Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

ANESTESI UMUM PADA PEDIATRI

Oleh :
Lilin Noviana (19360110)
M. Khasan Fadly (19360196)

Dokter Pembimbing:
dr. Wirawan Anggorotomo, Sp. An
dr. Joan Willy Ansas, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ANESTESI


RUMAH SAKIT PERTAMINA BINTANG AMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG 2019
BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Anestesi dan reanimasi telah berhasil memungkinkan sesorang

dilakukan pembedahan tanpa siksaan dan rasa nyeri. Dewasa ini, anestesi

dan reanimasi telah jauh berkembang semenjak ditemukan pertama kali oleh

Morton pada tahun 1846. Mulai dari zat-zat yang dipakai, alat-alat dan

mesin anestesi, hingga teknik anestesi yang memungkinkannya jenis dan

lama pembedahan yang lebih maju. Anestesi dan reanimasi juga

berkembang sesuai dengan tuntutan kebutuhan kelompok umur pediatrik.

Anestesi dan reanimasi pediatrik sendiri dapat dibagi menjadi empat

kelompok umur yaitu neonatus, bayi, anak pra sekolah dan anak usia

sekolah. Kelompok umur ini mempunyai kebutuhan dan karakteristik yang

sangat berbeda dengan orang dewasa. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan

anatomi, fisiologi, psikologi, dan biokimia yang berbeda. Dari segi anatomi,

jalan nafas anak-anak terlebih neonatus dan bayi jauh lebih kecil daripada

orang dewasa. Mukosa jalan nafas juga lebih mudah teriritasi sehingga

dapat membahayakan jalan nafas. Permasalahan juga ditambah dengan lidah

yang besar sehingga cenderung menutup jalan nafas saat dalam pengaruh

anestesi. Belum matangnya organ-organ seperti hati, jantung, otak dan

ginjal pada neonatus dan bayi juga merupakan masalah tersendiri yang

dapat menyebabkan tingginya mortalitas dan morbiditas pediatric dalam

pengaruh anestesi. Respon psikologi seperti menangis, agitasi, retensi urine,


nafas dalam, dan respon lain yang sering dikeluarkan oleh pasien pediatrik

sering kali mengganggu proses anestesi dan reanimasi.

Anestesi dan reanimasi pada pasien pediatrik bukan hanya

penyesuaian dosis dan ukuran alat-alat yang akan dipakai, melainkan juga

pendekatan-pendekatan yang sesuai dengan anatomi, fisiologi, psikologi,

dan biokimia pasien pediatri sendiri.


BAB II

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. AD

Umur : 14 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Pelajar

Alamat : Panjang

Status perkawinan : Belum kawin

Agama : Islam

II. ANAMNESIS

Keluhan utama

Nyeri pada perut sebelah kanan bawah disertai rasa mual.

Riwayat Penyakit Sekarang

Terdapat benjolan pada perut kanan bawah, benjolan sebesar kelereng,

benjolan terasa nyeri, nyeri hilang timbul, dengan skala nyeri 3

Riwayat Penyakit Penyerta

Pasien tidak memiliki riwayat penyakit penyerta.

Riwayat Operasi Sebelumnya

Pasien tidak memiliki riwayat operasi sebelumnya.


III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis, GCS = E4M6V5

Tanda-tanda Vital :

Tekanan Darah : - mmHg

Frekuensi Nadi : 76 kali/menit

Frekuensi Napas : 20 kali/menit

Suhu : 36, oC

Kepala : Normocephali, konjungtiva anemis (-), sklera

ikterik (-)

Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)

Thoraks : Suara napas vesikuler, rhonkhi -/-, wheezing -/-

Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop(-)

Abdomen : Nyeri tekan (+)

Genitalia : DBN

Ekstremitas : Akral hangat, nadi teraba kuat, edema (-) pada

keempat ekstremitas

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan Hasil Unit Nilai Normal
Hemoglobin 13,2 g/dl 14-18
Leukosit 8.400 ribu/mm3 4.500-10.700
Hematokrit 40 % 50-54
Trombosit 254.000 Ul 159-400 ribu
CT 13 menit 9-15
BT 3 menit 1-7
HbsAg -
U/C 14/0,5
V. STATUS FISIK (ASA)

ASA II

VI. DIAGNOSA KERJA

Appendisitis

VII. RENCANA TINDAKAN BEDAH

Appendiktomi

VIII. RENCANA TEKNIK ANESTESI

General anestesi - LMA

IX. TERAPI ANESTESI

PRE-OPERASI

Persiapan pre-operasi:

 Informed consent terhadap pasien dan keluarga mengenai tindakan

operasi dan anestesi

 Puasa 6 jam

 Maintenance cairan tubuh

 Menyiapkan alat-alat

Kriterika LEMON

 Look : gigi palsu (-) gigi ompong (+) caninus

bentuk rahang (DBN)

 Evaluate : DBN 3-3-2

 Mallampaty : Class 1

 Obstruksi : Stridor (-), benda asing (-)

 Neck morbility : DBN


INTRA-OPERASI

Posisi selama operasi : Supine

Tatalaksana jalan nafas : LMA

Monitoring tanda tanda vital sebelum induksi obat

 Td ; 110/80

 Spo2 : 100

 HR : 82

 RR : 22

Induksi anestesi:

 Hipnosi - Propofol 130 mg

 Analgesi - Fentanyl 0,75 mg

 Muscle relaxant - Tramus 0,50 mg

Maintenance:

 Monitor tanda tanda vital setelah induksi obat

 Td : 100/60

 Spo2 : 100

 HR : 76

 RR : 20

 Diberikan O2 2 liter/menit

 Infus RL 250 cc

 Diberikan obat:

- Dexketoprofen 50 mg

- Ondansetron 8 mg
POST-OPERASI

 Pasien dipindahkan ke recovery room

 Memberikan o2 3L/menit

 Oberservasi TTV 30 menit

 Menghitung aldrette score

 Perintah di ruangan:

- Awasi tensi, nadi, pernafasan tiap 5 menit

- Infus RL 20 tpm
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

ANESTESI UMUM PEDIATRI

I. Definisi dan Batasan

Anestesia pediatrik merupakan anestesi pada pasien anak-anak

yang dapat dibagi menjadi 4 kelompok umur yaitu neonatus (umur 1-28

hari), bayi (sampai 1 tahun), anak pra sekolah (2-5 tahun), dan anak usia

sekolah (6-14 tahun).2 Anestesi pada pasien pediatrik memerlukan

perhatian dan kebutuhan khusus dimana anak- anak bukan merupakan

miniatur dari orang dewasa namun merupakan kelompok individu yang

mempunyai anatomi, fisiologi, psikologi dan biokimia yang berbeda dari

orang dewasa.3 Kebutuhan dan karakteristik juga berbeda pada masing-

masing kelompok umur pasien pediatrik. Ditambah lagi pasien pediatrik

mempunyai risiko morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi daripada

orang dewasa.

II. Perubahan pada Pasien Pediatrik

Masa neonatus dan bayi adalah masa dimana terjadi perubahan yang

sangat besar dari kehidupan didalam rahim menjadi diluar rahim. Pada masa

ini terjadi pematangan organ hampir pada semua sistem. Sistem

respirasi, sirkulasi, dan ekskresi penting untuk anestesi pada kelompok

umur ini. Begitu pula dengan kelompok anak pra sekolah dan anak usia

sekolah dimana secara anatomi, fisiologi, psikologi, dan biokimia yang


berbeda dari orang dewasa. Kelompok ini cenderung memerlukan

pendekartan-pendekatan psikologis yang berbeda sekali dengan orang

dewasa.3,4,5 Maka dari itu sangatlah diperlukan penataan dan persiapan yang

matang untuk melakukan suatu tindakan anestesi terhadap pasien pediatri.

1. Sistem Respirasi

Secara anatomi jalur nafas neonatus dan bayi lebih rentan

tersumbat daripada orang dewasa.3,4 Diameter dari lubang hidung,

orofaring, dan trakea relatif lebih kecil pada anak-anak daripada orang

dewasa. Diameter tersempit terdapat didaerah cricoid, berbeda dengan

orang dewasa dimana tersempit pada daerah epiglottis. Perbedaan ini

membuat pernfasan lebih mudah tersumbat oleh edema mukosa yang

dapat disebabkan oleh inflamasi ataupun iritasi dan dapat bersifat fatal.4,5

Produksi mukosa pada neonatus dan bayi juga lebih banyak daripada

orang dewasa, sehingga membuat jalur pernafasan lebih mudah

tersumbat.5 Lidah pada neonatus dan bayi juga relatif lebih besar dan

cenderung jatuh saat dalam pengaruh anestesi. Pada neonatus dan bayi

ukuran epiglottis lebih besar, berbentuk U, dan lebih terkulai.3,4 Hal ini

membuat terkadang pengangkatan epiglottis diperlukan untuk

visualisasi pada proses intubasi. Ukuran tonsil dan adenoid juga

harus diperhatikan karena dapat mempersulit proses intubasi.

Karakteristik anatomis neonatus membuat neonatus hanya dapat bernafas

melalui hidung sampai berumur 5 bulan, sehingga pemasangan pipa naso-

gastrik dapat membahayakan pernafasan.5


Hampir sama dengan neonatus dan bayi, pada kelompok anak-

anak juga mempunyai lidah yang lebih besar, laring yang letaknya lebih

anterior, epiglottis yang lebih panjang, serta leher dan trakea yang lebih

pendek daripada dewasa membuat membuat seorang anestesi lebih

berhati-hati.6

Jenis pernafasan neonatus adalah pernafasan diafragma. Hal ini

disebabkan oleh thoraks pada neonatus berukuran kecil dan iga horizontal,

otot-otot pernafasan pada neonatus belum berkembang dengan baik,

diafragma terdorong keatas oleh isi perut yang besar. Dengan demikian

kemampuan dalam memelihara tekanan negatif intratorakal dan volume

paru rendah sehingga memudahkan terjadinya kolaps alveolus serta

menyebabkan neonatus bernafas secara diafragmatis.3,4,5,6 Kadang-

kadang tekanan negatif dapat timbul dalam lambung pada waktu proses

inspirasi, sehingga udara atau gas anestesi mudah terhirup ke dalam

lambung. Pada bayi yang mendapat kesulitan bernafas dan perutnya

kembung dipertimbangkan pemasangan pipa lambung.Pada neonatus juga

ditemukan pola nafas periodik dimana ada - periode dimana nafas berhenti

sebentar selama kurang dari 10 detik.5 Hal ini harus dibedakan dengan

apneu, dimana apneu berhubungan dengan desaturasi dan bradikardi. Pada

anak yang lebih besar, pola pernafasan sudah hampir sama dengan orang

dewasa namum frekuensi lebih cepat karena berhubungna dengan tingkat

metabolism yang lebih tinggi daripada orang dewasa (Tabel 1).

Karena pada posisi terlentang dinding abdomen cenderung

mendorong diafragma ke atas serta adanya keterbatasan pengembangan


paru akibat sedikitnya elemen elastis paru atau surfaktan, maka akan

menurunkan FRC (Functional Residual Capacity) sementara volume

tidalnya relatif tetap (7 mL/kgBB).3,4 Untuk meningkatkan ventilasi

alveolar dicapai dengan cara menaikkan frekuensi nafas (40-60

kali/menit), karena itu neonatus mudah sekali gagal nafas.6 Peningkatan

frekuensi nafas juga dapat akibat dari tingkat metabolisme pada neonatus

yang relative tinggi, sehingga kebutuhan oksigen juga tinggi, dua kali dari

kebutuhan orang dewasa dan ventilasi alveolar pun relative lebih besar

dari dewasa hingga dua kalinya.4,5 Tingginya konsumsi oksigen dapat

menerangkan mengapa desaturasi O2 dari Hb terjadi lebih mudah atau

cepat, terlebih pada neonatus prematur, karena adanya stress dingin

maupun sumbatan jalan nafas.6

2. Sistem Sirkulasi

Estimasi volume darah pada neonatus dan bayi adalah sekitar 85

mL/kg dan lebih tinggi pada bayi prematur (95 mL/kg) dengan nilai

hematokrit neonatus dan bayi berisar antara 45-65 %. Komposisi cairan

pada neonatus dan bayi adalah 75-80% dari berat badan dimana

sebanyak 30% berada di ekstraselular, 40% di intraselular, dan sekitar

5% di plasma. Semakin bertambah umur, komposisi semakin menyerupai

4,5,6
orang dewasa dimana komposisi cairan sekitar 60% dari berat badan.

Hemoglobin yang terdapat pada bayi terlebih neonatus kebanyakan

adalah hemoglobin fetal (HbF) yang mempunyai afinitas oksigen yang

lebih tinggi daripada hemoglobin dewasa (HbA). Hal ini membuat

oksigen lebih susah untuk ditransfer ke jaringan dalam tubuh.4 Seiring


berjalannya waktu, jumlah HbF akan berkurang dan HbA akan meningkat

dimana kadar hemoglobin terendah pada saat usia 3 bulan dan HbA

menggantikan HbF seluruhnya pada usia sekitar 6 bulan.4,5

Pada neonatus dan bayi reaksi pembuluh darah masih sangat

kurang, sehingga keadaan kehilangan darah, dehidrasi dan kelebihan

volume juga sangat kurang ditoleransi.6 Manajemen cairan pada neonatus

dan bayi harus dilakukan dengan cermat dan teliti. Tekanan sistolik

merupakan indikator yang baik untuk menilai sirkulasi volume darah dan

dipergunakan sebagai parameter yang adekuat terhadap penggantian

volume.5 Autoregulasi aliran darah otak pada bayi baru lahir tetap

terpelihara normal pada tekanan sistemik antara 60-130 mmHg. Frekuensi

nadi neonatus dan bayi antara 80-160 dengan rata-rata 120 kali/menit

dengan tekanan darah sekitar 80/60 mmHg.4,5 Sedangkan tekanan darah

dan frekuensi nadi pada anak-anak bervariasi menurut umur dan semakin

lama semakin sama dengan orang dewasa seiring dengan bertambahya

usia (Tabel 1).

Tabel 1. Parameter tanda vital pada pasien pediatri

Frekuensi Frekuensi Tekanan darah


Umur nafas nadi (mmHg)
(kali/menit) (kali/menit) Sistol Diastol
Neonatus 40-60 120-160 60-80 40-60
Bayi 30-40 100-140 70-90 50-70
2-5 tahun 25-30 80-120 80-100 60-75
>6 tahun 18-25 70-110 90-110 70-80

Aktivasi dari sistem saraf parasimpaik, overdosis anestesi, ataupun

hypoxia dapat memicu bradikardi secara cepat meskipun denyut nadi pada

bayi lebih cepat dan mengurangi cardiac output yang dapat menyebabkan
hipotensi, asistol, hingga kematian intraoperative. Sesitivitas jantung

terhadap rangsangan parasimpatis, obat anestesi seperti opioid dan volatile

neonatus dan bayi dapat disebabkan oleh belum matangnya jantung,

sistem saraf simpatik, dan reflek baroreseptor.4,5,6 Untuk itu monitor

kardiovaskular harus dilakukan secara hati-hati.

3. Sistem Ekskresi dan Elektrolit

Filtrasi glomerulus hanya sekitar 30% dibanding orang dewasa

akibat belum matangnya ginjal neonatus. Fungsi tubulus juga belum

matang sehingga resorbsi terhadap natrium, glukosa, fosfat organic, asam

amino dan bikarbonat juga rendah. Fungsi ginjal akan berangsur matang

pada puncaknya sekitar umur 8 tahun. Karena rendahnya filtrasi

flomerulus, kemampuan mengekskresi obat-obatan juga menjadi

diperpanjang. Oleh karena ketidakmampuan ginjal untuk menahan air dan

garam, penguapan air, kehilangan abnormal atau pemberian air tanpa

sodium dapat dengan cepat jatuh pada dehidrasi berat dan

ketidakseimbangan elektrolit terutama hiponatremia. Pemberian cairan

dan perhitungan kehilangan atau derajat dehidrasi diperlukan kecermatan

lebih dibanding pada orang dewasa. Begitu pula dalam hal pemberian

elektrolit, yang biasa disertakan pada setiap pemberian cairan.6

Perhitungan kebutuhan cairan per jam pada pasien pediari menggunakan

aturan “4-2-1” , dimana 4 ml/kgBB/jam untuk 10 kg pertama, ditambah 2

ml/kgBB/jam untuk 10 kg kedua, dan ditambah 1 ml/kgBB/jam untuk sisa

berat badan.5,6

4. Sistem Saraf
Myelinisasi pada neonatus belum sempurna dan akan matang dan

lengkap pada usia 3-4 tahun. Jadi saat neonatus, otak sangat sensitive

terhadap keadaan- keadaan hipoksia. Perkembangan yang belum

sempurna pada neuromuscular junction dapat mengakibatkan kenaikan

sensitifitas dan lama kerja dari obat pelumpuh otot non depolarizing.6

Syaraf simpatis belum berkembang dengan baik sehingga aktivitas

parasimpatis lebih dominan, yang mengakibatkan kecenderungan

terjadinya refleks vagal (mengakibatkan bradikardia; nadi <110

kali/menit) terutama pada saat bayi dalam keadaan hipoksia maupun bila

ada stimulasi daerah nasofaring.4,5 Sirkulasi bayi baru lahir stabil setelah

berusia 24-48 jam. Belum sempurnanya mielinisasi dan kenaikan

permeabilitas blood brain barrier akan menyebabkan akumulasi obat-

obatan seperti barbiturat dan narkotik, dimana mengakibatkan aksi yang

lama dan depresi pada periode pasca anestesi. Sisa dari blok obat relaksasi

otot dikombinasikan dengan zat anestesi intravena dapat menyebabkan

kelelahan otot- otot pernafasan, depresi pernafasan dan apnoe pada

periode pasca anestesi.6 Setiap keadaan bradikardia harus dianggap berada

dalam keadaan hipoksia dan harus cepat diberikan oksigenasi. Kalau

pemberian oksigen tidak menolong baru dipertimbangkan pemberian

sulfas atropin.

5. Fungsi Hati

Fungsi hati belum matang pada bayi terlebih neonatus.3,4 Fungsi

detoksifikasi obat masih rendah dan metabolisme karbohidrat yang rendah

pula yang dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia dan asidosis


metabolik.6 Cadangan glikogen hati sangat rendah. Kadar gula normal

pada bayi baru lahir adalah 50-60%. Hipoglikemia pada bayi (dibawah 30

mg/dL) sukar diketahui tanda-tanda klinisnya, dan diketahui bila ada

serangan apnoe atau terjadi kejang. Sintesis vitamin K juga belum

sempurna. Pada pemberian cairan rumatan dibutuhkan konsentrasi

dextrose lebih tinggi (10%).

6. Regulasi Suhu

Pusat pengaturan suhu di hipothalamus belum berkembang,

walaupun sudah aktif. Kelenjar keringat belum berfungsi normal, luas

permukaan besar, tipisnya lemak subkutan, kulit lebih permeable terhadap

air membuat mudah kehilangan panas tubuh, sehingga neonatus sulit

mengatur suhu tubuh dan sangat terpengaruh oleh suhu lingkungan.

Produksi panas mengandalkan pada proses non- shivering thermogenesis

yang dihasilkan oleh jaringan lemak coklat yang terletak diantara scapula,

axila, mediastinum dan sekitar ginjal. Hipoksia mencegah produksi panas

dari lemak coklat. Hipertermia dapat terjadi akibat dehidrasi, suhu sekitar

yang panas, selimut atau kain penutup yang tebal dan pemberian obat

penahan keringat (misal: atropin, skopolamin). Adapun hipotermia bisa

disebabkan oleh suhu lingkungan yang rendah, permukaan tubuh terbuka,

pemberian cairan infus atau tranfusi darah dingin, irigasi oleh cairan dingin,

pengaruh obat anestesi umum yang menekan pusat regulasi suhu, maupun

obat vasodilator. Temperatur lingkungan yang direkomendasikan untuk

neonatus adalah 270C. Pemantauan suhu tubuh, mengusahakan suhu

kamar optimal atau pemakaian selimut hangat, lampu penghangat,


incubator, cairan intra vena hangat, gas anestesi, cairan irigasi maupun

cairan antiseptic yang hangat dapat dilakukan untuk mencegah

hipotermia.5,6 Untuk anak yang lebih besar, penanganan suhu sama dengan

orang dewasa.

7. Respon Psikologis

Respon psikologis pada pasien pediatrik terutama pada kelompok

umur anak pra sekolah dan usia sekolah sangat berbeda dengan orang

dewasa. Pada kelompok ini diperlukan pendekatan-pendekatan khusus.7

Respon psikologis kelompok ini terhadap rasa takut, tidak nyaman, dan

stress emosional seringkali membuat masalah pada proses pre operatif,

durante, maupun post operatif. Rasa takut bisa datang dari nyeri fisik

seperti jarum suntik, luka pasca bedah, dan penggantian bebat. Rasa tidak

nyaman yang seringkali dirasakan pasien pediatrik adalah pusing, mual,

infus, kateter, drain, dll. Sedangkan stress emosional yang paling sering

dirasakan adalah pisah dari orangtua, bau-bauan, alat-alat dan suara di

rumah sakit atau kamar bedah, ataupun ketakutan akan operasi yang akan

pasien jalani.5,7 Menangis, agitasi, retensi urine, nafas dalam, tak mau

bicara, dan pernafasan dalam merupakan respon yang biasa dilakukan anak-

anak. Untuk itu mungkin diperlukan pendekatan terhadap anak-anak seperti

menggunakan mainan atau permainan tertentu, selalu tersenyum dan

menggunakan intonasi yang meyakinkan anak, anak didampingi orangtua,

dll.

8. Respon Farmakologi
Farmakokinetik dan farmakodinamik dari obat-obat yang

diberikan pada neonatus dan bayi berbeda dibandingkan dengan dewasa

karena6:

1. Perbandingan volume cairan intravaskuler terhadap cairan

ekstravaskuler berbeda dengan orang dewasa.

2. Laju filtrasi glomerulus masih rendah.

3. Laju metabolisme yang tinggi.

4. Kemampuan obat berikatan dengan protein masih rendah.

5. Liver/hati yang masih immature akan mempengaruhi proses

biotransformasi obat.

6. Aliran darah ke organ relative lebih banyak (seperti pasa otak, jantung,

liver dan ginjal).

7. Khusus pada anestesi inhalasi, perbedaan fisiologi system pernafasan:

ventilasi alveolar tinggi, minute volume, FRC rendah, lebih rendahnya

MAC dan koefisien partisi darah/gas akan meningkatkan potensi obat,

mempercepat induksi dan mempersingkat pulih sadarnya.

III. Tatalaksana Anestesi Pada Pediatri

1. Evaluasi dan Persiapan Pra Anestesi

• Evaluasi dan Persiapan

Sebelum anestesi dan pembedahan dilaksanakan, keadaan

hidrasi, elektrolit, asam basa harus berada dalam batas-batas normal

atau mendekati normal. Heteroanamnesis dari orang tua, penilaian

keadaan umum dan fisik, serta menilai masalah anestesi yang akan
dialami juga harus dilakukan. Pemeriksaan tambahan yang rutin

dilakukan adalah darah lengkap dan faal hemostatis, sedangkan

pemeriksaan lain sesuai dengan kebutuhan1,6. Transportasi neonates

dari ruang perawatan ke kamar bedah sedapat mungkin menggunakan

incubator yang telah dihangatkan. Peralatan anestesi neonatus bersifat

khusus. Tahanan terhadap aliran gas harus rendah, anti obstruksi,

ringan dan mudah dipindahkan. Biasanya digunakan system anestesi

semi-open modifikasi system pipa T dari Ayre yaitu peralatan dari

Jackson-Rees.5,6,7 Untuk anestesi yang lama, gas-gas anestetik

dihangatkan, dilembabkan dengan pelembab listrik.6 Pada kelompok

anak pra sekolah dan usia sekolah, kunjungan anestesi dilakukan

selain untuk menilai keadaan umum, keadaan fisik, mental, dan

menilai masalah yang akan dihadapi penderita, juga merupakan

kesempatan untuk mendapatkan kepercayaan anak tersebut sehingga

mengurangi kecemasan anak.

• Puasa

Puasa yang lama menyebabkan dehidrasi dan hipoglikemia.

Lama puasa yang dianjurkan adalah stop susu 4 jam dan pemberian air

gula 2 jam sebelum anestesi untuk umur < 6 bulan. Stop susu 6 jam

dan pemberian air gula 3 jam sebelum anestesi untuk umur 6-36 bulan.

Untuk >36 bulan dengan cara stop susu 8 jam dan pemberian air gula 3

jam sebelum anestesi.3,6 Untuk anak yang sudah lebih besar, puasa

seperti orang dewasa yaitu 6-8 jam.

 Infus
Infus dipasang untuk memenuhi kebutuhan cairan karena puasa,

mengganti cairan yang hilang akibat trauma bedah, akibat perdarahan,

dll. Cairan pemeliharaan/pengganti karena puasa diberikan dalam

waktu 3 jam, jam I 50% dan jam II, III maing-masing 25%.

Kecukupan hidrasi dapat dipantau melalui produksi urin (>

0,5ml/kgBB/jam).1,3,7 Untuk pemeliharaan digunakan preparat D5%

dalam NaCl 0,225% untuk anak < 2 tahun dan preparat D5% dalam

NaCl 0,45 % untuk anak > 2 tahun.1

• Persiapan Kamar Operasi

Persiapan kamar operasi merupakan hal yang esensial,

dan tergantung pada ukuran tubuh dan status fisik pasien, metode

induksi, dan rencana airway manajemen. Mesin anestesi harus diperiksa

terlebih dahulu dan ventilator diatur sesuai tubuh pasien, ukuran face

mask yang sesuai, dan juga oral airway. Laringoskop harus di cek

apakah berfungsi dengan baik, dan ukuran blade yang sesuai harus

dipersiapkan. Obat obatan, tube trakea, stylet yang sesuai juga

merupakan hal yang esensial dalam persiapan. Peralatan untuk

resusitasi, obat-obat emergensi juga harus dipersiapkan. Karena

permukaan tubuh anak lebih besar daripada dewasa, sehingga

cenderung untuk terjadi hipotermi, suhu di ruangan operasi tentu harus

disesuaikan, dan alat pemanas dapat disediakan untuk dapat menjaga

suhu pasien.3,7

• Keberadaan Orang Tua Pasien


Keberadaan orang tua di sisi pasien, merupakan salah satu cara

untuk menghilangkan kecemasan pada pasien, selain dengan

menggunakan obat-obatan. Banyak rumah sakit yang telah

menyediakan video tentang petunjuk baik bagi sang pasien ataupun

orang tuanya, tentang apa dan bagaimana persiapan preoperative yang

sebenar dan sebaiknya. Hal ini dapat membantu terutama pada pasien

usia pra sekolah. Anak yang berusia lebih dari 4 tahun dengan orang tua

yang memiliki tingkat kecemasan lebih rendah mendapatkan

keuntungan untuk mengurangi kecemasan pada sang pasien sendiri.

Namun jika orang tua pasien memiliki kecemasan yang berlebih tentu

hal ini tak akan membantu, atau bahkan menjadi lebih sulit. Jika pasien

telah ter sedasi, keberadaan orang tua tak lagi diperlukan, dimana

hal ini tidak akan berpengaruh terhadap kecemasan pasien. Keberadaan

orang tua saat induksi sangat tergantung dari tipe orang tua tersebut,

instruksi yang diberikan, pasien dan sang ahli anestesi sendiri.3,6,7

• Premedikasi

1. Sulfas Atropine

Hampir selalu diberikan terutama pada penggunaan

Halotan, Enfluran, Isofluran, suksinil cholin atau eter. Dosis

atropine 0,02 mg/kg, minimal 0,1 mg dan maksimal 0,5 mg. lebih

digemari secara intravena dengan pengenceran. Hati-hati pada

bayi demam, takikardi, dan keadaan umumnya jelek.3,6

2. Penenang
Tidak dianjurkan pada neonatus dan bayi, karena susunan

saraf pusat belum berkembang, mudah terjadi depresi. Untuk anak

pra sekolah dan usia sekolah yang tidak bisa tenang dan cemas,

pemberian penenang dapat dilakukan dengan pemberian

midazolam. Dosis yang dianjurkan adalah 0,5mg/kgBB. Efek

sedasi dan hilangnya cemas dapat timbul 10 menit setelah

pemberian. 3,6

2. Induksi pada Pasien Pediatri

Cara induksi pada pasien pediatrik tergantung pada umur, status

fisik, dan tipe operasi yang akan dilakukan. Ahli anestesi tentu memiliki

cara dan taktik tersendiri dalam menginduksi pasien pediatrik dan harus

memiliki informasi yang adekuat dari pasien yang akan diinduksi,

minimal umur dan berat badan pasien, jenis pembedahan, apakah

emergensi atau elektif, status fisik dan mental (kooperatif/tidak) pasien.

Hal ini dilakukan untuk persiapan keperluan-keperluan seperti pipa ETT,

pemanjangan anestesi, manajemen nyeri post operatif, ventilasi, dan

perawatan intensif yang memadai.3,4,5

Induksi anestesia pada bayi dan anak sebaiknya ada yang

membantu. Induksi diusahakan agar berjalan mulus dengan trauma

yang sekecil mungkin. Induksi dapat dikerjakan secara inhalasi atau

secara intravena.

• Induksi inhalasi.
Dikerjakan pada bayi dan anak yang sulit dicari venanya atau

pada yang takut disuntik. Diberikan halotan dengan oksigen atau

campuran N2O dalam oksigen 50%. Konsentrasi halotan mula-mula

rendah 0,5 vol% kemudian dinaikkan setiap beberapa kali bernafas 0,5

vol % sampai tidur. Sungkup muka mula-mula jaraknya beberapa

sentimeter dari mulut dan hidung, kalau sudah tidur barn dirapatkan ke

muka penderita.3,4

• Induksi intravena.

Dikerjakan pada anak yang tidak takut pada suntikan atau pada

mereka yang sudah terpasang infus. Induksi dapat dilakukan dengan

menggunakan propofol 2-3 mg/kg diikuti dengan pemberian pelumpuh

otot non depolarizing seperti atrakurium 0,3 -0,6 mg/kg.3,4 Seringkali

pada praktik pediatri, intubasi bisa dilakukan dengan kombinasi propofol,

lidokain, dan opiate dengan atau tanpa agen inhalasi sehingga tidak

diperlukan pelumpuh otot. Pelumpuh otot juga tidak diperlukan saat

pemasangan LMA.3

3. Intubasi pada Pasien Pediatri

Intubasi neonatus dan bayi lebih sulit karena mulut kecil, lidah

besar-tebal, epiglottis tinggi dengan bentuk “U”. Karena occiput

menonjol dan membuat posisi fleksi pada kepala, maka dapat dikoreksi
dengan cara sedikit mengangkat bahu dengan meletakan handuk dan

menaruh kepala pada bantal berbentuk donat.3,4,6

Sebaiknya menggunakan laringoskop bilah lurus-lebar dengan

lampu di ujungnya. Hati-hati bahwa bagian tersempit jalan nafas atas

adalah cincin cricoid. Intubasi biasanya dikerjakan dalam keadaan sadar

(awake intubation) terlebih pada keadaan gawat atau diperkirakan akan

dijumpai kesulitan. Beberapa penulis menganjurkan intubasi sadar untuk

bayi baru lahir dibawah usia 10-14 hari atau pada bayi prematur.3,6

Yang berpendapat dilakukan intubasi tidur atas pertimbangan dapat

ditekannya trauma, yang dapat dilakukan dengan menggunakan ataupun

tanpa pelumpuh otot. Pipa trachea yang dianjurkan adalah dari bahan

plastic, tembus pandang dan tanpa cuff. Untuk premature digunakan

ukuran diameter 2-3 mm sedangkan pada bayi aterm 2,5-3,5 mm. Pipa

yang digunakan juga jenis pipa non kinking atau yang tidak mudah

tertekuk.7 Pada anak-anak, digunakan blade laringkoskop yang lebih

kecil dan lurus, jenisnya tergantung pada piliban ahli anestesi dan adanya

gangguan saluran pernapasan. Pipa trakea dipilih berdasarkan prinsip

babwa pipa yang dapat dibengkokkan tidak digunakan di bawah nomor 7,

dan dua nomor lebih rendah harus disiapkan bila diperlukan.3,7

Pipa trakea pada bayi dan anak dipakai yang tembus pandang

tanpa cuff. Untuk usia diatas 5-6 tahun boleh dengan cuff pada kasus-

kasus laparotomi atau jika ditakutkan akan terjadi aspirasi. Secara kasar

ukuran besarnya pipa trakea sama dengan besarnya jari kelingking atau
besarnya lubang hidung. Untuk menghitung perkiraan diameter dan

panjang pipa dapat menggunakan formula3 :

4 + umur/4 = diameter pipa (mm) dan

12 + umur/2 = panjang pipa (cm)

Pada pasien pediatrik, intubasi hidung tidak dianjurkan, karena

dapat menyebabkan trauma, perdarahan adenoid dan infeksi. Peralatan

harus dengan ruang rugi minimal, dan resistensi rendah seperti model T-

Jackson Rees.

4. Pemeliharaan Anestesi pada Pediatri

Anestesia neonatus sangat dianjurkan dengan intubasi dan nafas

kendali. Penggunaan sungkup muka dengan nafas spontan pada bayi

hanya untuk tindakan ringan yang tidak lama.6 Gas anestetika yang

umum digunakan adalah N2O dicampur dengan 02 perbandingan 50:50

untuk neonatus, 60:40 untuk bayi, dan 70:30 untuk anak-anak.

Walapun N2O mempunyai sifat analgesia kuat, tetapi sifat

anestetikanya sangat lemah. Karena itu sering dicampur dengan

1,3
halotan, enfluran atau isofluran. Narkotika hanya diberikan untuk

usia diatas 1 tahun atau pacta berat diatas 10 kg. Morfin dengan dosis

0,1 mg/kg atau per dosis 1-2 mg/kg. Pelumpuh otot non depolarisasi

sangat sensitif, karena itu haus diencerkan dan diberikan secara sedikit

demi sedikit.6

Banyaknya cairan yang harus diberikan per infus disesuaikan

dengan banyaknya cairan yang hilang. Terapi cairan dimaksudkan untuk


mengganti cairan yang hilang pada waktu puasa, pada waktu

pembedahan, adanya perdarahan dan oleh sebab-sebab lain, cairan fistula

dan lain-lainnya. Cairan yang seharusnya masuk, karena puasa harus

diganti dengan pedoman1,3,4 :

Pada jam I diberikan 50% defisit + cairan

pemeliharaan/jam Pada jam II diberikan 25% nya +

cairan pemeliharaan/jam Pada jam III diberikan 25%

nya + cairan pemeliharaan/jam

Cairan hilang akibat perdarahan yang kurang dari 10 % diganti

dengan cairan kristaloid dalam dekstrosa, misalnya cairan dekstrosa 5%

dalam Ringer-Iaktat sedangkan diatas 10% dilakukan transfusi.6

Banyaknya perdarahan dapat diperkirakan dengan6,7

1. Mengukur darah dalam botol penyedot, menimbang kain kasa

sebelum dan sesudah kena darah dengan bantuan kolorimeter.

Jumlahkan keduanya kemudian tambahkan 25% untuk darah yang sulit

dihitung misalnya yang menempel di tangan pembedah, yang

melengket di kain penutup dan lain-lain.

2. Mengukur hematokrit secara serial. Perdarahan melebihi 10%

pada neonatus harus diganti dengan darah.

5. Pengakhiran Anestesi pada Pasien Pediatri

Setelah pembedahan selesai, obat anestetika dihentikan

pemberiannya. Berikan oksigen murni 5-15 menit. Bersihkan rongga

hidung dan mulut dari lendir kalau perlu. Jika menggunakan pelumpuh
otot, dapat dinetralkan dengan prostigmin (0,04 mg/kg) atau neostigmine

(0,05 mg/kg) dan atropin (0,02 mg/kg). Depresi nafas oleh narkotika-

analgetika netralkan dengan nalokson 0,2-0,4 mg secara titrasi.3,4,6

Ekstubasi pada bayi dikerjakan kalau bayi sudah sadar benar, anggota

badan. bergerak-gerak, mata terbuka, nafas spontan adekuat.

Ekstubasi dalam keadaan anestesia ringan, akan menyebab kan batuk-

batuk, spasme laring atau bronkus. Ekstubasi dalam keadaan anestesia

dalam digemari karena kurang traumatis. Dikerjakan kalau nafas

spontannya adekuat, keadaan umumnya baik dan diperkirakan tidak akan

menimbulkan kesulitan pasca intubasi.3,6

6. Komplikasi Anestesi pada Pasien Pediatrik

Semua pasien anestesi pediatri, terutama yang diintubasi, lebih

memiliki resiko untuk mengalami komplikasi. Mual dan munatah adalah

hal yang paling sering terjadi, terutama pada pasien berumur 2 tahun ke

atas. Terjadi karena pipa ETT dipasang terlalu erat, sehingga mukosa

trachea menjadi bengkak. Laringospasme adalah salah satu komplikasi

yang mungkin terjadi. Biasanya terjadi pada anestesi stadium II. Jika

terjadi, suksinilkolin dapat digunakan, bersama dengan atropine untuk

mencegah brakikardi.6,7

7. Pasca Anestesi pada Pasien Pediatrik


Setelah selesai anestesia dan keadaan umum baik, penderita

dipindahkan ke ruang pulih. Disini diawasi seperti di kamar bedah,

walaupun kurang intensif dibandingkan dengan pengawasan sebelumnya.

Hal yang perlu diawasi adalah kesadaran, pernafasan yang spontan dan

adekuat serta bebas dari pengaruh efek sisa obat pelumpuh otot, denyut

nadi dan tekanan darah, warna kulit, dan suhu tubuh.6,7 Pasien dapat

dipindahkan ke ruangan jika skor Aldretenya mencapai 10 dan tidak ada

penyulit.

Yang Dinilai Nilai


GERAKAN
Menggerakkan 4 ekstremitas sendiri atau dengan perintah 2
Menggerakkan 2 ekstremitas sendiri atau dengan perintah 1
Tidak dapat menggerakkan ekstremitas 0
PERNAFASAN
Bernafas dalam dan kuat serta batuk 2
Bernafas berat atay dispneu 1
Apneu atau perlu dibantu 0
TEKANAN DARAH
Sama dengan nilai awal + 20% 2
Berbeda lebih dari 20-50% dari nilai awal 1
Berbeda lebih dari 50% dari nilai awal 0
WARNA KULIT
Merah 2
Pucat, Ikterus, dan lain-lain 1
Sianosis 0
KESADARAN
Sadar penuh 2
Tidak sadar, ada reaksi terhadap rangsangan 1
Tidak ada reaksi 0
Gambar 1. Skala Aldrete.

BAB IV

KESIMPULAN

I. Kesimpulan

Anestesia pediatrik merupakan anestesi pada pasien anak-anak yang

dapat dibagi menjadi 4 kelompok umur yaitu neonatus (umur 1-28 hari), bayi

(sampai 1 tahun), anak pra sekolah (2-5 tahun), dan anak usia sekolah (6-14

tahun). Anestesi dan reanimasi pada pediatrik dibuat untuk memenuhi kebutuhan

kelompok pediatrik sendiri dimana berbeda dari segi anatomi, fisiologi,

psikologis, dan biokimia dengan orang dewasa. Perbedaan anatomi dimana jalan
nafas pediatri lebih kecil dan mudah tersumbat membuat ahli anestesi harus lebih

berhati-hati. Alat-alat khusus yang berbeda dari segi ukuran, bentuk, dan fungsi

seperti blade laringoskop yang lebih lurus, mesin Jackson-Rees, dan lainnya

diperlukan pada anestesi pediatri. Perubahan fisiologi dan biokimia juga

membuat diperlukannya pengaturan dosis obat, kebutuhan cairan, pengaturan

suhu, dan penyesuaian lainnya. Respon psikologi pediatri yang sering

menyulitkan proses anestesi dan reanimasi membuat diperlukannya pendekatan-

pendekatan tersendiri pada pasien pediatrik. Hal-hal ini membuat tatalaksana

anestesi dan reanimasi pada pasien pediatrik cukup berbeda dari orang dewasa,

dimulai dari evaluasi dan persiapan pra anestesi, induksi, pemeliharaan,

pemulihan, hingga perawatan pasca anestesi dan reanimasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Gde Mangku, Tjokorda Gde Agung Senapthi. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan

Reanimasi. Indeks; 2010. 6-7; 149-59

2. K Rupp, J Holzki, T Fischer, C Keller. Pediatric Anesthesia. Drager; 2015.

3. Smith dan Aitkenhead. Pediatric Anaesthesia dalam Textbook of

Anaesthesia Sixth Edition. Churchill Livingstone Elsevier; 2013. 731-47

4. John Butterworth, David Mackey, dan Wasnick. Pediatric Anesthesia

dalam Morgan & Mikhail’s Clinical Aneshesiology Fifth Edition. Mc Graw Hill;

2013. 877-97
5. Erin Gottlieb dan Andropoulos. Pediatrics dalam Miller’s Basic of

Anesthesia Sixth Edition. Elsevier; 2011. 546-57

6. Said A L, Suntoro A. Anestesi Pediatrik. Anestesiologi. Bagian

Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.

7. Krane E. Orientation to Pediatric Anesthesia. [internet] tersedia di

http://anesthesia.stanford.edu/ kentgarman/ clinical/ped%20orient. Diakses pada

28 Juli 2016.

Anda mungkin juga menyukai