Anda di halaman 1dari 49

CASE REPORT

PNEUMONIA DISERTAI PPOK EKSASERBASI AKUT DAN CPCD

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Penyakit Paru

Pembimbing :
dr. Ratna Lusiawati, Sp.P, M.Kes
dr. Nia Marina Premesti, Sp.P, M.Kes

Disusun Oleh :
Erra Irhamni, S.Ked J510181019

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU PENYAKIT PARU RSUD SUKOHARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018

i
HALAMAN PENGESAHAN CASE REPORT
PNEUMONIA DISERTAI PPOK EKSASERBASI AKUT DAN CPCD

Pembimbing :
dr. Ratna Lusiawati, Sp.P., M.Kes
dr. Nia Marina Premesti, Sp.P., M.Kes

Disusun Oleh :

Erra Irhamni, S.Ked J510181019

Disetujui :
(dr. Ratna Lusiawati, Sp.P., M.Kes (.................................)

(dr. Nia Marina Premesti, Sp.P., M.Kes (.................................)

Dipresentasikan di depan : 12 Juni 2018


(dr. Ratna Lusiawati, Sp.P., M.kes (.................................)

Disahkan Ketua Program Profesi


(dr. Flora Ramona S. P., Sp.KK, M.Kes) (.................................)

ii
iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 4
C. Manfaat Penulisan ........................................................................................ 4
BAB II LAPORAN KASUS ................................................................................... 5
A. Identitas Pasien............................................................................................. 5
B. Anamnesis .................................................................................................... 5
C. Pemeriksaan Fisik ........................................................................................ 7
D. Status Lokalis ............................................................................................... 8
E. Pemeriksaan Penunjang ............................................................................. 10
F. Diagnosis .................................................................................................... 11
G. Tindakan/ Penatalaksanaan........................................................................ 11
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 15
BAB IV PEMBAHASAN ..................................................................................... 42
BAB V KESIMPULAN ........................................................................................ 44
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 45

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pnemonia dan PPOK merupakan masalah kesehatan pada saluran
pernafasan yang sering dijumpai. Pneumonia masih menjadi masalah utama di
bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun di negara
maju (Diatri & Iskandar, 2015). Pneumonia merupakan penyakit infeksi
saluran napas bawah akut pada parenkim paru dan dijumpai sekitar 15-20 %
pada kasus penyakit paru (Baharirama & Artini, 2017). Pneumonia disebabkan
oleh mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit (Cilloniz, et al.,
2016).
Berdasarkan laporan WHO (2012) menyebutkan bahwa infeksi saluran
napas bawah terutama pneumonia menduduki peringkat keempat sebagai
penyebab kematian tertinggi di dunia dan sekaligus penyebab utama kematian
dari golongan penyakit infeksi (WHO, 2014; Wunderink & Waterer, 2014).
Dari data Riskesdas (2013) terjadi peningkatan prevalensi pneumonia pada
semua umur dari 2,1% pada tahun 2007 menjadi 2,7% tahun 2013 (Kemenkes
RI, 2013). Pada tahun 2015, terjadi 920.136 kematian akibat pneumonia
(Farida, et al., 2017). Pneumonia di Indonesia termasuk dalam 10 besar
penyakit rawat inap di rumah sakit yaitu dengan proporsi kasus 53,95% laki-
laki dan 46,05% perempuan, dengan CFR atau Crude Fatality Rate 7,6%, dan
merupakan CFR paling tinggi dibandingkan dengan penyakit lainnya (PDPI,
2014).
Pneumonia membutuhkan pengobatan yang adekuat, dikarenakan angka
morbiditas dan mortalitasnya cukup tinggi. Pengobatan awal pneumonia
didasari dengan pengobatan empiris. Setelah diagnosa pneumonia ditegakkan
harus segera diberikan antibiotik. Pemberian antibiotik kurang dari 4 jam
setelah masuk IGD dan diagnosis pneumonia ditegakkan akan menurunkan
angka kematian (PDPI, 2014).

1
2

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit


tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
PPOK merupakan penyakit yang timbul akibat dari adanya respon inflamasi
kronis yang tinggi pada saluran nafas dan paru yang biasanya bersifat progresif
dan persisten. Penyakit ini memiliki ciri berupa terbatasnya aliran udara yang
masuk (GOLD, 2015).
PPOK merupakan penyebab kematian keempat tertinggi di dunia dan
diperkirakan akan menjadi penyebab kematian ke-3 di dunia pada tahun 2020,
dimana peningkatan angka kematian tersebut disebabkan meluasnya kebiasaan
merokok (GOLD, 2016). Prevalensi kejadian PPOK di Indonesia sebanyak
3,7% (Balitbang Kemenkes RI, 2013). Sementara di Provinsi Jawa Tengah
prevalensi PPOK pada tahun 2014 rata-rata sebesar 2,14%, dan meningkat
menjadi 2,27% pada tahun 2015. Sedangkan di wilayah Surakarta, jumlah
penderita PPOK pada tahun 2014 terdapat 52 kasus, dan tahun 2015 terdapat
204 kasus (Dinkes Jateng, 2015).
Faktor yang berperan dalam peningkatan PPOK ialah kebiasaan merokok
yang masih tinggi baik perokok aktif, pasif ataupun bekas perokok, polusi
udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di pertambangan, terjadi
pada lansia, riwayat infeksi saluran napas bawah berulang (seperti bronkitis,
TB), defisiensi antitripsin alfa – 1 (genetik). Gejala yang ditimbulkan pada
pasien PPOK berupa sesak nafas, batuk disertai dengan sputum, aktifitas yang
terbatas, penurunan berat badan. PPOK merupakan salah satu faktor risiko
penyakit kardiovaskuler yang diakibatkan oleh proses inflamasi sistemik dan
jantung merupakan salah satu organ yang sangat dipengaruhi oleh progresitas
PPOK (Saftarina, et al., 2017).
PPOK akan berdampak negatif dengan kualitas hidup penderita,
termasuk pasien yang berumur > 40 tahun akan menyebabkan disabilitas
penderitanya. Padahal mereka masih dalam kelompok usia produktif namun
tidak dapat bekerja maksimal karena sesak napas yang kronik. Komorbiditas
PPOK akan menyebabkan penyakit kardiovaskuler, kanker bronchial, infeksi
paru-paru, hipertensi, depresi dan axiety (Oemiati, 2013). PPOK merupakan
3

penyebab utama hipertensi pulmoner dan kor pulmonal yang memberikan


kontribusi 80-90% dari seluruh kasus penyakit paru. Hipertensi pulmoner pada
PPOK terjadi akibat efek langsung asap rokok terhadap pembuluh darah
intrapulmoner. Selain itu, PPOK juga dapat menyebabkan osteoporosis yang
disebabkan oleh faktor seperti malnutrisi yang menetap, merokok, penggunaan
steroid dan inflamasi sistemik (Saftarina, et al., 2017).
Cor Pulmonale Chronicum Decompensata (CPCD) merupakan
hipertrofi/ dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal yang disebabkan
penyakit parenkim paru dan atau pembuluh darah paru yang tidak berhubungan
dengan kelainan jantung kiri. PPOK merupakan penyebab utama infusiensi
respirasi kronik dan CPCD, diperkirakan 80-90%. Tingginya angka kematian
yang dapat terjadi akibat penyakit CPCD maka penegakkan diagnosis haruslah
dengan tepat dan segera. Adanya penegakkan diagnosis yang tepat dapat
mengurangi angka kematian (Macnee, 2016).
Insidens yang tepat dari kor pulmonal tidak diketahui secara pasti karena
seringkali terjadi tanpa dapat dikenali secara klinis. Di Inggris terdapat
sedikitnya 0,3% populasi dengan resiko terjadinya kor pulmonal pada populasi
usia lebih dari 45 tahun dan sekitar 60.000 populasi telah mengalami hipertensi
pulmonal yang membutuhkan terapi oksigen jangka panjang. Kor pulmonal
diperkirakan terdapat sebanyak 6-7 % dari semua jenis penyakit jantung
dewasa di AS, dengan PPOK akibat bronkhitis kronik atau emfisema sebagai
faktor kausatif pada lebih dari 50% kasus. Secara global, insiden kor pulmonal
bervariasi antar negara, tergantung pada prevalensi merokok, polusi udara, dan
faktor risiko lain terkait penyakit paru-paru (Agrawal, 2017).
Kor pulmonal kronik merupakan bagian dari decompensi kordis kanan
yang disebabkan oleh kelainan vascular paru dan atau parenkim paru. Kor
pulmonal 10-20% menyebabkan gagal jantung. Gejala kor pulmonal kronik
secara umum dihubungkan dengan penyakit paru yang mendasarinya.
Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonal adalah penyakit
yang secara primer menyerang pembuluh darah paru dan penyakit yang
mengganggu aliran darah paru. Berdasarkan penelitian lain di Ethiopia,
4

menemukan penyebab terbanyak kor pulmonal berturut-turut adalah asma


bronkial, tuberkulosis paru, bronkitis kronik, emfisema, penyakit interstisial
paru, bronkiektasis, obesitas, dan kifoskoliosis. Menurut penelitian sekitar 80-
90% pasien kor pulmonal mempunyai PPOK dan 25 % pasien dengan PPOK
akan berkembang menjadi kor pulmonal (Macnee, 2016).
B. Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk lebih mengetahui dan
memahami mengenai kasus pneumonia, PPOK serta CPCD. Makalah ini juga
digunakan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit Paru RSUD Sukoharjo.
C. Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan
pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis agar dapat lebih
mengetahui dan memahami mengenai kasus pneumoni, PPOK, dan CPCD.
BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. SS
Umur : 33 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Sukoharjo
Agama : Islam
Status : Menikah
Suku : Jawa
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Swasta
RM : 00383800
MRS tanggal : 02 Juni 2018
Tanggal Pemeriksaan : 05 Juni 2018
Keluar RS : 07 Juni 2018

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Sesak nafas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Kabupaten Sukoharjo pada hari
Sabtu tanggal 02 Juni 2018 jam 13.30. Pasien datang dengan keluhan
sesak nafas dan batuk berdahak. Pada saat masuk Rumah Sakit, pasien
masih bisa berjalan tetapi pasien mengucapkan kalimat dengan terbata-
bata.
Pasien mengatakan 3 minggu yang lalu merasakan sesak dan batuk
berdahak. Kemudian pasien berobat ke Balai Paru dan diberi obat
rawat jalan. Seminggu kemudian, keluhan pasien sudah membaik.
Setelah itu pasien tidak kontrol kembali. 3 hari setelah obat habis,
pasien mengeluh sesak nafas setiap maghrib sampai pagi hari. 3 hari

5
6

kemudian sesak dirasakan setiap hari sampai hari ini dan dibawa ke
IGD RSUD Sukoharjo. Pada saat masuk rumah sakit, pasien merasakan
sesak yang tidak membaik dengan istirahat. Pasien merasa sesak
berkurang apabila posisi setengah duduk. Pasien juga mengeluhkan
batuk berdahak dengan dahak berwarna putih. Pasien tidak demam,
menggigil maupun berkeringat pada malam hari. Pasien juga tidak
mengeluhkan mual, muntah, dan sakit kepala. Buang air besar dan
buang air kecil lancar seperti biasa. Nafsu makan dan minum baik dan
berat badan tidak menurun.
Pasien merupakan seorang perokok aktif sejak SD. Setiap hari
pasien merokok 1 bungkus yang berisi 16 batang rokok. Pasien
berhenti merokok karena mengeluhkan sesak nafas sejak 3 minggu
yang lalu.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat pengobatan dengan OAT : disangkal
b. Riwayat TB paru : disangkal
c. Riwayat asma : disangkal
d. Riwayat alergi : disangkal
e. Riwayat mondok di rumah sakit : disangkal
f. Riwayat DM : disangkal
g. Riwayat hipertensi : disangkal
h. Riwayat penyakit jantung : disangkal
i. Riwayat trauma : disangkal
j. Riwayat keganasan : disangkal
4. Riwayat Kehidupan Pribadi
a. Riwayat merokok : diakui, sejak SD sehari satu
bungkus
b. Riwayat minum alkohol : diakui, saat SMA
c. Riwayat konsumsi jamu : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat DM : disangkal
7

b. Riwayat hipertensi : disangkal


c. Riwayat TB paru : disangkal
d. Riwayat asma : disangkal
e. Riwayat pengobatan TB paru : disangkal
f. Riwayat keganasan : disangkal
6. Riwayat Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan
Pasien saat ini tidak bekerja. Pasien tinggal bersama istri. Pasien
dirawat di RSUD Sukoharjo menggunakan Jamkesda. Tidak terdapat
penderita batuk lama, sesak nafas, dan batuk darah di sekitar rumah
pasien. Tidak terdapat anggota keluarga dengan keluhan serupa.
7. Anamnesis Sistem
Demam (-) Sakit kepala (-) Mual (-)
Muntah (-) Penurunan Penurunan
penglihatan (-) pendengaran (-)
Epistaksis (-) Sesak nafas (+) Batuk (+)
Nyeri perut (-) Nyeri dada (-) Pilek (-)
BAB berdarah (-) BAK berdarah (-) Edema tungkai (-)
Gatal pada kulit (-)

8. Resume Anamnesis
Laki-laki usia 33 tahun datang dengan keluhan sesak nafas dan
batuk dengan sputum putih sejak 3 hari yang lalu. Penurunan berat
badan dan keringat malam disangkal. Pasien merupakan perokok aktif
sejak SD sebanyak kurang lebih 16 batang per hari dan berhenti 3
minggu yang lalu sejak mengeluhkan sesak nafas. Pasien pernah
berobat ke Balai Paru dengan keluhan sesak nafas dan sudah membaik,
tetapi 3 hari setelah obat habis keluhan pasien kambuh kembali dan
semakin memberat tiap harinya.

C. PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan Umum : sedang
b. Kesadaran/GCS : compos mentis/ E4V5M6
8

c. Tanda – tanda vital


a. Tekanan Darah : 150/100 mmHg
b. Nadi : 100x/menit
c. Pernafasan : 26x/menit
d. Suhu : 36,4oC
e. Berat Badan : 60Kg
f. Tinggi Badan : 164 cm

D. STATUS LOKALIS
a. Kepala
1. Rambut : rambut hitam, lurus, tidak mudah rontok
2. Kulit kepala : laserasi (-), ketombe (-)
3. Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edem
palpebra (-/-)
4. Hidung : sekret (-), mukosa (dbn)
5. Telinga : daun telinga simetris, tanda peradangan (-), liang
telinga sekret dalam batas normal
6. Mulut : gigi hitam (+), lidah kotor (-), mulut kering (-), bau
mulut (-)
b. Leher
1. Pembesaran kelenjar limfe regional tidak ditemukan
2. JVP dalam batas normal
c. Thorax
1. Cor
1) Inspeksi : iktus kordis tidak tampak, tidak terlihat
masa dan masa, normochest
2) Palpasi : iktus kordis teraba dan kuat angkat di SIC V linea
midclavicula sinistra
3) Perkusi :
a) Batas kanan atas : SIC II parasternalis dextra
b) Batas kanan bawah : SIC IV parasternalis dextra
9

c) Batas kiri atas : SIC II parasternalis sinistra


d) Batas kiri bawah : SIC V midclavicula sinistra
4) Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 dalam batas normal,
reguler, dan tidak terdapat bising
2. Pulmo
1) Inspeksi : simetris, retraksi intracostal (-), masa dan
perubahan warna kulit (-)
2) Palpasi
a) Ketinggalan gerak : (-/-)
b) Fremitus : dalam batas normal
3) Perkusi : dalam batas normal
4) Auskultasi :
Suara dasar vesikuler : (+/+)
Ronkhi : (+/+)
Wheezing : (+/+)
d. Abdomen
a) Inspeksi : dinding abdomen sejajar dengan dada, bentuk
simetris, benjolan dan perubahan warna kulit (-),
sikatrik (-)
b) Auskultasi : peristaltik usus dalam batas normal
c) Palpasi : dalam batas normal
d) Perkusi : dalam batas nomal
e) Tes undulasi : acites negatif
e. Ekstremitas
a) Clubbing finger tidak ditemukan
b) Edema tidak ditemukan
c) Pitting edema (-)
d) Akral hangat pada keempat anggota gerak
10

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Darah Lengkap 02 Juni 2018 pukul 18:08
Hasil Nilai Rujukan Ket
Lekosit 13,3 3,8-10,6 H
Eritrosit 6,46 4,40-5,90 H
Hemoglobin 16,1 13,2-17,3 N
Hematokrit 48,6 40-52 N
MCV 75,2 80-100 L
MCH 24,9 26-35 L
MCHC 33,1 32-37 H
Trombosit 476 150-450 N
RDW-CV 13,8 11,5-14,5 N
PDW 9,4 #
MPV 9,0 #
P-LCR 15,8 #
PCT 0,43 #
NRBC 0,00 0-1
Neutrofil 51,8 53-75 L
Limfosit 30,9 25-40
Monosit 6,10 2-8
Eosinofil 10,20 2,00-4,00 H
Basofil 1,00 0-1 N
Ig 0,20 #

b. Kimia Klinik
Hasil Nilai Rujukan Ket
GDS 81 70-120 N
Ureum 16,1 0-31 N
Kreatinin 1,17 0,60-1,10 H
SGOT 25,00 0-30 N
SGPT 41,4 0-50 N

c. Sero Imunologi
HbsAg Rapid Non-Reaktif

Ket: N = Normal H = High L = Low


11

d. Pemeriksaan Radiologi

Foto Thorak : Tampak corakan bronchovasculer meningkat,air


bronchogram (+)
Gambaran bronkitis. Tak tampak tanda atau
gambar. TB Pulmo. Besar cor normal.
e. Hasil EKG
Hasil : (---)
f. Spirometri
Hasil : (---)

F. DIAGNOSIS
PPOK eksaserbasi akut, Pneumonia, CPCD

G. TINDAKAN/ PENATALAKSANAAN
 O2 3 Lpm
 Inf RA 20 tpm + 1 ampul aminophilin
 Inj Ceftazidim 1g/ 8j
 Inj Metil Prednisolon 62,5 mg/ 8j
 Ambroxol 3x1
 Sucralfat 3xC1
 Codein 3x1
 Nebu ventolin:pulmicort 1:1
12

Tanggal Subjektif Objektif Asessment Planning


4/6/2018 Sesek (+), KU : sedang PPOK TCM
batuk (+), Kesadaran : eksaserbasi O2 3 lpm
dahak putih CM akut RA + 1 amp
kental (+), TD : 110/80 Pneumonia aminofilin 20
mual (-), mmHg CPCD tpm
muntah (-), N : 98x/menit Ceftazidim
pusing (-), RR : injeksi 3x1
demam (-), 24x/menit OMZ inj 2x1
nyeri dada (-) T ; 36,4 MP inj 3x 26,5
derajat celcius Fluimucyl inj
Thorax : 3x1
Whe (+/+), Rh Combiven +
(+/+) Pulmicort neb /
8 jam
Salbutamol 3x2
mg
Codein 3x10
mg
Ambroxol 3x1
Ulsafat syr 3 x
C1
5/6/2018 Sesek (+) KU : sedang PPOK RA + 1 amp
berkurang, Kesadaran : eksaserbasi aminofilin 20
batuk (+) CM akut tpm
TD : 120/80 Pneumonia O2 3 lpm
mmHg Ceftazidim
N : 94x/menit injeksi 3x1
RR : OMZ inj 2x1
24x/menit MP inj 3x 26,5
T : 36 derajat Fluimucyl inj
cecius 3x1
Thorax : Combiven +
Sdv (+/+), Pulmicort neb /
Whe (-/-), Rh 8 jam
(-/-) Salbutamol 3x2
mg
13

Codein 3x10
mg
Ambroxol 3x1
Ulsafat syr 3 x
C1
Bricasma 3x 1
tab
Ofloxacin 1x
400 mg
6/6/2018 Sesek (+) KU : sedang PPOK RA + 1 amp
berkurang, Kesadaran : eksaserbasi aminofilin 20
batuk (+) CM akut tpm
berkurang TD : 120/80 Pneumonia O2 3 lpm
N : 88 CPCD Ceftazidim
R : 18 injeksi 3x1
S : 36,4 OMZ inj 2x1
TCM : MTB MP inj 3x 26,5
not detected Fluimucyl inj
3x1
Combiven +
Pulmicort neb /
8 jam
Salbutamol 3x2
mg
Codein 3x10
mg
Ambroxol 3x1
Ulsafat syr 3 x
C1
Bricasma 3x 1
tab
Ofloxacin 1x
400 mg
Rhetapyl SR
1x150 mg
14

7/6/18 Sesak KU : sedang PPOK Symbicort (160)


PULANG berkurang, Kesadaran : eksaserbasi 2 dd1 sdt 1
batuk masih CM akut
tapi sudah TD : 110/70 Pneumonia cefixime 100mg
jarang N : 84 CPCD Ofloxacin
R : 20 200mg
S : 36 B6 1 tb
S cap dtd 2 dd1
X

Aminophilin
100mg
Salbutamol 2mg
Bricasma 1 tab
S cap dtd 3 dd 1
XV

Codein 10mg
Ambroksol 1
tab
Cimetidin ½ tab
MP 4mg
S cap dtd 3 dd 1
XV

Omz 1x1 V
Ulsafat syr
3xC1 I

Spironolakton
25 mg
KSR 1 tab
Furo ½ tab
S cap dtd 1-0-0
(V)
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)


a. Definisi
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang
dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan adanya keterbatasan aliran
udara yang persisten dan umumnya bersifat progresif, berhubungan dengan
respon inflamasi kronik yang berlebihan pada saluran napas dan parenkim
paru akibat gas atau partikel berbahaya. Eksaserbasi dan komorbid
berkontribusi pada beratnya penyakit. Karakteristik hambatan aliran udara
pada PPOK merupakan gabungan antara obstruksi saluran naps kecil
(obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema) yang bervariasi
tiap individu (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2016)
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah kumpulan kondisi
heterogen yang ditandai oleh keterbatasan aliran udara ekspirasi yang terus-
menerus. Ini dapat dihasilkan dari beberapa etiologi, yang paling penting
asap rokok, yang dapat mempengaruhi paru-paru oleh beberapa mekanisme
yang berbeda. Berbagai lesi anatomi dapat menyebabkan keterbatasan
aliran udara. Akhirnya, fitur klinis tidak hanya hasil dari pembatasan aliran
udara tetapi juga dari fitur lain, baik di dalam paru-paru (misalnya,
produksi batuk dan sputum) dan sistemik. Karena sifatnya yang heterogen,
definisi PPOK belum memuaskan secara universal. Namun demikian,
definisi konsensus diperlukan untuk melakukan studi klinis dan
epidemiologi. Global Initiative for Obstructive Lung Disease (GOLD)
mendefinisikan PPOK sebagai:
PPOK adalah kondisi penyakit yang dicirikan oleh pembatasan aliran
udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Keterbatasan aliran udara biasanya

15
16

bersifat progresif dan berhubungan dengan respons peradangan abnormal


paru-paru terhadap partikel dan gas berbahaya (Mason et al., 2005)
b. Epidemiologi
Penyakit paru obstruktif kronik merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang utama. Dampaknya hampir pasti diremehkan. Itu diakui
sebagai penyebab kematian keempat di Amerika Serikat, terhitung lebih
dari 115.000 kematian setiap tahun. Prevalensi dan dampak PPOK telah
meningkat selama beberapa dekade setelah epidemi merokok di abad kedua
puluh (Mason et al., 2005).
PPOK adalah penyebab kematian ketiga dan mempengaruhi> 10 juta
orang di Amerika Serikat. PPOK juga merupakan penyakit yang meningkat
dan menjadi permasalahan utama kesehatan masyarakat di seluruh dunia.
Perkiraan menunjukkan PPOK akan meningkat dari peringkat ke enam
menjadi ke tiga penyebab paling umum kematian di seluruh dunia pada
tahun 2020 (Kasper et al., 2015)
Di Indoneisa tahun 2006 diperkirakan terdapat 4,8 juta orang dengan
prevalensi 5,6%. Angka ini bias meningkat dengan amkin banyaknya
jumlah perokok karena 90% penderita PPOK adalah perokok atau mantan
perokok (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2016).
Secara nasional prevalensi perokok tahun 2010 sebesar 34,7%.
prevalensi tertinggi di Provinsi Kalimantan Tengah (43,2%) dan terendah
di Sulawesi Tenggara (28,7%). Berdasarkan umur, usia 25-64 tahun
menduduki prevalensi tertinggi dengan rentang 37-38,2%. Sedangkan usia
15-24 yang merokok setiap hari menPKai 18,6%. Prevalensi laki –laki
(65,9%) 16 kali lebih tinggi dari perempuan (4,2%) (Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, 2016)
c. Etiologi
1) asap
2) Polusi udara di dalam maupun di luar ruangan
17

3) pajanan zat di tempat kerja


4) gen
5) infeksi paru berulang
6) asma/ hipersensitivitas bronkus
7) bronchitis kronis
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2016)

d. Patofisiologi
Seseorang yang mengirup bahan-bahan iritan seperti asap rokok,
polusi udara, dan lain-lain akan masuk ke dalam saluran nafas. Paparan
bahan tersebut menstimulasi akumulasi dari sel-sel inflamasi seperti
neutrofil, sel T CD8, Sel B, dan makrofag (Barnes, 2013). Sel-sel inflamasi
yang teraktivasi menyebabkan terjadinya cascade inflamasi yang memicu
pelepasan mediator-mediator inflamasi seperti TNF-alfa, IFN-gamma,
MMP 6, MMP 9, C-Reactive Protein (CRP), IL 1, IL 6, IL 8, dan
fibinogen. Adanya mediator inflamasi ini menyebabkan proses inflamasi
terjadi secara terus menerus dan menyebabkan kerusakan jaringan saluran
nafas dan berbagai efek sistemik. Inflamasi kronis yang terjadi
menyebabkan perubahan struktur di paru-paru, saluran nafas menjadi
sempit, terjadi penurunan aliran udara, sehingga muncul gejala PPOK
(Agusti, 2015).

Gambar 1. Skema patofisiologi PPOK (Barnes, 2013)


18

Proses penyempitan saluran nafas dapat disebabkan oleh beberapa hal,


antara lain:
1) Fibrosis peribronkhial
Proses inflamasi yang terjadi secara terus menerus, memicu sel-
sel pada saluran nafas memperbaiki diri dan akhirnya timbul fibrosis
atau jaringan parut pada saluran nafas. Selain itu, sel epitel yang
melapisi saluran nafas terjadi over-multiplikasi sebagai upaya
melindungi diri dari paparan bahan iritan. Karena terbentuk fibrosis
pada saluran nafas maka penyempitan saluran nafas pada penderita
PPOK bersifat irreversible (Chung, 2015) (Laperre, Sont, & Van,
2017).
2) Destruksi parenkim paru

Gambar 2. Keterbatasan aliran udara pada PPOK


Paparan bahan iritan menyebabkan hilangnya elastisitas paru
karena destruksi dari struktur yang mendukung alveolus. Selain itu,
bronkhiolus yang kolaps menghambat aliran udara dan menyebabkan
udara terperangkap di paru, sehingga terjadi penurunan kapasitas paru
(Laperre, Sont, & Van, 2017).
19

3) Disfungsi mukosiliar
Paparan bahan iritan yang memicu timbulnya respon
peradangan, menyebabkan metaplasi sel goblet, sehingga
memperbesar kelenjar mukus yang melapisi dinding saluran nafas dan
meningkatkan sekresi mukus. Mukus yang berlebihan tersebut,
mampu menghambat aliran oksigen yang masuk ke dalam saluran
nafas. Pada saluran nafas juga terdapat sistem mukosiliar yang
bertugas untuk membersihkan lendir dari saluran nafas. Tetapi,
paparan bahan iritan tersebut menyebabkan kerusakan sistem
mukosiliar, sehingga lendir terakumulasi berlebihan di saluran udara
dan menyebabkan obstruksi jalan nafas (Danahaya & Jackson, 2015).

Gambar 3. Akumulasi mukus pada PPOK (Danahaya & Jackson, 2015)


e. Manifestasi klinis
Batuk merupakan keluhan utama yang biasanya terjadi pada pasien
PPOK. Batuk bersifat produktif, yang pada awalnya hilang timbul lalu
kemudian berlangsung lama dan sepanang hari. Batuk disertai dengan
produksi sputum yang pada awalnya sedikit dan mukoid kemudian berubah
20

menjadi banyak dan purulen seiring dengan semakin bertambah parahnya


batuk penderita (WHO, 2014).
Penderita PPOK juga akan mengeluhkan sesak yang berlangsung
lama, sepanjang hari, tidak hanya pada malam hari, dan semakin memberat
setiap harinya. Hal ini menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas yang
menetap. Sesak dirasakan memberat saat melakukan aktivitas dan pada saat
mengalami eksaserbasi akut (WHO, 2014). Keluhan sesak inilah yang
biasanya membawa penderita PPOK berobat ke rumah sakit.
Gejala yang muncul pada penderita PPOK antara lain (PDPI, Penyakit
Paru Obstruktif Kronis, 2011):
a) Batuk
b) Sesak Nafas
c) Produksi sputum bertambah
d) Wheezing
f. Pemeriksaan diagnostik
Diagnosis PPOK ditegakkan berdasarkan (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2003):
1. Gambaran Klinis
1) Anamnesis
• Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
• Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
• Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
• Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan
lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan
asap rokok dan polusi udara
• Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
• Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
21

2) Pemeriksaan fisis
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
a) Inspeksi
 Pursed - lips breathing, adalah sikap seseorang yang bernapas
dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap
ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan
retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik
 Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal
sebanding)
 Penggunaan otot bantu napas
 Hipertropi otot bantu napas
 Pelebaran sela iga
 Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis di leher dan edema tungkai
 Penampilan pink puffer atau blue bloater. Pink puffer adalah
gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit
kemerahan dan pernapasan pursed - lips breathing, sementara
blue bloater adalah gambaran khas pada bronkitis kronik,
penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki
basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer.
b) Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.
c) Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah.
d) Auskultasi
a) suara napas vesikuler normal, atau melemah
22

b) terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
pada ekspirasi paksa
c) ekspirasi memanjang
d) bunyi jantung terdengar jauh
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin
1)Faal paru
a) Spirometri
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau
VEP1/KVP ( % ). Dinyatakan adanya obstruksi apabila %
VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %. VEP1
merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Apabila
spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan
memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
b) Uji bronkodilator
Uji bronkodilator dilakukan dengan menggunakan spirometri,
bila tidak ada gunakan APE meter. Setelah pemberian bronkodilator
inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat
perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20%
nilai awal dan < 200 ml. Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK
stabil.
2)Darah rutin
Hb, Ht, leukosit.
3)Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain.
23

Pada emfisema terlihat gambaran:


a) Hiperinflasi
b) Hiperlusen
c) Ruang retrosternal melebar
d) Diafragma mendatar
e) Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop
appearance)
Pada bronkhitis kronis:
a) Normal
b) Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
b. Pemeriksaan khusus
a) Faal paru
b) Uji latih kardiopulmoner
c) Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil
PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan
d) Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari
selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 %
dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan
faal paru setelah pemberian kortikosteroid
e) Analisis gas darah
f) Radiologi
a) CT scan resolusi tinggi, untuk mendeteksi emfisema dini dan
menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak
terdeteksi oleh foto toraks polos.
b) Scan ventilasi perfusi, untuk mengetahui fungsi respirasi paru
g) Elektrokardiografi
24

h) Ekokardiografi
i) Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk
memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulng
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di
Indonesia.
j) Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema
pada usia muda).
g. Tatalaksana
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi:
1) Edukasi
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut
secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri
maupun bagi keluarganya. Secara umum bahan edukasi yang harus
diberikan adalah:
a. Pengetahuan dasar tentang PPOK
b. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
c. Cara pencegahan perburukan penyakit
d. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
e. Penyesuaian aktivitas
2) Obat-obatan
a. Bronkodilator
1) Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping
sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4
kali perhari).
25

2) Golongan agonis beta-2


Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan
jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi.
Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet
yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk
mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan
jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk
mengatasi eksaserbasi berat.
3) Kombinasi atikolinergik dan agonis beta-2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek
bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang
berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih
sederhana dan mempermudah penderita.
4) Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan
jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk
tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas ),
bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau
injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih
golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai
terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif
yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20%
dan minimal 250 mg.
c. Antibiotik
Hanya diberikan bila terdapat infeksi.
26

d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup,
digunakan N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan
eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang
rutin.
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik
dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK
bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
f. Antitusif
Diberikan dengan hati – hati.
Gejala Golongan Obat Obat & Kemasan Dosis
Tanpa gejala Tanpa obat
Gejala intermiten Agonis ß2 Inhalasi kerja cepat Bila perlu
( pada waktu aktiviti )
Gejala terus menerus Antikolinergik Ipratropium bromida 2 - 4 semprot 
20 µgr 3 - 4 x/hari
Inhalasi Agonis ß2 Fenoterol 2 - 4 semprot
kerja cepat 100µgr/semprot  3 - 4 x/hari
salbutamol 2 - 4 semprot
100µgr/semprot  3 - 4 x/hari
Terbutalin 2 - 4 semprot
0,5µgr/semprot  3 - 4 x/hari
Prokaterol 2 - 4 semprot
10µgr/semprot  3 x/hari
Kombinasi terapi Ipratropium bromid 2 - 4 semprot
20µgr+salbutamol  3 - 4 x/hari
100µgr persemprot
Pasien memakai Inhalasi Inhalasi Agonis ß2 kerja Formoterol 6µgr, 1 - 2 semprot 
agonis ß2 kerja lambat ( tidak dipakai 12µgr/semprot 2 x/hari tidak
untuk eksaserbasi ) melebihi 2 x/hari

Atau
27

timbul gejala pada waktu salmeterol 25µgr/semprot 1 - 2 semprot 


malam atau pagi hari 2 x/hari tidak
melebihi 2 x/hari
Teofilin Teofilin lepas lambat 400 - 800mg/hari
Teofilin/ aminofilin 150 3 - 4 x/hari
mg x 3 - 4x/hari
Anti oksidan N asetil sistein 600mg/hr
Pasien tetap mempunyai Kortikosteroid oral (uji Prednison 30 - 40mg/hr
gejala dan atau terbatas kortikosteroid ) Metil prednisolon selama 2mg
dalam aktiviti harian
meskipun mendapat
pengobatan bronkodilator
maksimal
Uji kortikosteroid Inhalasi Kortikosteroid Beklometason 50µgr, 1 - 2 semprot
memberikan respons positif 250µgr/semprot  2 - 4 x/hari
Budesonid 100µgr, 200 - 400µgr 
250µgr, 400µgr/semprot 2x/hari maks
2400µgr/hari
Sebaiknya pemberian Flutikason 125 - 250µgr 
kortikosteroid inhalasi 125µgr/semprot 2x/hari maks
dicoba bila mungkin untuk 1000µgr/hari
memperkecil efek samping

3) Terapi oksigen
Terapi oksigen diberikan atas indikasi Pao2 < 60mmHg atau Sat
O2 < 90%, Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor
Pulmonal, perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal
jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain.
4) Ventilasi mekanik
a. Ventilasi mekanik tanpa intubasi, digunakan pada PPOK dengan
gagal napas kronik dan dapat digunakan selama di rumah. Bentuk
ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah Nonivasive Intermitten
Positif Pressure (NIPPV) atau Negative Pessure Ventilation (NPV).
28

b. Ventilasi mekanik dengan intubasi. Pasien PPOK dipertimbangkan


untuk menggunakan ventilasi mekanik di rumah sakit bila ditemukan
keadaan sebagai berikut:
1) Gagal napas yang pertama kali
2) Perburukan yang belum lama terjadi dengan penyebab yang jelas
dan dapat diperbaiki, misalnya pneumonia
3) Aktiviti sebelumnya tidak terbatas
5) Nutrisi
Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah
karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat
meningkatkan ventilasi semenit oxigen comsumption dan respons
ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada PPOK dengan
gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan
kelelahan.
Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena
berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari
gangguan ventilasi. Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma.
Dianjurkan pemberian nutrisi dengan komposisi seimbang, yakni porsi
kecil dengan waktu pemberian yang lebih sering.
6) Rehabilitasi
Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis,
psikososial dan latihan pernapasan.
29

Algoritme Penanganan PPOK

2. PNEUMONIA
a. Definisi
Pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan akut parenkim
paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit).
Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak
termasuk. Pneumonia komunitas adalah peradangan akut pada parenkim
paru yang didapat di masyarakat.
30

b. Epidemiologi
Insiden pneumonia komunitas (PK) yang sebenarnya tidak pasti
karena penyakitnya tidak dapat dilaporkan dan hanya 20% hingga 50%
pasien yang memerlukan rawat inap. Perkiraan kejadian PK berkisar 2
hingga 15 kasus per 1000 orang per tahun, dengan tingkat yang jauh lebih
tinggi pada orang tua (Mason et al., 2005). Sekitar 20-40% pasien
pneumonia komunitas memerlukan perawatan rumas sakit dan sekitar 5-
10% memerlukan perwatan intensif. Angka kematian pada pasien rawat
jalan 1% dan pada pasien rawat inap meningkat meningkat menjadi 25%.
Di Indonesia, pneumonia termasuk dalam 10 besar penyakit rawat
inap di rumah sakit dengan proporsi kasus 53,95% laki – laki dan 46,05%
perempuan, dengan crude fatality rate (CFR)7,6%, paling tinggi bila
dibandingkan penyakit lainya.
c. Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam kuman, yaitu
bakteri, virus, jamur, dan protozoa (Perhimpunan Dokter Paru Indonesisa,
2014).
Tabel 1. Penyebab pneumonia komunitas
Community-Acquired Streptococcus pneumoniae
Pneumonia (CAP) Enteric gram-negative bacilli
Pneuminia komunitas Staphylococcus aureus
(PK) Legionella spp.
Mycoplasma pneumoniae
Respiratory viruses
(Mason et al., 2005)
d. Patofisiologi
Pneumonia menunjukkan proses peradangan parenkim paru yang
disebabkan oleh agen mikroba. Mikroorganisme yang berasal dari
kolonisasi orofaring,udara, droplet, atau darah masuk ke dalam saluran
nafas, akan menempati ruang antar sel dan antar alveolus. Karena adanya
kolonisasi mikroorganisme tersebut, tubuh mendapatkan sinyal bahwa
31

terdapat benda asing yang datang ke tubuh, sehingga memanggil makrofag


alveolar untuk membunuh mikroorganisme tersebut (Nelson & Mason,
2015).
Apabila makrofag alveolar tidak bisa mengontrol pertumbuhan dari
mikroorganisme tersebut, maka mekanisme pertahanan tubuh terakhir akan
bekerja dengan memicu terjadinya respon inflamasi lokal di paru-paru.
Respon inflamasi lokal ini ditandai dengan adanya sel darah putih
(neutrofil), limfosit, dan monosit yang bergerak dari kapiler menuju ke
ruang alveolus (Welsh & Mason, 2013).
Akumulasi sel-sel fagosit di ruang alveolus ini di perantarai oleh
mediator-mediator inflamasi seperti TNF dan IL 1 yang diproduksi oleh
makrofag alveolar. Sitokin-sitokin inflamasi lain juga muncul seperti IL 6,
IL 10, IL 12, monocyte chemotaxin protein-1,dan granulocyte colony-
stimulating factor. Apabila sitokin inflamasi tersebut mencapai sirkulasi
sistemik, menyebabkan respon inflamasi sistemik. Respon inflamasi lokal
dan sistemik inilah yang menyebabkan munculnya tanda, gejala, dan hasil
laboratorium abnormal sebagai manifestasi klinis pneumonia (Welsh &
Mason, 2013).

Gambar 4. Respon inflamasi pada alveolus (Ramirez, 2014)


32

Gambaran patologi menunjukkan bahwa respon khas pada


pneumonia terdiri dari empat tahap berurutan (Sylvia & Wilson, 2015):
1. Kongesti (4-12 jam pertama): eksudat serosa masuk ke dalam alveoli
melalui pembuluh darah yang berdilatasi dan bocor.
2. Red hepatization (48 jam berikutnya): paru tampak merah dan
bergranula (hepatisasi) karena sel darah merah, fibrin, dan leukosit PMN
mengisi alveoli.
3. Grey hepatization (3-8 hari): paru tampak kelabu karena leukosit dan
fibrin mengalami konsolidasi di dalam alveoli yang terserang.
4. Resolusi (7-11 hari): eksudat mengalami lisis dan di reabsorbsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali pada struktur semula
e. Manifestasi klinis
Gejala yang muncul pada penderita pneumonia antara lain (PDPI,
Community Acquired Pneumonia, 2011):
a) Gejala pneumonia biasanya diawali dengan demam >38 derajat celcius
dan dapat disertai dengan menggigil
b) Batuk produktif disertai perubahan warna sputum menjadi purulen
c) Sesak nafas
d) Nyeri dada seperti ditusuk-tusuk yang dietuskan saat bernafas atau batuk
e) Takipneu (frekuensi nafas 30-45 kali/menit atau pada hasil AGD
didapatkan penurunan PaO2) disertai dengan pernafasan cuping hidung
f. Pemeriksaan diagnostik
Diagnosis pneumonia ditegakkan berdasarkan (Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, 2003):
1) Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil,
suhu tubuh meningkat dapat melebihi 400C, batuk dengan dahak
mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan
nyeri dada
33

2) Pemeriksaan fisis
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru.
Pada inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu
bernapas, pasa palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup,
pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial
yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki
basah kasar pada stadium resolusi.
3) Pemeriksaan Penunjang
a. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang
utama untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat
berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan " air broncogram",
penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti. Foto
toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab
pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi,
misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh
Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia
sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi
yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai
beberapa lobus.
b. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah
leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai
30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke
kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis
etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi.
Kultur darah dapat positif pada 20- 25% penderita yang tidak
34

diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia,


pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
g. Tatalaksana
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian
antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data
mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa
alasan yaitu:
1. Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
2. Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab
pneumonia.
3. Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris.
Secara umum pemilihan antibiotik berdasarkan baktri penyebab
pneumonia dapat dilihat sebagai berikut:
1. Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
a. Golongan Penisilin
b. TMP-SMZ
c. Makrolid
2. Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
a. Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
b. Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi
c. Marolid baru dosis tinggi
d. Fluorokuinolon respirasi
3. Pseudomonas aeruginosa
a. Aminoglikosid
b. Seftazidim, Sefoperason, Sefepim
c. Tikarsilin, Piperasilin
d. Karbapenem : Meropenem, Imipenem
e. Siprofloksasin, Levofloksasin
35

4. Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)


a. Vankomisin
b. Teikoplanin
c. Linezolid
5. Hemophilus influenzae
a. TMP-SMZ
b. Azitromisin
c. Sefalosporin generasi 2 atau 3
d. Fluorokuinolon respirasi
6. Legionella
a. Makrolid
b. Fluorokuinolon
c. Rifampisin
7. Mycoplasma pneumoniae
a. Doksisiklin
b. Makrolid
c. Fluorokuinolon
8. Chlamydia pneumoniae
a. Doksisikin
b. Makrolid
c. Fluorokuinolon
3. Cor Pulmonale Chronicum Decompensata (CPCD)
a. Definisi
CPCD didefinisikan sebagai hipertrofi ventrikel kanan akibat penyakit
yang mempengaruhi fungsi dan / atau struktur paru-paru. kecuali ketika
perubahan paru merupakan hasil dari penyakit yang terutama
mempengaruhi sisi kiri jantung atau penyakit jantung bawaan. Karena
definisi ini tidak menunjukkan kehadiran gagal jantung kanan, dan karena
kehadiran edema tidak selalu menyiratkan gagal jantung yang mendasari
36

pada pasien PPOK stabil, istilah kor pulmonal dan gagal jantung kanan
tidak identic (Barr, 2018).
b. Epidemiologi
Prevalensi pasti dari cor pulmonale di COPD tidak diketahui karena
tidak layak untuk melakukan kateterisasi jantung kanan dalam skala besar.
Prevalensi yang dilaporkan bervariasi dari 20% –91% tergantung pada
definisi cor pulmonal, tingkat keparahan penyakit paru-paru dalam
kelompok yang diteliti (Barr, 2018).
c. Patofisiologi
Terjadinya CPCD diawali dengan kelainan struktural di paru, yakni
kelainan pada parenkim paru yang bersifat menahun kemudian berlanjut
pada kelainan jantung. Perjalanan dari kelainan fungsi paru menuju
kelainan fungsi jantung, secara garis besar dapat digambar sebagai berikut
(Bethesda, 2013):
a) Hipoventilasi alveoli
b) Menyempitnya area aliran darah dalam paru (vascular bed)
c) Terjadinya shunt dalam paru
d) Peningkatan tekanan arteri pulmonal
e) Kelainan jantung kanan
f) Kelainan karena hipoksemia relatif pada miocard
37

Gambar 5. Skema patofisiologi Corpulmonal (WOC Cor pulmonale)


Apapun penyakit awalnya, sebelum timbul kor pulmonal biasanya
terjadi peningkatan resistensi vaskular paru dan hipertensi pulmonal.
Hipertensi pulmonal pada akhirnya meningkatkan beban kerja ventrikel
kanan, sehingga mengakibatkan hipertrofi dan kemudian gagal jantung.
Titik kritis dari rangkaian kejadian ini nampaknya terletak pada
peningkatan resistensi vaskular paru pada arteri dan arteriola kecil (Sylvia
& Wilson, 2015).
Dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan resistensi
vaskular paru adalah vasokonstriksi hipoksik pembuluh darah paru dan
obstruksi dan/atau obliterasi jaringan vaskular paru. Mekanisme yang
pertama tampaknya paling penting dalam patogenesis kor pulmonal.
Hipoksemi, hiperkapnia, dan asidosis yang merupakan ciri khas dari COPD
bronkhitis kronis adalah contoh paling baik untuk menjelaskan kedua
mekanisme tersebut (Sylvia & Wilson, 2015). Hipoksia alveolar (jaringan)
38

memberikan rangsangan yang kuat terhadap vasokonstriksi pulmonal.


Selain itu, hipoksia alveolar kronik memudahkan terjadinya hipertrofi otot
polos arteriol paru, sehingga timbul respons yang lebih kuat terhadap
hipoksia akut. Asidosis hiperkapnia dan hipoksemia bekerja secara
sinergistik dalam menimbulkan vasokonstriksi. Viskositas (kekentalan)
darah yang meningkat akibat polisitemia dan peningkatan curah jantung
yang dirangsang oleh hipoksia kronik dan hiperkapnia, juga ikut
meningkatkan tekanan arteri paru (Harun & Ika, 2015).
Mekanisme kedua yang turut mengakibatkan resistensi vaskular dan
tekanan arteri paru adalah bentuk anatomisnya (Harun & Ika, 2015).
Emfisema ditandai dengan kerusakan bertahap struktur alveolar dengan
pembentukan bula dan obliterasi total kapiler-kapiler di sekitarnya.
Hilangnya pembuluh darah secara permanen menyebabkan berkurangnya
jaringan vaskular. Selain itu, pada penyakit obstruktif, pembuluh darah
paru juga tertekan keluar karena efek mekanik volume paru yang besar.
Tetapi, peranan obstruksi dan obliterasi anatomik terhadap jaringan
vaskular diperkirakan tidak sepenting vasokonstriksi hipoksik dalam
patogenesis kor pulmonal (Fauci & Dennis, 2015). Asidosis respiratorik
kronik terjadi pada beberapa penyakit pernapasan dan penyakit obstruktif
sebagai akibat hipoventilasi alveolar. Dalam pembahasan diatas jelas
diketahui bahwa setiap penyakit paru yang memengaruhi pertukaran gas,
mekanisme ventilasi, atau jaringan vaskular paru dapat mengakibatkan kor
pulmonale (Sylvia & Wilson, 2015).
d. Manifestasi klinis
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, CPCD dibagi menjadi 5 fase
(Harun & Ika, 2015):
a) Fase 1
Pada fase ini belum nampak gejala klinis yang jelas, selain
ditemukannya gejala awal PPOK, bronkhitis kronis, TB lama,
39

bronkiektasis, dan lain-lain. Pada hasil anamnesis, pasien memiliki


riwayat merokok.
b) Fase 2
Pada fase ini mulai ditemukannya tanda-tanda berkurangnya
ventilasi paru. Gejala antara lain, batuk lama berdahak, sesak nafas
atau mengi, sesak nafas ketika berjalan menanjak atau setalah banyak
bicara. Sedangkan sianosis masih belum tampak.
c) Fase 3
Pada fase ini, tampak gejala hipoksemia yang lebih jelas.
Didapatkan pula berkurangnya nafsu makan, berat badan berkurang,
cepat lelah. Pemeriksaan fisik nempak sianosis disertai sesak.
d) Fase 4
Ditandai dengan hiperkapnia, gelisah, mudah tersinggung,
kadang-kadang somnolen. Pada keadaan berat dapat terjadi koma dan
kehilangan kesadaran
e) Fase 5
Pada fase ini nampak kelainan jantung dan tekanan arteri
pulmonal meningkat. Tanda-tanda peningkatan kerja ventrikel, namun
fungsi ventrikel kanan masih dapat kompensasi. Selanjutnya terjadi
hipertofi ventrikel kanan kemudian terjadi gagal jantung kanan. Pada
kondisi tersebut nampak bendungan vena jugularis, hepatomegali,
edema tungkai, dan kadang ascites.
e. Pemeriksaan diagnostik
Diagnosis kor pulmonal ditegakkan berdasarkan adanya tanda-tanda
klinis kor pulmonal termasuk edema perifer, distensi vena jugularis atau
hepatomegali lunak, peningkatan intensitas komponen paru dari bunyi
jantung kedua, dan murmur sistolik dari regurgitasi trikuspid (Ju, et al.,
2016). Selain itu, diagnosis kor pulmonal pada PPOK ditegakkan dengan
menemukan tanda PPOK; asidosis dan hiperkapnea, hipoksia, polisitemia,
40

dan hiperviskositas darah; hipertensi pulmonal, hipertrofi/dilatasi bentrikel


kanan, dan gagal jantung kanan (Harun & Wijaya, 2009)
f. Tatalaksana
Penatalaksanaan secara umum kor pulmonal meliputi (Harun &
Wijaya, 2009):
1) Berhenti merokok
2) Terapi oksigen
Pemakaian oksigen secara kontinyu selama 12 jam (NIH,
Amerika), 15 jam (British MRC), dan 24 jam (NIH) meningkatkan
kelangsungan hidup dibandingkan dengan pasien tanpa terapi oksigen.
Indikasi terapi oksigen (di rumah) adalah:
a) PaO2 ≤55 mmHg atau SaO2≤88%
b) PaO2 55-59 mmHg disertai salah satu dari:
c) Edema disebabkan gagal jantung kanan
d) P pulmonal pada EKG
e) Eritrositosis hematokrit > 56%
3) Vasodilator
4) Digitalis
Hanya digunakan pada pasien kor pulmonal bila disertai gagal
jantung kiri. Digitalis menimbulkan peningkatan terjadinya komplikasi
aritmia.
5) Diuretika
Diuretika diberikan bila ada gagal jantung kanan.
6) Plebotomi
Tindakan plebotomi pada pasien kor pulmonal dengan hematokrit
yang tinggi untuk menurunkan hematokrit dengan nilai 59% hanya
merupakan terapi tambahan pada pasien kor pulmonal dengan gagal
jantung kanan akut.
41

7) Antikoagulan
Didasarkan atas kemungkinan terjadina tromboemboli akibat
pembesaran dan disfungsi ventrikel kanan dan adanya faktor
imobilisasi pada pasien.
8) Terapi penyakit yang mendasari.
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien ini didiagnosa pneumonia. Penegakkan diagnosis ini berdasarkan


ananmnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.
Telah dibahas kasus dengan keluhan sesak nafas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan :
Keadaan Umum : sedang
Kesadaran/GCS : compos mentis/ E4V5M6
Tekanan Darah : 150/100 mmHg
Nadi : 100x/menit
Pernafasan : 26x/menit
Suhu : 36,4oC
Auskultasi
- Suara nafas vesikuler (+/+)
- Suara tambahan rhonki (+/+)
- Suara tambahan wheezing (+/+)
Penatalaksanaan pada pasien di IGD Inf RA 20 tpm (memenuhi kebutuhan
cairan agar keseimbangan elektrolit tetap terjaga) dan O2 (agar oksigen dalam tubuh
terpenuhi dan tidak terjadi sianosis)., Inj Seftazidim 1g/ 8j (merupakan golongan
sefalosporin generasi ketiga sebagai antibiotik), Inj Metil Prednisolon 62,5 mg/ 8j
(sebagai kortikosteroid untuk antiinflamasi), Ambroxol 3x1 (jenis obat bronkodilator
yng bekerja untuk melemaskan otot-otot pernafasan yang menyempit sehingga udara
lebih lancar mengalir ke paru-paru) Sucralfat 3xC1 (diindikasikan untuk iritasi
lambung akibat pemberian terapi kortikosteroid), Codein 3x1 (analgesik opioid untuk
meredakan batuk), Nebu ventolin:pulmicort 1:1 (ventolin merupakan bronkodilator
golongan agonis beta2 kerja singkat sehingga memberikn efek terapi yang cepat,
pulmicort merupakan golongan steroid inhalasi)

42
43

Penatalaksanaan kasus ini sudah tepat yaitu dengan pemberian antibiotik


seftazidim yang sesuai dengan profil kuman di RSUD Sukoharjo.
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas dapat dilaporkan kasus Tn.SS dengan
diagnosis pneumonia dengan gejala klinis sesak nafas dan batuk berdahak. Pada
pemeriksaan fisik auskultasi thorax terdapat suara tambahan rhonki dan wheezing
pada kedua lapang paru. Pada pemeriksaan laboratorium terdapat lekositosis,
peningkatan eritrosit, peningkatan trombosit, neutrofil menurun, eosinofil meningkat,
kreatinin meningkat. Pada pemeriksaan radiologi foto thorax PA memperlihatkan
tidak ada pembesaran jantung, pada paru tampak corakan bronkovasculer meningkat,
air bronchogram (+), sinus costofrenicus dextra at sinistra lancip, diafragm dextra et
sinistra baik. Penatalaksanaan pada pasien sudah sesuai dengan teori.

44
DAFTAR PUSTAKA

Agrawal, A., 2017. Profile of Echocardiographic Changes in COR Pulmonale.


International Journal of Contemporary Medical Research , 4(12), 15-8.
Agusti, A. (2015). COPD, a multicomponent disease: implication for management.
Respir Med, 2(99), 670-82.
Baharirama, M. V. & Artini, G. A., 2017. Pola Pemberian Antibiotik untuk Pasien
Community Acquired Pnemonia Anak di Instalasi Rawat Inap RSUP
Buleleng Tahun 2013. E-Jurnal Medika, 6(3), 1-6.
Balitbang Kemenkes RI, 2013. Riset Kesehatan Dasar, Jakarta: Kemenkes RI.
Barnes, P. (2013). Immunology of asthma and chronic obstructive pulmonary disease.
Nat Rev Immunol(8), 183-92.
Bethesda, N. H. (2013). US Departement of Health. Dipetik Juni 7, 2018
Cilloniz, C. et al., 2016. Microbial Etiology of Pneumonia: Epidemiology, Diagnosis
and Resistance Patterns. International Journal of Molecular Science,1-18.
Chung, K. (2015). The role of airway smooth muscle in the pathogenesis of airway
remodelling in COPD. Proc Am Thorac Soc, 2(2), 347-54.
Danahaya, H., & Jackson, A. (2015). Epithelial mucus hypersecretion and respiratory
disease. Curr Drug Targets Inflamm Allergy, 1(4), 651-64.
Diatri, M. C. & Iskandar, M. H., 2015. Hubungan Derajat Keparahan Pneumonia
Komunitas dengan Kadar Prokalsitonin. Indonesian Journal of Chest, 2(4),
161-8.
Dinkes Jateng, 2015. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Semarang: Dinas
Kesehatan.
Farida, Y., Trisna, A. & Deasy, N., 2017. Studi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien
Pneumonia di Rumah Sakit Rujukan Daerah Surakarta. Journal of
Pharmaceutical Science and Clinical Research,44-52.
Fauci, A., & Dennis, L. (2015). Horrison's principles of Internal Medicine: Heart
Failure and Cor Pulmonale (17th ed.). United State of America: The
McGraw-Hill Companies.
GOLD, 2016. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease. [Online]
Available at: http://goldcopd.org [Accessed 25 July 2017].

45
46

Harun, S., & Ika, P. (2015). Ilmu Penyakit Dalam: Kor Pulmonal Kronik (5th ed.).
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia.
Kemenkes RI, 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013, Jakarta: Kemenkes RI.
Laperre, T., Sont, J., & Van, S. (2017). Smoking cessation and bronkhial epitelial
remodelling in COPD. Respir Res, 7(8), 85-93.
Macnee, W., 2016. Pathophysiology of Cor Pulmonale in COPD. American Journal
of Respiratory and Critical Care Medicine, 150(3), 833-52.
Nelson, S., & Mason, C. (2015). Pathophysiology of pneumonia. Clin Chest Med,
2(16), 1-123.
Oemiati, R., 2013. Kajian Epidemiologis PPOK. Media Litbangkes, 23(2), 82-8.
PDPI. (2014). Community Acquired Pneumonia. Jakarta: PDPI.
PDPI. (2011). Penyakit Paru Obstruktif Kronis. Jakarta: PDPI.
Ramirez, J. (2014). Community Acquired Pneumonia. Dipetik Juni 7, 2018, dari
www.antimicrobe.org/e55.asp
Saftarina, F., Anggraini, D. I. & Ridho, M., 2017. Penatalaksanaan Penyakit Paru
Obstruktif Kronis pada Pasien Laki-Laki Usia 66 Tahun Riwayat Perokok
Aktif dengan Pendekatan Kedokteran Keluarga di Kecamatan Tanjung Sari
Natar. Jurnal Agromed Unila, 4(1), 143-51.
Sugiharti, S. & Sondari, T. R., 2015. Gambaran PPOK di Daerah Pertambangan
Batubara, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan. Jurnal Ekologi
Kesehatan, 14(2), 136-44.
Sylvia, A., & Wilson, L. (2015). Patofisiologi: Konsep Klinis dan Proses-Proses
Penyakit (6th ed.). Jakarta: EGC.
Welsh, D., & Mason, C. (2013). Host defence in respiratory infection. Med Clin
North Am(85), 1329-47.
WHO. (2014). Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. US: Global
Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease.

Anda mungkin juga menyukai