Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

BRONKIEKTASIS

Disusun oleh :
Fajar Fanani Joeang
030.14.061

Pembimbing :
dr. Paralam S, Sp.Rad (K) RI, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI

RS ANGKATAN LAUT DR. MINTOHARDJO JAKARTA FAKULTAS

KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 2 Desember 2019 – 4 Januari 2020


LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul

Bronkiektasis

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepanitraan Klinik Ilmu
Radiologi di

RS Angkatan Laut Mintohardjo Jakarta 2 Desember 2019 – 4 Januari 2020

Disusun oleh:

Fajar Fanani Joeang

030.14.061

Telah diterima dan disetujui oleh


dr. Paralam S, Sp.Rad (K) RI, M.Kes selaku dokter pembimbing
Departemen Ilmu Radiologi RS Angkatan Laut Mintohardjo Jakarta

Jakarta, Desember 2019

dr. Paralam S, Sp.Rad (K) RI, M.Kes

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah S.W.T dan Baginda Rasulullah
Muhammad S.A.W karena berkah dan ridho-Nya yang begitu besar sehingga penulis
dapat menyelesaikan penyusunan referat yang berjudul “Bronkiektasis” pada
kepaniteraan klinik departemen ilmu radiologi.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini,
terutama kepada dr. Paralam S, Sp.Rad (K) RI, M.Kes selaku pembimbing yang
telah memberikan waktu dan bimbingannya sehingga makalah referat ini dapat
terselesaikan.
Dengan segala keterbatasan yang ada, penulis menyadari bahwa referat ini
masih belum sempurna, oleh karena itu segala saran dan kritik penulis harapkan
untuk menyempurnakan referat ini di kemudian hari. Terlepas dari segala
keterbatasan yang ada penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi
yang membacanya.

Jakarta, Desember 2019

Penulis

3
LEMBAR PENGESAHAN…………………….…………………………………….. 2
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………... 3
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………….….. 4
BAB I ……………………………….………………………………………………….. 5
1.PENDAHULUAN……………….………………………………………………….. 5
BAB II ………………………….…………………………………………………….….6
2.1 ANATOMI BRONKUS…………………………………………………………….6
2.2 DEFINISI BRONKIEKTASIS .…………………………………………………….8
2.3 INSIDENSI …………...…………………………………………………………….8
2.4 EPIDEMIOLOGI ……..…………………………………………………………….9
2.5 ETIOLOGI ………………………………………………………………………….9
2.6 PATOFISIOLOGI…………..…………..………………………………………….10
2.7 GAMBARAN KLINIS……..……………………………………………………....11
2.8 PENGOBATAN…………………………………………………………………....18
2.9 PROGNOSIS……..………………...………………………………………...…….19
BAB III KESIMPULAN ............................................................................................ 21
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 22

4
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya
dilatasi bronkus yang bersifat patologis dan berlangsung kronik. Dilatasi
tersebut menyebabkan berkurangnya aliran udara dari dan ke paru-paru. Dengan
alasan ini, bronkiektasis digolongkan dalam penyakit paru obstruktif kronik,
yang bermanifestasi sebagai peradangan saluran pernafasan dan mudah kolaps,
lalu menyebabkan obstruksi aliran udara dan menimbulkan sesak, gangguan
pembersihan mukus yang biasanya disertai dengan batuk dan kadang-kadang
hemoptisis. 1
Diagnosis penyakit didasarkan pada riwayat klinis dari gejala respirasi
yang bersifat kronik, seperti batuk setap hari, produksi sputum yang kental dan
penemuan radiografi seperti penebalan dinding bronkus dan dilatasi lumen yang
terlihat pada CT Scan. 2

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Bronkus

Gambar 1. Anatomi bronkus

Dari gambar dapat kita lihat bahwa cabang utama bronkus kanan dan kiri
akan bercabang menjadi bronkus lobaris dan bronkus segmentalis. Percabangan
ini berjalan terus-menerus menjadi bronkus yang ukurannya semakin kecil
sampai akhirnya menjadi bronkiolus terminalis, yaitu bronkiolus yang tidak
mengandung alveoli. Bronkiolus terminalis mempunyai diameter kurang lebih 1
mm. Bronkiolus tidak diperkuat oleh kartilago tetapi dikelilingi oleh otot polos
sehingga ukurannya dapat berubah. Seluruh saluran udara sampai pada tingkat
ini disebut saluran penghantar udara karena fungsinya menghantarkan udara ke
tempat pertukaran gas terjadi. (3)
Setelah bronkiolus terdapat asinus yang merupakan unit fungsional dari
paru-paru. Asinus terdiri atas bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan
sakkus alveolaris terminalis. Asinus atau kadang disebut lobulus primer
memiliki diameter 0,5 sampai 1 cm. Terdapat sekitar 23 percabangan mulai dari
trakea sampai sakkus alveolaris terminalis. Alveolus dipisahkan dari alveolus di
dekatnya oleh septum. Lubang pada dinding ini dinamakan pori-pori Kohn yang
memungkinkan komunikasi antara sakkus. Alveolus hanya selapis sel saja,
namun jika seluruh alveolus yang berjumlah sekitar 300 juta itu dibentangkan
akan seluas satu lapangan tennis. (3)

6
Alveolus pada hakikatnya merupakan gelembung yang dikelilingi oleh
kapiler-kapiler darah. Batas antara cairan dengan gas akan membentuk suatu
tegangan permukaan yang cenderung mencegah ekspansi pada saat inspirasi dan
cenderung kolaps saat ekspirasi. Di sinilah letak peranan surfaktan sebagai
lipoprotein yang mengurangi tegangan permukaan dan mengurangi resistensi
saat inspirasi sekaligus mencegah kolaps saat ekspirasi. (3)
Pembentukan surfaktan oleh sel pembatas alveolus dipengaruhi oleh
kematangan sel-sel alveolus, enzim biosintetik utamanya alfa anti tripsin,
kecepatan regenerasi, ventilasi yang adekuat serta perfusi ke dinding alveolus.
Defisiensi surfaktan, enzim biosintesis serta mekanisme inflamasi yang berjung
pada pelepasan produk yang mempengaruhi elastisitas paru menjadi dasar
patogenesis emphysema, dan penyakit lainnya. (3)
Bronkus merupakan percabangan dari trachea. Terdiri dari bronkus
dextra dan bronchus sinistra.
 Bronkus Dextra: mempunyai bentuk yang lebih besar, lebih
pendek dan letaknya lebih vertikal daripada bronkus sinistra. Hal
ini disebabkan oleh desakan dari arcus aortae pada ujung caudal
trachea ke arah kanan, sehingga benda-benda asing mudah masuk
ke dalam bronkus dextra. Panjangnya kira-kira 2,5 cm dan masuk
kedalam hilus pulmonis setinggi vertebra thoracalis VI. Vena
Azygos melengkung di sebelah cranialnya. Arteria pulmonalis
pada mulanya berada di sebelah inferior, kemudian berada di
sebelah ventralnya. Membentuk tiga cabang (bronkus sekunder),
masing-masing menuju ke lobus superior, lobus medius, dan lobus
inferior. Bronkus sekunder yang menuju ke ke lobus superior
letaknya di sebelah cranial a.pulmonalis dan disebut bronkus
eparterialis. Cabang bronkus yang menuju ke lobus medius dan
lobus inferior berada di sebelah caudal a.pulmonalis disebut
bronkus hyparterialis. Selanjutnya bronkus sekunder tersebut
mempercabangkan bronkus tertier yang menuju ke segmen pulmo.
(4)

7
 Bronkus Sinistra, mempunyai diameter yang lebih kecil, tetapi
bentuknya lebih panjang daripada bronkus dextra. Berada di
sebelah caudal arcus aortae, menyilang di sebelah ventral
oesophagus, ductus thoracicus, dan aorta thoracalis. Pada mulanya
berada di sebelah superior arteri pulmonalis, lalu di sebelah
dorsalnya dan akhirnya berada di sebelah inferiornya sebelum
bronkus bercabang menuju ke lobus superior dan lobus inferior,
disebut letak bronkus hyparterialis. Pada tepi lateral batas trachea
dan bronkus terdapat lymphonodus tracheobronchialis superior dan
pada bifurcatio trachea (di sebelah caudal) terdapat lymphonodus
tracheobronchialis inferior. (4)
Bronkus memperoleh vascularisasi dari a.thyroidea inferior. Innervasinya berasal
dari N.vagus, n. Recurrens, dan truncus sympathicus. (4)
2.2 Definisi
Bronkiektasis merupakan akibat dari proses patologis yang berlangsung luas
dan lama, termasuk kelainan srtuktur bronkus (Defisiensi kartilago pada William
Campbell Syndrome), penyakit akibat penimbunan mukus (Fibrosis kistik,
kelainan fungsi silia), akibat infeksi (Pneumonia yang berat pada anak,
defisiensi imunoglobulin) dan penyakit inflamasi (Kolitis ulceratif). Pada
kebanyakan kasus, infeksi merupakan penyebab tersering dari inflamasi,
kerusakan dan remodelling jalan nafas. (5)

2.3 Insidensi
Angka kejadian yang sebenarnya dari bronkiektasis tidak diketahui pasti.
Di negara-negara Barat, insidens bronkiektasis diperkirakan sebanyak 1,3%
diantara populasi. Insidens bronkiektasis cenderung menurun dengan adanya
kemajuan pengobatan antibiotika. Akan tetapi perlu di ingat bahwa insidens
ini juga dipengaruhi oleh kebiasaan merokok, polusi udara dan kelainan
kongenital. (6,7)
Di Indonesia belum ada laporan tentang angka-angka yang pasti mengenai
penyakit ini. Kenyataannya penyakit ini cukup sering ditemukan di klinik-klinik
dan diderita oleh laki-laki maupun wanita. Penyakit ini dapat diderita mulai
sejak anak bahkan dapat berupa kelainan kongenital. (8)

8
2.4 Epidemiologi

Bronkiektasis merupakan penyebab kematian yang amat penting pada


negara-negara berkembang. Di negara-negara maju seperti AS, bronkiektasis
mengalami penurunan seiring dengan kemajuan pengobatan. Prevalensi
bronkiektasis lebih tinggi pada penduduk dengan golongan sosioekonomi yang
rendah. (6)
2.5 Etiologi
Etiologi bronkiektasis sampai sekarang masih belum jelas. Namun diduga
bronkiektasis dapat timbul secara kongenital maupun didapat: (7)
a. Kelainan kongenital
Dalam hal ini, bronkiektasis terjadi sejak individu masih dalam
kandungan. Faktor genetik atau faktor pertumbuhan dan perkembangan
memegang peranan penting. Bronkiektasis yang timbul kongenital biasanya
mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau kedua bronkus. Selain
itu, bronkiektasis kongenital biasanya menyertai penyakit-penyakit kongenital
seperti Fibrosis kistik, Sindroma Kertagener, William Campbell syndrome,
Mounier-Kuhn syndrome, dll. (6,7)
b. Kelainan didapat
Bronkiektasis sering merupakan kelainan didapat dan kebanyakan
merupakan proses berikut: (8,9)
o Infeksi
 Campak
 Pertusis
 Infeksi adenovirus
 Infeksi bakteri contohnya Klebsiella, Staphylococcus atau
Pseudomonas.
 Influenza
 Tuberkulosa
 Infeksi mikoplasma
o Penyumbatan bronkus
 Benda asing yang terisap
 Pembesaran kelenjar getah bening
 Tumor paru

9
o Sumbatan oleh lendir
 Cedera penghirupan
o Cedera karena asap, gas atau partikel beracun
o Menghirup getah lambung dan partikel makanan
 Kelainan imunologik
o Sindroma kekurangan immunoglobulin
o Disfungsi sel darah putih
o Defisiensi komplemen
o Infeksi HIV
o Kelainan autoimun atau hiperimun tertentu seperti artritis rematoid,
kolitis ulcerativa
o Penyalahgunaan obat (misalnya heroin)

2.6 Patofisiologi
Berdasarkan defenisinya, bronkiektasis menggambarkan suatu keadaan
dimana terjadi dilatasi bronkus yang ireversibel (> 2 mm dalam diameter) yang
merupakan akibat dari destruksi komponen muskular dan elastis pada dinding
bronkus. Rusaknya kedua komponen tersebut adalah akibat dari suatu proses
infeksi, dan juga oleh pengaruh sitokin inflamasi, nitrit okside dan netrophilic
protease yang dilepaskan oleh system imun tubuh sebagai respon terhadap
antigen. (5)
Bronkiektasis dapat terjadi pada kerusakan secara langsung dari dinding
bronkus atau secara tidak langsung dari intervensi pada pertahanan normal jalan
nafas. Pertahanan jalan nafas terdiri dari silia yang berukuran kecil pada jalan
nafas. Silia tersebut bergerak berulang-ulang, memindahkan cairan berupa
mukus yang normal melapisi jalan nafas. Partikel yang berbahaya dan bakteri
yang terperangkap pada lapisan mukus tersebut akan dipindahkan naik ke
tenggorokan dan kemudian batukkan keluar atau tertelan. (3)

10
Terlepas dari apakah kerusakan tersebut diakibatkan secara langsung atau
tidak langsung, daerah dinding bronkus mengalami kerusakan dan menjadi
inflamasi yang kronik. Bronkus yang mengalami inflamasi akan kehilangan
keelastisannya, sehingga bronkus akan menjadi lebar dan lembek serta
membentuk kantung atau saccus yang menyerupai balon yang kecil. Inflamasi
juga meningkatkan sekresi mukus. Karena sel yang bersilia mengalami
kerusakan, sekret yang dihasilkan akan menumpuk dan memenuhi jalan nafas
dan menjadi tempat berkembangnya bakteri. Yang pada akhirnya bakteri-bakteri
tersebut akan merusak dinding bronkus, sehingga menjadi lingkaran setan antara
infeksi dan kerusakan jalan nafas. (3)

Gambar. 2 Gambaran bronkus pada bronkiektasis

2.7 Diagnosis
a. Gambaran Klinis
Manifestasi klasik dari bronkiektasis adalah batuk dan produksi sputum
harian yang mukopurulen sering berlangsung bulanan sampai tahunan. Sputum
yang bercampur darah atau hemoptisis dapat menjadi akibat dari kerusakan jalan
nafas dengan infeksi akut. (1)
Variasi yang jarang dari bronkiektasis kering yakni hemoptisis episodik
dengan sedikit atau tanpa produksi sputum. Bronkiektasis kering biasanya
merupakan sekuele (gejala sisa) dari tuberculosis dan biasanya ditemukan pada
lobus atas. (1)
Gejala spesifik yang jarang ditemukan antara lain dyspnea, nyeri dada
pleuritik, wheezing, demam, mudah lelah dan berat badan menurun. Pasien
relatif mengalami episode berulang dari bronkitis atau infeksi paru, yang
merupakan eksaserbasi dari bronkiektasis dan sering membutuhkan antibiotik.
Infeksi bakteri yang akut ini sering diperberat dengan onsetnya oleh peningkatan
produksi sputum yang berlebihan, peningkatan kekentalan sputum, dan kadang-
kadang disertai dengan sputum yang berbau. (1)
11
Batuk kronik yang produktif merupakan gejala yang menonjol. Terjadi
hampir 90% pasien. Beberapa pasien hanya menghasilkan sputum dengan
infeksi saluran pernafasan atas yang akut. Tetapi sebaliknya, pasien-pasien itu
mengalami infeksi yang diam. Sputum yang dihasilkan dapat berbagai macam,
tergantung berat ringannya penyakit dan ada tidaknya infeksi sekunder. Sputum
dapat berupa mukoid, mukopurulen, kental dan purulen. Jika terjadi infeksi
berulang, sputum menjadi purulen dengan bau yang tidak sedap. Dahulu, jumlah
total sputum harian digunakan untuk membagi karakteristik berat ringannya
bronkiektasis. Sputum yang kurang dari 10 ml digolongkan sebagai
bronkiektasis ringan, sputum dengan jumlah 10-150 ml perhari digolongkan
sebagai bronkiektasis moderat dan sputum lebih dari 150 ml digolongkan
sebagai bronkiektasis berat. Namun sekarang, berat ringannya bronkiektasis
dikalsifikasikan berdasarkan temuan radiologis. Pada pasien fibrosis kistik,
volume sputum pada umumnya lebih banyak dibanding penyakit penyebab
bronkiektasis lainnya. (5,8)
Hemoptisis terjadi pada 56-92% pasien dengan bronkiektasis. Homoptisis
mungkin terjadi masif dan berbahaya bila terjadi perdarahan pada arteri
bronkial. hemoptisis biasanya terjadi pada bronkiektasis kering, walaupun angka
kejadian dari bronkiektasis tipe ini jarang ditemukan. (1,2)
Dyspnea terjadi pada kurang lebih 72% pasien bronkiektasis tapi bukan
merupakan temuan yang universal. Biasanya terjadi pada pasien dengan
bronkiektasis luas yang terlihat pada gambaran radiologisnya. (1,2)
Wheezing sering dilaporkan dan mungkin akibat obstruksi jalan nafas yang
diikuti oleh destruksi dari cabang bronkus. Seperti dyspnea, ini juga mungkin
merupakan kondisi yang mengiringi, seperti asma. (1,2)
Nyeri dada pleuritik kadang-kadang ditemukan, terjadi pada 46% pasien
pada sekali observasi. Paling sering merupakan akibat sekunder pada batuk
kronik, tetapi juga terjadi pada eksaserbasi akut. (1,2)
Penurunan berat badan sering terjadi pada pasien dengan bronkiektasi yang
berat. Hal ini terjadi sekunder akibat peningkatan kebutuhan kalori berkaitan
dengan peningkatan kerja pada batuk dan pembersihan sekret pada jalan nafas.
Namun, pada umumnya semua penyakit kronik disertai dengan penurunan berat
badan.1 Demam biasanya terjadi akibat infeksi yang berulang.(1)

12
b. Gambaran Radiologis
 Foto thorax
Dengan pemeriksaan foto thoraks, maka pada bronkiektasis
dapat ditemukan gambaran seperti dibawah ini: (10)
o Ring shadow
Terdapat bayangan seperti cincin dengan berbagai ukuran (dapat
mencapai diameter 1 cm). dengan jumlah satu atau lebih
bayangan cincin sehingga membentuk gambaran ‘honeycomb
appearance’ atau ‘bounches of grapes’. Bayangan cincin tersebut
menunjukkan kelainan yang terjadi pada bronkus. (10)

Gambar 3. Thorax PA, Tampak “Ring Shadow” yang pada bagian bawah paru (1)

Gambar 4. Thorax PA, Tampak “Ring Shadow” yang pada bagian bawah paru (2)

13
o Tramline shadow
Gambaran ini dapat terlihat pada bagian perifer paru-paru.
Bayangan ini terlihat terdiri atas dua garis paralel yang putih dan
tebal yang dipisahkan oleh daerah berwarna hitam. Gambaran
seperti ini sebenarnya normal ditemukan pada daerah parahilus.
Tramline shadow yang sebenarnya terlihat lebih tebal dan bukan
pada daerah parahilus. (11,12)

Gambar 5. Thorax PA, Tramline Shadow terlihat diantara bayangan jantung

o Tubular shadow
Ini merupakan bayangan yang putih dan tebal. Lebarnya dapat
mencapai 8 mm. gambaran ini sebenarnya menunjukkan bronkus
yang penuh dengan sekret. Gambaran ini jarang ditemukan,
namun gambaran ini khas untuk bronkiektasis. (11,13)

Gambar 6. Thorax PA . Gambaran Tubular Shadow


14
 CT-Scan thorax

Gambar 7. CT Scan Paru. Terdapat adanya dilatasi pada bronkus sinistra inferior

CT-Scan dengan resolusi tinggi menjadi pemeriksaan penunjang terbaik


untuk mendiagnosis bronkiektasis, mengklarifikasi temuan dari foto thorax dan
melihat letak kelainan jalan nafas yang tidak dapat terlihat pada foto polos
thorax. CT-Scan resolusi tinggi mempunyai sensitivitas sebesar 97% dan
spesifisitas sebesar 93%. (8,14)
CT-Scan resolusi tinggi akan memperlihatkan dilatasi bronkus dan
penebalan dinding bronkus. Modalitas ini juga mampu mengetahui lobus mana
yang terkena, terutama penting untuk menentukan apakah diperlukan
pembedahan.(14)

 MRI
MRI memiliki hasil yang baik dalam pencitraan pada bronkiektasis, terutama
dalam kondisi seperti fibro kistik, yang pada pasien usia muda mungkin
memerlukan pencitraan serial untuk pemantauan penyakit dan penilaian respon
terhadap pengobatan. Dengan peningkatan teknik pada MRI, studi terbaru
menunjukkan reproduktifitas baik dan korelasi yang baik dengan hasil tes fungsi
paru. Saat ini pembiayaan dan ketersediaan yang terbatas, membatasi
penggunaan MRI pada kasus bronkiektasis.(15)

15
Gambar 8. Perbandingan MRI dengan CT-scan pada bronkiektasis.

Gambar 9. MRI tanpa kontras (a) dan setelah pemberian kontras (b) pada
bronkiestasis. Setelah pemberian kontras menggambarkan penebalan dinding bronkial
dengan adanya cairan pada intrabronkial (air fluid-level).

c. Patologi Anatomi
Terdapat berbagai variasi bronkiektasis, baik mengenai jumlah atau luasnya
bronkus yang terkena maupun beratnya penyakit. Perubahan morfologis bronkus
yang terkena adalah: (6)
a) Dinding bronkus
Dinding bronkus yang terkena dapat mengalami perubahan berupa
proses inflamasi yang sifatnya destruktif dan ireversibel. Pada
pemeriksaan patologi anatomi sering ditemukan berbagai tingkatan
keaktifan proses inflamasi serta terdapat proses fibrosis. Jaringan
bronkus yang mengalami kerusakan selain otot-otot polos bronkus
juga elemen-elemen elastis. (6)

16
b) Mukosa bronkus
Mukosa bronkus permukaannya menjadi abnormal, silia pada sel
epitel menghilang, terjadi perubahan metaplasia skuamosa, dan
terjadi sebukan hebat sel-sel inflamasi. Apabila terjadi eksaserbasi
infeksi akut, pada mukosa akan terjadi pengelupasan, ulserasi, dan
pernanahan. (6)
c) Jaringan paru peribronkial
Pada parenkim paru peribronkial dapat ditemukan kelainan antara
lain berupa pneumonia, fibrosis paru atau pleuritis apabila prosesnya
dekat pleura. Pada keadaan yang berat, jaringan paru distal
bronkiektasis akan diganti jaringan fibrotik dengan kista-kista berisi
nanah.(6)
Variasi kelainan anatomi bronkiektasis: Pada tahun 1950, Reid
mengkasifikasikan bronkiektasis sebagai berikut:
a. Bentuk tabung (tubular, cylindrical, fusiform bronchiectasis)
Variasi ini merupakan bronkiektasis yang paling ringan. Bentuk ini
sering ditemukan pada bronkiektasis yang menyertai bronkitis kronik.(5,6)
b. Bentuk kantong (saccular bronkiektasis)
Merupakan bentuk bronkiektasis yang klasik, ditandai dengan adanya
dilatasi dan penyempitan bronkus yang bersifat ireguler. Bentuk ini
kadang-kadang berbentuk kista.(5,6)
c. Varicose bronkiektasis
Bentuknya merupakan bentuk antara diantara bentuk tabung dan
kantong. Istilah ini digunakan karena perubahan bentuk bronkus yang
menyerupai varises pembuluh vena.(5,6)

17
2.8 Pengobatan
Pengobatan pasien bronkiektasis terdiri atas 2 kelompok, yaitu:
o Pengobatan konservatif (6)
 Pengelolaan umum, meliputi
A. Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien
B. Memperbaiki drainase sekret bronkus
C. Mengontrol infeksi saluran napas, misalnya dengan
pemberian antibiotik.
 Pengelolaan khusus
A. Kemoterapi pada bronkiektasis
B. Drainase sekret dengan bronkoskopi
 Pengobatan simtomatik
A. Pengobatan obstruksi bronkus, misalnya dengan obat
bronkodilator.
B. Pengobatan hipoksia, dengan pemberaian oksigen.
C. Pengobatan Hemoptisis misalnya dengan obat-obat
hemostatik.
D. Pengobatan demam, dengan pemberian antibiotik dan
antipiretik.

o Pengobatan Pembedahan
Tujuan pembedahan adalah untuk mengangkat (reseksi) segmen atau
lobus yang terkena. Indikasinya pada pasien bronkiektasis yang terbatas
dan resektabel, yang tidak berespon terhadap tindakan-tindakan
konservatif yang adekuat, selain itu juga pada pasien bronkiektasis
terbatas, tetapi sering mengalami infeksi berulang atau hemoptisis yang
berasal dari daerah tersebut. Pasien dengan hemoptisis masif seperti ini
mutlak perlu tindakan operasi. (6)

18
2.9 Prognosis
 Kelangsungan Hidup
Prognosis pasien bronkiektasis tergantung pada berat-ringannya serta
luasnya penyakit waktu pasien berobat pertama kali. Pemilihan
pengobatan secara tepat (konservatif atau pembedahan) dapat
memperbaiki prognosis penyakit.
Pada kasus-kasus yang berat dan tidak diobati, prognosisnya jelek,
survivalnya tidak akan lebih dari 5-15 tahun. Kematian pasien tersebut
biasanya karena pneumonia, empiema, payah jantung kanan, hemoptisis
dan lain-lain. Pada kasus-kasus tanpa komplikasi bronkitis kronik berat
dan difus biasanya disabilitasnya ringan. (4,6)
 Kelangsungan Organ
Kelainan pada bronkiektasis biasanya mengenai bronkus dengan ukuran
sedang. Adanya peradangan dapat menyebabkan destruksi lapisan
muscular dan elastic dari bronkus serta dapat pula menyebabkan
kerusakan daerah peri bronchial. Kerusakan ini biasanya akan
menyebabkan timbulnya daerah fibrosis terutama pada daerah
peribronkial. (6)

19
BAB III
KESIMPULAN

Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya


dilatasi bronkus yang bersifat patologis dan berlangsung kronik. Dilatasi
tersebut menyebabkan berkurangnya aliran udara dari dan ke paru-paru.
Bronkiektasis digolongkan dalam penyakit paru obstruktif kronik, yang
bermanifestasi sebagai peradangan saluran pernafasan dan mudah kolaps, lalu
menyebabkan obstruksi aliran udara dan menimbulkan sesak, gangguan
pembersihan mucus yang biasanya disertai dengan batuk dan kadang-kadang
hemoptisis. (1,2,3)
Prognosis pasien bronkiektasis tergantung pada berat-ringannya serta
luasnya penyakit waktu pasien berobat pertama kali. Pemilihan pengobatan
secara tepat (konservatif atau pembedahan) dapat memperbaiki prognosis
penyakit.
Pada kasus-kasus yang berat dan tidak diobati, prognosisnya jelek,
survivalnya tidak akan lebih dari 5-15 tahun.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. O’Regan AW, Berman JS. Baum’s Textbook of Pulmonary Disease 7th Edition.
Philadelphia. 2009. p255-74.
2.. Benditt, JO. Lung and Airway Disorder: Bronchiectasis. Accessed at:
www.merck.com on 19 December 2019
3. Kusumawidjaja K. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Editor Iwan Ekayuda. Balai
Penerbit: FKUI. Jakarta. 2006. p108-15
4. Sutton D. Textbook of Radiology and Imaging volume 1. Churchill livingstone.
Tottenham. 2003. p163-8
5. Barker AF. The New English Journal of Medicine : Bronkiektasis. 2002. p1383-93.
6. Meschan I. Obstrictive Pulmonary Disease. Synopsis of Analysis of Roentgen Signs
in General Radiology. Philadelphia. 1975. p55-6
7. Wilson LM. Patofisiologi (Proses-Proses Penyakit) Edisi enam. Editor Hartanto
Huriawati. EGC. Jakarta 2006. p737-40
8. Luhulima JW. Trachea dan Bronchus. Diktat Anatomi Systema Respiratorius.
Radiology. Philadelphia. 1975. p55-6
9. Rahmatullah P. Bronkiektasis, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga.
Editor: Slamet Suyono. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2001. p861-71.
10. Alsagaff H, Mukty A. Bronkiektasis, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru, Airlangga
University Press. Surabaya. 2006. p256-61
11. Patel PR. Lecture Notes Radiologi Edisi Kedua. Erlangga. Jakarta. 2005. p40-1
12. Eng P, Cheah FK. Interpreting Chest X-rays. Cambridge Univesrsity Press. New
York. 2005. p67-8.
13. Greif J. Medical Imaging in Patients with Cystic Fibrosis. Accessed at
www.eradimaging.com. On December 2019
14. Ketai LH. Infectious Lung Disease. Fundamental of Chest Radiology, 2nd Edition,
Loren H. Ketai Richard Lofgren, Andrew J. Meholic, Elseiver.
15. Perera PL, Screaton NJ. Radiological Features of Bronchiectasis. Eur Respi Mon.
2011; 52: p44-67

21

Anda mungkin juga menyukai