketakutan akan
kematian, pengobatan, efek samping dalam melakukan pengobatan, kehilangan pekerjaan,
kemungkinan menularkan penyakit ke orang lain, serta ketakutan akan ditolak dan
didiskriminasi oleh orang-orang yang ada di sekitarnya (Setyaningtyas, 2019).
Agen dan lingkungan menjadi dua faktor penting terjadinya penularan Mycobacterium
Tuberculosis dari penderita kepada orang lain yang berada di sekitar penderita. Agen di udara
dapat terjadi karena penderita memiliki perilaku meludah disembarang tempat sementara
droplet penderita masih mengandung Mycobacterium Tuberculosis. Faktor lingkungan
penderita juga turut meningkatkan resiko penularan Mycobacterium Tuberculosis seperti
lingkungan perumahan yang buruk sehingga dapat meningkatkan penularan Mycobacterium
Tuberculosis dari penderita kepada anggota keluarganya yang berada satu rumah
(Setyaningtyas, 2019). Oleh sebab itu, Penyakit TBC dapat menjadi salah satu masalah
kesehatan masyarakat dan lingkungan karena memberi dampak secara tidak langsung sebagai
aspek Biologis yang disebabkan oleh penularan hingga penyebaran dari penyakit TBC itu
sendiri. Sehingga perlu adanya perencanaan, intervensi/ tindakan pencegahan hingga
penanganan maupun evaluasi secara berkala yang dilakukan tidak hanya oleh pihak tenaga
kesehatan maupun ahli kesehatan masyarakat, namun melibatkan multi sektor dan partisipasi
masyarakat, agar tujuan ataupun capaian dari solusi untuk mengurangi dan mengatasi
masalah kesehatan akibat penyakit TBC, dapat teratasi secara optimal, efektif, efisien dan
berkelanjutan.

2
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran penyakit tuberkulosis (TBC) secara Global, Nasional dan
Regional?
2. Bagaimana distribusi penyakit tuberkulosis (TBC) berdasarkan Jenis Kelamin, Umur,
Pendidikan dan Pekerjaan.
3. Bagaimana konsep penyakit TB, Dampak dan Pencegahan hingga penanganannya?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui gambaran penyakit Tuberkulosis (TBC) secara Global, Nasional dan
Regional.
2. Untuk mengetahui bagaimana distribusi penyakit tuberkulosis (TBC) berdasarkan Jenis
Kelamin, Umur, Pendidikan dan Pekerjaan.
3. Untuk mengetahui konsep penyakit TB, Dampak dan Pencegahan hingga
Penanganannya.

3
BAB II

EPIDEMIOLOGI TUBERKULOSIS

A. Sejarah Tuberkulosis
Tuberculosis merupakan salah satu penyakit yang tertua yang pernah diidentifikasi dari
manusia. Penyakit ini sudah teridentifikasi sekitar 3400 tahun sebelum Masehi, ketika para
ilmuwan menemukan gambaran khas tuberculosis tulang pada mumi seorang anak kecil di
Mesir yang mengalami kelainan krena tuberculosis. Gambaran mikroskopis yang khas ini
juga ditemukan pada tulang dari mumi lain yang berasal dari Peru dari masa 700 sebelum
Masehi. Hippocrates(460-370 SM) sangat berjasa karena dialah yang pertama kali
menjelaskan gambaran dari penyakit tuberculosis yang dihubungkan dengan demam dan
terjadinya luka di paru-paru yang tidak bisa disembuhkan. Dia menamakan penyakit ini
“pthisis” dari bahasa Latin yang berarti membuang atau kerusakan (Mertaniasih et al., 2013).
Sebagaimana penyakit AIDS, tuberculosis diduga pada awalnya berasal dari hewan
yang menular ke manusia. Dahulu penyakit ini diduga merupakan penyakit yang menyerang
sapi, bukti-bukti penyakit tuberculosis pada hewan ditemkan pada bison yang hidup 18.000
tahun yang lalu. Ketika manusia mulai membangun budaya untuk menetap dan membentuk
masyarakat, mereka memelihara hewan piaraan di kandang yang dekat dengan mereka , di
dalam rumah atau di bawah rumah. Dari sapi inilah beberapa petani mulai terpapar, petani
dan keluarga mereka mulai menghirup udara yang mengandung Mycobacterium bovis atau
melalui susu sapi yang mereka perah. Bertahun-tahun kemudian Mycobacterium bovis
mengalami mutasi sedikit demi sedikit menjadi Mycobacterium tuberculosis itulah mengapa
Mycobacterium bovis sangat mirip dengan Mycobacterium tuberculosis sehingga keduanya
dimasukkan dalam satu kelompok yaitu Mycobacterium tuberculosis complex.
Tuberculosis menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama selama masa revolusi
industry di Eropa. Terjadinya urbanisasi ke kota-kota di Eropa Barat menyebabkan
munculnya kepadatan penduduk, meluasnya kemiskinan dan rendahnya kebersihan, ini
semua menjadikan penyakit tuberculosis menyebar dengan cepat di Eropa Barat. Dua puluh
persen kematian di Eropa Barat pada waktu itu disebabkan oleh tuberculosis. Ketika Eropa
mulai menjajah Amerika Utara dan bagian lain di dunia. Maka bersama mereka, penyakit
tuberculosis juga menyebar ke seluruh dunia. Puncak epidemic tuberculosis di Eropa terjadi
pada awal tahun 1800 dan di Amerika terjadi di awal 1900. Laennec, yang menemukan
stetoskop, secara akurat menggambarkan evolusi TB, dari tuberkulum kecil mengawali
semua manifestasi patologis, pada tahun 1819. Dua puluh tahun kemudian, Schonlein juga
mengakui tuberkulum sebagai lesi anatomi dasar dan dari mana tuberkulum inilah akhirnya
penyakit ini disebut sebagai tuberculosis. Koch mengidentifikasi basil tuberkel pada tahun
1882 dan penemuan Roentgen x-ray pada tahun 1895 sangat meningkatkan kemampuan
untuk mendiagnosis TB pada awal perjalanan penyakit (Mertaniasih et al., 2013).
Tuberculosis (TB) atau dikenal dengan nama TBC di Indonesia memiliki sejarah yang
panjang dan bisa ditelusuri dengan membagi beberapa periode. Pada abad ke delapan kasus
TB tercatat pada salah satu relief di candi Borobudur tergambar penderita yang kurus kering.
Sebelum Indonesia merdeka yaitu di zaman Hindia Belanda ada beberapa catatan terkait

4
kegiatan TB, yaitu Perkumpulan Centrale Vereniging Voor Tuberculose Bestrijding (CVT)
dibentuk pada 1908 dan tahun 1939 didirikan 15 sanatorium untuk perawatan pasien TB paru
dan 20 consultatie bureau yang memberi penyuluhan dan pengobatan. Setelah merdeka yaitu
pada zaman orde lama (1945-1966) didirikan Lembaga Pemberantasan Penyakit Paru-Paru
(LP4) didirikan di Yogyakarta. Dikenal dengan Balai Pemberantasan Penyakit Paru-paru
(BP4), lembaga tersebut disebarluaskan hingga ke 53 lokasi. Pada tahun1950 Jenderal
Soedirman meninggal karena TB (RI, 2016).
B. Klasifikasi
a) Tuberkulosis Paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk
pleura (selaput paru). Berdasarkan pemeriksaan dahak, Tuberkulosis paru terbagi menjadi
2 yaitu Tuberkulosis Paru Basil Tahan Asam positif dan Tuberkulosis Paru Basil Tahan
Asam negatif.
b) Tuberkulosis ekstra paru adalah Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh selain
jaringan paru, misalnya pleura (selaput paru), selaput otak, selaput jantung, kelenjar
limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.
Berdasarkan keparahannya, Tuberkulosis Ekstra Paru dibagi menjadi 2 yaitu:
1) Tuberkulosis Ekstra Paru Ringan Misalnya: Tuberkulosis kelenjar limfe, pleuritis
eksudatif, unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
2) Tuberkulosis Ekstra Paru Berat Misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis,
pleuritis eksudatif dupleks, Tuberkulosis tulang belakang, Tuberkulosis usus,
Tuberkulosis saluran kencing dan alat kelamin.
C. Patogenesis
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB dalam
percikan pernapasan (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5µm) akan terhirup dan
dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh
mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons imunologis spesifik. Akan
tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang
tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB
yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat
dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag dan akhirnya menyebabkan lisis
makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut yang dinamakan
Fokus primer Ghon. Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe
menuju kelenjar limfe regional yaitu kelenjar limfe yang mempuyai saluran limfe ke lokasi
fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfafenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di
lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus
(perihiler), sedangkan jika fokus primer terletaka di apeks paru, yang akan terlibat adalah
kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer limfangitis dan limfadenitis dinamakan
kompleks primer (primary complex) (Asik et al., 2016).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian masa
inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman

5
hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi 2-12 minggu, biasanya
berlangsung selama 4-8 minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak
hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas selular. Pada masa terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah
terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang
dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein yaitu uji
tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar
individu dengan sistem imun yang berfungsi baik. Pada saat sistem imun selular berkembang,
proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup
dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke
dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated
immunity, CMI). Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau klasifikasi setelah terjadi
nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis
dan enkapsulasi, tetapi penyebuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan
paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini,
tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB (Asik et al., 2016).
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau di
kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis
atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan
mencair dan kelaur melalui nronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru
(kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal
infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat
terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi
di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve mechanism). Obstruksi total
dapat menyebabkan atelectasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan
dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB
endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan pneumonitis dan
atelectasis yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi (Asik et al., 2016).
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran
limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe
regional membentuk kompleks primer atau berlanjut menyebar secara limfohematogen.
Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi
darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. Penyebaran hematogen yang paling
sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic
spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit
sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai
organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering
di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di
organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang
tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula dengan proses patologiknya.

6
Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami
reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa (Asik et al., 2016).
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata
akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB
masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan
timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata.
Tuberculosis diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya
penyakit bergantung jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta fekuensi
berulangnya penyebaran. Tuberculosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem
imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak dibawah lima tahun
(balita) terutama di bawah dua tahun (Asik et al., 2016).
Bentuk penyebarannya jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk
penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler pecah dan menyebar ke
seluruh tubu, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah.
Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acutr
generalized hematogenic spread (Asik et al., 2016).

D. Situasi Tuberkulosis di Dunia


Menurut WHO, perkembangan penyakit tuberculosis (TB) tahun 2019 di wilayah Asia
Tenggara(44%), Afrika(25%), dan Pasifik Barat(18%), dengan presentase usia yang lebih
kecil di Mediterania Timur (8,2%), Amerika(2,9%) dan Eropa(2,5%). Delapan negara
menyumbang dua pertiga dari total global: India(26%), Indonesia(8,5%), Cina(8,4%),
Filipina(6,0%), Pakistan(5,7%), Nigeria(4,4%), Bangladesh(3,6%) dan Afrika Selatan(3,6%).
22 negara lain dalam daftar WHO dari 30 negara dengan beban TB tinggi menyumbang 21%
dari total global (WHO, 2020a). Sebanyak 1,4 juta orang meninggal karena TB pada tahun
2019 (termasuk 208.000 orang dengan HIV). Di seluruh dunia, TB adalah salah satu dari 10
penyebab kematian teratas dan penyebab utama dari agen infeksi tunggal (di atas HIV/AIDS)
(WHO, 2020b).
Pada tahun 2019, diperkirakan 10 juta orang jatuh sakit tuberculosis (TB) di seluruh
dunia. 5,6 juta pria, 3,2 juta wanita dan 1,2 juta anak-anak. TB terdapat di semua negara dan
kelompok umur. Tetapi TB dapat disembuhkan dan dicegah. Terdapat 1,2 juta anak jatuh
sakit TB secara global. TB anak dan remaja sering diabaikan oleh penyedia layanan
kesehatan dan sulit untuk didiagnosis dan diobati. Multidrug-resistanr TB (MDR-TB) tetap
menjadi krisis kesehatan masyarakat dan ancaman keamanan kesehatan. Total global 206.030
orang dengan multidrug atau rifampicin-resistant TB (MDR/RR-TB) terdeteksi dan
diberitahu pada 2019, meningkat 10% dari 186.883 pada 2018. Kemudian kejadian TB turun
sekitar 2% pertahun dan antara 2015 dan 2019 penurunan kumulatif adalah 9%. Ini kurang
dari setengah jalan menuju tonggak Strategi End TB yaitu pengurangan 20% antara tahun
2015 dan 2020. Terdapat 60 juta nyawa diselamatkan melalui diagnosis dan pengobatan TB
antara tahun 2000 dan 2019. Mengakhiri epidemic TB pada tahun 2030 adalah salah satu
target kesehatan dari tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) PBB (WHO, 2020b).

7
Tuberculosis (TB) disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang paling
sering menyerang paru-paru. Tuberculosis dapat disembuhkan dan dicegah. TBC menyebar
dari orang ke orang melalui udara. Ketika penderita TBC paru batuk, bersin atau meludah,
mereka mendorong kuman TBC ke udara. Seseorang hanya perlu menghirup beberapa
kuman ini untuk terinfeksi. Sekitar seperempat dari populasi dunia memiliki infeksi TB, yang
berarti orang telah terinfeksi oleh bakteri TB tetapi tidak (belum) sakit dengan penyakit
tersebut dan tidak dapat menularkannya. Orang yang terinfeksi bakteri TB memiliki risiko
seumur hidup 5-10% untuk jatuh sakit dengan TB. Mereka yang memiliki sistem kekebalan
yang lemah, seperti orang yang hidup dengan HIV, kekurangan gizi atau diabetes atau orang
yang menggunakan tembakau memiliki risiko lebih tinggi untuk jatuh sakit.
Ketika seseorang mengembangkan penyakit TB aktif, gejalanya (seperti batuk, demam,
keringat malam atau penurunan berat badan) mungkin ringan selama berbulan-bulan. Hal ini
dapat menyebabkan keterlambatan dalam mencari perawatan dan mengakibatkan penularan
bakteri ke orang lain. Orang dengan TB aktif dapat menginfeksi 5-15 orang lain melalui
kontak dekat selama setahun. Tanpa pengobatan yang tepat, rata-rata 45% ODHA (Orang
Dengan HIV/ AIDS) dengan TB dan hampir semua ODHA dengan TB akan meninggal.
Tuberculosis sebagian besar menyerang orang dewasa di tahun-tahun paling produktif
mereka. Namun, semua kelompok umur berisiko. Lebih dari 95% kasus dan kematian terjadi
di negara berkembang. Orang yang terinfeksi HIV 18 kali lebih mungkin mengembangkan
TB aktif. Risiko TB aktif juga lebih besar pada orang yang menderita kondisi lain yang
merusak sisitem kekebalan. Orang dengan gizi kurang berisiko 3 kali lebih besar. Secara
global pada tahun 2019 terdapat 2,2 juta kasus TB baru pada tahun 2018 yang disebabkan
oleh gizi kurang. Gangguan penggunaan alcohol dan merokok tembakau meningkatkan risiko
penyakit TB dengan faktor risiko penyakit TB dengan faktor masing-masing 3,3 dan 1,6.
Pada tahun 2019, terdapat 0,72 juta kasus TB baru di seluruh dunia disebabkan oleh
gangguan penggunaan alcohol dan 0,70 juta disebabkan oleh merokok (WHO, 2020b).

E. Situasi Tuberkulosis di Indonesia


Tahun 2019, terdapat 543.874 kasus TBC yang ditemukan. Meskipun cukup tinggi,
namun angka tersebut mengalami penurunan dibandingkan tahun 2018 (22.749 kasus) berkat
upaya pengendalian penularan kasus TBC yang telah dilakukan. Jumlah kasus tertinggi
umumnya terjadi pada provinsi dengan jumlah penduduk terbesar yaitu Jawa Barat
(123.021), Jawa Timur (65.448), dan Jawa Tengah (54.640). Jika dijumlahkan, kasus diketiga
provinsi tersebut hampir mencapai setengah dari jumlah seluruh kasus tuberkulosis di
Indoensia (45%). Meskipun demikian, terdapat 22 provinsi yang angka kasusnya dibahas
10.000 kasus. Beberapa provinsi dengan jumlah kasus terendah adalah Kalimantan Utara
(1.781), Kepulauan Bangka Belitiung (2.168) dan Maluku Utara (2.203) (Kemenkes, 2019).
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2019 (data per 1
Mei 2019), Estimasi jumlah kasus penyakit tuberculosis di Indonesia sebanyak 842.000
kasus, diperkirakan sebanyak 32% kasus yang belum terlapor dan 85% kasus telah berhasil
di obati. Berdasarkan seluruh Kabupaten/Kota se-Sulawesi Selatan, Kota Makassar
menduduki peringkat pertama dengan jumlah penderita TB Paru BTA Positif sebanyak 1.951

8
kasus, menyusul Kabupaten Wajo sebanyak 606 kasus dan Kabupaten Bone sebanyak 458
kasus (Dinkes Provinsi Sulsel, 2018).
Data Kasus penderita TBC berdasarkan karakteristik yaitu :
1. Jenis Kelamin
Berdasarkan beberapa hasil penelitian diketahui bahwa, responden laki-laki lebih
banyak menderita TB paru yaitu sebanyak 35 orang atau (71,4%) dibanding responden
perempuan yang berjumlah 14 orang atau (28,6%). Responden laki-laki mendominasi
penderita TB paru baik secara mikroskopis BTA maupun secara PCR (Fitria, Ramadhan
and Rosdiana, 2017). Sejalan dengan penelian Putra IWA, dari total 74 responden TB
paru BTA negatif, 53 orang (71,6%) berjenis kelamin laki-laki dan 21 orang (28,4%)
adalah perempuan. Basundari, dkk dalam penelitiannya terhadap 70 orang penderita TB
paru di RS Persahabatan, Jakarta melaporkan responden laki-laki paling banyak yang
menderita TB paru yaitu 42 dan 28 orang sisanya adalah perempuan. Laporan lain juga
menyebutkan penderita TB paru paling dominan terjadi pada laki-laki.
2. Umur
Berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kisaran umur 45-54 dan
55-64 mendominasi kejadian TB paru. Menurut Putra IWA, responden TB paru dengan
BTA negatif (hasil biakan menunjukkan nilai positif) ditemukan pada kelompok umur
46-55 tahun yaitu 16 orang (21,6%), disusul oleh kelompok umur 36- 45 tahun berjumlah
15 orang (20,3%). Laporan Riskesdas 2013 menyebutkan penduduk berumur diatas 55
tahun paling banyak diberikan OAT oleh program.
Penelitian lain juga menyebutkan bahwa, kelompok umur 56-65 tahun adalah yang
terbanyak menderita TB paru BTA positif. Namun laporan lain menyebutkan, penderita
tb paru juga didominasi oleh umur 21-30 tahun yaitu sebanyak 52%.
3. Pendidikan
Berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa peresentase pendidikan
angkanya bervariasi, secara karakteristik umum penderita TB paru yang paling banyak
yaitu pada responden yang memiliki tingkat pendidikan tidak tamat SD dan tamat SMA.
Sedangkan untuk responden yang positif secara mikroskopis dan PCR paling banyak
berada pada tingkat pendidikan tidak tamat SD dan tamat SMA. Untuk pendidikan
responden TB paru termasuk kategori rendah. Menurut hasil penelitian, tingkat
pendidikan responden terbanyak adalah tamat SMA dengan persentase sebesar 33,8%.
Terbukti hasil penelitian Rukmini dkk, sebagian besar penderita TB adalah mereka
yang berpendidikan rendah dalam kategori tidak sekolah/ tidak tamat/ tamat SD yaitu
sebesar 57,3%. Namun teori lain mengatakan bahwa perilaku kesehatan berpengaruh
kepada meningkatnya indikator kesehatan masyarakat yaitu sebagai hasil akhir
pendidikan kesehatan. Hal ini dapat juga disebabkan oleh faktor pengetahuan yang masih
kurang dan persepsi terhadap penyakit TB masih negatif. Kepatuhan pasien minum obat
dipengaruhi oleh faktor pendidikan.
4. Pekerjaan
Berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa Pekerjaan yang
menderita TB paru, ada yang bekerja sebagai PNS/TNI/POLRI/Pensiunan, wiraswasta,

9
pedagang, buruh/tani dan ada yang tidak bekerja/IRT. Responden yang bekerja sebagai
buruh/ tani adalah yang mendominasi terhadap kejadian TB paru yaitu 19 orang (38,78%)
dan 13 orang yang tidak bekerja/ IRT (26,5%).
Hasil penelitian menyebutkan sebanyak 56,0% penderita TB paru bekerja sebagai
petani, nelayan dan buruh.14 Pekerjaan sebagai wiraswasta, petani/ nelayan/ buruh
merupakan jenis pekerjaan yang paling banyak dijumpai pada penderita TB paru masing-
masing sebesar 40,1% dan 34,6%.6 Prihantana AS, dkk (2016) dalam penelitiannya juga
mendapatkan sebanyak 45% responden penderita TB paru bekerja sebagai buruh tani.
Faktor yang berpengaruh dalam hal ini yaitu sering terlambatnya penderita untuk
memeriksakan diri sehingga bakteri telah berkembang lebih banyak. Penelitian yang
dilakukan oleh Susilayanti EY di Padang juga menunjukkan bahwa mayoritas hasil
pemeriksaan dahak pasien TB paru ialah 3+. Seluruh pasien TB paru merupakan tipe
pasien dengan kasus baru. Tidak terdapat pasien dengan tipe relaps, default, failure,
transfer in, dan kasus lain.
Penelitian yang dilakukan oleh Sihotang RH di Puskesmas Bahu Malalayang I
Manado menemukan bahwa sebanyak 91,38% pasien yang datang untuk berobat
merupakan pasien dengan kasus baru. Berhubungan dengan tipe penderita yang datang
berobat ke Puskesmas Tuminting Manado, seluruh pasien yang berobat mendapatkan
pengobatan Kategori I yang merupakan kategori pengobatan untuk pasien baru.
Pemilihan kategori pengobatan disesuaikan dengan tipe pasien dan hasil pemeriksaan
BTA.
Penelitian oleh Sitompul AI di Medan juga menunjukkan bahwa mayoritas pasien
TB paru memperoleh pengobatan Kategori I dengan persentase 97,1%. Sebanyak 194
pasien telah berobat secara teratur (99%) dan sisanya yang berobat tidak teratur sebanyak
2 pasien (1%). Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat Tuminting untuk
berobat dan memperoleh kesembuhan sudah baik. Keteraturan berobat sangat
berhubungan dengan hasil pengobatan yang akan dicapai oleh pasien. Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Randung HK di Pontianak menunjukkan bahwa sebagian besar
pasien telah berobat secara teratur.
Begitu pula dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sukoco NE, mayoritas
pasien TB paru telah berobat secara teratur. Kesembuhan pasien TB paru juga dinilai dari
perubahan BTA (+) menjadi BTA (-). Dalam penelitian ini, seluruh pasien yang
berjumlah 196 (100%) mencapai pengobatan tahap awal dengan hasil BTA (-). Mayoritas
hasil akhir pengobatan ialah sembuh yaitu sebanyak 187 pasien (95,4%), sedangkan
sisanya merupakan hasil pengobatan yang tidak dapat dinilai akibat hasilnya tidak
diketahui yaitu sebanyak 9 pasien (4,6%). Berbeda dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Sitompul AI di Medan, mayoritas hasil akhir pengobatan pasien ialah
pengobatan lengkap.
F. Triad Epidemiologi
1. Host (Pejamu)
Semua umur dapat tertular TB paru, tetapi kelompok berisiko tinggi adalah usia
kelompok produktif. Diperkirakan 95% kasus TB paru dan kematian akibat TB paru

10
disunia terjadi dinegara berkembang dan berpenghasilan rendah (WH0, 2014). Di
Indonesia, berdasarkan karakteristik penduduk, pravalensi TB paru cenderung meningkat
dengan bertambahnya umur, pada pendidikan rendah, tidak bekerja (Kemenkes, 2013).
Selain faktor itu, penyakit HIV dan perilaku merokok juga meningkatkan risiko terkena
TB. Risiko TB juga lebih besar terjadi pada penderita penyakit yang merusak sistem
kekebalan tubuh. Orang yang terinfeksi HIV memiliki risiko 26-31 kali terserang
penyakit TB. TB adalah pembunuh utama orang HIV positif yang menyebabkan
seperempat dari semua kematian terkait HIV (WHO, 2014). Penggunaan tembakau juga
sangat meningkatkan risiko penyakit TB dan kematian. Lebih dari 20% kasus TB
diseluruh dunia disebabkan oleh rokok (Najmah, 2014).
Faktor protektif terhadap penyakit ini diperoleh dari imunitas host. Keadaan
imunolosi seseorang merupakan kekebalan tubuh, dimana kekebalan tubuh didapatkan
secara aktif atau pasif karena pemberian imunisasi. Pemberian imunisasi BCG dapat
melindungi anak dari meningitis TB dan TB milierdengan derajat proteksi sekitar 86%.
Seseorang anak yang diimunisasi BCG bukan berarti ia terbebas dari penyakit
tubercolosis, namun BCG dapat menurunkan risiko infeksi hingga 80% dan mengurangi
penyebaran ekstra paru (Najmah, 2016).
2. Agent
Tuberclosis disebabkan oleh Mycrobacterium tubercokulosis, sejenis kuman yang
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 µ dan tebal 0,3-0,6 µ dan digolongkan
dalam batil asam (BTA). Basil tuberkulosis berukuran sangat kecil berbatang tipis, agak
bengkok, berglanular, berpasangan yang hnya dapat dilihat dibawah mikroskop. Basil
tuberkulosi ini akan tumbuh secara optimal pada suhu sekitar 37 serajat selsius dengan
pH optimal 6,4-7,0. Untuk membelah dari 1-2 kuman membutuhkan waktu 14-20 jam.
Kuman tuberkulosis terdiri dari lemak lebih dari 30% berat dinding kuman, asam strearat,
asam milkolik, mycosides, sulfolipid serta Cord factor dan protein terdiri dari tuberkulin
(Najmah, 2016).
3. Environment (Lingkungan)
Lingkungan sosial ekonomi, kualitas rumah, kedepakatan kontak dengan pejamu
BTA + sangat mempengaruhi penyebaran bakteri ini pada manusia. Kondisi lingkungan
rumah seperti seperti ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang baik, kelmbaban, suhu
rumah dan kepadatan penghuni rumah menjadi salah satu faktor yang berperan dalam
penyebaran kuman tuberkulosis dapat hidup selama 1-2 jam bahkan sampai dengan
beberapa hari hingga bermingu-minggu penularan TB paru dapat terjadi pada kontak
dengan penderita melalui droplet (udara).
a) Riwayatat Alamiah Penyakit
Penyakit TB biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri
Mycobacterium tuberkulosis yang dilepaskan pada saat penderita TB batuk, dan pada
anak-anak sumber infeksi umunya berasal dari penderita TB dewasa. Bakteri ini bila
sering masuk dan berkumpul didalam paru-paru akan berkembang biak menjadi
banyak (terutama orang dengan daya tahan tubuh rendah), dan dapat menyebar
mealaui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TB

11
dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubih seperti : paru-paru, otak, ginjal, saluran
pencernaan, tulang, kalenjar getah bening, dan lainnya. Meskupun demikian organ
tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru (Depkes, 2012).
Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap
dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan orang dengan sistem kekebalan yang
kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah
banyak. Tuberkel yang berkkembang ini akan membuat sebuah ruang didalam paru-
paru. Ruang inilah yang kan menjadi ruang produksi sputum (dahak). Seseorang yang
telah memproduksi sputum dapat diperikiran sedang mengalami pertumbuhan
tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TB. meningkatnya penularan infeksi yang
telah dilaporkan saat ini, banyak dihubungkan dengan beberapa keadaan, antara lain
memburuknya kondisi sosial ekonomi, belum optimalnya fasilitas pelayanan
kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak memiliki tempat
tinggal dan adanya epidemi dari infeksi HIV. Disamping itu daya tahan tubuh
melemah/menurun, virulensi dan jumlah kuman merupakan pemegang peran penting
dalam terjadinya onfeksi TB (Djojodibroto, 2007).
Induvidu yang rentan menghirup basil tuberculosis dan terinfeksi. Bakteri
dipindahkan melalui jalan nafas ke alveoli untuk memperbanyak diri, basil juga
dipindahkan melalui sistem limfe dan pembuh darah keareah paru lain dan bagian
tubuh lainnya. Sistem imun tubuh berespon dengan melakukan reaksi infalmasi.
Fagosit banyak menelan bakteri, limposit spesifik tubercolosis melisis basil dan
jaringan normal, sehingga mengakibatkan penumpukan eksudat dalam alveoli dan
menyebabkan bronkopnemonia lebih lanjut (Chin, 2000).
Menurut WHO (2012). Riwayat terjadinya Tuberkulosis terbagi menjadi dua
bagian, yaitu:
1) Infeksi Primer
Infeksi primer merupakan saat pertama kali orang terpapar dengan kuman
tuberkulosis. Masa inkubasi untuk penyakit ini sekitar 6 bulan. Droplet yang
terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan
mukosili erbronkus dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap
disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara
pembelahan diri diparu yang menybabkan peradangan di dalam paru. Saluran
limfe akan membawa kuman TB ke kalenjer limfe disekita hilus paru, dan ini
disebut kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan
kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu.
Adanya infesksi da[at dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi dari
banyaknya kuman yang masuk dan besarnya daya tahan tubub (imunitas seluler).
Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh dapat menghentikan perkembangan
kuman TB, meskipun demikian ada beberapa kuman akan menetap sebagai
kuman persister atau dormant (tidur). Jika daya tahan tubuh tidak mampu
menghentikan perkembangan kuman, dalam beberapa bulan orang tersebut akan
menjadi penderita TB.

12
2) Post Primary Tubercolosis
Tuberculosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun
sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat infeksi
HIV atau statu gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah
kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kapitas atau efusi pleura. Infeksi HIV
mengakibatkan kerusaka luas sistem daya tahan tubuh seluler (Cellular imunity),
sehingga bila terjadi infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis, maka yang
bersangkutan akan menjadi sakit parah bajkan bisa mengakibatkan kematian. Bila
jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita TB akan
meningkat, dengan demikian [enularan YB di masyarakat akan meningkat pula.
b) Penularan
Penularan tuberkulosis dari seseorang penderita ditentukan oleh banyaknya
kuman yang terdapat dalam paru-paru penderita, penyebaran kuman tersebut diudara
melalui dahak berupa droplet. Penderita Tb paru yang banyak mengandung banyak
kuman dapat terlihat langsung dengan mikroskop dengan pemeriksaan dahaknya
(penderita BTA positif) adalah sangat menular. Penderita TB paru BTA positif
mengeluarkan kuman-kuman ke udara dalam bentuk droplet yang sangat kecil pada
saat waktu batuk dan bersin. Droplet yang sangart kecil ini mengering dengan cepat
dan menjadi droplet yang mengandung kuman tuberkulosis. Kuman ini dapat
bertahan diudara selama beberapa jam. Droplet yang mengandung kuman ini dapat
terhirup oleh orang lain. Jika kuman tersebut sudah menetap dalam paru dari orang
yang menghirupnya, maka kuman mulai membelah diri ( berkembang biak) dan
terjadinya infeksi dari satu orang ke orang lain (Najwah, 2015).
Penyebab utama yang mempengaruhi meningkatnya beban TB antara lain
(Fitria et al., 2017) sebagai berikut:
1) Belum optimalnya pelaksanaan program TB selama ini diakibatkan karena masih
kurangnya komitmen pelaksanaan, pelayanan, pengambilan kebijakan dan
pendanaan untuk operasional, bahan serta sarana prasarana.
2) Belum memadainya tata laksana TB terutama di fasyankes yang belum
menerapkan layanan TB sesuai dengan standar pedoman nasional dan ISTC
seperti kesulitan dalam menenmukan kasus baru TB karena diagnosis yang tidak
baku, paduan obat yang dirasa masih kurang efektif serta kelalaian atau sering
dianggap remeh pencatatan dan pelaporan.
3) Masih kurangnya keterlibatan lintas program dan lintas sektor dalam
penanggulangan TB baik kegiatan maupun pendanaan.
4) Belum semua masyarakat dapat mengakses layanan TB khususnya di daerah
terpencil, perbatasan dan kepulauan (DTPK) serta daerah risiko tinggi seperti
daerah kumuh diperkotaan, pelabuhan, industri, lokasi pemukiman padat seperti
pondok pesantren, asrama, barak dan lapas/rutan.
5) Belum memadainya tatalaksanaan TB sesuai dengan standar baik dalam
penemuan kasus/diagnosis, paduan obat, pemantauan pengobatan, pencatatan dan
pelaporan.

13
6) Besarnya masalah kesehatan lain yang bisa berpengaruh terhadapp risiko
terjadinya TB secara signifikan seperti HIV, gizi buruk, diabets mellitus, merokok
serta keadaan lain yang menyebabkan penururunan daya tahan tubuh.
7) Meningkatnya jumlah kasus TB Resistant Obat (TB-RO) yang akan
meningkatkan pembiayaan program TB.
8) Faktor sosial seperti besarnya angka penangguran, rendahnya tingkat pendidikan
dan pendapatan per kapita, kondisi sanitasi, papan, sandang dan pangan yang
tidak memadai yang berakibat pada tingginya risiko masyarakat terjangkitnya TB.
c) Pengobatan
Pengobatan TB menggunakan antibiotik yang bertujuan untuk membunuh
bakterinya. Pengobatan TB yang efektif ternyata sulit karena sstruktur dan komposisi
kimia dinding sel mikobakteri yang tidak biasa. Dinding sel menahan obat masuk
sehingga menyebabkan antibiotik kurang efektif. Ada dua jenis antibiotik yang umum
digunakan adalah isoniazid dan rifampicin, dan pengobatan dapat berlangsung
berbulan-bulan. Pengobatan TB laten biasa menggunakan antibiotik tunggal. Penyakit
TB aktif sebaiknya diobati dengan kombinasi antara beberapa antibiotik untuk
menurunkan tingkat resiko berkembangnya bakteri yang resisten terhadap antibiotik.
Pasien dengan infeksi laten juga diobati untuk mencegah munculnya TB aktif
dikehidupan selanjutny (Nasry N, 2021).
Rekomendasi WHO menggunakan program DOTS (Directly Observed
Therapy) atau pengobatan dengan pengawasan langsung, dimana seorang pengawas
kesehatan mengawasi penderita meminum obatnya. Tujuanya adalah untuk
mengurangi jumlah penderita yang tidak meminum obat antibiotiknya dengan bena
(Nasry N, 2021).
Rekomendasi tahun 2010 untuk pengobatan kasus baru tuberkulosis paru adalah
kombinasi antibiotik selama enam bulan. Rifampicin, isoniazid, pyrazinamide, dan
ethambutol untuk dua bulan pertama, dan hanya rifampicin dan isoniazid empat bulan
selanjutnya. Apabila resisten terhadap isoniazid tinggi, ethambutol dapat ditambahkan
untuk empat bulan terakhir sebagai alternatif. Bila tuberkolosis kambuh, lakukan tes
untuk menentukan jenis antibiotik yang senstif sebelum menentukan pengobatan, Jika
tb (MDR-TB) terdeteksi, direkomendasi pengobatan dengan paling tidak empat jenis
antibiotik efektif selama 8-24 bulan (Nasry N, 2021).
Resisten primer muncul saat seseorang terinfeksi jenis TB resisten. Seorang
dengan TB yang rentan dapat mengalami resisten sekunder didapat pada saat terapi.
Seseorang juga dapat mengalami perkembangan resisten karena pengobatan yang
tidak adekuat, jika obat yang diresepkan tidak dipakai dengan sesuai (Karena tidak
patuh), atau karena obat yang digunakan berkualitas rendah. Penderita TB dengan
resisten obat merupakan masalah kesehatan masyarakay yang serius di negara yang
sedang berkembang. Pengobatan untuk TB yang resisten terhadap obat akan
berlangsung lebih lama dan memerlukan obat yang mahal. (Nasry Nur, 2021)

14
d) Pencegahan
Berikut ini merupakan pencegahan menurut Chin (2000) primer, sekunder dan
tersier Tuberkulosis:
1) Pencegahan primer
a. Tersedia sarana-sarana kedokteran, pemeriksaan penderita, kontak atau suspek
gambas , sering dilaporkan, pemeriksaan dan pengobatan dini bagi penderita,
kontak, suspect, perawatan.
b. Petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TB yang
diantara lain meliputi gejala bahaya dan akibat yang ditimbulkan.
c. Pencegahan pada penderita dapat dilakukan dengan menutup mulut ssewaktu
batuk dan membuang dahak tidak disembarangan tempat.
d. Pencegahan infeksi: cuci tangan dan praktek menjaga kebersihan rumah harus
dipertahankan sebagai sebagai kegiatan rutin. Ada pencegahan khusus untuk
barang-barang (piring, sprei, pakaian dan lainnya). Dekomentasi udara dengan
cara ventilasi yang baik dan bisa ditambabkan dengan sinar UV.
e. Imunisasi orang-orang kontak. Tindakan pencegahan bagi orang-orang sangat
dekat (keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatan lain) yang lainya
terindikasi dengan vaksin BCG dan tindak lanjut bagi yang positif tertular.
f. Mengurangi dan menghilangkan kondisi sosial yang mempertinggi kondisi
terjadinya infeksi misalnya kepadatan hunian.
g. Lakukan elimiansi terhadap ternak sapi yang menderita TB bovinum dengan
cara menyembelih sapi-sapi yang tes tuberkulosisnya positif. Susu di
pasteurisasi sebelum di konsumsi.
h. Lakukan pencegahan terjadinya silokosis pada pekerja pabrik dan tambang.
2) Pencegahan Sekunder
a. Pengobatan preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan terhadap
penyakit inaktif dengan pemberian pengobatan INH sebagai pencegahan.
b. Isolasi, pemeriksaan kepada orang-orang yang terinfeksi, pengobatan khusus
TB. pengobatan mondok dirumah akit hanya penderita yang dengan kategori
berat yang memerlukan program pengobatannya yang karena alasan-alasan
sosial ekonomi dan medis untuk tidak dikehendaki pengobatan jalan.
Pemeriksaan bakterilogis dahak pada orang dengan gejalah TB.
c. Pemeriksaan screening dengann tuberkulosis test pada kelompok berisko
tinggi, seperti pada imigrant, orang-orang kontak erat dengan penderita,
petugas d rumah sakit, perugas/guru disekolah, petugas foto rontgen.
d. Pemeriksaan foto rontgen pada orang-orang yang positif dari pemeriksaan
Tubercullin test.
e. Pengobatan khusus. Penderita dengan TB aktif perlu pengobatan yang tepat.
Obat-obatan kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter di minum dengan
tekun. Diwaspadai dengan adanya kebal terhadap obat-obat, dengan
pemeriksaan penyelididkan oleh dokter.

15
3) Pencegahan Tersier
a. Tindakan mencegah bahaya penyakit paru kronis karena menghirup udara
yang tercemar debu para pekerja tambang, pekerja semen dan sebagainya.
b. Rehabilitasi.
G. Dampak Tuberkolosis Bagi Negara
Kasus TB merupakan kasus yang cukup serius karena penyakit TB membutuhkan biaya
yang tidak sedikit dan perawatan penyembuhan yang cukup lama. Penyakit Tuberculosis
(TB) menempatkan beban luar biasa bagi penderita, keluarga, masyarakat, dan anggaran
pemerintah. Selain kehilangan produktivitas kerja efek paling mendalam adalah
penurunan tingkat kesejahteraan bahkan mengakibatkan pemiskinan rumah tangga. Hal
ini dikarenakan negara berkembang masih berfokus meningkatkan sektor industri
sehingga berdampak pada berkurangnya lahan hijau sehingga berdampak pada meningkatnya
polusi udara. Polusi udara dapat menjadi salah satu penyebab meningkatknya kasus TB, hal
inidibuktikan oleh Laumbach & Kipen (2012) bahwa polusi udara dapat menimbulkan
peradangan paru sehingga rentan terkena penyakit pernapasan. Hal tersebut selaras
dengan hasil studi Lai dkk, (2016) yang menemukan bahwa orang-orang dari negara
berkembang yang terus terpapar polusi udara tingkat tinggi akibat industrialisasi dapat
mengalami tingkat TB yang lebih tinggi. Mannucci dan Franchini (2017)
mengungkapkan bahwa negara berkembang memiliki kecenderungan polusi udara yang
lebih tinggi daripada sebagian besar negara maju yang telah menyelesaikan program
industrialisasi. Global Tuberculosis Report 2019 melaporkan bahwa delapan negara yang
menyumbang dua pertiga dari total kasus TB global merupakan negara
berkembang (WHO, 2019).
Negara Indonesia menanggung Beban ekonomi yang sangat signifikan. Angka deteksi
dan pengobatan kasus akan meningkat 2.640 pada tahun 2016. Berdasarkan asumsi-asumsi
insiden dan pengobatan tersebut diperkirakan biaya rutin yang dibutuhkan Negara Indonesia
sebesar Rp 1,25T, dengan biaya rata-rata untuk deteksi, diagnosis dan pengobatan
seorang pasien TB adalah sebesar Rp 2.850.000, biaya rata-rata per kasus yang
berhasil diobati sebesarRp 3.125.600 dan biaya rata-rata per kasus sembuh sebesarRp
3.400.000, sedangkan untuk rata-rata pengobatan MDRTB jauh lebih tinggi dari pada
biaya rata-rata TB mengingat durasi pengobatan yanglebih lama dari 24 bulan dan
biaya obat-obatan yang lebih tinggi. Sifat dari penyakit TB akan menimbulkan beban
ekonomi yang besar bukan hanya pada Negara tetapi juga bagi rumah tangga. Rumah
tanga dengan penghasilan rendah akan mengalami pengeluaran katastropik, hilangnya
pendapatan rumah tangga karena jatuh sakit, produktivitas menurun akibat sakit,
prestasi akademik menurun, bahkan kematian dini. Hilangnya hari kerja dan penurunan
kesejahteraan membuat penderita dan keluarga melakukan coping strategy, yaitu tindakan
yang bertujuan untuk mengatur biaya misalnya jatuh sakit, dengan melakukan penjualan
asset atau meminjam, bahkan mencegah biaya timbul dengan mengabaikan penyakit dengan
tidak melakukan pengobatan.
Penelitian yang dilakukan oleh Ukwaja dkk., (2012) menemukan bahwa kasus TB
merupakan penyakit yang membutuhkan biaya perawatan sangat tinggi sehingga TB menjadi

16
masalah serius bagi masyarakat miskin. Hal ini dibuktikan oleh WHO (2002) bahwa semakin
miskin masyarakat, semakin besar kemungkinan terinfeksi TB. Hal tersebut dapat
dikarenakan masyarakat miskin sulit untuk menjangkau fasilitas kesehatan yang disebabkan
oleh tidak adanya biaya untuk mengakses layanan kesehatan.

17
BAB III
PEMBAHASAN
Gambaran penyakit TBC merupakan salah satu aspek dari masalah kesehatan yang dapat
menjadi ancaman bagi kesehatan manusia maupun lingkungan. Pada tujuan utama pembahasan
ini, akan dipaparkan terkait karakteristik, disritbusi penyakit, hingga bagaimana penyakit TBC
menjadi salah satu masalah kesehatan utama bagi ruang lingkup dunia, tingkat nasional
(Indonesia) dan lokal (Kota: Makassar).

Penyakit TBC paru yang disebabkan terjadi ketika daya tahan tubuh menurun.
Dalam perspektif epidemiologi yang melihat kejadian penyakit sebagai hasil interaksi antar tiga
komponen pejamu (host), penyebab (agent), dan lingkungan (environment) dapat ditelaah faktor
risiko dari simpul-simpul tersebut. Pada sisi pejamu, kerentanan terhadap infeksi
Mycobacterium tuberculosis sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh seseorang pada saat itu.
Pengidap HIV AIDS atau orang dengan status gizi yang buruk lebih mudah untuk terinfeksi dan
terjangkit TBC.

Situasi Penyakit TBC di Dunia telah mendapat perhatian dari WHO, 2020 karena TB
adalah salah satu dari 10 penyebab kematian teratas dan penyebab utama dari agen infeksi
tunggal (di atas HIV/AIDS). Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Tahun 2019 (data per 1 Mei 2019), Estimasi jumlah kasus penyakit tuberculosis di Indonesia
sebanyak 842.000 kasus, diperkirakan sebanyak 32% kasus yang belum terlapor dan 85% kasus
telah berhasil di obati. Berdasarkan seluruh Kabupaten/Kota se-Sulawesi Selatan, Kota
Makassar menduduki peringkat pertama dengan jumlah penderita TB Paru BTA Positif sebanyak
1.951 kasus, menyusul Kabupaten Wajo sebanyak 606 kasus dan Kabupaten Bone sebanyak 458
kasus (Dinkes Provinsi Sulsel, 2018).

Prevalensi kejadian TB paru di suatu wilayah atau negara, salah satunya dapat di
pengaruhi oleh kepadatan penduduk. Dimana dalam hal ini kepadatan penduduk disuatu wilayah/
daerah/ negara, karena Jumlah dan distribusi penduduk menentukan kepadatan penduduk di
suatu wilayah. Kepadatan penduduk selain menentukan cepat lambatnya penyakit dapat menular,
banyak tidaknya penderita apabila terjadi perubahan mendadak seperti kejadian luar biasa dan
besar kecilnya tempat pelayanan kesehatan yang memadai. Menurut WHO dalam Aditama,
tahun 2012 wilayah yang kepadatan penduduknya tinggi cenderung memiliki tempat tinggal
yang kumuh, hygiene dan nutrisi yang buruk, sehingga bila ada warganya terkena penyakit TB
akan mempercepat proses penyebarannya (Aditama & Suharyo, 2012).

Tingginya kasus penyakit TBC di Dunia dan Indonesia menunjukkan bahwa gambaran
dari penyakit TBC merupakan salah satu aspek biologis yang menjadi isu utama dalam persoalan
endemik kesehatan oleh penyakit infeksi menular akibat bakteri secara aspek biologis dan
didukung ataupun diperberat oleh aspek lain yaitu sosial dan ekonomi baik secara individu,
tingkat masyrakat di suatu daerah hingga negara yang akhirnya mampu memberi dampak,
mempengaruhi aspek lainnya seperti pendidikan, sumber daya manusia, infrastruktur (fasilitas
pelayanan kesehatan), politik (sistem dan kebijakan) dan lain-lain. Berikut ialah gambaran
penyakit TBC berdasarkan karakteristik yang didukung dengan beberapa hasil penelitian.

18
1. Berdasarkan jenis kelamin
Menurut WHO, 2020 Pada tahun 2019, diperkirakan 10 juta orang jatuh sakit
tuberculosis (TB) di seluruh dunia. 5,6 juta pria, 3,2 juta wanita dan 1,2 juta anak-anak. TB
terdapat di semua negara dan kelompok umur. Tetapi TB dapat disembuhkan dan dicegah.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian diketahui bahwa, responden laki-laki lebih banyak
menderita TB paru yaitu sebanyak 35 orang atau (71,4%) dibanding responden perempuan
yang berjumlah 14 orang atau (28,6%). Responden laki-laki mendominasi penderita TB paru
baik secara mikroskopis BTA maupun secara PCR (Fitria, Ramadhan and Rosdiana, 2017).
Sejalan dengan penelian Putra IWA, dari total 74 responden TB paru BTA negatif, 53 orang
(71,6%) berjenis kelamin laki-laki dan 21 orang (28,4%) adalah perempuan. Basundari, dkk
dalam penelitiannya terhadap 70 orang penderita TB paru di RS Persahabatan, Jakarta
melaporkan responden laki-laki paling banyak yang menderita TB paru yaitu 42 dan 28
orang sisanya adalah perempuan. Laporan lain juga menyebutkan penderita TB paru paling
dominan terjadi pada laki-laki.
Survei prevalensi TB menyatakan bahwa penderita TB 3 kali lebih tinggi pada laki-
laki dari pada perempuan. Kemungkinan hal ini terjadi karena laki-laki yang berperan
sebagai kepala rumah tangga yang bertanggungjawab menghidupi keluarganya sehingga
memiliki mobilitas diluar rumah yang tinggi sehingga lebih besar kemungkinan terinfeksi
penyakit, selain ini partisipan kebiasaan merokok yang beresiko merusak paru-paru pada
laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan yaitu 68,5 persen dan 3,7 persen (Kementerian
Kesehatan RI, 2018b). Banyaknya jumlah kejadian TB paru yang terjadi pada laki-laki
disebabkan karena laki-laki memiliki mobilitas yang tinggi daripada perempuan sehingga
kemungkinan untuk terpapar lebih besar, selain itu kebiasaan seperti merokok dan
mengkonsumsi alkohol yang dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh sehingga wajar bila
perokok dan peminum alkohol sering disebut sebagai agen dari penyakit TB Paru
(Jendra, dkk, 2015) .
Hal ini didukung oleh hasil penelitian sebelumnya pada tahun 2013 dimana hasil
penelitian menunjukkan Prevalensi tuberkulosis selama tiga tahun meningkat dari 0,59%
menjadi 0,94%. Selama kurun waktu tiga tahun. Penderita TB menurut jenis kelamin
didominasi laki-laki dan usia produktif yaitu umur 15–64 tahun walaupun terjadi
peningkatan kasus pada usia lanjut, 65–74 tahun19. Hasil penelitian lainnya yang
mendukung penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Unita dan Haryoto tahun
2015 dimana Jenis kelamin berhubungan secara bermakna dengan kejadian penyakit
tuberkulosis paru, laki-laki berisiko 2 kali lebih besar untuk menderita penyakit tuberkulosis
paru daripada perempuan. Sesuai dengan penelitian terdahulu, proporsi penderita
tuberkulosis paru laki-laki (60,0%) lebih tinggi daripada perempuan (40,0%) (Unita dan
Haryoto, 2015) .
Beberapa bukti juga menunjukkan bahwa infeksi pada perempuan tidak terdeteksi
sebagai akibat dari berkurangnya standar perawatan. Penelitian di Uganda menemukan
wanita yang diduga TB secara signifikan lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Penelitian
yang dilakukan di Vietnam juga menunjukkan bahwa perempuan memiliki keterlambatan
dalam hal diagnosis, dikarenakan ancaman stigma sosial dan isolasi yang dihasilkan akibat

19
dari penyaki TB. Hal ini berbeda dengan laki-laki dimana mereka cenderung
mengabaikan gejala lebih lama tetapi untuk berobat akan mengambil tindakan yang cepat
(Khan, 2011).
2. Berdasarkan usia
Hal ini didukung dengan survei dan infodatin dari Kemenkes RI, tahun 2018, yaitu
berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis tahun 2013-2014, prevalensi TBC dengan
konfirmasi bakteriologis di Indonesia sebesar 759 per 100.000 penduduk berumur 15 tahun
ke atas dan prevalensi TBC BTA positif sebesar 257 per 100.000 penduduk berumur 15
tahun ke atas. Berdasarkan survey Riskesdas 2013, semakin bertambah usia,
prevalensinya semakin tinggi. Kemungkinan terjadi re-aktivasi TBC dan durasi paparan
TBC lebih lama dibandingkan kelompok umur di bawahnya. Data Kemenkes RI Tahun
2017 menyebutkan penderita TB paru paling banyak ditemukan pada usia produktif
secara ekonomi (15-49 tahun) sebesar 75 persen. Berdasarkan beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa kisaran umur 45-54 dan 55-64 mendominasi kejadian TB paru . Usia
produktif merupakan usia dimana seseorang berada pada tahap menghasilkan sesuatu
baik yang bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Keadaan dimana lebih
banyak usia produktif terinfeksi penyakit TB paru karena lebih banyak waktu yang
dihabiskan di luar rumah sehingga peluang terpapar penyakit akan lebih tinggi. Sesuai
dengan data yang didapatkan di lapangan bahwa penderita TB paru paling banyak
ditemukan pada responden dengan umur ≤45 tahun. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Faris Muaz di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang
Tahun 2014. Mengkategorikan umur menjadi dua kategori yaitu produktif (15-58 tahun)
dan tidak produktif (<15 atau >58 tahun) didapatkan nilai p = 0,092 dimana p>0,05
yang berarti tidak ada hubungan bermakna antara umur dengan Kejadian TB paru.
Prevalensi ini juga dipengaruhi oleh aspek sosial dan ekonomi, dimana semakin
tinggi kemampuan sosial ekonomi semakin rendah prevalensi TBC. Prevalensi penyakit TB
sangat dipengaruhi oleh status pendapatan seseorang, dan memiliki dampak yang besar
terhadap produktivitas ekonomi. Penyakit TB juga merupakan penyakit utama yang paling
rentan mempengaruhi penduduk miskin didunia dan lebih dari 90% kasus tuberculosis dan
kematian terjadi di negara berkembang. Prevalensi TB pada kelompok ekonomi memiliki
variasi yang berbeda dan berbanding terbalik dengan tingkat ekonomi mereka bahkan pada
negara yang sama. Penelitian di India dan Bangladesh menunjukkan bahwa prevalensi TB 3
dan 6 kali lebih tinggi diantara rumah tangga dengan status sosial ekonomi terendah di
bandingkan dengan orang-orang dengan status ekonomi tertinggi. Ekonomi juga akan
berdampak pada status gizi/ malnutrisi pada individu/ keluarga. Malnutrisi juga merupakan
faktor yang penting tingginya angka kematian dan kesakitan akibat TB, pada populasi
yang rentan terhadap kekurangan pangan akan meningkatkan tingginya prevalensi TB
lanjutan yang akan memperburuk keadaan malnutrisi dan HIV (Bishwajit, 2014).
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan peneitian yang dilakukan oleh Fares, A
pada tahun 2011 dimana beberapa studi dalam penelitian tersebut menunjukkan
perkembangan klinis tuberkulosis tergantung pada usia. Hal ini diamati menurun dengan
meningkatnya usia, karena itu membuat jelas bahwa tingkat pemberitahuan kasus

20
tuberkulosis menjadi tinggi di antara anak-anak di India, Hong Kong, dan Afrika Selatan.
Secara khusus, anak-anak yang terinfeksi oleh BTA anggota keluarga yang menderita TB
positif. Anak-anak dapat menderita tuberkulosis pada usia berapapun, tetapi usia paling
umum adalah antara satu dan empat tahun dan kemungkinan besar karena sistem
kekebalan tubuh yang belum berkembang dan menunjukkan peningkatan di usia lebih dari
60 tahun yang sejalan dengan studi lain dari Jepang yang menunjukkan prevalensi
tuberkulosis meningkat dengan usia,mencapai 80% di usia> 80 tahun.

3. Berdasarkan tingkat pendidikan


Gambaran kesakitan menurut pendidikan menunjukkan, prevalensi semakin rendah
seiring dengan tingginya tingkat pendidikan. Pendidikan erat kaitanya dengan pengetahuan.
Pengetahuan seseorang erat kaitannya dengan perilaku yang akan diambilnya, karena
dengan pengetahuan tersebut seseorang memiliki alasan dan landasan untuk
menentukan suatu pilihan. Kurangnya pengetahuan tentang penyakit yang diderita akan
mengakibatkan tidak terkendalinya proses perkembangan penyakit. Upaya-upaya untuk
meningkatkan pengetahuan tentang penyakit tuberkulosis telah dilakukan antara lain
dengan penyuluhan kesehatan secara berkala, promosi kesehatan melalui radio, leaflet,
poster dan sebagainya. Upaya penyuluhan kesehatan yang meluas penyakit tuberkulosis
sudah banyak diketahui oleh masyarakat meski dari latar belakang pendidikan rendah.
Namun pengaplikasian pengetahuan dan perilaku dalam mencegah penyakit tuberkulosis
yang masih kurang. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Marieta
tahun 2015, diketahui bahwa korelasi antara pengetahuan dengan kejadian tuberkulosis
0,258 dengan signifikan atau probabilitas 0,0272>0,05. Hal ini berarti H0 ditolak.Hasil
penelitian ini dapat dinyatakan bahwa tidak selamanya orang yang berpengetahuan tinggi
terhadap penyakit dapat terhindar dari penyakit tuberkulosis.
Pada tingkat pendidikan ini akan mempengaruhi dan berdampak pada tindakan
pencegahan, pengobatan, perawatan, seperti pada edukasi/ informasi kesehatan yang
diberikan oleh petugas kesehatan, kepatuhan minum obat, pengawasan minum obat hingga
riwayat kontak antara pasien dengan keluarga maupun dengan masyarakat dalam kehidupan
sehari hari. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan dengan Yuni
Armiyati, pada tahun 2014. Hubungan antara pengetahuan, sikap pasien, dan dukungan
keluarga terhadap dengan kepatuhan minum obat di BKPM Pati, hubungan signifikan
antara kepatuhan minum obat dengan kejadian tuberkulosis di BKPM Pati 0,000 p<0,05
artinya kepatuhan minum obat berhubungan langsung dengan kejadian tuberkulosis yang
menunjukkan kuman tuberkulosis akan semakin kebal ketika pasien tidak patuh dalam
meminum OAT.

4. Berdasarkan Pekerjaan
Berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa Pekerjaan yang menderita TB
paru, ada yang bekerja sebagai PNS/TNI/POLRI/Pensiunan, wiraswasta, pedagang,
buruh/tani dan ada yang tidak bekerja/IRT. Responden yang bekerja sebagai buruh/ tani
adalah yang mendominasi terhadap kejadian TB paru yaitu 19 orang (38,78%) dan 13 orang
yang tidak bekerja/ IRT (26,5%). Hasil penelitian menyebutkan sebanyak 56,0% penderita

21
TB paru bekerja sebagai petani, nelayan dan buruh. Pekerjaan sebagai wiraswasta, petani/
nelayan/ buruh merupakan jenis pekerjaan yang paling banyak dijumpai pada penderita TB
paru masing-masing sebesar 40,1% dan 34,6%. Prihantana AS, dkk (2016) dalam
penelitiannya juga mendapatkan sebanyak 45% responden penderita TB paru bekerja sebagai
buruh tani.
Situasi pekerjaan seseorang berhubungan dengan tempat, kebutuhan dan kemampuan
yang berhubungan juga dengan tekanan secara fisik, psikologis, sosial dan ekonomi.
Pekerjaan merupakan kegiatan yang dilakukan seseorang sehari-hari untuk mempertahankan
kehidupannya. Lingkungan pekerjaan yang padat serta berhubungan dengan banyak orang
meningkatkan risiko terjadinya TB paru, namun responden yang tidak bekerja tidak
menurunkan kemungkinan terkena penyakit TB paru. Menurut hasil penelitian responden
pada penderita TB paru yang bekerja paling banyak memiliki pekerjaan non formal seperti
buruh, tukang becak, ojek online dan pedagang sedangkan responden yang tidak bekerja
adalah mereka yang sudah lanjut usia dan mahasiswa. Jenis pekerjaan yang dilakukan
oleh responden yang bekerja mengharuskan responden berada di lokasi yang padat dan
berkomunikasi dengan banyak orang sehingga risiko terpapar bakteri akan lebih tinggi
jika dibandingkan dengan responden yang tidak bekerja yang hanya berdiam diri dirumah,
sehingga pekerjaan menjadi faktor risiko terjadinya TB paru. Responden yang tidak
TB paru paling banyak memiliki pekerjaan sebagai ibu rumah tangga yang banyak
menghabiskan waktu di rumah sehingga jarang bertemu dan berkomunikasi dengan orang
banyak. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Maria di Poli RSUD
School Keyen Kabupaten Sorong Selatan Tahun 2015, dengan desain cross sectional didapat
uji statistik nilai p = 0,0001 dimana p<0,05 artinya ada hubungan bermakna antara pekerjaan
dengan kejadian TB paru.
Survei mengenai kesakitan, kesembuhan, keberhasilan pengobatan dan upaya
pencegahan serta penanganan TBC Paru di Indonesia menurut KEMENKES RI, 2018
melalui hasil survei dan informasi data TBC di Indonesia tahun 2018. Kesakitan TBC
menurut kuintil indeks kepemilikian menunjukkan tidak ada perbedaan antara kelompok
terbawah sampai dengan menengah atas. Perbedaan hanya terjadi pada kelompok teratas.
Hal ini berarti risiko TBC dapat terjadi pada hampir semua tingkatan sosial ekonomi. Angka
notifikasi kasus/case notification rate (CNR) adalah jumlah semua kasus TBC yang diobati
dan dilaporkan di antara 100.000 penduduk yang ada di suatu wilayah tertentu yang apabila
dikumpulkan serial, akan menggambarkan kecenderungan (trend) meningkat atau
menurunnya penemuan kasus dari tahun ke tahun di suatu wilayah. Angka keberhasilan
(succes rate) adalah jumlah semua kasus TBC yang sembuh dan pengobatan lengkap di
antara semua kasus TBC yang diobati dan dilaporkan yang angka ini merupakan
penjumlahan dari angka kesembuhan semua kasus dan angka pengobatan lengkap semua
kasus. Badan kesehatan dunia menetapkan standar keberhasilan pengobatan sebesar
85%. Angka keberhasilan pada tahun 2017 sebesar 87,8% (data per 21 Mei 2018). Angka
kesembuhan cenderung mempunyai gap dengan angka keberhasilan pengobatan, sehingga
kontribusi pasien yang sembuh terhadap angka keberhasilan pengobatan menurun
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dalam upaya pengendalian penyakit, fenomena

22
menurunnya angka kesembuhan ini perlu mendapat perhatian besar karena akan
mempengaruhi penularan penyakit TBC.
Upaya pencegahan dan pengendalian faktor risiko TBC dilakukan dengan cara (Kemenkes
RI, 2018):
1. Membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat;
2. Membudayakan perilaku etika berbatuk;
3. Melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas perumahan dan lingkungannya sesuai
dengan standar rumah sehat;
4. Peningkatan daya tahan tubuh;
5. Penanganan penyakit penyerta TBC;
6. Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TBC di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan
di luar Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Pilar dan Komponen Penanggulangan TBC Paru (Info dan Survei Kemenkes RI, 2018):
1. Integrasi layanan TBC berpusat pada pasien dan upaya pencegahan TBC.
a. Diagnosis TBC sedini mungkin, termasuk uji kepekaan OAT bagi semua dan penapisan
TBC secara sistematis bagi kontak dan kelompok populasi berisiko tinggi.
b. Pengobatan untuk semua pasien TBC, termasuk untuk penderita resistan obat
dengan disertai dukungan yang berpusat pada kebutuhan pasien (patient-centred
support).
c. Kegiatan kolaborasi TB/HIV dan tata laksana komorbid TBC yang lain.
d. Upaya pemberian pengobatan pencegahan pada kelompok rentan dan berisiko
tinggi serta pemberian vaksinasi untuk mencegah TBC.
2. Kebijakan dan sistem pendukung yang berani dan jelas.
a. Komitmen politis yang diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan layanan dan
pencegahan TBC.
b. Keterlibatan aktif masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan dan pemberi
layanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
c. Penerapan layanan kesehatan semesta (universal health coverage) dan
kerangka kebijakan lain yang mendukung pengendalian TBC seperti wajib lapor,
registrasi vital, tata kelola dan penggunaan obat rasional serta pengendalian infeksi.
d. Jaminan sosial, pengentasan kemiskinan dan kegiatan lain untuk mengurangi
dampak determinan sosial terhadap TBC.
3. Intensifikasi riset dan inovasi
a. Penemuan, pengembangan dan penerapan secara cepat alat, metode intervensi dan
strategi baru pengendalian TB.
b. Pengembangan riset untuk optimalisasi pelaksanaan kegiatan dan merangsang
inovasi- inovasi baru untuk mempercepat pengembangan program pengendalian TB.

Berdasarkan seluruh pemaparan hingga data dan informasi diatas, dapat kita tinjau dan
ketahui bahwa dalam gambaran penyakit TBC Paru berdasarkan ruang lingkup (Dunia, Nasional
maupun regional/ lokal), distribusi hingga karakteristik penyakit TBC yang merupakan salah satu
aspek biologis (endemik masalah kesehatan manusia/ lingkungan), didukung oleh beberapa

23
aspek lain secara epidemiologi yang saling berhubungan dan mempengaruhi, seperti aspek
sosial, ekonomi, pendidikan, politik dan unit terkecail dalam individu/ kelompok/ masyrakat.
Sehingga dalam mengatasi persoalan/ menyikapi masalah kesehatan masyarakat yang
berhubungan dengan penyakit TBC paru, tidak hanya mengandalkan tenaga kesehatan (Profesi
kesehatan : kedokteran, keperawatan, gizi, analis, kesehatan masyarakat), namun juga
melibatkan multi sektor dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, Kemenkes RI, Dinkes
Provinsi dan kota, Organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, voluntir, tokoh masyarakat,
tokoh agama, dan masyarakat itu sendiri yang secara menyeluruh merupakan satu kesatuan/
bagian dalam sistem kesehatan. Sehingga diharapakan capaian program/ tujuan dalam mengatasi
masalah kesehatan akibat penyakit TBC dapat terpenuhi secara Holistik (Biologis, Psikologis,
Sosial dan Spiritual) hingga Komprehensif (Promotif, Preventif, Kuratif dan Rehabilitatif) secara
berkesinambungan, optimal dan inovatif mengikuti kebutuhan, tuntutan hingga perkembangan
zaman.

24
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perkembangan penyakit Tuberculosis (TB) tahun 2019 di wilayah Asia Tenggara (44%),
Afrika (25%), dan Pasifik Barat (18%), dengan presentase usia yang lebih kecil di
Mediterania Timur (8,2%), Amerika (2,9%) dan Eropa (2,5%). Delapan negara menyumbang
dua pertiga dari total global dan Indonesia berada pada urutan kedua. Sementara itu, estimasi
jumlah kasus penyakit TB di Indonesia sebanyak 842.000 kasus, diperkirakan sebanyak 32%
kasus yang belum terlapor dan 85% kasus telah berhasil di obati. Jumlah kasus tertinggi yaitu
Jawa Barat (123.021), Jawa Timur (65.448), dan Jawa Tengah (54.640). Sedangkan jumlah
kasus terendah adalah Kalimantan Utara (1.781), Kepulauan Bangka Belitiung (2.168) dan
Maluku Utara (2.203). Berdasarkan seluruh Kabupaten/Kota se-Sulawesi Selatan, Kota
Makassar menduduki peringkat pertama dengan jumlah penderita TB Paru BTA Positif
sebanyak 1.951 kasus, menyusul Kab.Wajo sebanyak 606 kasus dan Kab. Bone sebanyak
458 kasus.
2. Berdasarkan karakterikstik, laki-laki lebih banyak menderita TB paru dibandingkan dengan
perempuan, berdasarkan umur menunjukkan bahwa kisaran umur 45-54 dan 55-64
mendominasi kejadian TB paru, berdasarkan pendidikan yang tertinggi pada tingkat
pendidikan tidak tamat SD dan tamat SMA, sedangkan berdasarkan pekerjaan sebagai buruh/
tani adalah yang mendominasi terhadap kejadian TB paru.
3. Kasus TB merupakan kasus yang cukup serius karena membutuhkan biaya yang tidak
sedikit dan perawatan penyembuhan yang cukup lama. Sifat dari penyakit TB akan
menimbulkan beban ekonomi yang besar bukan hanya pada Negara tetapi juga bagi rumah
tangga. Rumah tangga dengan penghasilan rendah akan mengalami pengeluaran katastropik,
hilangnya pendapatan rumah tangga karena jatuh sakit, produktivitas menurun akibat
sakit, prestasi akademik menurun, bahkan kematian dini. Terdapat 2 macam pencegahan TB
yaitu tersier dan sekunder.
B. Saran
1. Setiap tahunnya kasus TB terus meningkat sehingga diperlukan pencegahan dan pemutusan
rantai penularan TB. Dimana semua sektor harus ikut bertanggungjawab untuk mencapai
tujuan ini.
2. Deteksi dini/screening sangat diperlukan dalam penemuan kasus baru, sehingga apabila
penemuan kasus baru lebih awal dan tindakan pengobatan dapat dilakukan segera sehingga
dapat menurunkan rantai penularan.
3. Perlunya kesadaran masyarakat dalam peningkatan status gizi, pola hidup sehat, perbaikan
sanitasi dan kebersihan lingkungan.

25
DAFTAR PUSTAKA

Aditama, R. T. Y., & Suharyo. (2012). Analisis Distribusi Dan Faktor Risiko
Tuberculosis Paru Melalui Pemetaan Berdasarkan Wilayah Di Puskesmas Candilama
Semarang Triwulan Terakhir Tahun 2012.
Andas, A. M., Romantika, I. W., & Manuaba, I. B. G. A. (2019). Faktor Risiko Kejadian
Tuberkulosis di Puskesmas Landono Kabupaten Konawe Selatan. Jurnal Keperawatan.
Vol 03(01), 16–20.
Ardillah, Budi, Sari, & Septiawati. (2018). Analisis Faktor Risiko Kejadian Penyakit
Tuberkulosis Bagi Masyarakat Daerah Kumuh Kota Palembang. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia. Vol 17(2), 87-94.
Arisandi, & Sari. (2018). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit TB Paru
Di Wilayah Kerja Puskesmas Walantaka. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat. Vol
7(10), 25-32.
Asik, D., Hastuti, dr E. B., & Evarini, dr Y. (2016). Petunjuk Teknis Manajemen dan
Tatalaksana TB Anak.
Astuti, W. (2014). A Holistic Approximation to Management of Tuberculosis Cases Relapse in
the Second Month of Treatment an Intensive Phase. J Medula Unila. Vol 3(2), 136–145.
Balitbangkes. (2014). Laporan Riset Kesehatan Dasar Aceh 2013. Jakarta.
Batti, Ratag, & Umboh. (2013). Analisis Hubungan Antara Kondisi Ventilasi, Kepadatan
Hunian, Kelembaban Udara, Suhu, Dan Pencahayaan Alami Rumah Dengan Kejadian
Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Wara Utara Kota Palopo. Jurnal Ilmu
Kesehatan Masyarakat. Vol 2(1), 133-143.
Bishwajit, G. (2014). Understanding the Social Determinants of TB and HIV in South Asia.
peerJ PrePrints.
Chin, j., Control of Communicable Disease Manual. Manual Pemberantasan Penyakit Menularar.
ed I.N. Kandun. Vol. 17. 2000:WHO
Depkes RI. (2012). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta:Depkes RI
Destriatania, Mutahar, & Oktavia. (2016). Analisis Faktor Risiko Kejadian TB Paru Di Wilayah
Kerja Puskesmas Kertapati Palembang. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat. 7(2),124-
138.
Dewi, Ernawati, Huda, Mardhiyah, & Qomariyah. (2016). Hubungan Status Gizi Dengan
Tuberkulosis Paru Di Provinsi Sulawesi Utara Berdasarkan Data Riskesdas Tahun
2010. Seminar Nasional Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat. Vol 6(1), 133-
138.
Djojodibroto, D., Respirologi. Buku Kedokteran. EGC
Dinkes Provinsi SulSel. (2018). Profil kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018
Makassar: Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan.

Eka, S., R. (2008). Karakteristik Penderita TB Paru Rawat Inap Di Rumah Sakit Santa
Elisabeth Medan Tahun 2004-2007 (Skripsi, Universitas Sumatera Utara). Diakses
dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789 /16379/Cover.pdf?
sequence=7&isAllowed=y
Eliska, Gurning, Pratama, & Siregar. (2018). Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Tuberkulosis Paru Anak Di RSUD Sibuhuan. Jurnal Berkala Epidemiologi. Vol
6(3),268-275. doi:10.20473/jbe.v6i32018.268-275
Fares, A. (2011). Seasonality of Tuberculosis. Journal Of Global Infection Disease.
Volume 3 Nomor 1, 46–55.
Faris, M. (2014). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosisi Paru Basil
Tahan Asam Positif Di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun
2014 (Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullahn Jakarta). Diakses dari

iv
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/26089/1/FARIS%20MUAZ-
fkik.pdf
Fiya, D. (2019). Pengaruh Kepadatan Hunian Rumah Dengan Kejadian TB Paru Di Wilayah
Kerja Puskesmas Basuki Rahmad Kota Bengkulu Tahun 2019. Journal of Nursing
and Public Health. Vol 7(2), 1-7.
Fitria, E., Ramadhan, R. and Rosdiana, R. (2017). Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru di
Puskesmas Rujukan Mikroskopis Kabupaten Aceh Besar. Sel Jurnal Penelitian
Kesehatan, Vol 4(1).
Gendhis, Yunie, dan Mamat, (2011). Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap Pasien Dan
Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien TB Di BKPM
Pati. Semarang.
Haris Suwondo, (2014). Hubungan Antara Riwayat Kontak, Kelembapan, Pencahayaan, Dan
Kepadatan Hunian Dengan Kejadian Tuberculosis Paru Pada Anak. Surakarta.
Hambyah, & Iwan, S. (2018). Hubungan Jenis Kelamin Dan Lama Kontak Dengan Kejadian
Tuberkulosis Paru Di Rumah Sakit A. Wahab Sjahranie Samarinda Tahun 2015. Jurnal
Kesehatan Pasak Bumi Kalimantan. Vol 1(1),28-40.
Irwan. (2017). Epidemiologi penyakit menular (Edisi ke-1).Yogyakarta:CV. Absolute Me

Jendra D. F. J., Sapulete, M. R., & Kandou, G. D. (2015). Hubungan Faktor Risiko Umur, Jenis
Kelamin dan Kepadatan Hunian dengan Kejadian Penyakit TB Paru di Desa Wori
Kecamatan Wori. Jurnal Kedokteran dan Komunitas Tropik. Vol 3 Nomor 2, 57–65.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Profil Kesehatan RI 2013. Jakarta: Depkes
RI
Kementerian Kesehatan RI. (2017). Kebijakan Program Penanggulangan TB. Jakarta
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016.
Jakarta : Depkes RI

Kementerian Kesehatan RI. (2018a). Indonesia National TB Program.

Kementerian Kesehatan RI (2018b). InfoDatin Tuberkulosis.


Kementerian Kesehatan RI (2018c). Penilaian Status Gizi.

Kementerian Kesehatan RI. (2019a). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2018.

Kementerian Kesehatan RI. (2019b). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Riset
Kesehatan Dasar 2018.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2019). Profil kesehatan indonesia tahun 2018.
Jakarta.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2019). Situasi TBC di Indonesia.

Kementerian Kesehatan RI. (2019c). Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan


Masyarakat, Apa itu TOSS TB dan Kenali Gejala TBC.
Kristini, Tri Dewi dan Rana Hamidah. (2020) . Potensi Penularan Tuberculosis Paru Pada A
Laily, D. W., Rombot, D. V, Lampus, B. S., & Paru, T. (2015). Karakteristik Pasien
Tuberkulosis Paru Di Puskesmas Tuminting Manado. Jurnal Kedokteran Komunitas Dan
Tropik. Vol 3(1), 1–5.
Lapau B. (2012). Metode penelitian kesehatan: metode ilmiah penulisan skripsi, Tesis, dan
Disertasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Maria, L. (2016).Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TBC paru pada pasien rawat
jalan di poli RSUD Schoolo Keyen Kabupaten Sorong Selatan Tahun 2015. Jurnal
Kesehatan Prima. Vol 10(2),1665-16671.
Masniari L, ZS P, Aditama TY. (2007). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesembuhan

v
Penderita TB Paru. J War. Vol 3(2):1-38.
Mertaniasih, N. M., Koendhori, E. B., & Kuusumaningrum, D. (2013). Buku Ajar Tuberkulosis
Diagnostik Mikrobiologis (N. M. Mertaniasih, E. B. Koendhori, & D. Kusumaningrum
(eds.); Cetakan Pe). Airlangga University Press.
M. S. Khan, M. S.-F. (2011). Factors influencing sex differences in numbers of tuberculosis.
The International Journal of Tuberculosis and Lung Disease. Vol 6, Nomor 2, 172-
177.
Naing, Nyi. (2010). A Practical Guide On The Determination Of Sample Size In Health Sciences
Research. Kota Bharu, Mlaysia: Pustaka Aman Press.
Najmah. (2016). Epidemiologi Penyakit Menular (Edisi Ke-1). Jakarta:CV. Trans Info Media

Najmah, dkk. (2014). Modul Kawasan Tampa Asap Roko, Konsep dan Aplikasi. Indralaya:FKM-
Lemlit UNSRI
Nasry N. (2021). Epidemiologi Penyakit Infeksi Menular. UPT Unhas Press: Makasar

Nova, A. (2019). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tuberkulosisi Paru Di


Puskesmas Lubuk Alung Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2019. Jurnal
Kesehatan Medika Saintika. Vol 10(2),144-150.
Pedoman diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. (2017). Pedoman
Penatalaksanaan TB (Konsensus TB). Diakses dari
https://www.academia.edu/9069521/PEDOMAN_PENATALAKSANAAN_TB_KONSE
NSUS_TB
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2016 tentang
Penanggulangan Tuberkulosis.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1077 Tahun 2011 Tentang Pedoman
Penyehatan Udara dalam Ruang Rumah.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). (2006). Tuberkulosis: pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). (2011). Tuberkulosis: pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI.

Putra IWA, Surjanto E, Suradi, Aditama TY. (2008). Nilai Diagnostik Pemeriksaan Reaksi
Rantai Polimerase pada Tuberkulosis Paru Sputum Basil Tahan Asam Negatif. J Respirol
Indones. Vol 28(3):136- 144.
Qori'atul, dkk. (2020). Dampak Makro Ekonomi dan Lingkungan Terhadap Kasus TB di 7
Negara Asia Tenggara. Jurnal Ekonomi dan Bisnis (JEBSIS). Volume 3 Nomor 2.
Ratnasari NY. (2012). Hubungan Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup pada Penderita
Tuberkulosis Paru (TB Paru) di Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP4) Yogyakarta Unit
Minggiran. J Tuberkulosis Indones. 8(7):7-11.
Rida Dwi Lestari dan Sri Pingit Wulandari, (2014). Pemodelan Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Jumlah Kasus Penyakit Tuberculosis Di Jawa Timur Dengan
Pendekatan Generalized Poisson Regression Dan Geographically Weighted Poisson
Regression. Surabaya.
Ririn, P. (2020). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Di
Puskesmas Limboto Tahun 2019. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol 6(1),1-13.
Rismawati, P., & Rony, D.(2018). Faktor Risiko Tuberkulosis Paru Pada Masyarakat Di
Wilayah Kerja Puskesmas Bambu Apus Kota Tangerang Selatan. Artikel Kesehatan
Masyarakat. Vol 3(2), 112-117.
Rosdiana. (2018). Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Di Rumah
Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar. Promorif: Jurnal Kesehatan Masyarakat,
8(1), 78-82. doi:10.31934/promotif.v8i1.233

vi
Reni Dwi Pangestuti. (2018). Determinan Kinerja Tenaga Kesehatan Dalam Penemuan Kasus
Baru TB dengan Investigasi Kontak di Kabupaten Jember. Tesis. Program Studi Magister
Ilmu Kesehatan Masyarakat. Pascasarjana. Universitas Jember.
RI, K. (2016). Sejarah Tuberculosis di Indonesia. https://tbindonesia.or.id/pustaka-
tbc/informasi/tentang-tbc/sejarah-tbc-di-indonesia/
Setyaningtyas, Ratna. (2019). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Tuberculosis
Paru Pada Anak Di RSUD Panembahan Senopati Bantul Tahun 2019. Politeknik
Kesehatan Yogyakarta.
Sitohang R., Pandelaki, B. L AJ. (2013). Gambaran penderita Tuberkulosis Paru yang Berobat
Menggunakan DOTS di Puskesmas Bahu Malalayang I Periode Januaridesember 2012. J
Kedokt dan Trop.
Sri Nurul dan Sri Andriani, (2015). “Faktor Terjadinya Tuberculosis Paru Pada Anak
Berdasarkan Riwayat Kontak Serumah.” Semarang.
Syumriana. (2012). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Di
Wilayah Kerja Puskesmas Maccini Sawah Kota Makassar Tahun 2012 (Skripsi,
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar). Diakses dari http://repositori.uin-
alauddin.ac.id/3220/1/ Jumriana.pdf
Tiara, La Ode dan, Karma. (2013). “Analisis Pasien Korelasi Dan Tren Kasus TB Paru BTA
Positif Menggunakan Web System Informasi Geografis.” Kendari.
Turgut, M., Akhaddar, A., Turgut, A., & Grag, R. (2017). Tuberculosis of The Central Nervous
System. In Postgraduate Medical Journal. Springer.
https://doi.org/10.1136/pgmj.75.881.133

Unita, H., & Haryoto, V. (2015). Tuberkulosis Paru di Palembang. Sumatera Selatan.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. Vol 5(5).

Utami BS, Harun S, Ekowatiningsih R, Yuwarni E, Kurniawan L, Aditama TY. (2002). Uji
Validitas Teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) dan Pemeriksaan Mikroskopis
Bakteri Tahan Asam sebagai Alat Diagnosis Penderita TB Paru di Rumah Sakit
Persahabatan, Jakarta. Media Litbang Kesehatan. Vol 12(3):24-29.
WHO. (2012). Global Tuberculosis Report 2012. Genewa:WHO
WHO. (2019). Global Tuberculosis Report. World Health Organization.

WHO. (2020a). Global Tuberculosis Report 2020.

WHO. (2020b). Tuberculosis. Global Tuberculosis Report End TB Strategy.


https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/tuberculosis
WHO.(2014).Tuberculosis.2014;Available:http:www.who.int/mediacentre/factsheets/fs104/en/
Wulan Susilo. (2020). Analisis Beban Ekonomi Dan Dampak Karena Tuberculosis Terhadap
Kesejateraan Di Kota Bengkulu. Chmk Health Journal. Volume 4 Nomor 1.

vii

Anda mungkin juga menyukai