Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

DERMATITIS KONTAK ALERGI

Oleh :
Cita Laelika Novialianti Putri
19360047

Pembimbing :
dr. Arif Efendi, Sp.KK

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati
RS. Pertamina Bintang Amin
Bandar Lampung
2019
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. A
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 45 tahun
Alamat : Jalan Hayam Wuruk
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status Pernikahan : Menikah
Agama : Islam

II. ANAMNESIS :
Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 05 Februari 2020 pukul 20.16 WIB
Keluhan Utama :
Muncul kemerahan di daerah wajah sejak 3 hari yang lalu.
Keluhan Tambahan :
Gatal dan muncul sisik di area wajah.

Riwayat Penyakit Sekarang :


OS datang ke praktik klinik dengan keluhan 3 hari yang lalu muncul kemerahan di
daerah wajah. Mula-mula di dahi menyebar ke daerah pipi dan sekitar mulut. OS juga
merasakan adanya gatal dan muncul sisik di area tersebut. Riwayat OS menggunakan
krim pemutih tidak disangkal.

Riwayat Pengobatan Yang Didapat :


Tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada.
III. PEMERIKSAAN FISIK
KU : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Status Gizi : Baik
Tanda Vital :
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Suhu : 36,5 0C
RR : 22 x/menit
Status Generalis :
Kepala : Normocephali
Rambut : Berwarna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Simetris, deviasi septum (-), sekret (-)
Telinga : Bentuk daun telinga normal, sekret (-)
Mulut : Mukosa bibir dan mulut lembab, sianosis (-)
Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran
Thoraks : Simetris, retraksi (-)
Paru : SD vesikuler +/+ normal, ST -/-
Jantung : BH I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: Supel, datar, BU (+)
Ekstremitas: Akral hangat, edema (-)

IV. STATUS DERMATOLOGIKUS


Regio : Regio fasialis:
Plak hipopigmentasi, batas tegas, tampak daerah berskuama.
Distribusi : Regional
Efloresensi primer : Plak hipopigmentasi
Warna : Hipopigmentasi
Ukuran : Miliar hingga numular
Jumlah : Multiple
Efloresensi Sekunder : Skuama
Konfigurasi :-
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak di lakukan

VI. RESUME
Ny. A datang ke praktik klinik dengan keluhan 3 hari yang lalu muncul
kemerahan di daerah wajah. Mula-mula di dahi menyebar ke daerah pipi dan sekitar
mulut. OS juga merasakan adanya gatal dan muncul sisik di area tersebut. Riwayat
OS menggunakan krim pemutih tidak disangkal.
Status Generalis : DBN
Status Dermatologis : Plak hipopigmentasi, batas tegas, tampak daerah berskuama.

VII. DIAGNOSIS
Diagnosis Banding :
 Dermatitis Kontak Alergi e.c penggunaan krim pemutih
 Dermatitis Kontak Iritan
 Dermatitis Seboroik

Diagnosis Kerja :
Dermatitis Kontak Alergi e.c penggunaan krim pemutih

IX. PEMERIKSAAN ANJURAN


 Uji tempel/Patch Test

X. PENATALAKSANAAN
Non farmakologik
• Stop penggunaan krim pemutih

Farmakologik
Oral : Metyl Prednisolon 3 x 4 mg tab
Loratadine 1 x 10 mg tab
Topikal : Desonide krim 0,05% 2 x 1 u.e
XI. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad sanitionam : ad bonam
Quo ad fungsionam : ad bonam
Quo ad kosmetika : dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang timbul
setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi. Alergen yang menyebabkan
DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul yang umunya rendah.
DKA terjadi akibat pajanan ulang dengan bahan dari luar yang bersifat haptenik atau
antigenik yang sama, atau mempunyai struktur kimia serupa pada kulit seseorang
yang telah tersensitasi sebelumnya. Reaksi alergik yang terjadi adalah reaksi
hipersensitivitas tipe lambat atau tipe IV menurut klasifikasi Coombs dan Gell dengan
perantaraan sel limfosit T.2,5,6,7,8, 9,10,11

2.2 EPIDEMIOLOGI
Prevalensi dermatitis kontak pada populasi umum diperkirakan sekitar 26-40%
pada orang dewasa dan 21-36% pada anak-anak. Kejadian DKA meningkat seiring
pertambahan umur, namun angka sensitisasi tertinggi terjadi pada anak-anak umur 0-
3 tahun. Pada studi yang dilakukan North American Contact Dermatitis Group antara
tahun 1998-2000 didapatkan 60% kasus DKA, sementara hanya 32% yang
disebabkan oleh zat iritan.1,2,6,10
Sebuah penelitian yang dilakukan di negara Kopenhagen ditemukan bahwa nikel
merupakan alergen yang paling banyak ditemukan. Diperkirakan ada 4-5% populasi
umum yang alergi terhadap nikel dan 1-3% yang alergi terhadap bahan-bahan
kosmetik. Sebuah penelitian di India juga mengungkapkan sekitar 66% yang positif
terhadap uji tempel kosmetik.1,5
Pada studi yang dilakukan di Amerika Serikat, Templet, Hall dan Belsito
mencatat bahwa dermatitis pada tangan merupakan salah satu alasan rujukan pasien
ke pusat pemeriksaan uji tempel. Studi yang dilakukan pada sekitar 1934 pasien
selama 8 tahun, ditemukan 32% mengalami dermatitis pada tangan yang mana 54%
diantaranya merupakan DKA dan hanya 27% yang didiagnosa menderita DKI.1
DKA lebih banyak ditemukan pada kelompok pekerja. Pada pemeriksaan uji
tempel yang dilakukan pada pekerja tukang batu didapatkan bahwa para pekerja ini
mengalami dermatitis kontak alergi terhadap semen dan karet. Sebuah studi tentang
prevalensi DKA pada perawat dan mahaiswa keperawatan ditemukan 34,8% perawat
dan 19% mahasiswa keperawatan mengalami gejala dermatitis kontak serta sebagian
besar bereaksi positif terhadap nikel sulfat dan thimerosal.7,12,13
Di Eropa dan sebagian besar negara di dunia, alergen yang paling sering
mensensitisasi adalah nikel, thiomersal dan parfum. Alergi terhadap nikel ditemukan
sebanyak 13-17% pada orang dewasa, 10% pada remaja, dan 7-9% pada anak-anak.
Wanita lebih berisiko alergi terhadap nikel dibanding laki-laki.4,10
2.3 ETIOLOGI
Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul umumnya
rendah (<1000 dalton), merupakan alergen yang belum diproses, disebut hapten,
bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum korneum sehingga
mencapai sel epidermis di bawahnya (sel hidup). Berbagai faktor berpengaruh dalam
timbulnya DKA, misalnya, potensi sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas daerah
yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum, dan
pH. Juga faktor individu, misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum
korneum, ketebalan epidermis), status imunologik (misalnya sedang menderita sakit,
terpajan sinar matahari).1,2,14
Alergen penyebab dermatitis kontak alergi yang umum pada pekerja yaitu logam
(nikel, kromium, kobalt, merkuri, emas dan platinum), karet tambahan (pedal gas:
mercaptobenzothiazole, carbamates, thiurams dan thioureas, Antioksidan: N-phenyl-
N-isopropyl-paraphenylenediamine), plastik dan damar (Epoxy, phenolic dan acrylic
monomers, amine, anhydride dan peroxide catalysts, colophony, turpentine,
catechols), biosida (Formaldehyde dan glutaraldehyde, isothiazolinones,
methyldibromoglutaronitlire, iodopropynyl butylcarbamate), kosmetik
(paraphenylenediamine, glyceryl thioglycolate, cocamidopropylbetaine, paraben dan
pengawet lainnya, parfum dan minyal esensial) dan tanaman (pentadecylcatehols,
heptadecylcatehols dan sesquiterpene lactones)3

2.4 PATOGENESIS
Pada dermatitis kontak alergi terjadi reaksi tipe IV (hipersensitivitas tipe
lambat) pada lebih dari 3700 bahan kimia eksogen. Reaksi hipersensitivitas tipe IV
(delayed atau cytotoxic type cell mediated hypersensitivity) ini dijalankan oleh
komponen imunitas seluler yaitu limfosit T. Sel T yang telah tersensitisasi oleh suatu
antigen tertentu, pada pemajanan berikutnya dengan antigen yang sama akan
teraktivasi dan mengeluarkan sitokin. Sitokin yang diproduksi antara lain
macrophages chemotactic factor, macrophages inhibitory factor, interleukin 1, tumor
necrosis factor alpha (TNF α) dan interpheron gamma (IFN γ). Sitokin ini akan
berfungsi merekrut sel-sel radang terutama sel T dan makrofag di tempat antigen.1,4

Gambar 1. Mekanisme Hipersensitivitas tipe IV.16

Patogenesis DKA melalui 2 fase yaitu fase induksi (fase sensitisasi) dan fase
elisitasi. Fase induksi saat kontak pertama alergen dengan kulit sampai limfosit
mengenal dan memberi respons memerlukan waktu 2-3 minggu. Sedangkan fase
elisitasi ialah saat terjadi pajanan ulang dengan alergen yang sama atau serupa
sampai timbul gejala klinis.2,16,17
Gambar 2. Peristiwa imunologi pada dermatitis kontak alergi. Gambar
sebelah kiri merupakan fase sensitisasi dan sebelah kanan merupakan fase
elisitasi.17
1. Fase Sensitisasi1,2,3,4,8,17
Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase aferen. Pada fase ini terjadi
sensitisasi terhadap individu yang semula belum peka oleh bahan kontaktan yang
disebut alergen kontak.
Hapten yang masuk ke dalam epidermis melewati stratum korneum akan
ditangkap oleh sel Langerhans dengan cara pinositosis, dan diproses secara kimiawi
oleh enzim lisosom atau sitosol serta dikonjugasikan pada molekul HLA-DR menjadi
antigen lengkap. Pada awalnya sel Langerhans dalam keadaan istirahat dan hanya
berfungsi sebagai makrofag dengan sedikit kemampuan menstimulasi sel T. Tetapi
setelah keratinosit terpajan oleh hapten yang juga mempunyai sifat iritan, akan
melepaskan sitokin (IL-1) yang akan mengaktifkan sel Langerhans sehingga mampu
menstimulasi sel T. Aktivasi tersebut akan mengubah fenotip sel Langerhans dan
meningkatkan sekresi sitokin tertentu (misalnya IL-1) serta ekspresi molekul
permukaan sel termasuk MHC kelas I dan II, ICAM-1, LFA-3, dan B7. Sitokin
proinflamasi lain yang dilepaskan oleh keratinosit yaitu TNF, yang dapat
mengaktivasi sel T, menginduksi perubahan molekul adesi sel dan pelepasan
sitokin juga meningkatkan MHC kelas I dan II.
TNF  menekan produksi E-cadherin yang mengikat sel Langerhans pada
epidermis, juga menginduksi aktivitas gelatinolisis sehingga memperlancar sel
Langerhans melewati membran basalis bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat
melalui saluran limfe. Di dalam kelenjar limfe, sel Langerhans mempresentasikan
kompleks HLA-DR-antigen kepada sel T penolong spesifik, yaitu yang
mengekspresikan molekul CD4 yang mengenali HLA-DR sel Langerhans dan
kompleks reseptor sel-T-CD3 yang mengenali antigen yang telah diproses. Ada atau
tidak adanya sel T spesifik ini ditentukan secara genetik.
Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel T untuk mensekresi
IL-2 dan mengekspresi reseptor-IL-2 (IL-2R). Sitokin ini akan menstimulai
proliferasi sel T spesifik, sehingga menjadi lebih banyak. Turunan sel ini yaitu sel T-
memori (sel-T teraktivasi) akan meninggalkan kelenjar getah bening dan beredar ke
seluruh tubuh. Pada saat tersebut individu menjadi tersensitisasi. Fase ini rata-rata
berlangsung 2-3 minggu.
Menurut konsep, bahwa sinyal antigenik murni suatu hapten cenderung
menyebabkan toleransi sedangkan sinyal iritannya menimbulkan sensitisasi. Dengan
demikian terjadinya sensitisasi kontak bergantung pada adanya sinyal iritan yang
dapat berasal dari alergen kontak sendiri, dari ambang rangsang yang rendah
terhadap respons iritan, dari bahan kimia inflamasi pada kulit yang meradang, atau
kombinasi dari ketiganya. Jadi sinyal ‘bahaya’ yang menyebabkan sensitisasi tidak
berasal dari sinyal antigenik sendiri, melainkan dari iritasi yang menyertainya. Suatu
tindakan mengurangi iritasi akan menurunkan potensi sensitisasi.
Pada saat ini individu tersebut telah tersensitisasi yang berarti mempunyai
resiko untuk mengalami dermatitis kontak alergik.
2. Fase Elisitasi2,3,4,17
Jika seseorang telah tersensitisasi mengalami paparan alergen berulang, Hal
ini berarti bahwa sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen
dermis. Reaksi klinik yang terjadi biasanya sangat cepat dan terjadi dalam kurun
waktu 24-48 jam, namun hal ini juga tergantung pada derajat sensitivitas, penetrasi
dan faktor lainnya.
Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk
mensekresi IL-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang INF (interferon) gamma. IL-1
dan INF gamma akan merangsang keratinosit memproduksi ICAM-1 (intercellular
adhesion molecule-1) yang langsung beraksi dengan limfosit T dan lekosit, serta
sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk
melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang meningkat.
Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikula
yang akan tampak sebagai dermatitis. Proses peredaan atau penyusutan peradangan
terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu proses skuamasi, degradasi antigen oleh
enzim dan sel, kerusakan sel Langerhans dan sel keratinosit serta pelepasan
Prostaglandin E-1 dan 2 (PGE-1,2) oleh sel makrofag akibat stimulasi INF gamma.
PGE-1,2 berfungsi menekan produksi IL-2 sel T serta mencegah kontak sel T dengan
keratisonit. Selain itu sel mast dan basofil juga ikut berperan dengan memperlambat
puncak degranulasi setelah 48 jam paparan antigen, diduga histamin berefek
merangsang molekul CD8 (+) yang bersifat sitotoksik. Dengan beberapa mekanisme
lain, seperti sel B dan sel T terhadap antigen spesifik, dan akhirnya menekan atau
meredakan peradangan. Fase elisitasi umumnya berlangsung antara 24-48 jam.

Gambar 3. Patofisiologi Dermatitis Kontak.9


2.5 MANIFESTASI KLINIS
Dua bentuk DKI didasarkan pada penyebabnya, yaitu DKI oleh karena fisik dan
DKI oleh karena bahan kimia. DKI oleh karena fisik contohnya friksi, prolong
rubbing, dan pakaian yang kasar. DKI oleh karena bahan kimia contohnya alkohol,
latex, kerosene, dan alkali.9
Beberapa penggolongan DKI berdasarkan penyebab dan pengaruh faktor
individu serta lingkungan antara lain10:
• DKI akut
Iritan kuat seperti asam sulfat dan HCl menghasilkan reaksi yang cepat
begitu kontak terjadi. Kulit terasa pedih, panas, lesi tampak berupa eritema,
edema, bula, dan nekrosis dengan pinggir berbatas tegas dan asimetris.
• DKI akut lambat
Gambaran sama dengan DKI akut namun baru muncul 8-24 jam atau lebih
setelah kontak. Dermatitis venenata merupakan salah satu contoh tipe ini.
• DKI kumulatif
DKI ini termasuk tipe kronis. Hal ini didasarkan pada kontak berulang-ulang
dengan iritan lemah. Kelainan tampak setelah bermingu-minggu hingga
bertahun-tahun. gambaran berupa kulit kering, eritema, skuama, dan
hyperkeratosis. DKI tipe ini yang sering berhubungan dengan dermatitis akibat
kerja.
• DKI iritan
Bentuk subklinik pada seseorang yang terpajan pekerjaan basah, seperti
penata rambut, kelainan juga cenderung monomorf seperti skuama, vesikel,
pustul, dan erosi.
• DKI traumatik
Kelainan kulit setelah trauma panas atau laserasi. Bentuknya dermatitis
numularis dengan masa penyembuhan kira-kira 6 minggu.
• DKI subyektif
Kelainan kulit tidak terlihat, namun penderita merasa perih atau seperti
terbakar. Disebut juga DKI sensori.

• DKI noneritematosa
DKI dengan fungsi sawar stratum korneum tanpa kelainan secara klinis.

2.6 DIAGNOSA
Diagnosis dermatitis kontak alergi dapat ditegakkan dari hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
A. Anamnesis
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan pada kelainan
kulit yang ditemukan. Misalnya, ada kelainan kulit berupa lesi numular disekitar
umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka
perlu ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana atau kepala ikat
pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Paparan alergen pewarna rambut pada
pasien harus ditanyakan seperti penggunaan anastesi, ester, sulfonilurea dan
lainnya. Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi,
obat topikal yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, daerah predileksi,
durasi, gaya hidup, sumber alergi, alergi terhadap bahan-bahan tertentu, penyakit
kulit yang pernah dialami, serta penyakit kulit pada keluarganya (misalnya
dermatitis atopik, psoriasis)1,2,14
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokalisasi dan pola
kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Misalnya
pada muka oleh bahan kosmetik, kepala oleh pewarna rambut, ketiak oleh
deodoran, dipergelangan tangan oleh jam tangan dan dikedua kaki oleh sepatu.
Pemeriksaan hendaknya dilakukan pada seluruh permukaan kulit, untuk melihat
kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen. Diagnosis dari
DKA jelas terlihat ketika area inflamasi merupakan daerah yang tepat ditutupi
oleh alergen. Hal yang sama mungkin timbul pada dermatitis pada tangan,
namun banyak kasus dermatitis alergi dan dermatitis iritan tangan tidak dapat
disingkirkan dengan hanya melihat manifestasi klinisnya. Inflamasi pada tangan,
apapun penyebabnya, meningkat pada paparan lebih lanjut oleh bahan kimia,
mencuci, goresan, pengobatan dan infeksi. Inflamasi pada bagian dorsum tangan
lebih sering iritan atau atopik dibanding alergi.2,14
Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada
keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Durasi dari DKA bervariasi pada setiap
orang. DKA akan bertambah parah selama alergen terus kontak dengan kulit.
Ada beberapa tipe dari dermatitis kontak alergi:2,4
1. Akut1,2,3,4
Eritema yang berbatas tegas dan edema, vesikel, dan/atau papul. Pada
reaksi yang hebat dapat berupa bula, erosi dengan serum, dan krusta.
2. Subakut3
Plak dengan eritema ringan, bersisik, kadang dengan papul yang kecil,
merah, dan berkelompok.
3. Kronik2,3,4
Plak dengan likenifikasi (penebalan epidermis dengan garis kulit yang
mendalam dengan pola pararel atau rhomboidal), pengelupasan dengan papul
yang kecil, padat, berkelompok, ekskoriasi, eritema, dan pigmentasi.
Daerah predileksi untuk dermatitis kontak alergi adalah :
1. Tangan dan lengan.
Dermatitis pada tangan biasanya disebabkan karena banyak faktor,
mungkin karena tangan merupakan organ tubuh yang paling sering digunakan
untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Sekitar dua pertiga dari seluruh kasus
dermatitis kontak melibatkan tangan yang merupakan tempat penting untuk
dermatitis kontak alergi dan iritan. Dermatitis dengan gambaran bergaris-
garis pada jari, punggung tangan, dan lengan bawah biasanya disebabkan
karena tanaman. Pada pekerjaan yang basah (kontak lama dengan air),
misalnya memasak makanan, mencuci pakaian, pengatur rambut di salon,
angka kejadian dermatitis tangan lebih tinggi. Lengan terkena alergen yang
sama seperti tangan, tetapi biasanya belakangan. Jika sarung tangan
digunakan saat bekerja, lengan bawah biasanya merupakan tempat utama dari
dermatitis okupasional.1,2,4,8

Gambar 4. Dermatitis kontak alergi pada tangan akibat alergen racun ivy. Tampak
kulit mengalami eritema disertai bulla pada daerah ekstremitas superior8

2. Wajah
Wajah selalu terpapar oleh sejumah besar alergen. Dermatitis pada wajah
dapat terjadi sendiri atau berhubungan dengan eksema pada tangan.Semua
alergen yang kontak dengan tangan dapat mengenai muka, kelopak mata, dan
leher pada waktu menyeka keringat. Dermatitis kontak pada wajah dapat
disebabkan oleh bahan kosmetik, spons (karet), obat topikal, alergen di udara
(aero-alergen), nikel (tangkai kacamata), dan alergen lain yang kontak dengan
tangan. Dermatitis yang terjadi karena kosmetik biasanya diawali dengan
kulit kering, kaku, dan gatal. Banyak wanita yang segera mengganti produk
kosmetik mereka pada tahap ini dan tidak menemui dokter spesialis.1,2,4,8
Gambar 5. Dermatitis kontak alergi di wajah akibat hipersensifitas terhadap
phosphorus sesquisulphide. Wajah tampak eritem.6
3. Telinga
Anting atau jepit telinga yang terbuat dari nikel merupakan penyebab
dermatitis kontak pada telinga. Penyebab lain misalnya obat topikal, tangkai
kaca mata, cat rambut, alat bantu dengar, gagang telepon. Alat bantu dengar
dapat mengandung akrilak, bahan plastik, serta bahan kimia lainnya. Anting-
anting yang menyebabkan dermatitis pada telinga umumnya yang terbuat dari
nikel dan jarang pada emas. Tindikan pada telinga mungkin menjadi fase
sensitisasi pada dermatitis karena nikel yang bisa mengarah pada dermatitis
kontak kronik.2,4,8

Gambar 6. Dermatitis kontak alergi di daerah telinga akibat dari reaksi


hipersensitifitas terhadap nikel. Tampak makula eritema di sekitar telinga.8

4. Badan.
Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh tekstil, zat warna
kancing logam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut atau
pewangi pakaian.1,2,4,8

Gambar 7. Dermatitis kontak alergi di daerah badan disebabkan oleh reaksi


hipersensitifitas terhadap nikel pada ikat pinggang. Tampak papul eritema pada regio
abdomen8
5. Genitalia
Penyebabnya adalah antiseptik, obat topikal, nilon, kondom, pembalut
wanita alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi, deterjen. Bila
mengenai daerah anal mungkin disebabkan oleh obat antihemoroid.2,4

Gambar 8. Dermatitis kontak alergi. Tampak edema dan eritema pada distal penis
akibat penggunaan neomisin topikal.1

6. Paha dan tungkai bawah.


Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh tekstil, dompet, kunci
(nikel), kaos kaki nilon, obat topikal, semen, sepatu/sandal.Pada kaki dapat
disebabkan oleh sepatu dan kaus kaki pada athlete’s foot, antiseptik, dan
antiperspiran.1,2,4,8

Gambar 9. Dermatitis kontak alergi pada kaki. Makula hiperpigmentasi dan


madidans pada daerah digitorum pedis dekstra et sinistra. 8
2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan histopatologis
Pada dermatitis kontak, limfosit T yang telah tersensitisasi, menginvasi
dermis dan epidermis serta menyebabkan edema dermis atau spongiosis
epidermis. Perubahan-perubahan ini secara histologi tidak spesifik.1,15
a. Epidermis:15
Dalam epidermis, spongiosis adalah tanda yang hampir selalu ada akibat
akumulasi cairan di sekitar keratinositdan akibatnya peregangan kompleks antar
desmosom. Spongiosis secara fokal merata sepanjang epidermis dan terbatas
hanya pada lapisan bawah atau memanjang dari basal ke lapisan granular. Dalam
beberapa kasus, saluran folikel sel-sel keringat biasanya terlibat dalam proses
spongiotik. Dengan demikian, pada dermatitis kontak alergi.
Spongiosis vesikuler dapat didefinisikan sebagai rongga intraepidermal
dengan dinding yang tidak teratur dan terdapat spongiosis di sekitarnya. Sel-sel
inflamasi bermigrasi ke dalam epidermis (eksositosis). Sel-sel ini, terutama
limfosit dan kadang-kadang polimorfonuklear neutrofil dan eosinofil, yang
terakumulasi dalam vesikel spongiotik. Beberapa vesikel berbentuk bulat dan
berada dalam stratum spinosum, sedangkan yang lainberbentuk datar dan terletak
di stratum korneum. Pada akhirnya vesikel ini pecah di permukaan epidermis..
b. Dermis15
Pada stratum papiler seringkali terdesak dan melebar sehingga
menyebabkan dilatasi pembuluh limfatik dan ini sangat mencolok pada beberapa
kasus. Edema dermal menonjol karena adanya deposit asam mukopolisakarida.
Sel mononuklear biasanya terdapat di sekitar pembuluh darah lapisan bawah
dermis dan bahkan sampai ke dalam jaringan subkutan. Sel-sel bermigrasi dari
ruang perivaskular ke epidermis dan ditemukan di seluruh jaringan kulit. Infiltrasi
dermal sering terlihat di sekitar folikel rambut dan saluran sebaseus, yang
menunjukkan terjadinya spongiosis dan degenerasi selular. Hal ini dikarenakan
oleh penetrasi langsung alergen.
Gambar 10. Spongiotik vesikuler pada epidermis dengan eksositosis sel mononuklear
dan edema dermal9

2. Uji tempel2,3,5,8,10,14,18
Untuk menegakkan diagnosis dermatitis kontak alergi perlu dilakukan uji
tempel yang merupakan gold standart. Tes ini digunakan untuk mendeteksi
hipersensitivitas pada bahan-bahan yang berkontak dengan kulit. Tes ini
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas di antara 70-80 %. Tempat untuk
melakukan uji tempel biasanya di punggung. Untuk melakukan uji tempel
diperlukan antigen, biasanya antigen standar buatan pabrik, misalnya Finn
Chamber System Kit dan T.R.U.E. Test, keduanya buatan Amerika Serikat.

Gambar 11. Antigen standar buatan pabrik yang siap digunakan, TRUE test.18
Terdapat pula antigen standar bikinan pabrik di Eropa dan negara lain.
Adakalanya tes dilakukan dengan antigen bukan standar, dapat berupa bahan
kimia, dapat berupa bahan kimia murni, atau lebih sering bahan campuran yang
berasal dari rumah, lingkungan kerja, atau tempat rekreasi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel:
1. Dermatitis harus sudah tenang. Sebab bila masih dalam keadaan akut atau
berat dapat terjadi reaksi ‘angry back’ atau ‘excited skin’, reaksi positif
palsu, atau dapat juga mengakibatkan penyakit yang dideritanya semakin
memburuk.
2. Tes dilakukan sekurang-kurangnya 1 minggu setelah pemakaian
kortikosteroid (topikal dan sistemik) dihentikan sebab dapat memberikan
reaksi negatif palsu (toleransi pemakaian prednisone <20mg/hari atau dosis
yang ekuivalen dengan itu). Luka bakar karena sinar matahari (sun burn)
yang terjadi 1-2 minggu sebelum tes dilakukan juga dapat memberikan hasil
negatif palsu.
3. Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca.
4. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel
menjadi longgar karena dapat memberi hasil negatif palsu. Penderita juga
dilarang mandi sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga agar
punggung selalu kering setelah dibuka uji tempelnya hingga pembacaan
selesai.
5. Tidak melakukan uji pada penderita dengan riwayat urtikaria dadakan.

Gambar 12. A. Menempatka alergen pada kit. B. Menempelkan sediaan uji pada
punggung atas. C. Menandai daerah uji tempel. D. Sediaan uji telah ditempelkan
pada punggung atas.18
Gambar 13. Notasi hasil postif terhadap uji tempel menurut International Contact
Dermatitis Research Group (ICDRG). (?+) reaksi meragukan, (+) reaksi lemah, (++)
reaksi kuat, (+++) reaksi ekstrim, (IR) reaksi iritan.10

Gambar 14. Hasil uji tempel pada punggung atas. A. Uji tempel masih berlangsung
dan sesaat setelah pelepasan salah satu kit. B. Pelepasan kit setelah penempelan
selama 2 hari, reaksi positif (++) terhadap nikel (N), reaksi positif (+++) terhadap
campuran parfum (F). E. Pada hari ke-3, reaksi yang meragukan (+?) terhadap
phenylediamine (P). D. Setelah hari ke-4, perkembangan lebih jauh pada reaksi
terhadap nikel (+++) dan phenylediamine (+). 10

Uji tempel dilekatkan selama 48 jam. Kemudian dilakukan


pembacaan hasil uji tempel pada: menit 15-30, jam 72-96, >96 jam. Reaksi
tersebut dinilai sebagai:
1+ : eritema.
2+ : eritema, edema, papul.
3+ : eritema, edema, papul, vesikel.
4+ : sama dengan 3+, tetapi disertai vesikel yang berkonfluensi.
5+ : sama dengan 4+, tetapi keadaan mandidans dengan atau tanpa nekrosis.
Interpretasi pada pemeriksaan uji tempel biasanya membingungkan
antara DKA dan DKI meskipun ini merupakan standar penilaian,
pembacaannya harus dilakukan dua kali.9
3. Uji kulit intradermal19
Sejumlah 0,02 ml ekstrak alergen dalam 1 ml semprit tuberkulin
disuntikkan secara superfisial pada kulit sehingga timbul 3 mm gelembung.
Dimulai dengan konsentrasi terendah yang menimbulkan reaksi, kemudian
ditingkatkan berangsur masing-masing dengan konsentrasi 10 kali lipat sampai
menimbulkan indurasi 5-15 mm. Uji intradermal ini seringkali digunakan untuk
titrasi alergen pada kulit.Tes alergi pengujian injeksi intradermal tidak
direkomendasikan untuk penggunaan rutin untuk aeroallergens dan makanan,
tetapi mungkin untuk mendeteksi racun dan diagnosis alergi obat. Ini membawa
resiko lebih besar anafilaksis dan harus dilakukan dengan tenaga medis yang
berkompeten melalui pelatihan spesialis.

4. Uji tusuk19
Uji tusuk (skin prick test/SPT): Uji tusuk dapat dilakukan pada alergen
hirup, alergen di tempat kerja, dan alergen makanan. Lokasi terbaik adalah
daerah volar lengan bawah dengan jarak minimal 2 cm dari lipat siku dan
pergelangan tangan. Setetes ekstrak alergen dalam gliserin diletakkan pada
permukaan kulit. Lapisan superfisial kulit ditusuk dan dicungkit ke atas dengan
jarum khusus untuk uji tusuk.6 Hasil positif bila wheal yang terbentuk >2 mm.
Preparat antihistamin, efedrin/epinefrin, kortikosteroid dan β-agonis dapat
mengurangi reaktivitas kulit, sehingga harus dihentikan sebelum uji kulit. Uji
kulit paling baik dilakukan setelah pasien berusia tiga tahun.

5. Hitung eosinofil total19


Pemeriksaan hitung eosinofil total perlu dilakukan untuk menunjang
diagnosis dan mengevaluasi pengobatan penyakit alergi. Eosinofilia apabila
dijumpai jumlah eosinofil darah lebih dari 450 eosinofil/µL. Hitung eosinofil
total dengan kamar hitung lebih akurat dibandingkan persentase hitung jenis
eosinofil sediaan apus darah tepi dikalikan hitung leukosit total. Eosinofilia
sedang (15%-40%) didapatkan pada penyakit alergi, infeksi parasit, pajanan
obat, keganasan, dan defisiensi imun, sedangkan eosinofilia yang berlebihan
(50%-90%) ditemukan pada migrasi larva.

6. Kadar serum IgE total19


Peningkatan kadar IgE serum sering didapatkan pada penyakit alergi
sehingga seringkali dilakukan untuk menunjang diagnosis penyakit alergi.
Pasien dengan dermatitis atopi memiliki kadar IgE tertinggi dan pasien asma
memiliki kadar IgE yang lebih tinggi dibandingkan rinitis alergi. Meskipun
rerata kadar IgE total pasien alergi di populasi lebih tinggi dibandingkan pasien
non-alergi, namun adanya tumpang tindih kadar IgE pada populasi alergi dan
non-alergi menyebabkan nilai diagnostik IgE total rendah. Kadar IgE total
didapatkan normal pada 50% pasien alergi, dan sebaliknya meningkat pada
penyakit non-alergi (infeksi virus/jamur, imunodefisiensi, keganasan).

7. Kadar IgE spesifik19


Pemeriksaan kadar IgE spesifik untuk suatu alergen tertentu dapat
dilakukan secara in vivo dengan uji kulit atau secara in vitro dengan metode
RAST (Radio Allergosorbent Test), ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent
Assay), atau RAST enzim. Kelebihan metode RAST dibanding uji kulit adalah
keamanan dan hasilnya tidak dipengaruhi oleh obat maupun kelainan kulit. Hasil
RAST berkorelasi cukup baik dengan uji kulit dan uji provokasi, namun
sensitivitas RAST lebih rendah.

2.8 DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding pada DKA dipengaruhi oleh banyak faktor seperti gambaran
klinik dan distribusi lesi serta manifestasi sistemik. Kelainan kulit DKA sering tidak
menunjukkan gambaran morfologik yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik,
dermatitis seboroik, psoriasis. Diagnosis banding yang yang terutama ialah dengan
Dermatitis Kontak Iritan.1,7
1. Dermatitis Kontak Iritan
Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan gambaran
klinis. DKI akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat sehingga
penderita pada umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya. Sebaliknya
DKI kronis timbulnya lambat serta mempunyai variasi gambaran klinis yang luas,
sehingga adakalanya sulit dibedakan dengan dermatitis kontak alergi. Untuk ini
diperlukan uji tempel dengan bahan yang dicurigai.
Dermatitis kontak iritan merupakan reaksi peradangan kulit non imunologik, jadi
kerusakan kulit dapat secara langsung tanpa didahului proses sensitisasi
sebaliknya dermatitis kontak alergi terjadi pada seseorang yang mengalami
sensitisasi pada suatu alergen. 2
Pada DKI, onsetnya berlangsung cepat sedangkan pada DKA berlangsung
sekitar 12-48 jam setelah tersensitisasi. Selain itu pada DKI pasien mengeluh
nyeri serta rasa terbakar sedangkan pada DKA pasien mengeluhkan rasa gatal.3

Gambar 15. Dermatitis kontak iritan. Tampak krusta dan erosi pada tangan.8
2. Dermatitis Atopik
Pada pasien dengan lesi terlokalisir, dermatitis atopik mungkin dicurigai karena
riwayat pribadi yang khas, sejarah keluarga, atau karena adanya stigmata
dermatitis seperti pucat perioral, sebuah lipatan tambahan di bawah kelopak mata
bawah (garis Dennie's), meningkatnya garis-garis pada telapak tangan, dan
kejadian peningkatan infeksi kulit, terutama dengan Staphylococcus aureus.
Kelainan kulit berupa papul gatal, yang kemudian mengalami ekskoriasi dan
likenifikasi, distribusinya di lipatan (fleksural).1,2
Pedoman diagnosis Dermatitis Atopik yaitu harus ada kondisi gatal ditambah
dengan 3 atau lebih kriteria berikut : riwayat terkena pada lipatan kulit, riwayat
asma bronchial atau hay fever, riwayat kulit kering secara umum pada tahun
terakhir, adanya dermatitis yang tampak pada lipatan serta awitan di bawah usia 2
tahun.2

Gambar 16. Dermatitis Atopik pada anak. Tampak papul eritem pada wajah.8
3. Dermatitis Seboroik
Dermatitis seboroik merupakan peradangan kronik dan superfisial pada daerah-
daerah predileksi seperti kepala, alis, kelopak mata, lipatan nasolabial, bibir,
telinga, daerah sternal, axilla, lipatan submammae, umbilikus, pangkal paha, dan
lipatan glutea.8

Gambar 17. Dermatitis seboroik. Tampak papul eritema pada dada dan axilla.8
4. Psoriasis
Psoriasis adalah penyakit inflamasi yang umum, sering dan kambuhan pada kulit
dengan karakteristik berupa eritema, kering, plak dengan berbagai ukuran.
Dermatitis pada tangan dapat menyerupai psoriasis. Secara umum, lesi pada
psoriasis cenderung berbatas tajam, kadang-kadang susah dibedakan. Pada
psoriasis terdapat tanda-tanda yang khas, yakni skuama kasar, transparan serta
berlapis-lapis, fenomena tetesan lilin, dan fenomena Auspitz.1,2
Gambar 18. Psoriasis. Tampak skuama kasar yang berlapis-lapis pada kulit tangan.8

2.9 TATALAKSANA
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah upaya
pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan menekan
kelainan kulit yang timbul.Selain itu, beberapa penatalaksanaan yang dapat
dilakukan pada penderita dermatitis kontak alergi adalah sebagai berikut:1,6,15
1. Terapi farmakologik
a. Terapi sistemik
Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi
peradangan pada DKA akut yang ditandai dengan eritema, edema, vesikel atau
bula, serta eksudatif (madidans), misalnya prednisone 30 mg/hari.2
Jika DKA melibatkan daerah kulit yang luas (> 20%), terapi
kortikosteroid sistemik sering diperlukan dan efeknya terjadi dalam waktu 12
sampai 24 jam. Dosis yang dianjurkan adalah 0,5-1 mg / kg sehari selama 5
sampai 7 hari, dan jika pasien merasa nyaman, dosis dikurangi sebesar 50%
selama 5 sampai 7 hari berikutnya. Setelah itu, tingkat pengurangan dosis
steroid tergantung pada faktor-faktor seperti keparahan, durasi DKA, dan
seberapa efektif kontraktan dapat dihindari. Efek anti-inflamasi obat ini tidak
mengubah riwayat alami DKA, tetapi obat ini dapat membantu mengatasi
reaksi inflamasi.14
Terapi Prednisone oral20
1) Initial dosis adalah sebanyak 60 mg /per hari diberikan selama 4 hari,
2) Dosis kemudian diturunkan secara bertahap selama 10 hari (50 mg / per
hari diberikan selama 2 hari, 40 mg / diberikan selama 2 hari, 30 mg / per
hari diberikan untuk 2 hari, 20 mg / per hari diberikan selama 2 hari,
kemudian 10 mg / per hari diberikan selama 2 hari).

b. Terapi topikal
Terapi topikal, sabun pengganti dan emolien merupakan terapi DKA
yang telah diterima secara luas. Jika lesi hanya pada daerah kecil di tubuh,
steroid topikal mungkin cukup, tapi jika lebih dari 20% tubuh yang terlibat,
maka terapi sistemik dibenarkan. Salep kortikosteroid terfluorinasi potensi
kuat harus dihindari pada kulit yang lebih tipis (misalnya kelopak mata dan
wajah), penggunaan steroid potensi rendah adalah yang paing baik untuk area
ini. Pasien harus diinstruksikan untuk mengoleskan steroid topikal dengan tipis
dan dilakukan setelah membersihkan kulit (yaitu mandi atau shower).
Penggunaan obat lebih dari dua kali sehari tidak dianjurkan. Lesi akut berespon
baik terhadap steroid potensi sedang sampai tinggi. Ada beberapa studi yang
mengemukakan adanya efek yang terbatas pada penggunaan steroid yang
dikombinasikan dengan antibiotik.5,14
2. Terapi nonfarmakologik
a. Menghindari pajanan
Identifikasi dan hilangkan agen penyebab.1,2,5,6,15
b. Kompres dingin dengan Burrow’s solution
Kompres ini dilakukan untuk mengurangi pembentukan vesikel,
kompres ini diganti setiap 2-3 jam. Prinsip pengobatan cairan ialah
membersihkan kulit yang sakit dari debris dan sisa-sisa obat topikal yang
pernah dipakai. Di samping itu terjadi perlunakan dan pecahnya vesikel,
bula, dan pustula. Hasil akhir pengobatan ialah keadaan yang membasah
menjadi kering, permukaan menjadi besih sehingga mikroorganisme tidak
dapat sembuh dan mulai terjadi proses epitelisasi. Pengobatan cairan
berguna untuk menghilangkan gejala, misalnya rasa gatal, rasa terbakar,
parestesi oleh bermacam-macam dermatosis.14
c. Fototerapi
Fototerapi dilakukan pada pasien dengan DKA yang sulit sembuh dan
tidak responsif terhadap kortikosteroid dan ditujukan untuk pasien yang
tidak bisa menghindari faktor pencetus dari lingkungan.1

2.10 KOMPLIKASI
Bila tidak diobati, dermatitis kontak dapat berkembang menjadi satu siklus
dimana rasa pruritus yang kronis menyebabkan penderita menggaruk dan
akhirnya terjadi trauma mekanis pada kuli hingga bisa menyebabkan timbulnya
peradangan dan luka terbuka. Dalam beberapa kasus, menggaruk berlebihan dapat
menjadi port de entry bakteri atau jamur ke dalam lapisan kulit akibat dari luka
terbuka, sehingga bisa terjadi infeksi yang kronis. Komplikasi termasuk:21
1) Infeksi bakteri atau jamur pada luka terbuka
2) Selulitis (infeksi kulit dan jaringan sekitarnya yang disebabkan oleh infeksi
bakteri atau jamur yang tumbuh)
3) Perubahan permanen pada tekstur kulit dan terjadinya jaringan parut
4) Perubahan warna kulit yang permanen
5) Luka terbuka
Pada individu berkulit hitam dapat timbul area hiperpigmentasi atau
hipopigmentasi dari dermatitis kontak alergi. Depigmentasi terjadi pada daerah
dermatitis kontak alergi yang kontak terhadap bahan kimia tertentu.21
2.11 PROGNOSIS
Prognosis dermatitis kontak alergi tergantung pada penyebab dan
bagaimana caranya menghindari pajanan alergen yang berulang-ulang. Prognosis
dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan kontaktannya dapat
disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis, bila bersamaan dengan
dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis atau
psoriasis) atau pajanan dengan bahan iritan yang tidak mungkin dihindari.2,5
DAFTAR PUSTAKA

1. Cohen DE, Jacob SE. Allergic Contact Dermatitis. In: Wolf K., Goldsmith L.A., Katz
S.I., editors. Fizpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7thEd. New York:
McGrawHill; 2008. P. 135-46
2. Sulastri SA, Djuanda S. Dermatitis. Dalam: Djuanda A., editor. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Ed-5. Jakarta: Fk-UI; 2010. H. 129-39
3. Sasseville D. Occupational Contact Dermatitis. Allergy, Asthma, and Clinical
Immunology. 2008;4(2):59-65
4. Beck M.H, Wilkinson S.M. Contact Dermatitis: Allergic. In: Rook’s, Textbook of
Dermatology. 7thEd. Oxford: Blackwell; 2004. P. 20.1-2
5. Bourke J, Coulson I, English J. Guidelines for management of contact dermatitis : an
update. British Journal of Dermatology.2009;160:946-54
6. Imbesi S, Minciullo P.L, Isola S, Gangemi S. Allergic contact dermatitis: Immune
system involvement and distinctive clinical cases. AllergolImmunopathol.
2011;39(6):374-7
7. Sterry W, Paus R, Burgdorf W. Contact Dermatitis. In Thieme Clinical Companions
Dermatology. New York: Thieme New York Publication; 2006. P. 195-203
8. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew’s Diseases of The Skin Clinical
Dermatology. 10th Ed. Philadelphia: Elsevier Inc 2006. Chapter 6, Contact Dermatitis
and Drug Eruption; P.91-111
9. Nosbaum A, Vocanson M, Rozieres M, Hennino A, Nicolas JF. Allergic And Irritant
Contact Dermatitis. EJD.2009;19(4):325-32
10. Spiewak R. Patch Testing For Contact Allergy And Allergic Contact Dermatitis.
Jagieollonian University Medical College, Krakow Poland. The Open Allergy Journal.
2008;1:42-51

Anda mungkin juga menyukai