Anda di halaman 1dari 15

SEJARAH KERAJAAN ISLAM ACEH

DI INDONESIA

Laporan Karya Tulis untuk Memenuhi Tugas Sejarah Indonesia

Oleh:
Hans Chandra
X MIPA 4 / 03

SEKOLAH MENENGAH ATAS REGINA PACIS


SURAKARTA
2019

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada
awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan
menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur.
Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan
Aceh diikuti dengan Aru.
Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang
bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin
digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1571.
Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, tetapi nyatanya selalu
dikendalikan oleh orangkaya atau hulubalang. Hikayat Aceh menuturkan Sultan yang
diturunkan paksa diantaranya Sultan Sri Alam digulingkan pada 1579 karena perangainya
yang sudah melampaui batas dalam membagi-bagikan harta kerajaan pada pengikutnya.
Penggantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh beberapa bulan kemudian karena kekejamannya
dan karena kecanduannya berburu dan adu binatang. Raja-raja dan orangkaya menawarkan
mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-Mukamil dari Dinasti Darul Kamal pada
1589. Ia segera mengakhiri periode ketidak-stabilan dengan menumpas orangkaya yang
berlawanan dengannya sambil memperkuat posisinya sebagai penguasa tunggal Kesultanan
Aceh yang dampaknya dirasakan pada sultan berikutnya.
Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa
kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa
kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada
tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan
armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam
upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya
ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki Kedah dan banyak
membawa penduduknya ke Aceh.
Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Muda)
didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku
Abdul Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti ke
Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua ini
dilakukan untuk memperkuat posisi kekuasaan Aceh.
Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin
menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatra dan Selat Malaka, ditandai dengan
jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta
Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya
perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.
Oleh karena latar belakang diatas maka saya memutuskan untuk meneliti sejarah
Kerajaan Aceh secara lebih lanjut

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh Islam di Aceh?
2. Bagaimana sejarah dari Kerajaan Aceh?
3. Apa saja Peninggalan dari Kerajaan Aceh?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penilitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pengaruh Islam di Aceh
2. Mengetahui sejarah dari Kerajaan Aceh
3. Mengetahui Peninggalan dari Kerajaan Aceh

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberi manfaat bagi para pembaca yang tertarik untuk
mengetahui sejarah dari kerajaan Aceh.
BAB II
KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS

A. Kajian Teori

Penelitian yang lain tentang Kerajaan Aceh antara lain jurnal Kesultanan Aceh
Darussalam yang dibuat oleh Muhammad Yardho
https://www.academia.edu/28012792/The_Empire_of_Aceh_Darussalam_Kesultanan_Aceh_
Darussalam , jurnal yang ada pada link
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/68418/Chapter%20I.pdf?sequence=4
&isAllowed=y , serta https://id.wikipedia.org pada page Kejaraan Aceh

B. Hipotesis

Dari segala sumber diatas dugaan awal yang saya dapat adalah Kerajaan Aceh
merupakan salah satu kerajaan Islam yang muncul awal dan salah satu yang sangat besar
sehingga menurut saya sejarah dan peninggalan dari Kerajaan Aceh mudah untuk digali jika
mau mencari nya.
Seperti peninggalan Masjid Baiturahman yang sampai sekarang masih berdiri dan
menjadi tempat yang terawat dan masih memegang makna utamanya yaitu sebagai tempat
beribadah umat Islam namun juga memiliki berbagai sejarah dari Kerajaan Aceh.
Sehingga sejarah dan peninggalan seperti yang saya sebutkan menjadikan kerajaan
Aceh menjadi salah satu Kerajaan Islam yang paling dikenal di Indonesia

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian


1. Tempat Penelitian
Penelitian ini mengambil tempat di rumah penulis Jurnal
2. Waktu Penelitian
Perancangan penelitian dan penelitian dilaksanakan selama kurang lebih 1
minggu, yakni mulai Mei minggu pertama sampai Mei minggu kedua. Jadwal
penelitian dapat dilihat di tabel berikut:
April Mei
Kegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4
Menentukan topik,

tema, dan judul
Membuat Pendahuluan √
Membuat Bab 2 dan 3 √
Menyusun Bab 4 √
Menyusun Bab 5 dan

menarik kesimpulan

B. Metode Penelitian
erdasarkan karakteristik masalah yang diteliti, yakni
a. Penelitian Korelasional (Correlational Research) adalah tipe penelitian dengan
karakteristik masalah berupa hubungan korelasional antara dua variabel atau
lebih.

Tujuannya menentukan apakah terdapat asosiasi di antara dua variabel


atau lebih serta seberapa jauh korelasi yang ada di antara variabel yang diteliti.
Tipe penelitian ini menekankan pada penentuan tingkat hubungan yang dapat
pula digunakan untuk melakukan prediksi.

b. Penelitian Kausal Komparatif (Causal-Comparative Research) adalah penelitian


yang menunjukkan arah hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat,
disamping mengukur kekuatan hubungannya. Penelitian ini merupakan tipe
penelitian ex post facto, yaitu tipe penelitian terhadap data yang dikumpulkan
setelah terjadinya suatu fakta atau peristiwa.
Peneliti bertujuan dapat mengidentifikasi fakta atau peristiwa tersebut
sebagai variabel yang dipengaruhi (variabel dependen) dan melakukan
penyelidikan terhadap variabel-variabel yang mempengaruhinya (Variabel
independen).
c. Penelitian Eksperimen (Experimental Research) adalah penelitian yang subjeknya
diberi perlakuan (treatment) lalu diukur akibat perlakuan pada diri subjek.
Tujuannya melihat pengaruh variabel independen terhadap variabel
dependen. Macam-macam desain dalam penelitian eksperimental, antara lain:
Posttest Control Group Design (Rancangan Kelompok Kontrol dengan Post-
test), Pretest-Posttest Control Group Design (Rancangan Kelompok Kontrol
dengan Pre-test dan Post-test), Solomon-Four Group Design (Rancangan Empat
Kelompok Solomon), dan Factorial Design (Rancangan Faktorial).
Dalam membuat Laporan ini peneliti menggunakan metode penelitian berdasarkan
sumber sumber yang ada dan menarik kesimpulan.

BAB IV
HASIL PENELITIAN

A. Latar Belakang Kerajaan Aceh


Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada
awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan
menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur.
Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan
Aceh diikuti dengan Aru.
Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang
bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin
digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1571.
Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, tetapi nyatanya selalu
dikendalikan oleh orangkaya atau hulubalang. Hikayat Aceh menuturkan Sultan yang
diturunkan paksa diantaranya Sultan Sri Alam digulingkan pada 1579 karena perangainya
yang sudah melampaui batas dalam membagi-bagikan harta kerajaan pada pengikutnya.
Penggantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh beberapa bulan kemudian karena kekejamannya
dan karena kecanduannya berburu dan adu binatang. Raja-raja dan orangkaya menawarkan
mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-Mukamil dari Dinasti Darul Kamal pada
1589. Ia segera mengakhiri periode ketidak-stabilan dengan menumpas orangkaya yang
berlawanan dengannya sambil memperkuat posisinya sebagai penguasa tunggal Kesultanan
Aceh yang dampaknya dirasakan pada sultan berikutnya.
Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa
kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa
kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada
tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan
armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam
upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya
ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki Kedah dan banyak
membawa penduduknya ke Aceh.
Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Muda)
didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku
Abdul Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti ke
Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua ini
dilakukan untuk memperkuat posisi kekuasaan Aceh.
Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin
menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatra dan Selat Malaka, ditandai dengan
jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta
Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya
perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.

B. Pengaruh Islam Di Aceh

Islam di Aceh merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Aceh. Banyak ahli
sejarah baik dalam maupun luar negeri yang berpendapat bahwa agama Islam pertama sekali
masuk ke Indonesia melalui Aceh.
Keterangan Marco Polo yang singgah di Perlak pada tahun 1292 menyatakan bahwa negeri
itu sudah menganut agama Islam. Begitu juga Samudera-Pasai, berdasarkan makam yang
diketemukan di bekas kerajaan tersebut dan berita sumber-sumber yang ada seperti yang
sudah kita uraikan bahwa kerajaan ini sudah menjadi kerajaan Islam sekitar 1270.
Tentang sejarah perkembangan Islam di daerah Aceh pada zaman-zaman permulaan itu
petunjuk yang ada selain yang telah kita sebutkan pada bagian-bagian yang lalu ada pada
naskah-naskah yang berasal dari dalam negeri sendiri seperti Kitab Sejarah Melayu, Hikayat
Raja-Raja Pasai. Menurut kedua kitab tersebut, seorang mubaligh yang bernama Syekh
Ismail telah datang dari Mekkah sengaja menuju Samudera untuk mengislamkan penduduk di
sana. Sesudah menyebarkan agama Islam seperlunya, Svekh Ismail pun pulang kembali ke
Mekkah. Perlu uga disebutkan di sini bahwa dalam kedua kitab ini disebutkan pula negeri-
negeri lain di Aceh yang turut diislamkan, antara lain: Perlak, Lamuri, Barus dan lain-lain.
Berdasarkan keterangan kedua sumber itu dapatlah diperkirakan bahwa sebagian tempat-
tempat di Aceh, terutama tempat-tempat di tepi pantai telah memeluk agama Islam. Islam
yang masuk ke Aceh khususnya dan Indonesia umumnya pada mulanya mengikuti jalan-jalan
dan kota-kota dagang di pantai, kemudian barulah menyebar ke pedalaman. Para pedagang
dan mubaligh telah memegang peranan penting dalam penyebaran agama Islam.
Secara historis sosiologis, masuk dan berkembangnya Islam ke suatu daerah sangat kompleks.
Terdapat banyak permasalahan yang terkait dengannya, misalnya dari mana asalnya, siapa
yang membawa, apa latar belakangnya dan bagaimana dinamikanya, baik dari segi ajaran
Islam maupun pemeluknya. Ada beberapa pendapat yang menyatakan kapan masuknya Islam
ke Aceh. Hamka berpendapat Islam masuk ke Aceh sejak abad pertama Hijriah (ke-7 atau 8
M) namun ia menjadi sebuah agama populis pada abad ke-9 seperti pendapat Ali Hasjmy.
Sedangkan para orientalis seperti Snouck Hourgronje berpendapat Islam masuk pada abad
ke-13 M yang ditandai dengan berdirinya Kesultanan Samudra Pasai.

C. Sejarah Kerajaan Aceh


Sultan Aceh atau Sultanah Aceh merupakan penguasa / raja dari Kesultanan Aceh. Sultan
awalnya berkedudukan di Gampông Pande, Bandar Aceh Darussalam kemudian pindah ke
Dalam Darud Dunia di daerah sekitar pendopo Gubernur Aceh sekarang. Dari awal hingga
tahun 1873 ibukota berada tetap di Bandar Aceh Darussalam, yang selanjutnya akibat Perang
dengan Belanda pindah ke Keumala, sebuah daerah di pedalaman Pidie.
Sultan/Sultanah diangkat maupun diturunkan atas persetujuan oleh tiga Panglima Sagoe dan
Teuku Kadi Malikul Adil (Mufti Agung kerajaan). Sultan baru sah jika telah membayar
"Jiname Aceh" (mas kawin Aceh), yaitu emas murni 32 kati, uang tunai seribu enam ratus
ringgit, beberapa puluh ekor kerbau dan beberapa gunca padi. Daerah yang langsung berada
dalam kekuasaan Sultan (Daerah Bibeueh) sejak Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah adalah
daerah Dalam Darud Dunia, Masjid Raya, Meuraxa, Lueng Bata, Pagarayée, Lamsayun,
Peulanggahan, Gampông Jawa dan Gampông Pande.
Lambang kekuasaan tertinggi yang dipegang Sultan dilambangkan dengan dua cara yaitu
keris dan cap. Tanpa keris tidak ada pegawai yang dapat mengaku bertugas melaksanakan
perintah Sultan. Tanpa cap tidak ada peraturan yang mempunyai kekuatan hukum.

Era Sultan Iskandar Muda


Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut
seorang penjelajah asal Prancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh pada zaman Sultan
Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir
barat Minangkabau, Sumatra Timur, hingga Perak di semenanjung Malaysia.
Aceh merupakan salah satu bangsa di pulau Sumatra yang memiliki tradisi militer, dan
pernah menjadi bangsa terkuat di Selat Malaka, yang meliputi
wilayah Sumatra dan Semenanjung Melayu, ketika di bawah kekuasaan Iskandar Muda.
Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang putri dari Kesultanan Pahang. Putri
ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan
istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman
Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu
yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan
membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih
dapat disaksikan dan dikunjungi.
Aceh melawan Portugis
Ketika Kesultanan Samudera Pasai dalam krisis, maka Kesultanan Malaka yang muncul di
bawah Parameswara (Paramisora) yang berganti nama setelah masuk Islam dengan panggilan
Iskandar Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai pada tahun 1511 ketika Portugis
di bawah pimpinan Afonso DAlbuquerque dengan armadanya menaklukan Malaka.
Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis, kembali Aceh bangkit di bawah pimpinan Sultan Ali
Mughayat Syah (1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537). Sultan
Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat Syah (1568-1573). Sultan Seri
Alam (1576. Sultan Muda (1604-1607). Sultan Iskandar Muda, gelar marhum mahkota alam
(1607-1636). Semua serangan yang dilancarkan pihak Portugis untuk menguasai aceh dapat
ditangkis. Disisi lain Aceh juga melakukan berbagai serangan untuk menggulingkan Portugis
di Malaka, yang meghambat ekspansi Portugis di asia tenggara.

Hubungan dengan Barat


Inggris
Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James
Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara
Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan
Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk
berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-
hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas
kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh,
yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari
Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan
Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja
James.
Belanda
Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim
surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut
maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan
tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid
sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan
dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah
memakamkan orang Islam, maka dia dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan
sebuah gereja. Kini di makam dia terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang
Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayah Yang Mulia Ratu
Beatrix.
Utsmaniyah
Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan
Utsmaniyah yang berkedudukan di Istanbul. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah sedang
gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka
harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka.
Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya
tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu
dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk
membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama
Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Utsmaniyah mengirimkan sebuah
bintang jasa kepada Sultan Aceh.meriam tersebut menurut informasi kini berada di desa
Blang Balok kecamatan peureulak (sumber MAA Atim). Pada 1565, Kesultanan Turki
Usmani mengirimkan ekspedisi untuk membantu Kesultanan Aceh memerang Portugis di
Malaka. Ekspedisi ini merupakan kelanjutan dari pembicaraan utusan Aceh dengan Sultan
Turki Usmani, Sulaiman pada tahun 1564. Ekspedisi Usmani pertama dipimpin oleh
Kurtoğlu Hızır Reis yang tediri dari 15 kapal dengan berbagai meriam artileri.
Prancis
Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Prancis. Utusan Raja Prancis
tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan
Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan
serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Denys
Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga.
Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee
Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Prancis tersebut, Istana
Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana
Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan
Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan
Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga
mengaliri istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di
sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.
Pasca-Sultan Iskandar Thani
Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus
menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya empat Sultanah berturut-turut sehingga
membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu Safiatudin Seri Ta jul
Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan Sultanah yang pertama adalah
seorang wanita yang amat cakap. Ia merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan
Iskandar Thani. Ia juga menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab,
dan Persia. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96 orang, 1/4 di antaranya
adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti
Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang wanita yang menjadi Sultanah.
Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.

Datangnya pihak kolonial


Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16,
pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda.
Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau
Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.
Pada tahun 1824, Perjanjian Britania-Belanda ditandatangani: Britania menyerahkan
wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah
koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda
untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Prancis dari mendapatkan kekuasaan di
kawasan tersebut.

D. Peninggalan Kerajaan Aceh

1. Masjid Raya Baiturrahman

Peninggalan Kerajaan Aceh yang pertama serta yang paling terkenal yaitu Masjid Raya
Baiturrahman. Masjid yang dibangun Sultan Iskandar Muda pada sekitar tahun 1612 Masehi
ini terletak di pusat Kota Banda Aceh. Ketika agresi militer Belanda II, masjid ini pernah
dibakar. Tetapi pada selang 4 tahun setelahnya, Belanda membangunnya kembali untuk
meredam amarah rakyat Aceh yang akan berperang merebut syahid. Ketika bencana Tsunami
menimpa Aceh pada 2004 lalu, masjid peninggalan sejarah Islam di Indonesia satu ini jadi
pelindung untuk sebagian masyarakat Aceh. Kekokohan bangunannya tidak dapat
digentarkan oleh sapuan ombak laut yang saat itu meluluhlantahkan kota Banda Aceh.

2. Taman Sari Gunongan

Taman Sari Gunongan yaitu salah satu peninggalan Kerajaan Aceh, setelah keraton (dalam)
tak dapat terselamatkan karena pasukan Belanda yang menyerbu Aceh. Taman ini dibangun
pada saat pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang memerintah tahun 1607-1636. Sultan
Iskandar Muda berhasil menaklukkan Kerajaan Pahang serta Kerajaan Johor di Semenanjung
Malaka.

Sultan Iskandar Muda jatuh cinta pada Putri Boyongan dari Pahang karena akhlakhnya yang
sangat mempesona serta cantik parasnya, sampai pada akhirnya menjadikannya sebagai
permaisuri. Karena cintanya yang sangat besar, Sultan Iskandar Muda bersedia untuk
memenuhi keinginan Putri Boyongan untuk membangun sebuah taman sari yang indah yang
dilengkapi dengan Gunongan.

3. Masjid Tua Indrapuri


Masjid Indrapuri adalah bangunan tua berbentuk segi empat sama sisi. Mempunyai bentuk
yang khas seperti candi, karena di masa lalu bangunan ini bekas benteng sekaligus candi
Kerajaan Hindu yang lebih dulu menguasai Aceh.

Pada tahun 1300 Masehi, diperkirakan pengaruh Islam di Aceh mulai menyebar dan
perlahan-lahan penduduknya telah mengenal Islam. Pada akhirnya bangunan yang awalnya
candi ini berubah fungsi menjadi masjid. Bangunan bekas candi ini dirubah jadi masjid pada
masa Sultan Iskandar Muda yang berkuasa dari tahun 1607-1637 Masehi.

4. Benteng Indra Patra

Setelah Kerajaan Hindu, muncul Kerajaan Islam yang pada masa jayanya dipimpin oleh
Sultan Iskandar Muda. Pada masa ini, benteng masih dipakai sebagai tempat pertahanan
melawan penjajah Portugis. Sultan Iskandar Muda memberi tugas pada Laksamana
Malahayati, ia merupakan seorang laksamana perempuan pertama di dunia yang memimpin
pasukan di wilayah pertahanan ini.

Benteng ini merupakan benteng yang dibangun oleh Kerajaan Lamuri, yaitu sebuah Kerajaan
Hindu pertama di Aceh. Walau pada akhirnya Islam mendominasi di Aceh, tetapi sultan serta
ratu yang memimpin Aceh tak pernah berniat sekalipun menghancurkan jejak peninggalan
nenek moyangnya.

5. Pinto Khop

Pinto Khop berada di Kelurahan Sukaramai, Kecamatan Baiturahman, Kota Banda Aceh.
Tempat ini adalah sejarah Aceh jaman dulu yang dibangun pada saat pemerintahan Sultan
Iskandar Muda. Selain itu, tempat ini juga adalah pintu penghubung antara istana serta taman
putroe phang.

Pinto khop ini merupakan pintu gerbang yang berbentuk kubah. Pinto khop ini juga adalah
tempat beristirahat putri pahang jika telah selesai berenang, posisinya tak jauh dari gunongan.
Nah, disanalah dayang-dayang membersihkan rambut permaisuri. Selain itu, di sana juga ada
sebuah kolam yang dipakai permaisuri untuk mandi bunga.

6. Meriam Kesultanan Aceh


Pada masa Sultan Selim II dari Turki Utsmani, dikirimkan beberapa pembuat senjata serta
teknisi dari Turki ke Aceh. Lalu Aceh menyerap kemampuan ini serta dapat memproduksi
meriam sendiri dari kuningan. Perlu anda ketahui, meriam ini digunakan untuk
mempertahankan Aceh dari serangan penjajah.

7. Hikayat Prang Sabi

Hikayat Prang Sabi merupakan suatu karya sastra dalam sastra Aceh yang berupa hikayat.
Adapun isi dari hikayat ini yaitu membicarakan mengenai jihad. Karya sastra ini ditulis oleh
para ulama yang berisi ajakan, nasehat, serta seruan untuk terjun ke medan jihad untuk
menegakkan agama Allah dari serangan kaum kafir. Bisa jadi, mungkin saja hikayat inilah
yang menghidupkan semangat juang rakyat Aceh dahulu untuk mengusir penjajah.

8. Makam Sultan Iskandar Muda

Peninggalan Kerajaan Aceh yang selanjutnya yaitu Makam dari Raja Kerajaan Aceh yang
paling terkenal, Sultan Iskandar Muda. Makam yang terdapat di Kelurahan Peuniti, Kec.
Baiturrahman, Kota Banda Aceh ini sangat kental dengan nuansa Islami. Ukiran serta pahatan
kaligrafi pada batu nisannya sangat indah serta menjadi salah satu bukti sejarah masuknya
Islam ke Indonesia.

9. Uang Emas Kerajaan Aceh

Aceh ada di jalur perdagangan serta pelayaran yang sangat strategis. Berbagai komoditas
yang datang dari penjuru Asia berkumpul di sana pada saat itu. Hal semacam ini membuat
kerajaan Aceh tertarik untuk membuat mata uangnya sendiri. Uang logam yang terbuat dari
70% emas murni inilalu dicetak lengkap dengan nama-nama raja yang memerintah Aceh.
Koin ini masih sering ditemukan serta menjadi harta karun yang sangat diburu oleh beberapa
orang. Koin ini dapat juga dianggap sebagai salah satu peninggalan Kerajaan Aceh yang
pernah berjaya pada masanya.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan bisa disimpulkan bahwa Kerajaan Aceh
merupakan kerajaan yang sangat makmur pada masanya dan memiliki banyak sultan yang
merupakan turun temurun dan ternyata sebelum adanya Kerajaan Aceh saja Islam juga sudah
masuk dan menyebar di Aceh. Di Aceh hingga sekarang rakyatnya merupakan mayoritas
Islam sehingga barang barang peninggalan dari Kerajaan Islam disana sangat terawat bahkan
ketika tsunami melanda saja masjid Baiturahman tidak hancur. Kerajaan Aceh juga
merupakan salah satu kerajaan Islam pertama yang muncul di Indonesia lebih tepatnya
setelah Samudera Pasai dan berkembang pesat maka tidak heran jika pengaruh dari Kerajaan
Aceh sangatlah besar baik bagi Indonesia pada jaman itu maupun wilayah Aceh itu sendiri,
namun sayangnya Kerajaan Aceh harus takluk oleh para penjajah.

B. Saran

Bagi Para Pembaca

Silakan para pembaca membaca jurnal ini hingga selesai jika ingin tahu
sejarah dari Kerajaan Aceh secara lengkap Terima Kasih.

Anda mungkin juga menyukai